abucketofbluebells
abucketofbluebells
iya ini yasmin
91 posts
diari suka suka
Don't wanna be here? Send us removal request.
abucketofbluebells · 11 days ago
Text
Dibanding mengamini kata-kata 'usaha tidak mengkhianati hasil', aku lebih suka bilang 'proses tidak mengkhianati progres'.
Meyakini bahwa usaha nggak mengkhianati hasil seringkali bikin aku jadi menyalahkan diri sendiri kala menjumpai kegagalan. Rasanya kayak udah kasih yang terbaik, mengusahakan banyak hal supaya semuanya berjalan sesuai apa yang aku mau. Tiba waktu di mana inginnya memanen keberhasilan, ternyata aku belum diizinkan petik hasilnya. Kalau yakinku ada pada usaha keras adalah sama dengan hasil yang bikin puas, sudah pasti ketika gagal terpuruknya makin buas.
Hatiku lebih damai saat keyakinanku ada pada proses nggak akan mengkhianati progres. Dalam bingkai ini, usaha adalah bagian dari proses, bukan variabel mengikat yang tentukan seberapa besar persentase sukses. Saat berproses, aku berusaha, dan menemukan hal-hal baru, perasaan-perasaan yang pertama kali hadir, situasi yang belum pernah kakiku tapaki sebelumnya, dan belajar supaya lebih luas aku berpikir dan memandang. Saat hasilnya tidak sesuai harapanku, aku tau, tetap ada sesuatu yang sudah berubah dari diriku, hal-hal yang kudapat dari perjalananku mengusahakan sesuatu, cukup untuk kukemas jadi bekal melanjutkan perjalanan. Untuk proses-proses selanjutnya, progres-progres yang akan mengikutinya, hingga kelak aku mampu definisikan kemenangan versiku sendiri 🍓✨
0 notes
abucketofbluebells · 11 days ago
Text
a message from march 2022
Hai, selamat sore. Sudah lama sebenarnya aku selalu ingin menuliskan banyak hal. Mengembalikan jiwa kecil penuh skenario dan imajinasi itu ke kehidupan yang semakin menantang ini. Tapi rasa-rasanya aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk sekedar memikirkan bahwa aku ingin menulis, tapi tidak bergegas mengubah pikiran itu menjadi tulisan, bahkan kata pertama telah tertunda berbilang-bilang purnama.
Aku yang kini tidak kecil lagi, sering sekali rindu akan warna jiwa yang dulu pernah mengisi hari-hari dengan bunga-bunga imaji yang berkelopak lebar-lebar, mekar sepanjang waktu, mendendangkan cerita-cerita yang memenuhi ruang-ruang di dalam kepala. Sepulang sekolah, setelah seharian penuh menenggelamkan pikiran dalam ombak cerita yang senantiasa menunggu gilirannya dituangkan, tanpa ragu jari-jariku bergemeretak di atas papan ketik, mataku mengeja setiap huruf yang keluar di layar sepuluh inci di hadapannya. Dalam beberapa hembusan napas, halaman putih yang tadinya kosong telah dipenuhi kata-kata. Buncah oleh ide-ide cerita yang menyesakkan jika terus-terusan ditahan.
Tapi kini lain cerita. Entah kehidupan yang semakin kehilangan warna-warni maknanya, atau kepekaanku saja yang kian memudar seiring banyaknya bilangan tahun yang terlewati. Aku yang bertambah besar memang bisa melakukan lebih banyak hal, tapi selalu ada rongga yang terasa sepi menganga, haus akan petualangan liar merangkai potongan-potongan rasa dalam jiwa. Memudar perlahan tanpa aliran penuh cerita. Sedangkan tangki besar imajinasi di sisinya kian penuh sesak. Protes minta dibuka pintunya dan dituangkan sepenuh cinta.
Apakah dunia indah warna-warni itu telah mati?
Tidak. Nyatanya tidak. Aku hanya takut saja. Orang dewasa memang begitu (hei, apa aku bahkan sudah dewasa?). Bentangan luas penuh kelopak bunga yang mekar beraneka warna itu tidak mati. Ia hanya tertimbun oleh gelapnya ketakutan. Ia hanya bersembunyi--menyembunyikan orkestra indahnya dari dunia, takluk oleh keraguan yang kini menggembok pintu megah menuju ke dalamnya.
Sore tadi cinta berkata waktu aku lagi meracau di rak kaca--membuka-buka buku-buku lama, “ayo nulis lagi, dong!”
Entah reaksi macam apa namanya, tapi jiwaku bilang saat itu juga, nulis woy! Rasanya seperti dicambuk, tidak sakit, tapi menggugah! ‘Ajaib’, kalau aku boleh memberinya metafora. Maka setelah menyelesaikan kelas malam dan serangkaian diskusi tentang acara kampus, untuk pertama kalinya dalam beberapa kali digit paling belakang tahun berganti, tanganku bergerak membuka halaman baru yang putih bersih di layar yang kini berukuran 15 inci ini. Halaman putih bersih yang akan jadi saksi tangki besar imajinasi ini dibuka kembali. Ruangan megah yang sesak oleh kata-kata kini kubuka paksa jendela-jendela kaca besarnya. Eureka!
Malam ini, bebaskan aku. Biarkan ujung-ujung jariku bergerak kemanapun ia mau. Jangan hentikan deras kalimat mengalir dari rongga di kepalaku.
Malam ini, merdekakan aku lagi.
Merdekakan cinta dan rasa yang lama terbelenggu oleh ragu dan takut tidak mampu.
Merdekakan pikirku dari bingkai kesempurnaan yang menyiksa setiap langkah untuk maju.
Malam ini, merdekakan kembali, aku.
0 notes
abucketofbluebells · 4 months ago
Text
Gimana kalo ternyata mimpiku sesederhana; jadi teman ternyaman buatmu untuk berjalan bersama?
Tumblr media
Malam ini aku nggak bisa tidur karena capek nangis, bingung sama hidupku sendiri. Apakah aku udah melakukan semuanya dengan benar dalam hidup ini? Atau sebetulnya aku nggak ke mana-mana, di situ-situ aja? Nggak bergerak, nggak bertumbuh.
Apa sih, makna bertumbuh dan bergerak buatmu?
Sebagai konsumen gemerlap kehidupan manusia di sosial media, buatku definisi kedua hal itu jadi selalu abu-abu. Aku belum bisa seyakin itu menjabarkan seperti apa bentuk 'tumbuh' buatku sendiri. Lorong pameran prestasi, pencapaian-pencapaian (yang sebenarnya aku sadar bukan tempatku) dan achievement super keren adalah hallway yang jadi makananku sehari-hari. Mengaburkan makna personal dari hal-hal yang sebetulnya nggak punya definisi paten, parameter saklek. Dikibulin sama kepala sendiri.
Masih nangis bombay, kali ini sambil dengerin suara ajaib Nadhif Basalamah dalam gubahan barunya bergema sampai selamanya. Lagu cinta kayaknya, tapi kuping dan hatiku menangkapnya lain cerita.
Maka tenang saja, kita di sini berdua
Nikmati sementara yang ada 🎶
Sambil curhat colongan ke ChatGPT (aku yakin gak hanya aku yang kayak gini), aku minta mesin ini bantu uraikan ruwet di kepala. Afirmasinya kadang too much, tapi soal objektifitas kuakui robot ini jagonya. Terus dia kasih aku pertanyaan yang sukses bikin tambah sesek nangisnya (yaa cengeng bgttt yaudah biarin deh)
Kalau aku nggak perlu membuktikan apa-apa ke siapapun, apa yang ingin aku lakukan dan pelajari hari ini?
Deg. Apa ya?
Tapi nggak tau kenapa, waktu itu aku langsung tau jawabannya. Aku langsung jawab kayak anak SD habis angkat tangan!
Aku ingin jadi teman nyamanmu
Tempat kauhilangkan keluh kesahmu 🎶
Sejujurnya aku cuma pengen jadi orang yang nyaman bagi orang lain buat jadi teman berjalan, pendengar cerita dan pendukung terbaik mimpi-mimpinya.
Setelah ngetik ini rasanya... selega itu. Jadi inikah rasanya mencapai puncak kejujuran tertinggi sama diri sendiri?
Lalu aku jadi merenung lagi. Banyak hal yang aku sanggupi untuk lakukan, yang ingin kulakukan sendiri, yang kuperjuangkan sampai hari ini, ilmu-ilmu yang aku tekuni, pengetahuan baru yang kubuka hari demi hari. Di luar semua itu, jangan-jangan jawabannya sesederhana, 'mau jadi sosok yang nyaman dan suportif untuk orang lain'.
Iya juga? Jangan-jangan memang hidupku digariskan untuk peran-peran sederhana; pendukung, pendengar, orang yang tersenyum penuh percaya dari balik panggung. Tanpa sorot terang lampu, tanpa sorak sorai parau, tanpa ribuan mata tajam menatapku.
—Kalau aku nggak perlu membuktikan apa-apa ke siapapun, apa yang ingin aku lakukan dan pelajari hari ini?
Aku ingin menjadi damai yang menenangkan. Telinga yang nyaman mendengarkan. Mata dengan sorot kepercayaan. Aku ingin jadi pendukung terbesar mimpi-mimpimu, yang tersenyum paling tulus melihatmu meraih satu persatu daftar di buku harianmu, menyimak semua cerita dan petualangan hebatmu–juga hari-hari saat perjalananmu rasanya kelabu.
Aku mau belajar untuk terus mendengar dan mendukungmu.
Terdengar egois buatmu? Tidak, aku melakukan itu buat diriku sendiri juga. Demi hal yang tidak ingin aku buktikan ke siapapun. Demi panggilan hidup terjernih; untuk sepenuh-penuhnya aku, seutuh-utuhnya napasku.
Iya. Dari semua hal yang kuusahakan, riuh memenuhi kepala, pekak di gendang telinga, menyandera rasa dengan ambang putus asa; gimana kalo ternyata aku cuma ingin bisa ada di sana, berdiri dan memastikan telingaku mendengar, hatiku merasa, lenganku mendekap; hal-hal yang jadi sesak di dadamu, dan berbagi sedikit juga dariku—dari mimpi-mimpiku, hari-hari aku kesulitan membaca penunjuk arah yang diberikan untukku.
Bagaimana jika ternyata mimpiku sesederhana itu?
Bersandar padaku, taruh di bahuku
Relakan semua bebas semaumu (bebas semaumu)
Percayalah, ini sayang terlewatkan (terlewatkan)
Kusampaikan dalam nyanyian, bergema sampai s'lamanya 🎶
Jaz - Apr 24
0 notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Akhir ceritanya seperti yang sudah bisa aku terka; kita usai, asing, berjalan melanjutkan hidup masing-masing.
Ada untungnya juga menyimpanmu dalam tulisan-tulisan yang ditutup dengan beberapa alternatif jawaban dari pertanyaan 'bagaimana kalau kita tidak berakhir menjadi satu, dan kamu memutuskan melangkah pergi (tanpa pernah berencana untuk kembali lagi)'.
1 note · View note
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
kata Bintang, matamu berubah saat melihatku.
Jum'at siang selepas ujian tengah semester (hari di mana aku menjawab soal dengan komposisi 40 persen lebih esai hasil mengarang), aku pergi ke ruang kelas di gedung rektorat bersama temanku, Bintang, untuk mengerjakan revisi proposal sebagai peneliti dan anggota PKM dosen. Revisi berjalan seperti biasa, diskusi tuk membuka forum, menggarisbawahi apa-apa yang harus dikoreksi, menulis bersama-sama lewat google docs, bertanya satu-dua saran dan masukan kepada dosen (hari itu beliau mentraktir kami berdua makanan ringan, terima kasih banyak, Bapakkk). Majelis revisi ini disudahi bersamaan dengan datangnya waktu sholat Ashar, dan Bapak Dosen yang berterimakasih, berpamitan untuk kemudian berlalu dengan langkahnya yang cepat dan taktis—sebuah ciri paling mentereng dari orang sibuk—(beliau sibuk betulan).
Keluar kelas, mengembalikan kunci ruangan ke kantor, lalu turun dan sembahyang di musala rektorat, untuk menemukan bahwa hujan deras sedang senang-senangnya berpesta di luar sana. Aku dan Bintang sebenarnya tidak bersepakat untuk berteduh di mana, tapi kami berdua seperti langsung sama-sama tahu, lalu menekan tombol lantai 2 di lift (lantai 1-nya gedung ini adalah basement), berencana menanti tarian hujan mereda sambil duduk dan mungkin bercerita beberapa hal di sofa-sofa bundar di sepanjang lobi.
Meningkahi deras hujan sore itu adalah suara aku dan Bintang bercerita tentang sebuah nama. Nama yang mungkin cuma Bintang yang tau, ada aku yang setiap harinya mencoba membaca kedalaman rasa-nya, membikin bunga matahari di tamanku berubah dari segar-layu-segar-layu-tanpa bisa kuminta, dan secepat itu. Siapa lagi yang punya nama kalau bukan kamu.
Bintang temanku yang baik, dia tidak membiarkan siapapun tau tentang itu.
Kilat besar menyambar di depan mata kami. Cewek-cewek yang lagi duduk-duduk di area lobi di depan kami refleks tutup kuping. Guntur menggelegar, bikin Bintang menampar tanganku karena kaget. Tidak sakit sih, tapi emang dia kira aku nggak kaget juga?
Kata Bintang, ada yang beda dari pandanganmu menujuku.
Kata Bintang, kamu nggak bisa berhenti dari membuat kedua matamu menangkap refleksiku waktu kita nggak sengaja ketemu.
Kata Bintang, ada yang berubah dari sikap alamimu tiba waktu kedatanganku.
Kata Bintang, aku tidak biasa buatmu.
Ternyata Bintang pemerhati juga, ya?
Hujan masih sibuk berpesta di luar sana. Hatiku mendingin—bukan dingin yang bikin menggigil. Dingin yang serupa duduk santai di bawah pohon, diterpa hembusan angin yang pelan terpecah di kisi wajah, dan langitnya yang cerah.
Semua itu kata Bintang. Aku punya hak untuk percaya atau tetap pada kesadaran yang kuperjuangkan. Bintang juga bilang, dia setuju dengan ide kalau kita bersama saja.
Tapi kan itu ide Bintang, bukan ideku.
Hujan mereda perlahan. Belum sempurna reda, menyisakan gerimis yang meskipun tidak deras, cukup bikin orang yang lewat di bawahnya sadar betul bahwa langit sedang tumpah-tumpahnya. Belum sempurna reda, menyisakan gerimis yang meskipun tidak deras, cukup membuat aku sadar, langkahku harus terus berjalan, dan rasa yang turun lembut seperti gerimis ini biarlah jadi warna-warni yang memang ditakdirkan ada dan jadi bagian dari perjalanan.
Suatu ketika kawanku Matahari bilang, dinikmati saja semuanya. Kan pergi rasa itu kalau memang bukan di tempat dan waktu yang seharusnya. Tapi Matahari juga harus tau, aku sedang dalam sebuah usaha (keras) menolak sesuatu yang mungkin saja aku mau, tapi keberkahan di dalamnya nol besar. Justru rugi bandar kalau batasnya nekat diterjang.
Gerimis sempurna reda. Aku dan Bintang melangkah pulang, entah Bintang tahu atau tidak, bahwa dibanding memikirkan revisi proposal yang belum mencapai hasil finalnya, kepalaku sedang sibuk sekali karena cerita-ceritanya tentangmu dalam percakapan menanti hujan berhenti berpesta tadi.
Semoga kita semua dijauhkan dari bunga yang tumbuh dan mekar tidak pada tempat dan waktu yang benar.
8 notes · View notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Di depan nanti, hampir pasti kan ada kerinduan tersendiri sama kesibukan, kesenangan, aktivitas, dan hal-hal lain yang menyita waktu, pikiran, dan tenaga kita di hari-hari ini. Tempat-tempat yang jadi saksi, nama-nama yang akrab temani hari, dan lain-lainnya lagi.
Tapi hidup tuh nggak statis. Bahagia di satu fase kehidupan bukan berarti kita mau dan bisa ada di titik itu terus sampai nanti-nanti. Manusia dan kehidupannya diciptakan terus bergerak, dan seluruh fase yang dilewatinya adalah bagian dari bukti tumbuh dan berkembangnya seseorang, secara pikiran, sikap, caranya melihat hidup, juga hal-hal lain semacam pengambilan keputusan dan memetakan ke mana hendak mengambil langkah selanjutnya.
Kalau takut hidup membawa kita beranjak pergi dari pijakan yang dirasa sudah nyaman saat ini, barangkali pandangan kita saja yang memang perlu diluaskan kembali.
Hiduplah pada waktu di mana kita hidup. Dan tolong jangan pernah kembali terjebak pada hari-hari yang seharusnya sudah bukan milikmu lagi.
3 notes · View notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Momen ketemu sama orang-orang yang bisa bikin kita merasa nyaman dan beruntung bisa ada sama mereka tuh, kadang menghasilkan dua sisi perasaan yang saling bertolak belakang. Iya senang, dan bersyukur juga banyak-banyak! Tapi di saat yang sama kita juga tau, dan sadar-sesadar-sadarnya, kalau entah kapan, suatu hari nanti, di depan sana, akan ada waktu di mana takdir kita nggak dituliskan bersama-sama lagi. Sekencang apapun kita melangitkan doa-doa, kenyataannya nggak akan pernah ada orang yang betulan berjanji nggak akan pergi ke mana-mana. Sedekat apapun kita berteman, sebanyak apapun rahasia yang saling kita tau, selama ia bernapas dalam wujud manusia, akan ada saatnya langkah kita ketemu takdir tuk saling pergi dan melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri. Dan itu pasti.
Kita bisa aja sedih, lalu memprotes kenapa Ia menciptakan temu yang indah dengan berpisah yang barangkali hadirnya tidak pernah bisa kita terima dengan lapang. Tapi barangkali pula dengannya Ia ingin kita hargai setiap detik yang dikaruniakan, tuk benar-benar memaknai dan mensyukuri setiap detaknya waktu bersama mereka yang hati kita nyaman dan terpaut padanya.
People come and go. And it's really hard (at least, for me) to deal with it.
1 note · View note
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
"Sabar itu nggak ada batasnya, bukan sabar lagi namanya kalo berbatas," kata orang—suatu hari, lupa pas kapan.
Pada dasarnya manusia itu kan ujian ya bagi sesamanya, diri kita sendiri pun, ujian juga buat orang lain. Defaultnya ya kudu saling menghargai, memaklumi, dan mengerti.
1 note · View note
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Tentang Februari, dan malam terakhirnya; dulu kukira aku nggak akan sanggup bertahan sampai sejauh ini (di luar fakta kalau perjalanan belum ada seperempatnya, ehe). Hal-hal seperti asing, tidak-terbiasa, tidak-kenal-dekat—semua pada akhirnya cuma bakal jadi diksi yang kian mengering kala pertemuan giat memupuk subur cinta dan kedekatan. 
Tumblr media
Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata hal-hal serupa kesalahpahaman dan riak-riak kecil dalam dinamika pertemanan seringkali kejadian cuma karena kita belum punya cukup banyak pertemuan dan percakapan hangat untuk saling 'membaca' satu sama lain. Impresi awal dan hal-hal yang sifatnya asumtif pasti selalu ada, tapi cerita di hari-hari berikutnya tergantung kita; seberapa banyak kita memutuskan untuk memberi porsi pertemuan dan membuka ruang bagi jiwa tuk saling kenal lebih dalam. 
Pada akhirnya yang kita butuhkan cuma kemauan untuk mengerti, pula menghargai proses petualangan menyelami satu demi satu sosok yang kan jadi teman belajar dan melangkah—yang kadang prosesnya makan waktu lamaaa sekali. Tapi kalau kita sabar dan nggak memilih untuk menyerah, setidaknyaman apapun, seberapa lamapun prosesnya, artinya kita sudah berhasil mengambil keputusan untuk menempatkan diri dalam perjalanan menciptakan sebuah sistem kerjasama yang baik, dengan kesiapan tuk menjalankan peran terbaik yang kita bisa beri di dalamnya.
I pray that we will always be a great team, a warm family, and strong sailors to overcome everything that is coming up ahead. Semangat! <3
/ ditulis Februari 2023
2 notes · View notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Not everyone who looks serene and pleasant were raised in the same circumstances—Some even came from environments where there was never a day without insults, justifications, senseless anger, or conversations with loud intonations.
It's just that they get tired of it and choose to end it, break the chain, and grow into the new person you now know—mindful, conscious, and never going to make the same wounds to anyone.
0 notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Sebagai orang yang gampang pusing kalo harus mikirin (untuk akhirnya ngerjain) banyak hal dalam satu waktu, kukira evaluasi paling pas buat diriku sendiri akhir-akhir ini tuh, jangan pernah alpa untuk mengukur dan memahami batasan diri. Sampai mana kemampuan dan kapasitasku buat ngerjain sesuatu dengan maksimal, juga menunaikan amanah dengan baik. Memilah mana yang mampu dikerjakan dan belum (untuk akhirnya latihan lagi buat bilang tidak), menyortir mana yang kira-kira kuat atau enggak ngejalaninnya, terutama buat hal-hal yang sifatnya long term dan butuh konsistensi ekstra.
Selain gampang pusing kalo mikir, aku juga memegang standar yang cukup tinggi buat hal-hal yang diamanahin. Dengan kata lain aku jadi sering berekspektasi tinggi sama hasil kerjaanku, sukar rasanya untuk puas dan lega sama apa yang kukerjain, serta mudah terusik sama kesalahan-kesalahan sekecil apapun. In short, I am a perfectionist.
Kombinasi dua hal ini; gampang mumet dan perfeksionis, adalah dua traits yang pas untuk menciptakan pribadi yang dikit-dikit stres padahal nggak ada apa-apa. Sering capek dan feeling lost padahal ya tinggal kerjain aja apa yang diamanahkan, kalau butuh bantuan tinggal bilang. As simple as that(?!)
Tulisan ini surat cinta buat diriku sendiri hehe, mulai sekarang jangan bosen yaaa buat ngingetin diri sendiri tuk pahami sampai mana kamu mampu, juga hal-hal apa saja yang bisa jadi prioritas, dan apa yang tidak. It's important to take parts in the society, but first, know yourself. Pahami sampai mana kamu bisa ngerjain sesuatu dengan proses dan hasil yang nggak bikin kamu semakin mempertanyakan kapabilitas, atau malah jadi ragu sama diri sendiri.
Dan untuk hal-hal yang memang nggak bisa dipegang dengan tanganmu sendiri, serahin penuh aja semuanya ke Allah. Percaya kalau Dia punya cara-Nya sendiri buat bikin hal itu ketemu sama jalan keluarnya.
Hidup ini ringan kok, manusianya sendiri yang suka ngeberat-beratin.
0 notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
Kita perlu belajar membedakan antara menolong diri sendiri dan menunggu pertolongan. Menolong diri sendiri engga perlu menunggu siapa-siapa, sedangkan menunggu pertolongan tergantung orang lain, bersedia atau tidak.
—ibnufir
84 notes · View notes
abucketofbluebells · 2 years ago
Text
"Suatu hari nanti, mungkin mimpi kita tuh bakal udah beda. Bukan lagi keinginan untuk melihat satu persatu cita-cita kita terwujud, tapi buat memastikan bahwa kaki kita cukup kuat menopang mimpi orang-orang di sekitar kita, menjadi teman buat setiap langkah yang mereka ambil untuk mewujudkannya. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Buat aku itu termasuk salah satu mimpi tertinggi juga sih, mimpi yang ketika ia tercapai, bahagianya jadi dobel; kebahagiaan ngeliat orang lain bahagia berhasil meraih mimpinya, dan ada andil kita di dalamnya. Meskipun cuma kita doang yang tau, tapi pada akhirnya bahagianya tetap tidak berkurang, kan?” 
Topik obrolan hari itu—tentang mengantar orang lain bermimpi, dan semua yang kamu bilang di atas—mungkin masih terlampau jauh kalau dikaitkan sama cerita yang kubagikan ke kamu sebelumnya.
Ceritaku ini kayaknya belum juga seperempat dari pantas buat masuk ke kategori menopang mimpi versimu; menjalani fase menjadi perantara terwujudnya hasil kerja-kerja bersama, yang nggak jarang bikin aku punya tuntutan untuk bisa jadi kayak toko ijo yang selalu ada dan selalu bisa. 
Aku sendiri nggak bisa bohong kalau kadang capeeekkk juga, tapi kamu selalu bilang, jadikan ini sebagai bagian dari mimpimu; menabung kebahagiaan dari kesuksesan misi-misi kebaikan dengan kamu sebagai penopang di belakangnya. Tanpa keramaian dan riuh tepuk tangan, bahagiamu akan jadi perasaan paling tulus yang pernah ada.
— 63rd of infinity
0 notes
abucketofbluebells · 3 years ago
Text
Tumblr media
Beberapa hal dalam hidup sepertinya memang sengaja dihadirkan agar buat kita belajar; banyak hal yang luput dari kacamata kita, dari sudut pandang pertama, yang selama ini tidak kita sadari kalau tempat kita berdiri ternyata perlu dituntun untuk kembali ke titik di mana seharusnya ia berpijak.
Kecewa? Sama sekali tidak.
It's such a relief to have my consciousness saved.
0 notes
abucketofbluebells · 3 years ago
Text
— my early 20s life lesson:
Help yourself. Because if it's not Allah, no one's gonna.
0 notes
abucketofbluebells · 3 years ago
Text
Akhir tahun adalah musim reorganisasi,
pemindahan tampuk kepemimpinan kepada pemegang estafet struktural yang baru; yang buatku riuhnya akan terasa sampai ke hati kalau sudah pernah jalani paling sedikit satu periode sebelum ini.
Akhir tahun adalah musim reorganisasi, saat di mana aku ramai dengar kabar dari kanan dan kiri; teman-teman seperjuangan di era putih abu, yang pernah arungi bersama separuh windu penuh lika-liku, yang dulu sama-sama merangkak hingga mampu berlari; jatuh bangun belajar jadi pelaku organisasi yang mumpuni, kini tiba saatnya jalankan peran terbaiknya di laga masing-masing.
Mengemban amanah dua periode di badan eksekutif mungkin tampak masih seujung kuku pengalaman organisatoris yang sudah malang-melintang-melanglang buana, tapi aku yakin, kita semua belajar dari amanah itu; tentang ikhlas, loyalitas, tanggungjawab, kejujuran, saling menghargai, dan baaanyak lagi.
Maka kuharap fase merangkak yang jadi permulaan proses kita tadi dijadikan bekal yang selayaknya dimanfaatkan baik-baik pengalamannya; untuk dibagikan, dibawa kebaikannya hingga ke ranah yang tak kita kira terhingga, supaya esok lusa ia tidak hanya akan jadi cerita, tapi juga bagian hidup berharga yang keberkahannya terasa bahkan saat kita sudah nggak lagi ada di dunia.
Untuk segenap teman-temanku dengan segudang amanah barunya; ketua umum, sekretaris jenderal, ketua bidang, bendahara umum, bahkan yang memilih bertahan mengambil peran di balik layar; baarakallahu wa a'annakumullah. Semoga keberkahan selalu Allah turunkan buat teman-teman, semoga pertolongan-Nya selalu ada di saat teman-teman butuhkan, karena sejujurnya di posisi manapun kita dalam hidup ini, nggak ada yang lebih kita perlukan kecuali jaminan dan pertolongan dari Allah Yang Maha Menaungi.
Tumblr media
معكم النجاح و التوفيق
Te quiero, proud to have you guys as high school (and forever) friends!
2 notes · View notes
abucketofbluebells · 3 years ago
Text
Setiap kita adalah pencerita
Premis yang aku dan kamu buat bisa jadi persis sama, bahkan faktanya kisah-kisah dalam karya novelet kebanyakan tidak jauh berbeda
yang jadi pembeda rasa pada karya setiap pencerita adalah sudut pandangnya, juga cara sang pujangga merangkai kata demi kata dalam kisahnya.
Setiap kita adalah pencerita, sekali lagi.
Dalam hidup, bisa jadi samudera yang aku dan kamu arungi persis sama
tapi caraku dan caramu tunggangi ombak serta pusaran badai adalah yang buat kisah kita jadi berbeda, bahkan terlampau jauh untuk bisa ditemui persamaannya.
Tidak ada benar dan salah dalam hal ini,
yang ada adalah kita sama-sama sedang belajar untuk jadi pelaut yang lebih tangguh dan kuat arungi seganas apapun perjalanan yang menanti.
Untuk terakhir kalinya, setiap kita adalah pencerita.
Dan aku ingin kita buat cerita kita; jadi kisah yang berbeda-beda,
yang sarat makna juga warna warna
yang bisa saling kita jadikan jendela
untuk belajar dan menggelar panggung refleksi; bahwa aku dan kamu nyatanya bercerita dengan cara yang tidak sama,
yang kita butuhkan adalah saling memahami dan menerima—sederhana saja.
2 notes · View notes