flakes off the universe-half of dusk- caramel addict who's sinking with her own unprotected thoughts. @_araa08
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
KRITIK SASTRA
Orang Suci Pohon Kelapa; Nuansa dan Esensi Hidup Oleh : Intan Zahra Ramdhini (1703456) Judul Buku: Orang Suci, Pohon Kelapa Penulis: Choi, Jun Penerjemah: Kim Young So & Nenden Lilis Aisyah Penerbit: Gramedia Jakarta Tebal Buku: 123 Halaman Tahun Terbit: Oktober 2019 (Cetakan dalam bahasa Indonesia) Pembahasan tentang korea selalu ramai dan menjadi hal yang menarik di Indonesia saat ini. Korean Wave begitu cepat pesebarannya dan hangat diperbincangkan. Bukan hanya budaya dan modernnya sajaa seperti drama dan k-pop karya sastra Korea pun banyak mengundang peminat. Akan tetapi, dalam buku ini kita akan disuguhkan bagaimana perspektif seorang yang berasal dari Korea, terhadap Indonesia dari segi visualnya yang disuguhkan dalam bentuk tulisan dan rangkaian kata yang indah. Buku antologi puisi Choi Jun asal Korea yang berjudul “Orang Suci, Pohon Kelapa” cetakan pertama ini terbit pada Oktober 2019 di Indonesia sebagai buku terjemahan yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta dengan nomor KPG 59-19-01700, serta dengan nomor ISBN 978-602-481-252-2. Diterjemahkan oleh Kim Young Soo, dan Nenden Lilis A. Editor dalam buku ini ialah Candra Gautama. Perancang letak dalam buku ini ialah Teguh Erdyan dan Wendie Artswenda. Perancang sampul dalam buku ini ialah Choi, Jun. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta dengan isi 123 halaman yang memuat kumpulan sajak, kata penutup, dan sekilas tentang penulis dan penerjemahnya. Choi, Jun adalah seorang pengarang dari Korea yang telah menulis beberapa kumpulan sajak, diantaranya adalah Kau, Masih Di Sana, Anjing, dan Melemparkannya ke Dunia Tanpa Aku. Choi Jun lahir di Kabupaten Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea, pada tahun 1963. Ia memperdalam sajak sejak duduk dibangku perkuliahan, yaitu di jurusan Bahasa dan Kesusastraan Korea, Universitas Kyung Hee, Korea. Choi Jun pernah menerima penghargaan dari Sastra Bulanan Korea tahun 1984 sebagai penyair baru. Ia juga terpilih sebagai pemenenang sayembara mengarang pada musim semi yang diadakan oleh Harian Joong Ang, Korea 1995 dengan sajak tradisional Korea. Buku ini diterjemahkan oleh dua orang dengan latar belakang negara yang berbeda, yaitu Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. Kim Young Soo lahir di kota Seoul, Korea. Ia pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS selama 30 tahun. Aktif menulis dan mengarang. Riwayat pendidikan S1 hingga S3nya dia tamatkan di program kesusastraan dan literatur yang berkaitan dengan sastra Indonesia. Ia menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa Malay-Indonesia, HUFS (Hankuk University of Foreign Studies). Ia menamatkan studi S2 di jurusan Kesusastraan Modern Indonesia di HUFS. Ia juga menuntaskan S3 di Jurusan Comparative Literature, HUFS dengan disertasi berjudul “A Study on Chairil Anwar’s Poems with the Postcolonialistic View”. Ia juga menulis dan mengarang sejumlah tesis dan buku. Misalnya Indonesian Language Practice. Baru-baru ini ia menerima hadiah sebagai penyair baru dari Changjak 21. Kumpulan sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterbitkan atas dana bantuan bagi penciptaan karya sastra dari Arts Council Korea pada tahun 2007. Sedangkan Nenden Lilis Aisyah, merupakan seorang penyair wanita Indonesia yang lahir di Garut, 26 September 1971. Karya-karyanya telah banyak dimuat di surat kabar, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Majalah Sastra Horison, dll. Kini, ia menjadi dosen di UPI Bandung. Dari keaktifannya dalam berkarya, Nenden Lilis pernah menerima penghargaan dalam Cerpen Pilihan Kompas 2000 sebagai pemenang lomba cerpen. Selain itu, Nenden Lilis juga pernah menerjemahkan karya sastra dari Korea sebelumnya, yaitu antologi puisi “Langit, Angin, Bintang dan Puisi” karya Yun Dong Ju, yang diterjemahkan bersama Prof. Shin Young Duk, PhD. (2018). Sajak lainnya yaitu kumpulan sajak tunggalnya berjudul Negeri Sihir. Cerpen yang ia muat juga terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan Mandarin. Ia juga kerap diundang untuk membacakan karyanya dan menjadi pembicara dalam suatu acara sastra.Ia pernah diundang di acara workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara. Ia juga menerbitkan sejumlah buku nonfiksi. Terdapat antologi sajak terbaru dari dirinya berjudul Maskumambang Buat Ibu. Penyair Choi Jun menuangkan kecakapan estetik dalam menceritakan apa yang dialami dan diamatinya selama tinggal di Indonesia. Hadirnya pandangan lain tentang Indonesia, mengingat adanya perbedaan yang jelas antara Indonesia dengan Korea, baik dari segi geografis maupun budaya. Dalam buku ini dimuat syair-syair mengenai keadaan Indonesia yang diceritakan oleh Choi Jun ketika tinggal selama lima tahun di Indonesia, yakni dari tahun 2000-2005. Kumpulan sajak tersebut menggambarkan imajinasi pengalaman Choi Jun di Indonesia. Apa yang ia soroti tidak lepas dari keterkaitannya sebagai orang luar Indonesia terhadap sosial atau budaya Indonesia. Kumpulan sajak ini ia persembahkan untuk ayahandanya, dan adiknya yang kini telah tinggal dalam keabadian. Ayahnyalah yang mengajak dirinya untuk tinggal di Indonesia. Dalam kumpulan buku sajak ini, Choi Jun menceritakan pengalaman hidupnya selama di Indonesia. Ia sangat menghayati, merasakan, dan menyelami semua cerita itu dengan dekat. dalam alam pikiran Choi Jun yang berusaha menggambarkan segala kenangan, bentuk kekaguman, bentuk keprihatinan, dan bentuk ketertarikan Choi Jun terhadap sosial dan alam yang hidup di Indonesia. Jika kita membaca keseluruhan sajak-sajak Choi Jun dan mencoba menghayatinya, maka ungkapan tersebut adalah benar adanya. Kita akan tahu bagaimana Choi Jun telah memotret sudut-sudut kehidupan Indonesia dalam alam pikirannya. Nilai-nilai kemanusiaan yang ditampilkan oleh Choi, Jun adalah bagaimana ia menuangkan segala bentuk ketertarikannya. Realitas yang ditampilkan oleh Choi Jun dalam buku ini merupakan ungkapan kritik. Misalnya ungkapan kritik dan keprihatinan Choi Jun terhadap ketimpangan sosial . Bagaimana Choi Jun telah memotret sudut-sudut kehidupan Indonesia dalam alam pikirannya dengan mencatat nilai-nilai kemanusiaan yang ditampilkan. Selain itu penyair juga menaruh perhatian lainnya terhadap flora dan fauna yang hidup di Indonesia. Mungkin bagi sebagian besar penyair Indonesia, tak begitu istimewa pembicaraan tentang buah, pohon, dan binatang itu, akan tetapi sebagaimana kita tahu bahwa di Korea sendiri tidak segala jenis pohon dan tumbuhan bisa tumbuh. Tidak segala jenis fauna bisa hidup. Bahkan kita dapat merasakan pengalaman pengarang selama hidupnya di Indonesia, ia seperti telah menjelajahi segala sudut Indonesia. Papua dengan Cendrawasihnya, Bali, Jakarta, Bandung. Hingga alam rimba, sungai yang airnya keruh, dan lautan yang membentang Samudera Hindia dengan senjanya. Hal tersebutlah yang menjadi ketertarikan seorang Choi, Jun dengan membenturkannya pada keadaan sosial yang hadir di Indonesia. dalam sajak “Ladang Garam Burung Cendrawasih”, Penguin dalam sajak “Penguin di Jakarta”, Ikan dalam sajak “Ikan Berbola Mata Suram”, Semut dalam sajak “Semut-Semut Petang Hari”, Kura-Kura dalam sajak “Kura-Kura Laut”, dll. Ketertarikan lainnya yaitu terhadap flora yang ia lukis dalam sajak “Pisang di Pulau Jawa”, “Tarian Pepaya”, “Sketsa Terakhir Tentang Pisang”, “Orang Suci, Pohon Kelapa”, dll. Jika menilik dari makna yang terkandung dalam sajak-sajak tersebut, penyair tentulah tidak semena-mena hanya menceritakan tentang buah-buahan, akan tetapi terdapat makna lain di dalamnya, yaitu makna sosial yang mendalam. Seperti pada sajak “Orang Suci, Pohon Kelapa” yang pada akhirnya dijadikan sebagai judul dari buku ini, terdapat sebuah kisah pohon kelapa yang hidup menyendiri di pemakaman dengan pinggangnya yang bengkok dan menahan pusat pemakaman umum selama tiga puluh musim hujan dan kemarau berlalu. Sebetulnya sajak tersebut menggambarkan manusia yang telah renta namun tetap dihup dalam lingkup pemakaman umum dengan biji-biji tasbih. Pemakaman biasanya dimaknai sebagai pusat segala luka, tangisan, penderitaan, dan lain-lain. Namun, seseorang itu tetap hidup demikian, dengan berpasrah kapan ia akan melapuk termakan usia. Keprihatinan penyair sampaikan dalam beberapa sajaknya, yaitu perihal ketimpangan sosial dalam sajak “Bulan Purnama untuk Malam Ini”, sebagaimana yang dikatakan Nenden Lilis Aisyah selaku penerjemah, bahwa sajak ini sangat mengiris hati sebab mengisahkan seorang anak yang tak memiliki bola mata di sebuah gang sambil makan roti. Akan tetapi, roti itu tak pernah habis dan bentuknya tetap bulat, yang ternyata roti tersebut adalah bulan purnama yang dihalusinasikan si anak sebagai sepotong roti. Betapa miris dan ironisnya isi dari sajak tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kepedulian dan kemanusiaan tak dibatasi oleh apa pun, baik tingkatan sosial seseorang maupun berasal darimana seseorang tersebut. Sajak tersebut sangat dapat menyentuh perasaan seseorang dilihat dari sajaknya yang menggambarkan seorang anak jalanan yang mengalami kelaparan. Choi Jun menggambarkan kondisi anak tersebut dengan majas ironis dan tragis. Buku ini bagus untuk dibaca karena dapat memperkaya wawasan dan pengenalan pembaca akan kesusastraan. Pada keseluruhan sajaknya terdapat permainan kata-kata estetik yang di setiap kalimat dalam baitnya memuat untaian kisah, perjalanan, serta perasaan yang ia alami atas apa yang penyair amati. menyajikan sajak-sajak tersebut sebagai bentuk pemikiran yang luar biasa yang berangkat dari hal-hal kecil.
4 notes
·
View notes
Photo

Every phase of my life teaches me how to grow, how to heal and how to deal. And it's time to deal.
0 notes
Video
tumblr
Current favorite. #kina #getyouthemoon #kinabeats #lofi #chill
0 notes
Text
No insurance to pay for the damage. Yeah i've been burnin' up since you left.
0 notes
Text
3am;
Your hands around my neck, pull me closer by grab my waist. I run my hands through your hair and you slowly moving your hands over my body, and slip your finger through my face.
I breath with deeply feels the scents of your body. I'm so into you, i can't barely breath. Wrap your legs around my legs, grab my face and put a ‘lil kiss. Whisper words into my ears "you are my guilty pleasures" and you hug me with tight like you will never able to hug again. Lay by your side, next to you. Staring into eachothers eyes.
Don't go, keep holding me tight. I wanna grab on and hold tight, i won’t let go.
0 notes
Photo

Upstream Melody
After the accident, I started having dreams. I would see a teenage girl glowing a kind of pale red. She never said anything to me. I just saw her sitting alone in a hospital bed holding a telephone to her ear. Then I would hear a rush of air and an insect-like clicking and I’d wake up with the telephone in my hand, holding it tightly to my ear.
“We’re sorry, you have reached a number that has been disconnected or is no longer in service. If you feel you have reached this recording in error, please check the number and try again. We’re sorry, you have reached a number…”
I told a couple of classmates about it. They thought I was making it up, but one of em’s uncle or aunt worked for Bell Telephone. He gave me a code that would automatically redial the number and call you back when the number was in service. I think the code was something like *66.
One day a few months later, the phone rang. I picked it up. The rush of air! The clicking! I dropped the phone, my whole body electric and my hair standing on end. I could see her face! Pale, blue eyes, blond. Her head was wrapped in bandages and blood was trickling into one of her eyes.
I slowly picked up the phone and brought it to my ear. I listened and listened. In the wind and the clicking sounds there seemed to be a pattern. A kind of melody.
After a while, I started talking. To the girl, I imagined. The more I spoke, the better I felt like I’d been holding my breath since my accident and had finally let it out.
Every night I dialed the number and heard the rush of clicking air. I talked and talked. I told her about my accident and how my mother had been killed. And how I missed her and how I blamed myself and how scared and alone I was. I’d never talked to anyone else about this. Just her.
Sometimes, I’d just sit and listen to the whooshing of the wind and the clicking melody. On the eleventh day, I dialed the number and got the old message.
“We’re sorry, you have reached a number that has been disconnected or is no longer in service…”
I cried myself to sleep that night. I’d never felt more lost and alone.
Several years passed. I was in high school in a new town and lived in a new foster home. I was in a school play and the girl who played the lead was in a very serious accident and the play was postponed. She suffered a skull fracture and had to be airlifted to the city 70 miles away. I didn’t know her that well, she was more of an acquaintance.
After a few weeks, she was released from the hospital and returned to school a few days after that. Play rehearsal resumed. She ran up to me on the first night and hugged me. “You called me every night,” she said. “I was so scared and alone and you listened to me.”
487 notes
·
View notes
Text
“I was nineteen. You had your lips on my neck and whispers in my ear. You drove me crazy. But I mistook crazy for absolute happiness.”
— words by dominic riccitello
183 notes
·
View notes