ztsm
ztsm
ztsm
214 posts
Jangan tumbuh dalam ke-naif-an.
Don't wanna be here? Send us removal request.
ztsm · 2 years ago
Text
Dengan segala usaha terbaikpun aku masih saja kesulitan. Mau seperti apa lagi aku harus berkeras kepala? Tak tersisa keberanian pada diriku untuk menuliskan semuanya, menjelaskan dan mengirimkannya kepadamu selayaknya seorang lelaki pemberani.
Tapi aku selalu saja tunduk dan lesu jika dihadapkan dengan segala reka ulang kejadian, melihatnya dari sudut pandang lain dan memberikan tambahan-tambahan lain yang kiranya perlu untuk merubah pandanganmu. Terlalu naif aku menafsirkan semuanya, terlalu dini untuk mengambil konklusi. Sebab kenyataan kini ada di pelupuk mata, meski aku terus bersikeras dan mencoba mengatakannya kepadamu kemungkinan-kemungkinan lain, semuanya tak akan merubah apa-apa. Sudah terlampau jauh untuk ditelisik kembali. Sudah menjadi tulisan di atas batu, tak bisa dihapus dan ditulis ulang kembali.
Maka mungkin tulisan yang kau tunggui tak akan pernah selesai, buku-buku itu tak akan pernah sampai kepadamu.
Mengurungkan niatku dan memilih tak pernah mengusahakan segalanya. Membiarkan semuanya disimpan bagiku sendiri, menjadi wahana bagiku untuk mengenang.
0 notes
ztsm · 2 years ago
Text
Sabtu sore hari itu kami memutuskan untuk berkeliling mengitari rumah. Dengan menenteng perabotan yang diperlukan, kami menyusuri setiap jengkal halaman. Aku menenteng sebuah kotak berisi beberapa perkakas, sedang ia berjalan di depanku dengan gunting rumput yang ia pegang di belakang punggungnya. Rambutnya dikepang rapi, seperti permintaanku kemarin malam. Di tengah sinar matahari yang mulai berwarna keemasan, kulinat rambutnya mengkilat menjadi cokelat.
Ditemani desir angin yang hinggap ke daun telinga, serta suara burung yang memekik dari kejauhan, kami mulai memotong rumput yang kiranya mulai tumbuh tinggi. Menyapu dedaunan yang gugur dari pohon apel kami. Membereskan kembali bongkahan bebatuan yang sebelumnya berserakan dan mengganggu langkah kami yang menyusuri tanah dengan kaki telanjang.
Tak jarang kami berhenti karena mendapati serangga yang mampir di waktu-waktu kami membersihkan semuanya.
"Kupu-kupu!" Teriaknya girang. "Sudah jarang kiranya kita tak melihat kupu-kupu di halaman rumah. Bukan begitu, kekasih?" Tanpa menjawab cepat aku hanya menatapnya dengan diam. Menggemaskan sekali dia sore ini. Dengan gaun bermotif bunga daisy yang ia kenakan, ia tampak sangat cantik sekali. Terlebih ketika matanya terlihat sangat cokelat ketika ia menyipitkan mata karena sinar matahari terlalu menyorot wajahnya.
"Kita bisa menanam banyak sekali bunga di lahan yang masih kosong untuk mengundang lebih banyak kupu-kupu jika kau mau." Begitupun aku, ia tak langsung memberikan reaksi. Ia malah berdiri dari jongkoknya sembari menyaksikan kupu-kupu yang sedari tadi hinggap di jemari tangannya perlahan terbang menjauh.
"Sungguh! Akan menjadi taman firdaus jika kau sudi melakukannya. Membuat rumah burung juga menjadi ide yang bagus, kupikir." Aku tersenyum, mendengar bagaimana ia merasa cukup dengan hal-hal sederhana.
"Kita bisa juga membuat instalasi kecil yang diisi air untuk burung-burung itu minum." Ia mengangguk kecil, sebuah senyuman tipis menyungging di mulutnya. Selanjutnya ia kembali berjalan menyusuri halaman rumah. Dengan gunting rumput yang masih ia pegang di belakang punggungnya.
Sedetik kemudian aku menghadapkan wajahku ke arah matahari berada. Merasakan hangat di wajahku. Tiba-tiba banyak sekali pertanyaan timbul di kepalaku. Amalan apa yang telah kuperbuat sehingga aku mendapat nikmat sebanyak ini? Belum sempat aku menemukan jawaban, dari sudut mataku kulihat dia menenteng nampan dengan teko dan dua buah gelas antik di atasnya.
"Rupanya cukup untuk hari ini, kita bisa melanjutkan menghabiskan hari dengan meminum teh dan melihat matahari terbenam." Suaranya lembut, seperti sutera yang masyhur itu. Aku mengiyakan, berjalan mendekatinya sedang ia mulai menuangkan teh ke gelas.
"Indah hari ini, tak ada yang perlu kita khawatirkan. Hari-hari yang selalu aku doakan sejak lama." Ucapnya sesaat setelah menyesap teh dengan khidmat.
Aku hanya tertegun, menelan teh hangat dan membiarkannya mengalir menyusuri tenggorokanku.
"Kekasih," Ucapnya kembali, kini wajahnya menghadap kepadaku. Sorot matanya menatapku tajam. Dengan suara yang sama sekali tak berubah, ia mulai menagih. "... butuh berapa lama lagi bagi kita untuk mendapatkan semuanya ini? Butuh berapa hari lagi bagi kita untuk menunggu? Berapa lagi usaha yang kita butuhkan untuk mendapatkan hari-hari seperti ini?" Aku tak mampu menjawab, semua yang kulakukan dengan waktu sesingkat itu hanyalah diam. Menatapnya kosong tanpa pernah memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Sebab jauh dari dalam diriku, mengusahakan semuanya menjadi seperti hari ini adalah sesuatu yang mendekati mustahil. Terlalu imajiner untuk digapai, terlalu mengawang untuk dilakukan. Yang aku ketahui kemudian hanyalah selalu berusaha semampuku untuk tetap membuka jalan-jalan lain yang akan membuatku bermuara di hari ini. Kemungkinannya terlalu kecil bagiku untuk mewujudkan semuanya. Tetapi selalu aku ingin mencoba, mengusahakan semuanya. Menakar diriku sendiri, seberapa dalam keinginan hatiku.
Tanpa aku sadari juga, bahwa ialah yang menjadi alasan mengapa aku berani berjalan sejauh ini, berani berbuat sedemikian rumitnya. Menantang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Yang juga berarti aku memang sangat menginginkan semuanya. Semua hari-hari untuk dimenangkan. Semua waktu-waktu sore yang dihabiskan dengan minum teh sembari menyaksikan matahari terbenam. Semua kemenangan-kemenangan kecil yang selalu dirayakan. Semua nikmat kecil yang selalu disyukuri. Aku ingin berada disana, bersamanya hingga cukup waktu bagiku untuk berpulang.
Matahari mulai temaram, langit perlahan menjadi gelap. Kulihat wujudnya mulai mengabur dalam pandanganku. Partikel-partikel kecil darinya mulai berterbangan tertiup angin. Sebelum ia benar-benar raib di tengah gelapnya malam. Kudengar ia bergumam, begitu jelas di telingaku.
"Berjanjilah, kekasih. Selalu kau usahakan semuanya untuk hari-hari seperti ini. Karena akupun selalu mengusahakan yang sama. Untuk kita bertemu di hari-hari seperti ini."
0 notes
ztsm · 2 years ago
Text
Aku, patah.
Kadang di satu sore yang sunyi aku mendengar ribuan pertanyaan menggerutu di kepala. Tak pernah kutemukan jawaban, tak pernah benar-benar berusaha mencarinya. Terang maupun gelap, dingin maupun hangat. Tak ada yang benar-benar kurasakan betul. Jikapun aku mati terkoyak di tengah jalan, akupun akan menerimanya sebagaimana adanya. Tidak akan pernah menuntut, tidak akan pernah berharap ditemukan dan dimandikan, dikebumikan dan didoakan.
Hari kadang tak menentu. Selalu beriringan dengan pertanyaan-pertanyaan masa lalu. Yang sayangnya, masih tetap sama. Terlalu malas aku untuk mencari jawaban itu. Toh jika ternyata aku berhasil menemukannya, apa yang akan kulakukan kemudian? Satu yang pasti, akan kutemukan kekosongan-kekosongan lain.Yang berarti semua ini akan terus berlanjut dan berulang. Menjadi abadi seolah-olah sudah diguratkan di atas langit sana.
Maka dengan apa aku harus hidup? Menjalaninya, mencoba menjaga semuanya tetap ada dan baik-baik saja? Jika yang selama ini aku coba percayai ternyata rapuh dan mudah sekali patah. Yang sayangnya kepercayaan-kepercayaan itu tidak tumbuh dari akar, tak bisa tumbuh lagi dan menjalar kemana-mana. Maka sekali ia patah, maka teruslah ia patah. Hingga kepingan tubuhku yang terakhir menyatu dengan unsur tanah yang lain. Menjadi bagian dari semesta yang kecil ini.
Jikalah aku tahu dan sadar akan menjalani kehidupan yang sedemikian melelahkan ini, tak akan aku menandatangani satupun kesepakatan yang disodorkan. Tak akan terlena dengan segala tawaran yang diberikan. Membiarkan diriku tidak pernah ada sama sekali. Membiarkan diriku tak pernah ada di ingatan mereka yang pernah kutemui.
Maka kukirimkan maaf dari jauh-jauh hari, karena hanya maaf yang bisa kuberi. Mengenai jika aku tidak pernah menjadi yang selalu mereka doa-doakan di hari kelahiranku, mengenai harapan yang selalu mereka sematkan kepadaku. Jika ternyata aku hanya hidup untukku sendiri, mencari jawaban itu sendiri. Atau bahkan membiarkannya mengapung di udara, tanpa pernah mau menangkap salah satunya dan mati-matian mencari jawabannya.
Maaf.
1 note · View note
ztsm · 3 years ago
Text
Yang paling menyedihkan diantara semua ini adalah ketika aku mulai melihatmu sebagai sesuatu di hari lain yang harus dilupakan. Karena tak pernah sekalipun aku berpikir dan berencana sejauh ini, hingga seperti saat ini. Bahwa aku akan berada di kehidupan dimana aku akan terbiasa melihatmu tanpa melibatkan perasaan apapun, aku akan terbiasa mendengar suaramu dengan tanpa reka ulang tentangmu di kepalaku.
Maka kurasai ketakutan itu semakin dekat dan nyata. Serta segala peluang dan kesempatan memulangkanmu kembali akhirnya menemukan waktunya untuk diakhiri. Kau maupun aku menemukan jalannya masing-masing yang serba misterius. Menemukan jalan untuk pulang hingga berakhir kepada ketiadaan.
Aku kehilangan banyak, kalah telak dalam banyak tolak ukur. Selalu mengatakan dan mengulang kalimat-kalimat baik, bergumam di dalam kepala. Hati dan pikiran tak henti-hentinya memintal jarak kemungkinan dan peluang. Hingga pada akhirnya kakiku lelah juga setelah berjalan segini jauhnya. Leher dan punggungku letih menopang segini lamanya. Tanganku tak cukup kuat untuk merayap. Serta wajahku yang kian rapat dengan tanah. Tak ada lagi sisa-sisa usaha dan tenaga yang tersisa selain hati yang mengikhlaskanmu. Melepaskanku dari beban yang membelenggu lama sekali.
Maka, hiduplah baik-baik. Mampirlah sesekali bercerita. Karena jatuh cinta pada tulisanmu, aku selalu.
0 notes
ztsm · 3 years ago
Text
Kemana semua burung-burung itu pergi?
Apa kabar yang mereka bawa hari ini? Adakah salah satunya datang menemuimu dan menunjukanmu jalan pulang? Adakah salah satu diantara mereka hinggap di ranting pohon halaman rumahmu dan memperhatikan bagaimana kamu berkegiatan sehari-hari; Melihatmu membaca buku-buku Murakami, mengurus tanaman dan memberi makan ikan-ikan? Untuk kemudian mereka terbang jauh sekali dari tempat mereka hidup nyaman lalu mengabariku semuanya. Mungkin hari itu ada, hari dimana mereka mengabariku sedang aku tak sanggup upaya untuk menerjemahkan apa yang ingin mereka sampaikan. Bahasa burung aku belum lagi bisa, begitu pula denganmu. Jikapun bisa sudah kutitipkan dari jauh-jauh hari, kabar baik dan do'a-do'a.
Kau pikir kemana burung-burung itu pergi? Kemana mereka berarak dan kepada siapa mereka menumpahkan gelisah yang tumpah ruah itu?
0 notes
ztsm · 3 years ago
Text
Mereka yang memilih jalan-jalan sunyi di persimpangan. Berjalan dengan sedikit cahaya rembulan. Berkawan baik dengan kegelapan dan perjalanan adalah membuka jalan-jalan baru yang rimba.
Mereka yang memilih meredam ditengah riuhnya gemuruh. Bertahan diantara deburan ombak yang menderu. Berdiri tegap meski arus tak pernah surut.
Berbahagialah, satu-satunya cara untuk menemukan adalah mencari.
0 notes
ztsm · 3 years ago
Text
Aku pun sama bingungnya. Segala yang kucoba selesaikan tidak pernah memiliki ujung. Selalu menemukan persimpangan lain dengan cerita yang lain-lain.
Kau lihat aku berlumuran darah dan bermandikan api. Berjalan sendirian sembari menyusuri wewangian yang menuntunku hingga sejauh ini. Tak kulihat tanda-tanda cahaya dari kejauhan. Yang juga berarti belum kutemukan ujung yang aku cari-cari.
Kemudian terpikirkan, apakah mungkin aku tak akan pernah menyelesaikan semuanya? Dan mencoba berdamai untuk kemudian hidup dalam segala keterasingan ini?
0 notes
ztsm · 3 years ago
Text
mungkin kamu alasan mengapa aku menulis sebanyak itu. alasan mengapa aku berjalan jauh berhari-hari. yang ku tahu hanyalah aku baik-baik saja, tetapi telat kusadari bahwa di dalam pikiran dan suasana hati tidak pernah sebaik apa yang aku selalu tampilkan di hadapan orang banyak.
sebab ketika sunyi, suara di kepala jauh lebih keras ketimbang apa-apa saja yang terjadi di sekitar. setiap malam jika aku masih harus terjaga, pikiran tidak mungkin tidak memikirkan bagaimana kita bermula, berlangsung sampai akhirnya harus berakhir. dalam gumaman pun aku selalu menghitung peluang kemungkinan menghadirkanmu kembali. meski semua selalu ditolak mentah-mentah karena aku selaku berpikiran bahwa kau sudah tak lagi menyelipkan aku dalam setiap rencana-rencanamu, tak menyempatkan untuk menghitung peluang kembali seperti yang kulakukan.
aku seharusnya sudah tidak lagi berada di sini, harus sudah berada di tempat yang sangat jauh dan asing. tempat dimana aku bertemu dengan orang-orang dan suasana baru. yang tak ada sangkut pautnya tentang kamu.
inilah kisah yang tak berkesudahan itu, yang sering dibicarakan orang-orang. terkenal diantara teman-teman dekat kita.
0 notes
ztsm · 4 years ago
Text
we're both lucky to be born the same era.
0 notes
ztsm · 4 years ago
Text
Ajari aku cara mengikhlaskan, ara.
Tak mungkin kau salah baca. Karena pada akhirnya semua ini akan menuliskan tentangmu, tentang bagaimana aku, dan beberapa yang hendak kusampaikan. Terus terang saja. Jikalah satu hari kau temui tulisan ini sedang sudah lewat lama sekali semenjak ini semua dituliskan, tak apa untuk sekedar kabari aku atau membalas semua ini. Aku tidak pernah mematok kapan ini semua akan tersampaikan, sedianya tulisan ini sengaja kubuat supaya abadi. Setidaknya dalam ingatan masing-masing kita.
Juga aku tak mengharap balasan, bagaimanapun diammu adalah sebuah jawaban dan kau memilih jawaban itu dengan sadar. Tetapi jangan juga melupakan apa-apa yang kutuliskan disini.
Sepanjang tahun 2021 ini, ketika semua orang dipaksa berdiam diri dan mengurus semuanya sendiri-sendiri dari balik bilik kamar, rasa-rasanya aku menghabiskan separuh waktuku hanya untuk memikirkan semuanya. menghabiskan energi yang seharusnya berbuah banyak buah pikiran menjadi usaha-usahaku untuk mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja dan akan baik-baik saja.
Tetapi, sejauh dan sekuat apapun aku menerima, Tetap saja ada bagian kecil yang terus menerus menolak. Bagian kecil yang amat bising ini terus menerus menghadirkanmu dalam banyak benda yang pernah kau berikan kesan. Dan aku selalu diam membatu, mereka ulang kembali. Bagaimana semuanya masih utuh dalam ingatan. Tak sedikitpun cacat maupun kekurangan kepingannya.
Pikiran-pikiran itu semakin menggila sampai mewujudkan diri sebagai sebuah sesuatu yang nyata. Nada suara, gerak kecil kepalamu, senyuman maupun sentuhan aku rasakan layaknya sebuah pertemuan singkat yang sempat mampir di sela-sela kita menyempatkan diri. Tetapi semuanya berubah hampa ketika aku tersadar dari lamunan dan tidur panjang. Membuat bagian kecil tadi kini mengambil porsi besar dalam pikiran-pikiranku.
Setelahnya, tak mampu lagi aku membatasi diri untuk berhenti melakukan semuanya. Sebab perlahan naluriku mulai bergerak cepat, menggali lebih banyak hal yang mengandung unsurmu. Mengingat kembali lagu-lagu, film yang pernah kita bicarakan lama sekali. Buku yang tak sempat kubaca tuntas, yang sempat kupinjam hingga yang belum sempat ku kembalikan. Pertemuan-pertemuan singkat mengembalikan barang, menyelipkan es krim sebagai ucapan terimakssih dalam 'tradisi' kita. Adakah kau ingat itu semua?
Hingga pada akhirnya, aku sampai juga disini. Diantara tulisan-tulisan lamamu yang masih kubaca. Diantara kenangan yang dialihwahanakan menjadi tulisan-tulisan singkat dan panjang. Aku ada disana, begitupun kamu ada diantara tulisan-tulisanku. Satu kemudian pertanyaan yang selalu muncul tiap kembali kesini, masihkah kau menyukai tulisan-tulisanku?
Sesuatu baru terlihat dan terdengar indah namun tragis ketika kita membacanya dalam retrospeksi. Melihat kembali ke belakang dan mengingat bagaimana kita dahulu bertingkah satu sama lain. Meskipun tak semuanya harus diingat, tetapi masing-masing kita berbuat kesalahan. Saling membalas dan mencoba membuatnya impas. Saling mengikis sehingga tak lagi utuh. Yang sayangnya setelah sekian lama bagian yang terkikis itu tetaplah sebuah bentuk. Mewakili apa-apa saja yang masih tersisa. Tidak pernah mengingkari apa yang pernah terjadi.
Aku mungkin telah lama hilang dalam keseharianmu, tak pernah kau sisipkan dalam rencana-rencanamu. Aku tak pernah menuntut. Tetapi menghadirkanmu kembali adalah salah satu usaha terakhirku. Tak menuntutmu untuk mengiyakan semua permaksudanku. Jika memang tak perlu lagi semuanya itu, maka berilah aku jawaban. Supaya jelas nanti, darimana aku harus berhenti dan terus berjalan.
Maka ajarilah aku cara mengikhlaskan, ara. Kupikir kau selalu pandai menyembunyikan apa-apa yang tak kau ingin untuk aku ketahui.
Maka ajarilah aku tabah, ara. Jika memang sisa-sisa yang aku ikhlaskan kehilangan kepingannya untuk menjadi sesuatu yang utuh. Sehingga cacat dan kian terkikis. Menjadi satu bagian mikroskopis sebelum akhirnya menghilang. Dan jauh di hari depan nanti, aku mungkin akan lupa. Ada bagianmu di dalamku, yang tak pernah hilang. Selalu mengendap dan mendapatkan ruang di dalam ingatan.
Minggu, 7 November 2021
1 note · View note
ztsm · 5 years ago
Text
Hari-hari kemarin aku seperti penulis yg menuliskan semua tingkah laku tokohnya. Sampai di usia kini akupun menyadari, bahwa aku hanyalah salah satu tokoh dari sebuah naskah yang amat besar.
0 notes
ztsm · 5 years ago
Text
this will always be your home.
0 notes
ztsm · 5 years ago
Text
aku ingin mati dalam kesunyian dan dikuburkan ditengah riuhnya mulut orang-orang yang memanjatkan do'a.
0 notes
ztsm · 5 years ago
Text
Yang terburuk dari segala pemakaman adalah waktu-waktu sendiri ketika pikiran kita mulai mereka ulang segala kenangan yang sejak lama tersimpan di dalam pustaka di kepala.
Ketika para pelayat mulai berangsur-angsur surut, ketika ucapan belasungkawa dan doa'-do'a berhenti dikirimkan. Ketika kita hanya bisa terduduk diatas sofa dengan mata yang menatap langit-langit kamar sedang pikiran melayang-layang menjelajahi seisi rumah. Menghadirkan kembali sosoknya diantara pintu-pintu kamar yang sempat diketuknya, diantara meja makan yang selalu menjadi tempatnya menyantap kudapan, diantara kamar yang selalu menjadi tempatnya merebahkan badan dan beristirahat. Saat itu, pikiran dan hati kita untuk pertama kalinya sepakat dalam satu hal, yaitu menolak kenyataan bahwa sosok yang kita tak sadar selalu kita cintai kini telah tiada. Tak bisa lagi melihatnya mengetuk pintu kamar, menyantap kudapan di meja makan atau sekedar melihatnya merebahkan badan dan beristirahat diatas ranjangnya.
Maka mustahil mendengar lagi senandungnya yang terkesan berantakan, gaya ucapannya yang selalu khas, tingkah lakunya yang selalu membekas. Kecuali dalam keadaan-keadaan yang tidak bisa diterima akal, semua hal itu tidak bisa kita alami lagi.
Sekali lagi sebelum menjelang tengah malam, sekujur tubuh mendadak merinding. Mata kemudian lembap dan berbuah air mata. Pikiran sudah terlalu jauh berkelana, kenangan sudah terlalu dalam diselami. Sisa-sisa kesedihan tak hanya berakhir penyesalan tetapi juga do'a-do'a yang selalu terucap dikala hati menyentuh titik terendahnya.
Seperti yang pernah kutuliskan dahulu; bahwa ketika ruh meninggalkan badan, yang ada hanyalah jasad yang dimakan rayap. Sementara lakuan, ucapan dan buah pikiran menguap menjadi kenangan.
Rest in peace, Pa. We'll always love you.
8 April 2020
0 notes
ztsm · 6 years ago
Text
Menyedihkan rasanya ketika aku nenemukan dan membaca tulisan-tulisan lamaku lalu aku merasa lebih baik melakukannya dulu ketimbang sekarang. Kusangka kemampuan menulisku menghilang sebab aku tidak lagi banyak menulis dan membaca. Tapi kemudian aku meyakini bahwa aku keliru. Sebab yang benar-benar membuatku tidak mampu menulis dengan baik lagi adalah karena aku sudah lama tidak merasakan jatuh cinta dan sudah terbiasa patah hati. Maka mari, bantu aku menemukan kemampuan menulisku kembali. Dengan menjadi jatuh cinta dan patah hatiku yang luar biasa.
0 notes
ztsm · 6 years ago
Text
Aku membutuhkan segala rupa jelmaanmu untuk membawaku kembali ke waktu-waktu dulu. Untuk mendorongku menuliskan segalanya. Bantu aku.
0 notes
ztsm · 6 years ago
Text
Kini kau malah menjadi sama dengan kebanyakan orang. Seperti tidak pernah melakukan apapun, seperti tidak pernah bercerita banyak. Hanya sebatas saling mengenal, dan tidak lebih.
Pun yang kau alami kini hanyalah bentuk dari kesadaranmu menikmati yang ada, bentuk dari perhatianmu yang sudah lama kering kehilangan tempat untuk mengajakmu berbicara. Tapi yang tidak bisa diterima adalah sikapmu menampik segala yang pernah ada, yang berhasil membuatmu bahagia meski sementara dan sangat singkat. Maka sebab itulah, memilih menempatkanmu diantara orang-orang lain yang hanya sebatas mengenal dibanding memisahkanmu di rak khusus berlabel "spesial" sudah kuputuskan dari jauh-jauh hari.
Benar aku kehilangan sosok, kehilangan dirimu yang pernah dikenal. Tapi tak juga membuatku memohon-mohon untuk mengembalikanmu seperti sedia kala. Sebab selaiknya sikapmu terhadap semua yang sudah lalu itu, akupun sudah tidak menghiraukannya lagi. Ada atau tidaknya dirimu yang dulupun, tidak pernah merubah rencana awalku untuk terus menjadi bagaimana aku ingin menjalani semuanya.
0 notes