zarrasthings-blog
zarrasthings-blog
Aku, Luka, dan Segala Kepatahhatianku.
22 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
Because I Love You : Mama
Aku mencintaimu tanpa peduli bagaimana perasaanmu padaku. Jika mencintaimu adalah suatu kesalahan terbesar, maka biarkan aku melakukan kesalahan terus. Bagaimanapun, mencintaimu adalah kebahagiaan tersendiri untukku.
•••
"Namaku Dafa, Nay, masa lupa? Padahal baru aja kenalan."
"Ngg.. nggak, bukan gitu maksudnya."
"Terus?"
Gue menggeleng lalu memasukkan barang-barang gue ke dalam tas. Dan beranjak pergi dari tempat ini.
"Eh tunggu." Gue menoleh.
"Aku anterin pulang ya, udah malam, nggak baik kalau kamu pulang sendirian." Tanpa pikir panjang lagi, gue mengiyakan ajakan Dafa.
•••
Di mobil, kami saling diam. Dan entah kenapa gue nggak merasa terancam ataupun gelisah karena takut hal yang nggak gue inginkan terjadi. Justru gue merasa aman. Rasanya persis ketika gue ada di dekat Bryan.
"Tadi kamu nungguin pacar kamu?" Tanya Dafa memecah keheningan di antara kami.
"Iya."
"Dia nggak dateng ya?"
"Enggak."
"Udah janjian dulu kan?" Gue menoleh ke arah Dafa lalu membuang muka lagi ke arah jendela.
"Udah, empat tahun yang lalu."
•••
Sesampainya di rumah, Dafa bilang kalau dia mau mampir. Katanya mau ngelihat mama tiri gue yang cantik. Huh dasar, pernah ketemu aja belum kok udah main bilang cantik aja.
"Hai, tante." Sapa Dafa pada mama ketika mama muncul sambil membawakan minuman.
"Aduh maaf ngerepotin, nte." Sambung Dafa.
"Eh engga, jangan gitu. Matur nuwun sekali ya, Nak Dafa, udah repot-repot anterin Naya."
"Ih, Ma, Naya nggak minta anter loh, dia sendiri yang mengajukan diri."
"Hehe, nggih tante sami-sami."
Jujur, beberapa tahun hidup di Yogya, gue belum begitu paham bahasa daerah disini. Paling-paling cuma beberapa kata yang gue paham, kayak ucapan Mama dan Dafa yang artinya terimakasih dan sama-sama.
Setelah Dafa berpamitan, gue mulai bermanja-manja ria ke mama tiri gue. Gue tiduran di pahanya yang mulus ini. Paha Syahrini kalah deh pokoknya. Beuh! Kebetulan hari ini mama memakai daster yang panjangnya hanya sampai menutupi lututnya. Jadi kalau duduk kayak ketarik gitu loh dasternya.
"Ma, Naya kangen banget sama Bryan." Mama mulai mengelus rambut gue.
"Naya, merindukan itu wajar. Tapi, yang namanya cinta nggak akan membiarkanmu menunggu selama ini. Apalagi hubunganmu sama Bryan masih menggantung, belum ada kata pisah kan? Kamu mau menunggu berapa lama lagi? Kamu juga berhak bahagia, sayang."
"Tapi, Ma. Naya ngerti bagaimana Bryan. Dia nggak mungkin ingkarin janjinya sendiri."
"Nay, kamu boleh percaya sama Bryan tapi jangan sampai berlebih begini. Setiap manusia pasti punya salah, dan dia bisa aja ingkar janji."
Kami terdiam beberapa saat dan tangan putihnya itu masih mengelus rambutku yang panjangnya hampir sepinggang, sengaja tidak ku potong sampai Bryan kembali.
"Ma?"
"Hm? Kenapa sayang?"
"Hal yang paling mama inget dari Bryan apa?"
•••
17 Mei 2011.
00.00 pm
"Tante, nanti tante yang pegang kuenya buat Naya ya. Tante dan Bryan harus bikin sweet seventeen yang paling manis buat Naya." Mama gue mengangguk paham. Kemudian mereka berdua mengendap-endap masuk ke kamar gue.
Bau lilin yang menyengat menusuk hidung gue, perlahan gue membuka mata lalu mendapati sosok wanita yang sedang memegang kue, dan sosok laki-laki yang sedang memainkan gitar menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang dinyanyikan Jamrud.
Aku menangis terharu, lalu lilin ku tiup. Lampu kamar dinyalakan. Dan aku mendapati mama tiriku menangis kemudian memelukku dengan erat.
"Selamat ulang tahun, sayang. Mama sangat menyayangimu, mama sangat bangga memilikimu, maafkan mama karena membuatmu berpikir bahwa mama mau menggantikan posisi ibu. Nggak sama sekali, Nay. Mama cuma mau menjagamu, mama mengerti kamu butuh teman, mama ingin kamu bahagia seperti teman-teman yang lainnya."
"Maafin Naya, Naya salah."
Kami berpelukan selama beberapa menit dan saling bermaafan. Sumpah ya gue kira kayak gini cuma ada di sinetron, eh taunya malah gue sendiri yang mengalami. Takdir memang sangat lucu.
"Bryan nggak dipeluk juga nih?"
Gue dan mama lalu melepas pelukan, memandang Bryan, dan kemudian tertawa. Hahaha. Dia terlihat sangat kerepotan. Setelah lilin gue tiup, kue dari tangan mama berpindah ke tangan kiri Bryan dan tangan kirinya memegang gitar. Lagian aneh si, kenapa nggak ditaruh meja aja coba?
•••
Pagi harinya gue melaksanakan aktivitas seperti biasanya. Bedanya hari ini gue sarapan bareng dengan mama tiri gue. Semenjak kejadian semalam, gue mencoba berdamai dengan mama tiri gue yang saat ini sudah nggak gue panggil dengan sebutan tante, melainkan mama.
"Hai, Ma. Good morning." Sapaku pada mama saat menuruni tangga.
"Morning too, sayang. Gimana tidur tiga jamnya? Hahaha."
"Hahaha, mama ih. Gara-gara mama sama Bryan nih ngerayain ulang tahunnya Naya tengah malem, jadinya keterusan nggak bisa tidur kan sampai jam dua."
"Yang penting nanti di sekolah jangan ngantuk loh."
"Hehe. Maa... Naya boleh minta sesuatu nggak?"
"Boleh dong, Nay."
"Mmmmm, Naya, ingin dianter sekolah sama mama."
Mama langsung menghentikan aktivitasnya menyiapkan sarapan untuk gue.
"Eh tapi kalau mama sibuk, Naya bisa berangkat sendiri kok."
Mama mendekat ke arah gue lalu berbisik. "Nggak akan mungkin mama tolak." Gue menyunggingkan bibir tersenyum. Terimakasih, mama.
•••
Sesampainya di sekolah, gue merasa semangat banget, gue sampe nggak sadar bersenandung sepanjang perjalanan ke kelas dan dilihatin kakak-kakak kelas. Bodo amat deh yang penting gue nggak ganggu hidup mereka.
Dan sesampainya di kelas, gue melihat Nadhira sudah duduk di tempat favorit gue. Yaitu pojok kanan belakang. Sampai guru-guru pun menghapalinya. Jadi preman kelas beneran nih gue.
"Nad, lo ngapain disini? Kelas lo belum dibuka?" Nadhira menggeleng lalu memeluk gue. Kenapa nih anak pagi-pagi udah bikin khawatir aja. Apa nggak dikasih uang jajan lagi ya sama bokapnya?
"Hei lo kenapa?" Tanyaku sambil melepas pelukan dan memandang wajah mungilnya. Cantik banget nih anak, Ya Tuhan, bidadari dari mana? Terlihat luka di ujung bibir dan di bawah mata kanannya. Sudah membiru.
"Lo dipukulin lagi sama bokap lo?" Nadhira mengangguk lalu memeluk gue lagi.
"Gue nggak kuat. Gue ingin kabur, Nay. Gue nggak ingin tinggal di rumah lagi, tapi gue nggak tau mau kemana." Nadhira terus menangis sambil sesekali mengusap air matanya. Nggak bisa dibiarkan nih bokapnya Nadhira. Ini keterlaluan. Ini namanya penyiksaan dan pelanggaran HAM. Gue harus bicara sama mama dan menyelesaikan kasus Nadhira.
"Jangan nangis lagi, Nad."
•••
Sepulang sekolah, gue diantar oleh Bryan dan kali ini Nadhira, dua temannya Bryan yaitu Niko dan Kelvin ikut ke rumah gue. Beruntung banget gue bisa kenal mereka semua, karena berkat mereka hidup gue lebih berwarna. Berwarna karena kenakalan kami, hahaha.
"Mamaaaaaaa."
"Hus dosa lo teriak-teriak ke orang tua." Kata Niko kemudian disiku oleh Kelvin. "Mama Naya masih fresh, goblok, dia belum tua."
"Heh, udah ngapain si lo berdua berantem, curut. Kakak adik nggak boleh berantem." Kata Bryan melerai tapi sambil mengejek.
"Wahhh, rame-rame, nih." Mama datang dari dalam masih menggunakan daster, tapi kali ini dasternya panjang loh.
"Sini duduk, monggoh, monggoh."
"Hehe, iya tante." Jawab Kelvin sambil menggaruk kepalanya yang gue rasa nggak gatel. Apa jangan-jangan memang gatel karena kutuan ya? Hiii.
"Mama kenalin ini temennya Naya sama Bryan, ini namanya Nadhira, itu Niko dan sebelahnya lagi tuh yang rambutnya keriting, itu Kelvin." Kataku sambil menunjuk-nunjuk menjelaskan bahwa mereka adalah teman-teman gue, bukan komplotan pembawa sabu.
"Hehe iya tante." Kali ini Niko yang menjawab dengan malu-malu.
Mama tersenyum lalu menyipitkan kedua matanya. "Kalian mau nginep disini semua?"
"Engga tante." Jawab Bryan, Niko, dan Kelvin kompak.
"Eh tapi emang boleh ya, tant?" Tanya Niko.
"Ye elo, ya jelas engga bol..."
"Boleh kok, kenapa enggak."
•••
Akhirnya setelah berbincang lama banget tadi di ruang tamu, Bryan, Niko, dan Kelvin pulang ke rumah masing-masing dan akan kembali jam delapan malam nanti. Bukan untuk nginep, tapi kami semua mau menemani Nadhira.
Nadhira, dia butuh teman dan dia butuh kebahagiaan. Gue nggak mau Nadhira hidup dengan penuh penderitaan karena nggak bisa berdamai dengan apa yang dia hadapi. Menurut gue, bokapnya memang sudah sangat keterlaluan. Bahkan nggak pantes untuk disebut bokap.
"Nad." Gue menyapa Nadhira yang baru saja selesai mandi dan sekarang ada di kamar gue.
"Ada apa, Nay?"
"Jangan mikirin bokap lo terus." kata gue sambil duduk di depannya.
"Segitu nggak berartinya ya gue buat bokap, sampe nggak pulang pun gue nggak dicariin. Gue nggak ada artinya, Nay."
"Lo nggak ada artinya buat bokap lo, tapi buat kita lo sangat berarti. Buktinya kami semua ada disini, nemenin lo, nggak membiarkan lo sendirian penuh luka kayak gini. Nad, plis, ayo bangkit, lo berhak bahagia, jangan terpuruk terus." Gue menggenggam kedua tangannya, kemudian dia memelukku.
"Gue nggak tau harus balas kebaikan kalian pakai apa, gue nggak tau kalau nggak ada kalian bakal jadi apa hidup gue, dan gue nggak tau kalau nggak ada kalian gue masih hidup atau nggak. Gue cuma bisa ucapin terimakasih, Nay. Terimakasih karena udah jadi cambuk untuk gue supaya gue nggak bertindak bodoh. Gue kayak menemukan keluarga baru."
Tiba-tiba mama datang ke kamar gue tanpa permisi. Nggak sopan banget ya mama.
"Hidup itu ibarat roda yang berputar. Kadang kita ada di bawah, merasakan sakit, perih, dan luka bertubi-tubi. Tapi ingat, saat kita ada di bawah jangan jadikan semua sakit itu berdiam diri di diri kita, jadikan luka itu sebagai cambuk supaya kita naik ke atas. Karena hidup juga harus merasakan di atas, kalian harus lebih kuat lagi, lebih yakin lagi kalau kalian bisa menghadapi semua sakit itu."
Gue tersenyum mendengar kata bijak dari mama, ternyata mama nggak seburuk yang ada di pikiran gue. Mama menarik kursi yang ada di meja rias gue untuk di dekatkan ke kasur. Tangan mama memegang salah satu tangan dari gue dan Nadhira.
"Kalian adalah dua perempuan hebat yang pernah mama temui. Kalian ada di fase-fase tersulit tapi kalian nggak pernah menyerah. Mama bangga sekali sama kalian. Kalian punya jiwa yang besar untuk memaafkan. Dan Nadhira, mama yakin kamu bisa berdamai dengan ayahmu itu. Kita tinggal tunggu waktunya aja, kapan ayahmu akan mencarimu, dan disitulah nanti kamu akan merasa berarti. Sama seperti Naya, Naya bisa berdamai dengan mama. Semua cuma butuh waktu. Kita lihat aja nanti, suatu saat ayahmu yang akan menyesal memperlakukan berlian indah semacam kamu dengan nggak baik."
Kami bertiga berpelukan. Dan nggak lupa gue berbisik menyatakan bahwa gue sangat menyayangi mama tiri gue ini. Mama benar, semua cuma butuh waktu.
"Nay, kalau bukan karena Bryan mungkin saat ini kamu masih benci ya sama mama."
"Mama berterimakasih banget sama Tuhan karena udah mempertemukan anak mama yang cantik ini sama Bryan. Dan kelak, jasa dari Bryan inilah yang nggak akan mama lupakan."
•••
2 notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
Because I Love You : Toko Kopi itu.
Aku tidak pernah menyesal telah mencintaimu sedalam ini, karena bagiku kamu adalah apa-apa yang menurutku pantas untuk ku perjuangkan.
•••
"Dorrrr." Suara Bryan dari belakang mengagetkan gue. Hari ini kami janjian bertemu di Malioboro. Sejak pertemuan pertama itu, kami menjadi semakin lengket. Dih, udah kayak lem sama kertas aja lengkat-lengket. Lebay!
"Kok lo lama sih?"
"Ya sorry, Nay, tadi gue boker nggak keluar-keluar nih. Udah gitu, emak gue gedor-gedor pintu mulu."
"Ngapain? Kebelet juga?"
"Engga, mau marahin gue soalnya duit di celana emak gue tilep, hehe."
"Yeee, goblok."
Gue beranjak pergi meninggalkan Bryan duduk sendirian.
"Sebat dulu." Kataku pada Bryan. Dan dia hanya mengangguk paham. Entah apa yang dia pikirkan tentang cewek perokok, sepertinya dia nggak jijik.
Sepuluh menit berada di smoking area membuatku melas melihat Bryan yang kayak anak ilang, duduk sendirian, celingak-celinguk pula, kenapa sih, Bry, lo nggak jajan aja? Malah nungguin gue.
Akhirnya gue kembali. Lalu duduk di sebelah Bryan.
"Lo pasti nggak suka ice cream."
"Sok tau."
"Tapi emang bener kan?" Tanya Bryan. Aku hanya berdehem tanda mengiyakan. Ini anak emang bisa nerawang apa gimana ya?
"Ikut gue yuk."
"Ke?"
"Beli ice cream."
"Lah kan gue nggak suka, kenapa ngajakin beli ice cream?"
"Bawel, udah ikut aja sini. Ayo."
Bryan menggandeng tangan gue menyusuri jalanan Malioboro yang semakin malam semakin ramai. Entah kenapa gue selalu merasa aman ada di dekatnya, nggak pernah merasa sendiri, dan gue seperti menemukan sosok yang selama ini gue cari.
Sampai di depan indomarch, Bryan melepaskan genggamannya kemudian masuk tanpa mengajak gue. Lah gue ditinggal, si anying. Tak beberapa lama kemudian, Bryan keluar dengan menggenggam satu ice cream di tangan kirinya, kemudian tangan kanannya meraih tangan gue, menggandengnya lagi.
"Sampai."
Gue memandang sebuah toko kopi dengan hiasan interior maupun eksterior yang unik dan sangat instagramable. Gila, ini sih indah banget tokonya.
"Mau masuk? Masuk dong." Tanpa menunggu jawabanku Bryan langsung menggandeng tangan gue menuju ke dalam. Kebiasaan deh ini bocah.
"Bry, ini tempat mahal loh."
Kacaaaaaaaaang.
"Mas Bram, gue pesen satu matchalatte ya." Kata Bryan pada salah satu barista di toko kopi ini.
"Pacar baru, Bry?" Tanya barista yang Bryan sebut Mas Bram itu.
"Yoi, mas." Sambil bangga memperkenalkan gue ke Mas Bram. Gue menginjak sepatu Bryan lalu Bryan meringis kesakitan.
"Gue tinggal dulu, mas, di meja biasanya ya."
•••
"Heh, gue bukan pacar lo ya."
"Iya, sekarang bukan. Tapi nggak tau kalo nanti." Jawab Bryan dengan sangat santai tanpa merasa berdosa telah mengaku-aku menjadi pacar gue. Gue aja belum pernah pacaran, ya kali sekalinya punya pacar sama yang otaknya miring. Nggak bener ini nggak bener.
Tidak berapa lama kemudian Mas Bram datang membawa secangkir matchalatte yang masih panas. Sebelum pergi, Mas Bram mendekatkan bibir ke telinga Bryan.
"Pacar lo cantik juga, Bry." Woy, plis anjir, itu bukan bisikan kalau gue aja dengar. Gue disini, telinga gue masih utuh dua, dikira gue patung yang mati atau dikira gue budeg kali ya?
"Lo cuma pesan satu? Gue mau kopi item."
"Nggak. Lo harus nyicipin itu, dijamin lo bakalan cinta setengah mati. Rasanya enak. Itu percampuran antara green tea and milk. Cobain deh."
Gue memandang matchalatte itu. Hmm, nggak ada salahnya sih gue coba menu baru biar nggak kopi item mulu. Akhirnya gue mencoba, seteguk, dua teguk, yes it's right, I fall in love with it.
"Enak?" Gue mengangguk yakin. Baru pertama kali ini lidah gue nggak bisa bohong soal rasa.
"Kenapa lo malah makan ice cream doang? Nggak pesen kayak gini?"
"Gue lagi mencoba hal yang baru, Nay. Selama ini gue nggak suka coklat. Jadi, gue beli ice cream konserto rasa coklat ini. Dan, gue tau selama ini kopi lo tuh kopi item, dan gue ingin lo juga mencoba hal yang baru. Biar kita sama-sama tau, semua yang baru nggak selamanya buruk, lho."
Gue tersenyum mendengar penjelasan Bryan. Cowok ini kayaknya punya banyak kepribadian deh, mulai dari yang awalnya cuek, sok romantis, penuh kejutan, sampai bijak kayak gini. Ya Tuhan, makhluk apa yang kau ciptakan ini?
"Sehabis ini, gue mau ajak lo ke titik nol kilometer."
"Ngapain?"
"Ya kan semua perjuangan harus dimulai dari nol."
"Woy, apaan si malah bikin baper."
"Yuk makan."
"Itu laper, rozaaaaaaak."
"Hahahahaha."
Setelah keluar dari toko kopi itu, Bryan mengajakku ke titik nol kilometer menggunakan motor vespanya.
"Lo punya motor berapa sih, ganti mulu perasaan."
"Yang ganti motornya, bukan perasaan gue. Udah yo ra usah bawel, naik."
Aku menuruti permintaan Bryan. Lalu sepanjang jalan kenangan, kita bergandeng tangan. Eits, enggak. Nggak usah nyanyi ya kalian!
Sesampainya disana, Bryan memarkirkan motornya di tempat yang sudah disediakan.
"Ramai banget, Bry."
"Kesana, yuk."
Bryan menggandengku menuju tempat berkumpulnya anak-anak yang sedang memainkan gitar. Mereka nggak cuma cowok lho, ada juga cewek yang kayaknya lebih tua dari aku.
"Mas boleh pinjam gitarnya?" tanya Bryan pada cowok yang sedang bermain gitar.
"Sebentar, lima menit." Sambung Bryan untuk meyakinkan si cowok ini.
"Boleh deh, mas. Silahkan."
Bryan menyuruhku untuk duduk, lalu ia juga duduk di sampingku. Kemudian memainkan gitarnya. Memetik senarnya bergantian secara perlahan.
oh her eyes, her eyes
make the stars look like
they're not shining
her hair, her hair
falls perfectly without her trying
she's so beautiful
and I tell her every day
Gue terus memperhatikan caranya bernyanyi dan bermain gitar, suara merdunya, petikan gitarnya yang pas, dan orang-orang di sekitar memandangi kami. Nggak usah lihatin gitu juga kali, kita nggak ngamen dan cowok di sebelah gue yang nyanyi ini nih nggak akan nembak gue. Nakutin banget tatapan mereka, kayak jijik, kayak mau nerkam gue dan Bryan pula. Awas aja sampe ada yang bisik-bisik suara Bryan pas-pasan. Gue bidik lama-lama pake senapan.
When I see your face
There's not a thing
that I would change
cause you're amazing
just the way you are
Selesai memainkan gitar, sorak sorai dan tepuk tangan meriah didapatkan Bryan dari anak-anak yang sedari tadi melihatnya. Bahkan ada yang sampai merekamnya. Semoga nggak viral ya, Bry.
"Mas, makasih gitarnya."
"Keren, mas. Itu pacarnya?"
Bryan melihat ke arah gue yang langsung berpura-pura melihat ke arah yang lain. Sialan. Kayak maling kepergok warga gue.
"Calon istri, mas. Hehe."
•••
Selesai berkeliling Yogya bersama Bryan, gue diantar pulang. Tapi sebelum sampai di rumah, gue diajak muter-muter dulu nih. Dan di motor vespanya ini, gue berharap ini adalah satu kenangan yang nggak akan gue lupain. Tentang pembelajaran hidup yang bisa diambil banyak hikmahnya.
"Nay?" Panggil Bryan sambil setengah berteriak, dikira gue budeg kali ya.
"Kenapa, Bry?"
"Jangan pernah merasa sendiri lagi ya, lo punya gue, lo nggak boleh sedih lagi."
"Apaan sih, emang kapan lo lihat gue sedih?"
"Nggak lihat sih, cuma gue bisa merasakan. Lo punya banyak masalah yang lo pendem sendiri. Dari awal gue udah pernah bilang, mata lo nggak bisa bohong, Nay."
"Lo ada masalah seberat apa?"
"Sampai lo ngerokok gini? Apa lo nggak mikirin kesehatan lo?" Tanya bryan bersambung-sambung. Gue hanya diam. Lalu memikirkan masalah-masalah hidup yang gue pendam selama ini, sendiri. Nggak terasa air mata gue menetes, jatuh di bahu Bryan karena memang kepala gue sedang bersender di bahunya.
"Gue kangen ayah gue, Bry."
"Selama ini gue merasa hidup sendiri tanpa ada kasih sayang dari orang tua gue. Ibu gue meninggal tiga tahun lalu karena kanker payudara, dan ayah gue menikah lagi. Tapi semenjak itu, gue merasa kalo kasih sayang ayah terbagi, bahkan nggak ada sama sekali buat gue. Gue kecewa, tapi gue nggak bisa apa-apa. Gue cuma bisa nerima takdir ini berjalan seperti seharusnya. Itulah makanya kenapa gue ngerokok. Itu bikin gue tenang. Asap yang gue hirup dalam-dalam kemudian gue keluarkan, itu kayak ngeluarin masalah di dalam hidup gue."
"Selama ini gue sendiri. Dan gue nggak ingin bergaul dengan siapapun. Sakit ketika gue mencoba bergaul dengan mereka-mereka tapi nggak ada sedikitpun yang bisa mengerti posisi gue. Mereka cuma bisa bilang sabar, tanpa memahami kondisi gue."
Gue menangis sesenggukan saat selesai mengungkapkan apa yang gue rasakan. Bryan hanya diam. Tetap fokus melajukan motornya dan mendengarkan gue. Bryan nggak nyuruh gue diem, tapi dia nyuruh gue buat nangis sekenceng-kencengnya supaya gue merasa lebih tenang. Nggak tau udah berapa lama gue nggak nangis kaya gini. Rasanya beneran lega banget.
Bryan mengarahkan vespanya ke arah Underpass Jombor. Di malam hari jalanan ini terasa sepi sekali.
"Coba lo teriak disini, siapa tau lo akan merasa lebih lebih lebih tenang lagi."
"Nggak mau, malu."
"Kampret, biasanya juga malu-maluin. Buru."
"Lo dulu."
"Aaaaaaaaa." Bryan berteriak sekeras mungkin, dan suara itu menggema. Wow, gue takjub seketika. Sehebat ini?
"Sekarang lo harus cobain."
Gue mengambil napas dalam lalu berteriak. "Aaaaaa." Suaraku menggema dan terdengar lucu. Seperti di goa-goa. Gue menangis sekaligus tertawa di Underpass Jombor ini. Dan kemudian berteriak-teriak mengeluarkan beban tanpa ada perasaan malu lagi. Bahkan sampai ada abang-abang tukang ojek yang kaget. Haha, Bry, thank you.
•••
"Makasih ya, Bry." Kata gue sambil melepas helm sesampainya di rumah.
"Helmnya lo simpen aja, besok pagi gue akan jemput lo. Kita ke sekolah bareng ya."
"Apa nggak ngerepotin?"
"Ngerepotin, sih. Tapi gue ingin nemenin lo kemanapun lo pergi."
Gue memukul bahu Bryan. "Apaan si anjing lebay lo. Haha."
Mama tiri gue kemudian keluar mendengar suara berisik dari depan rumah. Ia tersenyum manis.
"Eh tante." Bryan beranjak dari atas motornya kemudian mencium tangan kanan Mama tiri gue.
"Dari mana, Nay?" Tanyanya.
"Apaan si tante nggak usah kepo deh. Bry, lo mending pulang deh. Udah malem."
Bryan mengangguk tanda mengerti kalau dia nggak boleh ada dan ikut campur dalam perdebatan ini.
"Tante, pamit dulu. Malam."
Mama tiri gue hanya mengangguk dan tersenyum pada Bryan. Lalu ia menyusulku ke dalam. Gue masuk ke dalam kamar lalu merebahkan diri dan memandangi langit-langit kamar yang ku tempeli dengan stiker macam-macam planet dan bintang-bintang.
Krrriittt, terdengar pintu kamar gue terbuka lalu tertutup lagi.
"Nay."
"Ngapain tante kesini? Tidur aja ini udah malem. Naya juga ingin istirahat."
Ia nggak mendengarkan omongan gue tapi malah duduk di kasur. Budeg.
"Naya, mama nggak tau kenapa Naya bisa sebenci ini ke mama, kalau mama ada salah izinkan mama buat membenarkan kesalahan mama ya, nak." Katanya dengan suara lembut dan halus sambil mengelus rambutku.
"Lo bukan mama gue, gue tuh benci banget ke lo. Lo udah gantiin posisi ibu di hati ayah."
"Lo udah merebut kebahagiaan yang seharusnya ada buat gue. Seharusnya gue ngerasain kasih sayang ayah buat gue, bukan malah buat lo. Lo tuh wanita perusak." Gue memejamkan mata sambil terus memakinya. Terdengar isak tangisan yang ia tahan, ia mencoba tetap tegar, tetap mengelus rambut gue dengan lembut, dan satu kecupan melayang di dahi gue.
"Mama dan ayahmu menyayangimu, nak. Kalau kamu merasa kami nggak menyayangimu, coba berdamailah dengan kami. Kami bukan nggak menyayangimu, tapi hatimu yang nggak bisa menerima takdir dan menerima mama. Buka hatimu sedikit saja, maka kamu akan mengerti bahwa apa yang kamu pikir selama ini salah."
Mama tiri gue beranjak dari kasur lalu keluar. Membiarkanku menangis sekarang ini. Gue cape hidup kayak gini terus, Ya Tuhan. Gue cape.
•••
Pagi harinya gue dijemput oleh Bryan. Ia memakai motor vespanya lagi, bukan motor ninja merahnya.
"Malu nggak gue bonceng pakai motor gini?"
"Enggak. Tapi tumben, kenapa pakai vespa?"
"Kalo pake ninja itu kan tinggi banget, kasian paha lo jadi tontonan orang-orang. Hehe."
Gue tersenyum mendengar jawaban Bryan. Setelah melepas helm, Bryan beranjak dari motornya
"Ngapain?"
"Mau salaman sama mamamu."
"Nggak usah, Bry." Kataku sambil menahannya tapi Bryan nggak peduli sama sekali.
"Tante, Bryan berangkat dulu ya. Heh, Nay, sini."
Mau nggak mau gue mendekat ke arah mereka berdua. "Apaan?" Tanya gue ketus pada Bryan.
"Cium tangan dulu sama mama mertua gue."
"Dih apaan, ogah ah, mana ada mama mertua." Gue berbalik badan kemudian pergelangan tangan gue ditarik oleh Bryan.
"Cium tangan atau gue tinggal?" Gue menatap tajam ke arah Bryan. Pilihan macam apa ini, setan. Akhirnya gue memilih mencium tangan mama tiri gue, tapi hanya berlangsung sebentar.
"Dah ayo berangkat." Gue berjalan terlebih dulu ke motor disusul Bryan di belakang.
•••
Sesampainya di sekolah banyak anak-anak berkumpul di halaman sekolah, gue nggak tau apa yang terjadi, gila, udah kayak zombi aja mereka.
"Itu kenapa rame-rame ya, Bry?"
"Tau tuh. Barusan ada gempa kali."
"Ngawur."
Gue memandang sekeliling mencari apa penyebab mereka berkumpul disini. Lalu gue mendengar ada yang berteriak "loncat, loncat." Spontan gue melihat ke atas rooftop sekolah. Disana ada seorang cewek yang berniat ingin bunuh diri. Gue berlari tanpa menghiraukan Bryan.
"Aduh rame banget." Gerutu gue saat melihat nggak ada celah untuk masuk ke dalam. Disaat bersamaan Bryan menggandeng tangan gue dan menarik gue menuju ke belakang sekolah.
"Ini tangga yang bisa langsung menuju ke rooftop, lo cepet ke atas dan cegah anak itu."
Gue mengangguk dengan yakin, lalu mulai menaiki anak tangga satu persatu.
"Jangan ngintip, goblok."
"Ogah kampret."
Setelah gue berhasil berada di atas, gue langsung menarik cewek itu menjauh dari bibir rooftop. Gue memeluk dia yang menangis sesenggukan sambil meronta melepaskan pelukan gue.
"Lepasin, lepasin gue." Gue masih menahan pelukan itu. Kemudian setelah dia tenang gue melonggarkan pelukan dan mengajaknya duduk. Gue baca name tagnya, namanya Nadhira.
"Nad, lo kenapa?" Dia masih diam dan masih menangis sesenggukan. Oke, gue ngertiin. Gue masih menunggu sampai dia mau bercerita sendiri.
"Gue... gue...."
"Tenangin diri lo dulu, baru lo boleh cerita." Kataku sambil menggenggam kedua tangannya yang terasa sangat dingin.
"Gue cape hidup, Nay. Gue ingin mati aja. Gue nggak kuat hidup sama bokap gue yang selalu jahatin gue. Dia selalu mukul gue, nggak pernah kasih gue uang spp dan uang saku, gue cape." Gue tatap wajahnya yang mungil ini, ada beberapa luka lebam yang warnanya ungu, anak ini nggak bohong.
"Tenang ya, tenang, jangan dipikirkan lagi. Sekarang lo aman disini, bokap lo nggak akan sakitin lo lagi." Gue memeluk Nadhira lagi. Sampai seseorang menepuk bahu gue dari belakang.
•••
"Mbak, mbak."
Aku membuka mataku perlahan lalu mengedipkannya beberapa kali sampai semua terlihat jelas. Ini aku dimana?
"Mbak ketiduran di bangku ini tiga jam." Kata cowok yang membangunkanku.
"Hah? Masa sih? Gue dimana?"
"Tuh." Cowok itu menunjuk sebuah papan nama tempat bertuliskan Malioboro.
"Nih, mbak, matchalatte." Katanya sambil memberikan secup matchalatte yang masih hangat. Aku menerimanya.
"Dari tadi saya nungguin mbak disini, takutnya ada barang yang hilang. Soalnya barang mba keluar semua nih." Sambungnya lagi sambil menunjuk barang-barang yang keluar dari tasku. Ada handphone, dompet, headset, dan buku diary bersampul sampoerna mild. Iya, ini barang berharga semua.
"Iya makanya itu saya jagain karena saya ngerti ini berharga."
Aku menatap ke arahnya. Sosok ini seperti mengajakku de javu, seperti Bryan yang mampu mendengar isi hatiku.
"Nama saya Dafa, kalo mbak?"
"Naya." Jawabku sambil menerima jabat tangannya.
"Kamu lagi ada masalah?"
"Enggak."
"Tapi matamu nggak bisa bohong, kamu lagi sedih ya?"
Aku menatapnya lagi. Kalimat itu.... Itu kalimat Bryan. Ku tatap wajahnya lama dan baru sadar kalau dia sedang memakan ice cream konserto coklat.
"Lo beli ice cream dan matchalatte ini dimana?"
"Di indomarch depan, dan toko kopi itu." Katanya sambil menunjuk toko kopi di seberang jalan. Aku melihat toko kopi itu lalu menoleh ke arah cowok tadi.
"Ka.. ka..mu siapa?"
•••
1 note · View note
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
Hal pertama yang selalu ku ingat dari pertemuan kita adalah bagaimana caramu memperlakukanku, sangat manis. Dan aku tetap tidak bisa melupakannya meskipun saat ini kita sudah tidak bersama. Aku juga suka mengingat bagaimana caramu tersenyum, caramu tertawa, caramu membujukku, caramu membuatku kesal. Semua masih terlihat jelas di otakku. Masih tersimpan baik dan rapi di dalam ingatanku.
0 notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
Aku kecewa pada aku yang telah membiarkanmu pergi begitu saja. Lalu akhirnya menangis karena merasa sakit. Tapi hati kecilku berkata bahwa aku tidak salah, aku benar. Aku tidak memaksamu untuk tetap tinggal disini karena itu hakmu. Tapi, maukah sekali lagi kita berjuang bersama?
0 notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
BECAUSE I LOVE YOU : Cigarette
Saat aku sadar bahwa sejatinya kita tidak lagi bisa bersama, ketahuilah bahwa selama apapun kau pergi dan bersama siapa itu, rasa ini akan tetap sama, tidak akan berubah.
•••
Yogyakarta, 26 April 2011.
Hari ini adalah hari pertama gue di sekolah yang baru, nggak ada yang spesial di hari ini, kecuali nasi goreng buatan mama tiri gue yang sengaja gue bawa untuk dimakan saat istirahat pertama nanti. Sejujurnya ini bukan kali pertama gue pindah ke sekolah yang baru. Sudah dua kali gue dikeluarkan dari sekolah karena kenakalan yang sudah mendarah daging ini. Sekolah gue ini bukan termasuk sekolah favorit dan letaknya jauh dari perkotaan. Jadi ini adalah salah satu alasan kenapa gue milih bersekolah disini. Ya karena gue bisa membolos dengan gampangnya. Dan juga murid-murid yang sepertinya sebelas dua belas dengan gue nakalnya.
Gue menyusuri koridor sekolah untuk menuju ke kelas gue. Sepanjang koridor banyak anak yang menurut gue adalah kakak kelas dan mereka memandang gue dengan sinis. Anjing, kayak nggak pernah lihat orang cantik aja.
Gue masih berjalan dengan santainya, petantang-petenteng seperti nggak punya rasa takut. Ya iya lah, ngapain juga takut sama mereka? Toh sama-sama makan nasi kan?
Sesampainya di depan ruangan yang gue tuju, gue melihat ke arah atas untuk meyakinkan apakah benar ini kelas gue? XI IPA 5. Yaps, ini kelas gue.
Gue melangkahkan kaki lalu melihat sekeliling kelas. Gila! Kelas macam apa ini sudah jam 07.05 WIB belum ada yang berangkat. Parah nih sekolah. Sebandelnya gue nggak gini juga kali.
Sudah setengah jam gue duduk di kelas ini sendirian dan belum melihat juga batang hidung anak-anak yang lain. Ini mereka lupa bangun, mati, atau mau sekolah tapi nggak dikasih uang saku sih sama emaknya, heran deh gue. Akhirnya karena suntuk gue memutuskan untuk ke luar kelas. Gue bingung, ini kan bukan hari Minggu, bukan tanggal merah, dan anak-anak dari kelas lain juga ada kok, tapi kenapa kelas gue kosong ya?
Gue berjalan ke arah cowok yang sedang duduk sendirian di depan kelas sebelah sambil memainkan HP nya.
"Mas, maaf mau nanya, ini kelas sebelah kenapa kosong yah?"
Dia diam.
"Mas denger nggak sih?"
Dia masih diam.
"Woy mas!"
Seketika itu matanya langsung menatap tajam ke arah gue. Waduh, gue salah nih kayaknya udah bangunin bapaknya macan.
"Lo punya handphone?" tanyanya dengan nada cuek.
"Punya." jawabku sambil mengeluarkannya dari dalam saku rok.
"Kenapa nggak lo tanya aja di grup kelas lo? Ya gue mana tau temen-temen lo pada kemana. Bego tuh jangan dipelihara ya!" katanya sambil berlalu dan masuk ke kelasnya.
Anjing, nanya baik-baik eh malah dibikin kesel. Untung aja lo ganteng, gue jadiin suami baru tau rasa lo! Mata gue beralih menatap layar HP lalu mengaktifkan data seluler. Aduh goblok, kenapa nggak kepikiran buat buka HP aja sih, tolol.
Seketika itu gue langsung buka grup WhatsApp kelas dan anjing banget dong, ternyata hari ini ada jadwal praktikum. Gue langsung ke kelas untuk mengambil tas kemudian berlari menuju lab. Gue pasti dihukum!
•••
Benar dugaan gue. Setelah dihukum lima kali berlari keliling lapangan dan dua jam berdiri di bawah tiang bendera, gue memutuskan untuk pergi ke rooftop sekolah. Sialan, baru telat setengah jam udah dihukum kayak gini. Apalagi kalau gue bolos sehari ya, bakal jadi peyek nih kayaknya.
Gue membuka bekal yang gue bawa lalu dengan rakusnya melahap sampai habis. Ini gue laper apa doyan ya? Ah bodo amat, nggak ada yang lihat juga. Setelah habis aku melihat sekelilingku. Nggak ada orang, nih. Berarti aman. Gue mengeluarkan sekotak bungkus rokok sampoerna mild berwarna putih lengkap dengan koreknya. Mengambilnya satu, mengapitnya dengan bibir atas dan bawahku, lalu mulai menyalakan korek dan membakar ujung rokok.
Angin yang berhembus menambah kebetahanku disini dan gue berniat untuk bolos saja. Gila kan kalau habis dihukum gini gue disuruh mikir pelajaran? Ogah banget.
Setelah lama duduk disini, gue merasa ada yang mengawasi. Gue mulai celingak-celinguk mencari, takutnya ada yang melihat gue ngerokok terus dilaporin, kemudian gue di panggil BK, dikeluarin, cari sekolah lagi, kan cape. Kalo misalkan ada yang lihat kan bisa gue ajak kompromi gitu orangnya, gue kasih rokok sebungkus biar adil. Hehe.
"Enak ya ngerokok."
Gue mencari sumber suara yang kayaknya ada di balik tembok yang lumayan tinggi itu. Belum sempat gue beranjak dari dudukku, dia melompat dari balik tembok itu lalu duduk di samping gue dengan pedenya.
"Yaelah, lo lagi. Ngapain? Bolos? Gue bilangin loh." ancam gue.
Dia adalah laki-laki yang tadi pagi sempat bikin gue kesel dan bikin gue nggak mood. Dunia memang sempit banget, ya. Udah ketemu eh ketemu lagi.
Kezel!
"Heh, yang ada lo yang bakal gue laporin karena udah bolos dan malah ngerokok disini."
Gue melihat ke arahnya lalu dengan kesal gue mematikan rokok ke empat yang baru habis setengah.
"Kenapa ngerokok? Lo kan cewek."
"Apasih kepo banget, emang yang boleh ngerokok cuma cowok kayak lo doang apa?" jawabku malah dengan pertanyaan baru.
"Ya nggak sih, gue cuma penasaran aja. Jarang ada cewek berani bolos cuma untuk ngerokok. Biasanya mereka bolos untuk kencan sama pacarnya."
"Ya terus kenapa? Jangan samain gue dengan mereka lah, jelas beda. Ini gue bukan mereka."
"Bilang aja lo jomblo, iya kan? Makanya lo bolos nggak untuk kencan."
"Ih gila, tau ah." Gue beranjak dari tempat itu tapi kemudian dia menarik pergelangan tanganku.
"Mau kemana?"
"Ke kelas lah, gue mau ikut pelajaran nggak bolos kayak lo."
"Jangan, jangan. Di kelas lo gurunya galak, serius deh. Gue berani mati, yang ada lo bakal dihukum kayak tadi pagi."
Gue memonyongkan bibir lalu duduk kembali. Lagian benar juga sih, ini udah hampir jam pulang, ngapain balik ke kelas. Lima menit kami saling diam dan hanya terdengar hembusan nafas dari diri masing-masing.
Sampai akhirnya...
"Sejak kapan ngerokok?"
"Udah lama. Kenapa? Jijik?"
"Nggak, malah penasaran."
"Kenapa?"
"Lo punya masalah seberat apa sampai melampiaskan ke rokok?"
"Nggak ada."
"Mata lo nggak bisa bohong, Nay."
Spontan, aku langsung melihat ke arahnya.
"Kok lo tau nama gue? Jangan-jangan lo stalker ya? Heh, siapa lo?" tanya gue dengan ketakutan dan agak menjauh dari tempatnya duduk.
"Tuh." Dia menunjuk ke arah dada kiri gue yang memang disitu tertera nama gue. Alhasil, gue menutupi dada gue dengan kedua tangan yang posisinya silang. Udah kayak mau diperkosa aja gue, sialan.
"Gue nggak doyan sama lo, tepos. Hahaha."
"Anjir, apa lo bilang?" tanyaku kesal dengan melemparkan bungkus rokok yang kemudian ia tangkap dan memasukannya ke saku celana.
"Kalau mau ambil rokoknya ambil sendiri ya, nih, disini." katanya sambil mempuk-puk saku kirinya.
Bajingan. Disuruh ambil sendiri? Lo kira gue cewek mesum yang mau-mau aja gitu? Kalau nanti nempel gimana? Aihhh, nggak bisa bayangin.
"Yuk pulang." Ajak cowok itu.
"Hah?"
"Hah hah hah, kayak bakul pompong aja lo."
"Ih serius, ini kan belum jam pulang."
"Lah emang iya, ini kan masih jam pelajaran, daripada bolos disini mending keluar. Tenang gue tau jalan pintasnya kok."
"Tas gue gimana?"
"Gampang nanti temen gue yang suruh ambilin. Gimana?"
Akhirnya setelah gue mengiyakan, dia menggandeng tangan gue menuruni tangga, lalu berjalan mengendap-endap santai ke gerbang belakang untuk bolos. It is amazing, gue dihukum dan bolos di hari pertama gue sekolah. Benar-benar murid teladan.
"Mau kemana?" Tanyanya setelah keluar dari gerbang sekolah.
"Terserah deh yang penting bolos aja."
"Wuuuu dasar anak nakal." Katanya sambil mengacak-acak rambutku. Aduh babi, gue baper ini.
"Ya makan lah."
"Hah? Apaan kak?"
"Nggak. Barusan gue denger suara hati lo, diacak rambutnya aja baper gitu. Kalo baper ya makan."
Gue hanya bisa diam, menunduk, dan menggigiti bibir bawah gue. Ini orang punya indra keenam apa gimana si? Nakutin banget lah.
Setelah berjalan cukup jauh dari sekolah, akhirnya kami sampai di sebuah warteg. Ini warteg nggak kelihatan kayak warteg, cocoknya jadi tempat penitipan motor anak sekolah. Hahaha.
"Gue kalo parkir motor disini, biar gampang bolosnya."
"Nggak nanya."
"Anjir, nih dipake helmnya. Sorry ya motor gue jelek."
Gue memandang motor ninja berwarna merah yang barusan dia bilang jelek. Woy kalau yang kayak gini aja jelek terus yang jelek banget itu motor kayak apa? Kezel ya gue lama-lama.
"Bumi, tak pamit dulu ya." Teriaknya kepada ibu-ibu yang sepertinya adalah pemilik warteg. Pasti mereka sudah saling kenal lama karena terlihat akrab, tapi kenapa manggilnya Bumi? Apa suaminya adalah Jupiter, Saturnus, atau Mars?
"Hati-hati, den bagus."
Setelah aku naik ke jok belakang yang lumayan tinggi ini, cowok ini membunyikan klaksonnya tanda pamit kepada Bumi.
"Gue ajak ke Malioboro, ya."
Gue nggak menjawab tapi cowok ini nggak mempedulikan jawabanku mau atau nggak. Sialan, terus apa faedahnya nanya ke gue.
•••
Kami duduk di salah satu bangku panjang yang ada di Malioboro. Dan hari ini, kebetulan Yogyakarta sedang mendung, jadi duduk disini nggak terlalu buruk karena nggak terlalu panas. Gue membuka minuman soda yang gue beli sebelum ke Malioboro.
"Orang Yogyakarta asli?" Tanya cowok itu setelah aku minum.
"Bukan."
"Terus?"
"Orang Bandung."
"Kenapa pindah?"
"Dikeluarin."
"Karena?"
"Hamil."
"Hah?"
"Hah hah hah, kayak bakul pompong lo. Gue anak nakal, sering bolos, dan ini kali ketiga gue masuk sekolah baru dalam dua bulan."
Cowok itu merogoh saku kirinya lalu mengeluarkan rokok gue.
"Kenapa harus ngerokok?"
"Lo tuh kepo banget ya jadi orang, bikin kesel deh. Sini balikin rokok gue." Gue mencoba meraih rokok di tangannya tapi sengaja ia tinggi-tinggikan tangannya supaya gue nggak bisa meraihnya.
"Gue tertarik sama kehidupan lo."
Gue berhenti meraih-raih rokok itu. Kemudian balik menatap matanya. Siapa sih cowok ini?
"Nama gue Bryan."
"Gue nggak nanya."
"Tapi gue denger suara hati lo."
•••
"Nay, lagi ngelamunin apa toh? Lagi kerja loh."
"Eh, Sha. Sorry gue nggak fokus." Gue menggeleng-gelengkan kepala karena baru saja mengingat masa SMA itu. Masa dimana gue ketemu cowok cuek yang kepo itu. Haha, kayaknya gue rindu nih.
"Ngelamunin Bryan, yah?"
"Nay sampai kapan lo mau mencintai orang itu terus? Dia udah ninggalin lo. Dia udah jahat dan sakitin lo berkali-kali. Nggak habis pikir ya gue sama lo, lo nggak pernah mikirin perasaan lo send...."
Brakkk. Gue menutup laptop dengan kencang.
"Gue mau keluar."
"Nay, mau kemana?"
"Hari ini tanggal 26 April, tanggal dimana gue pertama kali ketemu Bryan. Gue harus ke Malioboro." Jawabku sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas.
"Nay lo gila ya, ini udah 2016, woy." Gue nggak mempedulikan omongan Alsha. Yang dipikiran gue cuma ada Bryan.
Ini adalah tahun ke empat dimana gue selalu menunggu kedatangan Bryan lagi di kehidupan gue seperti sebelumnya. Meskipun selama ini nggak ada tanda-tanda Bryan bakalan kembali, tapi gue yakin Bryan akan nepatin janjinya dan bakal balik lagi ke gue.
Sesampainya di Malioboro, gue duduk tepat di bangku yang waktu itu gue duduki bersama Bryan. Bangku ini masih sama, hanya warnanya saja yang berbeda karena di cat ulang. Nggak tahu kenapa, setiap tanggal ini suasana Yogya sama seperti 26 April empat tahun yang lalu. Masih ada gerobak yang berjualan es duren, masih ada bapak-bapak yang berjualan es krim dengan sepedanya. Semua masih sama, termasuk perasaanku untukmu. Sama, tidak berubah, tetap seperti dulu. Yang berubah adalah hubungan kita, Bry.
Gue mengeluarkan buku diary yang gue custom sendiri, dengan sampul bergambar bungkus rokok sampoerna mild warna putih dan di dalamnya gue isi dengan kertas berwarna hitam polos yang hanya bisa ditulis dengan pulpen warna putih. Ya iya lah, kalo kertas hitam kita nulisnya pakai pulpen warna hitam juga, siapa yang bisa baca, Jamaliiii.
Gue mulai menulis di lembaran kertas hitam itu.
Hai, Bry. Ini aku, Kanaya. Bagaimana kabarmu? Aku harap sehat selalu. Bagaimana perasaanmu? Apakah masih sama seperti dulu atau sedikit berkurang atau malah sudah nggak ada sama sekali? Aku harap masih sama seperti dulu. Bry, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku cape nungguin kamu terus disini. Aku pengen ketemu kamu, peluk kamu, canda tawa sama kamu, kayak dulu lagi. Ayo Bry, balik lagi aku mohon. Aku merindukan setiap detik kenangan kita. Aku nggak bisa lupain kamu. Aku nggak bisa relain kamu. Aku rindu.
Yogyakarta, 26 April 2016
0 notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
segala baik dan burukmu. aku mencintaimu dan mencintai masalalumu.
“Persetan dengan yang terbaik! Aku mencintai segala kurangmu.”
— Karizunique
606 notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
hmmm
“Meskipun aku tahu kita tidak akan pernah berbicara lagi; Setidaknya aku ingin kau mengetahui satu hal ini. Bahwa pernah bersamamu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
is that true?
“Kau masih belum bisa melepasnya bukan karena kenangan kalian yang begitu banyak, tapi karena diam-diam di hatimu kau masih menaruh harap bahwa suatu saat ia akan kembali dan memperbaiki semua.”
— Admit that
2K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
lagi lagi air mataku menetes. keterlaluan tulisan ini.
“Aku ingin bertemu denganmu sekali lagi saja. Melihat sekali lagi parasmu. Mendengar sekali lagi suara gelak tawamu. Mencium sekali lagi harum aroma tubuhmu. Menatap sekali lagi bagaimana caramu berbicara yang unik itu. Menelaah kabarmu. Mengetahui keadaan dan hidupmu. Aku butuh bertemu sekali saja. Aku mohon. Sekali lagi saja. Demi membunuh rindu yang keparatnya menggerogoti hidupku ini. Dan setelah itu, menghilanglah selamanya. Aku rela. Biar sisanya kau hidup dalam kenanganku saja.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
masih terlintas jelas di pikiranku.
“Rasanya masih hangat di ingatanku kau begitu gigih mengejarku. Lalu setelah aku luluh, tiba-tiba kau berubah pikiran. Semudah itukah bagimu memainkan perasaan orang?”
2K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
aku menyesal melepasmu, membiarkanmu, dan kemudian tidak bahagia denganku. aku menyesal.
“Aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Aku hanya menyesal membiarkan dirimu berkali-kali datang hanya untuk meninggalkanku lagi dan lagi.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
I will always hope like that.
“Mungkin kemarin kita sama-sama tidak mengerti makanya salah satu dari kita memilih pergi. Dan mungkin suatu saat kita akan memahami, lalu memilih untuk sama-sama kembali lagi.”
734 notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
aku yang salah telah berharap lebih.
“Aku yang salah, aku jatuh cinta pada kenyamanan yang kau beri. Aku yang salah, kau tidak ingin aku. Kau hanya berbuat baik.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
ini... tulisan ini membuatku menangis. membacanya bernada. seolah-olah hatiku berteriak ketika mataku membacanya. kemudian, merasa sakit.
“Tak bisakah kau mengerti?Aku selalu memilihmu.Dari semua yang datang.Dari semua yang memintaku untuk meninggalkanmu.Dari setiap orang yang meminta untuk menggantikan tempatmu di hatiku. Aku tetap memilihmu. Aku selalu.”
— Tak pernahkah kau menyadarinya?
2K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
pertemuan pertama kita pada 26 April lalu membuatku begitu terkesan akan sosokmu. aku menemukannya, begitulah kira-kira hatiku berteriak ketika melihatmu pertama kali.
“Aku orang yang sulit jatuh cinta pada sosok yang baru, namun anehnya kau berhasil melakukannya.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
patah hati terdalam, saat kepergianmu membuatku kecewa keterlaluan sampai membuatku ingin menangis tapi tidak bisa mengeluarkan air mata. sesak.
“Aku tak menyangka akan mencintaimu sebegitu dalamnya seperti ini. Dan aku tak mengira akan terus memikirkanmu sesering ini.”
1K notes · View notes
zarrasthings-blog · 6 years ago
Text
bukan lagi menyukai, tapi aku sangat menyukai bahkan sampai ke tahap mencintai. mencintai segala cara-cara yang kau buat spontan, membuatku memahami dan mengerti segala gerak-gerik yang kau buat sampai ku hapal dalam otakku.
“Caramu berjalan, Caramu menulis, Caramu berpikir, Caramu tertawa, Caramu menanggapiku, Caramu bernyanyi, Entah sejak kapan, tingkahmu mulai terasa sangat berarti bagiku. Cara-cara hidup yang tak kau sadari itu, aku kagumi dengan begitu. Segala sudut terangmu. Segala sudut gelapmu. Aku mulai menyukainya.”
1K notes · View notes