Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo

-kepergianmu- #selamattinggal #quotebaper #katakataku #puisikita #ceritacinta
11 notes
·
View notes
Photo

I heart you ❣️ #quotesindo #quotebaper #puisikita #katakataku #katabaper
0 notes
Photo

Where are you? #tulisanku #katakataku #quotesindo #quotebaper #puisikita
0 notes
Text
Kamu yang Memilih Patah Hati
Tak ada yg benar benar ingin memilih untuk patah hati. Tapi rupanya patah hati itu pilihan. Patah hati itu dipilih. Sadar ataupun spontan, ingin ataupun menolak, sengaja ataupun tidak. Patah hati itu dipilih. Ketika kamu memilih menunggu yang tak pernah menyuruhmu menunggu, Padahal kamu bisa saja berlalu. Ketika kamu tetap mencintai seseorang yang bukan milikmu, Padahal kamu tinggal memilih satu dari yang menginginkanmu. Ketika kamu tetap berharap pada masalalumu, Padahal yang di depanmu jauh lebih baik dan jelas mencintaimu. Ketika kamu tetap bertahan dengan ketidakpastian, Padahal ada seseorang yg dengan pasti akan ada untukmu. Ketika kamu tetap bersikukuh setelah ditinggalkan tanpa selamat tinggal, Padahal ada yg menunggumu meski tanpa kamu minta. Patah hati itu pilihan, tapi tak ada yg benar-benar ingin patah hati. Patah hati itu, kamu yang memilih.
1 note
·
View note
Text
Prasangka
Kadang emang agak sulit ngedaliin suatu pikiran ke orang yg jadi objek perhatian. Padahal yg ditau dan info yg didapet cuma dari medsos, tanpa klarifikasi yg sejelas-jelasnya. But, we never know apa yg sebener-benernya terjadi dan yg dirasakan oleh org yang bersangkutan.
"Ah dia mah kan gitu."
"Tuhkan kata aku juga."
"Jadi orang ko gitu amat sih."
"Ih dia ya."
"Ko dia gini bgt sih orangnya."
Dan ah ih uh eh oh lainnya.
Pernah gak sih nyeselin karena udah berprasangka ke org? Atau making your own conclusion hanya karena liat sosmed? Cause, i'm one of them. Yg berprasangka buruk ke orang lalu nyesel sendiri karena bikin keputusan seenaknya dan berbuat tanpa tau kejadian yg sebenernya. Nyesel senyesel nyeselnya sampe malu sendiri atas apa yg udah dilakuin.
Takut jadi dibenci karena bertindak bodoh tanpa nanya dan mau tau penjelasan. Takut jadi punya hubungan yg buruk. Takut jadi malah bikin jarak yg harusnya gak ada. Dan kapok, udah making own conclusion.
Tapi setelah tau semua penjelasannya? Semua pengertiannya? Malah jadi malu sendiri. Ngerasa, omg udah bodoh bgt ngelakuin itu, coba dulu gak gini, coba dulu gak suudzon, dan pikiran lain yg emang bikin ngerasa bersalah.
Tapi Allah Maha Baik :'), yg aku takutin yg aku khawatirin malah gak kejadian sama sekali. Malah jadi tamparan karena org yg bersangkutan tetep bersikap baik dan malahan being a big supporter.
Terimakasih buat kamu, org yg bersangkutan, yg pernah disuudzonin dgn prasangka yg enggak-enggak, terimakasih sekali dan once again, forgive me❤️️
1 note
·
View note
Text
Kemandirian Anak: Usaha Memperkenalkan (Bagian 2)
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan dua hal yang biasanya tertinggal ketika membahas tentang kemandirian anak: perkembangan anak dan penerimaan terhadap emosi anak. Selanjutnya barulah pembahasan utama mengenai usaha memperkenalkan kemandirian kepada anak dijabarkan.
We becomes ourselves through others

Setiap anak akan mengalami perkembangan yang sesuai dengan usia mereka masing-masing. Akan tetapi, perkembangan ini bisa dioptimalkan dengan pemberian stimulus dari orang tua atau pengasuh mereka. Termasuk di dalamnya perihal kemandirian. Ada beberapa metode yang bisa dilakukan untuk merangsang terbentuknya perilaku mandiri pada anak-anak.
1. Be playful
Ingat, anak-anak di usia pre-school sedang berada pada masa bermain, sehingga memperkenalkan ide atau perilaku baru (tentunya baik) sudah seharusnya dilakukan dalam nuansa yang menyenangkan. Seakan-akan sedang berada di suatu permainan. Banyak orang tua yang mengeluhkan betapa sulitnya mengajarkan anak mereka untuk membereskan kembali mainan setelah selesai bermain.
Ayo jangan lupa mainannya dibereskan.
Atau malah ditambah sedikit ancaman.
Kalau mainannya tidak dibereskan kita tidak jadi jalan-jalan sore ini.
Dua contoh ini, terutama cara yang terakhir tentu saja tak sesuai dengan usia perkembangan anak-anak: tidak playful dan memasukkan konsep kausalitas.
Lalu bagaimana?
Buat seolah-olah kamu sedang dalam permainan cepet-cepetan memasukkan mainan ke dalam keranjang.
Ayo kita lomba siapa yang lebih banyak memasukkan mainan dalam waktu sepuluh detik ke dalam keranjang. Satu… dua… tiga….
Beberapa orang tua juga sering mengeluh karena anaknya belum juga bisa makan sendiri. Waktu makan seakan menjadi medan tempur rutin antara anak dan orang tua atau pengasuhnya. Anak kekeuh tidak mau makan jika tidak disuapi, sementara orang tua atau pengasuh ingin agar anak bisa makan sendiri. Sebagaimana perang, tentu keributan akan pecah. Anak menangis, dan waktu makan makin terasosiasi sebagai waktu yang tak menyenangkan.
Tentu kondisi seperti ini tak diinginkan. Padahal jika orang tua atau pengasuh mengetahui bahwa pada usia bermain, anak-anak senang sekali melakukan pretend play. Buatlah seolah-olah alat makanan mereka bersuara.
Halo, aku Pino, piring kamu. Halo, aku Sindi, sendok kamu. Aku pengen deh dipegang sama kamu kalau kamu makan.
Akan lebih afdal jika suaramu ketika membuat piring dan sendok itu berbicara dengan menggunakan suaramu yang paling aneh. Bawahanmu mungkin perlu suara berwibawamu untuk membuat mereka respect, tetapi anakmu tentu tak membutuhkan itu, hehehe.
2. Over a choice
Sadar atau tidak, setiap kali kita memiliki “mainan” baru kita sangat asyik memainkannya. Begitu juga dengan anak-anak di usia pre-school ini. Mereka baru saja belajar bahwa mereka memiliki will, keinginan sendiri. Jadi, semua hal yang tak sesuai dengan keinginan mereka akan mereka respon dengan “TIDAK”.
Ayo berbaris sebelum masuk ke kelas.
TIDAK.
Ayo sebelum tidur sikat gigi dahulu.
TIDAK.
Dan banyak TIDAK-TIDAK yang lain.
Ketimbang melawan kecenderungan ini, lebih baik jika kita memanfaatkan “ilusi” keinginan sendiri tadi untuk membiasakan mereka berperilaku baik.
Kamu mau sikat giginya sekarang atau setelah bermain dahulu selama 10 menit?
Kamu mau sarapannya setelah mandi atau sebelum mandi?
Tentu saja perlu diperhatikan pilihan-pilihan yang diberikan menyenangkan untuk kedua pihak, orang tua atau pengasuh dan anak. Dan jangan pernah tidak melakukan pilihan yang telah ditawarkan.
3. Put the child in charge
Di @sbmatahari selalu ada momen
Siapa yang hari ini mau membantu kakak untuk membagikan krayon dan kertas kepada teman-temannya?
Siapa yang mau membantu membariskan teman-temannya?
Dan momen itu tak pernah dilewatkan oleh adik-adik Sekolah Bermain Matahari untuk mengacung tangan, bahkan beberapa langsung menuju ke depan kakak guru yang bertanya.
Usia pre-school adalah masa ketika anak sedang mengembangkan self control dan self esteem. Memberi mereka tanggung jawab untuk melakukan sesuatu adalah usaha yang tepat untuk mengembangkan dua kemampuan tadi.
4. Inspire the child how to make amends
Jangan biarkan waktu bersama anak tanpa ada pembelajaran buat mereka. Bahkan ketika mereka melakukan kesalahan. Cara terbaik untuk menunjukkan kepada anak melakukan hal yang lebih baik di kemudian hari adalah dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan hal yang lebih baik saat ini.
Kita tentu tak perlu berceramah kepada seorang anak, “manusia terbaik bukanlah yang tak pernah melakukan kesalahan, manusia terbaik adalah yang ketika ia melakukan kesalahan ia segera memperbaiki kesalahan itu dan mengambil pembelajaran darinya.”
Dan tentu juga respon seperti ini tak juga tepat,
Sudah dibilang dari tadi, jangan bermain bola di dalam rumah. Lihat pecahkan vasnya.”
Sama sekali tidak ada inspirasi kepada anak untuk membuat penebusan pada kesalahan yang telah ia lakukan. Kesalahan tetaplah menjadi kesalahan. Sudah terjadi. Akan tetapi sebagai orang tua atau pengasuh kita harus menangkap keadaan ini sebagai momen pembelajaran untuk anak sehingga ia bisa menerapkan di kemudian hari.
Aku melihat ada vas yang pecah di ruangan ini, apa yang bisa kita lakukan agar kaki orang tak terluka?
Berikan ia stimulus untuk berpikir bagaimana menyelesaikan masalah, bukannya mencari alasan-alasan untuk menghindari tanggung jawab. Jika kamu berpikir bahwa anak-anak di usia mereka belum bisa berkata tidak jujur untuk menutupi kesalahan, kamu sebaiknya lebih banyak goggling.
5. Try problem solving
Ketimbang metode sebelumnya, cara ini sedikit lebih kompleks. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan:
Sampaikan apa yang kamu tahu tentang perasaan mereka
Lagi-lagi ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Seremeh apapun hal yang mereka rasakan, hormati itu. Seaneh apapun alasan yang mereka utarakan, hargai itu. Entahkah mereka setiap pergi ke luar rumah maunya hanya memakai baju itu dan baju itu lagi. Entahkan ketika bermain di luar rumah tak mau memakai alas kaki. Entahkah ketika ikut berbelanja ia meminta barang yang tak ada di list belanja.
Menerima emosi mereka membuat mereka merasa lebih baik. Ketika perasaan mereka lebih baik, banyak hal-hal baik yang bisa serap dan pelajari.
Jelaskan masalahnya
Jelaskan kepada anak mengapa apa-apa yang ia lakukan tidak kamu sukai.
Aku tahu kamu sangaat suka sekali makan permen, tapi aku tidak suka anakku memiliki gigi yang berlubang.
Tanya ide mereka
Bertanya ide mereka berarti menghargai mereka. Menempatkan mereka pada posisi yang juga bertanggung jawab dan tentu bisa meningkatkan konsep diri yang baik dan harga diri yang positif.
Akan lebih baik jika ide anak dan idemu semua dicatat tanpa ada komentar terlebih dahulu. Anak tak harus sudah bisa membaca untuk kamu perlu melakukan ini. Menuliskan ide anak ke kertas, menunjukkan bahwa apa-apa yang mereka sampaikan benar-benar kamu hargai dan setara dengan pendapatmu
Selain di dinding kamu mau menggambar di mana?
Di pagar rumah
Di kertas gambar
Di badan adik
Di bawah meja makan
Pilih ide yang kalian suka
Dari sekian ide itu pilihlah yang paling mungkin dilakukan dan menyenangkan untuk semua pihak. Tentu itu idealnya. Jika ternyata ide-ide yang disampaikan oleh anak tak mungkin dilakukan, tak apa. Menuliskan apa yang mereka inginkan paling tidak berarti kamu telah memberikan mereka imajinasi ketika yang nyata belum bisa tiba saat ini.
Di pagar rumah
Di kertas gambar
Di badan adik
Di bawah meja makan
Coba ide itu
Mulai sekarang jika hendak menggambar ambil kertas di sini ya.
bersambung…
73 notes
·
View notes
Text
Kemandirian Anak: Usaha Memperkenalkan (Bagian 1)
Sabtu lalu, saya diminta oleh teman saya Andrian, untuk memberikan semacam penjelasan terkait kemandirian anak. Peserta kegiatan itu adalah guru-guru TK Pelita Insan Madani di kota Serang yang dimiliki oleh isterinya, @megandarii. Ndilalahnya, alasan Andrian meminta bantuan saya bukan karena latar belakang keilmuan (meskipun saya mendapatkan gelar sarjana dan master di bidang psikologi, peminatan yang saya ambil hampir tak ada hubungannya dengan anak dan pendidikan), tetapi lebih karena saya dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi tukang potret di @sbmatahari (iya, sekolah yang sedang ada di situs kitabisa dan juga sedang open recruitment itu). Demi mengetahui alasannya itu sebenarnya menolak permintaannya, khawatir apa yang saya sampaikan nanti malah membawa kemudaratan, alih-alih manfaat. Akan tetapi ia terus mendesak juga. Akhirnya saya luluh juga. Atas nama ada embel-embel akan dibayar membantu teman saya setujui permintaannya.

Pengertian Mandiri
Jika kita melihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mandiri” berarti “tidak bergantung pada orang lain”. Dari keterangan singkat ini bisa kita maklumi bahwa yang dimaksud kemandirian anak tentu saja bukan berarti tidak membutuhkan sama sekali kepada orang-orang di sekitarnya, seperti orang tua. Akan tetapi, kemandirian yang dimaksud tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Baik secara fisik, kognitif, dan juga psikososial.
Hal ini menjadi menarik, ketika saya coba googling tentang tema ini ternyata banyak artikel-artikel parenting berbahasa Indonesia yang telah membahas kemandirian anak. Hanya saja, sebagian besar artikel tersebut jarang mengupas dua hal penting yang justru harus diperhatikan sebelum membahas “bagaimana cara mendidik anak sehingga terlatih untuk mandiri”. Dua hal itu adalah level perkembangan anak dan emosi anak. Karena dalam konteks ini anak yang akan saya bahas adalah anak-anak pre-school, tentu saja perkembangan yang perlu diperhatikan adalah anak-anak di usia 3 hingga 6 tahun.
Perkembangan Anak
Agar pembahasan ini tidak terlampau teoritis, saya akan membatasi penjelasan mengenai teori perkembangan dari dua aspek saja: kognitif dan psikosial. Dilihat dari perkembangan kognitif, merujuk kepada teori yang dikembangkan Jean Piaget, anak-anak di usia 2-7 tahun sedang memasuki fase pre-operational. Masa ketika seorang anak sudah mengembangkan self-awareness dan kemampuan menggunakan simbol.

Sementara jika ditengok dari sisi psikososialnya, dengan mengacu kepada penjelasan dari Erik Erikson, anak-anak di usia 3-5 tahun sedang berada pada fase usia bermain. Pada fase ini isu perkembangan yang menjadi perhatian mereka adalah iniative vs guilt. Perkembangan otot-otot tubuh di bagian kaki dan tangan, meningkatnya kemampuan motorik kasar dan halus, membuat anak-anak di usia ini makin tertarik untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar. Hanya saja initiative ini seringkali dibatasi dengan kekhawatiran terhadap munculnya guilt (rasa bersalah). Rasa bersalah ini bisa muncul akibat respon negatif orang-orang di sekitar mereka. Sementara jika respon terhadap mereka baik, mereka akan mengembangkan keinginan untuk terus belajar dengan kreatif, menyenangkan dan memiliki purpose (tujuan).

Jika diringkas dapat kita simpulkan bahwa anak-anak usia pre-school sudah memiliki kemampuan simbolik yang biasanya mereka gunakan saat pretend play. Pura-pura sedang memasak, sedang mengendarai kendaraan, dan bahkan mengeluarkan jurus pamungkas saat menjadi pahlawan kesayangan. Anak-anak usia ini karena masih berada di perkembangan pre-operational, kemampuan memahami kausalitas belum memadai. Hal ini menjadi penting untuk dipahami orang-orang dewasa di sekitar anak-anak usia ini, terutama ketika hendak menjelaskan sesuatu yang bersifat sebab-akibat. Terakhir, pada usia ini anak-anak juga sedang mengembangkan self concept, self esteem, dan regulasi emosi mereka. Jangan sampai kealpaan terkait hal ini malah membuat usaha-usaha memperkenalkan kemandirian terhadap anak-anak malah berujung sebaliknya. Sebab, pembentukan self concept dan terutama self esteem pada periode ini sangat bergantung pada bagaimana orang-orang di sekitar mereka menilai mereka. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka belum mengembangkan kemampuan refleksi diri untuk menilai secara mandiri diri mereka sendiri.
When kids don’t feel right, they can’t behave right

Ini adalah soalan kedua yang jarang dibahas di artikel yang saya baca. Bagaimana kita bisa berharap seseorang anak melakukan ini dan itu, ketika apa yang mereka rasakan tidak coba kita pahami. Oleh karena itu prinsip yang diperkenalkan oleh Adele Faber dan Elaine Mazlish tiga puluh lima tahun silam di buku legendaris mereka, How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk perlu digunakan, all feeling can be accepted. Ya, semua rasa bisa diterima.
Ketika anak-anak merasa baik, ceria, bahagia, orang-orang dewasa di sekitar mereka akan mudah menerima hal itu. Akan tetapi jika rasa yang sebaliknya yang terjadi, ouchhh sulit sekali untuk dimaklumi. Muncullah komentar semacam
Ah gitu aja nangis, ayo bangun. Ketika seorang anak jatuh.
Nangis terus ditinggal pulang nih. Ketika seorang anak tantrum karena tidak dibelikan sesuatu.
Gak boleh marah begitu. Ketika seorang anak mencoba memukul temannya yang mengambil mainannya.
Dan komentar-komentar sejenis lain yang menunjukkan penolakan terhadap apa-apa yang dirasakan oleh anak-anak tadi. Seperti disampaikan di bagian sebelumnya, anak-anak di usia pre-school sedang mengembangkan konsep diri dan juga regulasi emosi, penolakan terhadap emosi yang mereka sedang alami sedikit banyak juga berarti penolakan terhadap mereka (karena perasaan mereka adalah bagian dari diri mereka) dan tak mengajarkan apapun terkait regulasi emosi kepada anak-anak. Alangkah ruginya ketika ada momen seharusnya anak mendapatkan pembelajaran baru, mereka malah tak mendapatkan apa-apa.
Ketika seorang anak diterima emosinya, ia tidak hanya merasa diterima, ia juga sedang belajar tentang regulasi emosi. Pada saat emosinya sudah membaiklah ia bisa menyerap ide atau diperkenalkan perilaku baru. Mustahil memperkenalkan kemandirian, hal yang begitu rumit dan membutuhkan waktu untuk bisa menjadi suatu kebiasaan, jika anak sedang dalam kondisi emosi yang buruk.
Karena secara instingtif kita memang akan berusaha menolak keberadaan emosi negatif karena memang emosi itu sama sekali tak menyenangkan, berikut Pertolongan Pertama yang bisa dilakukan:
1. Tahan respon
2. Pikirkan tentang emosi yang anak rasakan
3. Beri nama emosi itu kemudian masukkan dalam kalimat anda
Kunci rapat mulut ketika melihat atau mendengar apa yang sedang dirasakan seorang anak. Lalu coba perkirakan apa sebenarnya yang ia rasakan. Marahkah. Sedihkah. Kesalkah. Jijikkah. Menonton film Inside Out atau membaca artikel-artikel yang ditulis Paul Ekman tentang emosi dasar, saya kira bisa membantu. Lalu beri nama atas apa yang mereka rasakan itu.
Kamu sedang merasa kesal dengan temanmu.
Pasti sedih banget ya. Padahal kita sudah rencana makan es krim dari rumah.
Kamu pasti marah banget, temanmu mengambil mainanmu.
Kamu jijik kalau memegang lem.
Ada banyak hal yang menyenangkan dari mengapa kita harus menerima apa-apa yang dirasakan oleh anak selain yang telah disampaikan di awal. Menerima apapun yang dirasakan anak adalah suatu pertanda buat mereka, bahwa urusan mereka kita anggap penting. Jangankan anak-anak, kita sendiri, orang dewasa, ketika sedang menyampaikan uneg-uneg, kemudian mendapat respon yang berarti elaah gitu doang, pasti merasa diremehkan dan ditolak. Oleh karena itu sangatlah penting ketika menerima emosi dan menyampaikan apa yang menurut kita sedang mereka rasakan, perlu ekspresi emosi yang matching. Ketika mereka sedih nada suara dan mimik wajah kita pun seolah sedih. Ketika mereka kesal tentu nada suara dan ekspresi kita harus pula menyesuaikan. Sehingga mereka turut pula belajar membuat asosiasi antara ekspresi emosi dan nama emosi itu. Tentu saja, dengan ekspresi emosi yang tepat perasaan bahwa mereka dan apa yang mereka rasakan kita diterima, semakin kuat lagi.
Kemudian memberikan mereka nama-nama untuk apa yang mereka rasakan membuat mereka pada waktu-waktu ke depan bisa mengekspresikan emosi mereka dengan lebih baik.
Aku marah, kamu mengambil mainanku. Bukannya meninju wajah temannya.
Aku sedih, aku mau beli permen yang itu. Bukannya berguling-guling di lantai sambil menangis.
bersambung…
288 notes
·
View notes
Text
I’ve learned that you cannot make someone love you. All you can do is be someone who can be loved. The rest is up to them.
I’ve learned that no matter how much I care, some people just don’t care back.
I’ve learned that it takes years to build up trust, and only seconds to destroy it.
I’ve learned that it’s not what you have in your life, but who you have in your life that counts.
I’ve learned that you can get by on charm for about 15 minutes. After that, you’d better know something.
I’ve learned that you shouldn’t compare yourself to the best others can do, but to the best you can do.
I’ve learned that it’s not what happens to people that’s important. It’s what they do about it.
I’ve learned that no matter how thin you slice it, there are always two sides.
I’ve learned that it’s taking me a long time to become the person I want to be.
I’ve learned that it’s a lot easier to react than it is to think.
I’ve learned that you should always leave loved ones with loving words. It may be the last time you see them.
I’ve learned that you can keep going long after you think you can’t.
I’ve learned that we are responsible for what we do, no matter how we feel.
I’ve learned that either you control your attitude or it controls you.
I’ve learned that regardless of how hot and steamy a relationship is at first, the passion fades and there had better be something else to take its place. (Amen to that!)
I’ve learned that heroes are the people who do what has to be done when it needs to be done, regardless of the consequences.
I’ve learned that learning to forgive takes practice.
I’ve learned that there are people who love you dearly, but just don’t know how to show it.
I’ve learned that money is a lousy way of keeping score.
I’ve learned that my best friend and I can do anything or nothing and have the best time.
I’ve learned that sometimes the people you expect to kick you when you’re down will be the ones to help you get back up.
I’ve learned that I’m getting more and more like my grandma, and I’m kinda happy about it.
I’ve learned that sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel.
I’ve learned that true friendship continues to grow, even over the longest distance. Same goes for true love.
I’ve learned that just because someone doesn’t love you the way you want them to doesn’t mean they don’t love you with all they have.
I’ve learned that maturity has more to do with what types of experiences you’ve had and what you’ve learned from them and less to do with how many birthdays you’ve celebrated.
I’ve learned that you should never tell a child her dreams are unlikely or outlandish. Few things are more humiliating, and what a tragedy it would be if she believed it.
I’ve learned that your family won’t always be there for you. It may seem funny, but people you aren’t related to can take care of you and love you and teach you to trust people again. Families aren’t biological.
I’ve learned that no matter how good a friend someone is, they’re going to hurt you every once in a while and you must forgive them for that.
I’ve learned that it isn’t always enough to be forgiven by others. Sometimes you have to learn to forgive yourself.
I’ve learned that no matter how bad your heart is broken the world doesn’t stop for your grief.
I’ve learned that our background and circumstances may have influenced who we are, but we are responsible for who we become.
I’ve learned that sometimes when my friends fight, I’m forced to choose sides even when I don’t want to.
I’ve learned that just because two people argue, it doesn’t mean they don’t love each other. And just because they don’t argue, it doesn’t mean they do.
I’ve learned that sometimes you have to put the individual ahead of their actions.
I’ve learned that we don’t have to change friends if we understand that friends change.
I’ve learned that if you don’t want to forget something, stick it in your underwear drawer.
I’ve learned that you shouldn’t be so eager to find out a secret. It could change your life forever.
I’ve learned that the clothes I like best are the ones with the most holes in them.
I’ve learned that two people can look at the exact same thing and see something totally different.
I’ve learned that no matter how you try to protect your children, they will eventually get hurt and you will hurt in the process.
I’ve learned that there are many ways of falling and staying in love.
I’ve learned that no matter the consequences, those who are honest with themselves, get farther in life.
I’ve learned that many things can be powered by the mind, the trick is self-control.
I’ve learned that no matter how many friends you have, if you are their pillar, you will feel lonely and lost at the times you need them most.
I’ve learned that your life can be changed in a matter of hours by people who don’t even know you.
I’ve learned that even when you think you have no more to give, when a friend cries out to you, you will find the strength to help.
I’ve learned that writing, as well as talking, can ease emotional pains.
I’ve learned that the paradigm we live in is not all that is offered to us.
I’ve learned that credentials on the wall do not make you a decent human being.
I’ve learned that the people you care most about in life are taken from you too soon. I’ve learned that although the word ‘love’ can have many different meaning, it loses value when overly used.
I’ve learned that it’s hard to determine where to draw the line between being nice and not hurting people’s feelings and standing up for what you believe.
—
Roger Knapp
15 notes
·
View notes
Quote
Kita semua pernah menjadi lilin ulang tahun untuk orang yang kita cintai. Menerangi. Menemani. Merayakan. Lalu ditiup hingga mati. Dan kemudian orang-orang di sekitarnya bahagia.
(via mbeeer)
2K notes
·
View notes
Text
Line Today
Seorang Lelaki Ngamuk-ngamuk Kepada Gadgetnya Setelah Ditinggal Tidur Saat Chatingan Oleh Pacarnya Padahal Bukan Ditinggal Cari Yang Lain. selengkapnya…
9 notes
·
View notes
Quote
Ada banyak hal yang sedang aku takuti kejadiannya. Banyak hal yang membuatku selalu bahagia menyendiri dan mengasingkan diri. Banyak hal yang memusingkan kepala, cemas di dada dan akhirnya aku tak mampu berkata apa-apa. Dan di penghujung hari aku hanya bisa meneteskan air mata.
Berbahagialah karena aku masih mengusahakan senyum di depan kalian, dan maaf jika aku selalu berusaha pulang dan tak ikut kalian kemana-mana. Bukan ingin menjauhi, hanya menjaga diri lebih berhati-hati akan tangis ini. Maaf untuk kalian yang menjadi santapan emosi setiap saatnya. Sejatinya aku hanya tidak tahu harus berbuat apa. (via hobingetik)
141 notes
·
View notes
Text
Surat Cinta Pembaca Kisah Rama-Shinta I
Sayang, pernahkah kau mendengar kisah Rama-Shinta? Jika tidak, ku rasa kau perlu tahu.
Sayang, Rama-Shinta adalah lambang cinta pada masanya. Sang Rama yang menjadi pemuda impian dan Shinta dewi kecantikan tiada banding.
Sayang, siapa yang tak mengira bahwa mereka adalah pasangan yang paling serasi? Sang Dewi yang bersanding dengan kesatria gagah dan Sang Pangeran mendampingi gadis jelita nan menawan.
Sayang, bukan itu yang mau ku tunjukkan padamu. Aku ingin bercerita, bahwa kisahnya tak sebanding dengan apa yang kau lihat. Jika kau rasa tiada kebahagiaan yang sebanding dengan ksatria dan dewi yang telah berdampingan, aku tak sependapat denganmu.
Sayang, alur kisah Rama-Shinta tak semulus apa yang terlihat. Aku marah pada Rama sayang, apakah cinta harus selalu dibuktikan? Apakah harus selalu ada pengorbanan dalam suatu percintaan? Namun aku tak sepenuhnya memojokkan Rama sayang karena aku mengerti apa yang Rama cemaskan. Tak kupungkiri, bahwa disini kerinduan dapat menjadi madu dan racun secara bersamaan.
Sayang, inilah cinta. Terkadang cinta hanya mengambil satu pemeran didalamnya meskipun cinta tak dapat dimainkan satu pihak. Jika saja cinta boleh diperani seorang, maka Shinta-lah “Dewi”-nya. Sang pemeran cinta satu sudut.
1 note
·
View note
Quote
Yang paling berbahaya adalah perpisahan yang menyisakan tanda tanya. Sehingga melangkah tak benar-benar terasa pergi. Singgah di lain hati tetap terasa seperti masih berlari. Seperti ada yang belum selesai. Dan itu menyiksa sekali, terlebih ketika kau sadar tak ada lagi kesempatan untuk meminta penjelasan.
(via mbeeer)
2K notes
·
View notes
Quote
Ada orang yang menulis tentang patah hati, padahal dia sendiri yang pergi. Ada orang yang menulis tentang disakiti, padahal dia sendiri yang menyakiti. Ada juga orang yang menulis tentang ditinggal pergi, padahal dia sendiri yang melangkahkan kaki.
Ada (via mbeeer)
2K notes
·
View notes
Quote
Jangan muncul lagi, aku mohon. Aku sudah bahagia sekarang. Aku tidak ingin kembali ragu hanya karena dulu kau pernah kucintai dengan begitu.
(via mbeeer)
1K notes
·
View notes