Tumgik
analektakata-blog · 8 years
Text
Hari Buruh Sedunia!
Tumblr media
May Day adalah peringatan hari buruh, jatuh tepat pada Minggu, 1 Mei 2016. Saat ini tak terhitung buruh masih berjuang demi sebuah kesejahteraan. Tingginya upah tak menjamin kesejahteraan akan meningkat. Di tanah kita ini, hari buruh disimbolkan dengan aksi demo. Suatu pehamanan yang teramat keliru. Sebagai seorang terpelajar dan berada di peradaban baru dan maju, esensi dari hari buruh seharusnya ditanamkan dalam benak kita hingga menjadi bentuk kesadaran.
“Hanya ada satu kata: Lawan!” - Wiji Thukul, 1986
Mulut Bergaun
Kami menulis membakar kata di kepalamu Kami bernyanyi menggetarkan senar dadamu Berteriak! memekakkan telingamu 
"Adil, jujur, hak" melantun di bibir kota Memburai membasahi wajah-wajah kota Kotaku kau lipat di saku jasmu!
Siang malam tenagaku terkuras Bila waktunya aku dikeluarkan Inilah kebijakan pemerintah Kami semakin terjepit Mencekik leher anak--cucu 
Kami para buruh ingin didengar Kami para buruh ingin keadilan Kami ingin menuntut! 
Hanya ini yang mampu kami lakukan Memberimu : mimpi buruk
Ditulis oleh:
@symphonykalbu
@priaperindu
Kepada: Buruh Negeri Ini
Kamar tiga kali tiga ini telah reyot di sana sini Tak lagi layak sejak lapangan kerja yang kau cipta Semakin hari semakin sedikit saja tak peduli Harga kebutuhan kami kian hari kian meninggi
Pekerja, cukuplah kamu kerja, jangan pikirkan apa yang kamu terima Kalian tak berhak untuk mengeluh Berusaha, cukuplah kamu usaha, jangan bayangkan apa yang kamu terima Kalian tak berhak mengadu
Barangkali kau lupa urusan perut adalah utama Namun selalu saja, hasil yang kami diterima tak Sepadan dengan usaha yang telah ditempuh Lalu, bagaimana bisa kau larang kami mengeluh?
Kamu lapar, perutku juga masih lapar Saya tidak lupa, hanya saja saya masih lapar Kamu mengeluh, saya juga punya keluh Saya tidak larang, hanya saja kamu tidak pantas berkeluh
Jika sebagai buruh kami tak diizinkan berkeluh Kelak kau akan lihat kursi pemimpin itu penuh Di sana kami akan duduk dan memastikan Tak ada lagi kelaparan, tak ada lagi ketidakadilan
Kamu ingin mengisi kursi saya? Lebih baik jangan Kamu ingin duduk memimpin? Lebih baik jangan Urungkan niatmu, kerjalah atas usahamu, itu sudah cukup Karena kursi ini bisa membuat kamu tidak akan pernah cukup
Berhenti mengatur apa yang harus dilakukan Kau dan kami semua punya derajat yang sama Tak akan jadi sepertimu, akan kami pimpin negeri Hingga sejahtera menjadi kata yang senantiasa mengudara
Saya dan kamu, dulu adalah sama, masyarakat bumi pertiwi Saya dan kamu, sekarang adalah beda, ada kasta yang tak kentara Saya juga buruh untuk hidupku Saya juga buruh untuk negeriku
Ditulis oleh:
@jemarikanan
@Aizeindra
"Work is not man’s punishment. It is his reward and his strenght and his pleasure." - George Sand
01 Mei 2016
“Ayo gabung ke kami. Biar jadi mimpi buruk Presiden!” - Wiji Thukul, 1988
Sumber gambar.
17 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Surat Untuk Pramoedya Ananta Toer
Tumblr media
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”
“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri.”
“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.”
Siapa yang tak mengenal manusia yang satu ini. Beliau adalah sastrawan yang penuh kontroversi. Pramoedya Ananta Toer, lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada pukul 08.55, umur 81 tahun.
Pram kecil tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tidak naik kelas di Sekolah Dasar, sehingga ayahnya menganggapnya sebagai anak bodoh
Kisah asmara Pram tidak terlepas dari realitas kemiskinan. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis tak dapat menafkahi keluarganya. Dan Maemunah adalah  istri yang selalu tetap setia mendampinginya hingga sekarang.
Beberapa kali telah dipenjara karena pandangannya yang dianggap pro-komunis. Namun justru di dalam penjara, lahir beberapa karyanya, termasuk masterpiece "Tetralogi Buru" (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) dan juga roman "Arus Balik".
Beberapa karyanya, seperti Tetralogi Buru, gadis Pantai dan Mangir telah disetujui untuk difilmkan.
Resep panjang umur menurut Pram adalah sering tersenyum, atur pernafasan, makan bawang putih dan minum anggur merah.
Albert Camus-nya Indonesia!
Kepada: Pramoedya Ananta Toer
Perihal: Indonesia membutuhkan hukum dan keadilan untuk hidupnya keberanian
Langit mendung masih berarak di atas kepala dan di belakang tiap langkah kaki. Dan hujan beserta badai tak mau reda di hari esok. Haruskah kiamat cepat-cepat datang (semakin) melenyapkan Atlantik yang (sempat) hilang ini?
Pram, semoga kau tenang di peristirahatan abadimu. Semoga Tuhan memberikanmu kesejukan selalu dan kenyamanan tiada henti, sebagai ganti ketidaknyamananmu semasa tidur di tanah koruptur dan ketidakadilan yang semakin tumbuh dan berkembang pesat ini.
Singkat saja surat kali ini. Dan ini bisa dikata sebagai surat tanggapan mengenai surat kirimin dari Goenawan Mohamad tentang peristiwa Genosida '65, lima puluh satu tahun silam.
Benar, para yang terhormat dan tertinggi di Indonesia masih saja bersikap seperti itu, ini dalam semua bidang kehidupan, tanpa terkecuali. Saat ini, hari ini tak jauh berbeda dengan hari-hari Genosida kemarin, masih saja banyak korban tak bersalah kehilangan nyawa dan haknya, keberanian dikubur dalam-dalam. Keadilan dinomor kesekiankan. Sedang kesewenangan dan ketamakan duniawi dikedepankan, dijunjung tinggi tanpa rasa MALU sedikit pun. Kata "MAAF" sudah menjadi makanan pokok dan kebutuhan primer yang harus dikonsumsi setiap makan tiga kali sehari, parahnya si maaf ini tanpa diikuti dengan tindakan nyata dan tegas. Sungguh mereka seperti banci kaleng yang menjual suara sumbang dan bentuk tubuh yang berotot. Diri mereka sendirilah yang diutamakan. Padahal mereka sudah berpendidikan tinggi sekali, dan tentu kalimat "kepentingan umum di atas kepentingan pribadi" didengar dan tak jarang diucapkannya, tapi dicampakkan. Lalu kemana bukti dan pengaplikasiannya di Indonesia ini yang katanya sudah merdeka ini?
Rekonsiliasi dan hukum (benar-benar hukum: tegas, nyata, murni dan adil) yang menjadi mimpi indah bumi ini bertahun-tahun lamanya, lebih setengah abad hanya menjadi angin lalu yang terkurung di dalam botol limun bekas. Ditendang, dilempar ke dalam bak-bak sampah kota. Kemana hati mereka? Masih berfungsikah indera penglihatan dan pendengaran mereka? Manusiakah? Atau hanya seperti pemikiranku saja, yaitu “MANUSIA YANG (MENGAKU) BERTUHAN NAMUN BERAKHLAK TIDAK BERPERIKEMANUSIAAN.”
Kalian pasti tau jawabannya, mereka pasti merasakan dan telah lama menyadarinya, hanya saja mereka bersolek pupur dan gincu yang amat tebal, kejahatan dan keserakahan tenggelam di balik topeng kebaikan dan kewibawaan.
Pramoedya Ananta Toer, bapak kami para pemuda Indonesia, doa dan impian indah kami selalu terucap untuk Merah Putih yang selalu berkibar di langit cerah, berbintang pecah menjadi serpihan batu pualam, dan tak ada hujan yang disertai badai lagi. Untuk Indonesia Raya yang bergema di sendi-sendi kehidupan. Untuk Atlantik yang akan muncul kembali. Selamanya.
30 April 2016
Bahagia selalu untukmu, Pram
kami yang belajar menjadi manusia
“Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.”
Ditulis oleh:
@symphonykalbu
17 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Kasih kembali.
Semoga kau bisa mencintai Binatang Jalang hingga 1000 tahun lagi!
Mengenal dan Mengenang Chairil Anwar
Chairil Anwar. Yang saya tahu tentang beliau awalnya hanyalah beliau penulis puisi ‘Aku’. Hingga tiba-tiba saja, saya merasa sangat penasaran dengan beliau. Siapa sebenarnya Chairil Anwar? Apa saja karya-karyanya? Ribuan pertanyaan mengepung dada saya. Saya membuka google lalu mengetik dengan keyword Mengenal Chairil Anwar. Saya baca satu per satu. Dan, saya tercengang. Chairil Anwar bukan hanya seorang penyair biasa. Chairil Anwar bukan hanya penulis puisi ‘Aku’. Chairil Anwar bukan hanya ‘Hanya’. Beliau sangat luar biasa.
Chairil Anwar, lahir pada 26 Juli 1922. Lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Saleha. Ayahnya bernama Toeloes. Chairil Anwar mulai dikenal dalam dunia sastra setelah tulisannya dimuat di “Majalah Nisan” pada tahun 1942. Beliau wafat pada 28 April 1949. Dan salah satu puisi beliau yang paling terkenal berjudul “Aku”.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
  Untuk Bapak Chairil Anwar,
Harusnya dari dulu saya mencari tahu tentang anda. Saya memang orang bodoh. Pengetahuan saya tentang sejarah memang masih sangat kurang. Tapi, saya bukanlah orang bodoh yang mau terus-terusan berkutat dengan kebodohan saya. Saya orang bodoh yang ingin terus belajar. Ingin terus membaca. Terus dan terus. Bapak Chairil, terima kasih telah menulis puisi-puisi yang keren sekali. Saya sampai heran, sebenarnya otak dan hati anda terbuat dari apa, hingga mampu membuat karya-karya yang sangat luar biasa. Hingga kini, karya-karya anda masih tetap digandrungi oleh orang-orang pribumi. Lain kali, jika saya ada waktu luang, saya akan mencari tahu tentang anda lebih jauh lagi. Sekali lagi terima kasih, Bapak Chairil.
Masih kutemukan dirimu, dalam jantung puisi bumi pertiwi. Berdebar dan berdetak. Kau tetap ada, tetap abadi, sampai seribu tahun lagi, wahai Binatang Jalang!
Note : Terima kasih untuk google yang telah menambah ilmu pengetahuan saya. Terima kasih juga untuk @analektakata, karena setelah membaca tulisan kalian yang berjudul “Surat Untuk Chairil Anwar”, ilmu saya semakin bertambah. Terima kasih.
32 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Setiap orang mempunyai cara tersendiri saat menyeruput kopi. Namun tetap dengan teknik racikan yang sama. Karenanya perbedaan latar mampu larut menjadi satu dalam hangat dan aroma kopi, seperti kita.
Kamu, Kopi, dan Buku Dongeng
Aku membayangkan bisa kembali berbincang membunuh waktu bersamamu di tempat ini. Berdua saja. Berteman secangkir kopi yang kita sesap bersama dan satu buah buku dongeng yang kamu ceritakan layaknya seorang tokoh yang benar-benar nyata dalam cerita tersebut.
Aku membayangkan bisa kembali menatap senyum manismu selama berjam-jam dengan tidak bosan-bosannya. Sunggingan senyum manis dan lekuk lesung pipimu yang selalu saja membuatku terbuai dan lupa segalanya.
Aku membayangkan bisa kembali menggenggam tanganmu. Jemari kita bersentuhan dengan lekat. Tak ingin lepas. Jari manis kita menari dengan riangnya. Sesekali pula biasanya kamu mencubit bagian atas dari ibu jariku.
Aku membayangkan bisa kembali menyandarkan kepalaku di pundakmu. Bercerita dengan seluruh kegelisahanku pada hari itu. Kamu dengan gagah berani menenangkanku dengan cara membelai dengan manisnya rambut panjangku.
Bayanganku sangat banyak sekali. Hingga saat ini, aku masih saja duduk meratap sambil sesekali tersenyum duka, karena kursi yang ada di hadapku tak diisi olehmu. Ini semua adalah salahku yang tak pandai mempersiapkan sebuah perihal perpisahan. Jika saja aku bisa mempersiapkannya jauh hari, mungkin aku akan siap kalau saja sewaktu-waktu kehilangan dirimu.
Aku tak kuasa jika menyesap secangkir kopi ini dengan seorang diri. Aku membutuhkan sosokmu di hadapku. Aku membutuhkan perlindunganmu di sisiku. Aku membutuhkanmu yang selalu saja membuatku tertawa terbahak-bahak ketika kamu menceritakan sebuah cerita dalam buku dongeng anak kecil.
Cinta kita sangat sederhana. Hanya berteman kopi dan buku dongeng. Aku sudah cukup bahagia dengan semua ini. Hanya perlu kamu, kopi, dan buku dongeng. Jika saja dari ketiga tersebut berkurang salah satunya, tentu saja kebahagiaan yang aku dapatkan tidak mutlak. Ketiga hal tersebut sangat berintegrasi satu sama lain. Berpadukan sebuah cita rasa, layaknya biji kopi yang bertemu dengan peraciknya.
Cinta kita tidak rumit. Tak ada sebuah permasalahan yang perlu dipermasalahkan. Kata orang, “hubungan yang tak memiliki masalah, belum benar-benar menjadi sebuah hubungan.” Itu adalah sebuah omong kosong besar. Bagi kita, masalah itu hanya sebuah gurauan belaka. Tak perlu dipermasalahkan. Kita hanya perlu menertawakannya agar ia segera berlalu menjauh.
Kadang kala, seorang pelayan menghampiri kami dan bertanya.
“Kenapa kalian sangat senang mengunjungi tempat ini?”
“Di saat kamu memiliki sebuah tempat memaduh kasih bersama seorang kekasihmu tanpa gangguan orang lain, kamu akan segera nyaman dengan tempat ini. Aku dan kekasihku berhasil mengukir kenangan di atas meja dan kursi, di bawah cahaya lampu tempat ini, di sekitar orang-orang yang menikmati kopi bersama kawan-kawan maupun kekasihnya.”
Kita belum menikah. Kita masih berumur hampir mendekati angka 28, tetapi memiliki jiwa mencinta layaknya kisah dalam dongeng-dongeng yang setiap saat kamu bacakan.
Andai saja kamu masih ada di sini. Kita masih bisa membuat orang sekitar yang ada di tempat ini cemburu dengan sebuah keromantisan kita yang tak pernah luntur hari demi hari.
Andai saja kamu masih ada di sini. Kita masih bisa membuat pelayan selalu tersenyum setiap saat melihat kamu dengan lucunya menceritakan kisah-kisah dalam dongeng sambil sesekali mengecup manis keningku.
Andai saja perpisahan ini tak terjadi.
Tulisan ini aku akhiri dengan sebuah duka yang sangat mendalam. Dari seorang wanita yang sampai sekarang dan sampai kapanpun akan selalu mencintaimu. Tak ada sosok pria lain yang mampu menggantikan genggaman hangat jemarimu di saat menyentuh jemariku. Tak ada sosok pria lain yang mampu menggantikanmu menceritakan sebuah kisah dongeng untukku. Tak ada sosok pria lain yang mampi menggantikan mesranya kecupan manismu yang mendarat tepat di keningku.
Aku segera beranjak lalu memberikan tulisan ini kepada seorang pelayan yang di saat dulu selalu senang melihat kami berdua membunuh waktu. Aku berpinta kepada pelayan tersebut agar tulisan ini ditempelkan di dinding dekat meja kasir. Mungkin aku tak akan kembali lagi ke sini. Karena sungguh, aku sangat tak kuasa jika harus menyesap kopi seorang diri tanpa dirimu yang ada di hadapku sembari menceritakan kisah dongeng yang sudah berkali-kali diulang.
“Semoga kita bisa melanjutkan kemesraan ini di kehidupan selanjutnya, sayang.”
Masif
Bangunan berukuran 24 meter kali 20 meter itu tak pernah sepi dari riuh cerita. Ia selalu meracik berbagai bumbu penat di pagi hari hingga buta menyergap. Wewangian parfum meliuk gemulai di antara gelak tawa dan ampas kemarin, aroma seduhan bubuk-bubuk kopi dan kepulan asap kopi hangat memenuhi ruangan bernuansa klasik, pada empat sisi temboknya bergantungan lukisan-lukisan beraliran neo-impresionisme.
"Buang saja, Ma."
Perempuan dengan pembawaan tenang, alumni jurusan design busana Universitas negeri di sebuah kota berjulukan "The Never Ending Asia", Yogyakarta. Siapa yang tak mengenal perempuan lincah dan periang itu. Selalu tersenyum, bahkan kerap kali melempar tawa--ciri khasnya pada suatu hal yang tidak bisa dianggap lucu sama sekali. Abstrak dan absurd, dua istilah itulah yang cocok disandangkan dengan dirinya.
November 2016, bulan kesebelas dan bulan kedua baginya untuk beradaptasi dan mencicipi manuskrip getir yang sesungguhnya tak ingin ditulisnya sebagai hadiah ulang tahunnya yang kedua puluh lima. *** Setelah berhasil menabrak angin kemarau dan kerlap-kerlip lampu jalanan yang menyilaukan mata, Rana tiba di sebuah tempat berhiaskan lampu-lampu kecil berwarna-warni memantul di riak air kolam ikan di bawah benderang rembulan.
"Seperti biasa, mas."
Sandy telah hafal dengan pesanan Rana. Dua cangkir Yuanyang, dengan sedikit gula, sepiring biskuit chocochips, selembar kertas dan sebuah pena. Ia menulis apa pun yang sedang bergejolak di hati dan pikirannya.
Alunan lagu Serenade Melancolique sesekali menyusup di antara lagu-lagu jazz dan beat tahun 90-an. Berebut ingin menghipnotis jiwa-jiwa melankolis. Di bangku kayu, pojok kiri di barisan paling belakang ruangan temaram tersebut, Rana duduk seorang diri; selalu seperti itu setiap malam. Menghadap panggung utama yang biasanya jika telah tiba pukul 9 malam akan ada dua hingga tiga perempuan dan lelaki yang menyanyi dan memusikalisasikan sebuah-dua buah puisi roman atau puisi cengeng.
"Rana, maaf aku harus membatalkan pernikahan kita. Kita tidak bisa melanjutkan lagi dan berjalan bersisian. Ini semua kesalahanku, yang sekarang jarum jam pun tak akan bisa berputar ke kiri lagi. Rana, maafkan a...."
"Sudahlah, mas Rama. Jangan terlalu sering meminta maaf kepadaku, nanti aku akan bosan. Dan jangan suka menyalahkan diri sendiri. Pergilah. Jagalah Mutiara, ia lebih membutuhkanmu saat ini, mas."
Senyumnya tersungging manis, dicobanya sealami mungkin, meski kini dadanya berguncang hebat dan di kepalanya tumbuh petir menyambar tiada henti. Binar matanya menyorot tajam ke dalam mata elang kekasihnya.
"Aku menyukai matamu, mata yang memberiku tempat berteduh di dadamu, ketika semua gelap sebab hujan menyerbu dan tak mungkin lagi nyata untuk kulakukan. Di sana aku jatuh berkali-kali dan kau telah menangkapku dengan kuat," batinnya membuncah tak terelakkan.
Rama meraih tangan Rana, menggenggamnya erat, sebuah sandi malam terakhir mereka akan bersama.
Deja senti, salah satu jenis de javu, yang selalu dialami Rana setiap malamnya. Setelah letupan-letupan api kecewa di dadanya menyembur bebas, ia selalu pergi ke tempat awal mula mereka saling mengaitkan hati dan janji setia--kini sudah tak lagi. Di tempat itu, Rana tak pernah libur menyesap Yuanyang, minuman asal China, terdiri dari kopi dan teh yang bercampur secara sempurna dalam satu tegukan. Sering disebut sebagai “minuman romantis” karena seperti percintaan laki-laki dan perempuan yang berpadu di dalam satu tegukan. Rana selalu menyukainya, sama halnya bahwa ia akan tetap mencintai Rama.
Hari pertama hingga hari ke sembilan puluh, Rana tak sadar bahwa ada yang selalu memperhatikan dan menatapnya dari kejauhan. Mendengarkan irama detak jantung yang tak senada dan semua ceritanya sepanjang malam. Adalah aku, sebuah lampu pijar yang menyala paling terang di tengah-tengah ruangan besar itu.
"Rana, andai aku diijinkan duduk menemanimu, aku akan meminjamkan bahuku dan merelakan lenganku untuk memelukmu, agar reda segala risau dan muram hidupmu. Aku ingin menggantikan tempat kekasihmu itu di dada dan kepalamu. Akan kuterangi wajahmu dengan sinarku. Andai."
Hingga tiba suatu malam, Rana tak lagi datang ke tempat itu selama tiga malam berturut-turut. Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaannya. Hingga malam keempat, bulan keempat, perempuan itu tak lagi datang. Dan malam, saat itu juga aku meredup, dan di menit kesepuluh semua ruangan menjadi gelap, hanya bayang-bayang tebal dan kisah lalu yang menempati bangku-bangku kayu.
Bekas Senja
Jingga masih memerah, hampir hilang namun sisa senja tertinggal di sana, setidaknya dari sini terlihat masih membias jingga yang sederhana, senja yang polos, sore yang lugu. Yang sebentar saja akan direnggut, direnggut indahnya, damainya, hikmatnya, sorenya akan berganti malam sebentar saja. Seperti tidak mau kehilangan momen, burung bernyanyi dengan kicau merdu pada jingga yang masih memerah, di sela deru bising kendaraan, sepasang burung masih menyanyikan lagu seremonial senja begitu mesra. Tapi bising kendaraan mengelabui rima kicau, nyanyian burung tak terdengar dari sini. Hanya siluet sepasang burung yang memandangi senja yang perlahan hampir hilang.
Atau hanya aku saja yang yang terlalu memikirkan nasib senja yang direnggut keindahannya oleh malam. Karena dari sini aku bisa melihat banyak sekali yang hiraukan senja dan sibuk dengan imajinasi mereka. Seorang wanita disudut ruangnya menerawang jauh, raut mukanya hampir tak bersahabat, apa yang sedang dipikirkannya. Bukankah, itu yang membedakan mereka dengan makhluk lainnya. Eksistensi manusia nyata karena ada yang dipikirkannya, kalau tidak ada yang dipikirkan mungkin dunia akan menjadi rimba yang terorganisir. Tak akan pernah puas dengan apa yang diperoleh, dan tak akan pernah berhenti sebelum semuanya dikuasai. Tapi kota ini sebenarnya adalah rimba yang menunggu penghuninya, para manusia tanpa akal pikiran.
Mungkin sebentar lagi wanita itu menjadi manusia tanpa akal pikiran untuk menghuni rimba kota, karena kelihatannya wanita itu sudah menyerah dengan masalah yang dipikirkannya. Pandangannya kosong, lamunannya tertuju pada cawan, padaku yang mencoba bersahabat dengannya. Aku masih tak mengerti, mencari sekitaran juga terlihat sama saja. Kawanan manusia lainnya, satu, dua, tiga orang yang duduk tanpa sembang, tanpa obrolan, tanpa tutur sapa sesamanya. Apakah mereka tidak mengenal satu sama lain, atau jangan - jangan mereka lupa caranya berteman, lupa bertutur sapa, lupa cara mengobrol, lupa kalau mereka hidup di dunia, bukan hidup di jejaring maya.
Sudah terlalu banyak yang aku lihat di sini, senja yang terabaikan manusia yang hampir hilang arah, hampir lupa caranya berteman, mungkin sebentar lagi mereka lupa untuk bernapas. Bahkan kalau pun aku sanggup membayangkannya, aku tak terbayang bagaimana jadinya jika napas mereka dijual seperti snack di supermarket, dilabel dengan harga tertentu. Hanya sebagian manusia saja yang bisa membelinya untuk menyambung hidupnya.
Aku memang tak akan pernah tau sisi lain dari manusia, aku tak pernah jauh berkelana, aku tak akan bisa memahami mereka. Tapi, hampir setiap hari aku melihat orang yang berbeda, melihat raut muka yang selalu berbeda, melihat senja yang selalu diabaikannya. Aku selalu mencoba bersahabat dengan mereka semua, mencoba memberikan nuansa senja yang sesaat itu, mencoba memberikan warna jingga yang hampir tak memerah, mencoba berkenalan dengan tegur sapa, tutur akrab, obrolan yang menyembangi mereka seperti teman lama.
Senja masih membekas dalam benak mereka walau malam melarut di langit, bintang merajut pola gemintang, semua membekas pada jingga yang memerah dalam cawan yang tertinggal. *** "Mas saya belum pesan, ini bukan pesanan saya,".
"Ini spesial buat mbak,".
"Tapi saya gak ada pesan kopi, dan lagipula saya gak suka kopi,".
"Ini gratis, terserah mbak deh mau coba atau gak, saya tinggalkan kopinya di meja ya,".
"Tapi, mas...,".
"Biarkan kopinya berkenalan dengan mbak secara sendirinya, jangan berusaha mencoba mengenalnya,". ***
Aku kembali melihat raut wajahnya, sekarang lebih dekat, ada segaris senyum yang sederhana, sesederhana menyesap kopi di senja yang hampir hilang. Awalnya aku kira wanita ini adalah salah satu manusia yang lupa caranya untuk tersenyum, senyumnya terlihat biasa, namun ada yang berbeda, senyumnya mengajakku jauh berkelana. Menjadi pengembara, keluar dari cawan nyamanku, ikut merasakan warna lain dari senja, ada biru, ada hijau, ada warna lain selain hitam. Seakan senyumnya mengembalikan ingatanku, mengembalikan tujuan asliku, mengembalikan kenang-kenang di senja yang hampir hilang. Izinkan aku berkenalan denganmu lebih lama lagi, aku, secawan kopimu.
Kopi
Aku mencintaimu. Tapi kebencianku pada pekerjaanmu tak bisa kupungkiri. Oh, bukan. Bukan pada pekerjaanmu, lebih tepatnya pada aroma yang kuhirup tiap kali aku mampir ke tempat ini, juga pada aroma yang menempel di kemejamu selepas kau pulang dari sini.
Kau seorang barista, dan kuakui setiap gerakanmu saat meracik kopi tak pernah gagal memesonaku. Aku seringkali datang hanya untuk duduk di sudut ruangan yang paling strategis untuk mengamatimu. Memperhatikanmu berinteraksi dengan apa saja sambil sesekali mengedipkan mata padaku. Aku betah berlama-lama di sana berteman novel atau laptop, tanpa memesan apa-apa.
Karena yang tertera di daftar menu hanya kopi dengan berbagai variasi, dan aku membenci segala sesuatu tentang kopi.
Kuatnya aroma kopi yang kau racik selalu mengingatkanku pada seseorang di masa lalu yang—kalau bisa—ingin kuenyahkan saja. Aku belum pernah menceritakannya padamu perihal ini karena takut kehilangan, meski hubungan kita telah menginjakan kaki di tahun kedua. Yang kau tau, aku tidak menyukai kopi karena keadaan perutku yang bermasalah.
Padahal ada hal lain di balik itu. Ada hal lain yang sangat kusesalkan karena tak bisa kuungkapkan padamu. Ia seorang penikmat kopi, yang dengan janji-janjinya pernah membawaku pada ilusi-ilusi duniawi. Kami pernah tinggal di atap yang sama tanpa ikatan yang hakiki, hanya berlandaskan cinta dan mimpi-mimpi belaka. Setiap malam ia memelukku dengan kata-kata, dengan larik-larik puisi yang mengantarkanku pada tidur paling dalam . Dan setiap pagi aku menyapa bibirnya dengan cangkir-cangkir kopi untuk mengawali hari.
Ia menyukai kopi yang kubuat dengan cinta paling hangat. Dan yang membuatku tersanjung adalah, ia tak mau menyeduh jika bukan jemariku yang mengolahnya. Ia memilih pulang dari kantornya daripada membeli di cafetaria. Ia memilih berpuasa jika perjalanan membawanya terbang jauh tanpa bisa mengajakku serta.
Dan bodohnya aku percaya. Aku percaya bahwa keberangkatannya setiap pukul setengah delapan pagi adalah untuk mencari sesuap nasi, dan kepulangannya setiap jam istirahat siang adalah karena merindukanku dan secangkir kopi. Aku juga percaya bahwa dinas luar kotanya adalah tugas negara. Aku percaya dan tidak pernah bertanya. Ia telah membelaiku dengan kata-kata paling nirwana dan di dasar puisinya aku jatuh tertidur.
Padahal ia tak lebih dari seorang maniak. Ia menghabiskan malam denganku lalu dengan wanita lain di pagi hari, kembali kepadaku selama satu jam di siang hari, dan pergi ke pelukan wanita lain lagi sepanjang sore. Ia bukan merindukan kopiku, ia hanya menikmati semua kopi—dan wanita, karena kutemukan cangkir-cangkir yang sama di meja kamar dalam rumah wanita itu.
Tidak pernah ada cinta untukku. Tapi cintaku padanya telah tumbuh hingga ke puncak kepala. Lalu dalam sekali waktu ia tumbang, dengan akar yang tertinggal dalam ruang-ruang rindu di tubuhku, dengan aroma kopi yang tak mau pergi dari indra penciuman.
Hingga hari ini.
Kau tahu kekuranganku—kerusakanku—tanpa pernah bertanya mengapa. Katamu, “setiap orang punya masa lalu yang ingin ia kebumikan, bahkan meski nisannya abadi dalam ingatan.” Dan dengan lapang hati kau menerimaku. Membalutkan kain-kain mata pada luka-luka yang kuderita. Kau begitu terbuka, tanpa rahasia tanpa pura-pura. Kau bahkan tidak jengah akan kehadiranku di sini hampir setiap waktu. Justru aku yang jengah, namun tak bisa berhenti merindukanmu.
“Bisakah kau bekerja di tempat lain saja?”
Ia menggeleng lemah dan tersenyum.
“Aku bisa bekerja di mana, Sayang. Tapi aku tidak bisa berhenti menjadi barista. Aku mencintai pekerjaanku sebesar aku mencintaimu. Aku tidak bisa tidak menggenggam gelas-gelas di rak itu, juga biji-biji kopi dalam tanganku. Ia telah lekat denganku jauh sebelum kita bertemu. Dan kini aku menginginkan keduanya, kau dan kopi.”
Ia pamit dari mejaku dan memintaku menunggu karena akan pulang lebih cepat hari ini. Dari balik bar ia tersenyum lagi.
Dalam hati aku berjanji untuk mulai mencintai kopi, meski pahitnya telah lengkap dalam inderaku, bahkan sebelum aku mulai menikmatinya.
28 April 2016
Ditulis oleh: @priaperindu
@symphonykalbu
@aizeindra
@jemarikanan
14 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Surat Untuk Chairil Anwar
Tumblr media
Jika kita berbicara mengenai bapak sastra puisi paling terkenal di Indonesia, tentu kita akan menjawab Chairil Anwar. Karya-karya yang diciptakannya semasa jaman Ir. Soekarno masih berkuasa, karena memang maknanya menggemparkan jiwa. Banyak sekali puisinya yang hingga saat ini masih menjadi terfavorit di kalangan pendidikan untuk dijadikan sebuah referensi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Tepat 67 tahun yang lalu jantungmu berhenti berdetak dan ragamu terbujur kaku dalam liang lahat. Ini adalah sebuah surat yang kami tulis untukmu sebagai bentuk apresiasi kami terhadap karya-karyamu yang masih saja hidup hingga saat ini.
Binatang Jalang Masih Hidup!
bukan kematian benar menusuk kalbu keridlaanmu menerima segala tiba tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta
Sajak pertama yang kau tulis saat menghadapi kematian nenekmu pada bulan Oktober, 1942. Dalam larik pertama, kau menggambarkan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dihadapi oleh setiap manusia sampai secara pribadi datang mendekat kepada kita atau datang kepada orang yang sangat dekat dengan kita. Kau menggambarkan ketika itu tampaknya sang nenek “ridla menerima segala tiba”, begitu tenang atau lebih tepatnya lagi barangkali, begitu tak berdaya. Sementara sang nasib, begitu dingin tanpa belas kasihan, perlahan-lahan menyerut umur si nenek. Bagimu, kematian nenek ini membuatmu melihat dua hal. Pertama, betapa tidak berdayanya manusia menghadapi sang maut. Kedua, betapa angkuhnya sang maut melaksanakan tugasnya yang bekerja tanpa mau berkompromi dengan siapapun. Sehingga, kau pun menjelaskannya pada larik ketiga dan keempat.
Kini saatnya aku menuliskan ulang sajak itu. Penggunaan –mu bukan lagi untuk sang nenek, melaikan dirimu; kematianmu. Selain Nisan, terlihat sekali juga bahwa maut selalu menggelayuti pikiranmu; seperti pada puisi, Nocturno (fragment)  dan Yang Terampas dan Yang Putus. Kau seakan meramalkan sendiri bahwa hidupmu akan singkat. Hingga akhirnya kau meninggal dalam usia muda di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun karena penyakit TBC.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Maret, 1943
Tidak. Kau belum mati. Aku selalu menemukanmu dalam tiap bait puisimu, walaupun ragamu telah tiada dalam kehidupan fana ini. Kau selalu hidup dalam jantung puisimu. Kalau kata Prof. Sapardi Djoko Damono, “yang fana adalah waktu, kita abadi.”
Kau adalah legenda sastra yang hidup di batin masyarakat Indonesia. Tak ada penyair Indonesia lebih banyak dikenang dibanding dirimu, seorang penyair terkemuka Indonesia. Kau bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Kau meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak; yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan, namun semua karyanya itu merupakan karya yang sangat berharga bagi dunia sastra Indonesia. Kau sebentuk optimisme anak muda yang yakin sepenuhnya pada potensi dirimu sendiri. Kau menciptakan puisi-puisi tentang kemerdekaan, tentang cinta yang pedih, maupun tentang maut yang selalu menggeluti pikiranmu.
Surat ini aku tulis sebagai bentuk apresiasi terhadap diri dan karya-karyamu. Semoga suatu saat aku dapat mengunjungi langsung pemakamanmu di TPU Karet, Jakarta, untuk menyelipkan sepucuk surat ini di batu nisanmu.
Abadi selalu, Bintang Jalang!
Kusebut Saja Pertemuan Pertama
Diponegoro dan Kerawang-Bekasi. Perkenalanku dengan puisi-puisimu adalah semenjak itu, Chairil. Semenjak seorang guru memanggil 9 tahun aku dan menyodorkan dua lembar kertas dengan kata-kata yang demikian asing. Ia memintaku belajar membacanya dengan lantang dan penuh penjiwaan, karena minggu depan kami harus pergi berperang.
Dan dalam hening di malam sepi, Chairil, aku yang cuma anak sekolah dasar mulai membaca larik-larik sajakmu. Di depan kaca, dengan nada seolah merdeka adalah kata-kata yang tersekat oleh fakta, seolah semangat mati muda adalah pilihan terbaik untuk bangsa, aku membaca.
Namun kuakui bacaan-bacaanku setalah hari itu bukanlah sajak-sajakmu. Aku tidak mengenalmu dengan baik selain kita adalah perjumpaan pertama yang membawaku pada dunia penuh metafora. Aku tidak mengenalmu dengan baik selain dari buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Jika ditanya berapa puismu yang pernah kubaca, biar kujawab: “Sebentar, aku googling dulu.”
Baru belakangan aku tahu sejarah, Chairil, meski sedikit sekali. Tentang Mata Kanan Perpuisian Indonesia, kau. Tentang siapa yang menggawangi metrum bebas, kau. Tentang puisi pertamamu, untuk nenekanda.
Barangkali baru beberapa hari lagi aku berencana untuk mengenalmu lebih jauh, melanjutkan perjumpaan pertama kita 13 tahun lalu, semoga kau tak keberatan. Terimakasih untukmu, karena hari itu aku mengenal puisi. Hari ini—dengan segala kekuranganku—aku masih berurusan dengan puisi. Semoga, sampai seribu tahun lagi.
Surat Kelahiran Cinta dan Pertemuan Awal
Lonceng-lonceng gereja berdenting melawan jam purba, memanggil nyawa-nyawa yang telah mati untuk hidup kembali. Hai, kau yang akan membaca surat ini, sediakan oksigen yang cukup sebelum karbon dioksida memenuhi parumu kembali.
Saya tulis surat pertama ini kala butir-butir peluru itu menembus kulitmu, di bawah sebutan “binatang jalang”, luka yang meradang menerjang tak gentar untuk kau bawa lari, mungkin kau sudah kebal atau semacam telah memiliki semboyan hidup “tak peduli”. Chairil, saya benar mengetahui bahwa sesungguhnya kau menginginkan seribu tahun lagi untuk dapat berdiri di bumi ini, bumi yang tidak berhenti terombang-ambing oleh para petinggi-petinggi tak beradab itu. Katanya mereka adalah manusia, katanya. Tapi entahlah. Sajak-sajak kematian yang sering kau tulis, saya sangat menyukainya; kita sama. Kematian adalah hal yang asyik untuk diperbincangkan dan diangkat tinggi-tinggi sebagai pegangan dan cermin kita—karena tak ada yang tahu kapan raga titipan ini akan berpulang.
Chairil, ini adalah kali pertama kita bertemu dan beradu suara, melalui surat amatiran yang saya tulis di antara detak-detak mesin waktu. Meski begitu saya telah mengenalmu—lebih tepatnya tulisanmu—sejak delapan tahun yang lalu, ketika saya duduk di bangku akhir sekolah dasar. Aku – “Kalau sudah waktuku Ku mau tak seorang kan merayu..................” Dan baru-baru ini saya mencoba untuk membaca apa-apa tentangmu. Chairil, benar, hidup memang tak semudah yang janin-janin impikan di rahim para perempuan itu. Tidak, Chairil. Hidup ternyata lebih membosankan, memperjuangkan apa yang haq dan apa yang batil, memperjuangkan mimpi-mimpi, hingga akhirnya bertemu maut yang kapan saja bisa menarik halus tangan kita untuk menghadapNya.
Jujur saja, Chairil, saya bangga akan semua yang terletak padamu. Kau adalah salah seorang pelopor periodisasi pertama dalam sastra Indonesia, angkatan ’45 oleh H.B. Jassin. Nasionalisme di tengah-tengah pergolakan sosial, politik dan budaya telah menjadikanmu sebagai sastrawan yang “tidak berteriak, tetapi melaksanakan”. Di sana kau; salah satunya, juga tidak pernah mengada-ada atau berpura-pura untuk menonjolkan analisis fisik, namun kepada hal yang sewajarnya, yaitu melalui percakapan antar tokoh, sehingga kau, Chairil, tidak terpengaruh oleh pengaruh asing.
Perihal cintamu kepada Sri Ayati yang tak pernah kau ungkapkan itu, saya benar-benar menyayangkan, kau tak punya cukup keberanian untuk mengatakannya dan memperistrinya tentunya. Tapi cintamu untuk Hapsah Wiraredja dan putri cantikmu; Evawani Alissa, sungguh tak diragukan lagi.      
Usiamu kala itu masihlah sangat muda untuk meninggalkan kekacauan di negeri ini. Kau itu adalah sosok yang dibutuhkan di negeri ini, untuk menata kembali yang berserakan. Tapi Tuhan lebih menyayangimu, Ia memanggil dan merampasmu dari tetekan dan dekapan Pertiwi. “Jang Terampas dan Jang Putus”, menyerah katamu, kode yang kau tuliskan sebelum kau pergi. Itu tak benar. Walau telah terampas dan putus, ia tidak akan menyerah. Seperti cita-citamu—mungkin, menyerah untuk mimpi dan impian tidak akan pernah terulang dan terjadi lagi. Ingat hal itu baik-baik, Chairil. Perjuanganmu sudah putus, tapi kami yang harus menyambung dan memperbaikinya kembali. Jangan cemaskan apa pun, beristirahatlah penuh dan bernyayilah riang di sana, jangan sia-siakan hadiah indah dan nikmat yang kekal dari Tuhan. Surat ini sudah pastinya kau baca dari sana. Ya, kepada Tuhan saya menitipkannya. Jika ada waktu sedikit, balaslah surat ini di kemudian hari. Saya menunggunya.
"Ragamu lenyap, tapi detak penamu tak pernah mati di jantung pertiwi."
28 April 2016
Ditulis oleh:
@priaperindu 
@jemarikanan
@symphonykalbu
Sumber Gambar.
27 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Tentang Perempuan “Kartini”
Detik-detik menjelang 21 April 2016: Hari Kartini, sehari lalu terlewati. Bisakah kita ngobrol sejenak tentang waktu-waktu beberapa tahun ke belakang? Tentang perjuangan kaum perempuan pada jaman penjajahan, tentang bagaimana mereka menangis di punggung Indonesia Raya ketika proklamasi dikumandangkan, tentang anak-anak gadis yang tunduk pada kepiluan--yang sebenarnya mereka ingin bebas. Bagaimana mereka memperjuangkan nasib sesamanya yang masih terdiskriminasi oleh budaya, kaum lelaki dan para penguasa.
Setelah itu, bisakah kita kembali ke masa kini, menilik sekitar dan membicarakan tentang pernak-pernik kehidupan perempuan di jaman sekarang?
Tumblr media
Perempuan 1 : "Bagiku perempuan adalah rumah. Sejak jaman perjuangan atau bahkan sebelumnya--hingga sekarang, perempuan masihlah sebuah rumah. Tanpa mereka di waktu-waktu perjuangan, siapa yang akan mengurus dapur umum dan pos-pos Palang Merah?"
Perempuan 2 : "Tapi tidakkah kamu berpikir, bahwa mereka tak sedikit dan tak jarang juga yang dijadikan sebagai gundik para kolonialis? Membobol setiap kemaluan perempuan dengan buah pelir panas mereka?.”
Perempuan 1 : "God. Sarkasnya bahasamu, haha. Aku paham, membaca dari berbagai sumber, nasib kaum perempuan dimasa penjajahan sangat menyedihkan. Jati diri mereka tidak dihargai, kerhormatannya dilecehkan. Tapi bukankah itu bukan kemauan mereka? Ada yang tidak tahu apapun, dipaksa, dan ketika mereka menolak, tamparan dan siksaanlah yang didapat?."
Perempuan 2 : "Setidaknya sarkasme yang kulontarkan ini tidak seperti yang dilakukan kolonialis kepada kaum-kaum kita. Hm, perempuan Genosida '65, segelintir yang mewakili gundik-gundik tersebut, memberikan banyak kesaksian pada kaum kita di jaman saat ini. Mereka masih hidup. Menurutmu, bagaimana kau memandang perempuan saat ini?."
Perempuan 1 : "Perempuan masa kini? Aku ingat ada artikel di sebuah blog yang mengatakan seperti ini: "Jika, wanita masa Ibu Kartini, dipaksa menjual harga dirinya kepada Belanda, wanita kini dengan rela menjual segalanya demi uang sekian juta." Dan, ya, aku setuju. Masalahnya ada pada gaya hidup. Beberapa waktu lalu mungkin perempuan yang bekerja sebagai PSK melakukannya karena tidak ada pilihan lain. Tapi sekarang, hal itu seringkali dilakukan demi bisa beli tas bermerk yang harganya ratusan juta. Bukankah demikian?"
Perempuan 2 : "Kamu benar. Aku tak menampis hal itu. Gaya hidup (keglamoran), hura-hura dunia, pikiran yang pendek dan sejenisnya membuat Kartini, tentunya memandang iba dari atas langit sana. Ya, seperti pusaranya tak ada lagi cahaya--jika ini dikaitkan dengan semboyan "Habis gelap terbitlah terang", yaitu atas perjuangannya di masa silam. Jika cahaya gelap itu masih memayungi para perempuan kita, maka percuma saja apa itu makna emansipasi dalam kemardekaan."
Perempuan 1 : "Yap. Tapi tidak semua perempuan di negeri kita demikian adanya. Ada dari mereka yang mengikuti jejak Kartini dan membekali diri dengan keahlian, pengetahuan, dan wawasan berfikir yang luas sehingga mampu menjadi pemimpin bangsa. Yang tidak baik adalah mereka yang menganggap emansipasi berarti memiliki kebebasan seluas-luasnya sebagai perempuan dan terjerumus dalam gelapnya dunia."
Perempuan 2 : "Dari semua kehidupan dan keturunannya, perlulah kita sebagai perempuan, utamanya anak merah putih untuk banyak membaca dan mempelajari sejarah bumi dan perjuangan perempuan-perempuan pertiwi ini, dan meresapi serta mengamalkan apa-apa yang telah diperuntukkan untuk perempuan. Kenapa? Agar kita, perempuan Indonesia khususnya, bisa membentengi diri dari pengaruh-pengaruh budaya luar, perampasan hak perempuan dan juga bisa meneruskan detail-detail harapan "Ibu Perempuan" dan kawan-kawannya. "Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya dan tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri."
Banyumas - Jember, 20 April 2016
Ditulis oleh:
@jemarikanan dan @symphonykalbu
Submit tulisan ini telat sehari dari Hari Kartini, tapi semoga kita, Perempuan Indonesia tidak akan mengalami keterlambatan dalam menerapkan ajaran dan makna Hari Kartini, ya :)
Indonesian’s Women have a right and must to free!! 
13 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Analekta Kata
Karena sebuah ikatan bisa berawal dari mana saja. Mungkin dari kata yang bersatu dalam bait-bait puisi, dari cerita yang bermuara pada lembar demi lembar prosa, juga suara-suara terpadu dalam instrumen paling syahdu. Dan kami adalah empat tokoh di balik layar, dari cerita-cerita yang terukir di dinding maya. Dengan perbedaan latar, menyamakan rasa, melengkapi keping-keping yang tak pernah sempurna dengan rangkaian kata.
Persembahan dari Analekta Kata untuk launching akun tulisan kolaborasi kami, @analektakata | analektakata.soundcloud.com. Selamat menikmati dan mencari makna sebuah kata bersama kami.
"Membaca dan menulislah selama engkau masih ingin hidup dan bernapas seutuhnya."
Salam aksara!
Ziarah Paling Luka
Tumblr media
Kita pernah bersama-sama menjelma menjadi sepasang burung. Kita juga pernah menjadi daun-daun kering yang gugur dari rerantingan pohon maple. Malam itu angin begitu kencang berputar di balik tudung kepalaku, saat engkau menggandeng sayap kananku. Kepak sayap pun perlahan melemah, tak bisa imbangi kepakan sayapmu. Dari arah utara silau pendar rasi andromeda menyorot mata kita. Seakan menjadi kompas di langit yang arang. Hujan. Kembali menghantam kita. Aku adalah jelmaan seekor burung betina yang baru melakukan penerbangan mengitari samudra cinta, bersamamu. Aku tidak pernah lelah dan bosan, mungkin hanya butuh jeda untuk istirahat. Menepi di bawah lipatan awan, denganmu yang merapatkan pelukan di dadaku yang masih tertatih mengeja dan menerjemahkan sandi-sandi langit. Tapi engkau, terlalu cepat meninggalkanku di tengah hujan yang semakin menggigil, tanpa berbasa-basi, tanpa ber-ini-itu kepadaku. Aku menjadi dedaunan kering yang gugur dari kehidupan pohon mimpi, di sebuah perkampungan rindu. Tak peduli dengan lirikan rerumputan di pematang sawah, engkau pergi. Dan aku terjatuh di atas batu kerikil hitam, terjerembap ke dalam kubangan benci.
Bodoh sekali rasanya berada pada posisiku yang masih sering mengingat kenangan di kala itu. Kita yang dulu saling mengucapkan kata sayang antar satu sama lain, kini saling menafikan satu sama lain. Seandainya saja ada mesin waktu, aku ingin kembali ke masa di mana aku tak ingin menerima jabat tangan tanda perkenalan denganmu pada malam pertemuan kita. Kamu yang pada malam itu dengan sangat gagah berani berkata bahwa “kamu adalah wanita tercantik yang aku lihat di ruang yang berisikan banyak wanita ini.” Pun aku dengan bodohnya begitu saja terpikat dengan buaian rayuan manismu dengan sekejap. Harusnya aku mengatakan “terima kasih” saja, lalu berpaling. Lihatlah sekarang; aku seperti seorang yang tanpa tujuan hidup selain mengemis balasan rinduku yang selama ini aku lantunkan dalam doaku sebelum tidur. Anganmu selalu saja bersembunyi di balik selimut tidurku. Suaramu masih saja selalu berbisik halus di telingaku. Kenangan itu, masih terlukis manis di dalam memoriku.
Wangi mahkota kamboja menyusup sepi menyeringai dalam tanda tanya, masuk merasuk tanpa permisi hingga bergidik kaku, bibir keluh lupa menyapa sukma yang tersesat. Angin tak sesejuk kemarin yang menyapa kenang - kenang masa lalu, merumuskan rindu terungkap jejaring siluet frasa. Merangkai segaris tipis tinta harapan yang terbuat dari awan mewarnai lengkungan langit, hampir hujan tanpa mendung, sesaat memutarkan kotak rekaman. Membias dan beredar di sekitaran rahasia, senyap, tak terdedahkan di telinga. Rintik tak lagi menyemai, hanya meluapkan yang seharusnya terpendam, terlupa, terabaikan oleh kemajuan. Rupa zaman dirajut rapi, semewah mungkin, sampai mereka berasumsi bahwa ini semua adalah revolusi. Tabir keyakinan membatasi antara tanya dan nyata, mimpi tidak lagi bersemayam dalam diri pemimpi. Lukisan cahaya matahari menembus bening rintik hujan, dalam siang, hujan yang bergemuruh. Tak perlu perihal tertentu untuk menyeka rasa yang pergi dan berlalu, merunutnya dalam ratap, siasati kesah tak berkeluh. Menipu diri sendiri, mencoba menjiarahi kata yang terucap.
Menipu diri sendiri. Entah kau percaya atau tidak, aku masih sering melakukannya. Memulai pagi dengan mengobrol pada cermin dan berkata "aku baik-baik saja", "aku mampu membuat hariku sempurna" atau "aku bisa menemukan yang lebih daripada kau". Tapi sungguh, aku tidak pernah baik-baik saja. Semenjak kepergianmu kala itu, aku seperti ranting yang dilibas musim, seperti tanah yang tak lagi pernah dicumbu hujan. Yang tersisa dari hidupku hanyalah segaris senyum palsu, hanya sederet topeng kayu. Aku lupa seperti apa suara tawaku padaku pada mulanya, karena yang kutau, aku tertawa dalam tawamu. Akupun lupa bagimana rasanya bebunga-bunga, bagaimana menghidupkan lagi hatiku yang mati rasa, karena yang aku tau, ia hanya mengenali sentuhanmu. Jika kau jadi aku, mampukah kau menjalani luka-lukaku? Mampukah kau terpenjara dalam ingatan yang kuncinya jelas-jelas telah ditenggelamkan? Kurasa tidak. Tidak ada yang bisa menikmati luka sebaik aku melakukannya. Karena kau adalah masa lalu paling sempurna, yang mengantarkanku pada rindu paling fana.
Musim telah berganti rupa menjadi angka merah yang tertinggal di sebuah kalender. Aku mencoba bersolek seapik mungkin, memoles luka dan rindu di depan kepergianmu yang tak pernah lagi singgah di bingkai jendela kamarku. Tak mau lagi berharap terlalu dalam, karena takut sayap-sayapku akan patah lagi tanpa ada yang bersedia menetesinya dengan obat merah seperti yang kaupunya, yang katanya kaudapatkan dari sebuah rumah yang menempati di tiga perempat jantungku. Jujur saja, kini aku menghadiri prosesi persemayamanmu, menenteng sekeranjang kembang cempaka dan seikat dupa yang kusiram dengan segelas tangisku. Hei, jangan terlalu bahagia! Itu adalah tangis terakhirku di bumi kenangmu. Dan kau sekarang patut tersenyum di sana. Bagaimana? Engkau akan dikremasi dan disemayamkan di mausoleum di depan jendela kamarku, agar aku bisa menziarahimu setiap saat. Di atas pusaramu telah kucurikan sebuah epitaf dari bungkusan kenangan kita di masa lalu.
Sudah sewindu ini aku tak pernah lupa untuk menziarahi mausoleummu. Seorang anak perempuan yang bermain dengan boneka di taman belakang rumahnya pun selalu saja melihatku menenteng sekeranjang kembang cempaka putih dengan bulir air mata yang menggelinding di pipi. Matahari yang hendak beranjak menuju ufuk Barat menjadi saksi kesedihanku atas kepergianmu. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan ini. Aku selalu saja larut dalam kubangan duka ini. Padahal, mungkin saja kamu telah berbahagia di alam sana tanpa kehadiranku di sisimu. Pada setiap kunjunganku, dewa Cupid selalu saja melantunkan alunan rindu dari biola emasnya. Alunan rindu tersebut bukannya membuatku semakin teduh, melainkan buncah rindu yang semakin menjadi-jadi. Entah sudah berapa liter air mata yang telah aku habiskan akibat duka kepergianmu. Aku makin jemu. Hingga suatu saat, aku ingin melompat dari sebuah jurang agar duka ini segera berakhir. Tetapi, anak perempuan yang biasa melihatku menziarahi mausoleummu berbisik, “Jangan mati karena duka rindumu.”
Rimbun masa lalu bersembunyi pada kenangan yang katanya patut dikenang, yang katanya patut didendangkan, yang kata mereka layak untuk menjadi bahan renungan. Merenungi dan memilah kenang-kenang manakah yang harus dibuang, dan manakah yang masih bisa dipertahankan. Tiap kita yang bermain dengan waktu, akan mengalami siklus dimana kenang akan muncul seketika, seperti sayatan petir terukir di langit mendung, seperti sketsa mimpi hinggap kepada mereka yang tertidur, seperti senja yang hilang secepat kedipan matahari. Malam pun mendatangkan keluh kepada mereka yang tak luput, lalu rintik hujan tak sempat basahi bumi, kosa kata menghilang dalam lamunan. Malam pun mendatangkan ragu kepada mereka yang terbuai, lalu bumi mendamba dicumbu hujan berkali - kali, kosa kata tertinggal di pangkal lidah. Hingga pada saat yang tepat, malam pun mendatangkan rindu kepada mereka yang ditinggalkan, bumi tetap merindu dan rintik hujan masih berusaha membalas rindu di tiap mendung, rasio kata untuk semesta menjadi do'a peziarah.
Do'a para peziarah adalah sama. Mereka ingin lupa pada yang telah tiada, pada yang pernah jaya pada masanya namun kini tinggal puing belaka. Namun faktanyanya, setiap benda yang tersentuh tangan, setiap tempat persinggahan, dan setiap lagu yang didengarakan adalah kenangan. Seperti halnya aku yang telah menyanggupi lepasnya kau dari hidupku. Sehari dua hari aku masih mampu terbangun dengan mawar mekar di cekung mata. Yang tumbuh berkat sisa hujan malam kemarin. Seminggu dua minggu kakiku mulai melangkah begitu saja, membawaku kembali ke Taman Ria tempat kita pernah mengagumi lampu kota dari atas bianglala. Sebulan dua bulan dan waktu setelahnya yang tak lagi mampu kuhitung, aku tenggelam dalam ingatan paling dirimu. Seolah di setiap langkahku kau masih mengiringi, seolah di setiap tawaku kau masih membersamai. Dan benar saja, semakin aku mencoba meluapkan lupa, semakin ketiadaanmu mengada-ada. Aku terjebak dalam dimensi paling melankoli, ketika mencoba melupakan justru membawa seorang peziarah kembali, menemukan kepingan kenangannya.
06 April 2016
Ditulis oleh:
@symphonykalbu
@priaperindu
@aizeindra
@jemarikanan
10 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Audio
Merunut Rindu
segores senyum melintang dalam paras lekat dalam lamunan tanpa jeda, tanpa koma sesatkan hati, pikiran tergugah selayang roman hadirkan sejuk bathin yang tengah gersang ajarkan aku merindukanmu, hai pemilik senyum tanpa nama.
seperti ada yang tengah berbisik, memanggil pendar-pendar di ujung lampu neon kamarku laron? ah bukan melayang-layang mengitari benci yang tumbuh mengakar di bilik dada.
angin mungkin membawa bisik rindu yang terjalin beredar di tiap ruang asa pada jantung yang berdebar singgah dalam relung kenang yang mengangah kali ini, rinduku luar biasa, siapakah kamu?
kau bertanya padaku, wahai pria yang selalu merindu aku akan mengangguk rendah dan pelan sekali saja lalu menggelengkan kepala berotasi ke kiri karena gravitasi lelahku sudah tiba pada ujung kendaliku.
bumi tak akan pernah salahkan gravitasi rindu pun tak perlu disiasati kemarau musim yang baik adalah saat rindu bermukim cobalah ikhlas disembangi rindu, karena rindu tak pernah ragu, yang ragu hanya waktu.
pernah kau bercerita kisah tenggelamnya kapal Van der Wijck bukan karena musim kepada buminya tapi matamu yang elang kini mencabik paksa inginku untuk berkata aku merindukanmu-- diam saja.
rinduku harus terus terang karena rindu ini terlalu membahagiakan
29 Maret 2016
Ditulis oleh @Aizeindra dan @symphonykalbu
24 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Audio
Kau: Puisiku
semakin jelas guratan rindu yang tercipta di lapang keningku sebab mengingatmu terlampau sering, hingga ketika bertemu cermin kulihat kau tinggal dalam setiap detailku
paras ayumu tergambar dalam lamunku guratan senyum manismu di balik bibir memanggil untuk segera dikecup terbesit hasrat ingin bercinta
hingga waktu mengantarkan tarikan nafasmu ke dalam alveolusku. partikelnya endap menjadi semacam rindu yang mustahil dibersihkan bahkan ketika kelak aku mati : kaulah semoga yang malih senantiasa
ku berdoa kepada Tuhan dengan penuh harap tetes air mata menetes pada jemariku yang merekah bergetar memohon agar temu disegerakan antar kita di bawah rembulan
sampai akhirnya perputaran waktu menjadi saksi bisu luruhnya segala aku dalam rindu memotret tawamu dalam setiap kedip mataku lalu setiap kata yang kutulis dan setiap puisi yang kubaca: kau terbayang seketika
karena kau adalah mengapa puisiku tercipta abadi di antara bait puisiku menjelma menjadi kenangan dalam angan terbawa hingga tidur; hingga dimensi mimpi
26 Maret 2016
Ditulis oleh: @priaperindu dan @jemarikanan
13 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Surat Dari Yang Membenci
Embun tak berbekas di sini, bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana tupa embun yang membelai mesra bibir daun. Hanya ada keangkuhan gedung yang berdiri menjulang saling menyombong dengan barisan koloni gedung lainnya. Aku hanya satu dari banyak gerombolan bakteria yang sedang berjudi nasib di organisme perkotaan. Hanya saja, tiap bakteria memegang peran dalam organisme, lalu aku termasuk bakteria baik atau bakteria buruk? Aku hanya bakteria di tengah kota.
Awalnya aku merasa semua yang di dunia ini tak lebih hanya rentetan siklus yang akan terulang, dan diulang lagi, kemudian mengulang semuanya sampai mereka lupa. Sempat angkuh bersemayam dalam diri menggerogoti nurani hingga tanpa sadar membuai nafsu. Bakteria semacam apa yang punya rasa angkuh? Aku, mereka hanya bakteria semesta, kota merupakan klise yang tak akan pernah habis.
Aku sama seperti mereka, lupa membayar pajak akan udara yang tiap hari digunakan, lupa menyapa ramah bumi yang mulai enggan bersahabat, lupa mengobrol dengan waktu yang selalu baik menjaga masa. Aku pun lupa, tapi surat menggugah selera makan, perut mendadak mual, ingin muntah sampai tak tersisa.
Hampir genap seminggu berdiam di rumah, panggilan tak terjawab dan pesanan yang masuk di smartphone tidak bisa dihitung jari. Gairah hidup sudah sampai di titik nadir, memilih antara menghilang dari keramaian atau meramaikan sesuatu yang hilang.
Ini hari ke lima dan terbangun dengan surat yang sama dan paragraf pembuka yang sama, namun tidak ada penulisnya, tiba tanpa ada yang mengantar, tepat di celah bawah pintu apartemen. Aku enggan membacanya, hanya baik pertama yang aku ingat itu pun selalu berhasi membuatku bergidik. Di sisi lain, rasa ingin tahu yang rakus untuk membacanya menyeluruh isi surat tersebut, namun ketakutanku sudah terlebih dahulu menguasai naluri.
Takutku mungkin sebab ruang kamar kurang pencahayaan, atau suasana pagi yang benar - benar meremang karena mendung. Tertinggal surat tanpa pengirim di meja, tirai terbuka, memandangi awan yang mengintipku dari celah dua gedung yang saling meninggi. Menatap kaku, masih ada awan yang mengembang walau tidak ada lagi ruang untuk terlihat.
Dari ketinggian ini, sisi gedung menyudut jauh, mobil - mobil mengecil, lampu jalan sebesar tusuk gigi, manusia disibukkan waktu. Manusia. Seperti berjalan di dalam isi kepala, dan melewati ruang - ruang kenangan, kata manusia berhasil mengingatkanku tentang film pagi tadi yang selalu bercerita tentang kepunahan manusia, tentang gempuran alien ingin menguasai bumi, atau benarkan manusia tidak layak bermukim di bumi. Mendadak aku benci menjadi manusia, atau jangan - jangan aku memang bukan manusia, aku adalah alien yang sedang menyelidiki kelakuan manusia.
Aku semakin yakin, kalau aku bukan manusia, aku tidak mengingat sedikitpun kejadian kemarin. Jika aku alien pastinya ada sesuatu seperti ruang rahasia atau perlengkapan senjata yang tersembunyi di suatu tempat di kamar ini. Sekeliling tampak biasa saja, aku tidak menemukan sesuatu, tapi aku yakin. Aku bukan manusia.
Pena di meja memilih mengeja bisu, kertas kosong menuai tanda tanya, aku terduduk dengan memulai paragraf pertama dengan mengutip yang termaktub.
Yang membencimu adalah dirimu, kelak saat raga tanpa asa, kelak saat raga tak lagi terjaga, kelak saat raga tak lagi bernyawa. Hidup terlalu sederhana jika sekadar digunakan untuk bernapas, bodohnya manusia yang hidup tak bermanfaat untuk dirinya.
Yang membencimu adalah waktu, bahagia dalam tangis, tertawa dalam sedih, senang dalam sengsara. Di rentang waktu ada masa yang berlalu dan masa yang datang menjemput, bodohnya manusia yang terjebak dalam dawai masa kini.. . . .. . . .. . . .. . . .
***
"Uggh, mungkin ada kecoa di dalam kepalaku, sehingga sakit sekali, apa yang sudah aku lakukan kemarin sampai sakit seperti ini," di lain pagi, sebuah pagi yang berbeda."Surat lagi?"
Yang membencimu adalah dirimu . . . .
"Surat ke enam, dengan paragraf yang sama, tanpa pengirim. Mungkin orang bodoh yang menuliskan surat ini."
Medan, 26 Maret 2016
Ditulis oleh Aizeindra
3 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Kiamat Perasaan
Selamat malam, kamu yang bergender wanita. Maaf kalau isi surat ini terlihat seperti omong kosong. Tapi, tolong, aku minta sedikit waktumu untuk sudi membacanya.
Pertama-tama, aku ingin mengucapkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mama kamu. “Tante, terima kasih telah melahirkan bidadari yang menjelma menjadi manusia ke Bumi ini. Terima kasih telah mempertaruhkan nyawa tante untuk melahirkannya. Semoga tante selalu diberikan kesehatan oleh-Nya. Aamiiin!”
Kedua, aku ingin perkenalan sedikit. Kamu masih ingat denganku yang mengajakmu berkenalan saban malam yang lalu? Kalau kamu lupa, berarti itu hal yang wajar, karena aku masih asing.
Ketiga, aku memiliki satu buat puisi untukmu:
Aroma kafein mengambang Di bawah lubang hidung Belum disesap sedikit pun Hanya menghirup uap
Air hitam ini menunggu dinikmati Berdua; penikmat lainnya Sesambil berbincang mesra Perihal hati
Membunuh waktu Terjaga bersama Menabung kantung mata Menunggu senyum mentari
Terakhir, aku ingin berpinta satu hal. Pintaku seperti ini:
“Bolehkah aku yang asing ini mengajakmu untuk duduk mengopi berdua, membunuh waktu, dan membicarakan perihal kemesraan, bermandikan teduh terang bulan?”
Dari aku, yang selalu menanti waktu berbincang denganmu.
Berkali-kali membuka kotak pos elektroniknya hanya untuk melihat apakah perempuan pujaannya telah membalas surat elektroniknya tersebut. Pria itu kembali menyesap kopinya yang sebentar lagi menyentuh pantat gelas. Asap pun dimainkannya keluar masuk ke dalam mulutnya. Tak sedikit penyesalan bahwa rindu telah menjarah waktunya dikarenakan seorang wanita yang salah.Wanita yang masih terjebak keangkaraan sebuah kenangan bersama pria lain.
Di lain waktu pula, ia selalu berujar dalam hati, bahwa apakah perbuatan merindunya telah benar ataukah salah. Di ruang perkuliahan tak dapat berkonsentrasi karena materi yang ingin masuk ke dalam kepalanya terhalang oleh rindu yang lebih besar.
***
“Mungkin kamu harus mencoba untuk memberanikan diri berbincang dengannya.”
Salah seorang teman memberikan sebuah petuah klasik.
“Ini bukan perihal sebuah keberanian atau tidak. Ini sangat berbeda. Wanita itu masih mencintai pria lainnya. Bukankah aku sangat kurang ajar jika mengajaknya berbincang? Mungkin, iya, menurutmu bahwa seorang perempuan tak akan mampu move on tanpa hadirnya seorang pria baru yang masuk ke dalam kehidupannya. Tidak bagiku.”
Aku selalu menunggu. Menunggu dia berlalu di jalan depan perpustakaan, ataupun menunggu dia makan siang di kantin. Bukan menunggu untuk berbincang dengannya.Hanya bisa memandangnya dari balik kerumunan orang sekitar.
Aku mendapatkan sebuah kabar dari langit, bahwa hari ulang tahunnya jatuh pada tanggal 13 di bulan Maret.Sebuah mitos angka kesialan. Semoga hari-harinya tidak dia jalani dengan kesialan.
Hari berlalu semakin cepat, kurang dari 4 hari lagi hari ulang tahun itu tiba, dan aku belum mendapatkan konsep ide untuk hadiah kejutannya. Mencari di Internet pun, aku rasa hasilnya tak akan menarik. Bahkan, aku sempat melihat di Internet bahwa salah satu kado terindah untuk kekasih di hari ulang tahunnya ialah, mengajaknya untuk membangun keluarga. Tidak. Aku belum siap untuk menjadi suami. Belum saatnya.
Sampai suatu malam, aku duduk berbincang bersama kedua temanku.
“Kamu kenapa akhir-akhir ini sepertinya terlihat tak semangat gitu?”
Sebuah lontaran pertanyaan yang membuat tubuh ini seketika terbujur kaku. Haruskah aku untuk berterus terang kepadanya perihal aku kembali jatuh cinta setelah hampir setahun tidak menjalin sebuah kisah asmara?
“Lagi jatuh cinta.”
“Lho?Sama siapa?”
“Seorang wanita.”
“Iya. Aku tau wanita. Siapa?”
“Kamu sudah tahu jawabannya: wanita. Tak perlu dibahas lagi.”
“Namanya!”
“Nanti kamu tahu sendiri.”
“Aku deket sama dia?”
“Mungkin. Kamu satu UKM di kampus kok sama dia?”
“Hmm. Rafika?”
Dentuman menghantam relung hati dengan sangat keras. Tahu darimana nama orang yang telah membuat aku mabuk rindu setiap malam? Aku jarang bercerita perihal aku yang jatuh cinta kembali. Hanya beberapa teman dekat yang mengetahui perihal ini.
“Ulang tahunnya udah lewat, lho.”
“Bukannya tanggal 13 Maret?”
“Kata siapa? Dia kemarin sedang galau karena mantannya tidak ngucapin selamat kepadanya?”
Seketika aku lemas mendengarkan pernyataan itu. Mengapa hal sepele seperti ini bisa aku lewatkan. Padahal aku telah percaya penuh terhadap kabar dari langit yang mengatakan bahwa ulang tahunnya telah jatuh pada tanggal 13 di bulan Maret.
Esok harinya aku mengambil jatah absen kuliah untuk memanfaatkan waktu mencari sebuah kado spesial untuknya. Tak ada kata telat untuk memberikan hadiah kepada orang terkasih.
Siang itu terik matahari sangat menyengat. Sepeda motor kupacu laju menuju sebuah toko donut buatan Dunkin Donuts untuk memberikannya sebagai pengganjal perut waktu makan siangnya. Aku membelikan 4 biji donut karena memang keuangan sedang tipis-tipisnya.Bukan donut saja, masih ada satu bucket bunga yang harus kubeli untuk kuserahkan kepadanya.
Setelah semua urusan berbelanja hadiah ulang tahun telah usai, aku kembali menuju kampus.Kudapati beberapa teman yang sedang beristirahat di waktu luang perkuliahan. Aku menitipkan beberapa hadiah ini beserta ucapan doa ulang tahun yang terselip di dalam surat yang kuselipkan, dan seberkas perasaan yang masih terpenjara dalam diam.
Sore harinya, aku mendapatkan sebuah surat dalam kotak pos elektronikku. Segera aku membuka isi surat itu. Tertulis sebuah ucapan terima kasih.
“Terima kasih buat doa, bunga, buku, paramex, dan lainnya. Semoga bermanfaat dan pastinya akan berkenang. Terima kasih membuat hari ku sedikit berwarna untuk hari ini.Terima kasih sudah menjadi orang pertama yang memberiku sesuatu yang spesial, walaupun ulang tahunku 3 hari lagi.”
Sebelum aku membungkus sebuah novel yang kuberikan kepadanya, aku menyelipkan obat paramex bersama sebuah catatan yang mendampingnya. Bertuliskan, “Jangan lupa paramexnya diminum agar tidak sakit kepala pada saat galau.” Aku tak ingin karena galaunya pada seorang pria lain, sehingga bisa saja membuahkan sebuah sakit pada kepalanya. Mungkin paramex bisa menjadi jalan keluarnya.
Kalimat terakhir dalam surat itu membuatku menjadi orang yang sangat idiot. Aku sempat terperdaya dengan kata yang terucap oleh temanku mengenai ulang tahunnya telah lewat, dan perempuanku telah galau karena tak mendapatkan ucapan ulang tahun dari mantannya. Aku menyesal karena menduakan kepercayaan terhadap kabar dari langit yang mengabarkan tanggal ulang tahunnya yang sungguh-sungguh.
Malam harinya pun aku mendapatkan sebuah pesan singkat dari temanku.
“Aku minta maaf. Ternyata ulang tahunnya memang 3 hari hari.”
Aku hanya menjawab terima kasih kepadanya. Mungkin aku bisa mengambil sedikit sisi positif dari kejadian ini. Aku unggul satu langkah dari mantannya.Mungkin 3 langkah, karena hadiah yang aku berikan diterima tepat 3 hari sebelum ulang tahunnya.
Kembali berpikir keras untuk hadiah keduanya. Kali ini aku menculik teman perempuanku dengan iming-iming mentraktirnya untuk makan siang di salah satu resto cepat saji. Selepas makan siang, aku mengajaknya untuk berkeliling mencari sebuah kado yang cocok untuk hadiah keduanya.
Aku mampir di sebuah Mall untuk membelikan satu buah lipstick bermerk Revlon dan sebuah boneka Panda yang sangat lucu. Tak lupa juga membelikan satu bucket bunga lagi, beserta 1 lusin donut buatan J.Co. Tentunya di setiap hadiah yang aku berikan, akan ada satu buah surat yang isinya sangat mengagung-agungkannya.
Aku berpikir bahwa, mungkin aku memang tak ditakdirkan untuknya. Sehingga surat ini aku dedikasikan sebagai surat yang terakhir untuknya. Tak ada lagi surat-suratan. Setelah dia menerima kado kedua ini, saatnya aku kembali memerankan peranku yang akan mencintainya dalam diam.
Isi surat terakhir tersebut seperti ini:
Selamat menanti senja, Fika.
Ada seorang anak yang selalu berdoa agar segera dipertemukan oleh malam. Dia sangat mencintai sinar rembulan. Teduh terang bulan mampu membuat hatinya tentram. Ada pula aku. Seorang yang selalu berdoa agar dipertemukan denganmu. Aku sangat mencintai garis senyum dari balik bibir itu.
Bukan. Aku bukan menginginkan bibirmu. Aku ingin kamu. Kamu saja. Kamu selalu. Andai saja kamu tahu perasaan di balik diam ini, yang menyapamu pun aku tak sanggup. Bukan karena aku takut, tapi karena aku mengetahui bahwa masih ada nama pria lain di dalam hatimu.
Masih ingatkah dengan sebuah celengan rindu yang aku buat saban hari yang lalu? Mungkin kamu sudah lupa. Celengan tersebut sebentar lagi terisi penuh. Buncah rindu yang tak henti-hentinya mengisi. Ini celengan, bukan lautan yang tak ada batasan isinya. Rindu yang merangkap menjadi hantu lalu kemudian selalu membisik ketika aku lengah, “Ayo, segera, temuilah! Jangan jadi pria cemen seperti ini. Kamu bukan kamu yang aku kenal.”
Ini kali pertamanya aku gentar terhadap wanita. Bukan aku ingin terlihat sok berani, tetapi ini perihal yang sangat berbeda.
Aku hanya mampu menatapmu dari kejauhan, belum mampu untuk mengajakmu berbincang, membunuh waktu dan mengusir sepi bersama. Aku tahu betul bahwa kamu masih sangat mencintai pria itu. Kamu sudah pasti tahu siapa yang aku maksud. Pada posisimu sebagai wanita yang masih terjebak kenangan dengannya, tentu saja aku sangat kurang ajar jika kemudian mengajakmu berbincang perihal hati. Tetapi, jika saja kamu membolehkan aku untuk membantumu move on, tentu saja aku dengan senang hati sangat bersedia.
Sudahlah. Kenangan masa lalu tak usah diusik, agar tak terusik. Kenangan telah mempunyai tempatnya sendiri. Mengingat boleh, larut akan lara jangan. Seandainya saja aku bisa menjadi pria yang melipur laramu, tentu saja aku termasuk golongan yang berbahagia. Tapi, itu hanya andai-andaiku yang terlalu tinggi mengambang di awang-awang, dan mungkin tak akan turun melesat menuju anganmu.
Jika saja aku mengatakan bahwa perasaan itu seperti sebuah kiamat, tak ada yang tahu kapan datangnya, apakah kamu setuju dengan pernyataanku tersebut? Perasaanku telah bergetar sangat kencang bak gempa bumi dengan skala ritcher yang sangat dahsyat; diakibatkan olehmu. Bukan, aku tak minta pertanggungjawabanmu. Ini cuman hatiku saja yang terlalu cepat bergetar. Bukan main dampak sebuah jatuh cinta, mampu membuat waktu seseorang tersita banyak karena merindu dan menyendu semalaman.
Kalau kata Benz Bara, “Jika cinta hanya sepihak, itu akan percuma.” Sampai suatu saat kamu telah siap untuk membicarakan semua perihal kecuali perihal perpisahan, aku akan ada untuk mendengarkan semuanya. Jika hatimu telah lelah mengelilingi berluas-luas samudera, percayalah, tambatkan segera jangkar kapalmu ke pelabuhanku. Aku akan ada untuk menyambutmu dan memberikanmu pelukang hangat. Aku selalu percaya bahwa air sungai mengalirnya ke hilir. Sama seperti sebuah hati, tahu kemana akan mengalir.
Kamu akan selalu menjadi puisi terindahku, di antara diksi-diksi cantik, tercipta bersama melodi perasaan, dimana puisi tersebut aku simpan rapi di rak bukuku, lalu esok harinya akan kusetubuhi kembali diksi puisi ini dengan mesra.
Menunggu tak ditunggu. Mengejar tak berhenti. Tapi aku selalu suka jika hal tersebut mengenai kamu.
Selamat bertambah umur. Jangan lupakan ibadah wajib, jangan suka bersedih. Lekas berwisuda. Semoga kamu berbahagia selalu.
***
Setelah dia menerima hadiah beserta surat ini, dia kembali mengucap terima kasih dan ada sebuah rasa bersalah sedikit.
“Terima kasih. Makasih atas hadiahnya. Aku padahal telah jahat sama kamu. Kamu sudah memberikan banyak, tetapi aku masih saja terjebak kenangan bersama pria lain. Terima kasih atas semua yang kamu berikan. Maafkan aku yang saat ini masih belum bisa membalas rindu dan perasaanmu padaku.”
Tidak. Kamu tidak jahat. Hanya seorang penjahat saja yang jahat. Ini aku saja yang terlalu menganut prinsip jatuh cinta pada pandangan pertama, sehingga membuat perasaanku kiamat lebih cepat terhadap dirimu, sebelum waktunya.
Sebagian teman mengatakan bahwa apa yang aku lakukan untuknya ialah perbuatan yang sangat sia-sia. Bukan hanya membuang-buang waktu, tapi juga materi. Aku tak bisa menahan jika menyangkut hal seperti ini. Aku sangat mahir mengunyah rindu.
Malang, 20 Maret 2016
Ditulis oleh @priaperindu
10 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Di Ujung Masa, Matahari Meleleh pada Buminya
Perempuan bertubuh es dan berwatak api itu selalu menyenandungkan sebuah lagu kesukaannya untuk seorang pria tenang berbadan tinggi dan berwajah oriental, namun silau wajahnya masih sangat kental dengan raut wajah orang-orang Jawa.
F.T.Island – Always be Mine
I hear you breathe You’re lying close to me The shadows gone I have found my peace You make me calm With you I’m safe from harm And right by your side I’ll stay throught the night ‘til eternity That’s the way it will be
  And I wonder what you’re dreaming of You’re so peaceful when you sleep Everything I want everything I need is lying here in front of me And if I ever lose my power to fly Then your love takes me high I’ll always be true to you Sometimes I think I might lose it all Guess the chances are small Casue you hold me close I feel you near Don’t let go say you’ll always be here Just hold me tight and I’ll be fine
 Dreaming you will always be mine Just like the sun You make me warm inside Like a soft summer breeze A moment to seize So true I won’t stop loving you
 Sesekali si pria juga menyanyikan sebuah lagu untuknya, yang tidak tahu mengapa pria itu sangat menyukainya ketika adik perempuannya, lima tahun yang lalu memutarnya di ipod miliknya, mungkin adik sepupunya telah memasukkannya kesana tanpa sepengetahuannya. Park Bom 2ne1 – You & I. Sedikit terbata pria itu ketika menyanyikannya, karena bahasanya adalah bahasa korea. Sehingga dia memutuskan untuk menyanyikannya dalam bahasa Inggris, seperti saat ini.
No matter what happens even when the sky is falling down.. I’ll promise you that i’ll never let you go.. I promise you that i’ll be right here baby.. You are the only one and i’ll be there for you baby.. Just You and I.. Forever and ever..
****
Hani...
Adalah sebuah nama yang hingga kini terukir indah di pikiranku. Ia adalah perempuan pertama yang aku cintai. Di hari-hariku selalu ada nama dan bayangannya. Setiap aku pulang dari kampus dan pekerjaan sampinganku, ia selalu menyambutku dengan seulas senyum manis di sudut bibirnya. Aku bahagia melihat senyuman itu. Rasanya tak ada yang dapat menggantikannya.
“Han..” panggilku ketika aku sudah tiba di depan pintu sebuah rumah kecil yang terletak di Komplek perumahan Cimanggu Permai, Bogor.
Kreekkk....
Pintu terbuka dan seutas senyuman manis melengkung indah menyambutku. Senyuman manis milik Hani. Segera saja aku memeluknya erat. Semua lelah yang aku rasakan hari ini akibat pekerjaan dan aktivitas di kampus luruh seketika, entah kemana. Aku tersenyum kecil melihatnya seperti itu. Ia membalas pelukanku dengan sangat erat, mengalahkan eratnya pelukanku. Tubuhnya selalu dingin. Bahkan ketika aku memeluknya sekali pun, aku dapat merasakan dingin itu.
“Han, are you ok?,” aku melepaskan pelukan dan segera memegang kedua bahunya, menatap lekat matanya. Ia menjawab pertanyaanku hanya dengan gelengan singkat. Segera ia menarik tanganku masuk ke dalam rumah, menutup pintu. Aku bingung melihat sikap anehnya yang seperti ini.
“Ada apa, Han?.” Aku duduk di sofa panjang berwarna biru pudar dengan aksen dekorasi warna putih. Dia mengambil tas gendong hitam yang masih aku kenakan di punggung.
“Kau lelah, Ki?.”
“Tidak. Aku tidak lelah. Lelahku benar-benar hilang saat tiba di rumah dan kembali melihatmu, Han.” Aku tersenyum dan memegang pipi tirusnya.
“Kau bohong, Ki! Lihat itu, wajahmu sangat kusam dan berkerut seperti orang tidak pernah menyetubuhi kasur.” Kali ini ia membentakku halus dan menatap wajahku.
“Hm?.” Segera kupegangi wajahku.
“Aku tidak lelah, Han, sungguh. Kau tidak percaya kepadaku?.”
Hani tidak menjawab pertanyaanku lagi. Ia malah beranjak dari sofa yang kami duduki dan lenyap ke arah dapur kecil di rumah sederhana yang telah kami tempati selama lebih kurang dua tahun ini.
“Dasar Hani.. Hani,” gumamku sambil menggeleng dan tersenyum kecil.
Perlu kalian tahu. Aku mencintainya sejak pertemuanku dengannya di sebuah cafe, di kota Melayu Deli, Medan. Sifat rapuhnya saat ia menangis karena kekasihnya yang telah meninggalkannya, berselingkuh dengan teman karibnya sendiri, berhasil membuatku menjadi lelaki yang tak wajar. Pada kenyataannya, aku mencintainya. Mencintai sesosok manusia yang sangat kubenci, dulu, enam belas tahun silam. Ia teman kecil, teman bermain dan musuhku sekaligus. Ini terpaksa aku lakukan karena saat itu aku masih seorang bocah tengik berumur sembilan tahun, yang hanya bisa manut pada aturan kedua orangtuaku. Keluarga kami sudah lama menjadi rival hanya karena hal sepele, masih perkara kekuasaan dan kedudukan saat penetapan ketua Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga terciptalah sebuah peraturan antara keluargaku dengan keluarganya, yaitu memutuskan silaturahmi. Tapi sayangnya, Hani tidak mengetahuinya, dan parahnya lagi ia tidak mengingat dan mengenalku. Aku tak bisa menghindar dari kenyataan itu, untuk membencinya seumur hidup. Aku bisa tersenyum bahagia hingga kini, karena telah dipertemukan kembali dengannya. Aku yakin Tuhanlah yang mengantarkannya padaku, dalam hidupku.
“Ki...” Hani tiba-tiba datang dan membuyarkan lamunanku. Aku pun kaget telah mendapatinya berdiri tepat di hadapanku.
“Ah, iya, Han. Apa yang kaubawa?.” Aku melirik benda bulat putih yang ia bawa dari dapur, mangkok ya namanya. Ia duduk di sampingku dan meletakkannya di meja kaca berbentuk jajarangenjang.
“Kau seperti gembel saja. Cepat bersandarlah. Aku akan mengelap wajahmu dengan air hangat.” Ia kembali mengambil mangkok putih besar berisi air hangat. Aku menuruti kata-katanya. Dan ia mulai mengelap wajahku perlahan dengan sebuah saputangan warna coklat yang dulu aku berikan padanya sebagai kado ulang tahunnya yang kedua puluh satu. Sesekali aku tersenyum saat ia mendekat ke wajahku, mengelap wajahku. Wajahnya sangat manis. Hatiku sejuk ketika menatapnya. Dan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya mampu membuatku tenang.
“Yah!! Apa yang kau lihat?!.” Tiba-tiba ia menghentikan aksinya mengelap wajahku. Aku hanya tersenyum kecil tanpa meluncurkan kata-kata dari bibirku.
“Kenapa diam? Jawab, Kiki!.” Ia terlihat kesal dengan sifatku yang membisu dan hanya senyam-senyum tak jelas sedari tadi.
“Jawab Kiki!!.” Dan akhirnya ia meninju bahuku.
“Ugh, sakit, Han.” Aku memegangi bahuku dan masih dengan senyuman absurd yang aku banggai.
“Kenapa kau memukulku? Mau membunuhku?.”
“Kau menyebalkan!,” mulutnya mengerucut dan ia beranjak dari sofa.
“Mau kemana?.” Aku segera menarik tangannya. Ia tak menjawab dan masih dengan wajah kesalnya meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Aku tersenyum kembali melihat tingkahnya. Sifatnya sangat kekanak-kanakan. Meskipun kini kami sudah tiga tahun bersama dalam satu atap, dia tetap saja tak berubah dari sifatnya saat pertama kali saat aku memutuskan untuk tinggal bersamanya. Manja. Ya, Hani sangat manja. Tapi aku tak pernah menuntutnya untuk berubah. Aku lebih senang dengan semua yang telah ada padanya. Dia tulus mencintaiku. Setiap kekurangan yang ia miliki adalah semua kelebihan yang aku cintai. Kekurangan yang akan kuubah menjadi suatu kelebihannya nanti.
Dia tetap saja mengabaikan pertanyaanku. Aku sangat malas sebenarnya dengan sifatnya yang seperti itu. Aku berdiri dari dudukku dan berdiri di hadapannya. Menatap dan tetap memegang tangannya.
“Kau marah padaku?.” Tatapan matanya berlawanan dengan tatapanku.
“Aku hanya bercanda, Kiki.” Senyumanku kembali terlukis di sudut-sudut bibirku. Sifat jailku muncul begitu saja saat melihat wajah Hani cemberut kesal. Selalu saja aku ingin menggodanya. Dia selalu blushing saat kugoda.
“Kau yakin mau marah kepadaku? Sampai kapan, Han?,” kutatap lekat wajahnnya. Dia makin memalingkan wajahnya. Dan menghindari tatapan mataku.
“Hah!,” desahku dalam hati. Aku menarik tangannya dan lagi-lagi memeluknya erat. Mendekapnya, kugenggam tangannya yang mulai dingin. Udara malam ini memang sangat dingin. Sejak tadi siang jalanan aspal kota Bogor tertutup kabut dan derasnya hujan. Sesuai dengan namanya, Kota Hujan. Kota yang akan  menjadi tempat tinggal kami berdua. Kota tempat kami akan memulai kehidupan yang baru, merajut cinta kami menjadi lebih erat dan melupakan semua kejadian-kejadian tiga tahun lalu.
“Kau sangat menyebalkan, Ki!!,” katanya lirih saat aku memeluk nya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Suaranya begitu lembut. Aku mendekapnya semakin erat. Aku tak ingin dia kedinginan. Karena ia sangat membenci dingin.
“Maafkan aku, Hani,” aku mengelus lembut rambutnya.
“Aku mencintaimu. Lebih dari mencintai diriku sendiri,” aku mengecup ujung kepalanya.
Hani sangat suka saat aku mencium dan menepuk lembut ujung kepalanya. Aku mengajaknya ke kamar. Malam sudah mulai larut. Aku begitu lelah. Sepertinya Hani juga sangat lelah. Setelah sampai di kamar aku memeluknya lagi di tempat tidurku. Mendekap kuat badannya.
“Tidurlah, Han. Sudah malam. Kau juga mengantuk kan?.”
“Hm.”
“Tidurlah.”
“Aku tidak akan membiarkanmu kedinginan, Hani. Aku akan selalu melindungimu”, batinku sambil terus mengelus rambut hitam lurus milik Hani. Kudaratkan bibirku tepat di atas bibir tipisnya, mengecup lembut bibirnya.
Aku berbiskik di telinganya, “In aeternum te amabo, Hani.” Setelah itu aku mulai memejamkan mata bersamaan dengan Hani yang sudah terlelap. Beginilah aku setiap hari bersama dengan Hani, gadis yang sangat aku cintai. Pagi hingga siang aku mengajar kursus bahasa latin. Sebenarnya empat tahun yang lalu aku juga menjadi guide pariwisata. Namun aku berhenti dari pekerjaan itu. Karena jika menjadi guide pariwisata aku tak akan sebentar berada di kantor perusahaan asing di kota Bogor ini. Dan otomatis aku akan lama meninggalkan Hani seorang diri di rumah. Aku tak mau itu berlanjut hingga lama. Dan akhirnya kini aku hanya mengajar kursus bahasa latin. Sore hari aku kuliah hingga menjelang malam. Aku sangat menikmati kesibukanku ini. Meskipun aku selalu merasa sangat lelah, namun semangat terbaik selalu kuberikan untuk Hani. Aku tak ingin mengecewakannya. Karena saat ini hanya dialah hidupku. Hanya dia yang aku punya. Orang yang mampu membuatku tetap berdiri kuat di tengah terpaan badai dan debur ombak dari lautan tetangga. Dan walaupun tanpa kasih sayang dari orang tuaku. Aku rela melepaskan semuanya untuknya. Keluarga pun sudah aku lepaskan demi seorang Hani. Teman-temanku serta orang-orang yang aku percaya telah aku lepaskan, begitu saja. Bersamanya adalah keinginan dan mimpiku sejak dulu, sebelum kami sempat terpisahkan oleh peraturan sialan yang dibuat oleh kedua keluarga kami, jarak dan waktu yang juga meredam perbincangan-perbincangan kecil dan sederhana dari masa-masa kecilku dan Hani.
“Ketika sadar jarak memisahkan kita, waktu mengungkung ingin kita, tangisku tumpah. Bukan apa-apa. Tolong jangan hiraukan aku. Ini tangis bahagiaku, mencintaimu walau kita berbeda.”
“Ketika kata-kata kehilangan makna sejatinya, saat itu aku tak akan berhenti mendoakanmu. Doaku adalah cara mencintaimu dalam diam. Maka, berjanjilah seperti mentari yang setia menjaga buminya. Seperti angin menemani hujan.”
Kata-kata yang ia katakan padaku. Saat itu aku tak bisa berbuat banyak untuknya. Hanya berdoa agar Tuhan segera mempertemukanku lagi dengannya. Dan doa-doaku terkabul. Aku bertemu dengannya kembali setelah hampir sembilan bulan sejak pertemuan tak sengaja di sebuah cafe yang letaknya tepat di depan gedung kantor pos di kota Medan, Merdeka Walk Cafe. Setelah beberapa bulan ia juga berseteru dengan orang tuanya tentang hubungan tak wajar ini. Aku menangis saat mengingatnya. Hatiku sakit. Ini bukan sepenuhnya salahnya. Aku juga bersalah. Kenapa aku tak bisa menahan diri dan mengendalikan emosiku bahwa aku mencintainya. Aku malah menangis tepat di hadapannya, mengaku bahwa aku ini sebenarnya mencintainya. Membuatnya yakin dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya demi aku, seorang Kiki.
Tapi aku sama sekali tak menyesal akan pilihanku ini. Aku bahagia bisa bersamanya. Bisa hidup bersamanya. Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan. Aku lupa untuk memberitahu, kalau dua bulan yang lalu aku telah menikahinya. Menikahi Hani di gereja Zebaoth, gereja ayam, orang-orang Bogor menyebutnya, di atas altar berhias bunga ester putih dan kuning kesukaannya, tak lupa dengan perpaduan antara pita biru turquise dan dua tangkai Calla Lily serta daun smilax di beberapa deret kursi, terkesan minimalis tetapi anggun dan menawan dengan kombinasi karpet putih tulang ditabur mawar petals putih. Hanya kami dan pendeta yang hadir di sana, dalam pernikahanku dengan Hani. Tak ada orang lain selain tiga biarawati setengah baya. Hani terlihat sangat cantik memakai gaun putih selutut dengan rambut hitam panjangnya yang terurai begitu saja menutupi punggung indahnya. Aku yang mengenakan setelan kemeja dan jas putih menunggunya di atas altar. Di atas altar itulah aku mengucapkan sumpah suci sehidup semati bahwa aku akan mencintai dan menyayanginya, menjaganya hingga akhir hayatku. Saat itu dia menangis. Hani menangis sejadi-jadinya, karena pada akhirnya aku menikahinya. Aku berdoa semoga kehidupanku bersamanya bisa abadi hingga kami terpisah nanti. Cinta kami bisa terus mengalir untuk orang-orang yang kami sayang. Agar mereka bisa merasakan cinta kami yang begitu kuat. Hingga kami bisa tersenyum lagi di tempat keabadian.
Aku telah berjanji akan terus menjaga dan melindunginya. Membuatnya selalu tersenyum dan bahagia. Akan aku berikan semua yang aku miliki. Bahkan nyawaku akan kuberikan padanya. Aku tak ingin dia pergi mendahuluiku. Aku ingin dia berada tepat di sampingku saat akhir waktuku menutup mata. Aku ingin dia mencium keningku saat aku terbaring lemah di atas tempat tidurku. Aku ingin dia menggenggam erat jemariku dan memelukku saat aku mulai kehilangan separuh napasku. Aku ingin dia mengucapkan “Aku benar-benar mencintaimu, Kiki. Selamanya” saat aku tidur pulas.
Aku tak ingin dia menangis. Apapun itu alasannya. Aku tak ingin melihat air matanya jatuh membasahi pipi indahnya. Aku tak ingin lagi mendengar isakan-isakan tangis cengengnya. Aku tak ingin melihat senyum manisnya terhapus dari bibir merahnya, dan dari hidupnya. Aku ingin dia selalu tegar dan kuat. Meskipun tanpa aku dalam hidupnya lagi. Karena aku akan selalu menjaga dan mengawasinya dari tempatku, kelak.
“Aku akan selalu hidup untukmu, Han.”
Sumenep - Jember, 2011 - 2016
Ditulis oleh @symphonykalbu
3 notes · View notes
analektakata-blog · 8 years
Text
Sebuah Rumah untuk Nouri
Lemon itu belum tersentuh sama sekali sejak sejam yang lalu. Es batu yang sebelumnya tergenang kini telah mencair sepenuhnya, meluber hingga keluar gelas kaca. Rumah makan gaya klasik ini juga memutar lagu-lagu barat, yang parahnya sama sekali tidak kukenali, hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Sama sekali tidak mampu memperbaiki suasana hati. Masih saja membuat kami bertahan di dalam keheningan.
Kami, aku dan pria yang duduk dihadapanku. Ia masih terlihat sama seperti dua bulan lalu, seperti dua tahun silam, seperti saat pertama kali kami bertemu pada acara seminar di sebuah kota. Sepasang mata coklat terangnya masih sayu seperti dulu, sehingga ketika menatapnya aku merasa seperti hujan hendak jatuh mencumbu tanah. Bibirnya masih melengkungkan senyum favoritku, yang ketika sudut-sudutnya ditarik untuk tertawa, aku merasa tengah mendengar alam berbahagia.
“Bagaimana kabarmu, Nouri?”
Ada kupu-kupu yang menggelitik bagian perutku saat ia bertanya. Suara khasnya. Beratdandalam. Aku seperti menemukan apa yang alam bawah sadarku rindukan selama beberapa minggu ini. Ya, suaranya. Suara yang dulu hampir aku dengar sepanjang waktu, dari bangun tidur hingga malam menjelang. Suara yang aku dengar dari barisan kursi belakang pada jam kuliah, dan suara yang terngiang sepanjang perjalanan pulang saat ia mengantarku pulang dari kampus.
“Kabarku baik, Adnan. Kau sendiri?”
“Baguslah. Tidak ada kabar yang lebih menyenangkan daripada mendengar kau baik-baik saja, tidak pula kabarku.”
Kalimat terakhirnya membuat hatiku serasa disayat-sayat. Khas dirinya sekali. Merendahkan diri, mengalah, dan melakukan segala rupa demi bahagia orang sepertiku.
“Tolong jangan berkata begitu.”
“Aku hanya bicara tentang fakta, Nouri. Dan tanpa bertanyapun, harusnya kau tahu bagaimana kabarku.”
“Adnan...”
“Tidak, Nouri. Aku tidak baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun kabarku baik-baik saja semenjak kepergianmu dua bulan lalu. Kau pergi dan hilang begitu saja serupa angin yang hanya mampir menyapa sebelum tiada.”
Aku tengah menahan air mata dengan susah payah saat keheningan kembali menyelimuti kami. Rasanya mataku sudah basah, tapi pikiranku menahannya agar tidak jatuh seperti hujan malam ini. Ia tidak boleh jatuh, atau pertahananku akan begitu saja runtuh.
Pertahanan. Sebuah dinding yang berhasil aku bangun selama dua bulan. Dinding untuk menutup mata pada apapun yang pria ini lakukan. Dinding untuk menutup telinga dari kabar kabar apa saja tentang kehidupannya. Untuk tidak peduli apakah ia mendekati perempuan lain setelah kepergianku, apakah perempuan itu lebih baik dibanding aku, dan apakah-apakah lainnya lagi.
Sebuah dinding yang aku bangun untuk menjaga jarak, untuk tidak peduli.
***
29 Agustus 2015
“Kita sudah berakhir, Adnan,” jelasku pada suatu malam dingin pada akhir bulan Agustus.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Angin berulang kali mampi rmenepuk pipi. Jalanan sudah demikian sepi ditinggal penghuninya menuju alam mimpi. Kami duduk di halaman kosku, di bawah remang remang cahaya lampu kuning yang seharusnya sudah waktunya diganti. Bulan tidak bersinar malam ini, mungkin ia lelah berputar seharian, mungkin ia jengah dengan bumi, atau mungkin ia memahami bahwa pertemngkaran ini tak layak untuk disaksikan.
“Tapi aku masih mencintaimu, Nouri. Tidakkah perasaanmu demikian juga? Katakan dimana letak kesalahanku, agar bisa kuperbaiki, agar kau bisa menerimaku lagi.”
Aku meremas rambut, menyalurkan frustasi. Sudah entah keberapa kalinya aku menjelaskan alasan-alasan, dan entah sudah berapakali pula ia bertanya. Pembicaraan kami seperti benang kusut yang sedang coba dicari kedua ujungnya agar bisa diluruskan kembali. Tapi ternyata, mengusutkannya jauh lebih mudah dari pada mencari ujung-ujungnya.
“Tidak ada, Adnan. Permasalahannya ada padaku, bukan padamu. Aku hanya merasa hubungan ini tidak bisa dilanjutkan lagi, atau pada akhirnya aku hanya akan terus menyakiti.”
“Aku baik-baik saja, Nouri, kau tahu itu. Aku bisa mengerti apapun yang kau lakukan, aku menerimanya. Aku menerima karena itu adalah dirimu dan aku tidak ingin merubahmu seperti apa mauku. Aku selalu bisa menerima karena yang aku inginkan hanya kau seorang, Nouri. Percayalah.”
“Di sanalah letak masalahnya, Adnan. Karena kamu demikian sabar, karena aku begitu keras kepala. Ingatkah ketika aku berselingkuh dan menceritakannya padamu sambil menangis? Yang kau lakukan hanya menghapus air mataku dan mememeluk. Kau bilang hal itu bisa diterima karena mungkin aku sedang khilaf. Padahalakumelakukannyasecarasadar, bukankarenakekhilafan. Dan kau selalu begitu. Padahal aku ingin kau marah, padahal aku ingin kau mengukum kesalahanku agar aku sadar. Karena aku bukan orang yang akan berhenti jika tidak ada yang memberi ketegasan.”
Ia mencoba menyentuh pipiku dengan tangannya namun segera aku tepis.
“Berhenti, Adnan.”
“Mengapa kau menyalahkan sebuah kesabaran, Nouri? Tuhan mencintai orang yang sabar, tapi mengapa kau malah tidak menyukainya? Mengapa kau malah ingin berhenti mencintai orang yang sabar? Mengapa, Nouri?”
Tanganku mengepal begitu erat menahan amarah. Mata kami masih saling menatap, satu menyorotkan tanda tanya besar, satu ingin mencoba memberi jawaban. Tapi jawaban yang aku berikan tidak lantas bisa ia mengerti, tidak kunjung bisa ia terima.
“Aku tidak menyalahkan kesabaran. Kesalahanmu selama dua tahun ini adalah hanya dan hanya terus bersabar. Aku butuh diperbaiki, Adnan. Dibenahi, diarahkan. Bukankan begitu tugas seorang imam? Aku butuh dikontrol dari sifat-sifat burukku. Aku sadar banyak kesalahan yang aku perbuat, dan karena tidak bisa memperbaikinya seorang diri maka aku membutuhkanmu. Tapi sekali lagi, yang kau lakukan hanya bersabar menerima kesalahan, menerima kerusakan yang aku timbulkan. Ini tidak benar, Adnan.”
Ada setetes air yang jatuh dari sudut matanya. Ada sorot yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia bisa mencoba mengerti. Lalu lagi-lagi kami melebur dalam keheningan ditengah dingin malam.
“Aku masih akan menunggumu, Nouri.”
***
Di luar hujan belum berhenti, dan suasana jadi kelewat sendu. Aku tidak lagi menemukan kejernihan di dalam kepalaku. Hanya kenangan yang kembali berlarian dalam ruang sempit di sana, seolah ia baru saja dilepaskan dari penjara. Kenanganku bahagia lepas dari dinding yang selama ini mengekangnya, tanpa tahu, kembalinya ia berati kembali pulalah luka-lukaku.
“Jangan menangis, Nouri. Aku datang lagi hari ini untuk melihatmu tersenyum.”
Dia menepuk-nepuk punggung tanganku dengan lembut seperti dulu. Mengusapnya meski tak ada debu yang menempel di sana. Tangannya begitu bening dan halus. Aku sering iri padanya karena kulitnya lebih halus dari pada aku yang notabene seorang perempuan. Sampai saat ini pun masih begitu, dan aku menyesal.
“Maaf aku meninggalkanmu, Adnan. Aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa meningkalkan seseorang pada akhirnya akan sesakit ini.”
Ia mengusap air mataku dengan jemarinya ketika tangisku semakin menjadi. Persetan dengan pengunjung cafe yang memperhatikan kami dan berbisik-bisik di belakang.
“Jangan mengis, Nouri. Ingat pertemuan terakhir kita dua bulan lalu? Sebelum aku pergi ditelan malam, sayup-sayup kau bilang kau butuh seseorang yang mampu merubahku menjadi lebih baik, bukan hanya menerimamu apa adanya kan? Dan aku bukan orang itu.”
“Maaf, Adnan.”
“Sepulang dari sana aku merasa setengah gila. Aku merasa matahari direnggut dariku sehingga yang tersisa hanya malam. Hari-hariku begitu berat, seperti bukan hanya matahari, tapi perlahan oksigenpun seperti ditarik dariku. Rasanya seperti aku ingin enyah saja, Nouri. Mereka yang bersimpati kepadaku mengatakan agar aku mencari yang lain saja. Tapi aku tidak ingin mencari pelampiasan, Nouri, tidak ingin mencari penggantimu. Karena tidak ada ucapan selamat pagi yang ingin kudengar selain dari bibirmu.”
Terdengar nada getir dalam setiap kalimat yang ia ucapkan. Kalimat yang diucapkan dengan demikian santai, demikian sabar, namun pahit melekat erat pada pangkal lidahnya. Aku tahu, karena pria ini tidak pandai berbohong. Ia pria paling jujur, paling mudah mempercayai orang dan paling sabar yang pernah kukenal di dunia ini. Ia terlalu baik. Terlalu baik untuk perempuan keras kepala dan emosional sepertiku.
“Aku berbohong. Akupun tidak baik-baik saja, Adnan. Setelah hari itu hampir setiap malam aku menangis, aku ingin menghubungimu, aku ingin kembali. Namun jika aku kembali, kita akan terus mengulang siklus yang sama, karena pemerannya pun masih orang yang sama.”
“Kau tahu jelas aku akan selalu menerimamu, Nouri. Jangan menyakiti dirimu sendiri, jangan berbohong pada hatimu.”
“Tidak, Adnan. Sesakit apapun aku tidak lagi bisa kembali.”
“Mengapa?”
“Karena aku telah dimiliki pria lain, kami akan menikah.”
Dahinya berkerut. Tapi ia tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Selama sepersekian detik ada hening yang menyapa, ada sunyi yang menghampa, meski dunia di sekitar kami begitu penuh dengan gelak tawa.
“Apa dia sudah seperti apa yang kau mau, Nouri?” tanyanya kemudian.
“Ya, sudah. Namanya Mahya. Ia pria yang begitu tegas. Ia mampu membuka mataku akan dunia, membuatku sadar betapa selama ini tidak ada yang kulakukan, belum ada yang kuhasilkan. Ia menginspirasiku untuk berkembang ke arah yang lebih baik, menyemangatiku untuk mengembangkan potensi-potensi yang aku miliki, yang selama ini terabaikan begitu saja. Ya, dia persis seperti apa yang aku inginkan. Ia mampu memperbaiki. Meski hubungan kami baru beberapa minggu, tapi aku merasa telah menjadi pribadi yang lebih baik.”
“Apa kau mencintainya.”
Aku diam.
“Apa kau masih mencintaiku?”
Aku masih diam.
“Apa kau akan bahagia saat ia mampu memperbaiki kepribadianmu tapi tidak dengan hatimu? Jawab aku, Nouri.”
Hanya isak yang mampu ia dengar dariku. Aku punya sejuta jawab di kepala, tapi yang melongsor dari bibirku bukanlah kata-kata.
Aku tidak pernah berpikir akan benar-benar meninggalkannya, karena selama ini tak melihat sosoknya barang seharipun aku tak mampu. Kami seperti sepasang merpati yang asik dengan dunianya sendiri, seperti gembok yang telah menemukan kuncinya. Selera musik kami senada, genre film favorit kami sama. Apa yang ia suka entah kenapa aku bisa ikut menyukainya begitu saja tanpa pakasaan, begitu pula sebaliknya. Hatiku dan dia selalu terkait, dengan jemari yang selalu bergenggaman. Mungkin karena dulu aku dan dia adalah satu.
Aku tidak pernah berpikir akan benar-benar meninggalkannya, sampai akhirnya aku bertemu dengannya lagi hari ini, menggenggam tangan pria favoritku, tapi aku bukan miliknya lagi.
“Kau boleh tetap diam, Nouri. Tapi aku masih akan terus menunggumu, datanglah ketika kau sadar satu-satunya rumahmu kembali adalah aku.”
Banyumas, Maret 2016
Ditulis oleh @jemarikanan
2 notes · View notes