yoursjasmine
yoursjasmine
36 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
yoursjasmine · 11 months ago
Text
Yang menyedihkan itu, kamu sudah menikah tapi tidak punya tempat untuk bercerita.
—taufikaulia
415 notes · View notes
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Catatan kecil, korban pelecehan.
Hai, manusia kuat. Yang menyimpan segala sesuatunya seorang diri, aku cuman mau bilang, terimakasih sudah bertahan sejauh ini dan masih kuat sampai saat ini. Berat, ya? Gakpapa, kamu hebat.
Apa kamu masih merasa marah? Masih merasa diri kamu hina? Atau masih tidak mengerti kenapa orang sekelilingmu tidak ada yang peduli dan membela?
Ketauilah, bahwa mereka mungkin perduli. Hanya mereka tidak tau bagaimana cara bersikap dan mengambil keputusan. Mereka mungkin bingung, harus bagaimana menghadapimu yg terlanjur hancur. Dan bingung, harus berbuat apa karena mereka menganggap kamupun salah.
Maafkan mereka yang terkesan abai dan lupa, sedangkan kamu masih memutar rekaman-rekaman buruk tentang perlakuan setan yang berwujud manusia. Meskipun mungkin, pelaku sudah tak ada.
Kau tau? Di luar sana, banyak yang perduli dan mengerti, betapa takutnya kamu. Beberapa dari manusia diluar sana akan mengerti sebab-sebab kamu melakukan hal buruk di hidupmu.
Tak apa. Maafkan mereka, ya?
Sudah berlalu begitu lama, sudah saatnya kamu pergi dari tempat itu dan berbahagia. Tak ada yang salah dari dirimu, sungguh. Kau hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Sekarang, kau sudah mengerti banyak hal kan? Sudah, pergi dari tempat itu dan maafkan semua yang tahu meski tak membela.
Kamu kuat. Kamu hebat.
1 note · View note
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Rumah.
Aku, ingin menciptakan rumah yang nyaman untuk anak-anakku.
Makan bersama, shalat berjamaah juga bercerita satu sama lain. Akan kurawat anakku dengan baik. Kupastikan dirumahku tak ada suara keras, tak ada suara benda pecah secara sengaja, piring atau gelas yang melayang, suara pukulan meja maupun tembok, juga teriakan-teriakan kesakitan yang membuat mereka tak bisa tidur nyenyak.
Kupastikan, aku akan membuat mereka merasa nyaman berada dirumah. Rumah yang hangat, yang kemanapun mereka pergi, mereka tahu kemana mereka akan pulang.
Ayesha, Zico. Terimakasih.
4 notes · View notes
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Perihal mengakhiri hidup.
Saat umurku 20 tahun, aku kerap bertanya, "apa masalah orang-orang itu hingga bunuh diri menjadi solusi?"
Seiring bertambah umur, lalu statusku berubah, tubuhku ikut berubah, bahkan hampir segalanya berubah. Akhirnya, aku mulai mengerti mengapa mereka melakukan itu.
Hidup memang seberat itu, ternyata.
Kupikir, aku bisa memendam semua. Kupikir, aku bisa bertahan. Tapi, nyatanya semakin lama semakin sesak. Semakin lama, semua masalah seakan tidak ada habisnya.
Masalah datang terus menerus, trauma yang ku alami pun ternyata tak bisa hilang. Ingatan tentang situasi buruk itu kembali datang dan bahkan membawa ingatan-ingatan lain yang sudah kukubur sangat dalam.
Aku merasa sesak. Kepalaku terasa ingin pecah.
Lalu, aku mencoba bercerita sedikit pada oranglain yang kurasa bukan oranglain lagi, tapi, saat itu pula aku di abaikan.
Tak ada artinya aku mengadu. Tangisku pun diabaikan.
Kulewati malam-malam dengan sesak dan sakit sendiri. Lalu, saat pagi datang, aku bersikap biasa. Aku baik-baik saja. Tak ada luka, tak ada penderitaan.
Apa yang harus kulakukan?
Mengakhiri hidup?
Pergi dan meninggalkan 2 malaikat kecilku?
Pergi tanpa kabar sama sekali?
Bagaimana? Apa yang seharusnya kulakukan?
Jangan suruh aku tuk berdoa pada Allah. Sebelum aku menulis, sebelum aku bercerita apapun, Allah adalah tempat pertamaku mengadu!
Jika bukan karena Allah, aku sudah ingin pulang secepatnya. Tapi, aku sadar bahwa aku tak bisa pergi sendiri, aku harus dijemput. Dengan jemputan terbaik dan juga kondisi terbaik.
0 notes
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Aku sudah berupaya sebegitu hebatnya. Sudah coba berbicara dari A hingga Z. Sudah melakukan ini itu meski tetap tak ada hasil.
Sekarang, aku sudah di titik mencoba bertahan dan menghabiskan rasa. Ya, menghabiskan rasa yang sedikitnya masih ada. Hingga, pada akhirnya benar-benar hilang dan tak ada sama sekali engkau dimana-mana. Dihatiku, pikiran dan hidupku.
Kau bilang, "beri aku satu lagi kesempatan," padahal aku sudah berulang kali memberikan kesempatan. Dan, kau berulangkali berbicara seperti itu hingga akhirnya tak lagi kurasakan keseriusan dari kalimat itu.
Terlalu mendominasi, selalu sok bisa melakukan apapun sendiri, dan terlalu banyak tahu.
Kau mempermasalahkan hal yang bahkan kau saja tertarik padaku karena itu. Kau jadikan itu alasan untuk membenarkan sikapmu.
Kau tahu, karena sifatmu, aku jadi percaya bahwa wanita sepertiku tak akan bahagia meski menikah dengan lelaki baik manapun. Kau membuatku takut.
Meski, aku sudah tak denganmu, aku merasa takbisa juga dengan pria manapun.
Siapa pula yang mau menerima wanita penuh trauma sepertiku? Siapa yang akan bisa mengerti bahwa sikapku hanya semata untuk 'melindungi' diri?
Kau saja baru menyadari itu setelah aku menangis tersungkur. Setelah puluhan malam yang aku lewati dengan tangis dan kau abaikan. Setelah aku berkata "aku tak ingin bertahan lagi," dan kau takut.
Lagi, aku menyadari kau bukan takut kehilangan aku. Kau takut kehilangan hidupmu yang begitu nyaman.
0 notes
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Kudekap tanganmu dan kurasakan lagi hangat tubuhmu setelah bertahun-tahun tak saling bersua.
Kau masih sama. Tanganmu masih terasa hangat dan bahumu masih begitu lebar untukku. Aku tahu ini salah, sangat salah. Tapi, aku tak berdaya, Tuan.
Aku teramat sangat rindu berada didekatmu. Maafkan aku.
11 notes · View notes
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Dunia kadang random banget.
Malem kedua jaga Ibu dirumah sakit, keinget kalo perut belum terisi dari siang. Cuss, berangkat pergi ke pecel lele sebrang Rumah Sakit. Duduk paling ujung, satu meja dengan dua bapak-bapak berseragam biru.
Mereka ngobrol berdua dan aku nyimak, karena kedengeran. Lalu, pesanan mereka tiba. Masing-masing satu porsi pecel lele.
"makan duluan, Mbak...", Kata mereka.
"mangga, Bapak" jawabku.
Sekarang, pesananku yang datang. Dua tusuk ceker, satu tusuk kulit ayam dan satu tusuk usus ayam. Gak pesen lele, karena kemarin sudah.
Kami makan bersama. Setelah selesai, bapak-bapak itu pamit pulang. Sama seperti tadi, kujawab "monggo, pak".
Aku istirahat sejenak, menghirup udara malam minggu dan melihat lalu lalang motor mobil yang tiada henti. Saat hendak membayar, Mbaknya tersenyum dan ngomong, "Gak usah. Sudah dibayar sama bapak-bapak tadi".
Lohhh eehhhhh?? Alhamdulilah. Tapi, Pak, ini saya berterimakasihnya gimana looh? Walaupun ketemu lagi nanti di rumahsakit, saya gak inget muka bapak :(
Hm. Penisiriin, apakah bapak itu kasihan karena ngeliat piringku isinya hanya jeroan? Hoho
Terimakasih ya pak. Semoga sehat selalu.
1 note · View note
yoursjasmine · 2 years ago
Text
Tuan, aku senang saat kau memberi pesan dan berkata rindu.
Maafkan aku yang tak tahu diri, karena merasa kau masih menyimpanku dihatimu meski ada orang lain yang sekarang menetap disana. Sama seperti hatiku yang masih menyimpanmu dalam hatiku, meski aku sudah milik orang lain.
Tuan, apa kita berdosa?
Pijakanku mulai goyah. Aku merasa sesak dan ingin berlari dan menangis di pundakmu. Karena, hanya kamu yang bisa kuajak berbagi semua kesedihanku.
Tuan, tak ada yang perduli akan tangisku. Mereka pikir aku baik-baik saja.
Kenapa orang-orang disekelilingku tak perduli? Padahal jauh disana, kau masih merasakan bahwa aku sedang rapuh?
Tuan, maafkan aku yang tak tahu diri ini.
1 note · View note
yoursjasmine · 3 years ago
Text
Partner
Lu menikah karena butuh partner.
Butuh seorang T E M A N. Ya gaksih?
Teman segala hal. Teman ibadah, teman main, teman bisnis, teman mencapai 'goals' hidup, dan hal lainnya.
Lah, sekarang, kalo lu sendirian banget jalanin hidup terus pasangan lu cuek-cuek aja dan fokus sama dirinya sendiri, fokus dengan kesenangannya sendiri, dan gak ada di sisi lu padahal dia NGEJEGREG depan mata, BUAT APA MENIKAH ?
Enough, sih.
Gak usah peduliin anak. Anak lu juga gak akan ngerasa kehilangan kok. Secara, figure suami lu juga gak ketara banget. Cuman numpang jadi kepala keluarga di kartu keluarga. Alias, gak guna.
Perceraian gak haram kok, itu jalan terakhir ketika segala cara udah lu coba tapi gak bekerja dengan baik. Yaaa, palingan lu bakal denger omongan-omongan gak bertanggung jawab aja dari orang luar. Palingan lu bakal di salahin karena kurang bersyukur. Wkwk
Gaktau aja mereka, yang harusnya bersyukur tuh siapa.
Kelamaan sih kalo lu bertahan sampe 5 atau bahkan 10 tahun hanya demi perubahan yg lu harapkan itu. Gua jamin, hidup lu bakal terus tersiksa. Batin lu ga akan pernah bahagia. Percaya sama gua.
Cus pergi.
1 note · View note
yoursjasmine · 3 years ago
Text
Ayah dan rasa sakitnya.
Ketika tangannya tak dapat lagi kau genggam. Ketika tubuhnya tak dapat lagi kau peluk. Barulah kau akan tahu, sesakit itu menahan rindu.
Bodoh sekali kau yang menyiakan waktu.
Tak ada kenangan manis bersamanya yang bisa kau ingat. Mengapa? Karena hidupmu habis dengan menyalahkan dia. Hidupmu habis untuk sekadar membenci. Hidupmu habis hanya untuk menyimpan dendam berkepanjangan.
Bodoh!
Berkali-kali kauminta, agar Tuhan mengambil dia sebelum ibumu. Dan...Kunfayakun! Doamu terkabul. Kau melihatnya pergi sebelum Ibumu.
Hilangkah rasa bencimu padanya?
Dia menulis surat terakhirnya dengan meminta ampunan. Ampunan terhadap dirinya, pun meminta ampunan terhadap anak-anakny, terhadapmu! Kau lihat kan? Dia pun hidup dengan penuh penyesalan. Dia tidak baik-baik saja saat menyakitimu. Berulangkali dia ingin memperbaiki hubungan yang koyak, tapi kau bersikap dingin. Kau anggap dia tidak ada. kau anggap dia sekadar pelengkap. Kini, silahkan nikmati rasa sesalmu itu.
Kepada siapa kau mau meminta maaf? Sungguh, kau begitu kufur nikmat.
Kau lupakan perjuangan dia membesarkanmu. Dia memberikanmu tempat tinggal layak. Dia mengajarkanmu hidup. Dan kau lupakan itu semua, lalu hidup dengan rasa benci hanya karena perkara khilaf yang dilakukannya.
Nikmati saja hidupmu ya. Hiduplah dengan rasa menyesal sampai kau bisa berdamai dengan itu.
0 notes
yoursjasmine · 4 years ago
Text
Sebuah Nama.
Apa hal yang harus di persiapkan saat masa kehamilan? Nama anak. Terlihat mudah memberikan sebuah nama, tapi, percayalah, butuh waktu agak lama untuk menemukan nama yang pas.
Nama adalah sebuah doa. Didalamnya terselip harapan kita tentang bagaimana ia tumbuh nantinya. Diluar itu, aku juga berfikir sebuah nama haruslah bagus, agar anakku tak terbully atau malu atas namanya kelak.
Lalu, syarat yang lain saat memberikan nama adalah; enak dibaca. Sepele? Tapi memang begitu menurutku. Nama yang bagus adalah nama yang enak saat disebutkan. Mangkanya, aku memberikan 3 suku kata pada anakku. Kenapa harus 3? Entahlah, hanya enak aja.
"Ayesha Silmeria Jasmine".
Ayesha aku ambil dari nama Istri Rasulullah SAW, yaitu Aisyah. Jika diartikan, artinya adalah 'kehidupan yang baik'. Selain agar dia memiliki sifat seperti istri Rasulullah, kuharap dia memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada kehidupan yang dimiliki ibunya.
Silmeria sendiri adalah seorang karakter game yang memiliki jiwa tangguh dan pembela kebenaran. Nama ini diberikan oleh ayahnya. Sama seperti orangtua lain, dia ingin anaknya menjadi wanita yang kuat dan gigih.
Nama terakhir yang kita sematkan adalah Jasmine. Berasal dari nama bunga; Putih, bersih dan wangi. Saat menyematkan nama yang sama dengan apa yang kupunya, terselip doa agar kelak dia sepertiku dalam menjalani cobaan. Meski, aku selalu berdoa agar jalan hidupnya tak sama denganku.
Sejak 1 Maret 2019, anakku lahir ke dunia. Dan saat itulah, semua pengharapan yang kami sematkan dalam sebuah nama, telah menjadi milik dia seutuhnya.
1 note · View note
yoursjasmine · 4 years ago
Text
Satu hari, Ibu pernah bilang, bahwa sudah kodratnya wanita itu di buang. Aku menyanggah. Kubilang, "ibu bilang begitu, karena mendapat lelaki yang salah".
"Gak dikasih nafkah, diselingkuhin, poligami, atau dihina bahkan sampai disiksa, semua wanita harus sudah siap menghadapi itu. Jangan menyalahi lelaki, kita harus sudah siap dibuang. Mangkanya kita harus berjuang sendiri, demi anak. Jangan pernah mengandalkan suami. Harus mandiri!", katanya lagi.
"ya gak gitu konsepnya, Bu. Jika lelaki di didik dengan benar dan tau agama, dia gak akan lakuin itu", kataku, kekeuh. Lalu kami mengobrol ngalor ngidul, seperti biasa.
Aku keluar dan duduk di kursi depan rumah, melihat jauh daun-daun yang gugur tertiup angin. Terlintas perkataan Ibu tadi, kupikir ada benarnya juga.
Melihat latar belakang suami temanku yang jebolan pesantren saja, selalu dia-istrinya- keluhkan di sosmed. Lalu, ada juga yang terlihat bahagia tapi tetep mengeluhkan nafkah yang diberi suami karena kurang. Berbagai macam masalah rumahtangga sudah kulihat di status bahkan story WA. Apa ini namanya wanita memang dibuang?
Berkaca lagi pada diri sendiri, dari awal hingga kini memang aku mencukupi kebutuhanku sendiri. Suamiku tak memberi nafkah? Bukaan. Tentu bukan.
Aku memang ingin bebas. Jadilah, aku harus menghasilkan agar bisa menggunakan uang semauku. Juga, aku tahu suamiku tak selamanya ada. Lagi, lelaki kadang tak mengerti apa yang kita perlukan. Maka, jika punya penghasilan sendiri, aku tak perlu repot menjelaskan bahkan meminta itu. Tapi, Ini kulakukan sudah kesepakatan bersama. Kita membebaskan masing-masing untuk membeli apapun tanpa ijin, terkecuali uang bersama harus dibicarakan dulu. Mungkin, inilah maksud Ibu, bahwa wanita tak boleh mengandalkan.
0 notes
yoursjasmine · 4 years ago
Text
Selamat ulang tahun.
Do'aku selalu sama. Selalu berulang tanpa henti.
"Sehatkan Ibu, panjangkan dan berkahi Ia di umurnya, bahagiakan hatinya, lindungi segala langkahnya dan pertemukan kami semua di Surga"
Tak pernah berhenti.
Segala kesusahan hidup telah kami jalani. Tapi, mungkin kami tak pernah merasa begitu susah. Ibu bilang, jangan lupa bersyukur dalam keadaan apapun.
Sekarang, yang paling terasa sakit dan menyesakan adalah ketika mendengar dan melihat segelintir orang "mencemooh" Ibu kami. Tanpa berkaca dan melihat diri sendiri.
"Sungguh Gobl*g sekali". Ah itu yang ada diotakku, tidak aku sampaikan. Mana mungkin, aku anak yang baik dan tak mencari masalah, apalagi dengan orang-orang yang tak berotak. Ups!
1 note · View note
yoursjasmine · 4 years ago
Text
Sedang merasa lelah.
Berjuang sendiri meski nyataya tak sendiri, ditekan dari segala arah. Mimpi-mimpi terasa jauh, sangat jauh. Ah, kepalaku rasanya mau meledak.
Ada yang menggebu mengejar mimpi, tanpa menghiraukan apapun. Melupakan segala demi "impian semu"
Kupikir, jika memang harus berjuang sendiri, mungkin akan terasa nikmat. Tanpa terhalangi oleh apapun.
Apa hidupku bukan milikku?
0 notes
yoursjasmine · 5 years ago
Text
Ibu
Sebenarnya, sangat banyak yang bisa diceritakan perihal "ibu".
Tentang bagiamana beliau bisa survive sampai detik ini, bagaimana beliau mentreatment anaknya satu-satu dengan cara berbeda, bagaimana beliau rela "menurunkan harga diri" hanya demi kami.
Kali ini, aku tuliskan alasan aku memilih mengontrak daripada tinggal dengan orangtua.
Sejak kecil, aku gak pernah pisah dari ibu walau cuman satu malam. Ibu gak pernah bermalam di rumah siapapun termasuk saudara (kalo gak penting-penting banget).
Setiap pergi ke rumah saudara, walau sudah jam 11 malam dan ga ada kendaraan pada saat itu, ibu selalu pulang. S E L A L U.
Beliau selalu bilang, "gak ada tempat nyaman selain rumah. Walau hanya beralas tanah dan sempit, rumahmu adalah satu-satunya tempat pulang". Aku menyimpulkan, mungkin karena kebiasaan itu, jadilah aku tak bisa tidur di rumah orang. Wkwk
Maka dari itu, sebelum aku memutuskan menikah, aku buat perjanjian bahwa aku gak mau tinggal dengan orangtua. "Aku akan membesarkan anak dan membangun kenangan di rumahku sendiri. Jika syarat itu tak terpenuhi, aku gak akan terima lamaran Mas". Dan suami nerima! Seminggu setelah menikah, kita langsung ngontrak.
Akhirnya, aku merasakan perasaan ibu. Seberantakan apapun rumah, itu adalah tempat ternyaman. Bercanda, berdebat, sharing, dan hal lainnya selalu indah dilakukan saat di rumah sendiri.
Terimakasih, Bu. Atas parenting nyeleneh yang Ibu terapkan pada kami.
0 notes
yoursjasmine · 5 years ago
Text
Hidup dalam kepura-puraan membuat semuanya terasa begitu berat.
Apa yg salah?
Kenapa semuanya begitu melelahkan?
Berkali-kali aku mencari, kenapa? Apa? Bagaimana?
Hidupku serasa tanpa arti.
Kebahagiaan seperti apa yg sedang aku cari?
Jalan mana yg sedang kutapaki?
Aku berjalan terus, berharap menemukan secercah harapan bahwa akan ada bahagia disana. Berkali-kali aku ingin menyerah, tapi aku tak kuasa memutar arah. Aku merasa berjalan terus sendiri, berusaha mencari bahagiku sendiri, padahal aku tak benar-benar sendiri.
Sepanjang jalan, aku berusaha membahagiakan dia, juga orang-orang tersayangnya. Tapi, aku menjadi sangat lelah. Jalan menuju bahagiaku semakin terasa jauh, mungkinkah aku tak akan pernah sampai disana?
Aku mencoba mengerti. Ah, ini hanya sementara. Tak apa. Sebentar lagi, dia akan mengantarkanku kesana, ke tempat yg ingin aku tuju. Bukankah memang tempat itu yg kami sejak awal ingin kamu tuju?
Tapi dia semakin nyaman disitu, ditempatnya. Kucoba menarik tangannya, tapi dia hanya bergerak sedikit. "Disini saja, bahagiaku disini", katanya.
Ya Tuhan. Ternyata selama ini aku salah. Dia dan aku punya tujuan berbeda.
Dia sudah ditempatnya. Sudah ditempat ternyamannya. Sedangkan tujuanku masih jauh.
Sekarang, aku harus bagaimana?
Memutar arah dan meninggalkan dia?
Berjalan terus tanpa dia?
Atau berdiam disini, tempat ternyamannya? Walau hidup dengan kepura-puraan yang membuat hatiku gelisah dan tak bahagia?
Sungguh, aku ingin menyerah saja.
0 notes
yoursjasmine · 5 years ago
Text
Cerpen : Jangan Khawatir
Kalau boleh, bisakah urusan tentang keluarga tidak perlu diungkit dalam persiapan menuju pernikahan? Sebab, dari dulu sampai sekarang, urusan tersebut yang tidak pernah sampai dititik aku merasa siap.
Suatu hari, ketika kami masih sama-sama muda. Hidup penuh gairah, semangat yang tinggi tapi minim pengalaman. Memiliki rencana-rencana yang begitu terang, meski tidak tahu bagaimana jalan ke depan. Lepas kami dari studi, usia bertambah, hidup kami seakan semakin jauh dari mimpi. Hidup terasa menjadi semakin realistis.
Dulu kami sangka, menikah itu mudah. Nyatanya tidak. Mungkin ini berlaku bagi kami saja, sih.
Urusannya tidak pernah sepanjang ini. Dari mulai perdebatan soal asal usul, keturunan, dsb. Dari perkara ditanya soal pendapatan, harakah, dsb.
Mengapa semuanya tampak sulit? “Ya, itulah realitanya manusia. Pikirannya boleh terbang jauh, tapi sekalinya soal dunia, semuanya diukur dari keselamatan dirinya” ujar temanku.
“Tak terkecuali soal pernikahan?” tanyaku.
“Yaps!” tegasnya.
Apakah pernikahan tidak menjadi selamat hanya karena latar belakang keluargaku yang tidak ideal? Ayahku jarang sekali shalat, aku akui itu, meski demikian ia adalah sosok yang amat bertanggungjawab. Sayangnya, orang-orang yang selama ini datang kepadaku selalu bermasalah dengan perkara keluargaku. Sementara aku, tidak tahu bagaimana mengatakannya kepada mereka. Ibuku, baru belajar agama dua tiga tahun terakhir. Keluarga kami memang jauh dari agama, aku pun baru mengenal sedikit ketika semester 5. Kerudung ini, pertama kali menyentuhku di usia 20. Sepertinya, surga sulit diraih jika menikah denganku, mungkin itu yang orang lain pikirkan.
Temanku lebih pelik mungkin, ayah dan ibunya berpisah. Dan itu selalu menjadi alasan orang-orang yang selama ini mendekatinya, menolaknya ketika tahu. Ah, bukan begitu, tapi orang tuanya yang menolak, bukan laki-laki yang mendekatinya.
“Apa ada keluarga yang bisa menerima keluarga lain apa adanya?” kesahku.
“Ada,nanti keluarga kita akan menjadi keluarga yang seperti itu.” ujarnya.
“Kita?” tanyaku.
“Yaps, nanti kalau kita menikah, tentu orang yang menikah dengan kita, juga keluarganya, adalah keluarga yang bisa menerima. Kemudian, ketika kita nanti punya keluarga, kemudian memiliki anak dan di satu masa anak-anak kita akan menikah, kita akan menjadi orang tua yang lebih bijaksana untuk menerima berbagai kondisi keluarga dari calon pasangan anak-anak kita nanti.” ujarnya.
“Ah iya, semoga kita bisa menjadi yang demikian.”
Untuk saat ini, urusan keluarga ini akan tetap menjadi perkara yang tak kunjung kelihatan akhirnya. Tapi mau bagaimana lagi, beginilah keadaanku, keadaan temanku, mungkin juga keadaan orang lain. Bagian ini melekat dalam hidup kami, kalau orang lain tidak mampu menerimanya, ya sudah.
Sebab kami tahu, seburuk apapun kondisi saat ini. Kami tetap memiliki impian agar kelak bisa berkumpul dengan keluarga kami di surga. 
Sayangnya, begitu banyak orang yang tidak bisa menerima kami ditengah-tengah proses menuju baik ini, maunya yang sudah baik, yang sudah saleh/salehah. Aku, biar aku meniti jalan ini. “Sampai jumpa,” ujar temanku.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Kemana aja, yang penting bergerak biar gak berpikiran kemana-mana,” terangnya.
Yogyakarta, 11 Januari 2019 | ©kurniawangunadi
741 notes · View notes