Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Persiapan Menjadi Orang Tua
Melanjutkan pembahasan pertimbangan sebelum menikah kemarin, salah satu yang perlu disiapkan sebelum menikah adalah mental untuk mempunyai anak atau mental menjadi orang tua. Sebelum mempunyai anak tentu saja ada hal-hal yang perlu untuk dipersiapkan. Jangan sampai kita berimprovisasi ketika nanti telah memiliki momongan. Beberapa aspek yang perlu dipersiapkan sebelum menjadi orang tua adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan (Ta’lim)
pernahkah kita mendengar:
“bila kau menginginkan dunia maka dapatkanlah dengan ilmu, bila kau menginginkan akhirat maka dapatkanlah dengan ilmu, dan bila kau menginginkan keduanya maka dapatkanlah dengan ilmu.”
Sebelum mempunyai anak alangkah baiknya untuk memikirkan masa depannya terutama pendidikan di masa keemasannya (SD). Karena dimasa keemasan ini nantinya dia akan menemukan minat dan bakatnya. Penting untuk mengetahui minat dan bakat seorang anak. Boleh saja orang tua mengarahkan minat dan bakat itu tapi jangan memaksakan apalagi membanding-bandingkan karena setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda.
“Like flowers, every child is special and unique… that is why gardens are beautiful every day of the week.”
Jangan memaksakan anak untuk menjadi pintar. Pintar saja tidak cukup untuk bersaing di dunia. Dia harus memiliki rasa penasaran (curiosity) karena rasa penasaran ini yang nantinya akan membuat dia berkembang.
2. Pengasuhan (Ri’ayah)
Salah satu fase yang dimana orang tua mengambil keputusan yang salah adalah saat seorang anak mengalami tantrum. Tantrum sendiri jika mengutip dari halodoc.com adalah ledakan emosi yang dirasakan oleh anak-anak atau orang dewasa yang memiliki masalah dalam emosional. Pada fase ini biasanya anak-anak akan menangis dan “ngambek”. Memarahinya bukanlah sebuah solusi. Biarkan anak untuk menangis beberapa saat, turunkan nada bicara anda, dan berilah pengertian bahwa masalah tidak akan selesai hanya dengan menangis.
3. Pengajaran (Tarbiyah)
Pengajaran orang tua akan membekas pada pola pikir anak. Hal ini juga akan mempengaruhi karakter anak. Pola pengajaran yang keras akan menghasilkan anak yang cenderung intoleran namun mungkin disiplin. Tapi, pengajaran yang terlalu halus akan membuat seorang menjadi pribadi yang manja namun baik hati. Lantas bagaimana pengajaran yang baik? Tidak ada pola pengajaran yang sempurnna. Semua memiliki kelemahan dan keunggulan masig-masing. Mengetahui kapan harus menggunakan pola pengajaran apa adalah kunci keberhasilannya.
Perlu diketahui bersama bahwa pengajaran (tarbiyah) berbeda dengan pendidikan (ta’lim). Talim, titik fokusnya adalah proses penyampaian pengetahuan, pengertian, pemahaman, tanggung jawab serta penanaman amanah kepada anak. Tarbiyah, fokus pada bimbingan pada anak supaya punya potensi dan dapat berkembang secara sempurna. Yakni pengembangan pengetahuan dari diri manusia serta pemupukan akhlak. (kompasiana.com)
selebihnya, sebelum dianugrahi seorang anak, perlu juga memerhatikan pembahasan pada #odp29 sehingga judul saling berkaitan. Inilah akhir dari tumblr challenge jadi penulis berharap bisa berbagi tulisan lainnya. Selanjutnya beberapa tulisan mungkin akan dirilis ulang denga beberapa suntingan di blog adhityawalenna.web.id jadi silahkan mampir kalau ada waktu.
@fadhila-trifani @ceritacita @pcltelor @mathmythic @sekotenggg
4 notes
·
View notes
Text
3 Pertimbangan Dasar Sebelum Menikah
Cerita the untold story akan saya cukupkan di part 2. Mengarang itu cukup menguras imajinasi. Jadi, part 3 nya nunggu inspirasi dulu yak. Kali ini mari kita lanjutkan ke pembahasan yang lebih serius. Pernikahan.
Menurut saya pribadi ada dua hal utama yang perlu dipersiapkan sebelum menikah. Pertama, mental dan kedua pasangan. Bagaimana mungkin bisa menikah kalau tidak ada pasangan. Namun, kali ini saya tidak akan membahas tentang pasangan. Mari kita bahas hal mendasar terlebih dahulu yaitu mental.
Menikah itu bukan Cuma duduk di pelaminan lalu halal untuk bisa berhubungan badan. Lebih dari itu banyak hal yang akan berubah. Pernikahan itu bisa merubah seseorang 180 derajat. Dari yang tadinya hidup sendiri, kini hidup dengan orang lain. Yang tadinya bangun oleh alarm, kini dibangunkan oleh pasangan. Semua itu harus didukung dengan mental yang kuat dan siapmenerima perubahan. Terutama, yang sering menjadi alasan seseorang pisah/ cerai, masalah keuangan. Mari kita bahas sedikit demi sedikit.
Pertama, menikah tidak hanya tentang menyatunya dua insan. Menikah juga berarti menyatukan dua keluarga. Jadi, kita harus bersiap untuk memiliki keluarga yang lebih besar, termasuk diantaranya memiliki dua pasang orang tua (bagi yang masih lengkap). Dengan menikah berarti harus siap menerima pendidikan dari orang tua yang berbeda. Seperti misalnya: orang tua kita tidak terlalu peduli apakah anaknya bisa memasak atau tidak tapi mertua kita senang ketika anaknya bisa masak. Maka saat itu, belajar memasak adalah hal yang tidak terhindarkan. Tentu saja tidak sedikit manusia yang tidak berbakti pada orang tuanya. Jadi, ketika disuruh memilih pasangan atau orang tuanya maka orang tua yang menjadi prioritas dan akhirnya memilih jalan cerai. Meskipun, ada yang lebih memilih pasangan, tapi saya pastikan jumlahnya tidak sebanyak yang memilih orang tua.
Kedua, bagi yang telah melalui masa pacaran maka bersiaplah menghadapi sifat-sifat dari pasangan yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan. Di saat-saat seperti ini, keterbukaan terhadap pasangan adalah hal yang harus dilakukan. Oia, aku pernah membaca bahwa sebelum menikah (bila kau perempuan) maka buatlah pasanganmu marah agar kau tahu bagaimana cara ia menyikapi amarah. Bila ia bermain kasar atau fisik maka tinggalkanlah ia. (bila kau laki-laki) buat lah pasanganmu cemburu dan lihatlah reaksinya. Bagian ini aku agak lupa mungkin bila ada yang tau bisa tulis di komentar.
Ketiga, pandangan tentang keuangan. Alasan ini sering menjadi alasan pasangan bercerai. Sebelum memutuskan untuk menikah alangkah lebih baiknya kita memiliki pandangan yang sama dengan pasangan terhadap finansial. Bagaimana pengaturan keuangan rumah tangga nantinya dan perlu adanya keterbukaan terhadap penghasilan masing-masing. Kesepakatan bersama ini nantinya menjadi patokan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Jadi, masing-masing mengetahui mana uang masak, mana uang pribadi, dsb.
Tiga poin di atas adalah pertimbangan pribadi saya melihat banyaknya kasus perceraian yang berdasarkan alasan-alasan tersebut. Masih banyak alasan yang bisa dijadikan pertimbangan sebelum memutuskan sebuah pernikahan. Tapi, bukan berarti semua pertimbangan itu harus dilakukan. Kalau merasa sudah cocok, tidak ada salahnya menikah dulu and let it flow. Tidak sedikit juga orang yang berawal dari perjodohan tapi langgeng hingga maut memisahkan.
Hari terakhir enaknya bahas apa ya?
@fadhila-trifani @henniarum @pcltelor @mathmythic @sekotenggg
4 notes
·
View notes
Text
The Untold Story -part 2
Ini adalah lanjutan dari #odp27 yang kemarin kuceritakan. Bagi kalian yang belum membacanya bisa membacanya disini.
Sebagai sebuah sekolah berasrama, pondok pesantren ku biasanya melaksanakan perpindahan sebanyak dua kali dalam setahun. Perpindahan kamar ini dimaksudkan agar para santri bisa saling mengenal satu sama lain. Biasanya perpindahan kamar dilaksanakan pada saat tahun ajaran baru atau setelah pergantian pengurus OSIS. Adapun santri akhirussanah (akhir tahun) atau yang biasa kami sebut nihai (ujung/akhir) maka akan disatukan dalam satu kamar yang sama. Maka dikenallah kampung nihai dimana dalam beberapa kamar dipenuhi oleh santri kelas akhir. Saat itu kami di tempatkan di gedung A 1 lantai 1. Mungkin dimaksudkan agar para asatidz (bentuk jamak dari ustadz) bisa dengan mudah mengecak kami. Santri kelas akhir memang terkesan sering melanggar aturan. Ingat ketika aku bilang senioritas cukup tinggi di sini. Yap, karena ketika kelas akhir pengurusnya adalah kelas 5 yang satu tingkat di bawah kami maka tentu saja tidak ada yang berani menegur kami selain teman sendiri. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa kelas akhir ditempatkan di tempat yang sama, agar saling mengingatkan.
Semenjak tinggal di kampung nihai, jarak kamarku dan kamar si tukag pos semakin jauh. Akhirnya, mushollah adalah tempat kami bertransaksi. Tapi, menurutku mushollah adalah tempat yang berbahaya untuk melakukan transaksi. Yah, terutama karena banyak orang yang akan tahu dan tidak sedikit temanku yang iseng untuk membacanya. Aku kemudian memutuskan untuk mengganti si tukang pos ku dengan teman sekelasya yang letak kamarnya lebih dekat yaitu gedung A lantai 2. Sebut saja namanya Maleeh. Tidak lama Maleeh menjadi tukang pos baruku. Mungkin hanya sekitar dua bulan.
Secara usia, Maleeh lebih tua dariku satu tahun. Tapi, bukankah sudah kubilang kalau di sekolahku senioritasnya cukup kental? Dia juga merupakan salah seorang personil band yang terkadang di cap ‘keren’ oleh anak-anak seumuran SMA. Karena hanya dia satu-satunya teman sekelas Tini yang ada di gedung A, mau tidak mau aku menitipkan padanya. Terakhir aku memintatolong padanya adalah ketika hari ulang tahun Tini 4 hari sebelum hari kelulusanku. Seingatku, bukan hadiah mewah yang ku berikan. Hanya sebatas kalimat-kalimat puitis ala pujangga dan sebatang cokelat. Serta kutuliskan bahwa itu juga sebagai hadiah perpisahan. Ternyata, masih sempat untuknya menuliskan balasan terima kasih dan harapan agar itu bukan kabar terakhir yang kuberikan.
Bahkan hingga hari kelulusan tak pernah sekali pun aku bertatap muka untuk berbincang secara langsung. Tapi, di hari kelulusann aku mendapatkan hadiah darinya meski tak diberikan secara langsung. Seorang teman tiba-tiba menghampiriku dan mengatakan ada hadiah dari seseorang. Tidak langsung ku buka, ku simpan terlebih dahulu karena harus berberes-beres untuk pulang. Ketika bungkusnya kubuka,ternyata isinya adalah buku binder yang ditulis ketika beberapa hari terakhir hingga hari kelulusan. Tulisannya terkesan “niat” menurutku. Selama ini aku memang selalu mengharapkan buku sebagai hadiah. Buku itu kugunakan untuk bimbingan belajar (persiapan masuk universitas) dan masih kusimpan hingga kini.
Semenjak hari kelulusan, komunikasi kami masih terjalin melalui perantara surel (e-mail). Hari ini kutuliskan surel dan besoknya baru akan mendapatkan balasan. Jadwal penggunaan komputer memang diselang-seling antara putra dan putri. Bila hari ini penggunaan untuk putra, maka besoknya adalah untuk putri. Begitulah komunikasiku dan Tini berlanjut setelah hari kelulusanku.
Komunikasi ini berjalan lancar hingga suatu hari intensitas mengirim surel menurun. Pikir ku saat itu dia sudah mulai disibukkan oleh kegiatan-kegiatan kepengurusan dan urusan ketua kamar. Selain itu, kegiatan penulisan karya tulis sebagai syarat kelulusan juga menjadi alasan yang cukup kuat kenapa dia tidak membalas surelku dengan cepat. Jadi, aku mewajarinya. Namun, belakangan aku ketahui ternyata Maleeh, si tukang pos baruku, ternyata jadian dengan Tini. Hal ini benar-benar tidak pernah terpikir olehku. Maksudku, sejak kapan? Bagaimana bisa? Mau dibilang sakit hati tapi kan aku bukan siapa-siapa juga. Lagipula, dia memang berhak untuk memutuskan itu.
Meski pun tidak seintensif dulu, namun komunikasi kami masih berlanjut. Awalnya memang canggung, terutama saat aku tahu kalau dia pacaran. Berita mereka jadian pun aku tahu dari temannya dan bukan darinya langsung. Mungkin itu yang membuatnya “tidak enak”. Bahkan, Maleeh berpandangan berbeda saat aku mengunjungi adikku yang juga masih berstatus santri kala itu. Menurutku, tidaklah bijak jika membencinya karena dari awal aku memang tidak menjelaskan status. Aku pun memperlakukannya hanya sebagai teman dan bukankah pertemanan itu tidak berbatas waktu?
tidak usah dibuatkan part 3 kan?
@fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg @pcltelor
6 notes
·
View notes
Text
The Untold Story -part 1
Kali ini aku akan menulis tentang sebuah kisah yang belum pernah diceritakan oleh siapapun. Bisa jadi ini adalah sebuah kenyataan. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa ini hanya sebuah fiksi. Tidak ada yang mengetahui orisinalitas dari kisah ini selain mereka yang memang mengetahuinya. Pasti ada orang yang akan merasa bahwa kisahnya mirip dengan yang pernah ia alami. Namun, itu hanyalah sebuah kebetulan. Bukankah banyak kebetulan yang terjadi dalam hidup? Baiklah, mari kita mulai dari sebuah tempat yakni sekolah.
Ketika itu aku duduk di kelas 3 SMP, Bersiap untuk mengikuti sebuah lomba bercerita dengan menggunakan bahasa inggris (telling story). Lomba itu mengutus satu orang siswa dan satu orang siswi dari tiap sekolah. Aku saat itu terpilih untuk mewakili sekolah dari pihak siswa. Dari pihak siswi adalah anak kelas 1, sebut saja Tini. Entah pertimbangan apa yang diambil oleh guru saat itu, tapi rasa sombongku sempat muncul kala itu
“koq anak kelas satu yang ikut? Emangnya sejago apa dia? Anak kelas dua atau tiga gak ada yang jago emang?” ucapku sombong dalam hati.
Ternyata Tuhan sangat menyayangiku. Dia tidak suka melihatku sombong. Sebagai pegingat, Dia memberiku penyakit varicella yang saat itu terkenal sebagai cacar air. Walhasil, aku tidak jadi berangkat untuk mewakili sekolah dan harus dipulangkan selama kurang lebih tiga minggu. Sekedar informasi, aku saat itu bersekolah di pondok pesantren, sejenis sekolah asrama berbasis islam. Pulang ke rumah tidak dapat terealisasi kecuali karena beberapa hal genting. Sakit adalah salah satu alasan untuk bisa pulang ke rumah, itu pun harus dengan rekomendasi dokter pondok. Itulah akhir pertemuanku dengan Tini. Pertemuan yang singkat dan tidak bermakna. Akhirnya segala persiapan untuk lomba harus ku pasrahkan ke salah seorang temanku. Sakit hati memang, hingga aku menjadi membenci bahasa pada saat itu. Tak ada lagi cita-citaku untuk menjadi bagian bahasa. Padahal sebelumnya, panggilan lomba bahasa datang silih berganti.
Tidak pernah lagi aku menemui atau mengenal Tini sejak saat itu. Bahkan namanya pun terlupa olehku hingga ketika liburan tiba. Karena rumahku terletak jauh dari pondok, harus naik pesawat itu pun seturunnya dari pesawat masih harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebih empat sampai lima jam. Maka, untuk liburan yang hanya sepuluh hari terkadang aku berpikir dua kali untuk pulang. Suatu ketika, aku harus terlambat untuk kembali ke pondok. Tepatnya, saat liburan naik semester genap kelas 4 (satu SMA). Saat itu belum ada yang mengenal Whatsapp. Sosial media yang paling mainstream digunakan adalah Facebook. Iseng saja aku mencari orang-orang yang juga belum sampai di pondok. Ternyata, Tini pun belum sampai di pondok. Entah kapan aku menambahkannya sebagai teman di facebook, aku pun tak ingat. Namun, sejak saat itu aku jadi sering bertukar pesan. Basa-basi ku saat itu adalah tentang kakaknya yang ternyata menikah dengan orang yang satu pulau denganku. Jadilah aku menanyakan pendapatnya tentang daerah asalku. Percakapan pun saat itu diakhiri dengan basa-basinya meminta oleh-oleh kalau sudah sampai dipondok.
Sebagai perantau, ibuku sering memberiku buah tangan untuk dibawa ke pondok. Seringkali berupa makanan sehingga bisa ku bagikan ke teman-temanku. Salah satu buah tangan ini akhirnya ku berikan ke Tini sebagai “janji” dalam percakapan di facebook itu. Awalnya, memang sedikit canggung dan lucu ketika orang yang berkenalan via media sosial dan tidak pernah bertemu tiba-tiba bertukar hadiah. Selama di pondok kami jarang berkomunikasi. Terutama karena ada batas antara putra dan putri. Sebagai sekolah berbasis islam, pertemuan putra dan putri memang dibatasi. Hal ini membuat komunikasi pun sulit dilakukan secara langsung dan harus melalui perantara orang ketiga. Salah satu media perantaranya adalah surat yang dititipkan ke teman sekelas.
Bisa dibilang aku sangat jarang berkomunikasi dengan santri putri. Menurutku memang aku tidak ada urusan penting. Tapi kemudian, semua berubah ketika pergantian semester. Aku mendengar bahwa Tini sakit dan mencoba untuk memberi semangat agar cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Terdengar alay memang, terutama bagi orang sepertiku yang sering kali bersikap tidak peduli pada orang lain. Sebagai informasi dulu aku terkesan dingin di kalangan santri putri. Aku pun tak mengerti mengapa bisa mendapat kesan demikian. Bahkan, kesan itu bertahan hingga hari kelulusan. Padahal, di kalangan santri putra aku dikenal sebaliknya. Hal ini yang membuatku sering beranggapan bahwa aku punya kepribadian ganda. Hahaha.
Aku dan Tini semakin dekat ketika kelas lima (dua SMA). Namun, aku memang tidak pernah ada niat untuk berpacaran. Terlebih saat ku tahu bahwa salah satu teman baikku juga mendeketinya. Sebut saja Irfan, salah satu teman sekelasku sejak kelas satu. Irfan adalah salah satu sosok yang menghiburku ketika aku tidak betah dulu. Bisa dibilang dia adalah sosok yang cukup menginspirasiku hingga aku bisa betah jauh dari orang tua. Sejujurnya, aku pun setuju bila Irfan dan Tini “jadian” sepertinya mereka cocok. Namun, hal itu tidak pernah terjadi bahkan hingga hari kelulusan. Menurut kabar angin yang sampai padaku, ia merasa tidak enak karena aku juga dekat dengan Tini. Andai waktu dapat terulang aku akan sampaikan padanya “udah jadian ajah!!!”
Sejak pengiriman lomba telling story, hampir tidak pernah kulihat nama Tini absen dari perlombaan bahasa. Begitu juga dengan teman yang menggantikan ku dulu. Sering kali, sepulang dari lomba tidak jarang aku mendapatkan “oleh-oleh” lomba. Pernah suatu kali dia membelikan sushi, pernah juga dia membelikan stiker dan cokelat. Bahkan ketika study tour dia juga membelikan oleh-oleh. Terkadang oleh-oleh ini aku balas dengan cokelat. Menurutku cokelat adalah salah satu cara menghilangkan stress. Aku pernah membacanya di sebuah artikel bahwasanya coklat bisa melepaskan hormon yang dapat menurunkan tensi dan membuat lebih ceria. Hal itu yang sering kutuliskan dalam surat “pengantar hadiah”.
Berbicara tentang surat, belakangan aku mengetahui bila mengirim surat melalui teman sekelasku maka surat tidak akan langsung dibaca olehnya. Si “tukang pos” akan membacanya terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan “penerima.” oleh sebab itu, aku pun mengganti metode pengirimanku melalui teman sekelasnya yang notabene adalah adik kelasku. Hal ini tentu membuat si tukang pos enggan membaca surat tersebut mengingat ia adalah adik kelas. Dulu senioritas cukup kental terasa. Jika kau punya masalah dengan senior maka kehidupanmu di asrama tidak akan tenang. Kemudian, aku mencari tukang pos yang kamarnya paling dekat dengan kamarku. Hingga suatu ketika si tukang pos menjadi aggota kamarku. Ini semakin mempermudahku untuk mengirim surat. Namun, untuk menjaga image ku lakukan dengan diam-diam. Aku kira sangat sedikit yang mengetahui bahwa aku surat-suratan dengan masif kepada santri putri.
Hingga suatu ketika . . .
perlu lanjut ke part 2 ga yah? @fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg @pcltelor
8 notes
·
View notes
Text
Tema yang diangkat selama 5 hari ke depan adalah tentang asmara. Malam ini saya tidak akan menulis banyak. Pembukaan tentang cinta, Pandangan tentang cinta, dan hal-hal remeh tentang cinta lainnya.
Unbelievable sights Indescribable feeling Soaring, tumbling, freewheeling Through an endless diamond sky
Menurut saya pribadi, cinta itu tidak terdefinisikan. Kau bisa membenci seseorang di saat yang sama ingin terus bersamanya. Kau bisa mengobrol tanpa tersadar waktu telah berlalu. kalau kata orang “ketika bertemu satu jam terasa sedetik. Ketika jauh sedetik berasa sehari.” Cinta itu membuatmu tertawa sendiri ketika membacakata darinya dan merasa gelisah ketika belum mengenal kabar darinya. Namun di saat yang sama ia bisa menjadi bumerang dalam sebuah pekerjaan. Sebut saja ketika patah hati. Ada yang bisa bangkit, Namun tidak sedikit yang hancur lebur karena patah hati. Cinta adalah pedang bermata dua. Kalau belum siap jangan bermainmain dengan api asmara atau bersiaplah untuk terbakar.
Besok aku akan menceritakan tentang sebuah kisah yang belum pernah kuceritakan pada siapapun. Mari kita beri judul “The Untold Story”
@fadhila-trifani @sekotenggg @mathmythic @gugunm @henniarum
3 notes
·
View notes
Text
Dewasa dan Relevansinya terhadap Tanggung Jawab
Adakah diantara kita yang berfikir bahwa orang dewasa memiliki banyak tuntutan? Banyak yang harus diurusi? Tidak seperti anak-anak yang seakan tidak ada beban pikiran, menjalani hidup dengan ceria, tidak ada yang menuntut.
Kenyataannya, seiring bertambahnya usia, sudah seharusnya tanggung jawab tiap insan juga bertambah. Karena, hanya orang mati saja yang tidak memiliki masalah dan tanggung jawab. Lantas sejak kapan tanggung jawab ini bertambah? Sejak pertama kali bernafas, itulah jawabannya.
Pertama kali keluar dari rahim seorang ibu, tanggung jawab apa yang diberikan oleh orang-orang? Yups betul sekali, semua orang mengharapkan agar bayi yang keluar itu menangis. Lantas beberapa saat kemudian, mereka mengharapkan agar bayi yang menangis itu berhenti untuk melakukannya. Orang tua kerap menitipkan harapan mereka kepada anaknya. Mengharapkan anaknya berada di sebuah sekolah dengan reputasi terbaik, menjadi juara kelas, lulus dengan nilai yang baik. Semua orang akan terus berharap kepada mereka yang masih hidup. Tanggung jawab itu kian bertambah seiring bertambahnya usia.
Ketika telah mencapai usia yang sudah rentan, orang tua akan mengharapkan seorang penerus (cucu). Maka turunan-turunannya pun mengikuti dari mulai menginginkan seorang menantu, yang dimana untuk menghidupinya maka orang yang diberikan tanggung jawab itu harus bisa menghasilkan uang (bekerja). Sadar atau tidak, tiap keinginan orang-orang terkadang menjadi motivasi untuk mengerjakan sesuatu. Membayar ekspektasi seakan menjadi suatu kewajiban bagi tiap insan. Padahal? Tidak semua ekspektasi bisa terbayarkan. Ada batas-batas kemerdekaan manusia dalam melakukan ikhtiarnya. Namun, satu yang pasti, manusia bisa memaksimalkan ikhtiarnya dan menjadikan ekspektasi (baca: tuntutan) sebagai motivasi. Terkadang ada batas-batas yang seharusnya bisa dilewati dan terkadang kita sendirilah yang menjadi kelemahan terbesar dalam usaha atau ikhtiar yang kita lakukan.
Solusinya adalah tetap berpikiran positif bahwa selagi ia terlihat maka masih dapat tercapai. Bahwa usaha terbaik yangkita lakukan hari ini akan menunjukkan hasilnya. Ia merupakan sebuah cerminan. Maka, evaluasi adalah salah satu cara manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan memperbaiki caranya berikhtiar di masa yangakan datang.
@fadhila-trifani @henniarum @mathmythic @gugunm @sekotenggg
1 note
·
View note
Text
Dewasa Sejak Dini . . .
Satu lagi hal yang membedakan antara dewasa dan belum (selain pola pikir) adalah tanggung jawab. Sadar atau tidak, semakin kita beranjak dewasa dan menua maka tanggung jawab akan semakin bertambah.
Anak-anak tidak memiliki tanggung jawab yang banyak karena memang pikirannya disiapkan untuk berimajinasi. Kendati demikian, hal ini bukan berarti menafikan tanggung jawab kepada anak-anak. Pemberian tanggung jawab kepada anak-anak harus diberikan sedini mungkin. Sebagai contoh ketika ia mengambil makanan maka orang dewasa harus mengajarinya untuk tanggung jawab menghabiskannya sehingga ia mengambil sesuai porsinya. Ketika anak-anak telah terlatih untuk bertanggung jawab maka ia sudah bersiap untuk tanggung jawab yang lebih besar saat dewasa ini. Ini membuatnya terlatih untuk memecahkan masalah dan bukan malah menghindari apalagi melemparkan masalhnya ke orang lain.
Contoh lain untuk melatih tanggung jawab anak adalah dengan mengajarinya cara merapihkan barang-barangnya sendiri. Misalnya, setelah ia bermain maka bantulah ia membereskan mainannya. Anak-anak akan termotivasi bila bersama denganorang-orang yang ia percaya. Tapi ingat, Gunakan kalimat mengajak (kalimat persuatif) bukan perintah. Jangan pula mendominasi dalam artian membereskan semua kekacauan. Hal itu hanya akan membuatnya lebih banyak mengandalkan orang lain dan mengurangi sifat percaya dirinya.
Mengajarkan tanggung jawab sejak dini bukan berarti membuatnya terlalu cepat dewasa namun mempersiapkan anak agar menjadi pribadi yang baik ketika dewasa nanti.
@fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg
2 notes
·
View notes
Text
Syarat Dewasa?
Udah gede, koq masih nonton kartun? Udah gede koq masih main boneka? Udah gede, koq masih main gim? Dan banyak kalimat dengan awalan “udah gede, koq...” lainnya.
Siapa yang menetapkan persyaratan untuk menjadi dewasa? Apakah ketika seseorang beranjak dewasa ia tidak boleh bermain boneka, nonton kartun atau bermain gim? Menurutku, seseorang memiliki preferensi dan hobinya masing-masing. Hobi adalah salah satu stress reliever paling manjur. Ketika seseorang berada di puncak stres dan tidak bisa melepaskannya maka banyak penyakit yang dapat menjangkitinya. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah stroke baik ringan maupun berat. Oleh sebab itu, janganlah kita melarang-larang hobi seseorang selama itu tidak merugikan orang lain.
Adakah sebuah aturan yang melarang orang berusia 18 tahun, atau lebih, menonton kartun? Teringat ketika kecil dulu Ayah saya menjadi salah seorang yang suka menonton kartun untuk melepas tawanya. Tentu judul Tom and Jerry sudah tidak asing lagi bagi angkatan 90’an. Dengan melepas tawa atau menurunkan tensi maka bisa meningkatkan produktivitas. Sebaliknya, tensi yang tinggi dan urat yang menegang bisa menurunkan fokus sehingga produktivitas pun ikut menurun.
Sekali lagi tingkat kedewasaan adalah mengenai cara seseorang menyelesaikan masalah, bukan dari apa yang ia lakukan. Bila tingkat kedewasaan diukur dari pekerjaannya maka selamanya seorang anak tidak akan pernah menjadi dewasa. Sebagai contoh: ada orang yang sudah berusia namun masih dianggap anak-anak. Mengapa demikian? Karena cara ia menghadapi masalah atau problem solving yang ia tawarkan sangatlah tidak logis dan terkesan mengada-ada. Seorang dewasa haruslah memecahkan sebuah masalah bukan malah menghindari atau berdiam diri dalam kenyamanan. Ia harus mendobrak sebuah batas yang disebut zona nyaman. Bila tidak, maka ketertinggalan lah yang akan menantinya. Di saat egonya menguasai di saat itulah kedewasaannya berada pada status quo.
Jadi,mulai sekarang untuk menilai kedewasaan seseorang berikanlah ia sebuah masalah. jangan menilai hanya dari pekerjaannya apalagi hobinya. Setiap orang memiliki hobi masing-masing. Bahkan, tidak sedikit yang memiliki hobi yang aneh.selama itu tidak merusak maka biarkan saja ia dengan hobinya itu.
@fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg
7 notes
·
View notes
Text
TERNYATA...
Pernah ga sih ketika kecil dulu kalian ingin cepat dewasa dan ketika sudah dewasa rasanya seperti ingin kembali menjadi anak-anak lagi? Well, rumput tetangga memang selalu lebih hijau, bukan?
Terkadang kita terlupa bahwa setiap masa ada tantangannya dan setiap tantangan (masalah) ada masanya. Misalnya ketika sekolah “arrghh.. pengen cepat kuliah. PR nya banyak banget” dan ternyata betul ketika kuliah tidak ada lagi PR namun ia berevolusi menjadi tugas. Ketika kuliah “arrgh.. pegen cepat kerja. Capek kuliah tugas mulu”. Kenyataannya masalah akan selalu datang silih berganti. Bekerja tidak seketika menghilangkan masalah dalam hidup. Hubungan dengan atasan, kolega, bahkan junior di tempat kerja selalu menimbulkan masalah baru.
Bagaimana kita menghadapi sebuah masalah menentukan tingkat kedewasaan kita. Yups, dewasa bukanlah tentang usia, kembali lagi ia adalah masalah pola pikir. Masalah adalah suatu bentuk “ulangan harian” tentang pelajaran apa yang sudah kita dapatkan dalam hidup. Menentukan pilihan ketika akan mengambil sebuah keputusan akan menjadi sebuah momentum sakral yang akan menentukan apakah kita lulus atau harus remedial.
@fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg
6 notes
·
View notes
Text
Dewasa, Antara Takdir dan Pilihan?
Setelah membicarakan tentang kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan keharusan universal (takdir) maka sepatutnya kita bisa menentukan mana yang merupakan takdir dan mana yang merupakan sesuatu yang dapat diikhtiarkan. Pernahkah kita mendapat pertanyaan tentang perbedaan jenis kelamin? Apakah sex sama dengan gender?
Sama halnya dengan dewasa. Setiap orang pasti akan menua. Menua merupakan sebuah takdir. Namun, dewasa adalah sebuah pilihan. Kapan seseorang dapat dikatakan dewasa? Apakah saat ia berumur 17 tahun? Apakah saat ia berumur 22 tahun? Apakah ketika ia telah menikah? Atau saat sudah memiliki anak? Menurutku dewasa adalah sebuah pola pikir dimana seseorang bisa menentukan skala prioritasnya. Dewasa adalah saat dimana seseorang bisa mengecilkan egonya demi kemaslahatan orang banyak. Dewasa adalah saat dimana seseorang lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi dan atau suatu golongan.
Lantas bagaimana proses menuju kedewasaan itu? Dewasa tidak dapat terbentuk sendiri, ia membutuhkan pengalaman dan lingkungan yang mendukung. Seorang anak menjadi dewasa ketika ia harus membuat keputusan. Maka, menurut hemat saya, hal kecil seperti memesankan makanan untuk seorang anak adalah proses untuk membendung kedewasaannya. Seharusnya ia diberikan otoritas untuk dapat memesan makanannya sendiri. Biarkan ia berekplorasi dengan pilihannya.
“nanti dia pesen tapi ga dihabisin,kan mubadzir?”
Buatlah ia bertanggung jawab! Biarkan dia menghabiskan makanannya. Kalau ia tidak suka? Berikan pengertian! Jangan kau marahi anak itu. Suatu saat ketika dia akan membuat keputusan untuk memesan makanan maka ia tidak akan memesan makanan yang sama yang ia tidak suka. Lihatlah betapa pengalaman mengajari sang anak untuk tidak membuang makanan dengan memesan sesuatu yang tidak ia sukai.
Masa kanak-kanak memanglah sebuah masa untuk membuat kesalahan. Biarlah anak-anak membuat kesalahan. Tapi, jangan biarkan! Bimbinglah ia dan beritahukan bagaimana seharusnya dalam bertindak. Bukan dimarahi dan dibentak di depan umum. Dari kesalahannya ia akan mencoba mencari sebuah pemecahan agar takkan terulang kesalahan yang sama. Berbuat salah adalah salah satu metode untuk menjadi dewasa. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik?
Sebaliknya, saat seorang anak dimarahi saat melakukan kesalahan, ia akan cenderung untuk menjadi pendiam. Ketika dihadapkan pada suatu masalah ia akan ccenderung pasrah dan bukan mencari jalan keluar. Lihatlah anak-anak yang lebih memilih “terserah” dibandingkan memilih sesuatu yang lebih konkret. Bukankah “terserah”nya adalah bentuk ketidakdewasaan? Ia tidak dapat menentukan pilihan? Lantas siapa yang akan disalahkan atas hal ini? Saya akan bilang “pengalaman dan lingkungan.” Dia terlalu lama terjebak di zona nyamannya, tidak pernah dihadapkan pada suatu masalah atau pilihan, dan lingkungan yang membentuknya terlalu memanjakannya. Maka, jadilah ia generasi yang manut-an.
Mari kita ubah kebiasaan ini dengan mengedukasi anak akan konsekuensi suatu pilihan dan mulai menghindari kata-kata yang menghancurkan mental.
@fadhila-trifani @sekotenggg @henniarum @mathmythic @gugunm
5 notes
·
View notes
Text
Tentang Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal
Manusia adalah hewan berakal. Berkat akalnya itu manusia merdeka menentukan pilihannya. Inilah yang membuat manusia tidak diperbudak oleh sesuatu melainkan keinginannya sendiri. Dengan adanya kemerdekaan manusia untuk melakukan keinginannya maka ia akan dimintai pertanggung jawaban atas pilihannya itu. Namun, terdapat batas-batas yang membuat manusia tidak merdeka dalam menentukan pilihannya. Itulah yang disebut dengan takdir. Takdir merupakan sebuah keharusan universal dimana manusia merdeka dengan segala kemerdekaannya tidak bisa merubah takdir. Tapi manusia tidak dapat berbicara tentang takdir sebelum kejadian itu menjadi kenyataan.
Kali ini akan ku ceritakan sebuah kemerdekaanku dan takdir yang menimpanya. Suatu ketika aku ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam suatu perlombaan bercerita dalam bahasa inggris (telling story). Segala persiapannya telah aku siapkan. Mulai dari cerita yang akan ku bawakan (saat itu aku mencetak berbagai cerita yang ku dapat melalui internet), alat peraga yang akan ku gunakan, hingga persiapan teknis lainnya. Namun, datanglah sebuah penyakit yang mengharuskanku pulang ke rumah (saat itu aku di pesantren). Nama penyakit itu adalah cacar. Melalui rekomendasi dokter aku pulang selama hampir tiga minggu. Berkat kejadian itu, posisiku pun di ambil alih temanku. Setelah kejadian itu, tidak pernah lagi aku mendapat panggilan untuk mengikuti perlombaan bahasa. Temanku? Dia sudah menjadi langganan bila ada perlombaan bahasa.
Kejadian itu menjadi motivasi bagiku untuk memperdalam bahasa dan di saat yang sama membenci bahasa. Saking bencinya ketika peminatan untuk menjadi pengurus aku sangat menghindari bahasa. Dikarenakan harus memilih dua bagian, saat itu aku memilih menjadi bagian KAS dan perpustakaan. Saat itu memang aku sedang menggandrungi dunia robotika dan kesenanganku untuk membaca buku membuatku memilih perpustakaan. Namun, sekali lagi aku harus mengikuti takdir yang memberiku kepercayaan untuk mengatur keuangan. Yah, berakhirlah aku menjadi bendahara umum.
Manusia hanya dapat berencana. Ia merdeka dalam memilih tindakannya. Itulah bentuk ikhtiar manusia. Hanya saja, ikhtiar hanyalah sebuah metode untuk mencapai tujuan. Skenario Allah lebih indah dari bayangan manusia. Keharusan universal menjadi sebuah jalan pintas dan proses yang harus dilalui suka atau tidak. Selalu ada hikmah yang dapat diambil dari sebuah kejadian.
@sekotenggg @mathmythic @gugunm @henniarum @fadhila-trifani
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Skala Prioritas dan Manajemen Risiko
Kemampuan problem solving adalah kemampuan yang tidak dapat didapatkan di kelas. Ia didapatkan dengan bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Berorganisasi adalah salah satunya. Ketika berorganisasi kemampuan memecahkan masalah,mulai dari yang sederhana hingga kompleks akan terasah. Terlebih ketika kita menjadi orang yang dapat memberikan keputusan (decission maker).
Beberapa kali ketika kuliah, aku ditunjuk untuk memimpin suatu acara. Tidak mudah? Tentu saja. Terkadang harus survey lokasi acara di tengah-tengah jam kuliah karena pemilik tempat bisa ditemui pada saat itu, terkadang ada hal mendesak yang harus dilakukan secara tiba-tiba, terkadang harus bisa ditemui oleh anggota tim saat sedang melakukan sesuatu. Di sinilah kemampuan untuk mengurutkan skala prioritas diuji. Satu saja kesalahan akan berdampak pada yang lain.
Pernah ada masa dimana aku harus memutuskan dresscode, hal yang remeh, apakah perlu memakai sepatu ketika acara makrab atau tidak? Keputusan mana pun memiliki konsekuensi. Kondisi lokasi yang becek tidak memungkinkan untuk penggunaan sepatu sehingga sepatu hanya akan menyulitkan. Namun, di sisi lain tidak enak dipandang oleh senior seolah kita membuat acara dengan tidak sungguh-sungguh. Satu hal yang ku yakini bahwa setiap keputusan tidak bisa menyenangkan semua orang. Akan selalu ada orang yang tidak suka oleh seuatu keputusan yang kita buat. Oleh sebab itu sebuah keputusan tidak boleh didasarkan oleh perasaan orang. Sebuah keputusan harus didasarkan oleh sebuah perhitungan manajemen resiko. Keputusan mana yang memiliki resiko paling rendah dan memakan korban paling sedikit.
Dari kasus penggunaan sepatu di atas keputusan yang ku ambil adalah untuk tidak mewajibka penggunaan sepatu. Alasan logisnya adalah sepatu itu akan digunakan untuk kuliah keesokan harinya. Aku yakin tidak semua mahasiswa punya dua pasang sepatu. Bahkan, tidak sedikit yang hanya memiliki satu sepatu. Lagipula, aku penanggung jawab acara keseluruhan. Bila ketika acara berlangsung ada senior yang mempertanyakan perihal dresscode ini maka beribu alasan telah kupersiapkan. Aku yakin para senior pun nantinya akan mengerti.
Beberapa kali menjadi panitia menyebabkan beberapa absenku tidak penuh. Saat itu pernah juga ku berada dalam situasi untuk memilih keberlangsungan acara atau kelancaran akademik? Sudah tercantum dalam kontrak belajar bahwa setiap mahasiswa harus memenuhi jatah presensi sebanyak 75% dari jumlah total kehadiran untuk dapat mengikuti UAS (ujian akhir semester). Jatah 25% ini adalah bentuk toleransi agar mahasiswa dapat mengembangkan minat dan bakatnya di luar dunia akademik. Salah satunya dengan berorganisasi. Dengan demikian, tidak jarang ku gunakan jatah 25% ini untuk survey lokasi acara, mengurusi persiapan acara, dan lain sebagainya. Kemampuan manajemen resiko sangat di uji di sini.
Bijaksana dalam mengambil keputusan “apakah jata 25% harus ku gunakan sekarang” menjadi salah satu dilema terbesar selama hidupku menjadi mahasiswa. Jangan sampai jatah 25% ini digunakan untuk kegiatan yang tiada manfaat sehingga terbuang percuma.
@fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg
1 note
·
View note
Text
Indonesia Bukan Jawa Saja
Baiklah ini saatnya saya membahas pembahasn yang ngeri-ngeri sedap. Bila pembahasannya menggantung berarti saya sudah harus tidur dan mwlanjutkan besok pagi haha.
Orang jawa. Jawa di sini yang saya maksud adalah satu pulau Jawa. Jadi, bukan hanya etnis atau suku jawa tapi keseluruhan pulau. Kenapa ini menjadi concern saya? Karena mereka adalah suku dengan jumlah populasi terbesar dan kemudian pengaruhnya pada indonesia cukup besar. Saking besarnya banyak kemudian perantau yang pergi ke jawa untuk menambah ilmu. Maklum, pada masanya pusat peradaban Nusantara adalah tanah jawa. Bahkan, tidak sedikit penjajah yang menjajah Jawa sebelum ke pulau lainnya.
Inilah yang kemudian menjadikan pembangunan jawa pada masa soeharto menjadi prioritas dibanding dengan pulau lainnya. Seolah indonesia hanya jawa saja.
Meski demikian, hal ini menjadi sebuah motivasi bagi saya, bahwa ketika tidak bisa menjadi mereka maka dekati mereka. Dengan demikian, ketertinggalan itu hanya lah kata dalam kamus. Lagipula, orang jawa, menurut saya, baik hati dan tidak sombong. Mereka mau berbagi ilmu. Saya senang berteman dengan orang jawa, bagian mana pun. Senang rasanya orang-orang jawa pun mau menerima saya sebagai teman.
Pertemann semacam ini bisa diaplikasikan ke berbagai suku dan bangsa. Bila setiap pelajar bis melakukan ini maka saya meyakini mereka dapat memiliki daya sing internasional dan tidak mudaj mengalami culture shock.
@fadhila-trifani @gugunm @sekotenggg @henniarum @mathmythic
2 notes
·
View notes
Text
Cina dan Cerita
Sesuai janji kali ini aku akan membahas mengapa cina menjadi salah satu concern ku.
Pertama cina sebagaimana kita ketahui adalah suatu etnis dengan populasi yang sangat besar. Di mana kaki berpijak ada saja orang cina di sana. Apalagi cina adalah salah satu negara yang mengakui adanya kewarganegaraan ganda. Ini membuatnya bisa menjadi rasis secara tidak langsung. Kalian pernah mendengar politik identitas? Paling tidak keturunan ada saja yang akan memilih berdasarkan nasab nya.
Kedua, tidak sedikit orang cina menjadi salah satu orang terkaya di suatu negara. Kemampuan berbisnisnya memang patut diacungi jempol. Kita harus belajar banyak dari mereka. Terutama tentang gaya hidup. Ku akui aku sedikit kagum dengan gaya hidup orang cina yang mementingkan utilitas barang dibandingkan hanya sekedar gengsi. Pernah tertangkap oleh kamera salah satu konglomerat yang makan di warung dan bukannya di restoran bintang lima.
Ketiga, bisnis adalah bisnis dimana pun dan kapan pun. Jangan mencampur adukkan bisnis dan relasi. Sepengamatanku orang-orang cina yang berbisnis ityu tidak mengenal harga teman. Bisnis adalah bisnis. Ku beri harga cocok ambi kalau tidak silahkan nego cincay tapi tidak ada harga teman.
Nerbeda dengan orang indonesia kebanyakan yang mementingkan gengsi dan terlalu baik hati. Saking baiknya kadang tak melihat antara bisnis dan bukan. Sehingga betullah kata pepatah untuk mencari ilmu hingga ke negeri cina. Karena, banyak pelajaran yang dapat diambil dari sana.
Janganlah kita melulu melihat sesuatu dengan sebelah mata. Namun lihatlah pelajaran yang dapat dipetik dari tiap pperbedaan yang ada.
@henniarum @fadhila-trifani @gugunm @mathmythic @sekotenggg
5 notes
·
View notes
Text
Sebagai orang yang besar di negeri orang (10 tahun merantau) saya merasakan banyak sekali perubahan. Terutama dalam pola pikir. Di perantauan tentu saja saya menjadi minoritas. Tapi sebenarnya minoritas atau mayoritas hanyalah masalah sudut pandang. Kali ini minoritas yang saya maksud adalah suku. Selama 10 tahun menempuh pendidikan, saya menjadi minoritas suku bugis di antara masyarakat jawa dan sunda.
Saya adalah orang yang observatif. Namun, dintara semua etnis dan suku bangsa, yang cukup ekstrim menjadi perhatian saya adalah jawa dan cina. Oke, kali ini pembahasan saya akan bersonggungan dengan SARA. Jadi saya mohon agar tulisan ini dibaca hingga akhir. Perhatikan konteks dan jangan setengah-setengah.
Saya tidak membenci mereka, baik jawa ataupun cina. Bahkan, saya hidup di tengah-tengah mereka. Keluarga saya banyak yang cina. Teman-teman saya juga banyak yang jawa. Mereka menjadi concern saya karena mereka adalah etnis yang besar. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari mereka.
Mengenai perbedaan pendapat bukankah sudah jelas bahwa manusia memiliki otak masing-masing yang bekerja otonom kepada tubuh tiap insan? Lantas mengapa harus kekeh untuk memaksakan pendapat?
Bahkan agama yang saya peluk tidak mengajarkan dakwah dengan paksaan. Teringat satu ayat setelah ayat kursi "tidak ada paksaan dalam agama. Telah jelas yang benar dari yang bathil.." selalu ada pelajaran yang dapat diambil dari sebuah perbedaan.
Kita tidak dapat menyenangkan semua orang. Satu yang menjadi pegangan saya
"banyak bukan berarti mayoritas. Bahkan mayoritas pun bukan berarti kebenaran. Tapi yang benar sudah pasti baik."
Jadi begitulah pembukaan untuk tema ini. Beberapa hari kedepan saya akan mencoba membahas tentang jawa, cina, dan perbedaan pendapat berdasar pengalaman pribadi. Semoga bisa istiqomah.
@henniarum @fadhila-trifani @mathmythic @gugunm @sekotenggg
2 notes
·
View notes
Text
Kalau kalian kira aku suka nontonton film baru-baru ini, kalian salah besar. Sedari SD aku sudah suka nonton film. Tentu saja yang sesuai dengan usia. Namun, beberapa film action yang seharusnya bergenre 13 plus sudah aku tonton. Yah, mungkin dari sini hobiku akan film terbentuk.
Sejatinya aku ini anak rumahan. Kegiatan ku sehari-hari adalah rumah-sentris. Bisa dibilang aku sedikit introvert. Kenapa aku bilang sedikit? Karena ketika teman-temanku datang mengajak bermain pasti aku iyakan. Jadi sebenarnya aku tidak introvert secara kaffah. Namun rumah terlalu nyaman untuk kutinggalkan bila tidak ada keperluan mendesak. Sifat seperti ini dikenal juga sebagai ambivert. Setengah introvert dan setengah ekstrovert.
Kembali ke film. Menurutku film ini membuka imajinasi. Anak-anak apalagi di usia emasnya sebaiknya memang mempertajam daya imajinasinya agar bisa menyelesaikan masalah dengan cara-cara kreatif dan persuasif.
Saat ku kecil dulu aku banyak menonton film luar negeri. Bahkan, tv kabel tempatku berlangganan sempat menangkap siaran animax. Ini juga yang menurutku menyebabkan aku suka menonton kartun jepang. Namun semua itu berbahasa inggris. Kadang, dibantu dengan subtitle bahasa indonesia.
Maksudku adalah bahwa belajar bahasa adalah dimulai dari pembiasaan. Ia tidak dapat dilakukan hanya dengan kursus 3 bulan. Kursus hanya akan membuatmu mahir grammar. Namun praktek akan membuatmu percaya diri terhadap bahasa.
Ngalor ngidul ya pembahasan masa kecilku.. Mari kita lanjutkan ke tema selnjutnya..
@fadhila-trifani @henniarum @mathmythic @gugunm @sekotenggg
1 note
·
View note
Text
Sebagian besar anak laki2 pasti mengidolakan tokoh utama dalam serial apapun yang ia nonton. Seperti misalnya ketika ia menonton samurai x maka yang menjadi tokoh favoritnya adalah kenshin alias batosai. Ketika menonton Naruto maka yang diidolakan adalah si Naruto. Dan berbagai film lainnya. Wajar saja, karena memang jiwa laki-laki adalah jiwa yang tak mau kalah dan sebagaimana kita ketahui begitulah watak tokoh utama dalam film mana pun.
Berbeda dengan anak laki-laki pada umumnya, aku lebih berpihak pada tokoh rival atau dalam istilah jahatnya "si nomer dua." Entah apa yang ada dalam pikiran kecilku dulu namun itu terbawa hingga saat ini. Ketika menonton Naruto tokoh sasuke menjadi favoritku. Ketika menonton samurai x maka sanosuke si pedang bresar yang menjadi favoritku.
Menurutku (yang saat ini sudah dewasa) setiap orang bisa menjadi nomer satu. Caranya sangatlah muda. Ia hanya perlu menjadi giat dan mengalahkan semua lawannya. Berbeda jika ingin menjadi nomer dua. Kau harus bisa menyerang dan bertahan sekaligus. Terlalu kuat maka kau menjadi nomer satu, lemah sedikit maka posisimu akan tersingkirkan. Sehingga menjadi nomer dua lebih sulit dibanding menjadi nimer satu. Ada strategi yang perlu dimainkan di situ. Memang menjadi nomer satu selalu baik. Hanya saja, aku tidak merasakan tantangannya.
Selain si nomer dua, karakter favoritku lainnya adalah mereka yang berelemen es atau atribut biru. Sebagai contoh ada hitsugaya toshiro, kapten divisi 10 di serial animasi bleach. Bagiku, mereka yang berelemen es atau beratribut biru adalah orang-orang yang efisien. Berbicara seadanya tanpa pemborosan dan efektif dalam pekerjaannya.
Yah, sekali lagi masa kecil membentuk pribadi seseorang. Biar kayak yang lain aku juga mau ngasih foto masa kecil ah 🙈 @henniarum @gugunm @fadhila-trifani @sekotenggg @mathmythic

1 note
·
View note