#bighellosix
Explore tagged Tumblr posts
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Melepaskan
Pada Akhirnya, manusia akan selalu punya pilihan untuk bertahan atau melepaskan, bukan?
Ada hal-hal yang mungkin harus dihentikan ketika tak kunjung ada perbaikan. Ketika keresahan tak kunjung reda, ketika apa yang kita lakukan terasa salah, ketika semua hal dirasa tidak berjalan semestinya bahkan terasa meyakitkan, maka tinggalkanlah. Barangkali, hal yang lebih baik dan membahagiakan telah menunggumu.
Sampai kapan rasanya dibiarkan menyakitkan? Perlukah ditunggu hingga berkali-kali lipat terasa lebih sakit?
Tentu ini bukan perkara ketika merasa gagal sedikit, kita bisa langsung meninggalkan. Namun, saat semesta seolah memberikan sinyal terus menerus untuk meninggalkan, ketika intuisi mulai berbicara: mungkin itu pertanda kalau hal tersebut pantas ditinggalkan.
Tentu perlu keberanian yang besar untuk memutuskan bertahan atau meninggalkan. Maka, dengarkan dan percayakan selalu intuisimu.
Apapun yang sedang terjadi, kuharap kamu kian diberikan kebesaran hati untuk bertahan atau melepaskan :)
@henniarum @adhit21 @gugunm @sekotenggg @mathmythic
25 notes · View notes
mathmythic · 5 years ago
Text
Layaknya sebuah koin, pacaran juga memiliki dua sisi, ada enaknya ada paitnya.
Sebelum lanjut gw akan selalu bilang kalo ini murni berdasarkan pandangan subjektif gw, ada yang relevan dan ada juga yang bertolak belakang.
Sisi enak dan paitnya akan gw ceritakan secara random, jadi gak gw urutin enaknya dulu baru paitnya atau sebaliknya. Mungkin selang-seling.
Gak enaknya pacaran itu yg pertama adalah pertemanan semakin mengecil. Alasannya karena waktu banyak dihabiskan dengan pacar. Apalagi kalo masih baru jadian, beeeuuhhh itu dunia serasa milik bertiga (lu, pacar lu, dan cinta kalian).
Tetapi kabar baiknya adalah lu gak harus pusing kalo ada film bioskop baru, pengen beli sepatu, maen ke tempat wisata yang baru dibuka, lu udah tau orang yang bisa lu ajak.
Pait yang selanjutnya adalah lu gk bebas sebebas-bebasnya. Haahaha ini kejadian baru beberapa hari yang lalu. Gw upload tiktok duet dengan cewek lagu "papah muda". Di sana gw cosplay sebagai gagak. Cuman nyanyi, "Akhh, akhhh, Akhh" doang, dan doi ngambek 😂
Kabar baiknya adalah lu punya partner untuk bisa diajak berkembang. Tapi itu tergantung dari passion lu dan pasangan lu. Kalo sama atau setidaknya bisa saling melengkapi, thats good idea for growing up together.
Ada lagi kepaitan yang akan lu rasakan adalah rasa bosan. Ya itu semua akan terjadi ketika memang harus terjadi. Jangan dilawan jangan ditentang. Akui dan coba berdiskusi.
Kabar baiknya adalah rasa bosan bisa dihilangkan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang gw lakukan adalah mengajarkan doi maen game, lalu kita #ANJAYMABAR
Ya udahlah ya. Sekali lagi itu berdasarkan subjektif dari yang gw rasakan.
Pacaran pasti akan membuat lu berubah. Bisa berubah menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, tergantung bagaimana diri lu menjalaninya. Ketika lu menyadari bagaimana perubahannya, lu bisa mengambil konklusi, "another agenda" atau "another one"
.
@henniarum @pcltelor @sekotenggg @fadhila-trifani @adhit21
11 notes · View notes
pcltlr · 5 years ago
Text
Relationshit.
Dari dulu gua bukan orang yang gampang buat menjalin hubungan dengan lawan jenis. Bukan kayak orang-orang lain yang dengan mudah pindah hati. Oh sangat jelas, itu oposisi dari sifat gua. Sampai ketika gua akhirnya menjalani hubungan dengan seorang perempuan. Gua kalau udah menjalani hubungan sama perempuan, yang memang gua udah yakin aja sama orang itu.
Dan gua termasuk orang yang susah yakin sama perempuan  sebenernya, mungkin karena dari kecil gua ga punya saudara perempuan yang deket, ga ada temen curhat perempuan atau apapun itu. Bahkan curhat ke ibu pun ga pernah sama sekali. Jadi itu yang membuat gua susah yakin sama perempuan buat diajak komitmen. dan emang sih gua juga nyadar kalo sifat itu ga baik, karena lu pasti berfikir kalau gua adalah orang yang picky. But I’am fine wtih that, pernah sih ada juga orang yang ma ngenalin gua, tapi gua bilang ga bisa, karena gua udah tau cewek yang mau dikenalinnya. Memang sifat cuek gue ga bisa diilangin. karena kedinginan gua juga mungkin yaa dari kecil. Gimana ya, udah mendarah daging.
Gua menjalani hubungan dengan perempuan itu di lebih dari 3 tahun. Seperti yang gua bilang tadi. Kalau gua udah yakin, susah pindahnya. Tapi Allah menegur gua, semua yang gua anggap baik, belum tentu allah berkata sama. Di pertengahan hubungan, sedikit demi sedikit circle pertemanan gua sempit sesempit sempitnya. Seakan ada bloking besar buat gua untuk menjalani kehidupan seperti sedia kala. Kerjaan gua adalah memastikan perempuan itu untuk selalu bahagia dan senang di setiap harinya. Dengan gua yang wajib memberikan kabar padanya dihampir setiap jam. Shit banget emang. Sampe hubungan itu juga yang menghalangi gua buat berkembang. Dulu musimnya pendaftaran ketua himpunan di jurusan gua. Ada temen yang ngajakin gua buat coba daftar, karena memang gua udah ikut himpunan selama 1 tahun. But lol, gua dilarang dengan alasan nanti kalau kepilih, banyak orang yang bakal tau gua. Oh sejujurnya kebodohan ini ga mau ceritain lagi, karena gua juga muak sama diri gua yang saat itu. Terlebih gua turutin semua itu. Hilang satu kesempatan gua buat mengembangkan diri selagi di masa kuliah. Dulu juga gua pernah ada rencana dari awal masuk kuliah buat namatin S2 secara fast track, it mean gua bisa selesaiin S2 dan S1 selama 5 tahun. Setiap semester gua ambil SKS anatar 23 atau 24. Selalu gua maksimalkan, karena agar bisa S2 langsung. But you know? Gua membatalkan itu karena dia. Lu boleh hina gua untuk kebodohan yang ini.
Alasan gua melakukan kebodohan terhina gua jtu adalah karena gua sayang sama dia. Alah shit, berbicara tentang sayang sama ornag lain, padahal diri sendiri aja ga gua sayangin. Saat itu hidup gua hanya tentang dia, ga ada kabar dari sahabat yang dulu sering berbincang. Teman-teman yang membuat hidup gau berwarna hilaang lenyap ditelan oleh hubungan yang ga sehat itu. Kebebesan ga akan pernah gua rasain seutuhnya lagi saat itu. selalu ada orang yang meminta untuk gua bahagiakan. padahal shit, itu bukan kewajiban gua. Dan akhirnya gua sadar. Bahwa gua memang saling sayang, apa gunanya dipertahanin, kalau hubungannya udah ga sehat. Bukannya memilih berpisah juga sebuah perjuangan? But its only few stories about my relationshit.
Akhirnya sampai saat ini gua masih ga bisa buat menjalin hubungan lagi. karena sudah jadi mind blowing gtu, kalau gua menjalin hubungan sama perempuan, 100% hidup gua udah bukan punya gua seutuhnya lagi. Gua ga tau ini akan berlangsung sampai kapan, mungkin sampai pikiran ini sehat lagi dengan waktu yang tidak ditentukan.
Titik terbodohnya adalah, ohh gua sangat benci untuk berbicara ini. Gua tau banget itu salah, banyak orang yang ngomong juga ke gua. Tapi gua seakan kambing tuli yang menghiraukan semua itu. dan saat ini? ohh rasanya penyelasan itu sangaat sangaat mendarah daging jika hubungan diteruskan sampai pernikahan. pikirku semuanya mungkin akan membaik setelah menikah, percaya atau tidak. Sering kali Allah memberi pelajaran pada hambanya dari sudut yang tidak pernah hambanya sangka. Sang pemilik hati seketika membalikkan hati saya secara tiba-tiba, memberi waktu untuk berfikir jernih dan logis. akhirnya hatiku membatin “ga bisa kalau selalu kayak gini. terus terusan mengorbankan batin ternyata tidak baik juga. dia mungkin senang, gua? akan mati perlahan oleh pikiran gua sendiri.” 
Walau memang sendiri tak selalu menyenangkan, tapi untuk saat ini jalan terbaik buat gua adalah itu. Dan nyatanya memang sendiri lebih baik, sejauh ini.
Hubungan bukan untuk saling mengikat, seharusnya hubungan digunakan untuk saling mendukung satu sama lain, untuk berkembang bersama di dunia yang hanya sementara ini.
Salam hangat #darirumah
@fadhila-trifani @henniarum @sekotenggg @adhit21 @mathmythic 
10 notes · View notes
sukasenja · 5 years ago
Text
Untold Story
Tarik napas,,, bersiap ya! Di tulisan kali ini akan ku beberkan satu kisah nyata yang berperan penting dalam perubahan hidup dan kepribadianku sejauh 180°. Sebenarnya sih ini cerita telenovela yang sudah sering kalian dengar, tapi mungkin belum pernah bila langsung dari pemeran utamanya kan haha. So, just enjoy!
Sejak kecil ntah kenapa umi terlalu senang membelikanku baju-baju model anak laki-laki. Tau dong ya? Kaos dan celana levis pendek gitu loh. Kalau belanja baju baru di mall pun tak ragu umi langsung membawaku ke tempat baju anak laki-laki. Potongan rambutku kala itu juga ikut mendukung. Kata umi, "ribet anak kecil rambut panjang". Baju blouse perempuanku bisa terhitung dan masih ku hafal sampai sekarang. Satu warna pink dan putih dengan bunga kuning di tengah dada, satu lagi warna ungu ada kotak-kotaknya masih dengan pemanis bunga, satu lagi warnanya agak kehijau-hijauan, dan satu lagi warna biru dongker kotak-kotak masih dengan bunga. Pernah aku ini saking tak sukanya didandani layaknya laki-laki (lebih ke iri karena saudara sepupu perempuan yang lain itu punya baju "cantik-cantik"), ku lakukan demo dengan nangis tidak berhenti di depan rumah nenek di Banyuwangi. Padahal itu hari besar dan kami harus bepergian tapi ku "ngadat" dan memilih untuk memakai baju setelan kaos bali warna ungu. Menurutku itu lebih perempuan ketimbang baju setelan kaos belang-belang dan celana jeans pendek di atas lutut yang baru bulan lalu di beli umi. Sejak saat itu, orang tua ku menyerah dan selalu membelikan baju perempuan hahay mantap!
Masuk di kelas 3-4 SD hidupku cukup menyenangkan karena ku banyak diikutsertakan lomba oleh sekolah, awalnya lomba menggambar dan mewarnai, lalu lomba IPA. Sayangnya dua piala yang ku punya hanya piala juara 1 lomba IPA SD se-kecamatan dan juara 2 lomba IPA SD se-kota Serang, aku gagal di tingkat provinsi karena malas belajar saat itu :) patah hati sepatah-patahnya nangis 24 jam, umi bapak bingung harus ngapain wkwk. Tapi tak apa, masa ini masa yang penuh rasa syukur. Bapak sudah ada di top karirnya, umi senang menjadi ibu rumah tangga, aa sudah tenang di pondok pesantren modern terbesar se-Asia Tenggara menuntut ilmu. Hidupku ideal sekali nampaknya.
Memang kerja semesta itu rumit. Di saat-saat ku tau bagaimana rasanya ada di masa-masa golden age, di saat itu pula Tuhan ingin aku belajar makna hidup yang sesungguhnya. Di tahun yang sama ku dihadapkan dengan kenyataan rumit yang mungkin tak semua anak akan mau menerima ini dalam hidupnya. Orang tua ku jadi sering bertengkar hebat, umi jadi lebih sering menangis dalam edisi curhat dengan sahabatnya yang sampai saat ini ku panggil "mamah", dan bapak yang asik dengan pasangan barunya. Di tahun itu ku harus menerima kalau tak ada lagi mudik tahunan rutin ke Banyuwangi, tak ada lagi jalan-jalan setiap malam minggu, tak ada lagi rasa nyaman setiap ku pulang sekolah. Yang ada hanya ketakutan. Takut melihat kedua orangtua saling adu omong yang berakhir saling tangis. Singkat cerita satu tahun itu penuh pilu, hingga akhirnya Tuhan menegur, bapak keluar dari kerjaannya dan umi memilih menjadi TKW ke Arab untuk selamatkan pendidikan anaknya yang saat itu aa baru saja menjadi seorang mahasiswa di universitas swasta di kota Bandung, satu tahun lagi pula aku harus melanjutkan sekolah, kemauanku keras untuk bisa masuk pondok (selain termotivasi kakak yang lebih dulu menjadi santri, keadaan rumah tak bisa membuatku betah, sama sekali).
Kelas 5-6 SD masa-masa yang kulalui dengan beragam rasa. Sesak karena tak ada sosok ibu yang mendampingi masa remaja awalku, marah karena tak ada sosok bapak yang mengerti hancurnya aku kala itu. Tapi di sisi lain ku jadi lebih bisa mandiri, siapkan baju dan peralatan sekolah, kerjakan tugas sendiri, pulang pergi sekolah naik sepeda dilanjut dengan naik angkot, lebih banyak habiskan waktu di sekolah untuk jadi kepercayaan wali kelas, curi-curi waktu sms-an sama "doi" (hahaha dia jadi secret admirer ku sejak kelas 4 dan baru berani deketin kelas 6, sayang sebelum UN dia hilang kabar, ituloh yang ku ceritakan dulu harus aku sama doi itu jadi penganten di pesta perpisahan kelas 6 wkwk), pulang larut malam karena sibuk latihan silat, dan hal-hal aneh lainnya. Hidupku saat itu agak berantakan dan tidak teratur, tapi ya cukuplah menantang. Di masa-masa UN yang lain sibuk belajar aku sibuk maen kelereng. Bayangkan saja aku harus mengerti keadaan keluarga yang jauh dari kata "Keluarga Ideal".
Hal ini masih berlanjut hingga saat ku berada di pondok. Sedikit membaik saat umi sudah pulang ke Indonesia tepat ku kelas dua SMP. Bapak? Ya masih seperti itu hahaha dan malah berlanjut hingga sekarang ku punya adik tiri yang sama sekali tak pernah ku anggap sebagai adik. "Kekeuh da hoyong jadi si bungsu" kalau bahasa sundanya mah. Iya kawan, aku anak yang tumbuh dalam keluarga yang poligami. Itu kenapa sampai sekarang aku selektif sekali memilih calon. Lah koq jadi kesitu wkwk. Pembahasan itu nanti saja di tema ke-enam :)
Tapi aku bersyukur sekali punya ibu yang punya label lebih dari kata tangguh, berani ambil keputusan di duakan hanya karena tak mau anaknya terputus pendidikan dan cita-citanya. Sekarang beliau sudah punya dua sarjana yang siap jadi garda terdepan kalau nanti ada datang lagi dan mau menyakiti. Bapak? Ya sedang menikmati hidup masa tuanya dengan anaknya yang masih kelas 2 SD :) tapi justru aku jarang sekali menceritakan ini pada orang lain, bukan karena malu punya keluarga yang begini, tapi lebih kepada tak mau kalau bapakku itu dipandang buruk oleh orang. Karena bagaimana pun beliau yang ajarkan bagaimana cara menjadi seorang yang bisa memimpin dan gemar berorganisasi, yang paling rajin belikanku buku-buku latihan soal di setiap semester sekolah dasar, yang paling semangat ngajak ku ke toko buku dan belikan novel Laskar Pelangi (ku menyesal saat itu ditawari sampai empat buku tetraloginya malah ku menolak wkwk), yang mungkin lewat pilihannya itu juga anaknya sekarang sudah berubah wujud dari yang dulunya manja, cengeng dan sakit-sakitan. Ya walaupun kalau lagi kumat masih suka nutup kepala pake bantal di pojokan kamar, sambil teriak-teriak "koq hidup gue tuh gini banget siii susah banget gitu", tapi besok paginya udah ketawa-ketiwi nonton kartun :)
Bersyukurlah aku yang dari kecil dikenalin sama rentetan kata-kata. Yang akhirnya bisa membantuku jalanin fase-fase terberat. Sampe sekarang. Makanya dulu ntah di odp keberapa aku pernah bilang kalau nulis itu bagi gue udah kayak kebutuhan. Khususnya buat self-healing sih. Tapi gapapa, semoga bisa jadi karya yang bermanfaat buat pembacanya. Do'a in lah jadi gue nerbitin buku, ini naskah gue mogok coy udah hampir tiga minggu hahahaha
Ya intinya gue cuma mau bilang kalau,
Memang tak pernah ada pilihan yang tak punya konsekuensi. Masalahnya adalah mungkin sebagian orang gak sadar kalau konsekuensinya bukan cuma dirinya aja yang nerima, tapi juga sekitarnya bahkan lingkungan terdekatnya. Jadi, coba lah untuk terus berusaha ambil pilihan terbaik agar konsekuensi yang diterima gak terlalu buruk.
Aduh pembahasan kali ini agak berat yak wkwk tenang-tenang gue cerita ini sambil ketawa-ketawa sih jadi nyantai, gak seberat dulu kalau ditanya orang dikit tentang keluarga pasti mendadak melow dan berlinang air mata. Ya gimana, fase ini ada di fase anak-anak ya curang sih kalau gak diceritain wkwkkw. Dan mungkin memang udah sepakat juga sama semesta buat berdamai, karena masih ada fase-fase setelah ini yang harus dijalanin dan dijadiin sejarah positif kalau nanti gue 'pulang' dan meninggalkan nama. Mungkin ada gunanya juga umi seneng jadiin anaknya tomboy waktu kecil, sekarang kerasa efeknya mungkin, biar kuat kayak laki-laki wkwk.
Besok ku ceritain yang lebih seru ya. Petualangan sama orang-orang yang dikirim Tuhan buat jadi penyelamat masa kecil berharga itu.
Bonus buat kalian yang udah mau baca sampai akhir ceritaku hari ini, ku kasih foto tomboy ku dulu (jangan disebar, takut ngalahin Shireen anaknya Hamidah)
See you soon!
@fadhila-trifani @gugunm @mathmythic @adhit21 @sekotenggg
Tumblr media
11 notes · View notes
adhit21 · 5 years ago
Text
The Untold Story -part 1
Kali ini aku akan menulis tentang sebuah kisah yang belum pernah diceritakan oleh siapapun. Bisa jadi ini adalah sebuah kenyataan. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa ini hanya sebuah fiksi. Tidak ada yang mengetahui orisinalitas dari kisah ini selain mereka yang memang mengetahuinya. Pasti ada orang yang akan merasa bahwa kisahnya mirip dengan yang pernah ia alami. Namun, itu hanyalah sebuah kebetulan. Bukankah banyak kebetulan yang terjadi dalam hidup? Baiklah, mari kita mulai dari sebuah tempat yakni sekolah.
Ketika itu aku duduk di kelas 3 SMP, Bersiap untuk mengikuti sebuah lomba bercerita dengan menggunakan bahasa inggris (telling story). Lomba itu mengutus satu orang siswa dan satu orang siswi dari tiap sekolah. Aku saat itu terpilih untuk mewakili sekolah dari pihak siswa. Dari pihak siswi adalah anak kelas 1, sebut saja Tini. Entah pertimbangan apa yang diambil oleh guru saat itu, tapi rasa sombongku sempat muncul kala itu
“koq anak kelas satu yang ikut? Emangnya sejago apa dia? Anak kelas dua atau tiga gak ada yang jago emang?” ucapku sombong dalam hati.
Ternyata Tuhan sangat menyayangiku. Dia tidak suka melihatku sombong. Sebagai pegingat, Dia memberiku penyakit varicella yang saat itu terkenal sebagai cacar air. Walhasil, aku tidak jadi berangkat untuk mewakili sekolah dan harus dipulangkan selama kurang lebih tiga minggu. Sekedar informasi, aku saat itu bersekolah di pondok pesantren, sejenis sekolah asrama berbasis islam. Pulang ke rumah tidak dapat terealisasi kecuali karena beberapa hal genting. Sakit adalah salah satu alasan untuk bisa pulang ke rumah, itu pun harus dengan rekomendasi dokter pondok. Itulah akhir pertemuanku dengan Tini. Pertemuan yang singkat dan tidak bermakna. Akhirnya segala persiapan untuk lomba harus ku pasrahkan ke salah seorang temanku. Sakit hati memang, hingga aku menjadi membenci bahasa pada saat itu. Tak ada lagi cita-citaku untuk menjadi bagian bahasa. Padahal sebelumnya, panggilan lomba bahasa datang silih berganti.
Tidak pernah lagi aku menemui atau mengenal Tini sejak saat itu. Bahkan namanya pun terlupa olehku hingga ketika liburan tiba. Karena rumahku terletak jauh dari pondok, harus naik pesawat itu pun seturunnya dari pesawat masih harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebih empat sampai lima jam. Maka, untuk liburan yang hanya sepuluh hari terkadang aku berpikir dua kali untuk pulang. Suatu ketika, aku harus terlambat untuk kembali ke pondok. Tepatnya, saat liburan naik semester genap kelas 4 (satu SMA). Saat itu belum ada yang mengenal Whatsapp. Sosial media yang paling mainstream digunakan adalah Facebook. Iseng saja aku mencari orang-orang yang juga belum sampai di pondok. Ternyata, Tini pun belum sampai di pondok. Entah kapan aku menambahkannya sebagai teman di facebook, aku pun tak ingat. Namun, sejak saat itu aku jadi sering bertukar pesan. Basa-basi ku saat itu adalah tentang kakaknya yang ternyata menikah dengan orang yang satu pulau denganku. Jadilah aku menanyakan pendapatnya tentang daerah asalku. Percakapan pun saat itu diakhiri dengan basa-basinya meminta oleh-oleh kalau sudah sampai dipondok.
Sebagai perantau, ibuku sering memberiku buah tangan untuk dibawa ke pondok. Seringkali berupa makanan sehingga bisa ku bagikan ke teman-temanku. Salah satu buah tangan ini akhirnya ku berikan ke Tini sebagai “janji” dalam percakapan di facebook itu. Awalnya, memang sedikit canggung dan lucu ketika orang yang berkenalan via media sosial dan tidak pernah bertemu tiba-tiba bertukar hadiah. Selama di pondok kami jarang berkomunikasi. Terutama karena ada batas antara putra dan putri. Sebagai sekolah berbasis islam, pertemuan putra dan putri memang dibatasi. Hal ini membuat komunikasi pun sulit dilakukan secara langsung dan harus melalui perantara orang ketiga. Salah satu media perantaranya adalah surat yang dititipkan ke teman sekelas.
Bisa dibilang aku sangat jarang berkomunikasi dengan santri putri. Menurutku memang aku tidak ada urusan penting. Tapi kemudian, semua berubah ketika pergantian semester. Aku mendengar bahwa Tini sakit dan mencoba untuk memberi semangat agar cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Terdengar alay memang, terutama bagi orang sepertiku yang sering kali bersikap tidak peduli pada orang lain. Sebagai informasi dulu aku terkesan dingin di kalangan santri putri. Aku pun tak mengerti mengapa bisa mendapat kesan demikian. Bahkan, kesan itu bertahan hingga hari kelulusan. Padahal, di kalangan santri putra aku dikenal sebaliknya. Hal ini yang membuatku sering beranggapan bahwa aku punya kepribadian ganda. Hahaha.
Aku dan Tini semakin dekat ketika kelas lima (dua SMA). Namun, aku memang tidak pernah ada niat untuk berpacaran. Terlebih saat ku tahu bahwa salah satu teman baikku juga mendeketinya. Sebut saja Irfan, salah satu teman sekelasku sejak kelas satu. Irfan adalah salah satu sosok yang menghiburku ketika aku tidak betah dulu. Bisa dibilang dia adalah sosok yang cukup menginspirasiku hingga aku bisa betah jauh dari orang tua. Sejujurnya, aku pun setuju bila Irfan dan Tini “jadian” sepertinya mereka cocok. Namun, hal itu tidak pernah terjadi bahkan hingga hari kelulusan. Menurut kabar angin yang sampai padaku, ia merasa tidak enak karena aku juga dekat dengan Tini. Andai waktu dapat terulang aku akan sampaikan padanya “udah jadian ajah!!!”
Sejak pengiriman lomba telling story, hampir tidak pernah kulihat nama Tini absen dari perlombaan bahasa. Begitu juga dengan teman yang menggantikan ku dulu. Sering kali, sepulang dari lomba tidak jarang aku mendapatkan “oleh-oleh” lomba. Pernah suatu kali dia membelikan sushi, pernah juga dia membelikan stiker dan cokelat. Bahkan ketika study tour dia juga membelikan oleh-oleh. Terkadang oleh-oleh ini aku balas dengan cokelat. Menurutku cokelat adalah salah satu cara menghilangkan stress. Aku pernah membacanya di sebuah artikel bahwasanya coklat bisa melepaskan hormon yang dapat menurunkan tensi dan membuat lebih ceria. Hal itu yang sering kutuliskan dalam surat “pengantar hadiah”.
Berbicara tentang surat, belakangan aku mengetahui bila mengirim surat melalui teman sekelasku maka surat tidak akan langsung dibaca olehnya. Si “tukang pos” akan membacanya terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan “penerima.” oleh sebab itu, aku pun mengganti metode pengirimanku melalui teman sekelasnya yang notabene adalah adik kelasku. Hal ini tentu membuat si tukang pos enggan membaca surat tersebut mengingat ia adalah adik kelas. Dulu senioritas cukup kental terasa. Jika kau punya masalah dengan senior maka kehidupanmu di asrama tidak akan tenang. Kemudian, aku mencari tukang pos yang kamarnya paling dekat dengan kamarku. Hingga suatu ketika si tukang pos menjadi aggota kamarku. Ini semakin mempermudahku untuk mengirim surat. Namun, untuk menjaga image ku lakukan dengan diam-diam. Aku kira sangat sedikit yang mengetahui bahwa aku surat-suratan dengan masif kepada santri putri.
Hingga suatu ketika . . .
 perlu lanjut ke part 2 ga yah? @fadhila-trifani @henniarum @gugunm @mathmythic @sekotenggg @pcltelor
8 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
"Life is about people; the people you meet, the people you miss. Even the people you hate. Most of all, life is about the people you love. Some of them will die before you do. Nothing will ever bring them back." - Bill Gates
Dalam perjalanan, kita pernah dan akan bertemu dengan beragam manusia dengan rupa, cara berpikir, dan cara berperilaku yang berbeda.
Kita bertemu dengan orang yang ingin mengenal kita seutuhnya, adapula yang biasa saja, ada yang hanya sekedar lewat, dan ada yang terlihat manis namun menusuk di belakang.
Nyatanya, setiap dari mereka membawa pelajaran dan ragam warna. Maka, semoga hati kita selalu diberi pemahaman yang baik, pemahaman bahwa tidak semua kebaikan didapatkan dengan formula yang sama.
@henniarum @adhit21 @sekotenggg @mathmythic @gugunm
20 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Menerima
"Gagal, sedih, ragu, jadi terdengar masuk akal pada waktunya."-NKCTHI
Patah, gagal, menyalahkan diri sendiri, hingga kehilangan harapan. Semua orang pasti pernah merasakan momen di mana terasa sulit menerima diri sendiri.
Saat melihat pencapaian teman misalnya. Aku begitu keras membandingkan diri. Rasanya masih saja stuck belum berjalan jauh. Kok hidupku masih di sini aja ya? Akibatnya, aku mengizinkan diriku patah oleh diriku sendiri.
Nyatanya, nggak adil kalau membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Jalan yang ditempuh, bagaimana orang lain berjuang dengan segala roller coasternya, bahkan bagaimana titik di mana dia mulai ingin menyerah namun berusaha bertahan, tentu sangat berbeda dengan yang aku rasakan.
Maka, perlahan-lahan aku belajar untuk menerima seiring bertambahnya usia:
1. Menerima kalau nggak semua hal di dunia harus bisa aku kendalikan 2. Menerima kalau manusia pasti pernah berbuat salah dan kekeliruan 3. Menerima kalau memaafkan bisa melegakan hati sendiri 4. Menerima kalau nggak selamanya apa yang menjadi sudut pandang kita selalu benar, kita tetap perlu menimbang sudut pandang orang lain 5. Menerima kalau perbedaan itu indah 6. Menerima kalau sedih, frustasi, patah semangat juga bagian dari perasaan sebagai manusia. Nggak ada yang salah dengan perasaan 7. Menerima kalau setiap manusia punya jatah gagalnya masing-masing.
Tentu, menerima bukan berarti menyerah dengan keadaan yang ada. Manusia mustahil bisa terus berkembang kalau memutuskan untuk selalu menyerah, bukan?
Aku memaknai menerima dengan keikhlasan. Ikhlas tentu tidak sama maknanya dengan menyerah. Ikhlas artinya menerima keadaan secara penuh, bahwa ada hal yang dapat kita ubah dan optimalkan, dan ada hal-hal yang perlu kita terima dengan lapang dada dengan dasar pemahaman bahwa tidak semua hal di dunia ini dapat kita kendalikan.
Akhir kata, Ada yang pernah berkata kepadaku bahwa:
"Mereka yang paling berbahagia adalah mereka yang memiliki kebesaran hati untuk menerima."
@henniarum @adhit21 @gugunm @mathmythic @sekotenggg
19 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Opini Sebelum Menikah
"Udah lulus kuliah ya? Kapan nikah?"
"Calonnya mana nih? Kok nggak pernah liat?"
"Tante punya sepupu ganteng, lho! Abdi negara! Kamu mau liat nggak?"
Sebagai anak perempuan dengan usia 23 tahun, aku sudah cukup bosan dengan pertanyaan-pertanyaan senada.
Beberapa kali terpintas "Apa iya menikah semudah itu?", "Apa iya setelah menikah sudah pasti bahagia?", dan "Mungkinkah setelah menikah, hidupku terjamin selamanya?"
Maka, terpintaslah ide menulis cerita ini. Aku ingin mengemukakan 6 opiniku berupa hal-hal yang harus kulakukan sebelum memutuskan untuk menikah:
1. Mencintai Diri Sendiri Sepenuhnya Aku pernah mendengar Ario Pratomo, seorang Content Creator  berkata: "Jangan berani menikah kalau kamu belum selesai dengan urusanmu sendiri." Kata-kata sederhana, namun maknanya dalam. Tentu sebelum menikah, aku harus terlebih dahulu selesai dengan urusanku sendiri. Bersahabat dan memaafkan hal-hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu. Mencintai diri sepenuh-penuhnya.
2. Mengejar Cita-cita Selagi muda, selagi masih memiliki energi yang banyak, dan selagi mampu. Aku ingin meraih apa yang kucita-citakan sejak kecil. Bertemu lebih banyak manusia, melakukan hal-hal baru, memaknai perjalanan, dan berjalan ke tempat baru.
3. Mandiri Secara Finansial Aku belajar untuk menikah ketika kondisi keuanganku stabil dan aku memiliki keahlian yang bisaku kembangkan seiring usia. Tentu kita tidak bisa menebak takdir dan masa depan. Seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan memaksaku (sebagai istri) untuk memegang kendali, aku tidak bisa begitu saja pasrah dan berpangku tangan.
4. Menjadi Lebih Dewasa Meskipun ada ungkapan "Usia nggak berpegaruh pada kedewasaan seseorang." Namun, berkaca dari diri sendiri, kurasa emosiku yang masih belum stabil masih harus terus dievaluasi. Tentu aku nggak mau selama pernikahan didominasi dengan cekcok karena ego yang tinggi.
5. Membangun komunikasi Yang Sehat Masalah akan selalu ada dalam hubungan. Seiring bertambahnya usia, masalah bisa jadi menguatkan hubungan, atau justru melemahkan. Temukan seseorang yang memelukmu ketika kamu melakukan kesalahan. Temukan seseorang yang teguh membangun komunikasi yang sehat, tanpa merendahkan, tanpa menjatuhkan pasangan.
6. Luwes Dalam Menyatukan Dua Keluarga Karena keseriusan menikah bukan cuma soal aku dan pasangan. Tapi juga menyatukan dua keluarga dengan dua budaya dan kebiasaan yang berbeda. Aku harus menerima dia dan orang tuanya, adik dan kakaknya, neneknya, semua keluarganya. Sekarang waktunya mempersiapkan diri agar lebih luwes ketika bertemu keluarga pasangan.
Yang pasti, Menikah bukan soal kompetisi. Menikah juga bukan solusi untuk mengakhiri drama-drama personal kehidupan. Menikah tentu membutuhkan kesiapan jiwa dan raga yang matang dan selaras.
Jadi, mohon untuk saat ini jangan tanya dulu: “Kapan menikah?”
@ceritacita @sekotenggg @pcltelor @mathmythic @adhit21
17 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Keluar Dari Zona Nyaman
Tumblr media
"Someday we will find what we are looking for. Or maybe not, maybe we will find something much greater than that." -Noelle Mae Lumb.
Nyaman itu jebakan. Pernah dengar istilah itukan sebelumnya?
Bagaimana tidak, 6 tahun lamanya aku terbiasa mendengar lantunan ayat suci dan perkataan lembut, dikelilingi dengan orang-orang baik, selalu hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang memperhalus budi pekerti. Pondok pesantren sangat nyaman. Tempat di mana hati terasa damai dan tentram, tak ada gadget yang membuatmu resah dengan banyaknya informasi, udarapun bersih tak ada polusi yang berarti.
Salah satu alasanku ingin mengabdi kala itu adalah: aku terlalu nyaman di pondok. Hatiku masih berat di sini. Jujur, aku sangat menyayangi tempat ini. Aku tidak siap membayangkan betapa sulitnya hidup di luar pesantren. Benakku berkata: Dunia luar kejam, kalau belum punya cukup bekal, aku berpotensi bisa terseret ke sana kemari tanpa arah.
Kita hanya berencana, Tuhan yang menentukan.
Hingga akhirnya aku mendapatkan kabar kalau aku lolos SNMPTN dengan jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Jakarta. Aku tidak merasa excited. Namun jika pilihan ini tidak aku ambil, pondok pesantren bisa kena blacklist untuk menerima SNMPTN di tahun berikutnya.
Akhirnya langkah demi langkah kujalani. Aku resmi berhenti mengabdi, namun resmi menjadi mahasiswa.
Banyak hal-hal baru yang mengejutkan. Aku banyak tidak siapnya kala itu. Mungkin ketidaksiapan merupakan kata dengan makna negatif. Tapi aku pernah mendengar kutipan "If we wait untill we are ready, we will be waiting 'till the rest of our lives."
Percayalah: selepas lulus dari pesantren dan merasakan bagaimana kehidupan sesungguhnya di luar pesantren, aku banyak merasa tidak percaya diri dan kurang kuat dengan prinsip diri. Aku telah merasakan beberapa momen di mana aku hilang kendali, patah, kehilangan harapan, dan putus asa.
Ternyata aku belum cukup kuat. Aku berada di fear zone kala itu. Aku bertanya-tanya: Siapakah aku sebenarnya? Fani seperti apa yang ingin aku bentuk? Sampai kapan harus tidak siap dengan kenyataan? Aku ingin menjadi apa di kemudian hari?
5 tahun silam aku banyak bertanya dan belajar mengenal diriku sendiri. Aku perlahan belajar bersahabat dengan diriku agar tahu ke mana harus menuju. Tantangan demi tantangan terlewati dan itulah yang membentukku sekarang.
Tidak siap bukan berarti buruk. Tidak siap nyatanya menjadi batu pertama di mana kita 'sadar' dan harus menjadi dewasa. Ternyata, ketika kita melihat ke belakang: banyak sekali hal yang sudah dipelajari, tujuanpun perlahan-lahan sudah mulai kokoh untuk diwujudkan.
Aku berterima kasih kepada Tuhan yang memberiku kesempatan belajar untuk menembus keterbatasanku. Tuhan yang senantiasa menunjukanku jalan dan membimbingku.
Dan kini, aku akan terus belajar, aku akan terus melangkah menghidupkan impian, aku akan terus mendewasakan diri seiring usia.
Keluar zona nyaman mungkin terdengar menakutkan, tetapi percayalah: di sana akan ada hal baik yang menyapa, hal yang mungkin besar dan tak pernah kamu sangka-sangka. @henniarum​ @sekotenggg​ @mathmythic​ @adhit21​ @gugunm​
20 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Toxic Relationship (2)
Salah satu kesalahan fatal dalam menjalin hubungan adalah ketika kamu terus menganggap bahwa dia pasti akan berubah, meski dia telah menyakitimu berkali-kali. Kamu pun merasa punya tanggung jawab untuk mendampingi dia menjadi pribadi yang lebih baik.
I felt like my mental health totally was in danger, but I loved him. Then, I choose to dare my own part.
Setelah beberapa kali melakukan upaya putus, akhirnya aku benar-benar berhasil memutuskan hubungan di bulan Januari 2019. Walaupun pada saat itu rasanya masih sayang, namun aku sadar kalau hubungan ini tentu nggak layak diteruskan.
Dia yang nggak terima, mulai sering memohon lewat chat, telepon, bahkan menemui secara langsung dan menyatakan kalau dia nggak bisa menjalani hari tanpaku. Dia berjanji akan berubah dan memperbaiki kesalahannya.
Kemudian keenggak relaannya mulai berkembang: beberapa kali dia berinisatif menghadiahkanku barang-barang seperti make up, tas, sepatu, dan sebuket bunga lengkap dengan suratnya. Di lain waktu, ia memberikan banyak makanan dan beberapa lembar surat.
Suatu pagi, dia tiba-tiba berada didepan rumah dan bersikeras mengajakku berbicara. Aku sangat panik lantaran selama ini aku berpacaran secara diam-diam tanpa diketahui orang tua. Mama kebingungan dan sedikit takut karena ada sesosok pria yang memaksa menemuiku dan mengetuk pagar rumahku dengan kencang. "Bon, mama takut kamu dilukain." Namun, aku berhasil menenangkan mama dan mengajaknya bicara.
Hingga suatu ketika, ia tahu aku sedang dekat dengan laki-laki lain, ia sangat marah dan semakin nggak terkendali.
Ia mulai berani memberikanku ancaman seperti: mau menghancurkanku, ingin melihatku menderita, bahkan ancaman yang mengarah ingin membunuhku.
Setiap kali bertemu di kampus, ia membuntutiku dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan sambil mengacungkan jari tengah. Hal itu menorehkan trauma sampai saat ini.
Beberapa hari setelahnya, dia mulai berani mengirimkan paket anonim ke alamat rumahku yang berisi ancaman. Totalnya ada 5 paket di waktu yang berbeda. Paket dengan isi yang bermacam-macam dan membuat hatiku hancur setiap kali membukanya.
Aku terpuruk sekali saat itu. Depresi benar-benar nyata. Setiap bangun tidur, yang kulakukan hanyalah menangis, nggak nafsu makan, nggak ada gairah dalam berkegiatan, bahkan beberapa kali terpintas ingin mengakhiri hidup.
Akhirnya, aku beranikan diri menceritakan ini ke kakakku. Ia memintaku untuk mengumpulkan semua barang bukti seperti seluruh paket ancaman, print out chat yang mengancam, serta beberapa voice note yang mendukung. Berkat dukungannya, aku merasa ada harapan yang bisa menyelamatkanku.
Kakakku menyusun sebuah rencana. Tentu rencana yang matang dan serius. “Ayo dek kita selesaikan ini. Tenang, kamu punya aku.” kalimat tulus darinya yang perlahan menguatkanku.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian demi kejadian tersebut, aku dan kakakku ditemani oleh dua orang aparat mendatangi rumahnya untuk menemui mantanku dan ibunya. Selain membawa barang bukti ancaman, kakakku juga menyiapkan surat perjanjian yang akan mengikatnya untuk tidak menggangguku lagi.
Kejadian itu sangat menyakitkan sekaligus melegakan. Aku tak kuasa melihat tangis ibunya pecah karena nggak tahu kejahatan yang dilakukan anaknya terhadapku. Rasanya, aku nyaris pingsan karena sangat emosional kala itu.
Akhirnya, ia mengakui segala kesalahannya dan berjanji nggak akan mengulangi perbuatannya. Dia dan ibunya menanda tangani sebuah surat perjanjian dengan catatan: apabila dilanggar, ia akan menerima konsekuensi hukum yaitu dipenjara.
Hari ini, sudah lebih dari setahun kejadian itu berlalu. Lukanya masih terasa, traumanya masih ada. Namun aku percaya aku sudah jauh lebih kuat dan sadar untuk menjalin hubungan yang sehat kelak.
I have spent too much of my time and my energy in a toxic relationship. Now, it’s time to take care of me, to pursue my dreams, and to live my life.
@henniarum @adhit21 @gugunm @mathmythic @sekotenggg
16 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Toxic Relationship
Aku pernah terlibat dalam sebuah hubungan yang toxic dan abusif. Hubungan yang selalu membuatku takut untuk mengakhiri, dan berujung pada kesulitan memaafkan diriku sendiri.
Hubungan ini aku jalani selama 3.5 tahun lamanya. Tentu pada awalnya aku berekspektasi untuk bahagia dalam menjalani hubungan. Aku berekspektasi akan menjalani hubungan yang bisa saling belajar dan mendewasakan, serta dapat terus dijaga hingga ke tahap yang lebih serius.
*Tarik nafas.. Baik aku mulai bercerita
Aku memutuskan berpacaran dengannya setelah 2 bulan perkenalan. Dia orang yang humoris, baik, sederhana, dan pemberani. Selalu ada kejutan sederhana yang berarti darinya, seperti tiba-tiba membawakan makan siang, inisiatif mengantar jemput, dan memberikan hadiah kecil.
Namun diawal pacaran, terdapat hal aneh yang tidak kusadari: dia meminta password semua media sosialku dan berinisiatif memblokir beberapa teman pria. Katanya. dia ingin dijadikan yang satu-satunya.
Lama kelamaan, dia mengatur caraku berpakaian, tidak boleh menggunakan make up, tidak boleh menghubungi teman laki-laki, bahkan apabila ada histori nama laki-laki di kolom search media sosialku, dia akan marah. Ia juga membatasi impian-impianku, salah satunya keinginanku dalam mempelajari alat musik. Baginya, hal itu bisa membuatku dikenal oleh lebih banyak orang dan berpotensi membuat hubunganku dengannya goyah.
Aku jadi terbiasa dengan pola pacaran yang nggak sehat, dan aku perlahan-lahan memberlakukan pola dan standard yang sama. Jadi, ketika dia melakukan kesalahan tersebut: aku bisa marah sejadi-jadinya dan merasa dikhianati.
Ada fase di mana aku sudah mulai berpenghasilan. Aku mulai menawarkan jasa illustrasi dan aktif magang di sebuah perusahaan saat masa libur kuliah. Dia yang melabeli dirinya sebagai anak broken home dan harus menjaga adiknya, lantas mulai minta dibelikan barang-barang keinginannya.
"Kamu kan udah punya gaji, aku belum. Kamu nggak maukah bikin aku seneng dengan beliin ini.. itu..ini.." Sampai aku merasa bosan, tapi aku paham betul bagaimana hancurnya hatinya semenjak perceraian orang tuanya.
Satu sisi, jiwa kepedulianku dibuat bimbang karena kondisinya membuatku selalu mudah merasa kasihan dan luluh.
Nyatanya, itu bukan tanggung jawabku untuk memastikan apakah dia bahagia dan memenuhi segala kebutuhannya.
Mulailah ia meminta dibelikan makanan, dibayarkan ongkos angkutan umum, dan meminta uang untuk membeli keperluannya.
Pernah suatu ketika ia membentakku di sebuah restoran karena tidak ingin membayar makanannya. Kejadian itu tak hanya terjadi sekali dua kali, aku semakin melihat ia mudah marah dan tempramen terhadap sesuatu.
Ia tak segan menunjukkan kalau ia nggak suka sesuatu dengan lantang. Pun, sering sekali aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau ia berani main tangan atas sesuatu yang ia benci. Terkadang, ia juga mengeluarkan kata-kata yang merendahkanku dan membuat hatiku sakit. Namun, satut sisi ia begitu manipulatif hingga menekanku menjadi pihak yang bersalah dan harus meminta maaf.
Hal itu menjadi tamparan keras karena akulah yang mengizinkan dia dengan toxic traitsnya mendominasi dihubungan. Aku akhirnya merenung dan berpikir:
Lebih baik terlambat menyadari daripada terjebak seumur hidup.
Lantas, akhirnya dari sekian percobaan untuk memutuskan hubungan, Januari 2019 lah aku berhasil benar-benar melakukannya.
Eits, apakah bisa memutuskan orang tersebut dengan baik-baik?
Tentu tidak, Ferguso! Drama semakin memuncak karena ia menolak untuk putus dan mulai menerorku. Nanti akan aku ceritakan di 'Toxic Relationship (2)' ya!
@gugunm @adhit21 @sekotenggg @mathmythic @henniarum
15 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Untitled
Cerita soal pondok, nggak lengkap rasanya jika nggak diselingi dengan kisah asmara.
Dari beberapa kisah asmara yang aku rasakan di pondok, Ada satu cerita yang sungguh menggelitik dan membuatku teringat sampai saat ini.
Pondokku dulu memberlakukan sistem kegiatan belajar mengajar dengan menggabungkan santri laki-laki dan perempuan dalam ruangan kelas. Guru yang mengajarpun bisa ustadz ataupun ustadzah yang berkompeten.
Singkat cerita, kala itu aku kelas 2 SMA.
Saat itu, ada seorang ustadz baru yang menggantikan guru yang sedang berhalangan mengajar. Sebut saja Ustadz A. Aku belum pernah lihat dia sebelumnya. Namun, dari caranya bertutur kata, berpendapat, caranya berpakaian, hingga gesturenya bisa dibilang cukup menawan. Akupun terbawa suasana ketika ia mengajar. Bisa dibilang, aku gampang terstimulasi dengan energi positif orang lain. Apalagi topik yang kala itu ia bicarakan merupakan topik yang asing namun menimbulkan rasa penasaran.
Orang pintar selalu memiliki daya tarik, bukan? I believe man with brain is attractive.
Dihari berikutnya, ada seorang ustadz sebut saja UStadz E. Beliau tiba-tiba menghampiriku dan berkata: "Trifani, ada salam tuh dari Ustadz A!"
Sontak saja, aku kaget. Aku kembali mengingat sosok ustadz tersebut. Bisa dibilang aku merasa senang karena aku mengagumi cara berpikirnya.
Hingga suatu momen, dia ternyata yang menjadi pembimbing karya tulisku. Kaget rasanya. Kok bisa dia? Namun aku berusaha mengambil sisi baiknya. Beliau merupakan orang yang sangat open minded, fleksibel, dan tidak menyusahkan. Cocok banget sama aku yang malas dan butuh insight untuk mengerjakan karya tulis.
Percaya atau tidak, Selama mengerjakan karya tulis, aku tidak pernah mencetak draft karya tulisku. Beliau meminta bertemu langsung dan membahasnya hanya dengan menunjukkan layar laptop. Aku juga bisa leluasa mengirim email untuk meminta beliau mengoreksinya.
Hampir setiap bimbingan dilaksanakan di saung asrama putri. Kebetulan anak bimbing beliau berjumlah 4 orang. Namun, karena sering keasikan membahas penelitian, teman-temanku yang lain seringkali pulang duluan. Menyisakan aku dan ustadz tersebut.
We talked a lot, we shared everything I was curious about. We talked about religion, conspiration, family, passion, and life - value. Beberapa kali obrolan kami hingga larut malam dan menunjukan pukul 23.30.
Pulang ke asrama rasanya senang sekali karena begitu dalam asyik dalam sebuah obrolan yang menarik. It felt like I was intlectually stimulated by him. Semakin lama rasa itu muncul. Aku mulai melakukan eye contact ketika berdiskusi dan aku merasa semakin nyaman.
Beliaupun cukup perhatian. Beberapa kali memberiku alat gambar, makanan, dan oleh-oleh ketika beliau berpergian.
Hingga suatu hari.. Beliau mengirimku email.
Surat cinta ternyata. Intinya, beliau menyatakan kalau ia memiliki rasa yang lebih dari rasa seperti seorang kakak yang mencintai adik. Beliau hanya ingin mengungkapkan itu karena rasanya cukup mengganjal.
Sontak, aku terkejut. Sisi lain aku mengetahui bahwa beliau sedang berencana menikah dengan seorang perempuan. Pelan-pelan aku mundur dan menjaga jarak.
Tentu rumit rasanya kalau aku terlibat di hal yang lebih jauh lagi. Akupun berusaha menempatkan diriku dengan calon tunangannya. Pasti sakit bila ada perempuan lain.
Pelajaran yang bisa aku ambil adalah: Mungkin isi kepala sungguh atraktif. Namun aku perlu mempertimbangkan segala sisi karena bisa saja jika kuteruskan, aku menghancurkan rencana pernikahannya.
Ohiya, ceritaku ini sama sekali tidak menurunkan rasa hormatku padanya. Bagaimanapun, beliau tetap ustadzku dan aku beruntung bisa mendapat banyak sekali ilmu pengetahuan darinya.
@henniarum @adhit21 @gugunm @sekotenggg @mathmythic
13 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Berbeda
Apa yang terlintas dibenakmu ketika memiliki kakak dengan gangguan jiwa?
Tumblr media
Dulu, aku sangat takut bila teman-temanku mengetahui siapa kakakku. Kakak perempuan yang terdiagnosa memiliki gangguan kejiwaan berupa Bipolar Disorder.
Kakak yang hidupnya sempat ditemani rasa depresi selama bertahun-tahun, sekolahnya berantakan, pemberontak, sering kabur dari rumah, nyaris diusir oleh orangtua, sering dibully, bahkan tak melanjutkan kuliah.
Kakak yang beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya, sering dirawat di rumah sakit jiwa, bahkan dibawa ke tempat ruqyah.
Kakak yang tubuhnya dipenuhi tatto, tindik, dan tidak pernah lepas dari rokok dan minuman.
Iya, itu kakakku. Kak Hana namanya.
Setiap kami jalan-jalan berdua ke suatu tempat, selalu ada pertanyaan: "Ih, kalian beda banget ya!", "Ini serius kakaklo?", "Kok bisa?"
Tentu perbedaan kami sudah melalui proses yang panjang. Kak Hana dengan ceritanya, dan aku dengan ceritaku.
Lalu.. Apakah berbeda identik dengan benar atau salah? Apakah berbeda selalu identik dengan cantik atau buruk? Atau mungkin sehat dan sakit?
Tentu aku mencintai perbedaan kami. Perbedaan yang begitu banyak namun kami tulus menyayangi dan melindungi. Aku dan kakakku saling berpelukan ketika salah satu dari kami tidak baik-baik saja.
Aku bangga melihat bagaimana ia berproses. Dari seseorang yang hampir gila karena perjalanan hidup yang begitu berat hingga bersinar seperti saat ini. Perjalanannya dengan karya seninya yang menyalakan harapan untuk tetap hidup sampai saat ini.
Lantas, apakah kita bisa sebebasnya menilai bahkan menghakimi sosok yang terlihat berbeda, sedangkan kita tidak mengetahui seperti apa kondisi mereka yang sebenarnya?
@henniarum​ @adhit21​ @sekotenggg​ @mathmythic​ @gugunm​
10 notes · View notes
sukasenja · 5 years ago
Text
Tanpa Tapi
Sudah lama ternyata saya larut dalam kebiasaan basa-basi sejak remaja. Karena menurut saya beberapa hal butuh kalimat pengantar. Tapi saya lupa, hanya beberapa kan? Nanyain kabar temen-temen dulu padahal ujungnya pengen ngajak main. Nanyain lagi sibuk apa dulu padahal ujungnya mau minta bantuan. Hidup pernah saya lalui dengan senaif itu ternyata. Hingga akhirnya saya mulai sadar, gak semua hal harus di buka dengan basa-basi.
Memasuki fase-fase dewasa awal, membuat sedikit banyak mulai berfikir, bagaimana cara merawat waktu dan perlahan keluar dari kepungan "jaim". Pencitraan nyatanya bukan sesuatu yang kita buat-buat, ia akan lahir dan mengikuti secara mengalir mengiringi kualitas diri kita yang juga bertambah. Tak lagi pura-pura setuju bila memang kita tak setuju, tak lagi pura-pura suka bila memang kita tak suka. Cukup katakan apa yang terjadi sebenarnya, biar orang lain merespons dengan apa adanya.
Setelahnya saya mulai sering mencoba untuk langsung bertanya kabar pada teman bila memang ingin tau kabarnya, langsung mengajak kerja sama bila memang ingin adakan kolaborasi, langsung menegur bila ada yang kurang ku setujui, langsung menerima bila ada yang mereka koreksi. Tak usah malu-malu seperti perawan desa yang dijodohkan dengan juragan minyak. Terlalu kuno wkwk
Saling terbuka bisa jadi jalan lahirnya rasa percaya. Utuh tanpa tapi. Menerima tanpa meminta. Kejujuran adalah hal terpenting, pada diri sendiri juga orang lain.
Selamat mendewasa dengan segala kejujuran yang membersamai, kawan!
@sekotenggg @fadhila-trifani @gugunm @mathmythic @adhit21
11 notes · View notes
sukasenja · 5 years ago
Text
Temennya Dijaga ya!
Satu hal yang gak bisa dilepasin dari fase kehidupan manusia adalah, pertemanan.
Kecil, remaja, dewasa. Teman berganti, ada yang menetap ada yang hilang di telan bumi. Sesekali jika semesta izinkan bertemu teman lama, luar biasa bahagianya, padahal ketemunya di pinggir jalan, gak lebih dari satu menit.
Atau yang lebih ekstrem tiba-tiba liat muka temennya muncul di TV, jadi pembawa berita, atau menjadi yang diberitakan? Pertanyaannya, sudah seberapa lama kita tidak saling sapa.
Pernah gak sih tiba-tiba kepikiran? Temen dari zaman TK sampe sekarang kalau dikumpulin udah sebanyak apa ya? Tapi koq yang sering saling hubungan cuma A, B, C. Gak jarang kita saling bilang "Lu lagi, lu lagi". Rupanya, semakin dewasa semakin paham, temen itu yang emang mau temenan sama kita, tulus.
Pernah saya ada di satu lingkaran pertemanan baru dan saya nyaman. Tapi setelah fase itu berakhir kami saling jauh dan tiba-tiba menghilang satu persatu, tak jarang malah merasa diri sendiri yang dibedakan, ntah apa alasannya. Ah mungkin hanya saya yang terlalu perasa. Mereka tetap baik.
Di lain sisi, ada teman yang tak terpisah fase, dirinya terus hadir walau bukan tiap hari menyapa. Tapi dia "hadir". Dia jadi tempat pulang dari setiap pengembaraan. Untuk saling tukar cerita tentang hal baru apa yang ditemui. Tak ada yang saling canggung, tidak enak hati, ataupun terpaksa. Semua mengalir layaknya air, mungkin disana bukti adanya ketulusan, lahirkan kenyamanan.
Akhirnya saya tak pernah ragu bila memang hanya segelintir orang yang bisa saya jadikan tempat ternyaman, mungkin itu yang di sebut inner circle. Bukan menentang kenyataan, tapi memang hukum alam berjalan apa adanya. Setiap kita juga berhak menentukan mereka, mau disimpan di mana, di lingkaran keberapa.
Ntah bagaimana memang semesta punya caranya sendiri untuk menyeleksi siapa yang pergi dan siapa yang menetap.
Satu pesanku untuk kalian pembaca setia, jangan pernah gadaikan pertemanan dengan apapun. Ntah nanti kamu punya teman hidup yang kamu sayang sepenuh hati, teman yang kamu miliki sekarang tetap harus diberi tempatnya tersendiri. Atau kamu akan larut dalam sepinya menghuni bumi.
Sedewasa apapun kamu, take care, dan jaga baik-baik temanmu yang hebat itu. Dia kiriman Tuhan buat temani kamu jalani berbagai fase hidup. Dijaga ya :)
@gugunm @sekotenggg @fadhila-trifani @adhit21 @mathmythic
12 notes · View notes
fadhila-trifani · 5 years ago
Text
Kekonyolan di Masa Kecil
Siapa yang rindu dengan masa kecil?
Masa ketika bahagia sungguh sederhana seperti bebas bermain riang bersama anak-anak lain, dibelikan mainan yang kita suka walaupun dengan rengekan, tidur siang tanpa diganggu, merasa aman karena akan selalu dilindungi ayah ibu, hingga melakukan hal konyol pun nggak perlu malu.
Eh, mengingat tentang masa kecil, aku jadi ingin bahas yang menyenangkan. Tentu banyak hal polos nan konyol yang dilakukan saat masih kecil ya!
Kalau boleh flashback dan membuat list, hal-hal konyol yang aku lakukan saat masih kecil banyak sekali ternyata! Mungkin ini bisa dijadikan intermezzo sesaat di tengah peliknya kehidupan manusia dewasa.
1. Waktu kecil, aku sering tenggelam. Dari sekian kisah kecilku tersebut, yang paling konyol adalah aku pernah tenggelam di kolam anak-anak! Usiaku 5 tahun saat itu dan aku asyik bermain perosotan di kolam anak. Begitu meluncur ke kolam, aku kehilangan kendali. Pandanganku kabur dan sulit menapaki lantai kolam. Hingga ada orang asing yang menyelamatkanku. Bukannya ditolong, kakakku justru ngomel: “kolamnya kan cuma seperut kamu, masa tenggelam sih?”
2. Usia 5 tahun sepertinya, aku pernah mandi dengan so klin lantai. Aku menyangka itu adalah sabun cair.
3. Sewaktu TK, aku pernah memuji temanku. Ternyata, itu adalah gombalan pertamaku dalam hidup. Aku dengan beraninya berkata kepadanya: “Rio, kamu ganteng deh kalo pake baju main.” Sontak anak-anak TK yang lain tertawa dan mengejekku: “Fani suka ya sama Rio!”
4. Usiaku 9 tahun saat itu. Kebetulan sedang berwisata ke suatu kolam renang di Cibubur. Di sudut kolam namun samar-samar, aku melihat benda seperti squishy. Begitu aku ambil, benda itu ternyata nerupakan kotoran alias poop!
5. Kelas 1 - 2 SD, aku selalu pulang ke rumah membawa anak ayam warni warni (sengaja dicat seperti warna ungu, biru, hijau, dan orange). Padahal hewan itu berumur pendek, namun aku selalu membeli hingga mamaku geleng-geleng.
6. Masih di waktu yang sama. Kebetulan aku punya kolam ikan yang cukup besar di rumah. Kolam tersebut memiliki ikan yang cukup besar seperti ikan mas dan ikan koi. Dengan nakalnya, aku sering berendam di kolam tersebut dan memasukan ikan-ikan tersebut ke bajuku. Alamak, besoknya ikannya pada mati karena mabuk olehku.
7. Kelas 3 - 6 SD, aku berani mengecilkan baju sekolahku dan memotong pendek rok sekolah. Sepertinya efek kebanyakan nonton sinetron kala itu. Aku sering merasa sok jagoan dan punya geng dengan nama “Ladies Gangster Wild.” Centil dan banyak tingkah sekali aku kala itu.
Kira-kira itu beberapa kekonyolanku saat masih kecil. Menggelitik dan malu sekali rasanya jika diingat kembali.
Kalau kamu sedang merasa tidak baik-baik saja, coba deh buka album lama masa kecil, ataupun minta diceritakan apa hal lucu yang kamu alami ketika masih kecil. Mungkin itu bisa membuatmu merasa baikan. 🤗
@henniarum @gugunm @sekotenggg @adhit21 @mathmythic
10 notes · View notes