ziemiasky
ziemiasky
Narayanastra Ishani
19 posts
Berkelana mencari utopia.
Don't wanna be here? Send us removal request.
ziemiasky · 8 months ago
Text
Jangan harap aku akan hidup panjang umur di negara ini. Negara yang tidak peduli dengan mimpi-mimpi rakyatnya. Terkubur dalam-dalam bersama keadilan yang mereka bilang seharusnya tak digali lagi. Memaksa kita untuk memandang kabut gelap di depan mata dan tak ada cahaya yang diperkenankan masuk ke angan kita. Seandainya cahaya itu dapat menembus, sebagaimana desingan peluru yang tepat menyasar pada jantung-jantung busuk mereka—begitulah perandaianku dengan penuh dendam ketika membaca deretan nama-nama biadab di menara gading itu. Namun, sebelum itu, mungkin nyawaku sudah meninggalkan kerongkongan untuk lepas dari ragaku.
3 notes · View notes
ziemiasky · 9 months ago
Text
Tumblr media
Kamu terbangun jam tiga pagi. Hawa di sekitarmu rasanya sesak, terlebih tidak ada sumber cahaya yang masuk ke sudut apartemenmu. Semuanya hening, bahkan seekor nyamuk pun tidak berani mengusik. Dini hari yang aneh, kamu merasa tidak ingat apa pun sebelum kamu tertidur lelap. Kerongkonganmu kering, lalu kamu mengingat-ingat apa saja yang ada di dalam kulkas—sepertinya enak kalau ada seliter air dingin. Sayangnya, kamu lupa mengisi botolnya, yang ada hanya sekaleng soda di sisi paling dalam kulkas. Mungkin itu lebih baik, pikirmu. Kamu butuh sedikit sengatan untuk memulihkan kesadaran hingga penuh.
Langkahmu menuju pintu, udara segar di luar sana seakan menanti kehadiranmu. Kamu membuka pintu perlahan, jangan sampai deritnya terdengar. Tak ada siapa-siapa di lorong panjang itu. Pendar lampu redup membasuh karpet beludru berkelir merah darah. Pikiranmu kosong, seakan tidak ada hal yang akan menakutimu. Kamu berjalan dan menuruni tangga bak hantu tanpa derap langkah. Kamu keluar diam-diam lewat pintu darurat dan dengan segera udara dingin menyambutmu. Kamu sedikit menyesal menuruti pikiran impulsifmu, keluar tanpa mantel tebal yang membalut tubuh adalah hal buruk. Namun, kamu menikmati rasa menggelitik ketika angin menyapa kulitmu.
Kamu pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti embusan dingin yang tak bisa diduga ke mana arahnya. Hingga kamu tiba di pinggir dermaga dengan kursi-kursi yang dihinggapi salju. Salju malam tadi turun tak begitu lebat, utuh dan rapi tanpa disapu jejak-jejak manusia—pertanda tak ada seorang pun beraktivitas beberapa jam terakhir. Kamu menghias hamparan putih itu dengan sol sepatumu yang khas dan membersihkan kursi dari salju seperti mengeruk bunga es dalam lemari pembeku. Kamu mengambil posisi duduk, membuka kaleng soda dengan suara khasnya, dan membiarkan air itu membanjur sela-sela kerongkonganmu. Tubuhmu menggigil tetapi kamu tidak menghiraukannya. Kamu lebih terhenyak dengan keadaan sunyi ini. Pikiranmu menjelajah tak terkendali, menduga jika kamu hanyalah satu-satunya manusia yang tersisa atau justru alien yang dikucilkan di bumi. Pandanganmu menangkap hal-hal di seberang sana—kapal-kapal kargo yang terhenti, lengkap dengan kelap-kelip lampunya. Mungkin masih ada orang-orang yang terjaga dan menunjukkan tanda kehidupan. Namun, kamu lebih nyaman seperti ini. Terlarut dalam kesendirian yang absolut.
0 notes
ziemiasky · 1 year ago
Text
Tumblr media
0 notes
ziemiasky · 1 year ago
Text
0 notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Whisper of the Heart 耳をすませば (1995) dir. Yoshifumi Kondō
2K notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
"Kenapa bunuh diri itu dosa?"
"Karena kamu membunuh."
Ia mengaduk kopi hitam yang baru terseduh dan menenggaknya hingga tandas, menyisakan ampas kopi yang getir dan kasar. Pemuda yang berada di sebelahnya menatap heran, dirinya saja belum menyesap sedikit pun karena panas masih menyelubungi cangkir. Seharusnya ia tidak menghabiskannya dalam beberapa teguk, mungkin ini akan menjadi pembicaraan yang cukup panjang. Tetapi apa boleh buat, ia juga tidak punya banyak waktu.
"Bagi orang-orang yang punya akal sehat dan mengaku beriman, membunuh tentulah dosa. Bagaimanapun caranya, setiap amarah dan dendam yang mengalir pada darah mereka, turut terhitung sebagai dosa."
Sementara sang pemuda melempar tatapan yang jauh entah ke mana, sebab perkataan tersebut membuat pikirannya ke mana-mana; ia melanjutkan, "begitu pula dengan bunuh diri. Ingat, ada kata 'bunuh' di sana. Sama seperti menghunjamkan pisau ke orang lain, tetapi mata pisau itu mengarah ke dirimu sendiri. Bunuh diri bukan hanya mempercepat waktumu untuk bertemu kematian dan mengharap semuanya berakhir, bukan. Namun, ada raga yang dibuat tak berdaya dan nyawa yang dipaksa hengkang dari raga itu. Dan itu milik Tuhan seutuhnya. Biarlah Dia yang berkehendak."
Pemuda itu meneguk ludahnya. Itu bukanlah wejangan yang paling baik untuknya. Terdengar mengintimidasi alih-alih merangkul. Tendensi untuk mengakhiri hidupnya masih ada dalam pikirannya.
Ia kembali menyuguhkan secangkir kopi milik pemuda, lengkap dengan asapnya yang masih mengepul. "Silakan diminum. Atau kamu masih takut dengan panas yang akan meresap ke dalam lidahmu?"
6 notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Aku ingin membunuh segala asumsi jahat dalam kepalaku.
Mereka masuk tanpa permisi saat aku sedang senang-senangnya. Menghancurkan prasangka baik yang kubangun pelan-pelan. Tanpa ampun. Karena mereka, aku seolah percaya bahwa orang baik tak ada separuhnya dari seluruh insan yang hidup di muka bumi. Hingga aku berpikir, mengapa pikiran baik itu lemah, rapuh, seakan tak ada kata menang baginya?
Namun, lemah bukanlah kesalahannya. Aku perlu melindunginya agar tak dihajar oleh apa pun yang bersifat buruk. Aku tidak mau membiarkan indahnya warna direnggut dari pandanganku dan digantikan oleh hitam putih yang tak bernyawa. Kali ini, giliran aku yang tak berbelas kasih.
2 notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. —Soe Hok Gie
Kalimat itu memperjelas tentang yang selama ini aku pikirkan. Aku merenung cukup lama, kemudian terlupa. Pada momen-momen tertentu, kalimat itu teringat lagi seperti kembali ke permukaan.
Rasanya terlalu istimewa saat menyadari bahwa takdirku adalah dilahirkan sebagai manusia. Aku tidak menganggap itu buruk, semoga tidak akan pernah. Namun, hal yang membuatku heran adalah dari sekian banyak ciptaan-Nya di dunia ini, mengapa aku menjadi salah satu makhluk hidup yang disebut-sebut paling sempurna?
Mengapa aku tidak menjadi hewan? Atau tumbuhan? Air sungai yang mengalir? Bongkahan batu yang didebur ombak? Sebutir pasir di bibir pantai? Udara yang dihirup manusia? Batu asteroid di luar sana? Gas di suatu planet? Bahkan menjadi bintang di antara galaksi yang mungkin tak terhingga? Mengapa aku punya nyawa dan mengeluarkan tanda tanya sebanyak ini?
Pada akhirnya aku menjadi manusia untuk menemukan jawaban dari banyaknya pertanyaan itu. Dengan garis takdir yang panjang serta lika-likunya yang sudah ditentukan. Entah akan seperti apa garis takdirku berliku. Mungkin di beberapa kesempatan Dia dapat membuatnya menjadi lebih lurus. Entah seberapa panjang garis takdirku menuju. Mungkin saja sampai usiaku mendekati satu abad. Sungguh, itu ketakutan terbesarku. Aku mengusir jauh-jauh skenario yang bisa saja terjadi jika aku menginjak usia lanjut. Usia di mana aku memiliki lebih banyak pengalaman dari para manusia lain di zaman itu. Namun, bukan berarti aku tidak takut dengan kematian.
Di ujung garis takdir, semua akan mengetuk pintu gerbang yang tidak akan pernah terbuka sebelumnya. Tidak ada yang pernah bisa melihat celah apa yang ada di balik pintu gerbang itu. Semuanya adalah misteri. Memikirkan hal itu membuatku takut sekaligus egois, karena aku berharap semoga aku yang akan pergi lebih dulu. Alasannya tentu saja aku tidak sanggup melihat orang-orang yang kusayangi pergi. Tetapi jika aku yang pergi lebih dulu, bukankah itu juga menyedihkan bagi mereka? Apalagi jika jelas-jelas ada orang menyayangiku. Seketika terbesit lagi satu pertanyaan: ditinggal orang tersayang saja tidak siap, apalagi aku mendahului mereka?
Semoga kelak aku akan siap menghadapi ujung garis takdir. Semoga segala ketakutan yang diciptakan misteri itu akan runtuh, terganti dengan lembut dan kasih sayang yang menghampiri. Mereka yang akan menangis berhak bangkit untuk ikhlas dan tersenyum kembali.
Tumblr media
1 note · View note
ziemiasky · 2 years ago
Text
Me want to write. Me don't want to type. Me want scene in head implanted into word document.
33K notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Tumblr media
Baru saja aku melihat foto-foto yang kuarsipkan di Instagram. Niatnya ingin memanggil penggalan memori lama yang tertimbun. Tidak banyak yang kutemui, tetapi cukup didominasi foto langit senja. Satu per satu kulihat meski ingatanku samar-samar. Sampai aku menemukan foto ini.
Aku pernah punya kucing. Dua ekor lebih tepatnya. Waktu kecil, kupikir aku tidak akan pernah punya hewan peliharaan barang seekor ikan cupang. Berkali-kali aku iseng bertanya pada Mama, bagaimana kalau kita memelihara kucing? Jawabannya tetap sama, yaitu tidak. Setiap melewati rak makanan kucing di supermarket, aku sering bercanda meletakkan satu bungkus yang berwarna ungu ke dalam keranjang—seolah-olah aku membeli sereal. Namun, aku tetap tidak berharap jika suatu hari Mama mempersilakan seekor kucing tinggal di halaman rumah. Dipikir-pikir lagi, mungkin akan repot jika mengurusnya.
Entah sejak kapan, tiba-tiba ada dua kucing yang hobi mampir menyelinap ke dalam pagar rumah. Dua-duanya punya belang tiga warna. Mereka suka tidur di keset depan pintu. Lucu sekali melihat mereka beralih dari situ ketika aku membuka pintu untuk pergi sekolah. Mereka meninggalkan hangat di keset itu, lembut rasanya. Aku senang akhirnya rumahku menjadi rumah mereka juga. Mereka berhasil meluluhkan Mama untuk membeli makanan kucing, kali itu sungguhan dan aku tidak bercanda lagi. Bahkan Mama yang memberi nama mereka, namanya Anggun dan Gahar. Setidaknya lebih baik daripada niatku yang ingin memanggil mereka 'Kucing 1' dan 'Kucing 2' karena tidak punya ide.
Sesuai sifatnya, mereka diberi nama demikian. Si anggun tidak banyak tingkah dan lebih sering menetap di rumah. Tidak terlalu manja tapi masih mau dielus. Ia yang ada di foto tersebut. Sementara si Gahar lebih lincah, sering berkeliaran ke luar, dan tentunya galak. Berkebalikan dengan si Anggun, ia selalu kabur jika ada tangan manusia yang berani mengusapnya. Mungkin aku hanya pernah menyentuhnya kurang dari tiga kali. Sayangnya, aku tidak pernah bisa memotretnya.
Aku pernah dengar bahwa kucing tiga warna alias calico, begitu mereka disebutnya, mendatangkan keberuntungan bagi siapa pun yang didatanginya. Aku rasa itu benar. Aku beruntung pernah menyayangi mereka. Jika mengingat masa-masa mereka yang selalu ada di halaman rumahku, aku sedang senang-senangnya menjalani hidup. Bahagianya lagi, bukan aku yang memilih mereka, tetapi mereka yang memilihku. Sekarang, aku tidak tahu, apakah aku dapat diberi kesempatan seperti masa itu lagi?
Pada akhirnya, semua akan berpisah. Sempat kupikirkan keduanya setelah aku meninggalkan rumah lamaku dengan berat hati, ke mana mereka akan pergi? Tidak mungkin mereka akan terus menetap sembari menunggu kehidupan rumah itu akan kembali. Semoga mereka memaafkan aku yang tidak sempat berpamitan dan mengelus lembut untuk terakhir kalinya. Saat ini, aku tidak tahu di mana mereka. Mungkin saja sudah tenang di alam sana, menemui pot emas di ujung pelangi.
0 notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Tumblr media
Dengan sisa kekuatannya, tekadnya, umurnya, dan segalanya yang sudah tak seberapa; tidak cukup meyakinkan Levi untuk bertahan di dunia yang kejamnya sedang mencapai klimaks. Pelengkap konstelasinya direnggut, tanpa firasat pada sebelumnya, dan dengan rela; Hange Zoe.
Isi kepalanya berkecamuk. Giliran di ujung tanduk, Levi ingin menumpahkan semua kata-kata yang sayangnya tidak akan pernah bisa terucap. Kata-kata manis yang tidak jauh dari makna cinta. Dikuasai tabiatnya yang tidak mahir menyampaikan afeksi.
Namun, apa daya, lidahnya kelu. Yang meluncur justru sepatah dua patah kata perpisahan—yang sama sekali tidak Levi inginkan. Ia rasakan detak jantung si empunya hati berdegup sangat kencang untuk terakhir kalinya. Air mata mereka, terbendung, menahan tetes agar tidak berlinang, dan menatap penuh rasa. Dengan itu, Levi yakin mereka telah saling memiliki.
0 notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Tumblr media
a moment at dusk
we exchange smoke and laughter
Flags wave in the wind
Tumblr media
light fades into dark
night fell in shedded blood (tears)
Flags limp on their posts
close up shots:
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1K notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
0 notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
0 notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Tumblr media
Berita Ringan Untuk Tuan
Selamat malam. Bagaimana harimu? Karena hampir di penghujung hari, pasti sudah banyak hal yang terjadi, ‘kan? Kalau aku sih, tidak banyak. Tetapi rupanya ada yang agak krusial untuk dinyatakan ke Tuan.
Tiba-tiba saja perasaan kangen itu kembali. Seperti angin malam yang mengantarkan aroma harum masakan kaki lima. Haha, betul, aku juga kangen dengan itu. Tetapi ada warna-warni yang menyertai juga. Mereka beterbangan ke arahku seakan mau menggelitik perutku. Tidak, mereka bukan berusaha membuatku tertawa.
Kurang lebih begitu waktu aku melihat fotomu yang berlatar belakang warna langit kesukaanku. Dengan pose yang sok natural itu dan romanmu yang terlihat senang menghabiskan hari. Aku jadi sedikit iri, aku juga mau ikut. Ke mana pun destinasinya. Tetapi mungkin Tuan kangen melancong ke Malioboro dengan suasana hangatnya.
Jadi, lain waktu kita ke sana, ya? Nanti aku beli kamera analog untuk foto-foto, kita jalan dari Tugu Jogja, lewat pertokoan kalau Tuan mau, menawar baju karena Tuan tak segan berkata “mahal”, minum kopi arang manis di pinggir jalan, tetapi jangan beli makanan di situ karena mahalnya betulan tak bisa ditawar.
Namun, perkenankan warna-warni beterbangan itu sedikit mengusik kita. Mereka terus mengikutiku dan rupanya tidak bisa diusir. Tidak apa-apa, ‘kan?
Karena ternyata kupu-kupu itu tidak bisa menghilang, Tuan. Mereka sedang mengantarku ke rumah. Alamatnya ada di pelukan Tuan.
2 notes · View notes
ziemiasky · 2 years ago
Text
Konversasi Malam Hari
Tumblr media
Rinai hujan merupakan akhir yang 'bagus' untuk hari ini. Disertai perasaan jengkel saya tanpa sebab yang jelas. Malam ini Ayah atau pun Mama sama-sama tidak bisa menjemput, lengkap sudah. Modul-modul tebal yang saya rengkuh harusnya sudah terbanting jika saya tidak tahu tempat.
Saya mengabaikan perasaan yang merundung. Tidak ada pilihan lagi selain memesan tumpangan online untuk pulang ke rumah. Buru-buru saya membayangkan empuknya kasur sebagai distraksi. Masa bodoh dengan target untuk mencapai sekian bab. Lelah hari ini sudah sangat cukup.
Karena sekitar sudah tidak terdengar suara apa-apa lagi selain rintik air, saya jadi memikirkan apa yang dirisaukan sejak beberapa jam lalu hingga detik ini. Sulitnya soal-soal berbau sains bukan alasan utama. Lantas entahlah. Otak seperti memaksa untuk mencari jawaban dan menyelesaikannya, sementara hati enggan mengizinkannya.
Mungkin belum sampai sepuluh menit, mobil yang tertera di aplikasi sudah ada di hadapan saya. Ritme mood saya sedikit naik, ternyata tidak selama yang saya kira.
"Selamat malam," sapanya hangat. Saya balas singkat dengan senyum ala kadar. Aroma maskulin dan lantunan Adelaide Sky ikut menyambut.
Pengemudi di samping saya memastikan dahulu lokasi yang dituju dan menawarkan sebotol air minum di pintu mobil. "Mbaknya butuh minum kayaknya, gapapa ambil aja."
Tidak usah ditanya mengenai wajah saya yang terlihat sudah sayu. Benar rupanya, tidak sungkan lagi saya membuka segel botol dan meneguknya. Sekilas tenggorokan terasa sedikit sakit khas menahan tangis. Tiba-tiba saja. Saya coba tahan sebisa mungkin.
Namun, karena lagu selanjutnya yang terputar terdengar melankolis, rasanya tersugesti. Saya kembali memikirkan apa yang tadi terhenti. Lebih tepatnya mengakui tentang ucapan mentor yang menyebabkan saya ... berantakan dan kewalahan. Tentang proses dan hasil yang tidak sepadan.
Beliau masih baik karena memberi saran kepada beberapa anak didiknya termasuk saya. Pembawaannya tidak keras, apalagi membentak, sama sekali tidak. Yang membuat saya terbawa emosi hanya lelah dan tujuan beliau begitu pun saya sendiri, sangat ambisius.
Saya menunduk sembari menatap ponsel untuk menyembunyikan air muka yang tak enak. Lalu berpikir lagi, kenapa orang-orang termasuk saya lebih mementingkan hasil? Sedikit mengingat kembali proses yang saya lalui untuk menuju hasil yang baru saya dapat, apakah itu baik? Kenapa saya tidak bisa menilainya dengan mudah? Saya menyayangkan diri sendiri karena lebih fokus dengan rasa ketidakpuasan.
Setelah hening sekian menit, akhirnya sang driver membuka obrolan.
"Mbak, pulang les emang biasa semalam ini, ya?"
Saya agak terperanjat. "Eum, nggak juga. Ortu saya kebetulan gak bisa jemput, jadi kemaleman."
"Oh .... Jadi inget adek-adek saya soalnya. Pulang sekolah sore, lanjut les sampe jam segini. Kadang mereka bolos larinya ke kost-an saya. Mereka jatuh bangun terus, saya juga ikut bantu mereka belajar." Entah kenapa cerita singkatnya membawa perasaan saya semakin sendu. Di samping itu pun saya tidak merasa sendirian.
Saya mengangguk kecil sebagai balasan dan ia melanjutkan, "Belajar banyak banget, banyak hal. Termasuk saya. Kalo ada sedikit masalah, saya kadang nemu jawaban dari mereka. Secara gak langsung, dan itu lebih bikin diri sendiri sadar."
"Benar, suka ngerasa begitu juga." Suara saya bergetar. Mungkin-mungkin saja jika saya menangis beberapa saat kemudian, sulit untuk menahan lagi.
"Saya gak tahu betul apa yang dihadepin sekarang, tapi pasti Mbak gak sendirian. Semua orang pernah ngelaluin fase sulit, entah gimana akhirnya. Dan, itu tadi ... udah dilalui. Gak kerasa bakal lewat aja," ucapnya, rasanya tenang sekali. Air mata saya menetes begitu saja. Dengan sigap ia menawarkan sekotak tisu.
"I-iya. Mungkin saya harus lebih ngehargain fase itu, prosesnya, gimana pun caranya."
Perkataan saya disahut kembali, "Bener. Proses yang dikerjain itu yang jelas pakai usaha. Kalo bukan orang lain, ya, diri sendiri yang menghargai itu. Dengan cara sebaik mungkin."
Air mata saya berlanjut mengalir. Akhirnya saya menumpahkan emosi yang dipendam selama beberapa akhir ini. Saya sangat memaknai perkataan yang terlontar hingga bingung untuk membalasnya lagi.
"Gapapa, tenangin dulu, Mbak. Menurut saya proses emang harus diapresiasi lebih, terus dinikmati aja. Hasilnya gak akan sia-sia dalam bentuk apa pun." Ujaran itu sepenuhnya benar. Baru pertama kali saya mendengar ungkapan seperti itu.
"Maaf banget saya jadi kebawa. Saya jadi bingung mau bales gimana lagi," ucap saya sambil terkekeh canggung. Tidak terasa, sedikit lagi akhirnya sampai di blok rumah saya.
"Sekali lagi gapapa. Great things take time. Saya suka ngobrol-ngobrol sama penumpang, percakapan tadi juga nyadarin saya." Ia pun ikut tertawa renyah, itu cukup menenangkan.
Akhirnya mobil yang saya tumpangi berhenti persis di depan rumah. Tidak lupa menghapus sisa air mata. Lega sekali.
"Makasih banyak, jujur saya gak tau lagi mau balas pakai apa, hahaha."
"Gak usah, Mbak. Ini order-an terakhir saya, rasanya jadi lebih bersyukur. Saya juga makasih banyak, seneng bisa ketemu orang baik." Senyum saya mengembang begitu saja. Mungkin rasa terima kasih kami setara.
Perjalanan singkat ini tidak mungkin saya lupakan begitu saja. Meskipun orang asing, kalimat-kalimat bijaknya sangat menyadari saya. Ya, saya akan simpan baik-baik pesannya di dalam otak. Malam ini, saya tidak usah menuangkan air mata lagi ke bantal diam-diam atau pun tidur dengan gelisah.
1 note · View note
ziemiasky · 3 years ago
Text
Mana yang lebih banyak berubah? Aku atau dunia?
Tak peduli siang atau malam, selalu saja ada kontemplasi yang membawaku ke tempat yang terasing. Di situ aku meringkuk dan mempertanyakan tentang diriku sendiri. Mengapa aku sendirian? Masihkah presensiku dibutuhkan orang lain? Apa aku tidak layak berada di antara orang-orang, maka dari itu lebih baik aku sendirian?
Tanpa mengetahui jawabannya, aku membangun dinding setinggi dan setebal mungkin di dalam pikiranku. Sebagai pertahanan diri agar aku lebih kuat dan tidak ada hal buruk yang mengganggu. Alih-alih kuat, aku hanya menemukan kehampaan. Kehampaan yang menyerap udara sejuk di sekitarku hingga membuatku kering, seperti daun-daun yang bergemerisik dan rapuh apabila diinjak.
Tak ada keberanian untuk mengulurkan tangan dengan maksud mengharap bantuan, meski diri sudah rapuh. Berharap saja rasanya menakutkan. Sebab, dunia sedang tidak mendukungku untuk mengungkapkan sebuah harapan. Berkali-kali diterpa realita, runtuh dalam kekecewaan. Selalu ada skenario untuk mencegahku menyambung ikatan yang membuatku merasa hidup. Aku kembali sendiri tanpa apa-apa di sampingku. Padahal, dahulu dunia tidak membiarkanku seperti ini.
Dunia saat ini menghadapkanku dengan banyak dalih. Dalih yang mengantarkanku pada kesimpulan bahwa semuanya sedang sibuk meniti kehidupan masing-masing. Aku tahu bahwa kehidupan ini dinamis. Kadang kala perubahannya di luar kuasaku. Namun, dari segala banyak perubahan dalam diriku ataupun dunia ini, tak bisakah membawaku menuju titik kedamaian?
0 notes