Tumgik
amatagaikin · 3 years
Text
Deliberative Itu, Gini Kayaknya
Oh, hai!
Assalamu’alaikum!
Ada yang pernah mendengar, membaca, atau mengetahui kata ‘deliberative’? Kalau belum, berarti sama denganku, setidaknya sampai tanggal 14 Maret 2021. Yang aku ketahui, ‘deliberative’ ini bukan makanan, bukan komponen mesin, dan bukan pula nama teknik dalam bermain sepak bola. Jadi kalau ada yang memikirkan di ketiga area tersebut, berhentilah sekarang dan lanjutkan membaca tulisanku ini.
‘Deliberative’ adalah suatu pola pikir, cara pandang, dan cara bersikap seseorang yang mengutamakan kehati-hatian, skeptis banget, serta mengumpulkan informasi sebanyak mungkin sebelum melakukan suatu hal. Kira-kira begitu, mohon koreksi jika ada yang salah.
Untuk melanjutkan tulisan ini, sebenarnya aku masih bingung ingin menjelaskan seperti apa karena takut apabila menggeneralisir. Apalagi jurusanku dari akuntansi, bukan psikologi. Tentu dari otorisasi keilmuan aku tidak memilikinya.
Tapi bisa saja aku hanya menyampaikan informasi berdasarkan buku, jurnal, atau artikel kredibel yang bisa aku dapatkan dari internet. Tapi buku apa yang cocok? Gimana cara mencari jurnal psikologi yang bagus? Adakah yang bisa menjelaskannya dengan cara yang awam? Atau ada dari sumber lain seperti YouTube, podcast, Tiktok?
Eh, memang perlu ya aku mencari itu semua? Kan tulisanku bukan tulisan yang ilmiah, dan tidak sedang ditujukan untuk menulis hal yang serius. Definisi dari satu pembicara saja sudah cukup, sisanya dilanjutkan opini saja.
Tapi bagaimana mau beropini kalau dasar yang dipakai hanya satu? Barangkali ada pengertian lain yang akan memperkaya opini dari tulisan ini. Tambah lah satu atau dua pengertian lagi.
Bagaimana caranya memverifikasi pengertian yang beda-beda itu? Apalagi aku sama sekali awam soal ini dan tidak terlalu berminat juga menggalinya sendiri lebih jauh. Bukan bermaksud apa, tapi kayaknya lebih cocok jika dibahas secara privat. Tidak dibahas di sini. Mungkin lebih nyaman ngobrol langsung.
Kalau tidak terlalu berminat, kenapa tulisan ini sudah menyentuh 280an kata?
Entahlah. Coba aku teruskan sampai 300an kata, seperti standarnya berita online suatu LPM di kampus yang dulu aku pernah berkegiatan di sana.
Jadi, inilah tulisan yang sudah aku pikirkan kurang lebih empat hari. Sebenarnya tidak sama persis, ada beberapa perubahan dari yang aku pikirkan di awal. Tak apa, setidaknya sekarang sudah lebih dari 300 kata.
Kesimpulannya?
Haruskah kesimpulan dijelaskan secara eksplisit oleh penulis? Memang setiap tulisan harus ada kesimpulannya? Kalau tidak ada, gimana?
Dah ya, cukup.
2 notes · View notes
amatagaikin · 3 years
Text
Dunia yang Ideal (?) bagian 2, habis.
Lanjutan dari tulisan di bawah berjudul “Dunia yang Ideal (?) bagian 1″. Kalau belum membacanya, silakan dibaca dulu.
Wawancara berjalan lancar, menghabiskan waktu sejam lebih dikit karena jawaban yang aku berikan terlalu banyak, mungkin.
Hari-hari berlalu. Aku kembali berkutat dengan jurnal, melanjutkan nonton “Attack on Titan (AoT) Final Season” dan “Hataraku Saibou Black”, dengan masih memikirkan seperti apa dunia yang ideal itu. Untuk seleksinya sendiri, alhamdulillah aku diterima dan acara berjalan luar biasa! Terima kasih, Salman. Terima kasih, LMD.
Suatu senja saat berkendara motor untuk pulang ke rumah, aku teringat dengan perkataan ibunya Eren Yeager (karakter utama di anime AoT) yang sudah meninggal di season pertama. Konteksnya adalah Carla Yeager (ibunya Eren) sedang ngobrol dengan Keith Shadis (Komandan Pasukan Pengintai) sambil menggendong Eren kecil. Keith merasa dirinya bukanlah orang spesial, orang yang terpilih untuk membawa perubahan, sehingga pasukan yang dipimpinnya tidak bisa mencapai prestasi apapun dalam hal menyelidiki Titan. Keith merasa dirinya telah gagal, terutama di hadapan Carla yang dia kagumi sejak lama namun memilih menikah dengan ayahnya Eren (Grisha Yeager). Carla pun menjawab bahwa dia tak merasa Keith harus menjadi sosok spesial, sosok yang terpilih memiliki bakat istimewa. Sambil melihat Eren di gendongannya, Carla berkata,
"Is it wrong to not be special? He (Eren) doesn't have to be great, to be special. Because... look at him. He's so cute. That's why he's already special. Because he was born in this world."
Tumblr media
Lalu, apa hubungannya dengan dunia yang ideal?
Setelah sedikit mbrambang karena perkataan Carla tadi relate sama aku yang (kadang masih) terobsesi untuk jadi orang spesial, aku berpikir kalau sebenarnya dunia yang ideal itu...... ya dunia yang begini.
Sebobrok, sejelek, separah apapun dunia di pikiran kita saat ini, inilah tempat kita hidup sekarang. Kita masih bisa bernapas, makan, tidur, bercerita, main gadget, nonton anime atau drakor, sholat, ngaji, semuanya kita lakukan di dunia yang mungkin menurut kita tidak ideal ini. Pun kita bisa memikirkan dunia yang ideal gara-gara kita hidup di dunia yang tidak ideal, dan berusaha mengubah sebisanya agar sesuai dengan idealnya kita.
Allah Subhanahuwata’ala dalam beberapa firman-Nya menjelaskan terjadinya sesuatu dengan adanya proses yang mendahului, misalkan proses terbentuknya janin di rahim, siklus air, terciptanya bumi dan langit. Padahal Allah juga berfirman apabila ingin menciptakan sesuatu, cukup dengan “kun”, “terjadilah” maka terjadilah. Berarti sebenarnya Allah sangat mampu menjadikan dunia ini ideal, menghilangkan segala permasalahan di dunia ini dalam sekejap saja, bahkan langsung dijadikan surga. Kenyataannya?
Dunia diciptakan ya seperti ini, seperti yang kita baca di kisah-kisah terdahulu, dan mungkin akan berulang di masa depan. Ada proses di dalamnya, dan Allah ingin mengajarkan kepada kita tentang berproses dengan segala suka dukanya. Jadilah kita bisa merasakan senang, sedih, bahagia, marah, kecewa, biasa saja, heran, dan berbagai emosi lainnya. Jadilah kita berbuat baik atau jahat, giat atau malas, sehat atau sakit, berpikir atau abai, lapar atau kenyang, dan berbagai pilihan lain yang tidak bisa dilakukan makhluk lain selain manusia.
Dunia ini tidak perlu menjadi ideal, tidak perlu menjadi tempat yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena.... lihatlah, berapa lama dunia ini ada dan berapa lama peradaban manusia dari yang paling purba sampai sekarang? Apa saja yang peradaban manusia telah perbuat meskipun hadir belakangan dibandingkan spesies lainnya?
Itulah mengapa dunia yang begini saja sudah cukup. Karena dunia yang begini, yang tidak ideal, yang membuat kita jadi manusia.
2 notes · View notes
amatagaikin · 3 years
Text
Dunia yang Ideal (?) bagian 1
Jarum pendek jam dinding menunjuk di angka empat. Kondisi langit agak mendung, sebuah hal yang biasa dalam sebulan ini. Bakda sholat Asar, aku mengikuti wawancara via telepon untuk seleksi program upgrading skill dari suatu takmir masjid kampus ternama.
Seperti wawancara pada umumnya, di awal aku dipersilakan untuk memperkenalkan diri, kemudian ditanya mengenai motivasi dan kesanggupan, kesibukan saat ini, dan lain-lain. Aku bisa menjawabnya dengan lancar dan tanpa berpikir lama. Hingga si pewawancara (di sini aku menyebutnya “Akang”) bertanya,
"Menurut mas Niki, dunia yang ideal itu seperti apa?"
Pertanyaannya tidak terlalu asing. Sepertinya pernah aku temui di anime-anime genre slice of life, shounen/shinen, isekai, atau adventure yang pernah aku tonton. Tetapi aku tetap kesulitan untuk menjawabnya.
Hening.
Beberapa menit kemudian aku coba merangkai kata-kata yang sekilas lewat di pikiranku. Sambil memandangi awan kelabu dari balik jendela, aku menjawab,
"Dunia yang ideal menurutku... dunia yang orang-orangnya paham mana hak dan kewajiban, orang-orang yang melaksanakan kewajibannya dan menerima haknya secara adil. Istilah singkatnya, madani."
MasyaaAllah, entah apa yang merasukiku kok bisa jawab begitu?
Penjelasanku, untuk dikatakan sebagai dunia yang ideal tidak harus semua orang di dunia memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah. Memang tidak mustahil, tapi kalau berdasar nubuat hal itu akan terjadi setelah Nabi Isa 'alaihissalam mengalahkan Dajjal. Artinya, entah kapan terjadinya hanya Allah 'azza wa jalla yang tahu, dan prosesnya ke situ butuh perjuangan yang luar biasa dahsyat. Lawan Dajjal bosqu, "surga-neraka" aja bisa dibawa di kedua tangannya.
Lagian, Allah subhanahuwata'ala yang memang menghendaki perbedaan. Bisa saja kan semua penduduk bumi dibikin Islam semua, bahkan di zaman Rasulullah Muhammad shallallahu'alaihiwassalam, pemimpin para Nabi dan Rasul, penghulu seluruh umat manusia, agama Tauhid "dimulai" dari nol lagi. Tidak ujug-ujug pas Kanjeng Nabi lahir, semua manusia jadi Islam. Pun kepemimpinan Muhammad Al Fatih, sebaik-baiknya panglima, banyak yang tidak memeluk Islam.
Orang-orang di luar Islam belum tentu sepakat dengan ajaran Islam, apalagi disuruh pindah agama. Jadi menurutku, yang saat ini bisa dilakukan untuk mencapai dunia yang ideal bagi semua orang adalah mengakomodir dan mencapai mufakat dengan nilai/norma yang ada, selama tidak saling melanggar batas yang telah disepakati bersama. Terjadinya dialog yang terbuka dan berlandaskan niat untuk saling mendengar dan memahami.
Semua orang konsekwen dengan nilai kebaikan yang diyakini. Dia mau menjalani kewajiban yang diperintahkan dalam nilai tersebut (baik perintah maupun larangan), bisa menerima hak secara adil dan menghormati hak milik orang lain. Tidak ada lagi yang merasa terzalimi, semua hak terpenuhi secara adil. Kurang lebih itulah yang selama ini disebut masyarakat madani.
Jadi, madani itu bukan ketika semua orang memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah, ya. Istilah tersebut diambil dari bahasa Arab yang merujuk ke kota Madinah saat dipimpin Rasulullah shallallahu'alaihiwassalam. Penjelasan lebih lengkap bisa googling sendiri, kepanjangan kalau harus dijelaskan di sini.
"Eh sebentar, kang," kataku menghentikan penjelasanku sendiri.
"Kalo nggak ada masalah atau kejahatan, gimana manusia bisa berkembang, ya? Kan Allah menguji manusia dengan permasalahan biar manusia bisa berkembang, pun kejahatan ada sebagai ujian juga,"
"Wah bener juga tuh mas, terus bagaimana?" tanya si Akang.
Keadaan menjadi hening. Lagi.
Aku kembali melihat awan, masih kelabu, tidak ada tanda-tanda menjadi jingga khas situasi senja.
Harusnya argumenku nggak gitu deh, tapi saat ini aku nggak bisa menemukan argumen yang lebih tepat daripada itu. Dahlah nyerah~
"Ya gitu kang pokoknya, namanya juga ideal pasti sulit terwujud kan hehe.."
"Hehe, baiklah mas Niki, lanjut ke pertanyaan berikutnya,"
2 notes · View notes
amatagaikin · 3 years
Text
CATATAN MAGANG
Bayar SPP, duit dijembreng di atas meja buat dihitung manual. 675ribu
"Liburan biasa"
1 note · View note
amatagaikin · 3 years
Text
Angka-Angka Itu (ada yang pernah) Memiliki Nyawa
Aku pernah membaca kutipan dari gim Call of Duty 2 yang bertemakan Perang Dunia II, kira-kira artinya seperti ini:
“Kematian satu orang adalah tragedi, sementara kematian jutaan orang adalah statistik”
Kutipan itu, berdasarkan gim tersebut, dinyatakan oleh Joseph Stalin, salah satu pemimpin besar Uni Soviet. Tidak ada rasa kemanusiaan, menganggap kematian lebih banyak manusia sekadar statistik yang diperbarui tiap waktu saat ada penambahan. Tapi tanpa kita sadari, di saat wabah Covid-19 sekarang kutipan itu sangat nyata, sangat dekat, atau barangkali kita juga melakukannya. Menganggap jutaan korban Covid-19 hanya sebagai angka-angka saja, yang tiap petang dilaporkan perkembangan statistiknya.
Di Indonesia sendiri, untungnya, belum mencapai angka jutaan. Menurut akun Twitter @KawalCOVID19 total kasus Covid-19 di Indonesia sampai tanggal 11 November 2020 mencapai 448.118 jiwa, bertambah 3.770 jiwa dari hari sebelumnya. Kasus aktif, orang yang masih terjangkit Covid-19 bagaimanapun kondisinya (memiliki comorbid ataupun OTG) menyentuh angka 54.300 jiwa, bertambah 454 jiwa dari hari sebelumnya. Data selengkapnya bisa dicek di akun yang bersangkutan atau situs resmi pemerintah.
Dengan kondisi demikian, kita coba lihat di lingkungan sekitar bagaimana kegiatan masyarakat di saat korban terus berjatuhan. Bagaimana protokol kesehatan diterapkan, apakah atas kesadaran (yang akan dilakukan dengan benar), sekadar kewajiban takut denda (yang akan dilakukan ala kadarnya menggugurkan kewajiban), atau malah terobos waelah losss dol!
Kita berkaca pada diri masing-masing, masihkah memakai masker dengan benar, masihkah nyabuni tangan dengan benar, masihkah menjaga jarak dengan benar? Atau jangan-jangan kita semua telah menganggapnya angin lalu dan sekadar formalitas yang membosankan? Sekadar info saja, mengikuti protokol kesehatan itu masih belum seberapa ribetnya dibandingkan nanti kalau sudah terinfeksi virus Covid-19. Percaya lah.
Kemudian yang lebih parah, mulai memercayai teori kontrasepsi, konstipasi konspirasi bahwa ini semua skenario elit global guna mencapai tatanan dunia baru. Permainan negara besar yang bermuara pada supremasi politik dan ekonomi, akal-akalan farmasi demi cuan, atau ini semua akibat dibubarkannya Sunda Empire.
Well, aku lebih percaya kita kualat sama Sunda Empire wkwkwk
Semua orang berhak berpendapat meskipun pendapatnya aneh-aneh, termasuk membikin teori sekonspiratif mungkin untuk menguak keanehan wabah Covid-19. Tapi tidak semua pendapat harus didengar, tidak semua pendapat harus dipercaya untuk kemudian diterapkan. Tidak semua yang ada dalam pikiran harus disampaikan ke publik, apalagi tidak melalui proses penataan diksi dan emosi yang baik.
Kita bisa belajar dari kasus Jerinx. Meskipun menurutku agak berlebihan karena sampai ditahan hitungan tahun, tapi pendapatnya itu sangat berpengaruh terutama stigmasisasi kepada tenaga kesehatan (nakes). Pada akhirnya terjadilah pembentukan opini-opini liar yang dilepaskan kepada nakes sampai kepada tahap perilaku-perilaku intimidatif bahkan kekerasan.
Mungkin Jerinx bukan yang pertama ketika berpendapat seperti itu, tapi pendapatnya ibarat bensin yang sengaja disiram ke hutan yang sedang terbakar. Coba bensinnya diisikan ke kendaraan, bakal lebih manfaat, toh pendapatnya dia tentang rapid test ada benarnya juga cuma cara penyampaiannya yang bermasalah. Mungkin perlu latihan sama Pak Anies Baswedan soal tata kata, Beliau kan ahlinya hehe
Hal terakhir yang ingin aku soroti adalah respon pemerintah. Sejak bulan Maret, pemerintah melakukan banyak blunder, banyak kesalahan, banyak hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan ketika berusaha mengatasi pandemi ini. Memang tidak ada kebijakan yang sempurna, yang mampu memuaskan semua pihak. Namun kita bisa menebak keberpihakan kebijakan itu kepada siapa dan motifnya apa.
Aku sejak awal meragukan keseriusan pemerintah.Dimulai dari munculnya pernyataan-pernyataan gaje seperti “nAnTi biSa SeMBuH SeNDiRi” dan “mAkAN NaSi kUciNg”, kebijakan tes massal yang terindikasi business-oriented (swab test yang belum terjangkau harganya dan masih adanya kewajiban rapid test ketika bepergian luar kota naik transportasi umum) dan lebih condong ke vaksinasi, penegakan aturan yang tidak tegas, mengesahkan UU kontroversial, dan lain-lain.
“Lah negara lu masih mending, negara gua ...” mari belajar perbandingan~
Mengkritik pemerintahnya aku cukupkan segitu, kepanjangan, dan fokus dari tulisan ini bukan untuk menyalahkan pemerintah. Namun pengingat dan introspeksi untuk kita semua bagaimana menghargai setiap nyawa yang menjadi korban Covid-19, baik yang sudah sembuh, sedang berjuang, atau yang telah meninggal dunia. Ratusan ribu jiwa bukanlah angka statistik biasa, di dalamnya ada seorang ayah yang menjadi tulang punggung keluarga, ada seorang ibu dengan kasih sayang sepanjang hayatnya, ada seorang bayi yang kehadirannya dinantikan setelah sekian lama, ada seorang remaja yang sedang merintis masa depannya, dan ada seorang lansia yang berharap ketenangan di sisa hidupnya.
Rasanya kok tidak sampai hati berkata Covid-19 itu rekayasa sedangkan kita sendiri tidak merasakan apalagi menemukan kebenarannya. Betapa jahatnya mengatakan bahwa tenaga kesehatan yang berguguran itu tumbal demi RS dapat cuan.
Mari kita saling respek, peduli, dan menjaga dengan menerapkan protokol kesehatan yang benar, pola istirahat yang cukup, asupan gizi yang seimbang, dan jiwa yang bahagia. Agar tak ada lagi nyawa yang berakhir di angka statistik semata.
2 notes · View notes
amatagaikin · 4 years
Text
#SeratJumat1: Tentang “Insecuregram” Dan Realita, Keduanya Tak Jauh Beda
Tumblr media
sumber gambar: gcml.org
Beberapa hari yang lalu aku membaca cuitan dari mas Adjie Santosoputro yang isinya seperti ini,
“Medsos bikin kita mudah insecure. Kenapa? Kita jadi gampang sekali tau, hidup kita beda dengan hidup orang lain. Misal: Seusia kita udah lebih kaya, lebih sukses, udah menikah, dsb ....”
Cuitannya aku potong segitu dulu.
Tentu sebagai mahasisa semester sepuh, yang terbuang dari kumpulannya (karena kumpulannya lulus duluan), sangat merasakan apa yang dicuitkan mas Adjie.
Jeda sejenak setelah perkuliahan yang masih aku jalani. Kuambil gawai untuk mencari hiburan di dunia maya, lalu kupencet logo persegi berwarna ungu. Aplikasi terbuka, dan postingan-postingan bertema “wis udah” memenuhi beranda. Dari yang foto sendirian, bareng keluarga, atau pacar. Berikutnya lihat bagian Story, ternyata nggak cuma “wis udah”. Tapi foto KRL, pemandangan dari luar gedung, atau kotak-kotak sekat pembatas ruang kerja.
Rak terhibur blas!
Rak ono hiburane blas!
Aku pun menjadi tersadar. Following-ku, yang mayoritas teman seangkatan SD hingga kuliah, sudah (nampak) lebih kaya, lebih sukses, sudah menikah, sudah beranak, sedang ke luar negeri, pokoknya hal-hal yang masih di luar jangkauan sinyal kehidupanku. Yang masih berada di zona khayalku. Tiba-tiba menjadi momen flashback, lalu menyesal. Niat ingsun badhe hiburan, malah dadi musahabah renungan.
Untungnya aku juga mengikuti akun kajian keislaman, beberapa ustadz kondang, dan berita sepak bola. Namun karena minatku menyimak kajian sedang rendah dan urusan stalking selesai (astaghfirullah akhee), aku putuskan untuk keluar dan berpindah ke WajahBuku. Tentu saja untuk memenuhi asupan meme & shitpost, agar insecure yang mulai timbul gara-gara medsos sebelumnya bisa terselesaikan. Medsos ini kesannya udah jadul, isinya penyebar hoaks, dan alay. Tapi nyatanya, meme & shitpost di sini memang dan lebih nyegerin. No bokis!
Instagram, medsos yang aku juluki lumbung kesombongan, penyulut kedengkian, pembawa keminderan. Apalagi kesombongan, batasnya tipis banget sama update. Misal update lagi bosen di kantor, mending kalau cuma nulis “bored” atau “bosen nich di kantor”, kadang kantornya ikutan difoto, dikasih nama/alamat gedungnya. Buat apa?
*tulisan bercetak tebal di atas adalah contoh ungkapan kedengkian wkwkwk
Kalem slur, bukan berarti aku benci kalian para pengguna Instagram. Kalian bebas memosting apapun di Instagram toh itu akun kalian sendiri, dan aku nggak tahu apa niat kalian memosting hal itu sampai kalian beri tahu sendiri. Tapi nggak perlu juga sih di tiap postingan kalian kasih caption “Bukan lagi pamer atau riya”. Nggak usah. Beneran.
Memang akhir-akhir ini aku agak sensi dikit dengan postingan-postingan di Instagram. Sekali lagi, penyebabnya bukan kalian wahai following-ku. Masalah ada di aku sendiri, yang merasa posisinya saat ini tidak seberuntung kalian padahal satu angkatan. Merasa tertinggal, di bawah, di belakang. Dan kenyataannya, memang ada beberapa hal yang demikian.
Jadi sebenarnya, aku telah merasa insecure di dunia nyata.
Media sosial memang mempermudah terjadinya perasaan insecure, tapi sebenarnya kita memang ditakdirkan hidup di bumi yang penuh dengan pemicu insecurity.
“Itu lho, lihat si A, bisa nyervis motornya sendiri,” kata Ibuk suatu waktu.
“Sekarang mas T sudah mulai skripsinya, kemarin magang dulu di perusahaan X sambil kerja ngelesin” kata budhe ngomongin anaknya.
“Kok belum lulus? Si M sudah lho minggu kemarin,” kata tetangga.
Aku yakin jika setiap dari kita pernah diperlakukan seperti itu dengan kasus yang berbeda. Dan tentu, kita berada di pihak yang diperbandingkan dengan konotasi negatif, diremehkan kemampuannya, dipertanyakan capaiannya. Entah apapun maksudnya. Mungkin kalau orang-orang terdekat seperti orang tua bermaksud menasihati, mengingatkan, sekaligus memotivasi. Mungkin beda kalau yang ngomong tetangga, kita sudah sama-sama paham bagaimana pedasnya omongan mereka (atau itu hanya stigma?).
Menurutku, apapun itu maksudnya, membanding-bandingkan adalah salah satu cara buruk untuk menasihati dan memotivasi seseorang. Termasuk saat dibandingkan dengan konotasi positif (pujian dengan cara dibanding-bandingkan).
Setelah lelah menjalani rutinitas, masih ditambah insecure gara-gara dibanding-bandingkan atau hal lainnya. Kabur dari dunia nyata, beralih ke dunia maya. Eh di dunia maya makin insecure. Rak uwes-uwes. Mending bablas isekai lakwes.
Tumblr media
sumber gambar: medium.com
Bisa jadi pemicu insecurity adalah karena kita makhluk sosial dan hidup di dalam tatanan sosial. Semua trigger itu ada, terkumpul dalam satu kata: sosial. Mau nggak mau, suka nggak suka, sengaja nggak sengaja. Dari lingkup terkecil dan terdekat seperti keluarga inti, hingga lingkup terbesar dan terluas seperti masyarakat di bumi. Insecure akan selalu ada dan tidak akan pernah bisa dihilangkan. Kecuali dirimu bener-bener no life mengasingkan diri ke hutan, menjauhi segala interaksi dan peradaban. Itupun kalau nggak minder sama monyet yang bisa bergelantungan, gajah yang badannya besar, atau nggak takut lawan singa.
Atau mati. Nggak mungkin kan nanya ke kuburan sebelah, “heh bro, dapet surga apa neraka?” lalu insecure gara-gara dia dapat surga dan dirimu neraka. Insecure dunia-akherat.
Maka, lanjutan dari cuitan mas Adjie adalah
“... Sebelum insecure berlebih, kita perlu ingat, setiap orang punya skenario hidup masing-masing”
Ternyata perasaan insecure bisa di-hack, bisa diatur, bisa dikendalikan. Salah satunya dengan menanamkan prinsip “setiap orang punya skenario hidup masing-masing”. Hidupmu urusanmu, hidupku urusanku. Nggak usah dibandingin, nggak usah dipikirin.
Sulit? Jelas!
Angel? He’e!
Impossible? No!
Dimulai dengan memperluas cara pandang untuk membuktikan jika skenario orang itu berbeda-beda. Coba bergaul dengan banyak orang, gali kisah hidupnya. Atau baca (auto)biografi orang lain. Bukan untuk membandingkan, tapi lihat skenarionya. Pasti berbeda-beda, dan terdiri dari berbagai macam pola. Diantaranya adalah hukum sebab-akibat atau hukum jika-maka.
Karena dia A maka dia melakukan B agar mendapatkan C. Dia mendapatkan X sehingga dia Y.
Pola-pola tersebut cukup dilihat saja, tapi kalau mau dipelajari dan diterapkan pun boleh. Apalagi pola tersebut baik dan membawa kebaikan. Tapi ingat, tidak semuanya harus diterapkan karena tiap manusia punya privilege masing-masing: skills, keluarga, relasi, bentuk fisik, dll. Disesuaikan dengan kemampuan, situasi, dan kondisi.
Jangan terlalu berekspektasi, nanti jadi insecure lagi. Jadikanlah inspirasi untuk membentuk sebaik-baiknya diri sendiri.
Selanjutnya, konsisten. Cara pandang bisa tergoda, naik-turun seperti ombak, kadang kuat banget tapi bisa ambyar suatu waktu. Cara melatihnya ya.... latih diri sendiri apapun itu caranya. Mungkin dengan membiasakan diri, atau mempertebal rasa syukur.
Jika konteksnya adalah media sosial, salah satunya dengan “mengondisikan” lingkungan medsos agar tidak terlalu menjadi pemicu insecurity. Mungkin nggak sefrontal unfollow temen yang sudah sukses (kali aja kelak berguna), tapi perbanyak paparan konten-konten positif penghibur jiwa. Kajian singkat, video meme, hobi, dan banyak lainnya. Nggak ada salahnya pula untuk tau jadwal akademik kampus, sehingga ketika bulan-bulan itu datang kita sudah tau tindakan terbaik apa yang bisa dilakukan demi kebaikan diri sendiri.
Karena kita berhak, mampu, dan berkehendak bebas atas konten seperti apa yang ingin kita nikmati di media sosial.
2 notes · View notes
amatagaikin · 5 years
Text
Siapa Aku?
Tumblr media
Setiap mengikuti tes wawancara, bagian tersulit menurutku adalah soal diri sendiri. "Apa kelemahanmu?" "Apa kelebihanmu?" "Gambarkan dirimu dengan tiga kata!" atau analisis SWOT, selalu membuatku berpikir panjang dan mengawalinya dengan "Eeeee".
"Kekurangan saya eeee.... saya eee... kurus"
Pernah suatu kali sebelum tes, aku bertanya ke lima sahabatku tentang kelebihan-kekurangan dan bagaimana mereka mengenalku. Jawaban mereka aku simpulkan lalu aku pakai untuk menjawab tes wawancara.
Begitulah.
Padahal, bukankah orang yang bijak adalah yang pandai tentang dirinya sendiri? Bahkan, barangsiapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya.
Tentang ini, aku punya cara pandang lain. Yaitu ada banyak cara pandang untuk memandang diri sendiri, sehingga dalam satu kategori si individu ini bisa dinilai berbeda oleh banyak orang, termasuk oleh dirinya sendiri. Ini bukan teori atau pendapat ahli, tiba-tiba kepikiran aja.
Tapi kan itu pemikiran yang sudah umum keleus -_-
Oke jika tiap orang punya penilaian yang berbeda terhadap kita. Tapi kita sendiri?
Gini.
Ilustrasinya sama ketika kita bercermin. Sekalipun telanjang, gambaran diri di cermin juga dipengaruhi oleh medium apa yang digunakan bercermin. Kaca kah, air kah, kamera depan 10 megapiksel kah.
Misal kaca, dengan jarak satu meter menggunakan cermin datar, cekung, atau cembung gambaran diri kita juga akan berbeda. Belum lagi kondisi cerminnya: bersih atau kotor, ada retak atau tidak, lurus atau miring, HD atau 4K atau 144p.
Maka pastikan cermin itu cermin datar nan bersih. Apa adanya, tanpa bias. Bukan air, karena sebeningnya air akan gampang berubah dan beriak. Apalagi kamera depan ponsel, pasti hanya menampakkan versi terbaik sesuai keinginan.
😎 Oke saatnya beli cermin baru! Yang besar sekalian, dipasang empat penjuru arah mata angin plus atas dan bawah.
Nggak gitu juga ferguso 😒
Tiap-tiap kita sudah punya kok. Gratis. Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur .
Yak, itulah hati!
Heart ya, bukan liver . Awas aja ada yang ngomong "Pantes dia jahat, dia kena penyakit hepatitis!"
Hati adalah cermin, yang harus dijaga agar tetap datar, bersih, tidak rusak. Kalau ada debu, ya dibersihkan segera. Kalau mulai miring, ya diluruskan. Kalau mulai retak,........ ya digituin biar retaknya nggak meluas atau bikin pecah. Jika dibiarkan, maka diri kita ikutan rusak. Hatinya bias, burem, retak sana-sini sampai ada yang pecah. Akhirnya tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, merugikan atau menguntungkan, sehingga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Masih mending orang biasa, yang rugi cuma dia sendiri atau lingkaran terdekatnya. Coba kalau itu figur publik dan dijadikan panutan kayak guru, ustadz, pendeta, walikota, presiden, artis, kerusakannya bisa menular sangat cepat.
Termasuk menilai diri sendiri. Membedakan mana yang kelebihan atau kekurangan, mana yang diperbaiki atau dikembangkan, mana yang dibuang atau dijaga, dan lain-lain. Karena bakal susah kalau menilai diri sendiri aja udah salah. Yang harusnya disetop malah diterusin, harusnya cukup diperbaiki malah dikembangkan. Jadinya nggak maksimal, nirefisien dan nirefektif.
Bisa juga memperbaiki cara pandang agar lebih bermanfaat buat diri sendiri.
Contoh, sampai SMA aku masih menganggap sifat introvert adalah kelemahanku. Suka menyendiri (bukan nolep ya), kalo di keramaian suka capek, suka self-talk. Tapi setelah tahu ternyata banyak tokoh yang introvert, aku mulai bertanya "apakah introvert memang kelemahan atau bukan?". Dari situ mulai banyak baca-baca tentang introvert: definisi sesungguhnya, ciri-cirinya, cara bergaul yang cocok, dan cara menyikapinya. Sehingga saat kuliah, saat ada tes wawancara, aku mulai memasukkan introvert di kelebihan ..... juga kekurangan (masih bingung juga sih wkwkwk, tapi lebih condong ke kelebihan).
Satu contoh lagi adalah perfeksionis. Bisa jadi kelebihan, tapi banyak juga kelemahannya. Mau taruh mana? Sila tanya "cermin" masing-masing :)
Proses ini berlangsung lama, seumur hidup. Tidak sesingkat sesi wawancara dengan HRD. Pun tak sesederhana MBTI, golongan darah, apalagi zodiak.
Nampaknya, kita baru bisa menyelesaikannya saat kita meninggal. Saat orang tua, keluarga, teman, sahabat, musuh, dan orang-orang yang mengenal kita, mengenang kita sebagai apa untuk selamanya. Serta kelak di akhirat, apakah Allah lebih ridho kita masuk surga atau dengan murka-Nya kita dilempar ke neraka?
"Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu"
4 notes · View notes
amatagaikin · 5 years
Text
“If someone says it’s raining and another person says it’s dry, it’s not your job to quote them both. It’s your job to look out the window and find out which is true.”
— Unknown
2K notes · View notes
amatagaikin · 8 years
Photo
Tumblr media
@zenrs
www.panditfootball.com
0 notes