Text
Mulai Aneh Rasanya
24 Januari 2020
Pagi hari hujan turun dengan derasnya. Petir menggelegar dari pagi hingga siang. Namun ternyata, siang hari sudah cukup benderang. Kuucapkan selamat melaksanakan Sholat Jumat kepadanya. Hei, apa aku berlebihan? Aku ingin kembali menjadi manusia yang bisa membagi kasih sayangnya pada semua, termasuk keluarga dan teman. Bukan hanya pada satu orang.
Aku mencoba untuk menimbang-nimbang akhir pekanku esok akan kuberikan kepada siapa. Apalagi mengingat pekerjaanku sebenarnya masih segudang yang belum diselesaikan. Namun kurasa ada saudara yang belum sempat kukunjungi lagi setelah sekian lama. Apalagi mengingat bahwa aku akan kembali ke Jogja sebentar lagi. Bukankah aku salah? Tadinya aku berniat untuk mengunjungi temanku ini karena aku ingin mendengar kabarnya lebih jelas, apalagi kalau dari ibunya. Biasanya ceritanya lebih detail. Tapi kurasa, itu akan menjadi hal yang berlebihan. Mungkin aku akan muncul sebagai gulma yang justru mengganggu hari keluarga mereka. Jadi kuurungkan saja niatku, kurasa bersilaturahmi dengan yang masih jelas saudara justru lebih penting. Aku tidak ingin jadi aneh begini.
Kadang terbesit juga saat aku bertandang ke rumah temanku itu, apa tidak malu sebagi seorang perempuan justru menghampiri rumah lelaki dan orang tuanya? Tapi itu bukannya stigma sosial saja? Atau aku sudah mati rasa karena pikirku setelah aku beranjak dari Jakarta, kami pasti akan sangat jarang bertemu. Aku tahu saat ini aku berada di posisi yang lebih bugar untuk berjalan-jalan, jadi kurasa boleh saja kalau berkunjung ke sana. Lagian selama ini aku selalu diizinkan oleh orang tua. Tapi setelah aku mengantongi izin dari ibu dan telah menyelesiakan urusan keluargaku dulu, baru kemudian aku ke sana lagi. Aku harap dia bisa ke Jogja, sekedar untuk bermain saja, sepertinya akan jenuh baginya untuk hanya di sana 5 bulan ke depan. Tidak apa jika tidak menemuiku. Tapi kurasa itu hal yang belum dapat dipastikan dengan melihat kondisinya. Dia juga harus menyelesaikan segala urusannya di Bandung. Kurasa aku harus mengecilkan harapanku dan egoku. Ah, memang menjadi sabar sepertimu adalah hal yang susah, ya.
Pagi hari aku katakan padanya, bahwa ia sama seperti keponakanku yang saat ini sedang dalam masa membutuhkan protein dan vitamin dalam jumlah yang tinggi. Kurasa tidak apa-apa bukan, jika aku menyarankannya mengonsumsi hati sapi? Mungkin itu akan lebih baik.
Tidak kusangka ternyata siangnya dia mengadvokasikan saranku itu kepada ibunya. Baik, aku cukup senang walaupun tidak berbuah manis. Setidaknya dia mendengarku. Kurasa setelah sekian lama kumengenalnya, tidak mudah untuk dapat didengar olehnya. Maka ini menjadi salah satu pencapaianku. Sang ibu bilang bahwa dalam ingatan beliau, hati sapi saat kurban ada cacing yang ikut serta mewarnai hati tersebut. Semenjak itu, sang ibu tidak pernah mau membeli hati sapi. Anaknya pun dikatakan demikian. Padahal sang anak bilang bahwa hati sapi enak, tapi tetap saja tidak diberikan. Ibunya memang sangat mengedepankan higienisitas di atas segala hal. Sama seperti ibu-ibu pada umumnya. Sangat serupa dengan ibuku. Ibuku sudah lama sekali tidak pernah membeli hati sapi. Sepertinya ibu merasa kecewa dengan kolestrol yang diperolehnya. Tapi persoalan cacing hati? Seingatku ibu jarang membahasnya. Ibu tipikal orang yang bisa memilih dan memilah kualitas makanan dengan baik dan cekatan. Beliau sangat teliti terhadap segala hal, apalagi kalau yang berkaitan dengan keluarganya.
Maka aku menurut saja, aku bilang pada temanku bahwa kita bisa mencari sumber protein dan vitamin yang lain. Lagian pikirku, kalau hati sapi pasti hanya dia dan kakaknya yang akan memakannya. Karena tentu saja ornag tua sudah tidak diizinkan mengonsumsi jeroan, baik itu hati, jantung, maupun paru.
Dia sempat berkata, sebenarnya tidak apa-apa mengonsumsi makanan-makanan seperti hati sapi, yang penting adalah cara memilihnya. Dan kebetulan ia tidak tahu caranya. Maka aku berikan tipsku padanya terkait pemilihan hati sapi:
1. Dipotong di toko tersebut sehingga masih segar dan tidak beku;
2. Warnanya merah bata merata;
3. Tidak ada guratan putih ataupun bolongan;
4. Ujungnya lancip dan tajam, bukan tumpul atau bergeronjal;
5. Baunya pun masih segar;
Yap, itu mungkin tips yang sangat subjektif, namun hal itulah yang paling bisa digunakan untuk membedakan hati sapi antara yang sehat dan kurang sehat. Depot daging atau Rumah Potong Hewan (RPH) menjadi salah satu tempat yang dapat digunakan untuk mencari hati sapi terbaiknya. Tapi katanya, selama ini kalau membeli di Pasar dekat rumahnya di Kota Bekasi pun sudah merupakan perpanjangan tangan kedua dari penjualan di rumah potong. Maka kalau tidak yakin, kurasa tidak perlu dipaksakan untuk mengonsumsinya. Dan aku yakin dia bukan tipe yang akan bersikeras menginginkan sesuatu hanya dari cerita orang lain. Dia pasti menuruti ibunya. Ingin kubilang padanya, turuti saja ibumu, pasti itu yang paling baik. Karena pengalaman yang sebelumnya pun, ia tidak sejalan dengan pendapat ibunya terkait indekosnya, dan berujung dengan kejadian mengejutkan yang menimpanya saat ini. Kurasa dengani tu sebaiknya dia sudah memahaminya. Namun tidak jadi kuucapkan karena aku tidak mau membahas lagi hal yang tidak mengenakkan. Tidak ingin rasanya menghancurkan semangatnya yang sudah kembali bangkit.
Malam hari pun tiba, dan dia bercerita bahwa ia sedang mengerjakan CV untuk kakaknya. Baguslah, artinya dia sudah kembali pada kegiatan normalnya. Semoga ia terus dapat mempertahankan semangatnya. Kemudian karena aku tidak ingin mengganggunya, kuputuskan untuk pamit mendahului, dan kuucapkan selamat malam padanya. Aku masih merasa ada yang aneh padaku.
0 notes
Text
Hasil Bagi Rapornya
23 Januari 2020
Katanya hari ini dia akan mengambil rapor kesehatannya di RS Permata. Demi hasil rapor yang baik, dia makan sudah seperti sapi. Banyak, cepat, dan bergizi tinggi mungkin maksudnya. Senang mendengarnya. Tapi bukannya semalam dia tidur di atas jam 10 malam? Apa sekarang dia kurang tidur?
Pagi hari kusapa ia dengan lebih bersemangat. Berharap bisa menularkan semangatku padanya tapi kutahu dia pasti tidak butuh itu karena dia selalu bersemangat. Aku kadang masih saja sedih kalau mengingat-ingat ujain yang tenagh dihadapinya ini. Tapi kalau berbicara dengannya, sepertinya smeua seakan sudah tak dirasa olehnya. Walau pasti terasa berat sebenarnya.
Tamu Semalam
Lalu kutanyakan padanya, tentang tamu yang sampai jam 11 malam meramaikan rumahnya. Ia dan keluarganya sepertinya sangat senang bertemu dengan tamu ini. Kadang setelah mengirimkan pertanyaan-pertanyaan ini, aku suka menyesal kenapa aku selalu ingin tahu. Tapi menurutku keterbukaan informasi itu penting. Ketika aku siap dimarahi olehnya, tak kusangka dia justru membeberkan beberapa hal tentang tamunya semalam.
Dia bilang itu adalah teman kakaknya yang baru lulus dari S-2 Psikologi di Universitas Indonesia. Katanya snag ibu juga memberikan bingkisan kepada temannya itu. Saat itu aku belum tahu ada berapa orang yang mengunjungi rumahnya. Tapi yang kutahu kakaknya juga bersekolah di sana. Isa resmi lulus dan bergelar profesi Psikolog pada akhir Agustus 2019 lalu. Dua bersaudara ini memang sangat rajin dan pintar. Aku kadang merasa minder ketika berkunjung ke rumahnya dan melihat banyak buku dan piala bertengger di raknya. Mereka dilatih untuk menjadi pribadi yang tidak bergantung pada orang lain dan gigih serta tekun dalam berpendidikan. Apalagi mendengar cuplikan perjuangannya. Betapa keluarga ini berusaha keras memperjuangkan pendidikan yang berkualitas tinggi untuk anak-anaknya.
Sang Ibu pernah bercerita tentang seberapa besar dia mengharapkan jodoh untuk si kakak agar datang segera. Sang kakak selalu meng-Amin-kan ucapan ibunya. Kurasa itu respon yang baik. Teruslah meminta kepada-Nya, Dia yang tahu segala jawaban terbaik untuk hamba-Nya. Lalu saat kutanya lebih lanjut, si adik masih memberi jawaban lagi kali ini sedikit lebih ringkas.
Katanya temannya datang pukul 8 malam dan terus saja mengalir berbincang hingga pukul 11 malam. Kurasa itu malam yang sangat menyenangkan bagi keluarga itu. Aku sebenarnya sangat ingin mendengar kabar yang lebih lengkap dari keluarga ini. Memang untuk memperolehnya lebih baik berbicara langsung dengan keluarga ini daripada menanyakan via dunia maya.
Sang adik juga memberikan foto kejadian semalam padaku. Semua yang ada di foto tersenyum dan berdiri saling berdekatan antara satu dengan yang lain. Dia berdiri paling depan, kakaknya dan ibunya berada di belakang sang adik. Kakaknya bersebelahan dengan seorang pria berkacamata yang juga berdiri bersampingan dengan sang kepala keluarga. Lalu di belakang, masih ada lagi seorang pria yang berwajah agak berisi, sepertinya berpostur lebih besar dari pria yang bersebelahan dengan si kakak. Kakaknya terlihat berbeda dengan gaya kerudung yang baru. Kedua pria itu katanya adalah teman dari kakaknya. Lalu aku tanyakan saja, atau mungkin ada salah satu yang berstatus “teman”? Dan si adik pun hanya tertawa, menyuruhku melihat progres lebih lanjut kedepannya. Baiklah, ternyata ini tamu yang dengan tangan terbuka disambut walau malam pun tiba. Tadinya aku pikir tetangga, makanya berani pulang malam. Ternyata ‘teman kakaknya’. Haha, baguslah aku turut bersyukur dan bahagia.
Bagi Rapor
Siang pun tiba, dan saatnya untuk mengambil rapor di RS Permata depan kompleknya. Kini aku tidak perlu lagi bertanya ‘naik apa?’, karena jawabnya sudah pasti naik kaki. Dari rumahnya menuju RS Permata hanya berjarak 550 meter. Yah, andai Grab Wheels bisa sampai ke perumahan. Akan seru sekali sepertinya.
Lalu kutanya padanya ia akan berangkat jam berapa, katanya jam 1 siang. Namun ia baru tiba di lokasi pada pukul setengah 2 siang. Tentulah perjalanan diawali dengan makan siang dan minum ‘vitaminnya’ terlebih dahulu. Pyrazinamide, adalah vitaminnya untuk siang hari. Lalu sekitar menjelang Ashar, pesanku dibalas lagi olehnya. Katanya rapornya sudah membaik. Hemoglobin dan trombositnya sudah meningkat, walaupun leukositnya masih di bawah normal. Tapi leukositnya sudah meningkat jika dibandingkan ketika dulu ia baru keluar dari rumah sakit.
Sepertinya dia langsung mengantuk setelah berjalan 1.1 km pulang pergi dengan rute RS Permata – rumahnya. Maka kemudian aku membiarkannya memanfaatkan waktu luangnya untuk beristirahat. Lalu kuketikkan keyword, “Cara meningkatkan leukosit”, “Proses pembuatan sel leukosit”, “Vitamin yang mempengaruhi Leukosit”, dan berbagai cara lainnya untuk dapat mempelajari jenis-jenis makanan yang dibutuhkan dalam meningkatkan leukosit.
Vitamin B6, B12, asam folat, dan zinc menjadi jawabannya. Perolehannya macam-macam, bisa dari the hijau, kacang-kacangan, biji—bijian, hati sapi, daging sapi, ikan salmon, ikan tuna, kuning telur, dan banyak lagi. Setelah kucek pengaruh vitamin terhadap makanan-makanan tersebut maka kusarankan beberapa diantaranya kepada temanku ini yang belakangan didiagnosa TBC ekstra paru.
Lalu malamnya kutanyakan tentang kabarnya. Katanya dia sehat, hanya lebih letih karena baru saja berjalan lagi di bawah teriknya siang setelah berhari-hari tidak berjalan. Maka aku mencoba menyarankannya untuk tidur segera.
Ibu yang Khawatir
Tiba-tiba ibu meneleponku, menanyakanku tentang kabar temanku ini. Katanya, beliau menyarankan agar temanku menggunakan masker di rumahnya agar menghindari terjadinya penularan pada anggota keluarganya atau siapa saja yang bertamu di rumahnya, karena bisa saja sedang berdaya tahan tubuh rendah. Ibu bahkan mengirimkan jurnal tentang cara mengidentifikasi TBC dari segi medis. Maka aku menanyakan hal tersebut kepada temanku ini.
Katanya, dia tidak menggunakan masker karena masker hanya digunakan saat bersin ataupun batuk. Dia terserang TB kelenjar yang mana sama sekali tidak menyebabkannya batuk maupun bersin. Sedikitpun dia sama sekali tidak bersin dan batuk sejak awal. Dia bercerita bahwa untuk memitigasi terjadinya penyebaran, maka ia memisahkan alat makan dan sikat giginya dengan alat makan dan sikat gigi personil keluarganya yang lain. Bukankah sebenarnya itu tidak perlu? Namun katanya, lebih baik mencegah daripada mengobati. Ya, kurasa dia tahun lalu juga mengatakan itu padaku. Semoga kali ini usahanya berhasil. Lalu kuceritakan hal ini kepada Ibu. Ibu sepertinya sudah lebih memahami sekarang bahwa TB ekstra paru tidak menular melalui bersin dan batuk, seperti pada TB paru.
Kuceritakan juga kepada ibu bahwa saat ini kondisinya masih dengan leukosit yang kadarnya rendah. Ibu tidak membalas apapun pada kabar yang kuberikan. Sepertinya ibu tetap menyerahkan padaku jika aku ingin memberi saran kepada temanku, maka itu akan menjadi tanggung jawabku. Maka aku juga tidak meminta saran apapun dari Ibuku. Dan malam pun berakhir dengan ucapan selamat malam dariku.
0 notes
Text
Harinya yang Mulai Produktif
22 Januari 2020.
Tiba-tiba aku malu sendiri melihat karya-karyaku ini. Sudah 24 tahun dan sepertinya tidak ada perubahan padaku, masih saja malu dengan diri sendiri. Rasanya aku ingin membenci orang-orang yang membaca karya-karyaku ini. Masih menjadi momok terberatku, kenapa aku tidak bisa bangga pada diriku sendiri? Padahal, buat apa ditulis kalau bukan untuk dibaca? Ah, lagi-lagi. Pikiran ini yang selalu menghambatku embracing myself. Aku jadi kadang tidak produktif. Namun bertolak belakang dengannya.
Pagi hari aku menyapanya. Untuk memulai aktivitasnya, dia harus mengawali dengan berjemur sinar matahari. Walaupun hari ini pun masih saja mataharinya mengecewakan. Sendu sekali belakangan ini cuacanya. Tapi sepertinya dia sudah tidak begitu mengeluh. Katanya dia akan mengurangi waktu berjemurnya jika mendung. Yap, itu adalah keputusan yang benar karena sinar matahari yang mendung justru mengandung UVB, yang jika terpapar banyak akan menjadi pemicu timbulnya keriput.
Siang hari, dia memberiku kabar baik bahwa kini blog pribadinya sudah dapat diakses dengan domain baru yang dibelinya seharga Rp80.000,00 untuk setahun. Katanya ia membeli di Id Web Host. Ah, masih ingin aku sebenarnya mempelajari teknologi secara lebih dalam. Bagus, aku salut dia segera merealisasikan keinginannya. Anggapnya lebih keren jika domain-nya langsung berbunyi .com tanpa embel-embel blogspot. Semoga semakin meningkatkan semangatnya, ya. Lalu kucoba saja membuka blog pribadinya dan benar saja semua sudah rapi kembali, seperti hanya berganti bungkus.
Dia memang kadang tertutup terhadap orang-orang terdekatnya sekalipun. Harus ditanya dulu baru mau bercerita. Bahkan kadang kutanya saja dia tetap tidak menjawab dengan jujur dan jelas. Maka kadang memang harus bertemu untuk mengulik kejadian-kejadian sebenarnya yang tidak mau ia tuliskan. Tapi, ketika dia menuliskan karyanya. Dia menyuguhkan setiap detail perhatiannya pada karyanya. Karyanya berbicara. Dan dia berani sekali membagikannya kepada khalayak publik. Sangat berbeda dengan dia yang tidak terbuka pada orang-orang terdekatnya walaupun itu tentang dirinya sendiri. Aku masih bingung kadang dalam menanggapi ini walau kutahu keberaniannya menunjukkan karya adalah suatu hal yang patut dicontoh.
Sore hari, kutanyakan kembali padanya tentang progres pengajuan cutinya. Sekaligus menawarkan bantuan walau aku tahu dia pasti menolaknya. Ya, aku paham. Siapa manusia yang senang merepotkan orang lain. Kurasa human nature kita adalah menyelesaikan masalah kita sendiri. Katanya sang dosen wali sudah mem-forward-kan pesannya kepada ibu Tata Usaha di PWK ITB. Baguslah, semoga itu menjadi salah satu kabar baik yang akan berujung positif.
Selain itu, dia bercerita bahwa esok hari akan kembali check up ke RS Permata dan menemui dokter yang sama. Dia akan meminta surat keternagan dari dokter terkait penyakitnya untuk menjadi bahan surat cuti dan memeriksakan progres peningkatan kesehatannya pasca terserang Demam Berdarah Dengue (DBD). Katanya karena sewaktu pulang lalu masih memiliki rapor merah dengan haemoglobin trombosit, dan leukosit rendah, maka ia harus memastikannya esok bahwa semuanya sudah lebih baik.
Malamnya, aku menghilang sejenak karena menontong suatu serial film. Kupikir kita perlu jeda. Lalu pukul 10 malam kuucapkan selamat malam padanya karena kutahu jam tidurnya telah berhasil berubah. Namun dia bilang belum tidur karena masih ada tamu. Bahkan jam 11 baru sang tamu berpamitan dari kediamannya.
Siapa tamu itu? Kenapa harus larut malam? Kenapa keluarganya tidak keberatan dengan dia yang masih kurang sehat namun jadi kurang beristirahat?
0 notes
Text
Hobi yang Menyembuhkannya
21 Januari 2020
Pagi hari kulihat dia membuka Whats App pukul 2 pagi. Katanya, dia ingin buang air kecil. Sepertinya sudah mulai normal sistem ekskresi-nya. Pagi hari sekitar pukul 7 pagi, matahari masih saja malu-malu untuk unjuk gigi. Kurasa akan mendung lagi. Maka aku mencoba mencari tahu melalui internet, kira-kira hal apa yang dapat menggantikan nutrisi matahari ketika mendung. Jawabannya memang tidak ada yang sangat persis kandungannya. Namun, vitamin D yang diperoleh dari sinar matahari dapat disubstitusi dengan mengonsumsi hati sapi, ikan tuna, salmon, minyak ikan cod, olahan susu, yoghurt, dan kuning telur menjadi beberapa alternatifnya.
Masih ‘anget-anget kuku’
Bahkan sudah terkena sinar mataharipun, tetap dianjurkan untuk menambahkan kandungan vitamin D dalam tubuh dengan mengonsumsi makan-makan sebagaiman disebutkan di atas. Kekurangan vitamin D dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang, seperti yang terjadi pada badan bungkuk (kifosis). Dia bilang, “Oh iya juga ya, salmon ya”. Tapi aku yakin ibunya pasti sudah lebih tahu. Dalam alam pikirku masih suka ada pemikiran yang mengatakan bahwa sebaiknya aku tidak banyak ikut campur, tapi aku mau tau, aku mau turun tangan. Maka aku akan terus saja mengganggunya, mengirimkan berbagai hal yang akan mendukung kesehatannya. Terlepas dia akan menggubrisnya atau tidak.
Berjemurnya di pagi ini hanya “anget-anget kuku” katanya. Padahal dia sudah setotal itu dalam bergaya. Dengan berhias kacamata, tanpa sehelaipun kain penutup badan, namun masih menggunakan celana se-lutut. Semangat sekali dia, aku salut. Lalu selepas berjemur, masi kugoda saja, kusarankan padanya untuk tidur. Namun sepertinya dia bosan tidur terus sejak seminggu lalu.
Dia dan hobinya
Dia bahkan berkata, ingin memperbaiki website gubahannya, Padu Padan Kata. Awalnya menggunakan CMS Blogspot, namun kemudian dia beride untuk memindahkan CMS-nya menjadi Wordpress dan membeli domain untuk kemudian mengubah namanya menjadi padupadankata.com. Aku senang dengan semangatnya.
Sejak berbincang-bincang dengan ibunya pada tahun 2019, saya selalu diceritakan bahwa dia pandai menulis. Baru Jumat lalu saat saya berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguknya, sang ibu bercerita bahwa anaknya sudah terlihat bakatnya sejak kelas 4 SD. Katanya, ketika les bahasa inggris di ILP, guru bahasa inggrisnya menemukan bakat sang anak yang ketika menulis bisa bergaya padat namun berisi dan bercerita banyak. Kata sang guru, anak sang ibu ini memiliki bakat yang sangat potensial untuk dikembangkan. Lalu sang ibu beride untuk mengajak sang anak mengikuti konferensi di Bobo yang saat itu mempersyaratkan pengiriman tulisan di awal. Pernah kudengar cerita ini darinya, ada 4 kali dia mencoba. Dan dia lolos di tahun 2006, kalau tidak salah saat itu sedang pasca gempa Jogja sehingga tema yang diusung pada saat konferensi adalah terkait bencana. Persyaratannya adalah membuat karya tulis terkait tema yang diusung di tahun tersebut. Tentu saja aku sangat geli saat mendengarnya. Gigih sekali dia sejak kecil.
Lalu aku mencoba membalas cerita sang ibu, dengan bercerita tentang anaknya yang kukenal sejak kuliah. Kami sempat memiliki satu tujuan program kemahasiswaan yang sama, yaitu AIESEC. Suatu komunitas yang membahas tentang kegiatan non-akademik di lingkup mahasiswa internasional. Kami sama-sama mendaftarkan diri menjadi bagian dari kegiatan tersebut dan lolos di seleksi administrasi (pengajuan proposal berbahasa inggris) serta wawancara (dilakukan dalam bahasa inggris dan bahasa Indonesia). Sayangnya nasib kami berbeda, saya lolos dan teman saya tidak. Kemudian saya ceritakan kepada sang ibu, bahwa saya menanyakan kepada kakak senior yang di AIESEC terkait alasan mengapa teman saya ini tidak diloloskan. Menakjubkan sekali jawabannya, dia bilang bahwa proposalnya termasuk menjadi proposal yang terbaik. Jawabannya bagus dan berbobot, dia terlihat berwawasan luas dalam tulisannya. Namun, ketika dia bertemu dalam tahap wawancara dengan temanku ini, katanya ia merasa ragu. Sang kakak yang saat itu ikut berbincang dengan ibunya dan saya, pun langsung tergelak. DIa tertawa karena dia sangat setuju dengan pendapat orang yang saya ceritakan itu. Dia bilang, untuk skill public speaking adiknya masih sangat kurang di masa itu, namun untuk skill menulis dia memang sangatlah unggul. Namun, aku turut menambahkan bahwa semasa ia ujian skripsi, akupun melihat bagaimana presentasinya. Berjalan baik menurutku, setidaknya jauh di atasku. Kakaknya pun sepakat, bahwa adiknya berlatih dengan pengalaman-pengalamannya berjejaring di komunitas dan organisasi. Aku senang aku bisa melihat prosesnya dan mengetahui faktanya bahwa dia menekuni hobinya sejak ia masih usia 10 tahun. Karena itulah, tak perlu disarankan, tapi pelipur lara untuknya pasti adalah dengan menulis.
Lalu tiba-tiba semenjak siang hingga sore menjelang Maghrib, dia menghilang. Tidak lagi berkabar denganku. Kupikir ia tertidur. Tenyata dia ber-laptop ria. Aku tahu, pasti dia sangat merindukan laptopnya yang sudah seminggu lebih tidak disentuh olehnya. Mari kita nantikan saja prakatya mengejutkannya yang ia lakukan dengan laptopnya.
0 notes
Text
Mulai Terlihat Membaik
20 Januari 2020
Tulisan ini seharusnya dituliskan pada Senin malam atau Selasa pagi. Tapi terus saja lagi-lagi aku menunda sampai hari Kamis. Susah sekali disiplin, ya.
Hari Senin, pagi hari dia berjemur lagi. Kurasa ini sudah hari keduanya dia berjemur. Namun sayang sekali, matahari tidak gagah berani menampakkan dirinya di pagi hari itu. Dia berjemur di depan pagar rumahnya dengan tujuan kesehatan. Sinar matahari di daerah tropis seperti Indonesia memiliki manfaat yang sangat baik untuk membunuh kuman dan virus. Tubuh manusia pada dasarnya memang memerkukan sinar matahari untuk memproduksi citamin D. Sinar ultraviolet dari matahari yang mengenai kulit akan membantu pembentukan vitamin D3 atau previtamin D dalam jumlah banyak. Yang mana vitamin D3 ini kemudian akan diolah oleh hati dan ginjal menjadi vitamin D aktif.
Berjemur membuatnya mengantuk. Tapi itu karena rapornya yang masih merah sepulang dari rumah sakit. Dia bilang hemoglobin, leukosit, dan trombositnya masih di bawah normal. Maka dari itu, dia merasa mudah lelah dengan kegiatan fisik yang dilakukannya. Tapi katanya, esok hari dia akan menggunakan metode baru. Tidak menggunakan penutup badan apapun. Jadi dia berjemur dengan hanya berbekal kacamata dan celana se-lutut.
Mulai Bercanda
Setelah berjemur, dia tertidur cukup lama sepertinya. Sampai siang bangun lalu makan siang dan dilanjutkan tidur lagi hingga sore menjelang Maghrib. Tapi kurasa dari bahasanya, dia sudah nampak ikhlas dalam menerima ujian ini. Kuliha-lihat dia semakin semangat.
Sejak mengawali sarapan sudah kusapa dia. Kutanyakan mana yang lebih dulu, lemon atau vitaminnya (dia menyebut obatnya sebagai vitamin). Lalu katanya kemonnya dulu sebelum jam 7 dilanjutkan dengan sarapan dan minum metham. Dia sebut si Metham ini sebagai ‘Mbak Metha’. Baiklah, tapi itu cara yang bagus untuk membuatku menghafal.
Aku ceritakan padanya bahwa saat aku melakukan jalan pagi menuju kantor, aku berpapasan dengan Babe RI-2. Wajar saja, rumah dinasnya persis di seberang kantorku. Lalu dia sudah bisa bercanda, dia bilang bahwa Babe RI-2 mulai jarang terlihat di TV. Mulai tercium bau-bau bahwa dia akan menjadi seperti Boediono.
Ketika siang hari tiba, ada teman kantor yang mengirimkan sebuah screenshot agenda direktorat yang cukup aneh. Sangat tertegun aku membacanya, “Besok Sudud ganti vitamin!!”. Agenda tersebut memang pernah aku cantumkan di Google Calendar pad atanggal 13 Februari 2020, namun aku tidak menyangka bahwasannya agenda tersebut justru aku masukkan dengan menggunakan e-mail direktorat, dan bukan e-mail pribadiku. Sontak langsung kuhapus saja catatan itu dari agenda. Teman0teman di kantor sudah sibuk bertanya-tanya siapa yang melakukan hal itu. Ada yang tertawa, menghina, bahkan sampai menuduh terduga tak bersalah. Lalu aku tetap memilih untuk diam. Kurasa ini hal yang tidak penting untuk diklarifikasi. Aku menceritakan itu kepadanya dan dia tertawa, berkata bahwa aku berbahaya. Hehe, aku senang walau itu tidak bermutu dan menggelikan.
Lalu karena aku masih penasaran dengan daur hidupnya belakangan ini, maka kutanyakan saja rutinitasnya sehari-hari.Katanya ia mandi sehari sekali, hanya setiap setelah berjemur. Mandinya pun menggunakan air panas (bukan air hangat) katanya. Dia hebat, sekarang mulai bisa berlagak debus. Kutanyakan lagi tentang aktivitasnya saat berjemur, dan tentu jawabannya masih sama dengan yang dulu. Dia tidak melakukan apa-apa. Namun baginya, dia tetap tampan ketika berjemur. Baiklah, kurasa aku hanya perlu meng-iyakan.
Kubilang padanya potongan rambutnya cukup bagus belakangan ini. Saat Jumat lalu aku menjenguknya, dia tampak begitu proporsional dengan potongan rambut yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Sedikit jabrik jabrik di bagian belakang karena banyak berbaring menghadap langit-langit kamar. Namun katanya, 3 minggu lagi mungkin rambutnya sudah akan menjadi gembul karena dia berambut sedikit ikal. Aku tidak sabar menantikan itu sebenarnya.
Proses Cuti
Sore hari pun datang dan aku memberanikan diri untuk menanyakan progres pengajuan cutinya. Awalnya masih merasa tidak enak karena ditakutkan dia akan bersedih jika membahas ini, tapi kurasa rasa ketidak-enakan ini harus diperangi. Benar saja, dia baik-baik saja ketika menjawabnya. Dia bercerita bahwa dia sudah memberitahukan dosen walinya terkait kondisinya dan niatannya untuk mengambil cuti. Namun, sang dosen tak kunjung membalas. Namun ia sudah menelepon bagian tata usaha PWK ITB untuk menanyakan proses-prosesnya.
Monev bulanannya melalui sistem CRM LPDP sudah diselesaikan olehnya. Aku tahu itu pasti hal yang mudah untuknya menuntaskan. Mendengar kabar progres pengusulan cutinya, sempat beberapa kali aku ingin mengajaknya main untuk membebaskan belenggu pikirannya dari berbagai kejadian mengejutkan yang dialaminya belakangan ini. Walau seringkali aku lupa, dia belum sebugar seperti yang terlihat di obrolan Whats App. Lalu aku semangati
Taman Laguna
Hari ini sebenarnya bertepatan dengan berpulangnya Dokter Joserizal Jurnalis, pendiri organisasi kemanusiaan di bidang medis: Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C) ke Rahmatullah, Malam harinya dia bercerita bahwa ternyata rumah Almarhum terletak di belakang komplek Taman Laguna, Cibubur, Kabupaten Bekasi. Pantas saja Almarhum disemayamkan di Masjid Silaturahim yang terletak di dekat komplek perumahannya. Aku menanggapi dengan berkata bahwa Komplek Taman Laguna dan Raffles Hills banyak public figure-nya. Ada Almarhumah Jupe dan Almarhum Soetopo Humas BNPB di Raffles Hills, serta Wakapolri, Direktur PT ADHI Karya dan Direktur PT WIKA di Komplek Taman Laguna. Bahkan ada sebagian dari mereka yang se-RT dengan temanku ini.
Dia kembali berseloroh, katanya rumah Wakapolri bahkan memelihara monyet di bagian depannya. Unik sekali memang penghuni-penghuni Taman Laguna ini. Tadinya mau kutambahkan juga, bahwa tetangga temanku bahkan memelihara nyamuk, tapi sepertinya itu justru akan menyakitinya, jadi kuurungkan kelakarku itu untuk kuucapkan. Lalu aku menyinggungnya, bahwa ada juga ketua Komunitas Petarung yang tinggal di sana. Maksudku, dialah orangnya. Dan dia hanya membenahi pernyataanku, “kan mantan”, begitu katanya. Yah, tidak lucu kalau diceritakan lagi. Baiklah, mungkin memang perumahan ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang hebat. Dia-pun dengan segala ujiannya, bisa menjadi salah satunya. Lalu kuakhiri percakapan kami dengan mengucapkan selamat malam padanya.
0 notes
Text
Masih Perlu Istirahat
19 Januari 2020
Aku bermain lagi. Padahal aku berencana untuk tetap di indekos dan membuat jahitan perdana kebaya milikku. Namun prioritasku berubah ketika temanku bilang aku dinantikan oleh seorang temanku yang sudah lama tak kunjung kutemui semenjak dia hamil. Dan karena dia sedang menjadi ibu hamil, maka aku tidak kuasa untuk menolak permintaannya. Akupun menyingkirkan lagi egoku karena aku merasa tidak enak hati.
Pagi hari aku masih mencari kabar darinya. Dia menyapaku dan berkata bahwa tidurnya sudah lebih nyenyak. Dia punsudah memulai ritual barunya sesuai anjuran dokter: sunbathing. Dokter menyarankan untuk melakukan hal tersebut pada kisaran waktu pukul 7 pagi hingga 1 siang untuk membunuh kuman-kuman serta bakteri yang bersarang di tubuhnya. Kurasa kini aku belajar lagi tentang arti pentingnya bersosialisasi di luar rumah. Sedikit obrolan dengannya menjadi penyemangatku di pagi hari. Membayangkannya berjemur di pagi hari sangat membuatku terhibur. Kutanyakan padanya apa starter pack yang harus ia kenakan saat sunbathing. Dia menjelaskan bahwa ia mengenakan singlet, celana selutut, dan kacamata hitam. Tak lupa ia membalurkan minyak telon untuk mencegahnya dari hisapan para nyamuk nakal. Dia berjemur tepat di depan pagar rumahnya sambil terbengong-bengong 30 menit lamanya. Geli sekali aku membayangkannya.
Dia sudah cukup eksentrik sedari awal aku mengenalnya. Zaman kami kuliah, dia selalu bepergian dengan sepedanya. Selama 4 tahun lamanya! Itulah hal pertama yang membuat aku salut dengannya. Di kala banyak anak lain memilih dan dipilihkan oleh orang tuanya untuk menggunakan motor, namun anak ini justru dipilihkan untuk menggunakan sepeda. Dan ia menuruti perintah kedua orang tuanya itu sedari awal ia kuliah hingga masa kelulusannya tiba. Saat lulus pun, ia membawa sepedanya untuk berfoto dengannya.
Namun bukan berarti dia tidak bisa menggunakan motor. Dia justru berupaya hingga 4 kali untuk memperoleh SIM C-nya secara jujur. Walau akhirnya dia harus menggunakan jalur kotor pada kali ke-5-nya ujian karena sudah di ambang batas kesabarannya. Aku bukan orang yang bisa konsisten, oleh karena itu hal seperti ini sangat membuatku terkesan. Sejak awal aku tahu, aku harus banyak belajar darinya.
Baiklah, kurasa berjemur untuk 9 bulan lamanya menjadi salah satu hal yang juga patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya. Dia harus memulai suatu hal baru untuk menguasai rasa malunya. Kurasa ini bahkan lebih berat daripada berlatih teater. Aku pun belum pernah dihadapkan dengan jalan yang mengharuskan aku untuk mengendalikan rasa maluku. Aku salut dengan jerih payahnya untuk dapat sembuh.
Katanya, rasanya nikmat sekali seperti kerasukan lingkungan hidup. Yang kalau semakin lama dilakukan, mungkin saja dia bisa menjadi seperti Greta Thunberg. Hei, aku terkekeh mendengarnya. Masih saja dia melucu di kala ia sedang didera ujian kepercayadirian ini.
Sebagai intermezzo, aku menanyainya tentang bagaimana respon teman-teman kuliahnya yang tidak melihatnya masuk kelas. Katanya, mereka semua santai, tidak ada yang menyadari kejanggalan ini. Memang, anak ini pandai sekali berkamuflase.
Selepas berjemur, katanya ia tertidur pulas sampai sore hari datang dan ia menjalankan ibadah wajibnya. Sementara aku, masih saja berada di luar bersama teman-temanku yang lain. Lagi-lagi gagal melaksanakan rencanaku yang ingin pulang sore sebelum maghrib. Kami justru baru kembali ke Kota Jakarta pukul 5 sore, padahal perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam.
Malam harinya, aku bertegur sapa lagi dengan temanku. Setelah bercanda beberapa kali, lalu kami mencapai pembahasan serius. Tentang kuliahnya, dia megaku bahwa ia sudah melakukan rapat terbatas dengan keempat personil keluarganya. Aku tidak tahu persis dari siapa saran ini diutarakan pada saat rapat tersebut, namun perbincangan antara aku-sang ibu-anaknya sewaktu aku menjenguknya yang membayangkan dia dapat berkuliah lagi walau dengan jumlah SKS lebih sedikit tidak dapat menjadi nyata. Keluarga ini bersepakat untuk mengurus cuti selama 6 bulan pada anak ini. Dia bilang, orang tuanya inginkan dia berlibur sejenak, dalam arti beristirahat dari kegiatan akademik wajibnya. Walaupun aku juga menyarankan hal yang serupa dulu, namun aku jadi turut merasakan sedihnya sekarang. Aku tahu ia punya kobaran semangat yang besar untuk melanjutkan kuliahnya di Magister PWK ITB yang baru memasuki semester 2. Namun orang tua mana yang tidak khawatir pada keadaan sang anak yang masih lemah dan harus banyak beradaptasi dengan efek samping obat-obatan yang dikonsumsinya. Dia dikhawatirkan akan terforsir untuk mengejar hal-hal yang tertinggal dan bisa jadi justru berimplikasi pada dirinya lagi. Dia tidak ingin merepotkan ibunya lagi katanya. Temanku bilang, dia sadar bahwa itu adalah pilihan yang berat. Dia tahu ini mungkin berujung panjang.
Aku berusaha menyikapi itu dengan memberikan nada setuju pada keputusan tersebut, yang aku tahu dia pasti tidak memerlukan opiniku itu. Obrolan malam ini pun tak luput dari warna candaan dariku yang ingin mencairkan suasana. Aku tahu dia mempersiapkan mental sedemikian kuat untuk mengatakannya padaku. Dia bahkan baru memberitahukan ini 1 hari setelah diskusi berlalu. Karena dia tahu aku juga akan merasakan dampak dari segala pilihannya. Mungkin karena itu dia harus memikirkan dulu cara bertutur katanya yang tepat.
Lalu aku memberitahukan bahwa tadi siang salah satu pembicaraan dengan temanku yang hamil adalah mengenai kegiatannya selama di rumah. Dia mengkonsumsi jurnal setiap hari dan mengolahnya dengan cara meringkas serta mentranslasikan jurnal-jurnal tersebut. Namun aku baru menyadari bahwa jurnal pun harus dicari dan diteliti terlebih dahulu melalui internet dan gawai, yang mana mata dan kepalanya masih perlu banyak istirahat terlebih dahulu. Dan benar saja, dia bilang memang belum memiliki rencana kegiatan untuknya di saat cuti. Dia bukan tipikal anak yang spontan sepertiku, dia sangat sistematis dan terukur. Dia bilang dia suka melakukan reparasi tapi itu hanya untuk mengisi waktu senggangnya. Baiklah, mungkin aku salah memberi saran. Mungkin baiknya memang ia sembuh dahulu sebelum beraktifitas normal lagi. Aku kembali belum bisa berpikir jernih.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam dan aku berusaha mengakhiri percakapan. Kuucapkan selamat malam dan semoga dia dapat tidur nyenyak, bermimpi indah, serta bangun dalam keadaan sehat wal afiat. Aku mulai merasa sedih lagi. Namun aku tahu, dia dan keluarganya pasti lebih dari sekedar sedih. Keindahan apa lagi yang adai di seberang sana, Ya Allah?
Hingga pukul 12 malam aku terus berpikir bagaimana caraku menyampaikan hal ini kepada ayah ibuku. Namun aku harap besok aku akan siap jika ditanya-tanya lagi. Aku harus siap dengan jawaban sejujur-jujurnya, karena aku tahu setiap ibu pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya walaupun itu mungkin bisa saja terasa pahit di awal. Aku masih ingin berusaha.
0 notes
Text
Sederhana Bagi Mereka
18 Januari 2020
Hari Sabtu sebagai awal weekend-ku di minggu ini, kuputuskan untuk harus kujalani dengan bahagia dan produktif. Aku sebenarnya tidak ingin terus-terusan bermain. Namun karena temanku sedari dulu terus mengajak main dan selalu kutolak, maka aku tidak menolaknya kali ini. Kuminta dia menemaniku berbelanja di Thamrin City. Ia pun mengiyakan. Niatku hanya sampai sore, lalu kita harus kembali ke hunian masing-masing. Walau justru aku harus mengakhiri sendiri agendaku di hari Sabtu karena teman-temanku masih ingin melanjutkan perjalannya ke bilangan Blok M hingga malam hari.
Pagi hari kulalui dengan tanpa adanya kabar darinya. Namun tiba-tiba di siang hari dia mengirimkanku sebuah pesan. Katanya ia akan check out dari rumah sakit di hari itu. Betapa senang rasanya mendengar kabar tersebut, aku turut bersyukur. Kabar tersebut datang pukul 2 siang. Namun sampai pukul 7 malam, dia masih berada di rumah sakit. Kutanyakan mengapa dan katanya dia harus menyelesaikan permasalahan administrasi obatnya. Aku tahu, hal ini akan berujung panjang maka dari itu keluarga ini begitu memperjuangkannya walaupun harus mengorbankan waktu.
Di saat yang bersamaan, aku mengingkari janjiku. Selepas dari Thamrin City aku tidak enak untuk memisahkan diri dari teman-temanku. Maka aku ikut saja berjalan-jalan di Grand Indonesia. Dan kali itu aku merasa lelah berjalan-jalan di sebuah mall. Rasanya aku tidak melihat keindahan apapun. Tidak ada yang memikat dan tidak ada yang berkesan sekalipun. Hingga kemudian saat sedang menemani teman mengantri membeli minuman, gawaiku berdering. Ibu meneleponku. Kuangkat dan langsung saja kujawab salamnya. Lalu ibu menanyakan kabar temanku yang dirawat itu. Kubilang padanya, dia sudah check out per hari ini. Ibu ikut bersyukur.
Namun tetap saja ada pertanyaan kedua, apa aku sudah yakin, apa aku tidak mau mencari yang lain. Ibu selalu menanyakan hal yang sama, berkali-kali. Dan hal itu berhasil membuatku khawatir, apa Ibu tidak suka dengan pilihanku. Aku merasa ia lelaki yang baik, yang telah mengubahku menjadi lebih memprioritaskan keluarga di atas segala hal. Walau aku tahu pertanyaan itu pasti juga untuk kebaikanku. Namun kukatakan padanya, bahwa mencari seseorang yang baik hati, bertanggung jawab, tidak merokok, sopan dan santun kepada kedua orang tua, dan bersabar di tengah deraan ujian, itu susah. Aku menemukan itu padanya sehingga aku ingin mempertahankan kedekatanku dengan temanku ini. Ibu pun mengiyakan. Katanya aku sudah seperti, “Wingko Katon Kencono, Kencono Katon Wingko”. Lalu beliau berpesan, tetaplah berdoa, tidak semua yang terlihat buruk itu tidak baik, pasti akan ada artinya. Aku sempat bingung. Sempat kukira artinya adalah aku diminta untuk tidak melihat lelaki hanya dari segi sikap baik, tapi juga dari sikap buruk. Namun setelah kupikir lagi, mungkin maksud Ibu lebih tentang serangan Tuberculosis yang menyerang temanku ini. Mungkin saja itu maksudnya.
Aku merasa ada perubahan pada diriku yang ibuku sendiri pun bilang bahwa aku sudah lebih baik daripada aku yang sebelumnya. Aku selalu silau dengan kesederhanaan yang ia contohkan. Tapi kadang Ibu berpikir lain. Walaupun hanya itu usaha yang bisa kulakukan, dan berpasrah pada Yang Maha Kuasa akan apapun yang nanti Allah rencanakan. Aku tahu, semua bergantung Ridho-Nya.
Oleh karena itu, sejak pertama kali aku mengirimkan pemberian padanya, aku berharap semoga aku tetap ikhlas. Semoga aku tidak akan menanyakan apakah ia mengenakan dan memanfaatkan pemberianku atau tidak. Semoga aku tidak akan mengharapkan sedikitpun imbalannya di kemudian hari. Aku ingin membantunya, sebagai seorang manusia. Bukan sebagai seorang perempuan yang ingin mengambil hati orang tua dari lelaki yang dekat dengannya. Aku benar-benar ingin dibimbing untuk ikhlas dan sabar.
Kemudian pukul 9 malam keluarga ini pulang dari rumah sakit dan berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak 550 meter. Aku belum pernah mendengar kisah seperti ini dari keluarga seorang Pensiunan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DIY. Kesederhanaan yang ditanamkan menjadi prinsip bagi setiap anggota keluarganya. Keikhlasan perjuangan dan kerja keras yang yang penuh integritas. Lagi-lagi aku belajar banyak dari keluarga ini. Tapi mungkin ibu tidak ingin melihat dari sisi ini.
Akupun mengucapkan selamat malam padanya. Katanya, malam lalu ia sudah tidak menggigil dan dia berharap semoga saja malam ini juga tidak. Tentu saja aku mengharapkan hal yang sama, semoga tidurnya kali ini akan lebih baik dan lebih tenang di rumahnya, bersama hangatnya kasih dari keluarganya.
0 notes
Text
Bertamu dan Bertemu
17 januari 2020
Lagi-lagi menunda. Tulisan ini seharusnya dibuat di hari Sabtu namun karena alasan lelah dan segala macam keluhan lainnya, maka lagi-lagi aku lengah.
Pagi hari gawaiku sudah berdering saja. Ibu menghubungi untuk memastikanku bangun pagi dan menjalankan ibadah. Aku lupa belum mengabarinya bahwa aku tidak jadi menjenguk temanku kemarin. Beliau menanyakan kabarnya, kubilang semoga sudah lebih baik karena masih saja tadi pagi ia mengeluh tidak bisa tidur.
Pukul 04.30 temanku itu sudah menyapa via WhatsApp dan mengeluh tidak bisa tidur karena dengkuran yang begitu keras sang bapak paruh baya di sebelahnya. Selain itu, dia masih saja demam, walaupun kali ini hanya strike sekali. Katanya, seharusnya itu adalah demam penutupan. Sampai hapal saja dia sifat-sofat demam yang menjangkitinya. Kuceritakan hal itu kepada ibu.
Ibu bersuara seperti ikut khawatir. Sepertinya Ibu mengira sudah menurun demamnya sejak kemarin, namun ternyata baru saja mulai membaik. Ibu menanyakanku, masih tidak aku menangis. Kubilang jelas sudah tidak ada yang membekas di mukaku makanya aku ingin menjenguknya. Kukatakan bahwa rencana kemarin gagal karena ada rapat di siang hari yang harus kuhadiri. Aku berjanji bahwa aku akan tetap profesional terhadap apa yang memang tanggung jawabku. Apapun tantangannya, ini masih tentang amanah kan? Tak lupa aku pun mengucapkan izin kedua kalinya untuk menjenguk temanku itu. Ibu mengiyakan.
Setelah 30 menit berbincang, Ibu menutup telepon. Kali ini ibu hanya menitipkan doa. Tidak menitipkan hal-hal lainnya. Sepertnya Ibu tahu aku selalu akan membawa sesuatu kalau kesana. Sekira 5 menit berselang, Ibu mengirimkan pesan WhatsApp bahwa perasan dari hasil tumbukan daun pepaya akan sangat berguna untuk meningkatkan jumlah trombosit dalam darah. Ibu mulai tersentuh sepertinya. Ibu mulai menjadi semakin perhatian sebagaimana ibu memberi perhatiannya padaku. Aku senang.
Aku ingat sekali dulu sempat ibu berkata bahwa temanku ini seperti terlihat sering sekali sakit. Saat itu aku selalu mengelak karena temanku yang kutauhu, ia selalu bugar. Sakitnya pun hanya beberapa kali menyerangnya, dan ia selalu kuat menghadapinya. Waktu itu kami semua termasuk temanku, sama-sama belum tahu menyoal penyakit yang menjangkitinya itu. Memang beberapa bulan belakangan dia terlihat berbeda, semakin kecil lengannya, semakin tirus mukanya, dan karena itu amu berusaha mempeelihatkan sisi positif temanku pada ibuku dari aspek yang lain selain tentang fisik. Namun ibu, tetap ibu. Intuisinya tajam. Ia sadar ada yang aneh dengan fisik temanku yang selalu sakit. Dan kejadian inipun terjadi.
Aku tidak berkata kepada temanku bahwa aku ingin menjenguknya. Namun, pesanku sudah diabaikannya sejak pukul 7 pagi tadi. Kurasa setelah sarapan dia sudah terlelap lagi untuk membalaskan ketidakpuasannya tidur di malam hari. Maka pukul 9 pagi kutenteng belanjaan buah yang kubeli kemarin dan beranjak menuju halte busway Pasar Rumput, mengambil rute sebagaimana yang telah diajarman oleh temanku itu untuk mencapai daerah rumahnya di Cibubur.
Sempat ia mengabari bahwa teman sekamarnya yang membuatnya semalaman tak bisa tidur karena dengkurannya itu, akan pulang hari ini. Dia sangat bahagia dan tentunya aku juga. Karena privasi pastinya akan lebih terjaga di ruangan itu, syukurlah. Kurasa memang hari Jumat adalah hari yang penuh berkah.
Pukul 12 siang aku sudah tiba di SPBU Buperta Cibubur. Aku beribadah dan beristirahat dahulu di SPBU ini hingga waktu menunjukkan pukul 1 siang. Lalu aku beranjak ke Alfa Midi di bilangan Cibubur yang mana tepat terletak di seberang Rumah Sakit yang kutuju. Jalanan ramai sekali. Baik arah Jakarta maupun arah Cileungsi, mobil, bus, dan truk memadati jalanan. Deru kendaraan masih terdengar sedikit di dalam Alfa Midi. Kedatanganku disambut oleh buah-buahan yang tidak nampak begitu segar dan berbagai box susu. Aku bingung dengan banyaknya pilihan ini. Tapi sebenarnya yang kumau adalah snack rendah gula dan buah-buahan. Kurasa yang kubeli kemarin di pasar masih kurang beragam jenisnya.
Karena tidak sesuai dengan apa yang kumau, maka aku hanya membeli air mineral beserta permen kenangan kami (Cupa Cups) lalu beranjak pergi dari Alfa Midi saat waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Aku ingat temanku itu pernah bercerita bahwa ia kerap kali berjalan ke Super Indo dekat rumahnya. Maka aku susuri saja jalanan di tengah teriknya matahari ini, berteman dengan payung merahku. Setelah kulihat di Google Maps, jaraknya hanya 550 meter dari Alfa Midi. Strategis sekali sepertinya perumahan-perumahan di tepi Jalan Transyogi ini. Lalu aku sambangi Plasa Cibubur yang merupakan lokasi keberadaan Super Indo yang selama ini diceritakan olehnya.
Aku memasuki Super Indo dan menemukan apa yang kucari. Buah bengkoang, Sari Gandum, dan Kwaci Rebo, sebagai pelengkap buah naga, manggis, dan lemon yang kubeli sebelumnya. Puas rasanya karena paketku sudah lengkap, lalu aku merasa harus melengkapi kebutuhanku: makan siang. Maka di perjalanan menuju RS Permata kutemukan sebuah Warung Tegal (warteg) yang terlihat bersih dann terawat. Dia berbeda dengan warteg pada umumnya yang begitu remang-remang dan dipenuhi oleh pengunjung. Warteg ini besar dan terang. Kulihat dapurnya juga bersih. Bahkan dia menyediakan tempat duduk berupa 4 meja terpisah dengan 4 kursi yang mengelilingi tiap mejanya di ruangan sebelah etalase makanan. Tidak kutemukan alasan untuk berpaling dari warteg ini. Harganya normal. Dan plusnya lagi, dia menjual soto di sana. Maka dengan bangga kupesan dua bungkus soto untuk aku berikan kepada sang ibu dan anaknya di rumah sakit. Aku beranjak dari warteg pukul 15.00 WIB dan langsung menuju ke RS Permata.
Sesampainya di RS Permata, aku langsung menyambangi Musholla yang terletak di lantai paling atas Gedung Baru. Musholla yang luas dan tersinari dengan sangat baik oleh matahari. Senang rasanya berada di musholla itu karena pemandangan yang disuguhinya adalah sebuah perumahan yang tertata begitu rapi dan indah. Yang mana, perumahan itu adalah perumahan tempat teman saya bermukim. Setibanya di musholla, azan lalu berkumandang. Aku beribadah dan dilanjutkan langsung menuju ke ruangannya yang masih kuingat persis di mana tempatnya karena sudah kukunjungi Selasa lalu.
Ternyata aku salah, dia berpindah ruangan pada hari Rabu. Maka aku bertolak ke ruang inapnya yang baru setelah diberitahu oleh petugas keamanan. Petugasnya sangat ramah, “Tentu saja harus ramah karena biayanya mahal”, kata temanku itu. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, sang petugas hanya mengintip sekilas keadaan di dalam ruangan, lalu meletakkan kartunya di gagang pintu. Perlu access card untuk bisa memasuki ruangan. Baguslah, kudengar salah satu pengalaman pahit keluarga ini adalah tas sang ibu yang dicuri ketika berada di kamar inap suatu rumah sakit swasta. Mungkin karena pengamanan di rumah sakit inilah maka mereka memilih untuk menjadi pelanggan walaupun harus merogoh kocek lebih dalam.
Pintu terbuka dan sang ibu langsung melihatku sembari tersenyum memintaku masuk. Aku melihat temanku sedang berbaring di ranjang ukuran 120x200 cm berbahan busa dengan rangka 3 engkol khas rumah sakit. Dia nampak kaget dan seperti biasa, mengeluhkan mengapa aku harus kesana. Akupun masuk dengan mimik muka bahagia berusaha meledakkan tawa agar tidak ada kekakuan diantara semua yang ada di ruangan. Aku meraih tangan sang ibu untuk kuletakkan ke dahiku dan membuka percakapan dengan menanyakan keadaan sang anak.
Kembali kutanyakan pengalaman semalam yang membuatnya tak bisa tidur karena dengkuran teman sebelahnya. Namun kali ini dengan nada tertawa, agar tragedi tidak terlalu perih jika diceritakan kembali. Sang ibu juga bercerita dengan gelak tawanya yang masih saja lemah lembut. Kerudungnya yang berwarna oranye membuatnya terlihat lebih cerah dan entah mengapa terlihat pas jika dikenakan olehnya. Tidak semua orang bisa mengenakan warna seperti itu menurutku. Dan kami pun saling timpal-menimpal, sembari tertawa. Temanku bertanya kenapa aku tertawa terus. Kubilang padanya, daripada jika hanya dipikir akan membuat stress, maka lebih baik tertawalah saja. Kurasa percakapan ini hanya berlangsung sebentar, lalu sang ibu mengajakku makan di tempat makan rumah sakit. Katanya karena makanku yang sebelumnya tidak sehat. Aku bercerita padanya bahwa sebelum ke rumah sakit aku mampir ke warteg yang berkeramik dan terlihat bersih, namun beliau menyanggah bahwa itu merupakan tempat yang kotor dan menggunakan minyak yang berkali-kali penggunaannya. Sedikit malu karena aku justru memberikan soto dari tempat makan yang sama.
Kemudian sang ibu menarikku keluar ruangan. Aku berpamitan dan mengucap kalimat penutup semampuku kepada temanku. Lalu, aku pergi dengan perasaan yang sedikit lega karena melihatnya telah kembali tersenyum dengan tatapan segar, tidak sekuyu saat hari Selasa dia mengabariku.
Sepanjang waktu kami memakan bakso di lantai dasar rumah sakit, kami bercerita tentang berbagai hal. Tentang penyakit, temanku, kakak dari temanku, ayah temanku, dan semuanya yang berbau tentang keluarga dan pekerjaan. Sang ibu begitu semangat menceritakan kisah-kisah perjuangannya selama bersama keluarganya. Tentang ayahnya yang jarang sakit, ibu, kakak, dan adik yang justru berganti-gantian masuk ke rumah sakit, dan sebagainya. Tapi ibu tidak menangis. Ia justru menelepon anaknya yang pertama untuk ikut datang ke rumah sakit karena aku membawa soto untuk keluarga ini. Sang kakak kemudian datang dan ikut meramaikan suasana.
Aku pun ingin ikut membantu mempertahankan bergulirnya topik. Maka aku ceritakan bagaimana temanku ini menanggapi rasa sakitnya dan kejenuhannya di rumah sakit melalui media sosial. Aku tunjukkan akun Twitter temanku ini kepada ibu dan kakaknya, hanya dengan tujuan menunjukkan bahwa anak ini tetap saja optimis dan sabar. Dia sama sekali tidak menggunakan media sosial untuk tempatnya berkeluh kesah. Dia menceritakan berbagai cerita soal imajinasi dan gagasannya di media sosial. Kami pun saling bercerita tentang bakat anak kedua sang ibu. Dia yang pandai mendidik padahal hanya dari tulisannya, yang pandai bertutur kata dengan lugas dan ceria dari sudut pandang uniknya, dan yang berterus terang dalam keadaan apapun. Saat itu saya bukan ingin memuji seorang anak di depan ibunya. Saya hanya ingin membuat kekhawatiran sang ibu dapat lebih memudar, bahwa sang anak masih dan akan selalu merespon segala hal dengan positif. Jadi sang ibu harus lebih semangat dan bahagia. Namun aku tak mengucapkannya karena aku tak ingin terkesan menggurui. Ibu dan kakaknya pasti lebih tahu. Semoga saja pesan tersiratku tersampaikan.
Setengah jam sudah kulalui bersama sang ibu dan anaknya yang pertama. Kami makan sembari banyak tertawa. Kuharap pundung tak lagi datang kepada keluarga ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore namun langit masih saja biru, aku buru-buru pamit namun snag ibu justru menggandengku keluar rumah sakit dan mengajakku menghentikan angkutan umum. Aku diantar dan ditunggui sampai bisa masuk ke angkot. Sesampainya di angkot pun, sang ibu berkata kepada pak supir, meminta tolong agar aku diturunkan di halte Cibubur Junction. Tersipu sekali dengan keramhatamahan ini, aku tahu mungkin sang ibu tidak enak karena melihatku tergopoh-gopoh dua kali membawa berbagai macam buah tangan dari jauh. Tapi terima kasih, aku sangat tersentuh.
Malam pun tiba, aku tiba di indekosku pukul 9 malam. Kuucapkan selamat malam padanya, mengharapkan semoga tidurnya lebih nyenyak karena seharusnya sudah tidak ada lagi yang dapat mengganggunya kecuali pikirannya sendiri. Lalu dia menutup percakapan ini dengan menyatakan terima kasih atas kunjungan yang telah kusempatkan. Hei, kurasa ini bukan apa-apa jika dibanding dengan kebaikannya yang telah menuntunku memperoleh lingkaran kebaikan berupa beasiswa pendidikan lanjut. Sabar ya, anak baik. Kekuatanmu pasti akan memberantas para bakteri itu!
1 note
·
View note
Text
Kurasa Besok Saja
16 Januari 2020
Lihat? Betapa mudahnya menunda. Dan betapa mudahnya kita hilang dari jejak konsistensi.
Bangun tidur, aku kalah cepat untuk mengucapkan selamat pagi padanya. Dia menyapa sembari berkeluh kesah sejak pukul 5.30 WIB. Dia bilang tidurnya tidak nyenyak. Ada lelaki paruh baya yang satu ruangan dengannya dan dengan semana-mena melakukan penyerangan bombardier tak terelakkan: beliau mendengkur sepanjang malam. Di kala kurang sehat, mudah sekali memang merasa tidak nyaman dengan keadaan.
Sempat aku terbingung-bingung. Budaya di keluargaku jika orang sakit selalu dikamarkan secara khusus di rumah sakit. Satu kamar satu orang. Lalu kupastikan padanya, apakah di kamar memang hanya berdua pasiennya. Benar saja, ternyata tadinya dia tidur di kamar yang bergabung dengan 4 pasien. Lalu sang ibu berinisiatif untuk memindahkan anakknya. Entah lantaran apa gerangan.
Pagi itu kurencanakan untuk mengunjunginya. Izin dari ibu pun sudah alu pegang sehingga kepergianku sudah dapat tergolong 'legal'. Sekedar untuk bertegur sapa sebenarnya. Aku sudah beranjak dari indekosku menuju pasar untuk membeli buah tangan yang nanti akan kuberikan padanya. Sekira 1.5 jam sudah aku habiskan untuk berbelanja. Namun mendengar kabarnya seperti itu, aku pun mengurungkan niatku. Sepertinya kalau aku kesana juga akan membuatnya terganggu. Namun aku tetap di indekosku. Untung saja, kerjaku fleksibel bisa di mana saja. Cukup bersyukur dengan keputusan ini karena kemudian siang harinya tetap harus bekerja dan ke kantor untuk menghadiri rapat. Yang mana tentunya tidak bisa kulakukan jika pergi menjenguknya dan aku akan terlihat tidak profesional jika tidak menghadiri rapat tersebut.
Kami hanya berbicara sebentar melalui WhatsApp. Sejak pukul 10.00 WIB ia kemudian tidak membalas sampai jam makan siang. Senang rasanya, pasti dia istirahat untuk membalas tidurnya semalam yang kurang nyenyak. Lalu ia baru membalas ketika siang, mengatakan bahwa ia tertidur pulas. Ya, aku sudah tahu tentunya. Lalu kubalas saja langsung sembari bercanda. Dan dia menghilang lagi. Haha, aku senang lagi karena dia pasti tertidur lagi. Benar saja, katanya ia begitu terlelap sampai membuat rekor dalam seumur hidupnya bahwa kali itu adalah tidur terlamanya.
Maka hari itu berlalu dengan ketenangan di dalam hati. Tenang karena izin dari Ibu sudah sempat kupegang dan karena dia beristirahat dengan baik di pagi dan siang hari. Baiklah, kami berbincang lagi di sore hingga malam hari. Kusemangati ia walau aku tahu itu tidak berguna. Lalu kuakhiri percapakan di malam itu dengan mengucapkan selamat malam padanya. Kami tahu, pukul 9 malam adalah waktu maksimal untuk berbincang-bincang karena malam sudah di depan mata dan kami tidak tahu kapan 'badai' akan menerpa.
0 notes
Text
Ternyata Justru Itu yang Melegakan
15 Januari 2020
Jam bangun tidurku mulai normal. Aku sudah tidak menangis lagi di pagi hari. Namun aku masih menangis sedikit ketika menulis di diary. Pagi hari dia sudah menyapa lagi. Katanya semalam dia kena strike dua kali, jam 9 malam dan jam 1 dini hari. Menggigil seperti ada handphone yang bergetar di dalam badannya, katanya seperti itu rasanya. Dia bilang, jika diberikan Panadol maka demamnya turun. Dia bilang ini masih terkait Demam Berdarah (DB). Ini siklus yang akan berlangsung sampai 7 hari kedepan, sejak pertama kali dia merasa menggigil, yaitu pada 11 Januari. Ini sudah hari ke-5 berarti, sabar ya, semoga benar perkiraanmu, atau lebih cepat.
Siklus apa tapi? Kurasa ini bukan siklus DB. Benar saja kucari di internet bahwa ini ternyata siklus TBC. Berlangsung baik bagi yang sudah minum obat maupun belum. Jadi kurasa dia tahu bahwa ini bukan DB. Kami sama-sama tahu tapi kurasa kami saling tidak ingin memberi tahu. Ah, untuk apa. Pencegahannya juga tidak ada. Itu reaksi alami. Karena demam juga menjangkiti. Cara penanganannya memang dengan asupan bergizi yang dipasok terus menerus, dan tidur yang cukup. Tapi penyintas TBC pasti akan mengalami susah tidur karena efek samping obat. Tapi katanya, untung saja dia tidak mual. Baguslah, banyak makanan dan minuman dapat dikonsumsi olehnya. Aku turut senang.
Hari ini aku panen foto nostalgia dari album Google Photos. Tidak kusangka, sedikit juga fotoku ataupun fotomu. Aku mencari bahan untuk membuat meme ataupun WA sticker. Yah hanya untuk pelipur lara sebentar saja, untuk membuat menyunggigngkan bibir walau hanya sedetik. Menyenangkan melihatnya. Kurasa dia jauh lebih terlihat segar dan sehat ketika masih kuliah.Tangannya lebih berisi dan tulang pipinya tidak semenonjol sekarang. Atau karena dia dulu sering bersepeda dan berolahraga? Hei, kurasa memang kehidupan bekerja dan sekolah magister tidak sebahagia masa-masa kuliah yang begitu sibuk akan kegiatan komunal. Punya teman di mana-mana. Tapi perubahannya tidak derastis. Jadi membuatku kembali merasa tidak begitu khawatir.
Setelah sarapan sampai menjelang makan siang, katanya dia tidur pulas. Baguslah, aku sekarang justru tenang kalau dia tidak membalas obrolanku di WhatsApp. Dia bilang suhunya sudah sekitar 37 0C sekarang, tapi masih meriang. Lalu katanya dia ingin menyapa ibuku, sepertinya ingin berterima kasih atas bawaan yang aku berikan kemarin. Lalu ditanyakannya, apakah ibuku tahu tentang kondisinya.
Tentu saja belum, aku merasa tidak punya hak untuk memberitahukan kabar itu kepada ayah-ibuku. Namun dia bilang, dia mengizinkan kalau aku ingin memberitahu kedua ornag tua terkait ini. Maka aku coba alihkan pembahasan ini, aku sebenarnya takut. Takut kalau ternyata hasilnya tidak akan baik, dan aku tidak didukung untuk membantunya. Takut kalau tiba-tiba badai semakin kencang untuk dia.
Namun kurasa ada kejanggalan yang kurasakan di dalam hati ketika harus bersembunyi dan bermain kucing-kucingan dengan kedua orang tua. Kurasa itu sudah pukan di umurku lagi. Dulu aku pernah begitu, sekitar 10 tahun yang lalu. Untuk menyembunyikan keinginanku menyukai seorang lelaki. Tapi semua sirna saat ibu bilang menuruti orang tua itu tidak akan pernah merugi, karena mereka adalah satu-satunya yang tidak akan menjerumuskan anaknya sendiri. Maka aku memberanikan diri melepaskan nafsu sesaatku itu. Dan kembali di persoalan yang sama, seorang teman lelaki yang entah mengapa aku ingin bantu berjuang saja. Namun kali ini aku ingin berterus terang kepada ibu. Maka di saat seluruh staf kantor istirahat, aku mencari tempat menyendiri. Aku ke rooftop Lantai 6 sebuah gedung di Taman Suropati. Tidak ada satpam, burung, ataupun nyamuk sekalipun. Hanya ada kompresor AC yang menjadi saksi.
Aku menyapa ibu lewat WhatsApp, menanyakan apa yang sedang beliau kerjakan. Ternyata sedang menonton sinetron, hahaha baiklah aku tetap melancarkan aksi. Aku meneleponnya. Aku bilang padanya menceritakan kronologis dengan titik permulaan pada pertengahan Desember 2019. Semua yang diceritakan pada 11 Januari 2020 di rumahnya, aku ceritakan kembali kepada ibu. Tiba-tiba ada yang tidak bisa terbendung lagi. Sial, aku menangis sejadi-jadinya. Aku bilang bahwa aku sama sekali tidak habis pikir, tidak menyangka, dan tidak bisa mengendalikan apa yang aku rasakan.
Baru kali ini aku merasa semua tercurahkan. Memang sepertinya jangan pernah mencoba merahasiakan apapun dari seorang ibu. Cepat atau lambat, seorang ibu pasti akan tahu. Seketika, beban di dalam hati yang membuatku belakangan tidak semangat melakukan apapun, tidak mau bekerja, tidak mau bersosial dengan teman, dan tidak mau makan dengan teratur pun menghilang. Katanya, itu bukan suatu penyakit yang mematikan. Hanya perlu kedisiplinan, dan katanya temanku pasti bisa melaluinya. Beliau bahkan mengizinkan aku untuk ikut membantu merawatnya. Tapi untuk apa, tentu saja tidak akan bisa karena aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bisa membantu dari “kejauhan”. Ibu bilang, kalau sudah nasib ya dikuatkan. Ibu memberikan dua opsi sebenarnya, (1) coba disarankan untuknya besok ketika di Bandung memesan catering 3 kali sehari yang mana aku sudah menyarankan padanya ketika pertama kali dia memberitakan hal ini padaku, dan (2) aku ikut pindah ke Bandung untuk merawatnya tapi harus dengan status resmi, yang mana aku tahu itu tidak mungkin karena berbagai hal patut dipertimbangkan. Aku juga masih ingin merawat ayah dan ibu sebelum aku harus ikut dengan siapapun pasanganku kelak.
Maka obrolan berakhir dengan candaan yang membuatku kesal. Katanya lebih baik aku marah atau tertawa daripada menangis. Ibu berkata seolah ibu benar-benar mengerti tentang penyakit ini. Ibu bilang itu bukan sesuatu yang sangat mudah ditularkan. Imun tubuh sangat penting untuk dijaga, itulah kunci satu-satunya untuk terhindar dari berbagai penyakit. Ibu bilang, makanku harus bagus. Masih saja aku yang dibahas padahal orang lain yang sedang sakit. Ibu bilang, akan memberitahukan ini ke ayah. Dan tentulah ada doa semoga ia lekas sembuh dan keluar dari rumah sakit. Namun katanya, jangan beritahu dia bahwa ibu mengetahui tentang dia yang sakit. Aku tidak tahu mengapa, tapi baiklah akan kujaga ini sebagai rahasia untuk sementara.
Lalu malamnya ayah menghubungi. Loudspeaker dinyalakan dan kami bicara banyak hal tentang hari ini. Aku dan ibu kemudian berkata kepada ayah untuk tidak banyak begadang lagi. Temanku sudah menjadi salah stau korban dari penyakit yang dapat menginfeksi ketika begadang. Lalu ayah mengatakan hambatannya yang menyebabkan ia harus begadang. Katanya ayah merasa dirinya bergerak dan berpikir lamban. Aku sangat sedih mendengarnya, di sini kesamaan ayah denganku. Seorang ayah yang selalu mengajakku menjadi pribadi yang patuh, disiplin, santun, dan tidak sombong, justru ternyata memiliki pemikiran yang sama negatifnya denganku. Aku tidak ingin ayah memiliki pemikiran yang sama denganku tentang dirinya sendiri: bergerak lambat.
Namun kuberanikan berkata kepada ayah bahwa tidak ada di dunia ini orang yang cepat atupun lambat, yang ada hanya orang yang dapat mempertahankan fokusnya. Aku sedih mendengar ayah yang hanya mengiyakan saja saat mendengarku. Maka aku bilang padanya, mari kita mengubah diri. Kita bisa fokus lebih lama dengan cara mengelola waktu. Kita harus tidur jam 10 malam dan bangun pukul 3 atau 4 pagi. Kita punya setidaknya 15 jam berupa kemewahan dalam sehari-hari yang bisa kita manfaatkan seoptimal mungkin. Setiap 1 jam, kerjakan suatu hal sampai selesai mencapai targetnya. Atau kurangi menjadi 30 menit dahulu jika 1 jam terasa berat untuk terus fokus. Lalu setelah itu, berfoya-foyalah dengan waktu istirahat. Kubilang ayah bahwa 30 menit sangat cukup untuk beristirahat dan kita bisa kembali lagi bekerja setelah itu. Mempertahankan fokus adalah hal yang memang sulit sebenarnya. Ayah lagi-lagi hanya mengiyakan. Katanya ibu sudah sering mengatakan hal serupa namun tidak digubris oleh ayah. Tapi giliran aku yang mengatakan, katanya ayah mau mendengarkan.
Mungkin itulah orang tua, selalu lebih mendahulukan anaknya. Maka hari itu pun kami akhiri dengan salam dan doa semoga kisah tentang teman saya hari ini dapat menjadi salah satu tahap untuk membantu menyadarkan setiap insan di keluarga kami akan arti pentingnya kesehatan. Lagi-lagi, ujian yang ditanggungnya pun memberikan pelajaran untuk orang lain seperti keluarga kami. Semoga lekas berakhir ya, badai ini.
0 notes
Text
Jangan Menghampiri, Katanya
14 Januari 2020
Pagi hari dia sudah membalas obrolan saya di WhatsApp. Dia sapa, “selamat pagi, uhuy”. Lalu dia katakan bahwa dia memiliki sebuah update kabar. Namun ada prasyaratnya, dia tidak memperbolehkan saya bertindak. Saya tidak berkata sepakat tapi dia sudah mengirimkan foto pemandangan dari rumah sakit di depan komplek rumahnya. Kutanya padanya, sejak kapan ada di sana. Katanya sejak semalam. Tanggal 13 Januari 2020 di larut malam, ia dan ibunya bergegas ke rumah sakit. Trombositnya rendah katanya. Dia DB. Saya katakan padanya, “Ge er amat, dih”, setelah saya mengusap air mata yang kembali mengucur setiap jam 6 pagi belakangan ini. Sial, saya tidak bisa tidak menangisi hal ini. Hebat sekali keluarga ini dengan segala ujiannya.
Dia masih saja bilang jangan pernah datang menjenguknya, dia tidak ingin jika ada yang sakit lagi. Bahkan dia menambahkan informasi bahwa cuaca sedang buruk di sana. Padahal prediksi extreme weather sudah dikonfirmasi oleh BMKG bahwa hanya akan terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Maka terik begitu jelas terpampang di langit Jakarta. Kutanyakan padanya, apakah keluarganya baik-baik saja. Jawabnya memang semuanya dalam kondisi baik hanya kecuali dia. Dia menunjuk rumah kosong di sebelah rumahnya sebagai musababnya.
Gentengnya runtuh sebagian sehingga ada air menggenang di dalam rumah tersebut yang pasti mengundang Aedes aegeypti untuk bermukim di sana, meramaikan suasana. Tapi saya masih menyangkal sebenarnya, tadinya kukira demam tingginya memang efek samping dari rifampisin dan isoniazid. Karena itulah hanya dia yang terserang, seolah-olah dia terjangkit Demam Berdarah (DB). Indikasinya pun serupa, tidak hanya trombositnya yang turun, tetapi juga sel darah putihnya. Sebagaimana ini merupakan efek samping dari ethambutol. Namun saya tak mengatakannya. Saya hanya tidak ingin menghancurkan semangatnya lagi dengan mendiskusikan hal-hal negatif yang artinya mungkin akan terjadi lagi di kedepannya. Dia selalu optimis, saya salut akan hal itu.
Dia mengeluh tidak ingin lagi ke rumah sakit, bukan karena apa yang dia rasakan, tapi karena mahalnya. Ya, saya tahu itu isu ekonomi yang pasti akan mengemuka pada perjuangan-perjuangan berat seperti ini. Saya tidak tahu seberapa besar BPJS mampu meng-cover kebutuhan ini. Dia bilang, asupannya tetap baik. Baguslah, dia yang kukenal selalu makan dua kali lipat lebih banyak dan lebih cepat daripada saya. Jika di pagi hari dirinya selalu lebih segar daripada malam. Semua terasa sudah lebih baik ketika pagi.
Maka pagi itu pun, saya memutuskan untuk tetap menemuinya. Saya bergegas menuju area Rawamangun, lokasi dimana kenangan saya bersamanya terus mencuat. Banyak saksi kejadian berkenang yang terjadi pada tahun 2018 dan 2019 di kawasan tersebut. Saya masih ingat jalannya, langkah kakinya, percakapannya, semuanya. Kami mengunjungi Tip Top, Labschool, Apotek Rini, Masjid Diponegoro School, Ayam Bakar Wong Jowo, dan sebuah masjid di Jalan Masjid. Lalu saya mengulanginya lagi, kali ini sendirian. Saya cukup terisak sepanjang jalan karena pasti terbayang tentang kejadian yang telah dulu terlalui. Bagaimana dia bermain dengan pembatas trotoar, mencoba melompatinya. Bagaimana dia menyeberang. Bagaimana dia tidak mau menyingkir di kala ada orang yang menaiki motor namun menggunakan trotoar. Bagaimana dia membelikan ta’jil yang ternyata justru untuk saya berbuka puasa padahal saya tidak puasa. Bagaimana dia meletakkan sepatunya dengan rapi selalu di rak yang tersedia dan mengambilkan sepatu yang kukenakan walau saya belum kunjung datang. Bagaimana dia mengatakan apa yang dia mau ketika di Labschool.
Dan saya menggunakan cara-cara yang sama dengan ajarannya untuk memesan obat di Apotek Rini, memilih barang di Tip Top, hingga meletakkan sepatu di masjid. Saya membeli segala keperluan untuk meningkatkan asupan dan stamina di tempat-tempat tersebut. Saat itu, saya masih mempercayai bahwa ia terjangkit DB. Sehingga saya membeli sebuah obat cina Fufang yang jujur, saya merasa itu mahal untuk saya tapi kalau untuk seorang seperti dia, saya akan relakan. Kesehatan selalu lebih baik mahal di awal. Saya merasa bahwa keluarganya tengah mengencangkan ikat pinggang, untuk keperluan pengobatan ini. Saya tidak pernah dimintakan tolong untuk hal apapun walau saya sudah menawarkan kesanggupan saya. Bahkan ketika saya berkunjung pada 11 Januari 2020, justru saya disuguhi dengan berbagai hal yang berkualitas tinggi, dari makanan hingga topik diskusi. Saya masih saja banyak belajar dari keluarga ini di tengah ujian yang diperjuangkannya.
Dia kemana-mana selalu ditemani ibunya. Hingga usianya akan menginjak 25 tahun pun, dia justru semakin dekat dengan ibunya karena dia harus memperjuangkan perlawanannya terhadap sakitnya. Dia pun berat hati sebenarnya, saya tahu. Dia tidak ingin keluarganya atau siapapun itu tertular olehnya. Dia benar-benar ingin melanjutkan kuliahnya sebenarnya. Siapa pula yang iingin terlena dengan sakit? Saya tahu dia sanggup, namun saya hanya merasa bingung jika dia tidak ada yang menemani di sana.
Di siang hari, saat perjalanan menuju tempatnya dirujuk, dia mengirimkan fotonya bersama ibunya di kamar rumah sakitnya. Oh, ditemani infus dan 1 box Ester-C tentunya. Ibunya mengenakan masker dan tersenyum tipis. Tidak selebar di foto-foto sebelumnya. Wajahnya tertutup bayangan lampu, berdampak nampak lebih kusam dari biasanya. Dagunya tetap ayu. Saya paling suka melihat mata dari sang ibu karena begitu tenang dan menghanyutkan. Saat saya mengunjungi rumahnya pada 11 Januari lalu, sorot mata sang ibu jarang terlepas dari anak lelakinya. Dia terus memperhatikan anak lelakinya, dari atas sampai bawah. Dia mengamati gerak-gerik anaknya, mungkin berjaga-jaga jika ada suatu yang tidak biasa terjadi. Karena memenag efek samping obat bisa terjadi sewaktu-waktu. Namun, sang ibu di foto kali ini nampak benar-benar lelah. Sedikit membuatku merasa tidak enak untuk berkunjung karena dia pasti akan menjamu. Tangan kokohnya pasti akan membuatkan sesuatu karena saya datang dari 27.6 km jauhnya. Saya tidak mau bertemu.
Anak lelakinya pun di foto itu masih memamerkan deretan giginya yang sedikit berjarak. Ya, itu gigi yang hampir sama dengan ibunya. Dia tersenyum lebar, seolah mengatakan, “Hey, I’m good here, how ‘bout you?”. Saya semakin teriris melihat leher kanannya, yang masih saja ada benjolannya dan tidak berkurang besarnya. Dia masih terlihat putih, begitu bersih dan jelas tidak seperti saya. Tulang pipinya semakin jelas terlihat. Matanya kuyu. Ada kantung mata yang sedikit nampak di area matanya. Kemarin sempat dia bercerita bahwa demamnya membuatnya susah tidur. Mungkin inilah akibatnya. Tapi dia masih saja bisa tertawa jika mengobrol via media sosial. Jika melihat dia tanpa kacamata, mukanya jadi semakin mirip dengan Duta Sheila On 7. Dia terlihat sangat bersemangat di pagi itu. DIa mengabarkan seolah dengan penuh kebahagiaan tentang segala apa yang dijalaninya. Saya tahu, mungkin maksudnya hanya untuk membuat saya teryakini untu tidak mengunjunginya. Padahal justru saya semakin ingin menemuinya. Ada sedikit kegelisahan jika obrolan tidak kunjung berbalas. Dan saya memang hanya ingin mengantarkan belanjaan saya ini saja untuk keduanya. Sang ibu yang pahlawan, dan sang anak yang pejuang. Keduanya berhak mendapatkan apa yang saya ingin berikan walau tidak seberapa. Saya hanya ingin semua, termasuk sang ibu, memperoleh asupan yang baik dan bergizi. Agar bisa senantiasa bersama dengan anak-anak dan suaminya. Saya hanya ingin semua dapat menjaga staminanya dan segera kembali sehat. Saya semakin tidak ingin bertemu.
Butuh waktu 2 jam perjalanan dari Tip Top menuju ke RS Permata, lokasi tempat ia di rawat inap. Sesampainya di sana pun, karena sudah pukul 3 sore, maka saya putuskan untuk mampir terlebih dahulu di musholla setempat. Ada kaca di sana, dan saya merapikan pakaian saya, seolah bersiap ingin bertemu. Kemudian saya kembali menyusuri lorong-lorong yang penuh sapaan hangat para karyawan setempat. Ruby 1, Lantai 2, Gedung Lama, disitulah lokasinya. Saya tidak tahu kamar berapa. Ada seorang wanita penjaga keamanan yang kemudian menyambut kehadiran saya. Membantu mencarikan informasi terkait lokasi kamar teman saya. Saya sudah memberanikan diri ingin menghiburnya di saat itu, namun sejenak berpikir, saya merasa sepertinya lebih baik hanya barang-barang ini saja yang bertemu. Mereka mungkin sedang istirahat dan saya tidak akan tega melihat jarum infus menempel di lengannya, juga melihat wajah ibunya yang sudah kelelahan. Saya pun hanya menitipkannya kepada sang penjaga keamanan.
Dan kembali mengaku-ngaku sebagai bagian dari keluarganya, “Tolong disampaikan ya mbak, orangnya ndak mau saya temui soalnya, kalau boleh titip ini dari adiknya. Terima kasih ya, maaf merepotkan”.
Lalu saya memencet tombol turun di lift dan dalam sekejap, gawai saya pun bordering. Namanya jelas terpampang dan tidak sampai semenit langsung saja ia matikan hp-nya. Seperti tahu bahwa saya tidak akan mengangkatnya. Ya, saya aneh. Sudah sampai di lokasi tapi masih saja melenggos pergi sendiri. Namun, gawai itu bordering lagi, dia menelepon lagi. Baiklah, saya pun mengangkatnya. Dengan suara lirih dia tanyakan dimana keberadaan saya. Dia mintakan saya untuk kembali ke ruangan dan menemuinya. Namun saya benar-benar hanya tidak ingin mengganggunya. Saya telah melanggar prasyarat informasinya untuk tidak ke RS Permata. Saya takut jika dia tidak mempercayai saya lagi dan tidak mau menginformasikan lagi tentang kabarnya kepada saya. Saya katakan itu padanya, namun masih saja dia bercanda bahwa mungkin marahnya hanya akan menge-block nomor saya selama seminggu. Dan masih saja saya tertawa, hei itu sama sekali tidak lucu. Lalu dia bilang, memintaku bicara langsung pada ibunya. Saya sedikit berjeda ketika bicara padanya. Suaranya lirih, tapi masih bernada tinggi. Dia katakan terima kasih banyak, kenapa tidak sekalian menyambangi kamarnya. Kujawab lagi dengan alasan berbeda bahwa saya hanya ingin mengejar waktu agar tidak kemalaman dan jalanan tidak macet. Saya juga bilang bahwa saya takut dimarahi anaknya. Namun sang ibu tertawa. beliau meluruskan bahwa maksudnya hanya karena RS Permata sangat jauh dari indekos saya, tapi jika sudah di lokasi sekalian saja temui. Kehadiran saya diminta untuk mengurangi kejenuhan anaknya. Saat itu saya masih berdiri di lobby RS Permata, tapi saya benar-benar merasa tidak mau dan mampu untuk menemuinya. Saya masih menahan tangis. Maka saya menolak lagi dengan halus, saya bilang saya hanya tidak ingin mengganggu istirahat sang ibu dan anaknya.
Sempat berjeda sedikit, lalu sang ibu membuka suara lagi. Kali ini lebih lirih, seperti akan menangis. Sang ibu bilang terima kasih banyak atas bantuannya, semoga berkah, biar Allah yang balas saja ya. Saya bahkan tidak pernah terpikir untuk menginginkan balasan apapun. Namun untuk menenangkannya, saya hanya mengiyakan. Saya benar-benar hanya ingin berusaha untuk membuat keluarga ini lebih ringan bebannya. Karena keluarga ini pula, saya jadi tahu bahwa saya sehat, dan itu adalah rejeki luar biasa yang tidak boleh hanya saya nikmati sendirian. Melebihi uang, melebihi jabatan, melebihi pujian dari manusia lainnya, atau apapun. Kesehatan ini harus bermanfaat untuk yang membutuhkan. Saya katakan kepada sang ibu tentang maksud dari belanjaan-belanjaan saya tersebut. Ada dimsum dan buah-buahan yang saya maksudkan untuk dikonsumsi oleh sang ibu karena ibu manapun pasti tidak akan hanya berdiam diri dengan keadaan anaknya. Psti selalu menomorsatukan sang anak dan keluarganya di atas segalanya, termasuk kepentingan-kepentingannya. Dengan begitu hebatnya pasti selalu mengurusi semua hal walau harus berpindah kesana kemari. Saya tahu, menjadi ibu pasti berat. Saya katakan sebagai penutup untuk percakapan dengan beliau, “Tante semangat ya, semoga tante sehat selalu, yah”. Lalu sang ibu mengucap salam, dan saya menjawabnya. Kemudian meneteslah air mata ini lagi. Sial, cengeng sekali.
Di perjalanan pulang, sang anak masih terus berkabar dengan saya. Sang ibu pun kembali mengucapkan terima kasih melalui WhatsApp. Katanya beliau terharu dan berkata semoga dapat melalui ‘ujian ini’ dengan sabar dan semangat. Iya, pasti bisa, kok tante. Saya yakin keluarga ini adalah keluarga super, saya katakan demikian. Saya hanya benar-benar ingin meringankan beban mereka saja. Saya tahu semua sedang kalut. Dan saya tidak mengharapkan apapun di kedepannya. Saya hanya berpikir, selagi saya masih di Jakarta, selagi saya masih memiliki rejeki utama berupa kesehatan, selagi saya masih dicukupkan hartanya, selagi saya masih diberikan umur untuk dapat menghirup udara segar, saya masih ingin membantu ketika ada yang membutuhkan. Saya tahu saya bukan siapa-siapa, namun bagaimanapun saya masih manusia kan? Saya hanya tidak ingin menyesali pundi-pundi yang justru saya lebih utamakan daripada keselamatan orang-orang yang jelas lebih membutuhkan. Saya mau ikut terlibat, semoga tidak ada kesalahpahaman dan ia tetap terbuka.
0 notes
Text
Dia Masih Demam
13 Januari 2020
Wah, ingin hati membuat diary ini tertuang secara konsisten hari ke hari. Namun ternyata konsistensi memang sukar untuk dipenuhi jika dilakukan dengan prinsip kesempurnaan. Ya, kemarin hal itulah yang menghambat saya untuk dapat mengunggah diary tepat H+1 dari tanggal 12 dan 13 Januari 2020. Padahal maksudku melakukan ini adalah untuk merasakan kesamaan dalam susahnya berlaku konsisten dalam meminum obat TB. Sebagaimana yang dilakukanoleh teman saya.
Kutanyakan bagaimana keadaannya padanya, katanya masih meriang saja. Semalam demam hebat. Dan pagi harinya ia menuju rumah sakit. Melakukan tes darah. Dia bilang khawatir Demam Berdarah. Namun untunglah itu tidak terjadi. Dia kembali ke rumahnya dan beristirahat di sana. Aku menangis lagi, untuk pagi yang berbeda.
Ku katakan padanya keinginanku untuk berkunjung. Namun dia bilang tidak perlu. Aku masih memohon padanya untuk dibolehkan. Namun untuk kali pertama dia memohon padaku dengan sangat untuk tidak mengunjunginya. Pedih sekali rasanya. Baiklah aku putuskan untuk diam. Aku ingin menghiburnya saja. Kurasa terlalu pedih jika penyakit dibahas terus menerus.
Maka aku datang pagi ke kantor. Pukul 8 aku angkat gagang telepon dan kuketikkan nomor telepon LPDP. Beasiswa yang menaungi kehidupannya selama sekolah S-2 di ITB. Karena sedikit panik maka mungkin aku salah dalam memencet nomornya. Sempat yang mengangkat justru Bakpia Kukus Jogja. Nomornya hanya tertukar urutannya dengan nomor LPDP call center. Tapi sudahlah aku langsung mengatasinya. Menyamar menjadi keluarga teman saya, lalu memperkenalkan diri ke penerima telepon dari pihak LPDP. Hanya untuk mengantisipasi agar tidak ada pertanyaan lanjutan seperti “lalu Anda siapanya, kenapa jadi Anda yang mengurusnya?”. Tapi untung skenario berjalan lancar. Kurasa dia masih muda, bicaranya jelas dan tidak bertele-tele.
Saya berniat untuk menggali informasi terkait cara mengajukan cuti di LPDP serta bagaimana kebijakannya. Saya hanya ingin mengantisipasi terhadap terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dikonsumsinya. Saya hanya ingin dia lebih ringan tanggungannya. Namun saya tak ingin mematahkan semangatnya kuliah. Maka saya beraksi tanpa izin terlebih dahulu, terhadap siapapun dari keluarganya.
Berdasarka informasi yang saya peroleh, pengajuan cuti dapat dilakukan melalui CRM LPDP. Tidak ada batasan waktu yang ditentukan oleh LPDP, tidak seperti yang tertera di website. LPDP menganjurkan pengajuan cuti ditujukan kepada Direktur Utama LPDP, dengan isian (i) data diri lengkap, (ii) alasan, (iii) kapan mulai dan berakhir cuti, serta (iv) waktu pengaktifan kembali, dan tentunya (v) ampiran dokumen surat keterangan dokter. Dana SPP akan di-hold atau bisa juga ditarik kembali. LPDP akan memberikan surat kepada pihak kampus ITB terkait ini.
Selain itu, saya juga bersikeras menghubungi pihak ITB. Saya mencari nomor kontak kantornya melalui website dan untungnya diangkat! Langsung pertanyaan pertama yang mereka sodorkan adalah, “Halo, dengan siapa ya?”. Nah, maka saya memutar otak lagi untuk menjawab. Dan saya memutuskan untuk berkata, “Halo pak, saya kakaknya salah satu mahasiswa on-going di Magister ITB”. Namun, sang penerima telepon merasa tidak puas. Dia ingin lebih jelas. “Siapa namanya?”, begitu kejarnya. Maka terpaksalah saya sebutkan namanya. Dan mereka pun mencoba mengonfirmasi kepada seorang ibu-ibu Tata Usaha (TU) Program Studi (Prodi). Ibu TU Prodi berkata bahwa mahasiswa itu memang mahasiswa magisternya. Namun, kini telepon dialihkan kepada sang ibu sepenuhnya. Alat penguasa berpindah! Baiklah, aku harus siapkan jawaban untuk pertanyaan mendatang. Daaan, benar saja, “Mbak siapanya?”. Maka tanpa pikir panjang ku katakan saja, “Saya kakaknya, Bu.” Lalu sang ibu membalas dengan testimoni, “Aaaaah yayaya, ini si X yang cakep itu kan, muda, aktif juga? Kenapa dia, sakit apa?”. Hmmm, belakangan baru kutahu dari temanku bahwa ibu yang saya maksud ini sudah sekitar 50 tahun. Dan dia masih memiliki selera terhadap pria. Hm, baik. Menakjubkan. Nah, kurasa pertanyaan tersebut sudah bukan priviledge ku untuk menyatakan jawabannya. Maka aku berusaha untuk membuatnya paham bahwa yang akan saya diskusikan dengannya yaitu masih bersifat pengandaian dan rahasia, biarkan anaknya nanti yang akan memutuskan mau memberitahu atau tidak. Dia pun tak bergeming mendengarku. Bagus, 1-1.
Kemudian kami membahas mengenai mekanisme cuti di prodi tersebut di ITB. Pengajuan permohonan cuti bisa diajukan kepada Ketua Prodi dan cc ke Wakil Dekan Bidang Akademik, serta kepada Wakil Rektor Bidang Akademik dan cc ke Dekan dan Kaprodi Magister. Pembayaran akan dikembalikan jika memang sudah dilakukan. Kemudian semester selanjutnya pun tidak akan terganggu. Namun hal yang masih susah untuk terkonfirmasi adalah apakah mata kuliah di semester 3 dapat diambil tanpa harus mengikuti terlebih dahulu pembelajaran di semester 2 (cutinya akan berlangsung pada semester 2 ini, hanya jika rencana ini jadi dilakukan). Baiklah, kurasa itu sudah kewenangan teman saya untuk menggali kalau terkait substansi. Maka kupilih untuk mundur dan menyatakan kalimat-kalimat penutupan yang hangat pada sang ibu. Baiklah, data sudah terkumpul.
---
Karena tidak berhasil menemuinya, maka kupilih untuk mengungkapkan via tulisan. Dengan niatan supaya ada rekam jejak jika temanku itu ingin melihat kembali informasi yang dibutuhkan. Namun aku bingung ketika menyampaikannya, aku benar-benar tidak ingin mematahkan semangatnya. Dan lancang sekali jelas, mengaku-ngaku sebagai kakak di saat seperti itu? Kurasa aku harus bicara dengan sangat halus. Maka kubuat perkataan yang panjang namun hanya dengan 3 inti pembericaan yaitu (i) permintaan maaf karena telah jahat selalu, (ii) menceritakan kronologi penyebab, dan (iii) meng-crosscheck hal-hal yang perlu di cari kebenarannya.
Dia bilang dia sempat memikirkan opsi tersebut. Namun dia masih ingin memastikan terkait kepastian pengambilan mata kuliah semester 3 sebagaimana kekhawatiran tersebut dijelaskan pada kalimat di atas. Aku semakin gelisah sebenarnya jika ia ingin turut hadir dalam perkuliahan di semester saat ini, efek samping dari obat yang harus dikonsumsinya aku takutkan akan berat dan dia butuh minimal seseorang yang dapat menguatkannya secara langsung. Atau membantu mengurus berbagai dampak obatnya. Tapi kurasa ini bahasan yang terlalu berat, sudahi saja. Maka aku menyelingi pembicaraan dengan sesekali melemparkan sticker WA berupa gambar teman saya tersebut yang kemudian dimodifikasi sesuai ‘kebutuhan’. Yah, luamyan. Sedikit senyum tergores di wajahnya. Wah, senang mengingatnya. Rasanya akan lama tidak bertemu dengan kondisi seperti itu.
Kemudian malamnya masih kutanyakan lagi kondisinya, katanya masih saja demam. Kukira itu efek samping dari salah satu obat TB nya. Tapi dia menutupinya, dan hanya berkata bahwa itu hanya persoalan kurang minum.
0 notes
Text
Karena Harus Belajar Dulu
12 Januari 2020
Pukul 4 pagi, saya beranjak dari tempat tidur dengan sedikit linglung. Bingung dengan apa yang saya dapati kemarin harinya. Lagi-lagi seperti ada meteor yang mengebom perasaan ini dan tiba-tiba air mata pun meledak untuk kesekian kalinya. Sampai lelah sekali tenggorokan ini untuk bersedu sedan. Masih berkutat dengan pertanyaan yang sama, kenapa? Kenapa bisa TB? Kenapa harus anak ini? Kenapa bisa di kosan? Kenapa saya dihampiri dan tidak menyadarinya? Kenapa saya begitu egois hingga saat ini bisa berbahagia sendiri? Dia didiagnosa disambangi oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis sejak 31 Desember 2019 dan sejak 1 Januari 2020 ia memulai terapi obatnya. Namun saya baru tahu 2 minggu setelahnya, tepatnya 11 Januari 2020.
Sudah 8 tisu saya habiskan untuk membersihkan hujan dari mata. Benar-benar saya tidak bisa habis pikir. Teman saya adalah orang yang sangat konsisten dalam memberi pasokan makan dan minum bergizi untuk tubuhnya. Bahkan dia adalah pengguna transportasi umum selama di Jakarta, yang mana artinya dia sangat sering bergerak. Selain itu, semasa di Bandung pun dia juga seringkali bepergian menggunakan angkot dan kadang juga berjalan kaki di kala senggang. Namun memang kebiasaan yang kurang baiknya adalah ia sering begadang hingga lebih dari jam 12 malam. Ternyata kuman dan bakteri justru membuat kerajaan dan bertebaran di saat malam, dan dia terhinggapi beberapa diantaranya. Mungkin di saat itu ada ‘rejeki’ yang menghampirinya.
Saya yakin dia beserta kedua orangtuanya pasti lebih sakit. Sejak kemarin saya bertekad kuat untuk tidak menunjukkan kesedihan apapun di depan keluarganya. Saya merasa tidak berhak menitikkan air mata sedikitpun di depan mereka karena jelas saja perjuangan mereka pasti jauh lebih berat dan saya tidak ingin membuat mereka terhanyut pada kerasnya perjuangan itu. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk mulai menuliskan diary tentang perjuangan teman saya ini melawan penyakitnya. Satu hal yang bisa saya perjuangkan yaitu mencobahal yang sama dengan yang ia harus lakukan: konsisten hingga dinyatakan sembuh. Maka demikian pun halnya dengan saya.
Pukul 4 pagi saat saya membuka mata, dengan bersimbah tangis pun saya masih ingin menyapanya. Semalam sebelumnya saya menyarankan dia untuk bangun lebih pagi, sekira jam 4 agar bisa memulai hari dengan lebih segar. Atau setidaknya berjalan ke masjid. Namun ternyata tak kunjung berbalas. Justru ibunya yang membalas obrolan saya kemarin malam dengan bonus informasi bahwa dia demam. Impulsivitas saya meningkat, saya ingin ke sana lagi. Namun dengan mata sembab seperti ini, dan kondisi teman saya yang belum begitu baik, tentunya kunjungan saya bisa saja menjadi beban tambahan. Maka saya berhasil mengendalikan emosi sesaat yang muncul dan hampir saja menjadi aksi gegabah.
Sudah 3 jam saya menangis. Solat menangis, berdoa menangis, ngaji menangis, menulis menangis, semuanya sambil menangis. Sampai jam 8 pagi pun saya masih menangis. Tapi kemudian saya memilih untuk harus tahu banyak informasi tentang ini. Kemarin hanya info kronologis yang saya peroleh dari teman saya saat menceritakan keadaannya. Saya tidak sempat menanyakan, apakah TB-nya laten atau aktif, apakah itu TB kelenjar, paru, atau bagaimana. Karena juga saya begitu tertegun dan tidak tahu bagaimana caranya berpikir jernih. Maka saya mandi dan bergegas bersiap ke Perpustakaan Nasional di bilangan Gambir, Kota Jakarta Pusat. Namun kemudian saya merasa tidak akan efektif jika tiba-tiba saya membaca buku kedokteran dengan bahasa yang saya yakin pasti akan susah untuk dipahami. Maka saya memutuskan untuk menjelajah dunia maya lewat social media You Tube dan berbagai sumber website yang menjadi sumber informasi saya selama ini menyoal kesehatan.
Perilaku inipun saya peroleh dari didikan teman saya tersebut: Belajar dulu. Semenjak saya gagal merawat ikan yang saya beli di Pasar Jatinegara karena saya tidak tahu cara merawatnya yang benar sebelum memutuskan untuk membelinya, saya benar-benar berusaha untuk belajar dahulu sebelum memutuskan berbagai hal. Saya ketikkan keyword positif di kolom pencarian You Tube, “sembuh dari TB”, dan video perdana ini membuat saya begitu senang karena sang penyintas berhasil dinyatakan sembuh setelah 6 bulan berobat.
Proses identifikasi
Mantan penyintas itu menceritakan berbagai hal yang sudah dilaluinya dengan nada gembira. Mulai dari masa awal identifikasi penyakit, masa pengobatan, hingga masa-masa kegembiraannya berpisah dengan si mikroba. Pertandanya sama. Dia bilang ada benjolan di lehernya, dan kemarin pun saya diberitahukan demikian. Dia yang menjadi salah satu indikasi terjadinya TB kelenjar. Hasil saya crosscheck, Benjolan ini dinyatakan di Honestdocs akan terus tumbuh baik ukuran maupun jumlahnya. Di dalam kelenjar getah bening ada proses kematian sel atau area necrosis yang bisa membentuk cairan kental berupa nanah. Seiring berkembangnya penyakit, massa pada cairan menyebar ke kulit dan bisa pecah sehingga membentuk saluran dan luka terbuka (koreng). Seain itu, ada juga gejala lainnya yang umumnya dirasakan penyintas: demam, menggigil, lemah, dan penurunan berat badan (sampai 43%).
Kalau ada kecurigaan terhadap penyakit ini, segeralah perika, dan lebih baik memang jangan dioperasi. Zaman dahulu operasi (eksisi) sangat popular namun memiliki angka kekambuhan yang tinggi serta pembentukan fistula (lubang) dan dapat menyebarkan penyakit ke organ lain. Oleh karena itu, pengobatan terbaik memang membunuh kuman TB dengan antibiotik.
Infeksi TBC ini merupakan infeksi jenis TB Ekstra Paru (Etrapulmonary Tuberculosis) yang mana menjangkit di luar paru. Ragamnya banyak selain TB kelenjar juga ada TB usus, TB tulang, dan TB otak. Khusus TB kelenjar dinamakan scrofula atau Limfadenitis Tuberkulosa. Dia menceritakan proses yang sama dalam proses indentifikasinya hingga didiagnosa TB kelenjar. Melalui CT Scan, Rontgen, dan juga tes darah yang dilakukannya di RS Bethesda serta hasil uji lab anatomi dan patologi UGM. Dia juga melibatkan dokternya dalam vlog yang dibuatnya. Dokternya merupakan dokter di RS Bethesda Yogyakarta. Dokternya memberi penjelasan tentang bagaimana terjadinya TB, serta TB yang biasa masuk ke paru hingga tulang belakang, otak, dan juga kelenjar. Dia menekankan bahwa TB kelenjar ini tidak menular sebagaimana TB di paru. Hal ini hanya jika bakteri TB tidak ada di paru. Namun, menular atau tidaknya sebenarnya tidak dapat dipastikan karena tergantung kondisi penyintas. Memang untuk berjaga-jaga tetap disarankan bagi sang penyintas untuk menggunakan masker karena batuk-batuk hebat kerap terjadi pada masa awal terjangkitnya. Penyintas pun perlu menghindari membuang ludah sembarangan serta batuk dan bersin tidak ditutup.
Kalau kita bicara jalan masuknya bakteri (port d’entrée) memang bisa melalui saluran nafas, maupun melalui darah, atau penyebaran dari organ tubuh yang lain. Secara umum, terbagi menjadi empat macam, pertama melalui parau (kondisi paling sering dan paling mudah ditemui namun bukan berarti semua tuberculosis melalui infeksi tb paru), yang mana bakteri tersebut bisa jadi kemudian menyebar ke area sekitarnya secara langsung atau melalui darah (tuberculosis milier). Kedua melalui kulit, diawali dengan terjadinya kontak langsung bakteri terhadap permukaan kulit (inokulasi) yang kemudian menyebar ke area sekitarnya (kelenjar, atau masuk ke dalam darah sehingga akhirnya ke kelenjar). Ketiga melalui usus, karena bakteri masuk dari usus lalu ke darah dan akhirnya menginfeksi kelenjar. Keempat, bisa jadi dari darah secar alangsung dalam jumlah besar, biasanya kejadian ini merupakan akibat pemakaian jarum suntik yang tidak steril. Atau kelima, reaktivasi dari infeksi tb yang sebelumnya.
Obat yang dikonsumsi
Kemudian Saya memperhatikan betul penjelasan si Vlogger tentang obat oral yang harus dikonsumsi. Si Vlogger bilang obatnya ada 4 macam tapi yang dia tunjukkan hanya dua, yaitu Pro TB dan Pro TB 2. Pro TB ini semacam gabungan dari berbagai antibiotic yang seharusnya dikonsumsi saat itu yaitu pirazinamid, isoniazid, etambutol, dan streptomisin. Pro TB dihabiskan pada masa 2 bulan pertama dan Pro TB 2 dihabiskan pada masa 4 bulan selanjutnya. Bentuknya 1 box besar. Tentu saja, karena harus dikonsumsi dalam jangka waktu berbulan-bulan dan dosisnya 1 hari 3 kali. Saya tidak tahu apakah ini obat yang sama yang dikonsumsi oleh teman saya atau bukan, kemarin saya gagal memperoleh jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan ini padanya. Tapi teman saya tersebut bilang untuk saat ini obatnya ada tiga. Bisa ditukar-tukar cara makannya. Masing-masing punya efek samping berbeda. Obat pagi dan siang diminum setelah makan. Namun untuk yang obat malam, obat diminum sebelum makan dan efeknya bisa membuat pusing, bahkan hingga semalam dia demam.
Sang vlogger juga menceritakan tentang efek samping obatnya, dari yang demam, mual, muntah, gangguan pendengaran, gangguan pengelihatan, kesemutan, semua bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Ada yang dapat disembuhkan dengan sendirinya dan ada juga yang memerlukan obat tambahan. Dan lagi-lagi ada yang teriris rasanya ketika mengingat durasi konsumsi harus mencapai minimal 6 bulan. Namun, tingkat keberhasilan pengobatan TB di Indonesia pada tahun 2017 sudah mencapai 76,5%. Saya sangat yakin bahwa support keluarga hingga teman terdekat pasti sangat berpengaruh dalam menjaga konsistensi mengonsumsi obatnya. Saya mengumpulkan pendapat-pendapat dari para dokter dan menyatakan bahwa penyakit ini pasti dapat disembuhkan dengan konsumsi obat yang teratur sesuai saran.
Rejimen
Dari Doktersehat dinyatakan bahwa rejimen kemoterapi yang efektif dalam tuberculosis paru juga harus efektif pada TBC kelenjar. Jenis-jenis antibiotik yang umumnya diresepkan untuk mengatasi TBC adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol — atau kombinasinya yang disebut rifater. Rifater biasanya digunakan selama dua bulan. Aturan minum obat TBC akan disesuaikan dengan kondisi kesehatan serta berat badan pasien. Rejimen 9 bulan yang terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama yaitu selama 2 bulan mengonsumsi isoniazid, riframpisin, dan etambutol. Tahap kedua yaitu selama 7 bulan yang hanya mengonsumsi isoniazid dan rifampicin. Terdapat juga rejimen 6 bulan yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama selama 2 bulan mengonsumsi obat yang mengandung isoniazid, rifampicin, dan pirazinamid. Kemudian selama 4 bulan atau pada tahap kedua mengonsumsi isoniazid dan riframpicin selama 4 bulan. Untuk teman saya, dia memperoleh pengobatan rejimen 9 bulan sesuai dengan arahan dokternya. Pengobatan yang tertera di atas sesuai dengan ciri yang diberitahukan oleh teman saya tersebut. Dia mengonsumsi 3 obat yang diminum setiap hari dalm tiga periode waktu. Seluruh proses tersebut disebut dengan pengobatan lini pertama. Untuk TB Kelenjar akan membutuhkan waktu pengobatan 9-12 bulan.
Jika ternyata resistensi obat tetap terjadi, dokter akan memberikan obat-obatan lini kedua yang meliputi ethionamide (Trecator-SC), moxifloxacin (Avelox), levofloxacin (Levaquin), cycloserine (Seromycin), serta kanamycin (Kantrex). Jangka waktunya bisa mencapai lebih dari 1 tahun. Namun semoga ini tidak akan tejadi. Aku sungguh mendoakan segala yang terbaik untukmu.
Ah, semakin benci membacanya. Tapi sebenarnya memang lebih baik tahu di awal. Oke, saya akan tetap tuliskan.
Ya, aku tahu. Sedih memang membacanya.
Pentingnya supporter
Saat aku mempelajari semua ini, aku benar-benar benci data. Tapi lagi-lagi harus kuperangi karena data selalu berawal dari fakta, apalagi yang terkait dengan kondisi medis. Memang faktanya TB merupakan penyebab kematian tertinggi keempat di Indonesia, persis setelah stroke, jantung iskemik, dan diabetes. Itu Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek yang bilang. Namun, hal tersebut terjadi karena penyintas tidak mengonsumsi Obat Anti Tuberkolusis (OAT) secara teratur hingga menjadi TB RO. Sebenarnya RO pun tetap dapat disembuhkan, namun dengan durasi konsumsi obat yang lebih lama, bisa mencapai 24 bulan. Oleh karenanya, baik penyintas, keluarga, maupun berbagai lingkaran sosialnya perlu belajar dan perlu dididik dalam merespon penyakit TB. Karena penyintas pun sangat bergantung dengan semangat yang disalurkan dari orang-orang terdekatnya. Samalah pasti dengan atlet, dia akan semakin prestatif kalau semakin banyak mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Makanya supporter bola juga selalu dapat julukan pemain ke-12 kan? Menyemangati itu punya arti, kok. Saya yakini itu.
Ada salah satu sumber artikel yang saya sangat-sangat terenyuh membacanya. Dia bercerita bahwa dia masih di bangku kuliah semester 5 ketika didiagnosa harus mengidap penyakit tersebut. Tapi dia tidak malu. Dia justru terbuka pada orang-orang di sekitarnya tentang penyakitnya. Justru penyintas yang mengedukasi! Dia bahkan memberanikan diri menyatakan kepada teman-teman sekelasnya bahwa dia terkena TBC. Syukur teman-temannya mau membuka wawasan terkait bakteri tersebut dan mendukung penyintas untuk dapat mengonsumsi obat secara teratur meski dalam masa perkuliahan berlangsung. Inilah mengapa akses terhadap informasi dan pendidikan tentunya penting untuk penyintas, keluarga, dan bahkan seluruh lingkungan terdekat penyintas untuk dapat mengubah mindset dalam merespon penanganannya. Setidaknya untuk dapat lebih pengertian terhadap ujian konsistensi mengonsumsi obat dengan berbagai efek sampingnya.
Ah, tapi tetap saja benci rasanya membaca info-info ini dan menuliskannya saat ini.
0 notes
Text
11 Januari Bertemu
11 Januari 2020
Tanggal 12 Desember 2020, sebulan yang lalu dia mengeluhkan kondisinya yang tidak begitu baik. Mengatakan bahwa ada yang tidak mengenakkan di balik pundaknya, (bagaimana membahasakannya) tapi setelah dianalisis kemungkinan besar yakni karena ketidaksesuaian postur tubuhnya dengan kursi yang ia duduki. Kemudian dia pun mengeluhkan bahwa kepalanya terasa berputar, dia vertigo. 14 Desember, dia disambangi oleh ibunya ke Bandung dan bersama dengan Ibunya kembali bertolak ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saya benar-benar terisak di sini, di waktu itu. Membayangkan bahwa lagi-lagi orang tua yang akan banyak terlibat. Dan membayangkan apa yang terjadi padanya.
Sejak hari itu, selalu kutanya dia, apakah dia baik-baik saja, apakah pundaknya sudah membaik, dan pusingnya sudah menipis. Dia selalu bilang, dia baik-baik saja. Pada 26 Desember, terjadi gerhana matahari. Saya mengajak dia dan kakaknya untuk turut hadir dalam gegap gempita penyambutan gerhana di sebuah area kesenian di DKI Jakarta. Saya sedikit terdiam karena merasa banyak dicampakkan belakangan, padahal katanya dia sudah baik-baik saja, atau setidaknya jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya tahu sifat ini pasti sangat kekanak-kanakan. Saya pun tidak menyangka akan besarnya ego ini terhadapnya. Saya kira, sebagai pribadi yang acuh tak acuh, saya akan merasa biasa saja dengan segala apa yang terjadi. Namun ternyata, ada perasaan yang mengubah ini semua. Ada kekhawatiran yang bercampur dengan kekesalan yang terus saja membuat saya berdebar kalau di depannya. Maaf, aku bukan bermaksud marah, aku hanya bingung.
Siang itu, kakaknya bertanya pada saya, saat si adik sedang pergi beribadah, tentang apakah aku mengetahui bahwa sang adik masih sakit. Jelas aku tidak tahu kalau ternyata sakitnya belum kunjung sembuh. Makanya aku berani mengajaknya menonton gerhana. Namun ternyata, kondisinya masih belum membaik. Dia masih memiliki bekas vertigo dan pegal yang tak kunjung habis di pundaknya. Dia bilang, dia selalu baik-baik saja. Akupun sesak rasanya ketika mendengarnya. Melihatnya yang masih menatapku dengan lemah, tapi selalu berusaha seolah semua baik-baik saja. Hari itu dia melepas kacamatanya, kukira karena biasa saja atau memang panas mungkin dia tidak ingin kacamatanya terkena keringat. Namun ternyata karena masih pusing saat melihat bayangan pantulan sinar dari kacamatanya. Hari itu, lagi-lagi dia terlihat berbeda bagi saya. Ada kebahagiaan yang luput dari sorot matanya. Lagipula, siapa yang ingin sakit? Kurasa bahkan hewan pun kalau bisa bicara akan berkata sama. Namun takdir tiada yang kuasa untuk menolak.
Saya berusaha supaya tidak mengeluhkan apapun. Saya mencoba untuk lebih diam karena saya tidak ingin ada sakit yang lebih lagi pada dirinya kalau saya salah berkata-kata. Kemudian 30 Desember, saya ulang tahun. Saya menempuh berbagai cara untuk bisa membahagiakan diri agar tidak terbelenggu dalam kesedihan karena ketidakhadirannya. Di penghujung malam, dia bilang dia ke rumah sakit. Aku sedikit lega, karena sudah 18 hari keluhannya terus berulang, pada sisi yang sama yaitu pundaknya. Dia menjanjikan kami untuk berjalan-jalan di tanggal 1 Januari, namun alam berkata lain, dan hujan lebat turun hingga menyebabkan banjir di ibu kota. Jelas kami putuskan untuk tidak jadi pergi. Malam harinya memang saya tidak bisa tidur karena saya terus memikirkan, apakah ini jalan-Nya yang tidak ingin mendukung kami untuk bersama?
Semakin hari dia semakin diam, semakin jarang berkabar. Kami tidak kunjung bertemu. Jelas karena ada yang tidak beres dengannya. Barangkali hanya satu dua kali dia membalas obrolan saya di Whatsapp. Saya rasa, dia masih tidak dalam kondisi baik sepertinya. Namun tetap ada sedikit emosi yang berkecamuk di dalam dada saya. Yang membuat saya ingin berterus terang kepadanya, menanyakan apa salah saya atau apa yang tidak beres dengannya. Namun dia bilang, dia tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Baik, aku kembali diam namun tetap dengan pertanyaan yang mengganjal. Apa? Apa yang aneh? Biasanya kami bertemu walau hanya sekali dalam 2 minggu atau bahkan 1 bulan. Lalu kuputuskan, saya yang harus berbuat. Sejak awal saya tahu bahwa saya harus selalu berusaha lebih dalam hal apapun jika ingin dengannya.
Belakangan dia semakin minim kabar. Informasi tentangnya semakin terbatas. Dia bukan budak konten yang akan meng-update semua halnya di media sosial. Dia manusia baik, lugu, lucu, berani, pintar, santun, berbakti, berbudi, tapi hanya bisa dilihat dalam dunia nyata. Harus dengan menatap langsung kepadanya. Saya memiliki kontak ibu, bapak, dan kakaknya. Namun tidak juga saya diberitahu apa sebenarnya yang terjadi padanya. Karena memang siapa saya ini?
Pada 6 Januari dia bilang kepada saya bahwa akan ada titipan untuk saya di kantor. Katanya Go-Send yang akan mengirimkannya kepada saya. Namun ujungnya, jam 1 siang justru dia yang hadir di pintu samping kantor saya dengan membawa tas totebag pemberian saya dengan isian berupa hadiah ulang tahun saya. Yang ternyata hadiah tersebut datangnya dari kedua orang tua saya dan orang tuanya. Kedua orang tua saya memberikan HP, sementara kedua orangtuanya memberikan saya pigura bertuliskan Kunci Zuhud. Jelas sangat dalam isinya. Itu bekal dunia dan akhirat saya. Dua hadiah berbeda yang disatukan dalam totebag ini, adalah bukti betapa drastisnya perbedaan hidup kami. Saya, tidak habis pikir lagi. Saya mungkin adalah orang terbodoh yang sangat begitu kejam, keji, dan egois hanya ingin memenangkan emosi sendiri. Disitu saya begitu membenci diri saya yang selalu ingin diperhatikan oleh orang-orang terdekat saya. Disitu saya pun merasa tidak enak karena mengingat pernyataannya bahwa ibunya sebenarnya sudah sejak lama ingin membeli barang seperti yang saya dapati sebagai hadiah ulang tahun dari kedua orang tua saya ini, namun tak kunjung membelinya karena selalu ada hal yang lebih diprioritaskan daripada itu. Saya merasa saya adalah monster yang begitu beruntung. Saya mendapatkan segala hal keajaiban dan kemaslahatan, di saat orang lain begitu inginnya keluar dari sukarnya keadaan. Setelahnya, komunikasi kami sempat membaik. Namun kemudian dia menghilang lagi.
Dia sempat saya mintakan tolong untuk menemani saya mengambil barang-barang di indekos dan menitipkanya di rumahnya. Tapi dia tidak pergi begitu saja, dia sempat meminta maaf di malam hari pada tanggal 10 Januari, karena tidak jadi menemani saya ke rumahnya untuk berpamitan hengkang dari Jakarta karena masa saya di sini sudah habis. Katanya, dia harus terapi. Terapi ini sudah kali ke-5 dilakukannya setelah tanggal 30 Desember, 2 Januari, 4 Januari, dan 8 Januari. Dan terapinya pun membekas pada lehernya. Pedih melihatnya menjadi berbekas obat.
Baik, saya pahami itu. Saya tetap berusaha sabar karena saya tahu dia juga tidak akan bermaksud untuk mengingkari janjinya. Itu bukan kehendaknya, saya yakini itu. Maka 11 Januari saya menggunakan Go-Car untuk menempuh perjalanan dari Setiabudi menuju Cibubur sendirian. Saya membawa meja, kursi, dan magic com bersama saya, yang saya harap dapat membantu meringankan bebannya. Awalnya saya masih berpikir dua kali, apakah nanti saya akan tiba di sana dengan tatapan penuh kebodohan karena begitu polosnya saya mau merepotkan orang lain untuk menitipkan barang-barang saya di sana. Namun, saya tetap berpikir bahwa barang-barang ini saya niatkan semoga dapat menjadi hal yang mampu membantunya menjalani hidup lebih baik sehingga saya tetap memberanikan diri untuk ke sana. Saya telah mengikhlaskan siapapun yang akan menggunakannya dan bagaimanapun perlakuannya terhadap barang-barang itu.
Hanya butuh 45 menit hingga saya tiba di Cibubur, lewat tol cawang dan tol jogorawi tentunya. Saya bertemu dengannya pertama kali, karena dia yang membukakan pintu pagar rumahnya. Dia mengenakan masker. Pikirku, mungkin dia juga terkena flu. Dia membantu membawakan barang-barang dari mobil untuk dimasukkan ke dalam rumahnya. Saya masih berusaha menghindar dari pertemuan mata dengannya karena tidak mau terlihat jika masih ada sorot mata yang sedikit jengkel dari pandangan saya kepadanya. Saya hanya tidak mau membebaninya lagi, walaupun saya memang merasa kadang sakit hati. Saya memasuki rumahnya dan disambut oleh kehangatan bapak ibunya. Oke, akan selalu saya ingat: satu koper berisikan magic com, satu meja, dan satu kursi. Sebuah modus yang saya lakukan agar dapat memasuki rumah seorang pria yang tinggal bersama kedua orang tuanya. Di sinilah saya harus bisa menggali informasi.
Saya tanyakan kabar kepada kedua orangtuanya yang saat itu sedang terjangkit flu. Katanya juga, selayaknya manusia Indonesia, “sehat Alhamdulillah”. Baiklah, kurasa sifat ini memang turunan. Karena sebenarnya terlihat sekali keduanya begitu lelah. Saya diajak sholat zuhur berjamaah, lalu sang ayah dan ibu pergi meninggalkan saya dan dia berdua di ruang tamu. Saya masih saja kelimpungan merasa tidak enak karena sang ibu memasak sendirian di dapur, sementara saya leha-leha di ruang tamu. Namun, dia menahan dan mengajak saya bicara. Dengan masker menggantung di telinganya, dia mulai membuka suara, dan mengawali cerita dengan meminta maaf sebelumnya. Dia tahu dia menghilang. Tidak menghampiri sama sekali padahal di kala liburan perkuliahan. Dia tahu, dia berbeda dari yang sebelumnya. Dan masih saja aku sebal, karena dia membercandakan bahwa bisa jadi saya marah karena mengiranya dia memiliki ‘seseorang yang lain’. Padahal, saya sama sekali tidak pernah sedetikpun mengira bahwa dia bersama wanita lain. Saya hanya tidak pernah lepas dari keheranan, mengapa dia tidak mau bicara terus terang kepada saya. Dia lalu berkata bahwa dirinya tidak bisa menyembunyikan ‘ini’ terus menerus. Dia menggesek-nggesekkan telapak tangannya pada lengannya. Dia gagu, bimbang, khawatir. Dia menghela nafas panjang sekaki. Dia bilang, dia siap menerima apapun keputusan dari saya yang juga akan menyangkut masa depannya. Tapi saya hanya terdiam, menantikan kejelasan darinya. Saya jelas tidak suka dengan intro seperti itu.
Lalu dia menceritakan awal perjuangannya bersama ibunya, yang ternyata dimulai sejak hari ulang tahun saya. Sejak 30 Desember dia mencari dokter yang tepat. Dari depan rumahnya, hingga ke Cileungsi untuk memperoleh fasilitas asuransi kesehatan dari pemerintah, yaitu BPJS. Saya menatapnya masih dengan tatapan biasa saja namun dengan kelegaan luar biasa di hati saya. Saya senang dia mau cerita. Dia bilang sudah cek darah dan dinyatakan semua baik-baik saja. Lalu dia menuju dokter bedah di Cileungsi dan justru disarankan untuk dibedah bagian pundaknya karena memang itu yang dikeluhkan. Namun beruntunglah bahwa ibu dan anak ini tidak percaya dengan dokter tersebut yang memutuskan solusi terlalu cepat tanpa meneliti terlebih dahulu akar permasalahannya. Kemudian ibu dan anak ini kembali ke rumah sakit depan rumahnya, dan mendatangi dokter penyakit dalam. Disanalah semua bermula.
Disarankan untuk kemudian mengambil foto rontgen area dada ke atas. Karena Nampak ada benjolan di leher kirinya. Itu getah beningnya. Lalu dokter bilang, ada sedikit bakteri Mycrobacteria Tubercolusis yang bersarang di paru-parunya. Itu menjawab kenapa belakangan hanya lemah imun sedikit lalu dia langsung sakit bertubi-tubi. DIa bercerita bahwa September dia pernah batuk hingga sedikit berdarah. Namun kata dokternya yang dulu, itu hanya sedikit infeksi pada tenggorokannya. Sakit sekali waktu aku mendengarnya. Aku selama ini berkomunikasi hanya dalam kesenangan dengannya. Dan ternyata dia begitu tersiksa menjalani hari-harinya. Sejauh yang aku kenal, dia selalu menjadi manusia yang mandiri, selalu makan banyak dan bergizi, selalu disiplin, selalu menjaga minum, maka jelas ada yang menyayat saat dinyatakan bahwa ada penyakit yang bersarang pada tubuh sehatnya. Aku tapi tidak ingin bersedih di rumah yang isinya adalah orang-orang kuat ini. Sang ibu masih saja tertawa, walau aku tahu pasti hatinya begitu tersayat melihat anak lelakinya yang begitu bugar tiba-tiba harus tervonis TB. Penyakit menular yang sangat terkait dengan sistem imunitas dan sangat membutuhkan konsistensi dan kedisiplinan untuk mengantisipasinya. Dia kuat, tante. Saya yakin. Susah ternyata menahan tangis, namun untung saya disuguhi nasi goreng buatan ibunya, yang kemudian nasi itu pedas dan membuat saya bisa sedikit terisak tanpa membuat orang merasa takjub. Saya takjub. Betapa kuat keluarga ini menghadapi ujian. Sungguh keluarga yang baik bukan main. Saya yakin, sebenarnya mereka butuh pertolongan. Namun saya siapa? Lagi-lagi rasanya ingin marah, karena ketidakbisaanku membaca keadaan. Dan ketegaan saya untuk pergi meninggalkan keluarga ini tanpa memberikan sedikitpun bantuan. Saya selalu saja menyesali betapa jahatnya saya yang acapkali berburuk sangka tentangnya. Yang ternyata dia bahkan mengurus dirinya sendiri saja belum tuntas, apalagi mau mengurus keluarganya, atau bahkan ornag-orang terdekatnya.
Ibu dan anak ini mencoba menganalisis penyebabnya. Dan salah satunya yang teridentifikasi adalah lingkungan baru tempat tinggalnya di indekos dekat ITB. Baru saja dia menghuni 6 bulan lamanya, namun sudah bertubi-tubi yang harus dia hadapi. Baru 6 bulan dia menjalani kuliah, namun harus bersusah payah hingga terseok-seok ia meraih kelulusan semester 1-nya. Dia anak baik, saya yakin Allah ingin membuat perjalanannya di dunia menjadi lebih indah dengan membuatnya menjadi lebih kuat. Saya yakin, itulah salah satu jalan pengampun dosa untukmu.
Lalu saya berbincang hangat dengan keluarga itu hingga pukul 14.30 WIB. Saya memutuskan untuk pulang tanpa perlu diantar. Namun keluarganya bersikeras meminta supaya dia mengantarkan saya setidaknya sampai ke halte biasa. Orang tuanya bilang, supaya dia bisa lebih refresh dalam melakukan apapun. Karena di rumah selalu membuatnya merasa tidak baik-baik saja. Baiklah, saya tetap ke halte bersamanya menggunakan Grab Car. Sepanjang jalan dia bercerita tentang jalanan, kemacetan, angkot, Raffles Hills, perumahan-perumahan yang ada di sekitar, dan tentunya tentang dia dan usahanya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk tetap biasa saja dalam menatapnya, meresponnya, maupun mendengarkannya. Dia lalu mengantarkan saya sampai ke Cibubur Junction, dan kami pun berpisah. Dia pulang dengan menggunakan Go-Ride. Dia terlihat banyak pikiran, banyak kesedihan, banyak guratan yang menggambarkan kelelahan, tapi dia bilang lagi bahwa dia baik-baik saja.
Di perjalanan, saya memutuskan untuk berhenti sejenak sekaligus sholat Maghrib. Berpikir keras, berkali-kali, apa yang bisa saya bantu untuk keluarga ini. Saya berusaha berkali-kali untuk dapat memberikan pikran jernih, namun tetap saja hanya ada penyesalan pada diri saya. Kenapa sempat-sempatnya saya berpikir tidak baik tentangnya. Kadang saya merasa bahwa saya jauh lebih berdosa, dan kenapa bukan saya yang sakit. Namun lagi-lagi saya kembali memikirkan keluarga saya yang pasti akan jauh lebih membutuhkan saya nantinya. Adik saya, kakak saya, ibu ayah saya. Ada 4 orang yang pasti akan membutuhkan saya nantinya. Namun selalu saja terusik dalam pikiran saya, pasti orangtuanya pun merasa bahwa mereka yang lebih ingin untuk menderita daripada anaknya. Saya menjanjikan untuk berdiskusi lagi di malam hari bersamanya. Maka saya memutuskan untuk pulang, kembali ke indekos saya yang kini sudah lebih luas karena tidak ada meja dan kursi.
Malamnya, kami msih berkomunikasi. Saya pun juga mengabari sang ibu bahwa saya telah tiba di indekos dengan selamat. Walaupun kemudian tidak kunjung berbalas. Kami menentukan jadwal yang baik untuknya. Untuk masa depannya. Untuk jadwal sehari-harinya. Mengikuti jadwal kuliahnya dan menyeimbangkannya dengan pola hidup yang baik. Dia mau berdiskusi. Lalu dia terlelap jam 10 malam. Dia bilang, obatnya membuatnya merasa sangat mengantuk hingga pusing bukan kepalang. Membayangkannya saja aku tak kuasa.
Pagi harinya, sang ibu membalas pesan saya dengan bonus kabar bahwa semalam anak lelakinya demam. Padahal semalam anaknya justru bicara dengan saya bahwa yang menyebabkan keluarganya tidak jadi ke Bandung bersama-sama adalah karena keluarganya sedang dalam kondisi rawan tumbang. Namun ternyata dia sendiri yang tumbang. Dia demam. Tapi kami masih berbicara, biasa saja. Saya menangis dalam solat dan lantunan doa pagi saya. Dalam baris kata di Kitab Al-Qur’an saya. Melanjutkan tangisan malam hari saya. Saya tak kunjung berhenti membayangkan kenapa bisa anak sebaik ini yang menerima ujian seperti ini? Tapi Allah Maha Mengethaui apa yang diperlukan oleh hamba-Nya. Kurasa dia sudah sabar dan konsisten, tapi ternyata Sang Maha Penyayang ingin melatihnya supaya mampu lebih lihai dalam bersabar dan berkonsistensin melalui “blessing in disguise” ini. Saya percaya, dia pasti kuat dan ikhlas dalam menjalaninya.
1 note
·
View note