Found me on Instagram @a.ha.p | email: [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text


bagaimana jika doaku akrofobia maka ia tak sampai pada langit?
atau bagaimana jika doaku claustrofobia maka ia tak tahan berhimpit?
atau bagaimana jika doaku niktofobia? sebab terlalu gelap, maka ia lenyap?
atau bagaimana jika,
aku berhenti saja?
11 notes
·
View notes
Text
Hanya sedang latihan nyanyi menjelang tengah malam. Hanya itu.
12 notes
·
View notes
Text
Selamat malam,
teruntuk para sundal yang terus merasa berakal. Tidak kah kepada nyawamu peran diberikan tak berujung kekal?
Surat kabar pun tak mengenal kekal, sewaktu-waktu halamannya menguning, kalimat-kalimat perjuangan kadaluarsa. Berita kematian dianggap biasa.
Bagaimana menurutmu? Perlu kah menjadi hipokrit, sementara mengenal diri semakin sulit? Atau kita hanya perlu merayakan letupan-letupan meriah di langit yang tinggal menunggu runtuh dengan permen-permen kapas tanpa perlu berharap sembuh?
Sudah kah kiranya jawaban itu kautemukan pada halaman-halaman buku fiksi kesukaan? Atau idolamu hanya membicarakan halusinasi dengan ramah, sehingga yang kautemukan pada tubuhmu hanya ketabahan yang lelah?
Beristirahat lah dalam pasrah, tidak semua yang kalah dianggap bersalah.
Tidak semua.
Tidak.
Semua.
14 notes
·
View notes
Text
Dahaga itu tak juga terpuaskan, bukan?
Ilusi yang diciptakan tak juga menenangkan, bukan?
Manusia diberi sulit bukan untuk menjadi hipokrit. Melainkan untuk merasa mudah sedikit demi sedikit.
15 notes
·
View notes
Text
Apa kabar?
Masih sekuat apa menjaga hati tetap berdebar; agar tak mati terus dipaksa bersabar?
61 notes
·
View notes
Text
Buah Tangan
Aku pulang ke tubuhku dengan segenggam buah tangan. Menyengau kusampaikan sebaris kalimat penyesalan.
Dalam dini hari, sedikit demi sedikit, kukuliti biru memar di sekitar bagian otak kiri.
Menjadi dungu ialah kejahatan yang aku tidak jera.
Menjadi sundal ialah kesialan yang berulang.
Maka berbahagia lah kepada yang mati muda.
Dan menangis lah kepada yang bernyawa.
Tidak kah kiranya menyakitkan?
Aku pulang ke tubuhku dengan segenggam buah tangan. Sekepal bingkisan berisi belas kasih.
Dalam hitungan, berkali-kali, mengejar jejak yang dipecundangi pemiliknya.
Menjadi manusia ialah kesalahan yang diwariskan.
Menjadi sulung ialah kejahatan yang tak termaafkan.
Maka tak perlu dirayakan.
Tidak juga perlu sumpah serapah dari mulut-mulut bengu.
Tidak kah kiranya menyenangkan?
Aku pulang.
13 notes
·
View notes
Text

Pernah gak sih merasa asing walaupun itu hanya sebatas kecurigaan di kepala?
Merasa sendiri atau merasa tidak ada dukungan, atau merasa ada di circle yang berbeda?
Atau berpura-pura sepakat dengan orang lain hanya agar diterima?
Pernah gak sih berpikir bahwa perasaan takut ditolak, karena adanya harapan besar untuk diterima?
Tapi bagaimana jika penerimaan selalu ada, meski tidak selalu sesuai ekspektasi?
Barangkali selama ini kamu terlalu tunduk pada ekspektasimu sendiri, hingga akhirnya luput melihat substansi?
115 notes
·
View notes
Text
Beberapa hari yang lalu Ibu meninggal.
Mereka berkata bahwa tidak ada hidup yang kekal.
Mereka berkata bahwa ada hal baik dari sebuah ajal.
Mereka berkata bahwa kematian bukan lah hal banal.
Mereka berkata itu bukan jalan terjal yang membuat seorang anak harus kehilangan akal.
Mereka yang berkata.
Mereka.
Iya, mereka.
25 notes
·
View notes
Text
Validasi Bisa Dibeli
Pecahkan celengan ayammu, hanya bertengger di rak buku tidak akan membuatmu diakui. Tidak kah centang itu menggiurkan? Biru tidak selalu tentang pilu.
Pulang, lalu merengek pada Ibu. Orang tua tidak melulu mengerti kepuasan generasimu.
Atau jatuhkan harga dirimu, cara itu kerap berhasil menaikan derajat keluarga.
Lakukan apa saja, biar puas dahaga.
Jangan mati, sebelum ter-validasi.
11 notes
·
View notes
Text
Orang tuaku tidak pernah mengajarkanku untuk mengiodalakan manusia. Tidak juga waktu. Entah kapan hari lahirmu, apa zodiakmu, berpengaruhkah pada kepribadianmu? Tidak sekepal pun besar keinginanku untuk peduli.
Meski sekali waktu mereka menciptakan sepi. Sebab sementara manusia lain merayakan banyak hal, aku hanya berkutat pada yang banal. Berulangkali.
Sampai akhirnya aku terbiasa tidak peduli dengan apa yang idola kalian lakukan, entah mereka ber-investasi pada isi kepalamu, atau jari-jemarinya lagi-lagi merakit bom waktu.
Juga tidak peduli dengan gemuruh suka cita perayaan hari lahirmu. Namun tolong kecilkan suara, tidak semua ikut tertawa mendengar lelucon yang itu-itu saja.
Terima kasih,
itu saja.
26 notes
·
View notes
Text
Aku pernah kenal seorang anak yang tumbuh penuh percaya. Kedua matanya penuh yakin. Jari-jemarinya menggenggam penuh usaha. Meski kaki-kakinya gemetar penuh luka.
Titipkan salam padanya jika sewaktu-waktu kau bercermin. Tolong tanyakan padanya, "masih kah punya ingin?"
33 notes
·
View notes
Text
Menjadi Tuhan Bisa Diwariskan
Mungkin untuk sesekali tidak apa. Tidak akan meninggalkan bekas di tubuh seperti luka yang kau dapat dari pertengkaran di masa silam. Tidak juga menimbulkan jejak seperti sepasang kakimu yang melangkah di kubangan sisa hujan semalam.
Mereka tidak tahu. Mereka hanya sok tahu—menerka derita orang lain—seakan menjadi Tuhan bisa diwariskan.
Tidak perlu mampu. Manusia tidak sekuat itu.
Tidak perlu selalu mencintai diri sendiri, jika benci juga bagian dari hati.
Akui.
Mereka hanya menjual cerita, aku dan kau pun begitu. Sejak dulu, sudah begitu.
18 notes
·
View notes
Text
Akhir-akhir ini rasanya cukup berat, ya?
Entah sudah berapa kali kusisir rambut ikalku, hanya agar mereka cukup tenang, tidak bergelombang. Tidak menjelma ombak yang gigih—yang berupaya memecah keteguhan karang.
Entah sudah berapa kali aku berganti baju yang semuanya berwarna hitam.
Entah sudah berapa lama aku bercermin, menatap ke dalam mata yang tidak tampak hidup.
"Mungkin hidup memang tidak melulu tentang mencintai diri sendiri, seperti kata para penulis buku best seller itu." Pikirku.
Jangan lupa bernapas! Setidaknya, biarkan ada satu bagian di tubuhmu yang tetap merasa bebas.
Setidaknya.
51 notes
·
View notes
Text
Jika kamu membenci keraguan orang lain. Mungkin kamu bisa mulai dengan mencintai keyakinanmu.
21 notes
·
View notes
Text
Yang kembali padamu, sayang, bukan itu. Bukan yang kau berikan dari hasil menjual kasih sayang. Bukan pula imbalan dari airmata yang berbutir-butir kau buang.
Tapi jalan panjang yang mengikis alas kaki di tempat kau sempat tersesat–sesaat sebelum sore mengajarimu untuk mengingat apa yang begitu saja kau biarkan terlewat.
.
.
Membunuh bukan seperti itu. Perlu senyum di wajah yang kau bagikan seperti seorang dermawan dulu. Menenangkan. Melekas kerelaan. Menghunus tanpa ragu, lalu melambaikan tangan pada kematian di hadapanmu. Rayakan perpisahan dengan bagaimana kau merayakan pertemuan.
.
.
Mungkin bukan di sini. Bukan di antara pembenci. Bukan pula di antara puing-puing yang kau kantungi sendiri. Tidak ada suaka di matamu. Hanya ada sengketa berparas lugu yang minta kau tenggelam berkali-kali. Lekas menjauh dari parade yang menginjak-injak harga diri.
.
.
Esok pagi lihat wajah sembab itu. Terima lah sekantung airmatamu seperti setelahnya hanya ada kemarau. Hidup lah dengannya.
.
.
ahap, Feb. 2021

46 notes
·
View notes