agitoyacobsonsitepu
agitoyacobsonsitepu
Agito Yacobson Sitepu
11 posts
"Seperti mata yang membutuhkan cahaya matahari untuk melihat, demikian pula jiwa manusia membutuhkan cahaya Tuhan untuk memahami kebenaran."
Don't wanna be here? Send us removal request.
agitoyacobsonsitepu · 4 months ago
Text
TINGGAL PILIH, MAU JADI MANUSIA YANG APATIS ATAU HUMANIS !?
Di negeri yang kaya ini, berapa banyak orang yang hidupnya melarat, yang berada di ambang kemiskinan, tak jauh dari jurang kehancuran? Cobalah perhatikan dengan seksama, apa yang kurang dari tanah yang penuh berkah ini? Sumber daya alamnya melimpah ruah, garis pantainya membentang panjang, tanahnya subur seakan tak ada habisnya. Namun, di balik semua kemewahan itu, ada berapa banyak rakyat yang terabaikan, yang tergusur, yang kelaparan, yang hidup tanpa harapan? Mereka, yang tidak lagi memiliki tempat untuk berpijak di tanah kelahirannya sendiri, terlupakan dalam keheningan. Dalam negeri yang begitu kaya, mengapa masih ada yang merasakan pedihnya kelaparan dan ketidakpastian? Apakah keadilan benar-benar hanya ilusi, ataukah ada yang salah dengan cara kita memperlakukan sesama?
Sesekali, berhentilah sejenak, dan pandanglah sekeliling, lihatlah ke bawah sana, ke lembah hitam yang kelam, tempat bernaungnya kaum marjinal—mereka yang hidupnya terlupakan, yang tak pernah terperhatikan, seolah tak lebih dari bayang-bayang yang tak mampu menggapai cahaya. Di sana, mereka yang dilupakan, hidup hanya untuk memenuhi bumi yang dipenuhi oleh orang-orang yang kotor nan keji. Mereka yang terselimuti oleh kemewahan, sementara di sisi lain ada yang mati merana tanpa sedikit pun perhatian.
Hanya satu pintaku, peduli. Jamahlah mereka dengan tangan kasih sayang, dengarkanlah suara hati mereka yang hampir tenggelam dalam desakan hidup. Suarakan keresahan mereka, wakilkan mereka yang tak pernah punya kesempatan untuk berbicara, atas nama kemanusiaan yang seharusnya tak mengenal sekat. Topanglah mereka yang tak punya, dengan sedikit perjuangan yang berarti, dengan usaha yang tak mengenal lelah. Jangan biarkan mereka terus menjadi bagian dari kisah yang terlupakan, biarkan mereka merasakan bahwa dunia ini masih ada tempat untuk mereka, meski sekecil apapun itu.
4 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 4 months ago
Text
Penyair
Jika tak ada mesin ketik, aku akan menulis dengan tangan; Jika tak ada tinta hitam, aku akan menulis dengan arang;
Jika tak ada kertas, aku akan menulis di dinding; Jika menulis dilarang, aku akan menulis dengan pemberontakan dan tetes darah!
Puisi Penyair karya Widji Thukul
Tumblr media
Teman-teman, apakah kalian tahu bahwa seni dapat menjadi tombak pemberontakan di tengah peliknya situasi di dalam negeri akibat para oligarki, yang baru saja mencanangkan kebijakan penuh ambisi, demi meloloskan dwifungsi ABRI? Kebijakan semena-mena yang dilakukan oleh pemerintah tentu tak boleh luput dari awasan masyarakat di dalam negeri. Musabab, kebijakan yang sekiranya tak masuk akal, barangkali merupakan siasat dari para tikus yang sukanya memberangus. Satu hal yang pasti, karya seni merupakan salah satu wujud ekspresi dalam melawan ketidakadilan, yang dalangnya siapa lagi, kalau bukan para keparat yang sedang asyik mengangkang di atas tumpukan penderitaan rakyat marjinal. Perlu kita tahu, di tahun 1998, pemerintah cemas dan takut terhadap aktivitas yang dilakukan segenap mahasiswa yang berasal dari fakultas seni dan sastra. Mereka mengirim intel-intel bergaji kecil untuk menyusup di panggung teater yang menjadi tempat untuk mempertontonkan banyak mahakarya, termasuk pembacaan puisi, drama, lukisan, dan lagu. Tetapi, satu hal yang perlu mereka awasi. Lewat karya seni inilah, para mahasiswa dan aktivis mengkritik habis para bengis, yang kerap menyesakkan dada rakyat kecil lewat kebijakan yang sadis. Kritik yang dibungkus lewat seni ini adalah bentuk kepedulian terdalam dan respon atas rezim yang zalim, yang sudah pasti diisi oleh orang-orang bangsat.
Negeri ini mendekati akhir. Bukannya pesimis, tetapi lihatlah orang-orang di atas kursi pemerintahan yang saling menyetir satu sama lain. Saya harap kalian masih ingat lukisan Yos Suprapto yang dibredel dengan dalih mengandung gambar sensual, lagu dari band Sukatani yang liriknya berisi kritik pedas dan realita yang sebenarnya terjadi, malah diintimidasi hingga disuruh klarifikasi. Semuanya bergerak dari perintah paling atas menuju antek-antek yang ada di bawah, demi melanggengkan yang namanya kepentingan. Kebebasan bersuara tak lagi sama, malahan makin mirip dengan masa Orba. Yap, kamu benar. Semuanya demi kepentingan segelintir orang, bukan publik secara menyeluruh. Slogan "suara rakyat adalah suara Tuhan" nyaris tak berlaku di negeri yang dipimpin oleh seorang tirani. Sungguh, hanya ajal yang dapat membuat mereka sadar. Namun, satu hal yang pasti, perjuangan tak mengenal kata lelah, perjuangan tak mengenal gender, perjuangan berpihak kepada siapa saja yang menaruh harapan atas nama keadilan, perjuangan-perjuangan akan terus lahir. Satu dibabat habis, sepuluh tumbuh melahirkan para humanis. Salah satunya adalah aktivis hak asasi, yakni Widji Thukul, yang berhasil memporak-porandakan rezim sadis dengan kata-katanya yang puitis.
Puisiku bukan puisi, tetapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. Ia tak mati-mati, meski bola mataku harus diganti. -Widji Thukul
Tumblr media
Widji Thukul lahir pada tanggal 23 Agustus 1963. Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai tukang becak, dan ibunya bekerja menjajakan ayam bumbu dari rumah ke rumah. Kehidupan mereka sehari-hari di pinggiran kota Solo bisa dikatakan jauh dari kata cukup. Sejak SD, Widji Thukul sudah menunjukkan keseriusannya dalam dunia sastra. Ia kerap membuat puisi dan sering tampil dalam kegiatan pentas seni, seperti teater. Setelah lulus dari SD, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Karawitan, jurusan Seni dan Tari. Kecintaannya pada sastra, seni, dan bahasa membuatnya cocok di jurusan ini. Di sini pula ia bergabung dengan komunitas teater Jagat, yang membuatnya sering tampil ke sana kemari, keluar masuk desa. Selain itu, sembari menekuni pendidikannya, Widji juga ikut membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja sebagai penjual koran dan mainan. Kehidupan yang keras ini membentuk kepribadian Widji Thukul yang teguh dan enggan menyerah. Lambat laun, Widji semakin dewasa. Ia putus sekolah karena perekonomian keluarga yang kian terjepit, mengharuskannya sebagai anak sulung untuk mengalah agar adik-adiknya dapat melanjutkan pendidikan. Ia tumbuh menjadi sosok yang pemberani, hal itu tampak dalam karya-karya satirnya yang lama kelamaan justru ditujukan kepada pemerintah yang otoriter. Ia terkenal dengan puisinya yang bernada sarkasme, yang membuat telinga pemerintah korup sedikit gatal. Saat itu, ia mulai aktif membela masyarakat kelas bawah yang sering menjadi sasaran penindasan oleh kaum cukong. Pada bulan Oktober 1989, Widji menikah dengan seorang perempuan bernama Siti yang bekerja sebagai buruh. Widji dan Siti dikaruniai dua orang anak, yakni Fitri dan Fajar. Meskipun sudah berkeluarga, Widji tetap aktif menulis dan mengasah kemampuannya dalam bidang sastra. Lewat karya-karyanya, banyak orang yang kian tersadarkan dan bangkit untuk melawan rezim yang otoriter. Di tahun-tahun berikutnya, nama Widji Thukul semakin sering terdengar. Musabab, ia sering tampil dalam demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh.
Sembari melakukan demonstrasi, Widji juga sering tampil dalam pembacaan puisi yang diadakan di Balai Desa. Puisi pertama yang membuatnya masuk daftar orang yang dianggap mengganggu oleh para aparat adalah berjudul Kemerdekaan. Widji pun sadar, setiap aksi demonstrasi atau pembacaan puisi yang ia lakukan, pasti ada satu-dua intel yang mengikuti ke mana pun ia pergi. Namun, ia tak gentar. Justru, ia semakin terbakar untuk menulis banyak puisi berisi kritik satir nan pedas yang kali ini tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga kepada para aparat. Karir aktivisme Widji semakin gemilang. Ia mendirikan sebuah organisasi jaringan kerja kebudayaan rakyat (JAKER). Lewat JAKER inilah, ia mengumpulkan segenap orang yang tertarik dalam bidang seni dan sastra untuk mengkritik pemerintah Orde Baru yang kian menggerus rakyat kelas bawah. Sejauh yang saya baca, Widji juga turut berperan dalam mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD), di mana aktivis seperti Nezar Patria dan Budiman Sudjatmiko juga turut memiliki andil. Apakah kalian tahu bahwa lewat PRD lah Widji dan segenap aktivis mengkritik dwifungsi ABRI yang dilanggengkan di masa Orde Baru?
Sepak terjang Widji Thukul di dunia aktivisme tidak berjalan mulus. Langkahnya yang kian besar membuatnya mendapat ancaman pembunuhan, penculikan, dan berbagai tindakan represi lainnya. Karier aktivisme yang ia jalani bahkan membuatnya harus merelakan penglihatan di mata kanannya akibat hantaman aparat. Saat itu, Widji dituduh sebagai dalang di balik aksi demonstrasi buruh PT. Sritex di Sukoharjo, yang membuatnya dihajar habis-habisan. Hari-hari berlalu, keberadaan Partai Rakyat Demokratik (PRD) — tempat Widji dan para aktivis bernaung — semakin dianggap sebagai ancaman besar oleh pemerintah. Mau tak mau, partai ini harus segera diberangus. Aparat pun mulai mengantongi daftar nama orang-orang yang harus "diamankan": mulai dari pengusaha, mahasiswa, pelajar, hingga para aktivis. Salah satu nama paling menonjol di daftar itu adalah Widji Thukul. Widji dianggap sebagai ancaman serius. Karya-karyanya yang penuh amarah dan sindiran tajam dinilai berbahaya, karena cepat atau lambat, puisinya bisa memicu rakyat turun ke jalan. Momen yang paling mencengangkan adalah ketika para jenderal di televisi secara terang-terangan menyebut Widji Thukul sebagai pemberontak yang harus dibunuh. Namun, Widji tidak gentar. Alih-alih takut, ia justru membalas pernyataan itu dengan sebuah puisi berjudul "Para Jenderal Marah-Marah" — sebuah sindiran pedas yang menelanjangi kemarahan penguasa.
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif, dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: LAWAN! " - Widji Thukul
Pada tahun 1996, aparat mulai melakukan pengejaran besar-besaran terhadap sejumlah aktivis, termasuk Widji Thukul. Widji pun terpaksa melarikan diri ke berbagai tempat. Salah satu tempat persembunyiannya adalah Pontianak, di mana ia ditolong dan disembunyikan oleh seorang kawannya, yakni Martin. Meski dalam pelarian, Widji tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi sambil terus mengawasi keadaan di sekelilingnya. Rasa rindunya pada keluarga begitu besar. Ia sempat kembali ke Solo secara diam-diam untuk menemui istri dan anak-anaknya, meski hanya sebentar. Namun, ancaman semakin ketat. Widji harus kembali melarikan diri. Pada tahun 1997, ia sekali lagi berhasil menemui keluarganya di Solo. Itu menjadi momen terakhir kalinya ia terlihat oleh orang-orang terdekat. Saat itu, gelombang demonstrasi besar-besaran mulai pecah di berbagai kota. Aparat makin gencar menangkapi para aktivis yang dianggap punya peran penting dalam gerakan massa. Puncaknya terjadi pada Mei 1998, saat rakyat dari berbagai kalangan turun ke jalan menuntut Soeharto untuk lepas dari jabatannya. Setelah peristiwa bersejarah ini, kabar Widji Thukul pun hilang. Ia lenyap tanpa jejak — menghilang begitu saja, tenggelam dalam ketidakpastian. THUKUL, PULANGLAH!
"Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli. Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu." -Widji Thukul 1998
Lewat karya sastra, pemerintah otoriter pun dapat terkencing-kencing. Kekuatan kata-kata yang ditulis dengan penuh keberanian mampu merobek tirani yang seolah tak tergoyahkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Widji Thukul, yang melalui puisi-puisi tajam dan penuh amarah, ia berhasil menelanjangi kebusukan rezim yang kala itu mengerahkan segala daya untuk menindas rakyat. Di tengah kekangan dan ancaman, karya-karya sastra menjadi senjata yang lebih ampuh daripada apapun. Tak hanya menyentuh hati, tetapi juga menyadarkan dan membangkitkan semangat perlawanan. Melalui kata-kata, para penguasa yang biasanya berkedok kuat, menjadi terlihat rapuh dan ketakutan. Pada akhirnya, meskipun mereka berusaha menutup suara-suara ini dengan segala cara, sejarah akan tetap mencatat bahwa seni dan sastra adalah pembelaan tertinggi terhadap hak-hak manusia, yang tak akan pernah bisa dibungkam oleh tangan-tangan zalim. HIDUP RAKYAT YANG MELAWAN!
youtube
Teman-teman, apabila salah satu di antara kalian ingin membaca karya-karya dari Widji Thukul, silakan klik di sini
2 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 4 months ago
Text
Ucapan atau Sekadar Bualan?
Bukankah hati yang mencinta takkan mudah melupa?
Tumblr media
Meja kerja
Isi kepala di balik topi baja… ♬♬ … suara alarm.
Sabtu, 22 Maret 2025, tepat pukul 7 pagi. Aku terlempar kembali ke dunia nyata, setelah asyik mengembara di alam mimpi. Dunia idea itu terkoyak seketika, tatkala alarm HP-ku meraung, memekakkan telinga, memaksaku tuk bangun.
“Hoaaaam… bangsat!” ketusku. Seperti biasa. Entah mengapa, bangun pagi selalu saja menyisakan rasa lelah yang membekas. Alih-alih segar, tubuhku malah terasa remuk, seolah habis ditabrak truk. Maaf, mungkin ini berlebihan. Aku tak segera bangkit. Ragaku memang sudah terjaga sepenuhnya, namun jiwaku masih terjebak di antara dua dunia, terombang-ambing di ambang bawah sadar. Seolah ia enggan kembali.
Ah, iya. Mimpiku semalam begitu indah. Begitu nyata, begitu penuh warna, hingga rasanya aku tak ingin meninggalkannya. Aku tak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk. Konon, orang-orang dulu berkata, bila mimpimu terlalu indah, dunia nyata akan menuntut bayaran. Ada yang bilang, balasannya bisa datang dalam bentuk kesialan.
“Ah, bacot,” kataku tegas. Aku anak filsafat, yakali percaya hal begituan.
Lagi-lagi, dunia penuh misteri. Hari-hari tak bisa diprediksi.
Aku akhirnya bangkit dari atas dipan. Menarik tirai jendela, ternyata langit mendung. Pagi ini, alam seakan menyambutku dengan wajah muram, tak banyak senyum. “Mudah-mudahan hari ini tetap baik,” gumamku dalam hati, meski tak terlalu yakin.
Aku meraih HP, bersiap mengirim ucapan “Selamat pagi” ke grup keluarga. Hehe, rutinitas anak kos yang tak pernah absen. Namun, sebelum tanganku sempat menyentuh layar, tiba-tiba pintu kamarku diketuk.
Oh, ternyata sekuriti. Aku bergegas membuka pintu.
“Ada kiriman paket, Mas,” ucapnya, suaranya datar, tak menunjukkan ekspresi yang berarti.
“Nggih, matur nuwun, Pak,” balasku sedikit heran.
Aku menatap paket itu dengan bingung. Itu bukan barang yang aku pesan, dan aku tak ingat ada yang mengirimkan sesuatu padaku. Wajahku mulai dirundung rasa penasaran yang tak tertahankan, namun aku berusaha menahan diri.
“Siapa yang mengirimnya, Pak?” tanyaku sedikit penasaran.
“Eh, nggak ada nama pengirim, Mas. Hanya ada nama penerima, dan alamat yang dituju,” jawab sekuriti, sambil menyerahkan paket itu.
Aku mengangguk, meski hatiku dipenuhi tanda tanya. Paket tanpa pengirim? Tak ada yang lebih membingungkan dari ini. Tetapi aku tahu, sudah tak ada waktu lagi untuk mempertanyakan hal-hal yang tak dapat dipahami. Yang pasti, aku harus membuka paket ini. Entah apa yang akan aku temui di dalamnya.
Aku berharap paket ini berisi uang, atau setidaknya voucher belanja kebutuhan pokok — mengingat minggu ini sudah memasuki tanggal tua, di mana uang bulanan sudah pasti menipis. Dengan harapan se-sederhana itu, akupun membuka paket tersebut.
Ternyata, isinya hanyalah beberapa lembar kertas yang tersusun rapi, diikat dengan anggun. “Banyak sekali,” gumamku dalam hati. Perlahan, aku mengambilnya satu per satu. Ternyata kertas-kertas itu dipenuhi tulisan indah. Ada yang berbentuk puisi, ada pula yang disusun menjadi prosa.
“Indah sekali,” desahku pelan, hampir tak percaya.
Saat menilik tumpukan kertas itu, mataku tiba-tiba tertumbuk pada sebuah surat kecil yang tersembunyi di antara yang lainnya. Surat itu hanya berisi sepenggal kalimat:
“Jaga dirimu, ya.”
Hanya kalimat pendek, namun terasa begitu dalam, seakan setiap hurufnya menembus relung hatiku.
Kata-kata ini memang indah, tapi apa maksud dari semua ini? Aku yakin, surat-surat ini ditulis oleh seseorang yang piawai dalam merangkai kata, seseorang yang akrab dengan bahasa & sastra. Namun, asumsiku masih mentah — terlalu dini untuk memastikan apa yang baru saja terbesit di benak kepala.
“Jaga dirimu ya.”
Aku tersipu. Hatiku yang semula kaku, kini berdebar girang. Satu hal yang pasti, setiap kata yang dirangkai menjadi kalimat di atas surat ini merupakan doa dan harapan, sebuah bisikan yang tulus dari penulisnya. Setiap kalimat terasa mengalir begitu fasih, begitu penuh perasaan. Sungguh, kata-kata ini berhasil mengacak-acak emosiku.
Dan… aku punya firasat siapa pengirimnya.
Ah, lupakan.
Yang jelas, setiap kata dalam surat ini telah menghidupkan kembali sesuatu di dalam diriku — sesuatu yang mungkin sudah lama tertidur, terbenam dalam lamunan waktu.
Lama sekali.
“Jaga dirimu, ya.”
Aku mencoba menafsirkan kalimat itu. Kurasa, kalimat tersebut bukan sekadar perintah agar aku selalu hati-hati, makan tepat waktu supaya tidak sakit, atau hal-hal serupa. Memang ada benarnya, tetapi aku merasa ada makna yang jauh lebih dalam di balik kata-kata yang terlihat ringan.
Aku yakin, musabab, baik kata maupun kalimat memiliki yang namanya nyawa. Setiap tulisan adalah bentuk komunikasi antara perasaan dan logika yang tak sempat — atau bahkan tak mampu — diucapkan secara langsung. Salah satu cara menyampaikannya adalah melalui tulisan. Ia menjadi wadah bagi penulis untuk mengekspresikan perasaan, menyuarakan isi hati yang terlanjur tertahan, ketika mulut sudah keburu kelu.
Aku pun setuju, daripada terpaku dan memilih bisu, lebih baik menuangkannya ke dalam tulisan seperti itu. Aku bisa merasakan bahwa sepenggal kalimat yang tertulis di atas kertas itu bukanlah sekadar pesan biasa. Ia adalah ungkapan perasaan yang sangat mendalam. Bahkan, kalau saja kalimat itu disampaikan secara langsung, aku membayangkan si penulis mungkin akan mengucapkannya dengan nada yang nyaris bergetar.
Aku juga bisa membaca kekhawatiran yang tersirat di dalamnya — kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Karena sejatinya, kita tak hanya bisa terluka secara fisik, tetapi juga secara batin. Luka yang ditinggalkan oleh kata-kata yang tak terbalas, kepergian yang tak sempat dijelaskan, atau sesak yang timbul akibat perasaan yang tak pernah bersambut… semua itu lebih pedih daripada luka yang terlihat oleh mata.
Maka, ketika seseorang menyampaikan, “Jaga dirimu, ya.” — percaya atau tidak — itu adalah salah satu bentuk cinta paling sederhana dan tulus yang bisa diberikan oleh seseorang yang menganggap kita berharga.
Aku pun teringat. Rasanya dulu, aku juga pernah menyampaikan kalimat yang serupa kepada seseorang. Tapi… ah, sudahlah. Masa lalu biarlah berlalu. Tak ada gading yang tak retak.
Entah kenapa, firasatku kali ini terasa lebih baik.
Apakah ini pertanda lampu hijau untuk memulai petualangan kasih yang baru?
Aku tidak tahu. Satu hal yang pasti, aku telah menyelipkan rasa ikhlas di setiap harapan yang ku semogakan. Karena, seperti yang dikatakan para filsuf, manusia hidup bersama harapannya, namun harapan itu pulalah yang pada akhirnya dapat menjadi alasan bagi manusia untuk mati.
Dunia ini penuh dengan ketidakpastian, dan harapan sering kali menjadi satu-satunya yang bisa kita pegang. Namun, aku tahu satu hal, setiap ucapan yang kuterima, setiap kalimat yang menembus relung hati, akan tetap membekas di jiwa yang paling dalam.
4 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 4 months ago
Text
Manusia
"Tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada manusia. Jangan anggap remeh si manusia, yang katanya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perasaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia tak bakal bisa kemput." - Pramoedya Ananta Toer
Tumblr media
Teman-teman, apakah kalian tahu apa itu manusia? Mungkin, salah satu dari kalian bisa menjelaskannya, silakan. Kalau Anda malu menjelaskannya, cukup jawab di dalam hati saja. Baiklah, sedikit cerita, di semester ini, saya mendapat mata kuliah filsafat manusia, yang katanya sedikit bersinggungan dengan ilmu psikologi dan antropologi. Saya sendiri mafhum, ya namanya filsafat manusia, sudah pasti sesuatu yang dibahas, dipermasalahkan, dan menjadi objek kajian, ya manusia itu sendiri. Lantas, apa yang dipermasalahkan dari manusia itu? Apa yang membuat kita membahas mengenai apa itu manusia? Apakah ada definisi tetap terkait pengertian manusia itu sendiri?
"Manusia itu ya kita, lur, makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, mahluk yang mampu menggunakan akalnya, emosi, dan lain-lain." Saya setuju, tetapi saya rasa ini bukan jawaban final dari pertanyaan 'apa itu manusia'. Saya tidak menyalahkan, jawaban di atas ada benarnya, tetapi definisi tersebut masih kurang jelas. Sampai saat ini, kalau ditanya apa itu definisi manusia, jujur, saya tidak tahu pasti jawabannya.
Baik, saya akan ajak para pembaca untuk berpikir sejenak. Carilah definisi sebaik mungkin mengenai pertanyaan 'apa itu manusia?', kemudian mulailah bertanya kepada diri Anda sendiri, sebenarnya 'siapakah manusia itu?', siapakah diri kita? Ke mana tujuan hidup kita sebagai seorang manusia?' Saya ingin para pembaca untuk berkontemplasi dan memikirkan jawabannya lewat laboratorium khusus yang ada di kepala. Asek. Apakah para pembaca sudah memikirkannya? Selamat! Anda sudah berani untuk menyentuh pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang paling hakiki tentang manusia.
Pertanyaan filosofis seperti ini mungkin terdengar aneh, tetapi ada kalanya kita perlu meluangkan sedikit waktu untuk memikirkan hal-hal yang jarang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Ya, setidaknya bisa mempertajam daya pikir kita agar tidak tumpul. Hehe. Baiklah teman-teman pembaca, sekarang, saya akan menyingkap sedikit yang saya ketahui terkait keberadaan kita (manusia) dan apa yang membedakannya dengan makhluk hidup yang lain. Saya berharap, melalui tulisan sederhana ini, para pembaca dapat memahami dan menyimpulkan sedikit dari banyaknya pengetahuan tentang makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, yaitu manusia.
Manusia, seperti yang baru saja dikatakan di atas, adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Ia dikatakan sempurna karena, jika dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, manusia cenderung lebih kompleks dan strukturnya lebih lengkap. Hal ini memungkinkan manusia mampu melakukan atau menjamah hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh mahluk hidup yang lain. Oke, agar para pembaca dan saya dapat lebih paham, mari kita bandingkan makhluk-makhluk ini secara head to head... buset, udah kayak mau nonton bola aje, lu. Kita mulai dari kategori pengetahuan. Baik manusia, tumbuhan, maupun hewan, ketiganya memiliki pengetahuan. Lalu, di mana letak perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh ketiga makhluk tersebut? Perbedaannya terletak pada statis dan dinamisnya pengetahuan yang mereka miliki.
Pengetahuan yang dimiliki hewan dan tumbuhan cenderung statis. Maksudnya? Ya, pengetahuan mereka tetap, tidak berubah, begitu saja terus. Contoh: pengetahuan seekor burung dalam membuat sangkar dari zaman Orde Baru hingga zaman modern saat ini tetap sama, tidak berubah. Apakah kalian pernah melihat seekor burung memodifikasi sangkar miliknya? Apakah kalian pernah melihat sangkar yang dibuat oleh burung berubah memiliki atap dan pintu? Jika pernah, pasti itu karena ada campur tangan manusia, bukan semata-mata hasil pekerjaan si burung. Singkatnya, pengetahuan burung dalam membuat sangkar tidak berubah. Bahan-bahan untuk membuat sangkarnya juga tidak jauh dari dedaunan, ranting, dan sejenisnya. Apakah burung pernah berpikir untuk mengecor sarangnya sendiri? Pasti tidak. Contoh lain, lihat saja sarang yang dibuat oleh kawanan lebah. Apakah sarang itu pernah berubah dari bentuk yang biasanya? Kalaupun berubah, saya rasa hal tersebut dipengaruhi oleh faktor alam atau lingkungan tempat lebah tersebut berada, bukan karena perubahan dalam pengetahuan atau keterampilan lebah itu sendiri. Konteksnya adalah sarang yang dibuat secara alami oleh lebah, bukan sarang buatan manusia. Perhatikan konteksnya!
Berbeda dengan manusia. Pengetahuan yang kita miliki sangat dinamis dan terus berkembang seiring berjalannya zaman. Contoh: di zaman batu, bagaimana manusia menggunakan pengetahuannya untuk membuat tempat perlindungan (shelter) dari hewan buas? Awalnya, mereka mencari-cari kayu besar dan menumpuknya bersama batu sehingga terbentuklah sebuah tempat yang cukup aman dan besar. Lambat laun, dengan pengetahuan yang terus berkembang, manusia mulai menyadari bahwa tantangan yang mereka hadapi tidak hanya berasal dari hewan buas, tetapi juga dari cuaca ekstrem. Maka dari itu, mereka mulai mencari tempat berlindung seperti di gua-gua besar, dan untuk menghangatkan diri, mereka mulai mencari dedaunan dan sejenisnya. Hal ini terus berkembang seiring berjalannya waktu, hingga manusia dengan pengetahuannya yang dinamis dapat berinovasi untuk membuat tempat tinggal seperti yang kita lihat sekarang. Perlu dicatat, bahwa manusia berusaha untuk lebih efisien dan lebih baik. Maka dari itu, manusia senantiasa berinovasi dan menciptakan solusi yang efektif untuk dapat bertahan hidup.
Kira-kira begitulah. Lalu, bagaimana dengan tumbuhan? Sama seperti hewan, pengetahuan yang dimiliki tumbuhan juga statis. Sebagai contoh: ketika memproduksi makanan, dari zaman dahulu hingga sekarang, tumbuhan tetap menggunakan proses fotosintesis untuk membuat makanannya, tidak ada perubahan. Jika tidak salah, rumusnya begini: 6CO₂ + 6H₂O + cahaya → C₆H₁₂O₆ + 6O₂+glukosa. Sedangkan manusia, di zaman dahulu, mungkin awalnya mereka masih mengonsumsi makanan mentah, tetapi lambat laun, mereka mulai berpikir, "Duh, kok bosan ya makan makanan mentah terus? Coba cara yang lain deh." Nah, mulailah mereka memproses makanan, awalnya dengan cara dibakar. Dan hal itu terus berkembang sampai saat ini, di mana untuk mengolah makanan, ada banyak cara yang sudah bisa dilakukan, seperti direbus, dikukus, digoreng, diasap, dan lain-lain. Manusia tidak pernah kehabisan akal untuk berinovasi. Pengetahuan mereka sangat dinamis. Sekarang, coba tebak, "Kira-kira di masa depan, apakah manusia masih memasak dengan cara direbus, digoreng, diasap, dan sebagainya?" Saya rasa, tidak.
Baiklah, kembali ke topik. Sekarang, mari kita bandingkan kemampuan manusia, hewan, dan tumbuhan dalam kategori bertahan hidup. Pertama, hewan. Sudah pasti, cara hewan untuk bertahan hidup adalah melalui naluri. Jika mereka merasa terancam, mereka akan bersiap-siap untuk menyerang atau melarikan diri. Untuk mencukupi kebutuhan makan, saya rasa hewan hampir mirip dengan manusia, terutama jika dilihat dari struktur pencernaan yang mungkin 'ada' sedikit kesamaan. Ya, jelas pencernaan manusia lebih mirip dengan hewan dibandingkan dengan tumbuhan, kan? Nah, kalau untuk jenis makanannya, hewan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu karnivora, herbivora, dan omnivora. Sedangkan manusia, sudah pasti omnivora.
Bagaimana dengan tumbuhan? Saya rasa tumbuhan hidup sesuai dengan faktor-faktor biologis dan kimiawi yang ada, baik di lingkungan sekitar maupun di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri. Jadi, orientasinya lebih pada mekanisme adaptasi yang terprogram dalam genetik yang memungkinkan mereka untuk berfotosintesis, bereproduksi, memiliki morfologi tertentu (seperti duri pada mawar), dan sebagainya. Oh ya, satu lagi, apakah kalian pernah melihat kantong semar atau tanaman venus yang sedang memerangkap serangga? Atau apakah kalian pernah melihat bunga matahari yang sedang menghadap ke arah cahaya matahari? Nah, saya rasa ini merupakan salah satu contoh upaya bertahan hidup yang dilakukan oleh tumbuhan. Bunga matahari menghadap ke arah datangnya cahaya matahari tentu untuk meningkatkan pertumbuhan, fotosintesis, dan hormon-hormon yang ada di bunga matahari tersebut. Hadeh, maafkan saya kalau informasi ini tidak begitu akurat. Saya sudah lupa kapan terakhir kali belajar tentang tumbuhan di pelajaran biologi.
Nah, sekarang bagaimana dengan manusia? Apa upaya yang dilakukan manusia untuk dapat bertahan hidup? Saya rasa, semuanya juga sudah pasti tahu, ya, untuk kebutuhan fisiologis, sudah pasti manusia melakukan hal-hal seperti makan, minum, dan lain-lain. Mungkin ada juga di antara Anda yang menjawab, untuk bertahan hidup, manusia harus seks, mabuk, korupsi, atau saling menyikut antar sesama manusia untuk kepentingan tertentu, atau mungkin... udah ah, stop. Kita lanjut ke kategori sosialisasi. By the way, saya tidak menyalahkan dan tidak mengamini tulisan barusan, sebab hal tersebut berkaitan dengan nafsu. Apakah kalian tahu bahwa nafsu sudah menjadi kodrat bagi manusia? Perlu diingat, manusia diciptakan berbarengan dengan nafsu. Maka dari itu, tidak heran apabila ada orang yang merasa 'tidak bisa hidup' kalau tidak melakukan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Ah, nevermind, sekarang kita masuk ke kategori sosialisasi atau berinteraksi.
Tumblr media
Kita mulai dari hewan. Saya rasa hewan cukup layak dikatakan memiliki kemampuan untuk bersosialisasi yang mendekati kemampuan bersosialisasi yang dimiliki oleh manusia. Contohnya adalah kawanan singa. Apakah kalian pernah melihat singa jantan mengencingi (menandai) wilayah teritorial tempat ia dan kawanannya tinggal? Jika ada sekumpulan hewan yang berani mendekat ke wilayah mereka, kawanan singa tersebut kompak untuk mengusir mereka. Dan apabila ada hewan yang mengganggu satu atau dua singa yang sedang beristirahat, mereka (para singa) tidak sungkan-sungkan memanggil kawananannya untuk segera menyerang habis yang mencoba mengganggu mereka. Begitu juga ketika mereka sedang mencari hewan untuk dimangsa, misalnya kerbau. Terkadang, jika mereka dalam kondisi sulit atau si kerbau susah untuk ditaklukkan, para singa akan membentuk formasi untuk mengepung kerbau tersebut, sementara beberapa singa lainnya mengejar kawanan kerbau untuk memisahkan satu atau dua kerbau yang tertinggal. Nah, kerbau yang tertinggal itulah yang menjadi sasaran empuk mereka. Cukup solid, bukan?
Baiklah, untuk tumbuhan sendiri, apakah mereka bisa bersosialisasi atau melakukan interaksi? Jawabannya bisa! Loh, bagaimana? Tumbuhan dapat berinteraksi satu sama lain melalui jaringan mikoriza. Lewat jaringan inilah, para tumbuhan bisa saling berbagi nutrisi, air, gula, dan lain-lain. Sejauh yang saya baca, tumbuhan berinteraksi dengan cara saling mengaitkan akarnya satu sama lain. Dengan cara ini, tumbuhan yang satu dapat meminta nutrisi dari tetangganya. Inilah yang dimaksud dengan interaksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Memang tidak kelihatan secara langsung, seperti pada hewan dan manusia, karena proses ini berlangsung secara kimiawi dan biologis, jadi ya begitulah.
Kalau manusia, sudah pasti, adalah makhluk sosial. Mengacu pada perkataan Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politikon, yang artinya manusia, meskipun ia adalah individu, ia tetap tidak bisa lepas dari interaksi sosial dengan individu yang lain. Dalam hidupnya, manusia saling membutuhkan satu sama lain dan hidup bersama dalam suatu komunitas. Memang sudah menjadi kodrat manusia itu sendiri untuk saling bersama dan melindungi satu sama lain, seperti kawanan singa yang telah dibahas sebelumnya. Maka, tidak heran jika manusia disebut sebagai hewan yang berpikir. Alasannya? Simpulkan sendiri.
Nah, dari banyaknya penjelasan tentang perbandingan di atas, coba Anda pikirkan, manusia lebih mirip dengan siapa? Hewan atau tumbuhan? Kalau ada yang jawab tumbuhan, saya rasa psikisnya sudah terganggu. Sudah pasti manusia lebih mirip dengan hewan. Singkatnya gini, manusia bisa bergerak ke mana-mana, hewan juga demikian. Kalau tumbuhan, apakah bisa bergerak? Tentu bisa, tetapi terbatas, dan itu pun terjadi karena faktor kimiawi dan biologis pada tumbuhan tersebut. Gerak yang saya maksud adalah gerak yang keluyuran. Misalnya kucing, sudah pasti bisa keluyuran ke mana-mana, manusia apalagi. Kalau tumbuhan? Posisi mereka cuma diam di situ. Kalaupun berpindah tempat, pasti ada faktor eksternal yang menyebabkannya, iya nggak?
Namun, satu hal yang paling overpowered dari tumbuhan adalah mereka dapat hidup berabad-abad. Umur tumbuhan bisa sangat panjang, berbeda dengan manusia dan hewan yang di usia tertentu pasti sudah ada kemungkinan ajal mendekat. Kalau tumbuhan? Cek saja di Google, banyak tumbuhan yang umurnya beratus-ratus tahun. Pohon-pohon besar yang menjadi saksi perubahan zaman. Bahkan, setahu saya, ada pohon yang hidup hampir melewati tiga zaman. Lah, bukannya umur tumbuhan juga terbatas? Ya, memang terbatas, tapi kalau ditebang, konteksnya berbeda, dong. Manusia juga kalau dibunuh, pasti umurnya lebih cepat berakhir dari perkiraan. Intinya seperti itu.
Tumblr media
Bersambung.....
2 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
"Filsafat itu mengajarkan orang untuk berani membongkar apa yang sudah diyakini benar." - Karlina Supelli
2 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
Catatan Seorang Demonstran
Soe Hok Gie
Tumblr media
Akhir-akhir ini, segenap mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia baru saja melakukan aksi demonstrasi. Di Yogyakarta sendiri, aksi demonstrasi dilakukan pada Kamis, 20 Februari 2025. Massa yang hadir terdiri dari para mahasiswa dari berbagai universitas yang ada di Yogyakarta. Mereka memulai aksi dari Parkiran Abu Bakar Ali hingga Gedung Agung Yogyakarta dengan melantangkan lagu-lagu mars serta orasi-orasi yang menyulut api semangat. Mereka dengan tegas menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan efisiensi yang, saya rasa, tidak disetujui oleh banyak orang—baik ibu dan bapak, maupun tua dan muda—yang tentu saja tidak sepakat dengan kebijakan yang dicanangkan oleh rezim Prabowo-Gibran. Saya mendukung penuh aksi yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa, karena kalau bukan mereka, siapa lagi? Kita sebagai mahasiswa harus berani berkata tidak, jika tidak ingin menjadi budak bagi kepentingan tikus-tikus berdasi yang hanya mementingkan diri sendiri. Dan yakinlah, di saat mahasiswa sedang melakukan aksi, pasti mereka sedang asyik ngorok di singgasana-nya masing-masing. Bukankah aneh, jika mahasiswa justru adem ayem ketika pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan yang kontroversial? Pasti aneh, kan? Menurut saya, jika mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya tidak berani untuk bersuara, itu berarti sudah gawat. Daya kritis mereka sudah tumpul, begitu juga dengan semangat mereka yang terpaksa teredam. Kebenaran pasti akan terancam jika pemerintah dengan sekoyong-konyong mengeluarkan kebijakan yang goblok, dan masyarakat atau mahasiswa malah menerimanya begitu saja tanpa perlawanan. "Wes legowo wae." Namun, di Indonesia, perjuangan itu masih ada. Masih banyak orang yang peduli dengan masa depan bangsa ini. Saya sendiri sih optimis, toh pemerintah yang menyatakan bahwa tahun 2045 akan menjadi tahunnya generasi emas di Indonesia. Bagi yang percaya janji pemerintah, monggo silakan. Tapi saya sendiri percaya, karena pemerintah kita ini sebelas-duabelas dengan pemerintah Jepang. Ups.
Ada begitu banyak aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan aktivis yang tersebar di berbagai penjuru daerah. Namun, pernahkah Anda bertanya, siapa yang memelopori aksi demonstrasi mahasiswa pertama kali? Mungkin banyak dari Anda yang tidak mengenalnya. Maka dari itu, izinkan saya memberi tahunya. Ia adalah Soe Hok Gie.
Anak-anak zaman sekarang, saya rasa, sedikit yang tahu mengenai Soe Hok Gie, lantaran kisah tentang kehidupannya jarang sekali tercantum dalam buku-buku sejarah, atau paling tidak namanya dibahas oleh guru-guru. Namun, sedikit sekali yang melakukannya. Saya tahu ia bukan pahlawan nasional, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa masih ada tokoh-tokoh yang lebih penting untuk dicantumkan dalam pelajaran sejarah. Tetapi, satu hal yang perlu kalian tahu adalah, Soe Hok Gie merupakan napas awal Gerakan Mahasiswa dalam memberontak terhadap pemerintahan yang korup di zaman Orde Lama. Ia adalah seorang aktivis ulung, walaupun perawakannya kecil, tetapi keberanian dalam dirinya teramat besar. Ia sungguh menjelma menjadi predator yang siap menerkam pihak mana saja yang merugikan rakyat Indonesia, termasuk Soekarno.
Jujur, kalau ditanya idola saya siapa, saya akan menjawab dua nama, yakni Munir dan Soe Hok Gie. Munir terkenal akan aksi pemberontakan yang ia lakukan di masa Orde Baru, sedangkan Soe Hok Gie terkenal akan aksi pemberontakannya di Orde Lama. Kedua-duanya merupakan pemberani. Kedua-duanya merupakan wakil suara atas mereka yang dipaksa bungkam.
Baik, saya akan menceritakan secara singkat kehidupan Soe Hok Gie dan sedikit dari banyaknya bentuk perlawanan yang ia lakukan.
Soe Hok Gie merupakan pemuda keturunan Tionghoa yang lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Perlu kita ketahui, latar belakang kehidupan Soe Hok Gie sangat keras. Di saat ia baru lahir, kekuasaan Belanda atas Indonesia baru saja berpindah tangan ke Jepang. Setelah Jepang pergi, Indonesia kembali diduduki oleh Belanda dan Inggris. Tak lama kemudian, setelah para kolonialis pergi meninggalkan ibu pertiwi dan Indonesia sepenuhnya merdeka, malah Indonesia mendapat ancaman dari dalam negeri, yakni oleh rakyatnya sendiri. Seperti pemberontakan di Madiun, Permesta, DI/TII, RMS, dan masih banyak lagi. Hayo... setahu saya, materi tentang ancaman disintegrasi bangsa ada di kelas 12 SMA semester 2. Saya ingin agar kamu mengingatnya kembali. Singkatnya, tumbuh kembang Soe Hok Gie dari kecil hingga dewasa diiringi oleh peliknya situasi di dalam negeri. Baik susunan pemerintahan yang masih amburadul maupun rakyatnya yang masih gampang dipengaruhi oleh pihak luar untuk segera memberontak. Istilahnya, masih banyak yang bandel. Saya sendiri tidak heran, ya namanya negara baru merdeka, lur, yakali terbebas dari segala bentuk cobaan. Tinggal kita yang pilih, apa cobaan-cobaan tersebut mau dicobain semua? Yo ndak, toh?
Baik, mari kita lanjut. Soe Hok Gie, sejauh yang saya baca, tidak seperti anak-anak keturunan Tionghoa yang lain. Sesuai pengamatan saya, mereka (anak-anak keturunan Tionghoa) sangat gemar dengan hitung-hitungan seperti matematika dan ilmu pasti lainnya. Tetapi, Soe Hok Gie yang kerap disapa ‘Gie’ justru sangat suka terhadap pelajaran seperti sejarah, politik, filsafat, dan ilmu humaniora lainnya. Sejak kecil, ia sudah melahap banyak sekali buku-buku Marx, Aristoteles, Hobbes, Hegel, dan lain-lain. Bayangkan saja, dari kecil ia sudah membaca buku filsafat Yunani klasik yang bahasanya cenderung berat. Bagaimana tidak kritis coba? Di samping itu, kesukaannya membaca karya sastra juga memengaruhi tulisan-tulisannya dan pekerjaannya sebagai jurnalis.
Tumblr media
Satu hal yang bikin saya kagum, yakni ketika ia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Sastra, program studi Sejarah di Universitas Indonesia. Gila... ia bisa saja masuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan lain-lain. Tetapi, ia malah memutuskan untuk masuk ke Fakultas Sastra. Memang, saya sudah tak heran, musabab kecintaannya akan sastra dan sejarah sudah mengakar begitu dalam. Di jurusan inilah ia kemudian mempertajam daya kritis dan intelektual yang sedari dulu sudah ia asah. Di UI, setahu saya, Soe Hok Gie kerap melakukan perdebatan intelektual bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mereka mempertaruhkan idealisme masing-masing dengan cara menyusun argumentasi bak sekokoh Gunung Fuji. Sangat menarik apabila membayangkannya, di mana kampus menjelma menjadi Colosseum khusus para petarung yang bergulat di bidang pemikiran secara akademis.
Dulu, mahasiswa terbagi menjadi dua kutub. Ada yang pro-Soekarno dan ada yang kontra. Semuanya memiliki pandangannya masing-masing. Tapi, saya rasa, Soe Hok Gie mengambil kutub kontra, yakni menentang kepemimpinan Soekarno. Bagaimana tidak? Sosok Soekarno merupakan orang yang harus bertanggung jawab atas hiperinflasi yang terjadi di masa pemerintahannya. Gie dengan tegas menentang Soekarno. Bahkan, ia berani mengatakan bahwa di saat semua harga kebutuhan pokok naik, rakyat sengsara, Soekarno pasti sedang asyik menari-nari bersama istri-istrinya yang cantik nan rupawan. Melihat pejabat joget di saat rakyat sedang sengsara, saya rasa saya baru melihatnya akhir-akhir ini di reels Instagram. Ya, kamu betul, yang saya maksud adalah Bahlul dan kawan-kawan menteri. Kembali ke topik. Gie terang-terangan memberontak lewat tulisan-tulisan yang ia buat, yang terpampang dengan anggun di Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, dan membuat para penguasa seolah gerah, padahal mereka berada di ruangan yang sudah pasti dilengkapi dengan pendingin. Gimana?
Soe Hok Gie mengatakan ia menyukai Soekarno hanya sebagai orang biasa. Kalau pemimpin? Soekarno jauh dari kata 'baik' menurut kacamata Gie. Gie merupakan orang yang image-nya sangat baik di kalangan mahasiswa. Ia merupakan salah satu arsitek yang mengambil peran vital dalam aksi long-march dan demonstrasi besar-besaran tahun 1966, setahun setelah Soekarno lengser. Ia mendapatkan julukan the angry young man karena sikapnya yang terus gelisah melihat keadaan di Indonesia, di mana banyak tersebar orang-orang munafik, terutama mereka yang sedang duduk dalam jamuan makan malam serba mewah di Istana Negara. Dirinya berapi-api ketika mendapati ada seorang yang kelaparan sedang mengais-ngais tong sampah, padahal dua kilometer dari lokasi tersebut, tepat di Istana Negara, ‘Bung Besar’, yakni Soekarno, sedang sibuk menjamu tamu dari negara sana-sini, sementara rakyatnya hampir mati kelaparan. Soekarno tidak sebaik yang kita kira.
Ia merupakan tongkat estafet pertama yang menjadi awal kebangkitan Gerakan Mahasiswa secara nasional, serempak dan menyeluruh. Dan warisan itu, syukurnya, masih ada sampai sekarang. Mahasiswa-mahasiswa masih lantang menyerukan, enggan terpaku diam, melainkan memporak-porandakan rezim yang dianggap zalim. Selama ia kuliah, Gie tidak bergabung sama sekali dengan organisasi berbau politik di kampus. Ia mengatakan bahwa kampus adalah tempat paling suci, di mana tonggak pemikiran segar bermunculan tanpa adanya intervensi dari kepentingan politik. Arus pemikiran di kampus harus murni demi kedaulatan bangsa, lurus, tanpa menyimpang ke kanan dan kiri.
Singkatnya, Soe Hok Gie memiliki pandangan yang teguh atau idealisme sendiri untuk tetap yakin berada di jalan perjuangan, meskipun ia harus kehilangan banyak teman dan orang yang dicintainya. Sejauh yang saya baca, teman-teman Gie banyak menjauhinya, musabab aksi yang ia lakukan sangat barbar. Keberanian yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang membuat posisi teman-temannya, yang notabene orang terdekat Gie, kian terancam karena sudah pasti menjadi sasaran dan masuk ke dalam radar para intel. Saya rasa Gie juga tahu ketakutan teman-temannya dan sudah pasti ia mengikhlaskannya. Sebab, hal itu demi kebaikan orang terdekatnya sendiri.
Teman-teman pembaca, cerita ini sudah mendekati akhir, sabar sejenak. Gie pernah berkata, "Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur." Dan benar saja, di akhir hidupnya, ia ditemukan terkapar tak berdaya di atap tertinggi Pulau Jawa, di Puncak Mahameru, Gunung Semeru. Ia dan salah seorang kawannya ditemukan tergeletak tak sadarkan diri, diduga karena tak sengaja menghirup gas beracun dari kawah gunung. Sampai saat ini, di Puncak Mahameru, namanya diabadikan di sebuah tugu kecil.
Oh iya, saya lupa menceritakan bahwa selain menulis, Gie juga suka mendaki gunung. Saya rasa, hal ini ia lakukan untuk melepaskan sejenak penat yang ia dera saat masifnya aksi yang ia lakukan. Gie sudah mendaki banyak gunung di Pulau Jawa. Sudah banyak puncak yang berhasil ia tapaki. Sedikit informasi, kecintaannya akan mendaki turut membuat ia dan kawan-kawan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA UI), yang sampai saat ini masih menjadi UKM di Universitas Indonesia.
Huh... entah mengapa, saat menulis kisah hidup tokoh yang saya suka, tiba-tiba diri ini sangat semangat sekaligus sedih karena mengingat perjuangan-perjuangan mereka yang tidak mudah. Soe Hok Gie mewariskan obor abadi perjuangan yang takkan pernah padam, karena sosok seperti ia pasti akan bermunculan dan terus berlipat ganda. Perjuangan tulus dalam mengkritik pemerintah juga ia abadikan lewat tulisan-tulisannya, termasuk karyanya yang paling fenomenal, yakni Catatan Seorang Demonstran, yang berisi tentang perjuangannya kala melakukan aksi.
Sebagai penutup, perjuangan Soe Hok Gie mengingatkan kita bahwa keberanian sejati bukan hanya soal melawan musuh yang tampak, tetapi juga berani menentang ketidakadilan meski harus melawan arus. Kehidupan dan perjuangannya mengajarkan kita bahwa mahasiswa bukan sekadar penerima kebijakan, tetapi juga agen perubahan yang harus berani berbicara, bertindak, dan melawan ketidakbenaran. Di tengah zaman yang terus berubah, semangat kritis Gie harus tetap hidup di dalam diri kita. Sebab, jika kita diam saja, kita akan kehilangan hak kita untuk memperbaiki masa depan. Warisan perjuangannya akan terus menginspirasi, memberi kekuatan bagi kita untuk terus berjuang demi kebenaran dan keadilan, apapun resikonya.
Teman-teman pembaca, saya rasa cukup sekian tulisan singkat mengenai kisah kehidupan Soe Hok Gie yang bisa saya bagikan. Bagi kalian yang ingin menggali lebih dalam tentang kehidupannya, saya sarankan untuk membaca berbagai sumber literatur yang tersedia di berbagai platform. Selain itu, untuk memahami lebih lanjut mengenai bentuk perlawanan dan kritik Gie terhadap pemerintah, kalian bisa membaca karya terkenalnya, Catatan Seorang Demonstran, yang menjadi judul sekaligus inti dari tulisan ini. Terima kasih. HIDUP MAHASISWA!
youtube
"Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus, tetapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka!" - Soe Hok Gie
4 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
"Meski racun-racunmu menjalar di jalan-jalan darahku, takkan sanggup membunuh kejujuran, juga keberanian."
Munir Said Thalib
Sebelumnya, saya pernah menulis kisah perjuangan Munir dari awal hingga akhir hayatnya. Teman-teman bisa membaca kisah tersebut di Medium saya. Klik tombol ini untuk membaca lebih lanjut.
1 note · View note
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
Niccolo Machiavelli
"Manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan hartanya."
Tumblr media
Tuan dan Nyonya, apakah Anda sekalian pernah mendengar bunyi kutipan di atas? Rasanya, hal itu terkesan berlebihan, namun ada benarnya. Kutipan tersebut digaungkan oleh Niccolò Machiavelli, seorang filsuf politik yang muncul pada zaman Renaisans. Di sini, saya tidak akan membahas pemikirannya secara mendalam. Saya hanya ingin menafsirkan ungkapan beliau. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai historis dan pemikiran politik Machiavelli, saya akan membahasnya di Medium saya. Anda bisa mengunjungi dan melihat tulisan-tulisan saya di sana. Klik tombol ini.
Kutipan Machiavelli di atas mungkin terdengar kontroversial dan salah satu dari Anda pasti akan membantah perkataan Machiavelli tersebut, "Ah, lebay amat, tidak sampai segitunya kali!" Namun, saya ingatkan bahwa kutipan ini jangan diinterpretasikan begitu saja tanpa melihat konteks dan makna yang dimaksud oleh Machiavelli. Karena kutipan tersebut sarat makna, dan di sini saya akan menyingkap apa yang dimaksud Machiavelli.
Dalam bukunya The Prince, Machiavelli menyoroti kecenderungan manusia yang lebih mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan materi atau kekuasaan dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau moral. Dengan kata lain, manusia lebih suka hal-hal yang berbau kekuasaan dan warisan yang bersifat materi, dan sudah pasti kebanyakan dari mereka (manusia) akan melakukan apa saja untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki saat ini dan di masa depan. Berbeda dengan faktor-faktor moralitas dan spiritual yang sering kali diabaikan, meskipun tidak seratus persen diabaikan, tetapi hal-hal yang bersifat duniawi lebih menggoda cacing di perut mereka. Tak jarang, banyak manusia yang menutup mata terhadap aspek moral atau spiritual agar kekuasaan atau bisnis yang mereka jalankan tetap tidak tergeser. Machiavelli bukan tanpa alasan mengatakan demikian, ia adalah ekspresi kekacauan dunia politik pada zamannya. Pemikiran dan tulisannya merupakan realitas yang terjadi di lapangan, tepatnya di ketek kekuasaan politik, di mana orang-orang sering saling menggulingkan satu sama lain untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya masing-masing. "Habis manis, sepah dibuang." Mungkin sebagian dari kita juga sudah sering melihat hal seperti itu terjadi di lingkungan kerja. Misalnya, ada karyawan yang merasa posisinya terancam dengan kehadiran karyawan lain, lalu ia mencoba tipu muslihat agar musuh yang ia benci segera dipecat, dan posisinya pun aman. Di dunia politik, apalagi, kita sering mendengar dongeng tentang calon kepala pemerintahan yang didukung oleh partai politik A, namun setelah terpilih dan ingin memperlebar sayap kekuasaannya, ia segera membelot ke partai yang lebih besar B agar kekuasaannya dan reputasinya kian terjamin. Hal beginian mah klise. Pengkhianatan sering terjadi di mana pun, dan percayalah, manusia akan lebih bengis daripada serigala ketika sedang menyusun rencana atas ambisi sesuatu yang jahat. Homo homini lupus. Apa itu moral? Entahlah. Yang ada hanya saling sikut. Hari ini kita satu tim, besok bisa saja jadi musuh.
Jika saya meminta para pembaca untuk melihat kondisi politik di negara kita, saya yakin Anda semua akan segera mafhum. Karena, ya, di sini tuh kelihatan banget. Saya jadi teringat kata Pak Basuki, Ahok, "Kalau mau tahu sifat asli seseorang, kasih ia jabatan!" Dan itu terbukti benar ketika melihat politisi-politisi di negara ini. Jilat sana, jilat sini. Mampir ke sini, melipir ke sana. Negara ini digerakkan oleh kepentingan, bukan perasaan. Mereka, para politisi, awalnya bisa berkata, "Ini demi rakyat, sepenuhnya saya akan mendengarkan keluh kesah rakyat." Tetapi setelah terpilih dan dihadapkan pada uang, mau ape, lu? Boro-boro mendengarkan rakyat, paling-paling mereka hanya mendengarkan pesanan dari atasan. Cuih. Maka dari itu, sebenarnya mudah untuk mengetahui sifat asli seseorang. Kita hanya perlu memperhatikan apa yang terjadi sebelum dan setelah ia mendapatkan sesuatu. Sesuatu di sini bermakna luas.
Dalam konteks ini, kutipan Machiavelli mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan materi sering kali menjadi godaan terbesar, yang dapat mengubah perilaku seseorang, terutama ketika mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Seperti yang disoroti oleh Machiavelli, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan posisi sering kali mengarah pada pengabaian moralitas dan pengkhianatan terhadap orang lain. Ini mencerminkan kenyataan bahwa dalam perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, manusia sering kali terjebak dalam sikap licik, manipulatif, dan egois.
Ya, saya sendiri tidak menganggap bahwa kutipan Machiavelli di atas menggeneralisasi bahwa semua orang itu jahat. Sama sekali tidak. Namun, yang menjadi perhatian adalah bagaimana manusia sering kali jatuh ke dalam jurang dosa karena sifat egois yang, menurut saya, memang sudah tertanam dalam diri setiap manusia. Tinggal bagaimana dengan spiritualitas dan iman kita masing-masing, apakah kita mampu untuk meredam sifat egois tersebut? Jika tidak, maka yang terjadi akan sama seperti di negeri konoha ini. Bangsat!
Tumblr media
3 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
Hubungan antara penderitaan dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa
"Semakin gelap malam, semakin terang bintang-bintang. Semakin dalam kesedihan, semakin dekat dengan Tuhan!" - Fyodor Dostoevsky
Tumblr media
Sering kali kita merasa bahwa gelapnya malam justru menimbulkan suasana yang mencekam atau menakutkan. Namun, perlu kita ketahui bahwa di saat malam sedang gelap-gelapnya, di saat itulah bintang-bintang menunjukkan tajinya untuk bersinar secerah-cerahnya. Begitu pula dengan kehidupan. Ketika kita sedang jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar lubang kesedihan yang paling dalam, saat itulah ketenangan dan jawaban-jawaban yang kita perlukan tiba-tiba muncul, melegakan hati kita yang sedang gusar. Di saat ingin menyerah, entah mengapa, terkadang muncul kehangatan yang seolah merangkul kita yang sedang dihantam peliknya persoalan. Ya, benar, Tuhan tidak tidur. Ia mendengar setiap jeritan, Ia melihat setiap air mata yang menetes deras membasuhi pipi, seolah datang untuk menemani kita yang sedang dalam kesusahan. Saya pribadi tidak tahu kekuatan seperti apa ini. Saya pernah merasakannya, semacam kegilaan ilahi yang tak bisa dijelaskan, namun yang pasti, saya rasa sebagian dari kita juga pernah merasakannya.
Kadang, saat kita berada dalam kegelapan, rasanya seperti tidak ada harapan lagi dan segala sesuatunya terasa begitu berat. Namun, justru pada saat-saat seperti itu, kita bisa merasakan betapa berharganya setiap titik cahaya yang datang, baik itu dalam bentuk kebahagiaan, kedamaian, atau pencerahan yang tak terduga. Kegelapan malam memang bisa menakutkan, tetapi ketika bintang-bintang muncul, mereka memberi kita perspektif baru bahwa selalu ada harapan, meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun.
Terkadang, kita memang perlu melewati masa-masa gelap agar bisa menghargai secercah cahaya yang muncul, bukan?
Sejauh apapun manusia berlari, sejago apapun mereka menggunakan akalnya, sebanyak apapun mereka menghitung ini-itu, mereka tidak akan pernah bisa menolak kenyataan bahwa mereka tetap membutuhkan Tuhan dalam hidup mereka. Saya rasa, sudah menjadi kodrat manusia itu sendiri: ketika sedang dalam kesusahan, ia pasti membutuhkan tempat untuk mengadu, tempat yang begitu hangat untuk bersandar.
2 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
Kebijaksanaan Epictetus
"Setiap manusia adalah aktor dalam sebuah lakon, di mana Tuhan telah menetapkan peran-peran: adalah tugas kita untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya, apapun peran itu."
Saya mendapat kutipan ini ketika sedang membaca buku Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell, di subbab stoikisme, tepatnya pada pemikiran Epictetus. Saya tertegun, lalu mencoba memaknai dalam-dalam kalimat di atas. Epictetus benar, kutipan tersebut menyadarkan saya bahwa kita, manusia, telah diberi mandat oleh Tuhan, Sang Pencipta, untuk menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab dan rasa syukur, tak peduli betapa pun sulit dan kerasnya kehidupan yang kita jalani, karena bisa saja ujian dan tantangan yang kita hadapi saat ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mengasah kebijaksanaan, seperti yang tertuang dalam ajaran kaum stoa.
2 notes · View notes
agitoyacobsonsitepu · 5 months ago
Text
Kacamata Bocah Jurusan Filsafat dalam Melihat Keberadaan Tuhan
Tumblr media
“Tuhan itu enggak ada! Lagi pula, zaman sudah canggih begini, di mana-mana sudah dibuktikan lewat penelitian, masih saja ada yang percaya hal begituan. Melek sains dikit, dong!” Pfttt… Sontak, kopi yang baru saja kutenggak langsung ku hemburkan, usai tak sengaja menguping percakapan salah seorang mahasiswa yang kurasa sedang panas memperdebatkan, ‘apakah Tuhan itu ada atau tidak.’ Huh… Aku tidak ingin menghakimi orang yang mengatakan demikian, tetapi yang ingin kutahu adalah, apakah ia memiliki alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, atau mungkin hanya karena Tuhan tidak terlihat, maka ia berpendapat seperti itu. Hadeh… Tapi tak mengapa. Pernyataan yang ia lontarkan barusan masih kumaklumi. Mengapa tidak? Aku sendiri masih bingung bagaimana menjelaskan bahwa Tuhan itu ada atau tidak, apa yang membuat Tuhan ada, apa yang dapat membuktikannya, apakah ada makhluk atau entitas sebelum Tuhan, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap terlintas di benakku dan sering ditanyakan kepadaku, yang kebetulan anak jurusan filsafat.
“Eh, kamu percaya Tuhan itu ada, ga?” tanya seorang teman.
“Kamu ga salah tuh, nanya begituan ke anak filsafat? Halaman buku yang mereka baca lebih tebal dibanding kepercayaan mereka tentang adanya Tuhan,” jawab temanku yang lain.
Aku tidak sempat menjawab. Wajahku kini datar. Pembaca yang budiman bisa membayangkan wajah datar Squidward ketika ia sudah pasrah melihat kelakuan usil SpongeBob dan Patrick. Kurang lebih, saat itu, wajahku sama datarnya. Hal yang bisa kulakukan adalah menghela napas dalam-dalam, kemudian menjawab dalam hati, “Aku masih percaya bahwa Tuhan itu ada, ya, Tuhan itu ada!”
Baiklah, sekarang pembaca mungkin bertanya, apa dasar argumen saya ketika mengatakan bahwa ‘Tuhan itu ada’. Tuan dan Nyonya, izinkan hambamu ini menjelaskan sedikit yang ia ketahui terkait pernyataan tersebut. Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan diri. Saya Agito, mahasiswa jurusan filsafat di sebuah universitas ecek-ecek di Yogyakarta. Kebetulan, saya masih semester dua, pengetahuan saya masih teramat sedikit. Bahkan, saya berani mengatakan bahwa saya tidak tahu apa-apa bak Socrates. Pembahasan saya tentang ketuhanan kali ini cukup nekat, karena saya belum mengambil mata kuliah filsafat ketuhanan ataupun filsafat agama. Oleh karena itu, saya hanya akan mengupas pernyataan “Tuhan itu ada” sampai pada lapisan luar, tidak sampai pada inti yang lebih dalam. Saya harap pembaca dapat memahami tulisan saya yang sedikit filosofis ini. Dan terakhir, saya memohon kepada pembaca untuk segera mengoreksi atau membantah jikalau argumen yang saya utarakan dalam tulisan ini cenderung bias, karena saya tegaskan sekali lagi, pengetahuan saya masih sangat terbatas.
Hukum Kausalitas
Keberadaan Tuhan dapat dibuktikan melalui hukum sebab-akibat. Para teolog dan filsuf sering menggunakan hukum ini dalam mencari keberadaan sesuatu yang bersifat metafisik. Pertama, saya dan pembaca harus sepakat terlebih dahulu bahwa Tuhan tidak dapat dilihat oleh pancaindra; dengan kata lain, Tuhan adalah sesuatu yang tak kasat mata (nonfisik). Maka, bagaimana kita dapat membuktikan sesuatu itu ada atau tidak, sedangkan ia tidak dapat kita lihat melalui pancaindra kita? Walaupun demikian, kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena Ia tidak terlihat. Saya tegaskan bahwa sesuatu yang tidak terlihat belum tentu tidak ada. Berbeda dengan benda-benda fisik yang dapat diteliti dan diukur melalui penelitian dan observasi inderawi, cara-cara tersebut tidak dapat diterapkan untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
Menurut saya, cara yang paling mudah untuk mengetahui keberadaan Tuhan adalah dengan menggunakan rasio atau menalar hukum sebab-akibat. Melalui hukum sebab-akibat, kita dapat meyakini bahwa Tuhan benar adanya, dengan rasio sebagai alat pemahaman. Pembaca yang budiman pasti sepakat dengan saya ketika saya mengatakan bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya. Sekarang saya bertanya, ketika alam semesta ini bermula, apa sebab utama di balik terciptanya alam semesta ini? Kita akan memposisikan alam semesta sebagai ‘akibat’, lalu sebab yang menyebabkan terciptanya akibat (alam semesta) ini apa?
Tumblr media
Contohnya seperti ini: coba kita perhatikan sebuah jam atau benda apapun. Apakah jam atau benda yang kita lihat sekarang tercipta begitu saja? Duarr…..Langsung ada sebuah jam di depan mata kita. Tentu tidak, kan? Jam tersebut ada karena ‘ada’ yang menciptakannya. Dengan demikian, mustahil sebuah jam bisa ada di bumi ini tanpa adanya seorang pembuat atau penemu jam. Coba bayangkan, Anda melihat sebuah lahan kosong di depan rumah atau kos Anda. Setelah setahun mengurung diri di rumah, lalu Anda keluar dan melihat lahan yang semula kosong berubah menjadi sebuah rumah. Apakah rumah tersebut datang begitu saja? Tanpa ada yang membangunnya, tiba-tiba duarrrr… terbangun sebuah rumah. Tidak, kan? Pasti ada yang membangun rumah tersebut, atau ada sebab yang menyebabkan bahwa sebuah rumah telah dibangun di lahan kosong tersebut.
“Saya selalu yakin bahwa sebuah jam membuktikan keberadaan pembuat jam dan alam semesta membuktikan keberadaan Tuhan.” — Voltaire
Keberadaan jam tidak muncul secara tidak sengaja atau dengan sendirinya tercipta begitu saja, tetapi jam tersebut ‘ada’ melalui hasil kerja yang disengaja dari seorang pembuat jam yang terampil. Begitu pula dengan alam semesta, tidak mungkin muncul secara tidak sengaja atau dengan sendirinya, tetapi alam semesta tercipta melalui hasil kerja yang disengaja oleh seorang perancang yang cerdas, yakni Tuhan.
Sampai di sini, saya harap pembaca dapat memahami pendekatan sebab-akibat yang telah dijelaskan. Silakan para pembaca yang budiman menyimpulkannya sendiri.
Tumblr media
Baik, izinkan saya menebak pikiran yang ada di benak para pembaca. Pasti salah satu di antara kalian bertanya atau merasa bingung, jika alam semesta disebabkan oleh Tuhan, lalu siapa yang menyebabkan Tuhan itu sendiri? Jika alam semesta ini diciptakan oleh perancang hebat, yakni Tuhan, maka siapa yang menciptakan Tuhan, yang notabene adalah pencipta dari segala sesuatu? Mari kita gunakan rumus Thomas Aquinas dan Aristoteles. Tuhan sebagai causa prima. Apa itu? Tuhan dikatakan sebagai causa prima karena Tuhan adalah sebab awal dan murni yang tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang lain. Sebagai pencipta segala sesuatu, Tuhan ada dengan sendirinya. Ia kekal, sudah pasti ia merupakan awal sekaligus akhir. Ia adalah penyebab pertama dan utama dari segala sesuatu, tanpa diawali atau diakhiri oleh faktor-faktor lain. Sumber paling awal yang tidak memiliki awal.
Teman-teman bisa membayangkan, jika Tuhan bukanlah awal dan masih ada awal yang lain dari Tuhan itu sendiri, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai Tuhan, karena otomatis ia tidak kekal. Aristoteles dalam konsep kosmologisnya mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di jagat raya saling menggerakkan satu sama lain. Setiap yang bergerak, menerima gerak dari sesuatu yang lain. Begitulah, menggerakkan dan digerakkan ini berantai terus-menerus. Namun, mustahil bahwa gerak menggerakkan ini tak berujung, maka pasti ada penggerak pertama, sesuatu yang tidak digerakkan. Sudah pasti jawabannya adalah Tuhan. Karena sifat Tuhan adalah immaterial dan nonjasmani, berbeda dengan benda-benda yang bersifat materi, yang sudah pasti mempunyai potensi untuk bergerak. Namun, Tuhan tidak mungkin digerakkan karena Ia nonjasmani (immaterial). Maka dari itu, Tuhan sebagai penggerak pertama yang tidak digerakkan sudah jelas adanya.
Tumblr media
Huh… tulisan ini mulai terasa berat. Maafkan saya, sebagai penulis, saya masih belum paham betul bagaimana menyederhanakan tulisan yang bersinggungan dengan filsafat. Memang sih, penjelasan-penjelasan filsafat itu cenderung berat dan bisa membuat muak para pembaca. Oleh karena itu, jika tulisan ini belum dipahami, pembaca boleh rehat sejenak dengan mendengarkan sebuah lagu di Spotify. Saya merekomendasikan lagu-lagunya Michael Learns to Rock biar terasa lebih plonggg… Kalau dirasa mendengarkan lagu saja tidak cukup, pembaca juga bisa mencoba memejamkan mata selama 1–2 menit. Mungkin ini bisa menjadi solusi untuk merehatkan otak sejenak. Setelah itu, pembaca boleh melanjutkan membaca tulisan saya ini. Hehe.
Serba-serbi terkait keberadaan Tuhan
Yap, apakah teman-teman pembaca pernah mendengar atau melihat berita tentang seseorang yang mengaku pernah melihat wujud Tuhan secara fisik? Ada juga yang mengaku pernah dijumpai Tuhan saat berjalan di malam hari, dan Tuhan muncul dengan perawakan yang besar. Apakah manusia benar-benar bisa melihat keberadaan Tuhan lewat pancaindra dan tahu wujud asli-Nya seperti apa? Menurut saya, manusia tidak bisa melihat keberadaan Tuhan secara fisik. Maka, jika ada yang mengaku bahwa ia pernah berjumpa langsung dengan Tuhan, saya jamin ia sedang berbohong. Mengapa demikian?
Manusia memang dikatakan sempurna, tetapi itu hanya berlaku bila manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Namun, jika kita sesempurna itu, seharusnya kita bisa melihat Tuhan secara langsung. Saya ingin memberitahu bahwa pancaindra manusia itu terbatas, hanya dapat mengakses apa yang ada di ruang dan waktu. Sedangkan Tuhan ada di mana? Ia berada di luar ruang dan waktu. Maka, mustahil manusia dapat melihat Tuhan secara langsung dengan matanya. Mata manusia tidak bisa melihat sesuatu yang begitu besar, begitu kecil, begitu jauh, dan begitu dekat. Kita (manusia) dianugerahi keterbatasan yang berasal dari Tuhan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin kita yang terbatas mampu melihat sesuatu yang tak terbatas?
Dan saya rasa, Tuhan juga tidak mungkin menampakkan diri-Nya kepada kita yang penuh kecacatan di sana sini. Jika Tuhan yang tak terbatas menunjukkan diri-Nya kepada kita yang terbatas, otomatis Ia juga menjadi terbatas seperti kita, karena Ia mampu dilihat oleh kita, manusia, yang terbatas. Begitu juga sebaliknya. Maka, Tuhan mungkin tidak akan menggunakan kehendak-Nya untuk menghilangkan sifat-sifat kemahakuasaan-Nya jika tidak ada alasan dan tujuan yang kuat.
Pada akhirnya, pengetahuan manusia tentang Tuhan hanya akan berujung pada ketidaktahuan, ini yang dikatakan St. Agustinus, bukan saya. Karena, seperti yang kita sepakati di awal, Tuhan itu nonfisik, jadi bagaimana mungkin dapat dilihat oleh fisik (manusia)? Keberadaan Tuhan saja sudah berada di luar ruang dan waktu, tentu hal ini sudah menutup kemungkinan bagi manusia untuk melakukan pembuktian ilmiah mengenai keberadaan-Nya. Itu sama saja seperti karakter-karakter di film SpongeBob yang sedang berdiskusi: “Eh, siapa sih yang sebenarnya menciptakan atau menggambarkan kita?” Kalau si penulis atau penggambar film SpongeBob tidak mau menampakkan dirinya, maka si SpongeBob, Patrick, Squidward, dan kawan-kawan pasti tidak akan mengetahui siapa yang menciptakan atau menggambarkan mereka.
Tumblr media
Dan saya tegaskan, seluruh jagat raya dipenuhi oleh misteri, sebab faktor transenden di luar ruang dan waktu adalah fenomena yang tak dapat dinalar secara sempurna oleh manusia, kalaupun bisa, pasti mengandung kecacatan. Sekali lagi, jika sang penulis tidak mau memperkenalkan dirinya, sudah barang tentu kita, manusia, tak akan tahu seperti apa wujud fisik dan asal Tuhan itu sendiri. Di tengah kengerian ini, segala sesuatu yang diselimuti misteri disebabkan oleh keterbatasan manusia. Seharusnya, kepercayaan kita semakin kuat bahwa ada sesuatu yang tak terbatas, yaitu Tuhan, dengan segala kemahakuasaan-Nya. Menurut saya, agak aneh jika hanya sesuatu terbatas yang ada, padahal segala sesuatu di bumi ini terdiri dari dualitas: panas dan dingin, siang dan malam, basah dan kering, gelap dan terang, hidup dan mati, senang dan sedih, dan sebagainya. Tentu saja, yang terbatas ini hanya bisa beriringan dengan yang tak terbatas, bukan? Hehe, sedikit cocoklogi dari seorang anak filsafat yang masih prematur.
Pembaca yang saya hormati, di semester pertama kemarin, saya mengenal salah satu filsuf aliran rasionalisme, yaitu René Descartes. Ia terkenal dengan ungkapan “Cogito ergo sum” — Aku berpikir maka aku ada. Awalnya, ungkapan ini ia gunakan untuk membuktikan keberadaan dirinya di dunia. Kita harus meragukan segala sesuatu, tetapi satu hal yang tidak bisa kita ragukan adalah keberadaan diri kita yang sedang ragu-ragu. Baiklah, saya cukupkan pembahasan ini agar tidak melenceng terlalu jauh.
Descartes kemudian membuktikan adanya Tuhan melalui argumennya yang mengatakan bahwa kita, sebagai manusia, memiliki kapasitas untuk berpikir secara terbatas. Namun, bagaimana mungkin ide tentang Tuhan yang tak terbatas dan begitu sempurna muncul pertama kali dalam benak kita? Descartes beranggapan bahwa ide tentang Tuhan yang tak terbatas ini tidak mungkin berasal dari diri manusia yang terbatas, sehingga harus ada entitas yang jauh lebih tinggi derajatnya — yaitu Tuhan — yang menanamkan ide tersebut dalam pikiran kita. Menurut saya, pemikiran Descartes tentang eksistensi Tuhan mirip dengan pemikiran Justinus Martyr, seorang tokoh Patristik, yang mengatakan bahwa Allah menanamkan benih logos dalam pikiran setiap manusia, sehingga mereka memiliki ide tentang Tuhan itu sendiri.
Namun, kembali lagi, ide manusia tentang Tuhan bisa dibilang masih parsial. Manusia masih terus mencari sana-sini, bertanya ini-itu, dan berpikir apa saja untuk memuaskan ketidaktahuannya terkait keberadaan Tuhan yang penuh misteri. Padahal, jika Tuhan sudah memutuskan untuk tidak menampakkan diri-Nya — seperti analogi antara penulis dan karakter Spongebob yang saya sampaikan sebelumnya — maka pengetahuan manusia tentang Tuhan hanya akan berujung pada ketidaktahuan, seperti yang dikatakan oleh St. Agustinus. Semakin abstrak dan tak jelas konsep Tuhan dalam pikiran manusia, maka perkataan Tertullianus mungkin akan semakin menarik perhatian: “Credo quia absurdum est,” — Aku percaya karena itu tidak masuk akal. Justru karena tak masuk akal, saya semakin percaya.
Bagaimana menurut teman-teman ? Sampai di sini, pasti bingung, kan? Sama, saya juga bingung ketika sedang menulis ini. Nanti tidak bingung lagi, kalau sudah berada di surga. Eh!?
Tumblr media
Teman-teman, saya sudah lelah mengatakan bahwa manusia itu sebegitu terbatasnya. Baik melalui pancaindra maupun rasio, saya rasa manusia tidak bisa 100% menggambarkan atau menafsirkan secara utuh Tuhan yang agung. Namun, di balik gelar manusia sebagai makhluk multidimensional yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa, kita tidak boleh melupakan salah satu aspek penting, yaitu iman. “Credo ut intelligam” — aku beriman maka aku mengerti. Istilah ini dikemukakan oleh filsuf Kristen, Anselmus. Ia mengatakan bahwa untuk memahami Tuhan sepenuhnya, seseorang harus terlebih dahulu memiliki iman kepada-Nya. Iman adalah langkah pertama bagi manusia untuk mengetahui kebenaran, yaitu Tuhan. Iman mendahului pengetahuan, dan melalui iman, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.
Begitu juga dengan kata Kierkegaard, iman didasarkan pada keyakinan yang mendalam dan penuh komitmen. Meskipun kita seringkali mengingkari keberadaan sesuatu hanya karena kita tidak dapat menerimanya secara logika, Kierkegaard mengatakan iman merupakan aspek yang penting bagi mereka yang memilih untuk percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya. Saya lupa kutipan ini terletak di kitab apa, namun yang jelas kutipan ini mengandung pesan tentang kekuatan iman yang tidak bergantung pada bukti empiris atau penglihatan indrawi, melainkan keyakinan yang tulus meskipun kita tidak dapat melihat-Nya secara fisik.
Dengan iman, kita dipanggil untuk mempercayai sesuatu yang lebih besar dari sekadar apa yang tampak di depan mata, dan untuk menerima bahwa iman sejati seringkali melibatkan ketidakpastian, pengharapan, dan kepercayaan tanpa bukti konkret. Iman memungkinkan manusia merasakan kehadiran Tuhan meskipun tidak secara langsung melihat-Nya. Karena jika kita memiliki iman yang kuat, Tuhan itu tidak di mana-mana; Dia berada di setiap hati manusia yang penuh pengharapan kepada-Nya.
Duh… sudah seperti khotbah pendeta di hari Minggu saja, nih.
Tumblr media
Teman-teman, ada sebuah alasan pragmatis yang ditawarkan oleh Blaise Pascal terkait keberadaan Tuhan, yang dikenal dengan “Taruhan Pascal”. Ia menyadari bahwa keberadaan Tuhan sangat sulit untuk dijelaskan secara rasional. Oleh karena itu, ia memilih alasan yang lebih praktis untuk mempercayai Tuhan. Inti dari taruhan tersebut adalah sebagai berikut: jika kita percaya bahwa Tuhan itu ada, dan setelah kita mati ternyata kita tidak menemukan bahwa Tuhan itu ada, maka kita tidak akan rugi banyak. Kita hanya mengorbankan sedikit waktu di dunia untuk menaati perintah-Nya. Tetapi, jika setelah mati kita mendapati bahwa Tuhan benar-benar ada, bukankah kita akan memperoleh surga karena sebelumnya kita telah percaya dan mengikuti firman-Nya?
Sekarang, saya bertanya: jika kita tidak percaya kepada Tuhan, acuh terhadap perintah-perintah-Nya, mati-matian mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, dan ternyata setelah mati kita mendapati bahwa Tuhan itu benar-benar ada, apakah masih ada waktu untuk menyesal karena tidak percaya sebelumnya? Tentu saja, panasnya api neraka sudah menunggu. Emang sih, kalau disuruh milih secara rasional, saya rasa kebanyakan dari kita mungkin memilih untuk percaya kepada Tuhan, toh jika ternyata Tuhan tidak ada setelah kita mati, kita tidak akan kehilangan apa-apa. Tetapi, kalau kita memilih untuk tidak percaya, lalu ternyata Tuhan malah ada setelah kita mati… Eh, bukankah malah gawat?
Taruhan Pascal ini memang cukup menggelitik. Ternyata, ada orang yang sudah memikirkan konsep praktis seperti ini sebelumnya, sungguh menarik. Namun, ada kritik yang perlu saya sampaikan: jika banyak orang memutuskan untuk percaya kepada Tuhan hanya berdasarkan alasan praktis seperti di atas, saya rasa itu kuranglah tepat. Sebab, untuk benar-benar mempercayai Tuhan, kita membutuhkan iman dan pengharapan yang tulus, bukan hanya karena alasan praktis yang bersifat ada maunya. Walaupun begitu, tidak bisa dimungkiri bahwa Taruhan Pascal ini memang bisa menjadi bahan pertimbangan, meski sebaiknya kita tidak hanya berhenti di sana.
Tumblr media
Teman-teman, saya cukupkan tulisan saya di sini. Oh ya, saya ingin memberitahukan bahwa ide untuk menulis tulisan bertemakan seperti ini muncul ketika saya sedang kuliah aksiologi bersama Pak Arqom. Penjelasan yang beliau sampaikan sungguh membuka cakrawala pengetahuan saya yang semula rapat, kini sudah terbuka meskipun masih sedikit. Terima kasih, Pak Arqom!
Sekedar memberitahukan, tulisan saya selanjutnya akan membahas ungkapan “Tuhan telah mati, dan kita telah membunuhnya,” sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Jerman yang kontroversial, Friedrich Nietzsche. Dalam tulisan tersebut, saya juga akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan bernada ateistik dan cacat logika terkait keberadaan Tuhan. Saya merasa jika semua itu saya tulis di sini, kamu mungkin akan jenuh membacanya. Selain itu, saya juga akan membahas kritik Kierkegaard terhadap gereja di Denmark pada masanya. Oke, cukup sekian. Terima kasih sekali lagi.
4 notes · View notes