varaleoni
varaleoni
Camaraderie
60 posts
Another diary of mine.
Don't wanna be here? Send us removal request.
varaleoni · 29 days ago
Text
Wageningen | Selasa, 27 Mei 2025
Beberapa pekan ini berat. Group work intens dengan teman-teman dari berbagai latar belakang. Beberapa orang terlalu dominan dan menyerap terlalu banyak energi. Sampai di titik aku lelah dan jatuh sakit.
Akhir pekan aku habiskan untuk recharge energy dan menangis. Menyesali keputusanku mengambil project berat ini tepat sebelum memulai thesis. Seharusnya aku ambil yang paling mudah supaya tidak stress, gumamku.
Tak ingin jadi orang yang tak bertanggung jawab, aku memutuskan untuk bertahan. Namun kali ini, aku rasa aku perlu lebih banyak mengandalkan kekuatan Tuhan daripada sok kuat sendiri. Hingga pada akhirnya, kukencangkan doa dan tangisku di setiap sujud.
Lambat laun, Tuhan beri aku kekuatan lewat jalan yang tak disangka-sangka. Tiba-tiba aku kuat, tiba-tiba aku bisa, tiba-tiba aku sanggup. Bahkan tak jarang beberapa temanku berdecak kagum, “I really like your positive energy, your personality.”
Jika saja mereka percaya pada konsep ketuhanan, ingin rasanya kubilang, “God gives me this strength, this positivity. I cannot be like this without His help.” Iya, kalau bukan karena kekuatan-Nya, mungkin aku sudah disenrol dari project ini dan menyendiri di kamar.
Pelajarannya? Memang betul kalau manusia nggak boleh sok kuat, karena kita tak punya daya tanpa Yang Maha Kuat.
1 note · View note
varaleoni · 3 months ago
Text
Wageningen | Sabtu, 15 Maret 2025
Aku mensyukuri takdirku saat ini. Hidup di perantauan sendiri, tanpa keluarga, tanpa yang terkasih. Belajar mengatasi kemelekatanku pada mereka. Menyadari bahwa mereka bukan milikku, melainkan makhluk Tuhan yang diciptakan untuk membersamaiku.
Meski dalam perjalanannya banyak diwarnai tangis dan depresi, tapi aku menikmati semua rasa sedih, senang, dan pilu yang kurasakan. Di sini, aku semakin mensyukuri keberadaan mereka. Aku bersyukur memiliki keluarga seperti ayah, ibu, dan kakakku. Aku juga mensyukuri orang-orang terdekatku yang tak jemu mengirimiku doa dan lantunan kasih sayang.
Katanya, kehadiran seseorang akan semakin terasa bermakna saat kita tak berada dekat dengan mereka. Rasanya betul. Rasa sayangku pada mereka semakin membuncah pada titik yang tak bisa aku bendung. Dan aku bersyukur akan hal itu.
0 notes
varaleoni · 7 months ago
Text
Wageningen | Senin, 9 Desember 2024
Aku baru sadar kalau ternyata mental 'negara barat lebih maju' itu secara nggak sadar tertanam ke diriku. Padahal aku tim yang nggak suka sama pe-label-an 'maju' dan 'berkembang.' Mungkin karena doktrin pendidikan, pada akhirnya hal itu mau-nggak mau memang melekat pada diriku.
Singkat cerita, salah satu culture shock yang kualami saat kali pertama belajar di Belanda adalah menghadapi orang-orang Eropa yang sangat anti basa-basi. Termasuk dalam hal kerja kelompok. Mereka anti menghabiskan waktu lama hanya untuk obrolan atau diskusi yang nggak ada keluarannya. Dan aku jadi minder: kalau di Indonesia sih diskusi bisa berjam-jam karena ngalor-ngidul.
Karena batasan yang kubuat sendiri tersebut, akhirnya di period 1 perkuliahan aku super-duper jarang menginisiasi sesuatu di pekerjaan kelompok. Aku cenderung pasif saat diskusi, namun proaktif dalam hal pengerjaan dokumen. Teman-temanku sampai memberiku ragam julukan, yang inti artinya: si diam tapi tiba-tiba tugas selesai dengan baik.
Tapi lambat-laun aku sadar kalau diamku seringkali menyulitkan diriku dan teman-temanku. Perasaan takut karena merasa 'tertinggal' membuat rasa minder kian mengekangku. Perasaan 'mereka lebih tahu' juga membuatku berekspektasi besar pada mereka. Padahal, mereka juga mahasiswa yang sedang belajar. Bedanya, mereka hidup di negara yang lebih menjamin kebebasan untuk berpendapat. Mereka menjalani studi di negara yang memberi keleluasaan berpikir kritis dan terbuka.
Akhirnya dimulai dari period 2 kemarin, aku mulai membiasakan diri untuk lebih proaktif dalam diskusi kelompok. Semisal aku nggak paham sama topik yang diperbincangkan (sangat Europe-centric), aku akan langsung bilang. Surprisingly, mereka pun langsung mengganti cara penyampaiannya supaya bisa lebih dipahami olehku dan teman-teman non-Eropa lainnya.
Dari perjalanan trials yang aku lakukan untuk mengatasi perasaan 'inferior'-ku ini, di semi-ujung period, akhirnya aku merasa puas dengan diriku yang berhasil mendobrak doktrin 'negara barat lebih maju.' Aku juga merasa puas karena berhasil mendorong diriku untuk lebih percaya diri. Dan bonusnya, pagi tadi salah seorang temanku mengirimkan pesan manis di grup:
Tumblr media
Dikirimi kalimat manis kayak gini, hati siapa sih yang nggak meleleh?
2 notes · View notes
varaleoni · 7 months ago
Text
Wageningen | Minggu, 3 November 2024
Aku meyakini kalau hubungan itu nggak hanya sekadar tentang perasaan. Lebih dari itu, hubungan juga perlu kemampuan dan kemauan yang harus dijaga.
Kita mungkin bisa menaruh perasaan pada seseorang: kagum, senang, takjub, senang akan parasnya, penampilannya, kharismanya, kepribadiannya. Tapi perasaan itu belum tentu tumbuh jadi hubungan kalau nggak kita usahakan. Dan belum tentu perlu kita usahakan juga ‘kan?
Sebagai seseorang yang senang mengucap kalimat “yaampun dia kharismatik banget ya,” “eh dia cantik ya,” “aku suka deh kepribadiannya,” “kok bisa ya ada orang sepandai itu membawakan dirinya,” aku suka bingung sama orang-orang yang kerap mengkonotasikan itu dalam konteks romantisme.
Kagum nggak selalu berkonotasi cinta, pun cinta nggak harus selalu berakhir dalam hubungan romantisme ‘kan? Aku mengagumi seseorang karena orang tersebut menarik untukku. Tapi rasa ketertarikanku nggak lantas mengharuskan aku untuk terlibat hubungan pertemanan, kekeluargaan, atau hal lain dengannya.
Bukankah menyenangkan melihat raut bahagia seseorang ketika ia dipuji dan tau kalau ada yang mengaguminya?
Untukku, hubungan (apapun itu bentuknya) bukan hanya tentang rasa kagum, dan nggak harus selalu disandingkan dengannya. Butuh usaha dan kemauan untuk membangun suatu hubungan, bahkan dengan keluarga sedarah sekalipun.
2 notes · View notes
varaleoni · 8 months ago
Text
Wageningen | Sabtu, 12 Oktober 2024
Akhir-akhir ini hatiku gundah. Ada perasaan sedih dan kangen rumah menyelimuti hati. Biasanya saat sedih, orang rumah akan langsung memelukku hangat sambil bilang, “nggak apa-apa, kamu udah melakukan yang terbaik.” Sesekali dielusnya punggungku dengan lembut supaya lebih tenang.
Tapi di sini, aku diajak belajar untuk bisa mengolah perasaanku sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Tiap kali bersedih, aku hanya bisa menangis sambil recharge social battery di kamar. Menghabiskan waktu seharian untuk baca buku, bengong, menulis, dan sesekali main gitar.
Tanpa sadar kegundahan itu sudah aku tahan sepekan lamanya. Awalnya takapa, lama-lama lelah juga. Sampai akhirnya pagi ini orang rumah menelfon, dan bendungan itu pun runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Menyampaikan kerinduanku pada mereka.
Setelahnya muncul rasa lega dan bahagia. Ternyata aku hanya perlu mengakui kerapuhanku. Bahwa aku rindu, ingin menangis, dan butuh didengarkan. Mereka pun senang mendengar rengekanku. Katanya, itu membuat mereka merasa lebih berarti.
0 notes
varaleoni · 10 months ago
Text
Wageningen | Minggu, 25 Agustus 2024
Rasanya masih takjub dan sulit aku percaya. Bahwa akhirnya aku menulis kembali di platform ini, namun di lokasi yang berbeda. Bukan Bandung, Jogja, maupun Jakarta. Tapi Wageningen, Belanda.
Ada perasaan haru menyelimuti hati. Takjub akan rencana dan timing Allah yang amat sangat pas. Tidak terlalu cepat, dan tidak terlalu lambat. Meski realitanya babak baru hidupku ini penuh liku, namun aku percaya kalau rencana-Nya ini yang paling baik.
Bukan hal mudah menyesuaikan diri di tempat baru sendirian. Aku pun kembali diajarkan makna berdoa dan meminta pertolongan hanya pada-Nya. Tak lupa, dalam prosesku menyesuaikan diri, aku pun berdoa:
Semoga Allah berikan waktu dan kondisi terbaik untukku dan yang aku sayang kembali bersama di Belanda.
0 notes
varaleoni · 11 months ago
Text
Bandung | Senin, 22 Juli 2024
Beberapa bulan ini waktuku banyak terpakai untuk persiapan pra-keberangkatan studi. Salah satu yang paling menyita waktu, pikiran, dan tenaga adalah pencarian tempat tinggal. Gimana nggak, housing di Belanda lagi super duper limited. Belum lagi aturan terbaru mereka yang membatasi kesempatan para pelajar internasional.
Di tengah persiapanku yang penuh lika-liku, hari ini aku dapat notifikasi kalau (akhirnya) aku dapat tempat tinggal yang sesuai dengan preferensiku. Nggak terlalu dekat dari kampus, punya toilet dan dapur, ruangannya luas, dekat dengan masjid, dan dekat dengan pusat kota.
Padahal baru siang tadi aku menyeletuk, “Udah akhir Juli. Kayaknya di titik ini aku udah harus pasrah deh sama dimana dan gimana pun bentuk tempat tinggalku nanti. Nggak apa-apa idealismeku nggak sampai, yang penting bisa sampai dan tinggal dulu di sana.”
Bukan tanpa dasar, celetukan itu kulontarkan karena housing di sana pakai sistem ranking. Dan sudah beberapa waktu ini ranking milikku masih aja bertengger di angka 4-7, belum pernah menyentuh angka 1. Surprisingly, tempat tinggal yang aku incar ternyata lebih dulu ditawarkan kepadaku.
Pelajarannya? Memang benar ya, kalau jodoh itu nggak kemana. Apa yang udah Allah takdirkan, akan mendekati kita dengan cara apapun. Aku jadi kembali refleksi tentang hakikat berusaha dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. Kalau manusia memang wajib berusaha sambil terus melangitkan doa kepada Sang Pemilik Takdir.
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Kamis, 30 Mei 2024
Kita selalu berharap orang lain mengerti kondisi kita. Kita pemalu, nggak mau dipaksa. Kita blak-blakan, nggak suka dikekang. Kita tertutup, nggak suka orang yang berisik. Kita senang bersosialisasi, kesal saat ada orang yang pendiam.
Tapi, pernahkah kita berempati pada kondisi orang lain? Pernah nggak kita berpikir bahwa apa yang kita lakukan bisa jadi bikin orang lain nggak nyaman atau bahkan terganggu?
Kadang kita lupa kalau orang lain juga adalah manusia. Yang sama kayak kita, berharap bisa dimengerti sama orang lain. Yang sama kayak kita, punya sisi baik dan buruk.
Kalaupun kita nggak bisa atau nggak mau mengerti kondisi orang lain, semoga kita bisa belajar lebih menahan diri untuk nggak usik menghakimi dan berkomentar.
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Selasa, 7 Mei 2024
Terkadang kita hanya perlu menurunkan ego untuk bisa memahami orang lain.
Menyadari kalau sudut pandang, perilaku, dan kebiasaan kita nggak selalu lebih baik dari orang lain. Menyadari kalau nggak semua hal yang nggak sesuai dengan diri kita adalah sesuatu yang salah. Dan menyadari kalau standar benar-salah dan baik-buruk setiap orang bisa sangat beragam karena dipengaruhi banyak hal.
Karenanya penting untuk kita terus belajar mengasah rasa empati. Nggak perlu menasehati, jika tidak diminta. Nggak perlu protes, jika tidak punya solusi. Dan nggak perlu merasa paling benar, karena di luaran sana masih banyak orang yang lebih pandai dan bijak dari kita.
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Minggu, 7 April 2024
Beberapa waktu ini kembali belajar untuk memberi batasan diri. Bahwa nggak semua yang aku mau harus jadi milikku. Bahwa nggak semua yang aku mau juga baik untukku. Dan bahwa nggak semua yang aku mau patut aku perjuangkan.
Bersyukur karena dalam prosesnya aku banyak dikelilingi orang baik. Kak Dinda yang selalu meyakinkan kebingunganku. Maudy yang selalu menyemangatiku. Nurul yang tak henti menghujani aku dengan kalimat yang menenangkan.
Intinya, kalau satu hal ini nggak mau, nggak bisa, dan nggak patut diperjuangkan, udah, dilepas aja. :)
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Minggu, 31 Maret 2024
Semakin aku dewasa, keinginan untuk mengkomunikasikan sesuatu secara praktis jadi semakin besar. Daripada tarik-ulur dengan kondisi yang nggak menentu, aku lebih memilih untuk secara lugas menyampaikan isi hatiku. Tentu, sambil tetap berusaha menjaga norma dan etika.
Semisal saat aku nggak suka dengan cara kerja rekan kantor yang nggak sesuai business process dan jadi mengganggu alur kerjaku. Daripada kode / implisit sambil berekspektasi kalau dia akan sadar dengan sendirinya, aku lebih memilih untuk menguraikan titik masalahnya secara tuntas. Tujuannya supaya komunikasi ini bisa sampai ke ybs tanpa harus berbelit-belit. Udah, titik.
Tapi, aku juga sadar kalau cara ini nggak selalu bisa aku lakukan ke semua orang. Misal, orang yang baru aku kenal. Saat aku baru bertemu seseorang dan tertarik dengannya, timbul perasaan untuk jujur dan mengatakan “aku penasaran.” Sesimpel supaya orang itu tau, dan aku nggak perlu menghabiskan waktu lama untuk menerka-nerka: orang ini senang atau justru terganggu denganku?
Ada kekhawatiran kalau orang itu akan salah memahami kalimatku, karena kami belum cukup akrab. Ada juga kekhawatiran kalau dia justru terganggu bukan karena kehadiranku, tapi karena kalimat yang aku utarakan.
Jalan tengah yang pada akhirnya aku pilih saat merasa “kayaknya nggak etis deh kalau aku utarakan lebih dulu” adalah memberikan ruang pada sang waktu untuk menunjukkan jalanku: akankah seiring berjalannya waktu kami saling melupakan, atau justru dipertemukan di satu persimpangan jalan?
1 note · View note
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Minggu, 24 Maret 2024
Akhir-akhir ini ada satu jenis post di Explore Instagram yang cukup menggelitik untukku: posting tentang kegiatan mentoring beasiswa yang banyak diunggah ragam akun penyedia jasa mentoring dengan bunyi narasi “Kiat meraih skor substansi tinggi”, “Kiat lolos tes substansi dengan skor X”, dan lainnya.
Salah nggak sih? Hm, nggak juga. Tapi untukku narasi itu menggelitik.
Rasanya kurang elok untuk meng-kuantifikasi aspirasi seseorang jadi narasi seperti itu. Mungkin bagi sebagian orang narasi itu memicu semangat. Tapi bagiku, ada narasi yang lebih elok untuk disampaikan, semisal: ‘kiat memperkuat narasi rencana kontribusi pasca studi.’ Sehingga yang jadi patokan dari setiap tahapan seleksi bukan sekadar mengejar skor tinggi, melainkan untuk (secara baik) menyampaikan aspirasi yang jadi tujuan utama.
Pernah suatu kali aku ikut webinar gratis yang diadakan oleh salah satu penyedia jasa mentoring. Syok, itulah satu kata yang bisa menggambarkan perasaanku. Penyampaiannya baik, sangat baik. Sayangnya, hampir 80% dari narasi yang disampaikan adalah ajakan untuk bisa mengejar ambang batas aman skor.
Salah nggak sih? Lagi-lagi, nggak. Hanya saja aku punya kekhawatiran kalau semakin lama narasi ini bergulir, orang-orang jadi terlalu fokus menjalankan proses wawancara untuk mengejar skor tinggi, bukan untuk mematangkan rencananya.
1 note · View note
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Sabtu, 23 Maret 2024
Kata orang, lingkungan tempat kita bekerja akan jadi penentu gimana kita akan bertumbuh. Ada yang setuju?
Kalau aku, setuju banget. Dua tahun terakhir berkarya di kantorku saat ini, aku dapat banyak pelajaran berharga. Sebagai orang yang terbiasa cepat dan sat-set, bekerja di sini mengajarkanku untuk bergerak lebih santai sambil menikmati setiap aktivitasku.
Nggak hanya itu. Aku yang nggak enakan pun belajar untuk lebih terbuka dalam menyampaikan pendapat, karena managerku banyak memberi ruang untukku berpendapat.
Dan sebagai orang yang idealis, aku juga dihadapkan dengan banyak kondisi nggak ideal, yang pada akhirnya mengajarkanku untuk (1) belajar mempertahankan idealisme dengan mencari dasar yang jelas; juga (2) belajar mencari jalan tengah atas kondisi yang nggak ideal.
Nggak kerasa. Sebentar lagi aku akan berhenti, untuk melanjutkan studiku ke Belanda. Ada perasaan senang menyambut anak tangga selanjutnya dalam hidupku (re: studi). Tapi, ada perasaan sedih karena harus meninggalkan lingkungan yang sudah jadi tempat nyamanku selama beberapa tahun terakhir.
Semoga pasca studi, aku kembali dipertemukan dengan lingkungan kerja yang menyenangkan dan mendukungku bertumbuh jadi lebih baik. 🌻
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Minggu, 17 Maret 2024
Pernahkah kamu menginginkan sesuatu, tapi terlalu takut untuk menggapainya atau sekadar mengidamkannya?
Aku sedang di titik itu. Ada perasaan bahagia saat memikirkannya. Tak jarang harapan-harapan indah pun menyelinap dalam pikiranku. Namun terkadang, realita hidup menahanku untuk terus berbahagia. Memangnya boleh?
Dengan kondisi yang tak ideal ini, ada rasa bersalah menyelimuti hati. Rasanya, aku hanya pantas menerima kesendirian. Perayaan kebahagiaan seperti oase sesaat yang tak seharusnya bersanding denganku. Apa aku pantas merasakannya?
Di titik ini, aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Semoga hatiku senantiasa diberikan rasa cukup, dan dihindarkan dari perasaan bersalah yang berlebihan ini. Dan semoga diri ini senantiasa didekatkan dengan orang-orang tulus yang bersedia menerima apa adanya diriku.
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Jakarta | Kamis, 7 Maret 2024
Setiap kali bertemu orang baru, ada perasaan bahagia menyelimuti hatiku. Aku bergembira untuk menyambut pengalaman dan perasaan baru, membuka diri untuk cara pandang baru, dan mengosongkan ruang di dalam diriku untuk menerima input baru.
Sayangnya, sebagai seseorang yang mudah sekali overthinking, perasaan ini kerap dihantui oleh perasaan khawatir. Aku khawatir orang punya ekspektasi tentangku, aku khawatir orang tak bisa menerima aku sebenar-benarnya diriku, aku khawatir kondisi dan latar belakangku menghambat diri ini untuk bisa melebur.
Ada perasaan kecil dalam diri, dan perasaan ragu apakah orang lain mau dan bisa menerimaku. Layaknya Nemo yang tersesat di semudera nan luas, aku merasa kecil dan kebingungan: haruskah aku terus maju, atau mundur dan tetap berada di tempatku?
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Kamis, 11 Januari 2024
Semakin dewasa, aku semakin sadar kalau ada banyak sekali hal yang menurut kita kecil namun ternyata sangat berharga untuk orang lain. Karenanya, penting untuk berempati pada sesama supaya hati kita terbiasa untuk merendah. Rendah hati, ya, bukan rendah diri.
Saat orang lain berbahagia, terkadang kita lupa untuk mengekspresikan perasaan bahagia setulus-tulusnya. Atau sesimpel menyimak dengan seksama tanpa perlu menceritakan balik kisah bahagia kita. Atau yang lebih dalam, memberikan kalimat afirmasi positif yang membuatnya semakin senang merayakan kebahagiaannya.
Semoga hati kita senantiasa terjaga dan terbiasa berbahagia atas kebahagiaan orang lain, ya. Supaya Tuhan juga mendekatkan kita dengan orang-orang tulus yang mau berbahagia untuk kita.
0 notes
varaleoni · 1 year ago
Text
Bandung | Selasa, 5 September 2023
Terkadang, ada beberapa hal yang harus diperjuangkan dan tak boleh dilepaskan. Agama dan prinsip hidup, misal. Sesulit apapun aku menyelaminya, aku harus tetap bertahan.
Namun terkadang, ada beberapa hal yang harus diperjuangkan, diperbaiki, dan kemudian dilepas jika sudah tidak lagi sejalan. Semisal hubungan yang tak lagi sehat.
Untukku yang berasal dari latar belakang keluarga yang (menurut keumuman) tidak ideal, rasanya cukup traumatik membahas dan mendengar kata perpisahan. Seiring berjalannya waktu, perpisahan aku ilhami sebagai time out yang tak bisa aku hindari. Harus aku terima dan aku hadapi.
Di usiaku yang kini sudah tidak begitu muda, dengan kondisi dan statusku yang rumit, aku tak lagi punya alasan untuk meromantisasi kata perpisahan.
Di titik ini, aku hanya akan fokus untuk memperjuangkan apa yang sejalan dengan prinsipku, dan melepaskan hal-hal yang tak lagi sejalan dengannya.
0 notes