Tumgik
11derajat · 3 years
Text
Apa kabar kamu hari ini?
Dari aku yang masih sering kepo dengan keseharianmu
Apa kabar kamu hari ini?
Dari aku yang selalu berdoa kamu bahagia
Apa kabar kamu hari ini?
Semoga baik-baik aja sama pasangan barunya
Apa kabar kamu hari ini?
Sehat selalu ya, jasmani dan mentally
Apa kabar kamu hari ini?
Dari aku yang pernah dan masih sayang sama kamu, tapi gatau besok masih sayang apa ngga
Apa kabar kamu hari ini?
Makasi banyak pernah sayang dan perhatian sama aku
1 note · View note
11derajat · 3 years
Text
Terimakasih
Gua sering dikira fakboi padahal aslinya fucked up
Gua masih suka stalking mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karna gua pengen liat kalian bahagia sekarang karna mau bagaimanapun dulu gua pengen kalian bahagia, walau sekarang bahagianya bukan ama gua
Gua selalu mendoakan yang terbaik buat mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karna mau sejahat apapun kalian ke gua, gua pernah sayang sama kalian dan selalu pengen kalian jadi yg terbaik buat diri kalian sendiri, atau untuk pasangan kalian sekarang
Gua selalu berterimakasih sama semua mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karna mau bagaimanapun, gua yang sekarang adalah hasil evaluasi dari kalian semua
Gua berterimakasih sama mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karna berkat kalian gua jadi tau bahwa gua belum baik dan masih banyak kekurangannya
Gua berterimakasih sama mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karena berkat kalian, gua jadi termotivasi buat lebih baik lagi, baik untuk gua atau untuk pasangan gua kelak
Gua berterimakasih sama mantan atau org yg pernah singgah di hati gua karna dari kalian gua belajar memilah mana yang baik dan mana yang buruk buat gua
Terakhir
Gua berharap kalian semua sehat selalu, bahagia terus, lebih baik untuk sekitar
Semoga kalian juga bisa belajar dari kesalahan-kesalahan di masa lalu
Semoga gua bisa dijadiin pembelajaran juga buat kalian
Semoga kalian bisa lebih menyanyangi pasangan kalian, dan menghargai pasangan kalian
Semoga kalian mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik dari gua, dan bisa menyayangi kalian dengan tulus.
Dan semoga kalian ga mengalami sakit hati lagi dengan pasangan baru kalian, sampai akhir hayat kalian
Aamiin
Sekali lagi. Terimakasih
Sincerely
Dzikry
0 notes
11derajat · 4 years
Text
Ga semua laki-laki visual
0 notes
11derajat · 5 years
Text
Berantem
"Dia siapa?"
"Barista situ. Kenapa emang?"
"Enggak." Dia berbohong.
"Cemburu?"
"Ngapain. Ga guna."
"Okay then." Aku cuek, langsung memainkan hp.
Hening untuk beberapa menit. Dia fokus dengan setir, aku fokus dengan video kucing yang melompat ke meja namun tak sampai. Tawaku pecah. Amarahnya pun sama.
"Kamu tuh kenapa sih suka banget bikin kesel orang?"
"Hah? Ko tiba-tiba kesel?" Tawaku padam, semerah padam wajahnya.
"Barista tadi, siapa dia?"
"Ya barista situ, yang bikin kopi disitu."
"Kok kamu akhir-akhir ini sering banget sih kesitu? Kamu suka sama dia?"
"Aku suka sama kopi bikinan dia. Kopinya enak. Makanya aku betah disana."
"Tapikan masih banyak kopi yang enak di tempat lain. Ga harus disitu." Emosinya makin memuncak.
"Kamu cemburu?" Tanya ku to the point.
"Ya..." dia bingung, mungkin gengsi. "Enggak!" Yap dia gengsi mengakui kecemburuannya.
"Pokonya kamu jangan kesitu lagi. Aku gasuka."
"Ya kalo kamu bisa bikin kopi lebih enak dari dia, aku pasti lebih milih kopi bikinan kamu."
Mobil direm mendadak. Emosinya sudah pada puncaknya.
"Keluar!" Emosinya. Meledak.
"What? Kamu mau nurunin aku cuma karena that kind of stuff?"
"Turun sekarang! Aku muak sama kamu!"
"Wtf vin?!" Sekarang aku juga emosi. "Okay aku keluar!"
Aku mengambil tas. Keluar, lalu membanting pintu mobil cukup keras. Kevin langsung pergi. Akupun tak kuasa lagi menahan tangis.
"Aaahhh!!" Sekarang yang aku pikirkan hanya Adnan, sang barista. Ku cari kontaknya yang untungnya sudah kusimpan.
"Adnan." Sembari menangis deras
"Yap? Ini sama siapa ya?"
"Bulan. Jemput aku Nan. Hiks."
"Okay. Kamu dimana?"
"Halte deket Borma Setiabudi. Please Nan."
"Okay. Tunggu."
Selang beberapa menit suara motor terdengar parkir di depan halte. Aku yang sedang meringkuk menyembunyikan wajah mengintip sedikit. Itu Adnan. Satu hal yang kupikirkan saat ini aku sangat ingin memeluknya.
*Hug*
"Sok keluarin semuanya. Jangan ditahan."
Aku malah semakin berteriak. Terus memproduksi air mata dan ingus sambil sembunyi di pundaknya.
"Keluarin semuanya yaa. Sampe kamu enakan."
Cukup lama aku menangis dipelukannya. Sampai akhirnya aku merasa sedikit lebih tenang.
"Udah tenang kan sekarang. Yuk ke kedai. Aku bikinin kopi kesukaan kamu." Dia mengatakannya sembari mengusap air mata yang masih mengalir di pipiku.
Aku mengikutinya layaknya anak bebek mengikuti induknya. Di motor dia memakaikan jaketnya padaku, aku hanya diam menurut.
"Kalo naik motor agak dingin, jadi harus pake jaket." Aku duduk dibelakangnya sambil masih sesegukan. "Kalo jam segini ga akan ada polisi. Jadi ga pake helm juga aman. Pegangan ya."
Perjalanan cukup singkat, karena kedainya masih di daerah Setiabudi. Kami sampai di kedai dengan kondisi aku sembunyi di balik punggungnya yang hangat. Dia lalu menuntunku dengan tangannya yang dingin terkena angin malam.
"Kamu duduk depan bar aja ya. Liatin aku bikin kopinya." Kedainya sudah tutup. Tapi Adnan buka kembali khusus untukku. Untuk kami berdua.
Aku suka ketika dia membuat kopi. Dia selalu membuatnya penuh dari hati. Mungkin itu rahasia mengapa kopinya enak.
"Nih, kita minum berdua." Aku mengangguk sembari masih sesegukan.
Sejenak hening. Kami terlalu fokus menikmati kopi buatannya. Aku sih yang fokus.
"Jadi.." Adnan membuka pembicaraan.
"Aku sebel sama Kevin!" Namun aku memotongnya.
Dari situ aku menjelaskan kronologis kejadian yang terjadi antara aku dan Kevin, pacarku. Juga kenangan-kenangan buruk yang menimpaku dengannya. Aku menceritakan semuanya dengan penuh amarah dan kebencian. Seolah-olah Kevin adalah penjahat nomor satu di dunia. Disisi lain, Adnan mendengarkanku dengan seksama. Dia memperhatikan seluruh ceritaku.
Sampai akhirnya aku merasa jauh lebih tenang. Disini aku baru menyadari betapa childish-nya aku. Bukannya senang malah jadi malu.
"Pulang yuk. Udah malem juga nih." Jam menunjukkan pukul satu lebih.
"Iya ayuk. Tapi."
"Aku anter. Kamu pulang kemana?"
"Kosan sih. Di daerah Cilimus." Aku sempat meragu dengan tawarannya. Tapi disisi lain aku bingung juga.
"Tenang aja, aku ga akan numpang pipis atau yang lain ko. Bakal langsung balik aku."
"Eh ko mikirnya kesitu?"
"Ya kali aja kamu mikir kesitu, wajar kali insecure sama stranger."
"Hehe." Aku cuma bisa terkekeh.
Adnan mengantarku sampai gerbang kosan. Dia langsung pamit pergi, aku pun hanya bisa mengiyakan. Sampai di kamar aku merasa sangat malu. Di depan orang yang baru kukenal, aku sudah berani sedekat dan seterbuka itu. Aku tak akan pernah tahu akan seperti apa kelanjutan ceritaku dengannya. Mungkin aku tak akan datang lagi ke kedainya, tapi kopi buatannya sangat enak. Atau aku tak perlu datang ke kedainya dan membeli via aplikasi online? Ahh aku jadi bingung.
Yang jelas, berada dipelukannya. Sungguh sangat nyaman.
0 notes
11derajat · 5 years
Text
Jadi.
Untuk apa menjadi istimewa
Jika kita tak tahu istimewa itu apa
Huftt
0 notes
11derajat · 5 years
Text
Dia Bulan
...
“Hi.” Dia menyapaku.
Kulihat dirinya. Rambut pendek sebahu, kacamata bulat, bibir merah muda.
“Ikut duduk ya. Kursinya tinggal sisa ini soalnya.” Keadaan kedai memang cukup ramai. Aku baru menyadarinya saat kulepas earphone dan melihat sekeliling.
“Oh. Silakan.” Aku menarik laptop, memberikan cukup ruang di meja untuk dirinya.
“Makasih.” Aku mengangguk.
Hening. Kami tak bercakap apa-apa sampai..
“Ada korek ga?”
“Oh ada. Bentar.” Aku merogoh saku mencari benda sialan itu. “Ini.”
“Makasih lagi, hehe.”
“Santai. Pertama kali kesini?” tiba-tiba saja keluar topik untuk dibahas.
“Kok tau?” sambil menyalakan rokoknya.
“Baru liat soalnya.”
“Oh, sering disini mas?”
“Adnan aja. Mas kesannya tua banget, hehe.”
“Okay aku ulang. Sering kesini, Nan?”
“Sering sih lumayan. Nguncen. Kalo kamu..” sembari memberi kode untuk mengetahui namanya.
“Bulan.”
“Kalo kamu, Bul?”.
“Bul banget yak, haha. Baru pertama sih.”
“Okay then. Udah nyoba kopi susunya?”
“Belom. Baru juga dapet tempat.”
“Haha. Aku traktir deh ya buat mba Bulan.”
“Eh ga usah.”
“Udah gapapa santai, anggap aja kunjungan pertama dapet gratis. Sekalian aku mau mesen lagi” Entah niat darimana aku tiba-tiba ingin mentraktir dia kopi susu.
Aku berdiri beranjak ke kasir. Memesan kopi susu untuk Bulan dan aku sendiri.
“Siapa Nan?” ucap sang kasir yang tak lain adalah rekan kerjaku tadi pagi.
“Gatau. Baru kenalan barusan.”
“Lah kok bisa?”
“Bisa aja. Nih duitnya, gua mau pdkt dulu.”
“Sukses bro haha.”
Aku membawa kopi susunya ke meja tempatku tadi. Kulihat Bulan sedang membaca buku, entah buku apa, terlihat dari jauh bukunya tak terlalu tebal.
“Serius amat. Nih.” aku menyodorkan kopi susunya.
“Ih makasih loh, jadi ga enak.”
“Minum dulu kopinya biar enak.”
Kami pun bercakap sambil meminum kopi susu masing-masing. Percakapannya cukup seru. Mungkin karena Bulan orang yang asik. Topik pembicaraan tak pernah berhenti, selalu ada topik-topik baru untuk diperbincangkan. Sampai pada akhirnya.
“Eh aku cabut dulu ya. Udah dijemput cowo aku. Next time aku kesini lagi deh. Makasih kopinya ya, Nan.” Dia punya pacar.
“Okay, Bul. Hati-hati ya ke cowonya.”
“Kok hati-hati?”
“Ya kan dia yang nyetir. Makanya suruh hati-hati.”
“Oh haha. Okay aku sampein nanti. Bye.”
“Bye.”
Bulan menarik untukku, namun pacarnya sudah cukup membuatku tak berharap lebih. Bermobil, atletis, keren. Sudah menjadi idaman setiap wanita sepertinya. Setelahnya aku hanya kembali sendiri, fokus dengan kerjaan desain yang sedari tadi kukerjakan. Aku senang bisa mentraktirnya kopi susu dan berbincang sejenak dengannya. Terimakasih Bulan.
0 notes
11derajat · 5 years
Text
can we became traveler?
hey you,
standing beside a tree
like a couple in a autumn
show the love and affection
even
it
silent
but
so
warm
to see
wishing you my soulmate
till the day I die
knowledge the world we never know
every place
every spot
every pit stop
every angle
every turns
every roads
every fuel station
has their stories
and we
have our stories too.
was found at notes on 23 Dec 2018 [02.18 am]
when am on my fieldtrip to central java and my seatmate was him.
3 notes · View notes
11derajat · 5 years
Text
Sedari tadi hanya melamun memperhatikan draft yang tiap hari makin menumpuk saja
Lost inspiration
1 note · View note
11derajat · 5 years
Photo
Tumblr media
大きな柴犬を見つけた
55K notes · View notes
11derajat · 5 years
Text
Cerpen : Sketsa
Dari jendela kelas, aku bisa lihat dia sedang bermain gitar, meski aku harus jinjit-jinjit untuk melihatnya. Baju seragamnya keluar sedikit, sepatunya dilepas alias nyeker kalau kata orang Jawa, rambutnya acak-acakan.
Biar begitu aku tahu dia jago matematika, makanya aku suka. Karena ayahku dosen matematika, berharap mereka berdua nanti menemukan kecocokan yang sama saat mengobrol di masa depan.
Aku cekikikan sendiri menyimak imajinasi yang ada di benakku. Masa depan? Emangnya ada apa…kenal dekat aja enggak.
“Dan, ikut gak?”
“Ngapain?”
“Main bola.”
“Satu lagu lagi ya.” Katanya masih memetik senar.
“Buruan tapi, aku ke lapangan duluan ya.”
“Yoi bro. Beres.”
Percakapan itu terdengar di telingaku, meski tidak seberapa keras tapi cukup jelas. Dengan sigap, kumasukkan alat tulis yang masih berhambur di meja. Aku bergegas bukan untuk pulang, tapi ikut ke lapangan. Supaya tidak ketahuan sedang mengamati Zaydan, maka kuputuskan pergi duluan. Ini namanya strategi.
“Mau kemana Gi?” Tanya Salma.
“Nnng, tribun.”
“Ngapain?”
“Mau lihat sepak bola.” Aku jujur.
“Kok tumben?” Salma heran, pandangannya tertuju pada Zaydan, seolah mengkonfirmasi : bukannya Zaydan masih ada di situ?
“Iyaa, dia habis ini mau main sepak bola sama anak-anak.” Kataku bisik-bisik.
Oh iya, Salma ini menyimpan rahasiaku…bahwa aku diam-diam ngefans sama Zaydan.
“Ikut nggak?” Tanyaku kemudian.
“Ayo deh. Aku juga lagi nyelesaikan PR. Sekalian ngerjain di tribun aja.” Kata Salma si rajin sedunia.
Kalau aku… si tukang gambar. Hahaha. Pulang sekolah, bukannya nyicil garap PR kaya Salma malah nggambar.
Kami berdua duduk di tribun, ada di bangku kedua dari atas. Ternyata ramai juga disini. Aku pikir sudah pada pulang.
“Ini kenapa sih kok masih rame?” Tanyaku pada Salma yang sepertinya juga tidak punya jawaban atasnya.
“Nggak tahu juga aku. Perasaan nggak lagi liga antarkelas.”
Pertandingan sudah mau dimulai. Tanpa seragam, semuanya asal main saja sepertinya. Khas anak laki-laki sepulang sekolah. Nggak ada yang rapi. Bahkan kecut bau keringat.
Dari kejauhan aku melihat Zaydan. TUNGGU DULU!
Apa itu di tangannya? Kok mirip sama buku sketsaku?
Dengan panik aku segera memeriksa isi tas. Mati aku! Tanganku dengan reflek sudah menepuk dahi, mengucek mata, lalu terpejam, dan ambil nafas.
“Mampus.”
“Apanya?” Salma heran.
“Aku.. ”
“Kenapa?”
“Itu buku sketsaku di Zaydan, Saaaaaal” aku bisa merasakan mukaku yang memerah salah tingkah. Pikiranku sudah melayang pada rekaan sebuah adegan dimana Zaydan membuka satu demi satu lembarannya untuk mengetahui ini punya siapa tapi dia malah menemukan sketsa dirinya sendiri di koridor kelas.
Beneran mampus.
Zaydan meletakkan tasnya selisih tiga anak tangga dengan tempatku dan Salma. Lalu dia menujuku. Aku terdiam keringat dingin, reka adegan itu nasih terputar-putar di pikiranku. Salma pura-pura jadi patung.
“Gi, ini punyamu ya?”
“Iya. Kamu buka-buka halamannya ya?”
“Iya.”
“Buka sampe mana?” Tanyaku sok-sokan bisa menerima kenyataan kalau dia ternyata membuka bukuku sampai halaman terakhir.
“Sampe halaman terakhir.”
“Oh…”
“Bagus gambarnya Gi.” Katanya sambil menyodorkan buku itu padaku. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri: teledor bin sembrono! Dasar Egi!
“Makasih hehe”
“Tapi lain kali, aku digambar pake sepatu ya. Ternyata nggak keren kalau gitaran sambil nyeker.”
“Hahaha, iya..” kataku sok asik.
Mampus. Ketahuan. Tapi sepertinya dia biasa saja. Kan ngegambar aja, belum tentu artinya suka. Kataku menghibur diri.
Salma terkekeh saat Zaydan sudah turun ke lapangan dan menyimak percakapan kami yang tidak bisa ditarik satu kesimpulanpun.
“Diem kamu ih.” Kataku.
“Untung gambar dia aja, nggak ada quotes-quotes apa gitu kan di sampingnya?” Tanya Salma.
Aku membuka lembaran itu lagi. Lembaran yang ada gambar Zaydan-nya. Ternyata, ada sebuah kalimat di bawahnya… yang membuat diriku rasanya ingin berubah menjadi kepompong dan semedi sampai kenaikan kelas.
“Nggak kok Sal, nggak ada.” Aku mengapus kalimat itu, saat Salma sibuk menghitung rumus fisika di buku catatannya.
Sehangat matahari sore ini, tak sempat melihat senjapun tak apa. Cukup dia dan dawainya.
330 notes · View notes
11derajat · 6 years
Text
Kami Ingin Makan
“Hujan”
“Iya”
“Laper”
“Sama”
Sedari tadi kami hanya menopang dagu, menatap air hujan yang turun dengan elok di jalan. Di depan bar kopi ini perut kami meronta-ronta minta diisi. Tak ada makanan. Hanya ada kopi, dia, dan hujan.
“Go-food aja gimana?” dia berusaha memberikan solusi atas kelaparan yang melanda.
“Kasian gojek-nya keujanan.” tapi aku merasa iba atas solusi yang dia tawarkan.
“Iya sih. Kalo dia keujanan, entar dia sakit, kasian keluarganya di rumah.”
“Yap. Itu ngerti.”
Selama hampir satu jam kami bercengkrama. Membicarakan hal yang tidak penting sama sekali, namun patut dipertanyakan. Shit-talk bermula saat aku dengan refleks menepuk tangan yang sedang dihinggapi nyamuk (yang entah mengapa datang di sore dingin ini).
“Ih ko ditepuk sih?” dirinya protes atas perbuatan yang kulakukan. Seolah-olah aku telah melakukan kejahatan tingkat tinggi dan harus dijebloskan ke penjara.
“Emangnya kenapa? Liat tuh dia udah nyuri banyak darah aku.” Darah yang nyamuk itu hisap cukup banyak, dan membuat bentol cukup besar di tangan kiriku. Menurutku dengan membunuhnya menepuknya sudah menjadi hukuman yang setimpal.
“Ya tapi coba kamu pikirin nasib anak istrinya dirumah, nungguin dia seharian demi setetes darah.” bibirnya mulai tersenyum ragu, tanda dia sudah tak tahan lagi untuk tertawa.
“Itukan kalo nyamuknya udah nikah. Kalo masih jomblo berarti gapapa dong?”
“Ya tetep aja kamu ga berperikenyamukan.” wajahnya berpaling, pipinya merah, bibirnya tak kuasa menahan tawa yang akan meledak sebentar lagi.
“Lagian aku niatnya nepuk pundaknya, eh malah kena badan. Jadi aja berdarah-darah.” Aku menang. Dia tertawa.
Topik obrolan makin menjurus ke hal-hal yang tidak penting (sama sekali). Perihal berapa lama waktu yang diperlukan kaki seribu untuk memakai sepatu. Perihal kenapa banyak sekali tikus yang terlindas mobil di jalanan. Dan perihal hujan kenapa beraninya keroyokan.
Semua obrolan terhenti saat kami sadar bahwa sudah banyak pengendara motor tak mengenakan jas hujan. Tanda cuaca sudah bisa ditembus.
“Eh, hujannya udah berenti. Makan yuk, udah laper nih.” ucapnya sembari menunjuk perut yang kosong sejak tadi dengan ekspresi wajah yang sedih
“Okay yok cabut!!”
2 notes · View notes
11derajat · 6 years
Text
It's Sucks
When the only thing you can do is staring at the ceiling
-Me, waiting for bs to come around
1 note · View note
11derajat · 6 years
Text
Hate being me.
0 notes
11derajat · 6 years
Text
Pagi..
“Kenapa?”
“Nope” ucapku sembari tersenyum lebar.
“Ih serius ada apa?”
“Ada cewek. Lucu. Cantik. Menggoda hehe.”
“Siapa?”
“Yang nanya” aku berkelit.
“Ih serius!” dia mulai gemas.
Entahlah. Aku suka saja memperhatikan dirinya. Terkhusus ketika bangun pagi hari, dimana cahaya matahari menyinari sedikit wajahnya yang putih itu, seperti saat ini.
“Kenapa sih, ngeliatinnya gitu banget?”
"Ngeliatin gimana?” aku sedikit memundurkan kepala saat dia berkata begitu.
“Ngeliatin kaya sekarang. Malu aku diliatinnya gitu banget”
Melihatnya sungguh menyenangkan. Aku sampai tahu jumlah jerawat yang ada di pipi dan dagunya. Jumlah kerut di bibirnya yang belum dibasahi. Milia disekitar matanya. Hidung peseknya dan favoritku mata coklat dengan pupil warna hitamnya. Sungguh pemandangan pagi yang indah.
“Hey! Malah senyum-senyum lagi.” Lamunanku buyar olehnya.
“Hehe. Maaf. Aku mandi yak.” seraya bangun meninggalkannya dikasur.
“Yaudah aku mau tiduran dulu. Abis kamu mandi langsung pergi ya?” Dia bangun, memakai kacamatanya lalu mengambil handphone untuk dimainkan
“Okay.”
1 note · View note
11derajat · 6 years
Text
Feel Guilty is Sucks
0 notes
11derajat · 6 years
Text
Tuhan, aku jatuh cinta
0 notes
11derajat · 6 years
Text
Tuhan, aku benci jatuh cinta
0 notes