anamdotka
anamdotka
Anam Khoirul
5 posts
Penulis adalah lulusan S2 Pengkajian Seni, Universitas Gadjah Mada. Ia juga lulusan S1 Tatakelola Seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tertarik dengan Kajian Seni dan Budaya, Art Museum, dan  Art Exhibition. Bekerja fokus pada Kajian Seni dan Kuratorial. [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
anamdotka · 5 years ago
Text
Hello! : Delapan Potret Perkenalan
Semua Berawal dari pertemuan antara Joseph Bray dan Herru Yoga di Studio Piko yang berada di Yogyakarta, sekitar tahun 2017. Delapan lukisan potret wajah akhirnya dapat dipamerkan di Awor Café and Gallery yang bertajuk “Hello!” pada 18 Oktober 2018. Judul pameran “Hello!” sendiri dipilih mereka berdua sebagai tanda perkenalan dalam skena medan seni rupa di Indonesia, khusunya di Yogyakarta. Pameran –seni rupa– duo yang diinisiasi oleh Herru Yoga –seniman asal Sumatera Barat yang sempat mengenyam pendidikan Seni Murni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta selama satu semester–  ini berawal dari kesamaan semangat berkarya seni antara mereka, meskipun pada tahun 2018 mereka pernah ikut dalam pameran bersama di Taman Budaya Yogyakarta di pameran “Gawe Kandhang”, hal ini akan menjadi pameran duo perdana bagi mereka berdua sebagai teman, sejalan dengan keinginan Herru Yoga yang ingin membantu Joseph Bray –seniman kelahiran Los Angels berpedidikan Desain Komunikasi Visual di UC Davis– yang masih kesulitan untuk besosialisasi –dan menyesuaikan lingkungan di Yogyakarta– khususnya di dunia seni dengan mengajak melalui pameran duo.
Tumblr media
Masing-masing dari mereka memamerkan empat karya potret, meskipun sama-sama potret keduanya tentu berbeda dalam makna yang ingin disampaikan.  Untuk melihat karya mereka, mari kita tengok sejarah dan pendapat tentang lukisan potrait. Menurut pengukir Perancis Abraham Bossc (1602-1676) mendefinisikan "portrait" sebagai kata umum untuk lukisan dan ukiran. Sementara itu, Andre Felibien yang pertama kali menyarankan bahwa istilah " portrait" digunakan khusus untuk menggambarkan manusia, sedangkan penggunaan istilah "figure" untuk menggambarkan binatang, sedangkan istilah "representation" harus digunakan untuk penggambaran bentuk sayuran atau anorganik, untuk tanaman, atau batu. Arthur Schopenhauer, juga, dalam karya filosofis utamanya " The World as Will and Idea " (1819), berpendapat bahwa hewan tidak dapat digambar sebagai potret. Potret hanya bisa dibuat dari wajah dan bentuk manusia, yang penampilannya mendorong "kontemplasi estetika murni" di hadapan penonton. Teori ini menegaskan bahwa kebanyakan lukisan potret yang berada di museum-museum itu bukan tentang selain manusia, kita bisa lihat lukisan potret paling terkenal dan populer di Museum Louvre, karya lukis masterpiece dari Leonardo da Vinci yang berjudul Mona Lisa, tidak kalah dari karya-karya masterpiece lainya. Hal ini, dapat kita simpulkan bahwa lukisan potret tidak bisa dipandang sebelah mata  –dan dianggap karya seni yang biasa saja– karena lukisan potret hanyalah media dari praktik kesenian seseorang untuk menyampaikan pengalaman emosionalnya kepada penonton.
Tumblr media
Meskipun lukisan portret sendiri pada waktu itu memiliki bagian yang menunjukkan bahwa salah satu sifat "perwakilan" dari potret adalah fungsi "representatif" -nya. Tujuan dari sebagian besar citra tersebut adalah unjuk kekuatan, hegemoni, atau prestise dari seseorang yang berkuasa pada saat itu, seperti kebanyakan potret yang melukiskan raja  –atau ratu­–, pejabat pemerintahan, jendral dan pengusa-penguasa lainya di suatu daerah tertentu. Tetapi Joseph Bray dan Herru Yoga tidak bertunjuan seperti itu, dalam artian yang sudah saya sebutkan di paragraph sebelumnya, yaitu hanya sebagai media praktik kesenian.
Joseph Bray melukis potret seseorang yang berasal dari imajinasinya  –tidak pernah tahu potret wajah siapa yang sedang ia lukis, apakah wajah dari masa lalunya, masa depanya atau bahkan tenyata hanta wajah imajiner yang ada di kepalanya– yang ke empatnya hampir punya komposisi yang sama, yang membedakan karakter satu dengan lainya hanyalah proporsi dari potret wajah dan warna gradasi dari objek-objeknya. Dalam proses pembuatan Joseph Bray menggunakan teknik cat dalam botol kemasan plastik  dan memakai pipet kecil untuk kemudian membentuk garis coretan-coretan yang menempati separuh dari komposisi potret wajah karya seninya, yang bermakna dualism manusia. Seniman yang sudah berkecimpung dan bergelut dengan lukisan abstrak selama 4 tahun ini memilih media dengan objek lukisan potret wajah, karena ia merasa bosan dengan abstrak  –dan ia merasa lebih dipahami dibanding lukisan abstrak– untuk membagi pengalaman emosionalnya dan menurutnya lukisan potret suatu hal yang menarik. Sedangkan  Herru Yoga –seniman yang bergabung di Klompok Seni Sakato asal Sumatra Barat– memilih objek potret dari dunia nyata (bukan imajiner) seperti “My dear Monet”, meskipun ada beberapa potret wajah dari tokoh fiktif seperti “Gandalf the Grey” yang merupakan seorang karakter fiksi yang diperkenalkan dalam buku The Hobbit, dan memiliki peranan dalam trilogi The Lord of the Rings. Selain tokoh, ia juga melukis potret wajah seseorang yang mewakili etnis tertentu seperti karya yang berjudul “Man From Papua”. Karya-karyanya dipengaruhi oleh ketertarikanya pada suatu kasus tertentu, seperti permasalahan sosial-politik, kesetaraan gender, kemanusian –seperti karya “A Sky Full stars”– dan diskriminasi rasial.
Dalam lukisan Potret Ekspresionis –seperti karya Joseph Bray dan Herru Yoga– berusaha untuk mengomunikasikan makna atau pengalaman emosional yang mereka alami –dan dapatkan– lebih dari untuk menciptakan pengalaman emosiaonal yang sama, yang ditujukan kepada penikmat karya seni mereka. Hal ini, untuk menangkap keadaan psikologis penonton, dengan menggunakan metode formal seperti distorsi, warna non-naturalistik, dan pengaturan yang tidak biasa untuk membantu mencapainya. Di sini, tugas seniman kemudian merekonstruksi –pada tingkat terbaik– emosi yang ingin ditransmisikan subjek.
Dengan begitu, boleh dibilang, Joseph Bray dan Herru Yoga telah bergerak dari lukisan potret sebagai citra kekuasaan menuju media penyampaian pengalaman emosional seniman.
Refrensi:
Norbert Schneider, The Art of The Portrait; Masterpieces of European Portrait Painting 1420-1670, (Italia: Taschen, 2002)
Tumblr media
++++ Anam Khoirul Penulis
0 notes
anamdotka · 6 years ago
Text
Visioner Berestetika
Berpikir dan Berkerja Keras
Tumblr media
Untuk memulai tulisan pengantar kuratorial ini, saya ingin memulai dari pertanyaan; kenapa pers mahasiswa penting? Hemat saya, lembaga pers mahasiswa adalah lingkup saling menguntungkannya antara pers mahasiswa dan birokrasi kampus. Sebab, pers mahasiswa perlu dukungan pihak kampus, sedangkan –tentunya– kampus butuh untuk syarat akreditasi bukan? Di luar ngomongin akreditasi, pers mahasiswa punya peran penting dalam menjaga keseimbangan antara birokrasi kampus dan rakyatnya (baca;mahasiswa). Tetapi tidak cukup sampai di situ, -pers- mahasiswa mempunyai peran lebih besar dari hanya sekedar menjaga keseimbangan, pers mahasiswa mempunyai tugas sebagai sosial kontrol, maka sudah menjadi sebuah tanggungjawab terhadap masyarakat untuk mengawal demokrasi, dan kebijakan lainnya yang dibuat pemerintah negara -setidaknya di kampusnya sendiri-, dengan nalar kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini, mendorong dan mengajarkan pada mahasiswa untuk berorganisasi yang bermanifestasi pada prinsip-prinsip pengetahuan dan kemanusiaan; berpihak pada yang lemah, bersikap kritis, dan mengembangkan pemikiran alternatif, yang salah satunya adalah melalui lembaga pers mahasiswa.
Dalam waktu yang lama, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tidak memiliki lembaga pers mahasiswa tingkat institute setelah didirikan pada 23 Juli 1984. Hampir 14 tahun lebih, tanpa lembaga pers mahasiswa yang -memiliki sifat independen- menjadi sumber informasi dan komunikasi antara kampus dan mahasiswa. Setelah Majalah Sani produk dari Akademi Seni Rupa Indonésia (ASRI) dibredel pada tahun 1996 oleh pemerintah. Pers mahasiswa baru mulai diwacanakan sejumlah mahasiswa tahun 2010, namun dalam pengembanganya diambil alih oleh Devisi Penelitian, Pengembangan dan Media (Litbang dan Media), Badan Eksekutif Mahasiswa Institut (BEMI) sejak April 2011. Kemudian pada 13 Mei 2010, 17 mahasiswa dari 3 fakultas dikumpulkan untuk membuat majalah yang diberi nama Art Effect. Dari Tim inilah diterbitkanya MajalahArt Effect #1 sekaligus pembentukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pressisi pada tanggal 12 September 2011. Hal ini, didukung oleh kampus, antara lain; Pembantu Rektor III, Ruang Jurnal Ars Fakultas Seni Rupa, FX Widyatmoko, Pamungkas, Suwarno Wisetrotomo, dan Brotoeno. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 2011 pengurus pertama LPM Pressisi dilantik, dan ini menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi –tidak hanya seni– di kampus ISI Yogyakarta.
Itulah bagaimana lembaga pers mahasiswa terbentuk di ISI Yogyakarta dan masih bertahan sampai sekarang sebab peran dan fungsi yang penting dalam ekosistem pendidikan di sebuah kampus. Untuk merayakan dan mengambil semangat juang dari ulang tahun LPM Presisi ke-8, anggota Pressisi mengadakan Pameran Seni dan Arsip Jurnalistik dengan judul “Visioner Berestetika; Berpikir dan Berkerja Keras”. Lewat pameran ini, LPM Pressisi turut mengajak 6 LPM yang berada di Yogyakarta untuk ikut berpartisipasi pada pameran arsip jurnalistik, dan juga mengajak Angota dan Demisioner LPM Pressisi untuk ikut juga dalam merayakan ulang tahun Pressisi lewat pameran seni.   
Tumblr media
Visioner Berestetika
Judul “Visioner Berestetika” diambil dari tagline LPM Pressisi yang berarti memiliki pandangan luas – lintas disiplin– ke depan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip estetika dan artistik, sebagai pers mahasiswa yang mempunyai gagasan ide mengenai pengetahuan seni, yang kritis dan dapat mengembangkan pemikiran alternatif yang bermanfaat di kemudian hari. Fungsi dan peran penting pers mahasiswa dalam kesenian dapat dilihat dari sejarah sebelumnya. Dari gabungan Akademi Musik Indonésia (AMI), Akademi Seni Rupa Indonésia (ASRI), dan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonésia (STSRI) menjadi ISI Yogyakarta, melahirkan Majalah Sani “Majalah Kesenian Mahasiswa” yang didirikan pada Agustus 1967 di ASRI. 
Kita bisa melihat bagaimana pers mahasiswa dibutuhkan dalam dunia seni. Hari ini kita bisa lihat para kurator, kritikus seni dan peneliti seni seperti; Agus Dermawan T., Hendro Wiyanto, Kuss Indrato, Mikke Susanto, dan A. Sudjud Dartanto yang lahir dari lembaga pers mahasiswa ASRI.Keterlibatan pers mahasiswa dapat kita lihat dalam menentukan arah kesenian di Indonesia lewat kritik dan tulisan-tulisan di Majalah Sani Edisi XXIII dan XXIV Tahun 1985 yang merekam beragam pendapat mulai dari yang baik sampai buruk adalah bentuk dari bagian infrastruktur dunia seni. Kita bisa lihat dari sebuah karya seni Moelyono yang berjudul “Kesenian Unit Desa (KUD)” mencuri perhatian dan menjadi buah bibir di Fakultas Seni Rupa dan Disain (sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa) ISI Yogyakarta. Karya yang penuh kontroversi ciptaan Moelyono adalah karya tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjananya. Ketika dalam ruang sidang, karya Moelyono digugurkan karena tidak sesuai dengan kriteria. Meskipun begitu, Moelyono tetap diluluskan menjadi sarjana pertama ISI Yogyakarta dengan karya lain. Diskursus yang diciptakan pers mahasiswa lewat tulisan-tulisan inilah yang menghasilkan diterimanya Experimental Art di dunia seni Indonesia, langkah kecil dari kritik pembangunan kesenian Indonesia yang dulu menolak riset apalagi eksperimentasi.
Selain itu, kita juga bisa mengacu pada Tokoh Visioner seperti Soekarno, yang dengan ilustrasi karikatur dan tulisannya di Majalah Fikiran Ra’jat dibuat untuk menghantam kaum imprealis pada saat itu, dengan nama samaran Soemini. Meskipun pada akhirnya dilarang oleh pemerintahan Hindia-Belanda, dan terbitlah brosur yang ditulisnya “Mencapai Indonesia Merdeka” yang dianggap menghasut dan akhirnya dilarang juga. Tetapi Soekarno sebagai seorang yang visioner tidak berhenti disitu, ia tetap melawan dengan berpikir dan berkerja keras mengusir penjajah. 
Dalam hal ini, ketika kita mempunyai suatu visi mulia yang berpihak pada yang lemah dan tertindas, kita harus berjuang menggunakan pikiran kita dan berkerja keras dengan usaha-usaha kita, melalui ilustrasi dan tulisan-tulisan yang tercermin dari lembaga pers mahasiswa.Dalam pameran ini, kita mencoba menampilkan arsip, fotografi jurnalistik dan ilustrasi yang dimuat dalam majalah Art Effect, bulletin Kontemporer, dan zine K-Louder produk dari LPM Pressisi dan produk jurnalistik dari 6 LPM lain di Yogyakarta antara lain; LPM Balairung UGM, LPM Himmah UII, LPM Pilar Demokrasi UII, LPM Arena UIN, LPM Rethor UIN, dan LPM Poros UAD. Selain itu, kita juga mengajak 3 anggota dan 4 demisioner Pressisi ikut dalam pameran ini dengan menampilkan karya seni mereka yang mempunyai semangat berpikir dan berkerja keras.  
Berpikir dan Berkerja Keras 
Saya suka istilah Jurnalis Visual, itu menyarankan keterlibatan dengan masyarakat, pencarian kebenaran, mengungkap yang tak terlihat.   -Paul Bowman-
Konsep tentang seni dari waktu ke waktu akan selalu berubah, begitupun dengan definisnya dan disiplin yang berada di sekelilingnya yang bersifat beragam dan kompleks. Untuk memulai membahas sub-tema ini, saya ingin memulainya dengan analogi seni rupa sebagai “cermin” dalam istilah Shakespeare yang mencerminkan alam dalam bentuknya yang paling murni, dan “palu” yang membentuk sosial-budaya masyarakat menurut teoritikus Marxist, Leon Trotsky. Dengan memusatkan perhatian pada skena konsep ini, kita dapat menghubungkan dengan karya seni pers mahasiswa yang tidak hanya sebagai cermin yang merefleksikan keadaan sosial saja, tetapi juga sebagai palu yang membentuk sosial masyarakat melalui karya seni jurnalistik dengan media ilustrasi dan fotografi jurnalistik.
Setiap upaya untuk mendefinisikan ilustrasi juga akan selalu melibatkan banyak sudut pandang yang berbeda, beragam dan kompleks. Sebab ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ilustrasi adalah seni berbasis kerajinan yang lebih rendah daripada seni -murni- rupa. Menggambar adalah bagian dari visual thinking (berpikir visual), untuk itu sebelum berkerja tentunya kita dituntut untuk berpikir terlebih dahulu. Berpikir bagaimana mengekspresikan emosi, menjelaskan ide-ide dan menangkap momen, dengan mempertimbangkan hal seperti: Hubungan visual, atmosfer suasana hati, proporsi skala bentuk dan ruang, keseimbangan garis, nada dan komposisi, metafora, analogi, abstraksi warna pencahayaan dan kontras, juxtaposition, perspektif, pola dan ritme, gerak, transisi, pengurangan atau sintesis, dan elemen. 
Ilustrasi dengan menggunakan media gambar atau foto adalah bentuk komunikasi visual dan sarana komentar sosial dalam jurnalisme. Bagi sebagian orang itu bisa menjadi seni terapan dalam konteks komersial, atau seni naratif humanisme yang populer, tetapi pada akhirnya beberapa orang juga mengklaim bahwa semua seni dan desain kontemporer sebenarnya adalah sebuah ilustrasi. Apa yang membuat ilustrasi begitu populer dan menarik adalah seni dijadikan sebagai alat komunikasi, menggabungkan imajinasi, kreativitas, keterampilan, dan kerajinan untuk menceritakan kisah secara visual. Selain itu, ilustrasi juga dapat menjadi sebuah kekuatan untuk menyindir, subversif, keintiman, kelucuan, menyinggung, menginspirasi, meneguhkan hidup, dan bahkan spiritual. Hal ini yang sangat dibutuhkan dalam sebuah produk jurnalistik. Jurnalisme bergambar memiliki sejarah panjang yang terbukti dalam komentar sosial seniman yang menarik dan beragam. Kita dapat menariknya kembali ke paragraf di atas, analogi seni sebagai cermin yang mencitrakan realitas –sosial dan budaya– dan sebagai palu yang membentuk masyarakat.
Dalam pameran ini, lebih banyak menampilkan arsip karya seni ilustrasi dan fotografi jurnalistik yang mencerminkan sosial-politik-budaya dalam kampus maupun di luar kampus, dan kita juga bisa menyimpulkan bahwa karya-karya seni tersebut yang membentuk keadaan sosial-politik-budaya kita. Kita dapat melihatnya pada karya ilustrasi dari LPM Pressisi dalam produk Buletin Kontemporer #15 karya Karina Devi S. dengan judul “Aspirasi Mahasiswa bagi Kampus” yang menggambarkan bagaimana aspirasi kritis yang harusnya disampaikan mahasiswa tidak pernah diterima kampus, yang akhirnya membuat kampus tidak akan pernah berkembang –mati–, dengan kata lain aspirasi dianalogikan sebagai “listrik” pengisi daya gawai, yang mempunyai nilai vital pada kerja gawai tersebut. Meskipun mahasiswa –charger– dan kampus –gawai – ada, ia tidak akan hidup tanpa aspirasi –listrik–. Di sini, Karin ingin menyadarkan mahasiswa dan kampus bagaimana pentingnya aspirasi kritis. Hal inilah yang ingin saya tekankan, bahwa seni tidak hanya mencerminkan keadaan tetapi juga turut mempengaruhi untuk menyadarkan dan membentuk sosial-budaya mengenai pentingnya sebuah aspirasi. Saya merasa dalam pameran ini semua ilustrasi jurnalistik yang ditampilkan  melalui media fotografi maupun karikatur membawa pesan yang sama, yaitu sebagai cermin dan palu.
Anggota Pressisi juga membuat dua instalasi untuk merespon semangat yang dibawa oleh pameran ini, mereka membuat karya instalasi “Pohon Kritik” dan “Pintu Buku”. Melalui Pohon Kritik, mereka ingin menyadarkan bahwa kritik adalah baik untuk -dan oleh- saja, tidak hanya orang lain tetapi untuk diri sendiri, sebab kritik adalah pupuk untuk tanaman kebaikan. Sedangkan Pintu Buku dapat kita rasakan sebagai awal untuk menuju ke Pohon Kritik, ini menandakan bahwa kritik tanpa ilmu pengetahuan –yang dianalogikan sebagai pintu buku– adalah tindakan berbahaya, yang mengakibatkan seseorang meracau –nyinyir– tanpa tahu esensi dari kritik. Konsep inilah yang ingin disampaikan dari pameran ini, yaitu berpikir dahulu lalu berkerja keras –melalui penganalisisan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan– dalam hal apapun untuk hidup yang lebih baik dan manusiawi, dengan media instalasi sebagai ilustrasi.
Dari metafora visual mungkin menyarankan deskripsi gambar yang imajinatif, tetapi tidak secara harfiah berlaku, ketika diterapkan pada disiplin ilustrasi. Hal ini, merupakan hal yang biasa untuk menggambarkan bentuk pencitraan ini sebagai konseptual. Menyiratkan cara menggambarkan konten dengan memanfaatkan sejumlah ide dan metode komunikasi, ilusi, simbolisme, dan ekspresionisme. Namun, sementara bahasa visual khusus ini masih berhasil dan sesuai untuk rekonstruksi dramatis di semua konteks praktik ilustrasi jurnalistik, kebutuhan untuk mengekspresikan ide dari sebuah tulisan yang menggambarkan adegan kata demi kata berarti bahwa ilustrasi konseptual sekarang menjadi gaya yang dominan. Mengutip art director Steven Heller: ‘ilustrasi konseptual melayani dua tujuan yaitu menyediakan makna -dan komentar- dan memberikan citra dari kepribadian visualnya.’ Hal itu dapat dilihat dari karya-karya dalam Pameran Seni & Arsip Jurnalistik “Visioner Berestetika; Berpikir dan Berkerja Keras”. E-Catalog : https://drive.google.com/open?id=1JLd6GwEL77gZ-5YHv4DabpuB5SKsGg8G Refrensi bacaan: 1. Artikel “Sejarah LPM Pressisi ISI Yogyakarta” dari arsip LPM Presisi. 2. Tomi Firdaus, Majalah Sani : Tapak Tilas Peristiwa dan Tokoh Seni Rupa Indonesia di Bangku Kuliah, (Yogyakarta; 2019) 3. Cindy Adam, Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta; Yayasan Bung Karno, 2014) 4. Victoria L. Rodner & Chloe Preece, Painting the Nation: Examining the Intersection Between Politics and the Visual Arts Market in Emerging Economies (Journal of Macromarketing: 2015) 5. Mark Wigan, Text and Image, (Switzerland: An AVA Book, 2008) 6. Alan Male, Illustration; A Theoretical & Contextual Perspective, (Switzerland: An AVA Book, 2007)
+++++ Anam Khoirul Kurator
0 notes
anamdotka · 6 years ago
Text
Atap Kaca Rendra
Tumblr media
Beranjak!
“Everyone is an artist” begitulah kata seniman Jerman, Joseph Beuys. Arti sederhananya adalah semua orang bisa menjadi seniman, dengan menempuh jalan kreativitasnya masing-masing, yang tentunya berbeda-beda. Tidak terkecuali Rendra Kurniawan, pemuda jebolan Pondok Pesantren Gontor 6 Magelang, Jawa Tengah yang memutuskan untuk menjadi pelukis kaca. Meskipun ia tidak mempunyai latar belakang akademisi seni atau tidak pernah secara khusus mengenyam pendidikan formal seni rupa, tetapi semangat berkeseniannya tak pernah surut. Pelukis kaca kelahiran Magelang, Jawa Tengah ini tanpa sadar telah masuk dalam art circle semenjak sering berkunjung ke Yogyakarta. Lebih tepatnya ke rumah bu lik-nya yang bisa kita sebut “keluarga seni” karena semua anggota keluarganya bergelut di dunia seni, khususnya seni rupa. Pak lik dari Rendra Kurniawan adalah Mikke Susanto seorang staf pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang juga berofesi sebagai kurator. Sedangkan bu lik-nya adalah Rina Kurniyati yang berprofesi sebagai seniman pelukis kaca kontemporer. Rendra menceritakan bahwa ia selalu diajak pak lik-nya ikut bermain bersama kedua anaknya, Abad dan Bintang. Kegiatan mencoret-coret tembok bersama tersebut tiba ketika liburan. Semakin sering berkunjung, Rendra semakin tertarik kala menyaksikan proses kerja berkesenian bu lik-nya melukis kaca. Dari situlah ia mulai belajar dari bu lik-nya. Sampai suatu ketika bu lik-nya memerlukan seorang artisan untuk membantu kerja berkesenianya saat menyiapkan pameran tunggal yang diselenggarakan di Jogja Gallery (15 September - 3 Oktober 2015). Dari situlah ia mulai praktik melukis kaca. Setelah menjadi artisan bu lik-nya, Rendra pun memutuskan untuk terjun dan berkecimpung ke dalam dunia kesenian, lebih tepatnya seni lukis kaca. Pada 2017, ia ikut berpartisipasi dalam Pameran Lukisan Kaca 35 Tahun Bentara Budaya di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Lalu pada 2018 ikut juga dalam Pameran Lukisan Kaca Berkaca pada Kaca di Tahunmas Artroom Yogyakarta. Karya-karya yang dihasilkan pada saat itu berupa lukisan-lukisan kaca yang bertemakan potret individu yang dekat dengan kehidupannya, seperti potret kakeknya yang menjadi salah satu karya yang paling menarik. Karya itu berjudul Mbah Kakung Daliman (2014).
Tumblr media
Atap Kaca Rendra
Dalam seni rupa, ada banyak jenis lukisan. Dilihat dari mediumnya terdapat lukisan cat air, lukisan batik, lukisan dinding, lukisan cat minyak, lukisan kaca, dan lainnya. Dalam hal ini, lukisan kaca sama menariknya dengan lukisan jenis lain. Lukisan kaca menjadi berharga ketika dijaga dan dilestarikan dengan sangat baik. Di sisi lain, lukisan kaca juga lebih khas, karena tidak banyak perupa yang menggunakan medium yang mempunyai kesan bersih dan mengkilap ini. Selain mediumnya, secara teknik lukisan kaca memiliki kekhususan, yakni teknik melukisnya terbalik atau dilukis di bagian belakang.
Tumblr media
Ada beberapa pendapat yang menegaskan bahwa lukisan kaca pertama datang ke Indonesia bermula dari Cirebon, seiring dengan penyebaran agama islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Terlepas dari hal itu, Cirebon memang menjadi salah satu kota yang mempopulerkan lukisan kaca di kalangan masyarakat dengan menjadikan salah satu cinderamata khas Cirebon. Ketika kita mencari tahu soal lukisan kaca, pasti yang banyak muncul adalah lukisan kaca yang bertemakan figur-figur wayang, legenda rakyat (mitos), dan seni Islami (dekoratif dan kaligrafi). Hal tersebut dapat ditarik ke belakang, bagaimana lukisan kaca pertama kali datang dan berkembang di Indonesia, yang berbarengan dengan penyebaran Islam, dan mempunyai target utama masyarakat umum, tidak hanya lingkup kerajaan. Lalu apa yang membedakan lukisan kaca Rendra Kurniawan dan lukisan kaca pada umumnya? Perbedaanya adalah pada muatan nilai yang diangkat dan medium kaca yang berbeda. Perbedaan dari segi nilai, jika kebanyakan lukisan kaca mengangkat tentang figur wayang, mitologi, dan Islam dekoratif, maka Rendra menelisik dan menyelami kehidupannya sendiri secara lebih dalam, mengenali asal usulnya sampai mengangkat keresahannya yang terjadi saat ini. Dari aspek medium, Rendra pun memilih berbeda dengan menggunakan medium atap atau genteng kaca sebagai “kanvas”, bukan kaca datar pada umumnya yang digunakan para pelukis kaca. Apakah perbedaan itu datang secara kebetulan? Tidak. Dalam proyek pameran tunggalnya kali ini, Rendra secara sadar memilih genteng kaca karena memiliki bentuk yang unik, sekaligus berbeda. Dipilihnya genteng kaca sebagai medium seturut dengan nilai yang ingin diangkat dalam karya-karyanya. Inilah perbedaannya. Genteng adalah sebuah partikel yang menjadi atap dari sebuah bangunan yang disebut rumah. Rumah adalah tempat dimana seseorang untuk kembali pulang. Rumah menjadi simbol kedekatan seseorang dengan seseorang lainya dengan status yang dinamakan keluarga. Hal ini, sesuai dengan nilai yang diangkat, Rendra bicara tentang kedekatan dengan keluarga dan lingkungannya. Selain itu, genteng kaca juga mempunyai fungsi pokok dalam bagian bangunan, yaitu sebagai media agar cahaya masuk dalam ruangan yang menghantarkan terang sinar matahari atau bulan. Hal ini lantas dapat ditarik ke belakang bahwa medium genteng kaca sebagai sebuah simbol, yang menghantarkannya ke sebuah gerbang kesuksesan (hidup yang terang benderang) di dunia (seni rupa), melalui pameran tunggalnya kali ini.
Tumblr media
Rokok Riwayatnya Dulu 
Dalam pameran ini, ia secara sadar mengangkat tema dan subjek berupa bungkus atau kemasan etiket rokok, tembakau, dan kertas rokok. Kemasan etiket tersebut hadir antara tahun 1930-an sampai 1980-an. Beberapa merek rook tersebut antara lain: Prahoe Lajar, Atlas, Gaya Silat, Pelikan, Gradoe Djati, Sumantra, hingga Blue Ribbon. Kemasan produk rokok tersebut dihasilkan dari pabrik-pabrik rokok di Jawa Tengah, seperti Muntilan, Temanggung, Magelang dan Semarang. Apa sih alasannya? Alasannya tidak lain adalah kedekatan dirinya dengan rokok. Ia adalah perokok aktif. Di lingkungannya, merokok sudah menjadi bagian dari hidup dan menjadi budaya, khususnya dalam keluarganya. Kakeknya yang bernama Sumarlan, kini tinggal di Temanggung adalah petani tembakau, sekaligus bekerja sebagai pengolah tembakau. Tema rokok yang diangkat kali ini juga menjadi sebuah penghargaan atas dedikasi pekerjaan kakeknya tersebut. Pembatasan pemilihan objek rokok produksi Jawa Tengah juga dilatarbelakangi karena alasan geografis, dimana Rendra tumbuh dan tinggal di daerah Titang, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Daerah tersebut merupakan kawasan pertanian tembakau yang indah di lereng Gunung Sumbing.
Tumblr media
Dalam debut tunggalnya kali ini, Rendra menampilkan 25 karya lukisan atap atau genteng kaca. Proses kekaryaan Rendra dimulai dari memilih objek. Dari situ lantas ia mengolahnya di komputer untuk pola gambarnya. Barulah hasil olahan tersebut ditempel di belakang kaca dan ia mulai melukiskannya. Karakter genteng kaca ini menarik. Kalau biasanya para pelukis memakai medium kaca rata atau datar, berbeda halnya pada genteng kaca. Ia memiliki permukaan bergelombang, cembung dan cekung. Tingkat kesulitannya lebih banyak dibanding kaca datar. Hal ini tentu menambah nilai artistik genteng kaca.
Dari perbandingan gambar produk rokok dan lukisan yang dikerjakan Rendra, hampir tidak mempunyai perbedaan. Pembesaran gambar pada atap genteng kaca makin memberi kesan indah dan tampak detil-detilnya. Artinya Rendra melakukan reproduksi gambar kemasan etiket rokok pada medium genteng kaca dengan sangat baik. Komposisi dari ilustrasi bungkus produk rokok ke medium genteng kaca, dilakukan dengan ketekunan dan keuletan yang tinggi. Dalam segi warna maupun garis, ia mengakui sendiri bahwa pembuatan karya ini tidak semudah yang dibayangkan, apalagi ia mempunyai penyakit tremors (kondisi tiba-tiba bergetar atau menggigil secara tak sengaja). Bisa dibayangkan bagaimana ketekunannya harus diuji. Karya Rendra Kurniawan dalam konteks hari ini memiliki ekpresi personal yang ditampilkan tidak hanya melalui teknik dan gaya visual. Lebih jauh, ia menampilkan ekpresi personalnya melalui medium yang dipilih sebagai media simbolik, yaitu genteng kaca. Di mana medium tersebut menyiratkan hubungan kedekatan Rendra dengan lingkungan, dimana tempat ia tinggal. Di sisi lain, karya-karya Rendra kali ini juga mewakili keresahan konsumen rokok, yang mana terkadang merasa dirugikan dengan regulasi pemerintah yang mewajibkan gambar-gambar yang menyeramkan dan menjijikkan pada semua produk bungkus rokok.
Suatu ketika Renda membeli rokok di sebuah toko klontong. Ketika mendapati bungkus rokok yang menampilkan gambar-gambar yang menyeramkan dan menjijikkan, seperti foto penyakit kangker mulut, tenggorokan, dan paru-paru, bergidiklah perasaannya. Ia lantas menukarkannya dengan kemasan yang lain, yang gambarnya relatif tidak menyeramkan dan menjijikkan. Hal ini yang menggelitik Rendra, mengapa ia mengangkat rokok zaman dulu yang indah desainnya sebagai ide dalam lukisan-lukisannya. Rokok memang menyimpan dinamika dimana-mana, tidak hanya karena tembakaunya, tetapi juga pada bungkus kemasan atau etiketnya. *
https://indoartnow.com/exhibitions/rokok-riwayatnya-dulu E-Catalog: https://drive.google.com/open?id=0B3CenNtF5x9Ka3VpRDN2b3ZGYXNlUWRhLWN1al91bHVsR1Br
Yogyakarta, 16 November 2018
+++++ Anam Khoirul Kurator
0 notes
anamdotka · 6 years ago
Text
Impian Indah Sang Juru Taman
Tumblr media
Di setiap tahun, Masriadi Art Space ( MAS ) ikut menyemarakkan perayaan ―lebaran‖ seni rupa di Yogyakarta dengan menyelenggarakan pameran seni rupa. Para perupa yang berpameran di MAS merupakan perupa muda di bawah usia 30 tahun, yang masing-masing memiliki karakter dan keunikan yang berbeda, baik dari aspek tema/konsep seni, teknik, warna dan komposisi. Ikhwal diberinya batasan usia perupa, pihak MAS menginginkan dan mengharapkan generasi-generasi muda seni rupa mampu bersaing di dunia seni rupa nasional dan internasional. Salah duanya adalah kurangnya ruang pamer yang mendukung penuh para perupa muda potensial. Atas hal tersebut, ruang pamer dan pameran yang diinisiasi oleh I Nyoman Masriadi sepenuhnya memberikan kesempatan dan ruang eksistensi bagi para perupa muda.
―Impian Indah Sang Juru Taman‖ menjadi judul pameran kali ini. Impian atau mimpi menjadi hal yang begitu menyenangkan, semua manusia dengan sempurnanya mengkonstruksi mimpi-mimpinya tentang apa yang mereka inginkan, dari hal-hal yang bersifat fantasi dan terkadang menjadi obsesi. Tentu setiap isi kepala dari tiap individu berbeda-beda, pun begitu dengan pemaknaan tentang mimpi yang indah atau buruk, semua kembali bagaimana si pemimpi menanggapinya. Mimpi mempunyai dua pemahaman, mimpi sebagai gambaran-gambaran yang terproyeksikan dalam tidur dan mimpi sebagai khayalan atau angan-angan.
Semua manusia mempunyai impian sekalipun impian yang sangat sederhana. Impian tak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Impian adalah nyawa, ia tumbuh seirama bersama tubuh dan pikiran kita. Karena mimpilah kita semua tergerak untuk melakukan sesuatu yang kita cintai dan senangi, tanpa impian kita tidak dapat menjadi manusia seutuhnya. Tetapi kebutuhan akan sebuah impian memerlukan dua hal penting, yaitu sifat keberanian dan imajinasi. Kita harus berani bermimpi dan berimajinasi, sekaligus mewujudkannya.
Tumblr media
Sebagai perupa, keberanian tersebut ialah menorehkan cat pada kanvas-kanvas kosong dengan kejujuran buah pikir dan imajinasi yang menggambarkan sebuah taman sebagai impian indahnya.Taman menjadi tempat di mana pengalaman-pengalaman estetik ditata sedemikian rupa yang mencitrakan keindahan. Kata taman begitu akrab di telinga kita, dan selalu dikaitkan dengan hal indah, namun tidak sepenuhnya benar. Pada beberapa hal penggunaan kata taman mampu mengubah hal-hal yang sebelumnya berkonotasi negatif. Semisal penggunaan pada kata Taman Makam. Makam sebagai tempat dikebumikannya manusia yang terkesan sepi dan menyeramkan menjadi berubah persepsinya ketika disisipkan kata taman di depannya. Taman sendiri adalah metafora tentang lingkungan, tempat dimana semua orang mendambakan untuk berada di dalamnya. Para perupa ibarat ―Juru‖–penjaga—sekaligus perawat atas hal tersebut. Bukan sekadar taman secara fisik, tetapi juga taman imajinasi mengenai apapun yang ada di dalam pikiran dan lingkungan sekitar hidupnya.
“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.” ― Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca
. Seperti halnya yang dikatakan Pram pada bukunya Rumah Kaca, setiap lukisan juga merupakan taman –dunia— tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian perupa. Setiap perupa mempunyai imajinasi-imajinasi yang berbeda dengan perupa lainnya. Imajinasi dan impian tersebut seirama dengan perkembangan dan pertumbuhan pengalaman hidup dan pengalaman estetika yang dilalui setiap perupa, yang dipengaruhi oleh lingkungan maupun spiritiual, hal tersebutlah yang membedakan hasil dari para perupa.
Tumblr media
Menariknya, ke-enam perupa—sang juru taman— muda yang menjadi peserta pameran kali ini, memiliki karakter berkesenian dalam segi visual dan konsep yang berbeda-beda. Ya, mereka memiliki taman sendiri-sendiri pada kanvas-kavasnya. Seperti halnya Bambang Nurdiyansyah, perupa yang dekat sekali dengan kegiatan literasi, yang karyanya bisa dijumpai dari sampul-sampul buku dan sampul album musik ini, pertama kali menggunakan media cat air dengan objek tumbuhan dan manusia bermula dari ilustrasi Sisir Tanah tahun 2015. Sejak saat itu, ia sering menggunakan media cat air dengan menggambarkan objek-objek tumbuhan dan manusia. Sebelum menemukan karakter tersebut, ia sedikit banyak mengangkat tentang kehidupan urban kota. Tak lama berselang, setelah terpantik dari ide dan inspirasi banyak hal, seperti refleksi dari dalam dirinya dan juga terinspirasi dari karya seniman lain, ia menemukan kecocokan dalam karyanya—yang mengangkat tentang energi hidup manusia—dengan alih wahana puisi karya Wiji Thukul yang berjudul Rumput Ilalang. Proyek kesenian seri karya seni lukis dengan alih wahana puisi ini, ia pilih sebagai bentuk respon seniman terhadap karya lain yang telah lahir terlebih dahulu, seperti halnya karya sastra puisi yang berupa teks yang ditulis oleh Wiji Thukul, seorang sastrawan, aktivis buruh, dan aktif menyuarakan isu hak asasi manusia (HAM). Dalam proses tersebut, ia menginterpretasi teks-teks menjadi bentuk visual dengan gaya surealis.
Dalam pameran ini, ia menampilkan lima karya yang berjudul; Rumput Ilalang, Penyair, Sajak, Derita Sudah Naik Seleher, dan Seorang Lelaki Kelana di Dunia Batin. Lima karya yang bermedia cat air di atas kertas tersebut adalah bagian dari proyek seri karya lukisnya. Lukisan yang paling menarik dari empat karya tersebut adalah Rumput Ilalang, karena karya ini adalah karya yang dihasilkan dari awal mula kecocokan karakter karyanya—tumbuhan dan manusia—dengan karya sastra puisi Wiji Thukul yang berjudul Rumput Ilalang juga. Baginya, puisi Rumput Ilalang adalah metafora dari semangat yang tak pernah surut, seperti sifat ilalang itu sendiri yang tak pernah mati, meski berulang kali dibabat dan dibakar. Ia menginterpretasi karya puisi tersebut dengan menggambarkan ―semangat‖ sebagai objek laki-laki bertelanjang dada yang tetap teguh dalam pendirian dan perjuangan, yang tergambarkan oleh sorot mata dan ekspresi wajah, meskipun dibungkam dan dililit kawat-kawat duri yang membatasinya. Dengan gaya surealisnya, ia menggambarkan rumput-rumput ilalang tumbuh di tubuh laki-laki sebagai gambaran ―semangat‖ yang akan terus tumbuh, walau terus dibungkam dan diikat dengan kawat berduri.
Tumblr media
Beda halnya dengan Ummi Sabrina Damas, perempuan perupa fresh graduate dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta ini, menemukan konsep berkesenian melalui kesukaannya terhadap bentuk boneka, rumah mainan, seperti bentuk-bentuk kamar, dapur dan yang berhubungan dengan hal tersebut, yang pernah ia mainkan pada masa kecil. Ia mengangkat ide gagasan dan kenangan-kenangan tentang lingkup keluarga dengan visualisasi yang bersifat dekoratif formal dengan keseimbangan warna yang lembut. Ia tahu bahwa karyanya yang bersifat dekoratif yang ramai lebih banyak membutuhkan keseimbangan warna lembut, dan ia juga menggunakan warna panas dan dingin dengan proporsi yang sama. Sifat dekoratif yang digunakannya, membuat ia sangat memperhitungkan juga gelap-terangnya warna agar keseimbangan itu membuat mata penonton menjadi nyaman. Pada pameran kali ini, ia menampilkan lima karya yang berjudul; Tentang Bersama, Sebagai Ayah, Tinggal Menunggu Pulang, Pagi Itu,dan Imajinasinya. Dari keseluruhan karyanya, ia banyak mengangkat tentang momen-momen masa kecilnya yang masih terpatri dalam benaknya, pengalaman-pengalaman yang ia lalui, dan imajinasi-imajinasinya yang tidak jauh-jauh dari gagasan tentang sebuah keluarga.
Karya yang paling menarik dari kelima karya tersebut ialah Pagi Itu, dari judulnya saja kita sudah diajak masuk kedalam sebuah ruang dan waktu masa lalu di suatu pagi. Ia memvisualisasikan kenangan-kenangan tentang masa kecilnya yang diingat betul, sebuah keluarga yang sedang beraktifitas di pagi hari. Menggambarkan ibu yang sedang sibuk menyiapkan kebutuhan—makan—keluarganya setiap pagi dan merawat anaknya, dan seorang figur ayah yang sedang bersiap-siap pergi berangkat bekerja mencari nafkah untuk menunjang kebutuhan keluarga. Ia juga menggambarkan objek-objek yang masih terpatri dalam ingatannya sampai sekarang, seperti objek televisi yang berada di atas meja rak yang di bawahnya juga ada sebuah televisi lagi jika dibuka raknya, dan objek bentuk sepeda yang ia punya sewaktu kecil. Objek-objek seperti itulah yang membuat karya seninya menarik dan menjadi sangat hidup.
Sama halnya dengan Ummi, Laksamana Ryo. Perupa yang kebetulan juga fresh graduate ini juga mempunyai konsep berkesenian yang sedikit banyak mengangkat tentang pengalaman-pengalaman hidup yang telah ia jalani, mulai dari pola pikir lingkungan yang terdekat seperti keluarga dan lingkungan disekitar ia tinggal, sampai pengalaman-pengalaman estetik dan spiritual yang mempengaruhi karya-karyanya. Konsep atau konten yang diangkat pada karya-karyanya tidak melulu terpatok pada satu permasalahan saja, tetapi ia memiliki konten ber-seri yang diangkat dalam karya-karyanya dengan karakter yang sama, yaitu figur boneka bermata besar. Ia menemukan karakter tersebut juga tidak terlepas dari pengalaman yang ia lalui dalam lingkungan terutama keluarga. Ia terlahir sebagai anak laki-laki satu-satunya dari dua saudara perempuan, hal ini yang otomatis mempengaruhi selera dan kesukaannya terhadap benda-benda atau mainan yang oleh masyarakat kita diberi lebel mainan perempuan, seperti boneka. Dikotomi antara permainan perempuan dan laki-laki membuat ia merasa tidak nyaman, kesukaannya terhadap mainan boneka dan mainan yang berbau feminis dianggap tidak wajar menurut sebagian besar masyarakat kita, tetapi ia berpendapat bahwa suatu benda tidak bisa dikotomikan sebagai benda perempuan dan benda laki-laki, seperti halnya mainan. Hal itulah yang menyebabkan karakter tersebut lahir, ia ingin melawan anggapan di masyarakat, bahwa boneka tidak hanya boleh disukai perempuan, tetapi laki-laki juga berhak menyukai boneka. Tidak hanya berasal dari lingkungan saja, ia juga memperkaya karya-karyanya melalui pemahaman-pemahaman dari buku yang ia baca. Seperti halnya empat karya yang dipamerkan kali ini, ia menampilkan karya-karya yang mengangkat tentang isu-isu gender, feminis, hingga vegetarian. Empat karya yang dipamerankan tersebut sedikit banyak mengangkat tentang pengalaman-pengalaman hidup Ryo yang telah dijalani, yakni; Ingrained, Night Mood, Magical Carriage, dan Destiny. Karya yang paling menarik dari empat karya yang dipamerkan Ryo ialah Destiny, pasalnya ia juga memaparkan bahwa karya yang terlengkap dan mewakili representasi seorang Laksamana Ryo ialah karya ini, dan juga cukup mudah untuk direpresentasikan. Destiny sendiri mengangkat tentang isu gender, tetapi dalam lingkup dalam pengalaman kehidupan Ryo. Karya ini dilihat dari judul dan objek-objeknya cukup mudah untuk dipahami, dari judul yang berarti takdir menggambarkan bahwa ketetapan Tuhan yang telah menciptakan tubuh kita sebagai laki-laki atau perempuan adalah mutlak dan tidak dapat dipertukarkan, yang sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Kita sebut istilah itu dengan seks, yang ditandai dengan alat-alat biologis. Seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Sedangkan dikotomi yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural oleh masyarkat yang dapat dipertukarkan, yang sering kita sebut gender. Seperti laki-laki itu kuat, rasional, perkasa. Sedangkan perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Pesan inilah yang ingin disampaikan oleh Ryo, bahwa masyarakat perlu paham perbedaan antara seks dan gender. Karya ini juga sebagai perlawanannya terhadap kontruksi lingkungannya yang menyebut dirinya tidak wajar.
Selain itu, ada I Putu Adi Suanjaya yang menata ―taman indah‖ menggunakan metafor manusia dengan figur boneka. Pada proses menemukan figur boneka tersebut, Kencut (panggilan akrabnya) mengalami perkembangan, dari sebelumnya figur boneka benang rajut menjadi boneka bercorak kain perca yang kita lihat pada karya sekarang. Sebagai seniman muda, eksplorasi harus dilakukan, baik dari segi teknik dan konsep, hal serupa juga berlaku baginya. Kejadian-kejadian yang direspon berdasarkan penalarannya pada lingkungan dan fenomena yang sedang booming, kemudian mengalami perkembangan denganmelihat dan memasukan unsur kebudayaan di tanah kelahirannya pada karya. Dengan teknik realis, Kencut memvisualisasikan boneka yang jenaka dengan latar cerita yang beragam. Penataan kanvas sebagai tamannya begitu terasa menyenangkan untuk dilihat tetapi mempunyai maksud tersirat. Salah satunya adalah karya berjudul Teaching The Duck yang membahas prilaku manusia yang sering melakukan sesuatu yang sia-sia seperti mengajarkan bebek untuk berenang.
Dalam pameran ini ditampilkan juga karya Agni Saraswati, alumnus jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta mempunyai cara berbeda dalam mengkonstruksi impian indahnya. Pada kebanyakan karyanya suasana mencekam begitu terlihat meskipun penggambaran pada figur-figur didominasi warna- warna cerah atau sebaliknya. Hal tersebut tidak terlepas dari kegemarannya pada film horor dan kartun yang menstimulasi pemikiran dan prosesnya dalam berkarya. Ditengah kesibukannya sebagai manager dari seniman Heri Dono, Agni tetap produktif sebagai seniman dengan selalu menciptakan karya seni dan rutin mengikuti pameran-pameran di dalam dan di luar Yogyakarta. Dibesarkan dalam lingkup keluarga yang didominasi wanita membuatnya mengusung gender sebagai konsep dalam berkarya. Tidak itu saja, pada karyanya juga, Agni seringkali mereduksi hal-hal yang menurutnya baik atau buruk dan dipaparkan dalam wujud karya seni. Karya berjudul The Vision adalah salah satu bentuk impian indahnya. Pada karyanya tersebut Agni mengambarkan dirinya dengan keluarganya dengan penggambaran sebuah perahu diisi oleh 3 figur yang sedang mengarungi lautan dan 1 figur berada di pesawat kertas. Satu figur dewasa sedang memegang bunga, di bawah kakinya terdapat dua figur anak kecil yang sedang tertidur. Bunga yang sedang dipegang tersebut menjadi simbol bahwa setiap wanita tentu mempunyai harapan dan keyakinan untuk masa depan anak-anaknya meskipun jalannya diterpa rintangan. Perupa juga memasukan diri ke dalam karya tersebut, dengan visualisasi sesosok figur yang sedang menunggangi pesawat kertas dan menjadi navigator dari perahu tersebut. Diantarnya keluarganya yang didominasi perempuan, Agni kecil dikenal sosok yang tomboy dan sering melakukan hal-hal yang disukai tanpa mempedulikan sekitarnya.
Berbeda dengan ke-lima perupa yang sudah dipaparkan, Enka Komariah sendiri merupakan seniman memiliki hobi membaca novel-novel klasik seperti Serat Centhini. Dari novel tersebut perupa menjadikan salah satu objek representasi pada karyanya. Enka ingin menerobos norma-norma sakral di masyarakat. Citra karyanya yang sering terlihat vulgar dan erotik mempunyai tafsir berbeda dari pandangan masyarakat umum. Tidak hanya pada karya, tata pajang karyanya juga keluar dari batasan umum, pigura diganti dengan plastik yang kemudian direkatkan mengunakan cloth tape berwarna merah. Pemahaman impian indah dari juru taman satu ini mempunyai pandangan lain. Impian indah pada prespektifnya adalah ketika karyanya mampu mengalihkan dan mengganggu perhatian audience. Pameran ini menjadi sebuah representasi dari para juru taman, yang memiliki satu impian yang berupa catatan pribadi. Mereka tak pernah melupakan apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka hidup. Pameran ini sekaligus ingin menjadi taman halaman yang menarik untuk menjadi tempat rekreasi, sekaligus membaca kejadian dalam ruang dan waktu saat ini, yang dialami oleh semua perupa. Menanam biji pikiran dan memanen buah impian indah yang selama ini terpendam adalah sebagai sarana pembelajaran dari perupa sendiri dan penikmat seni pada umumnya.
Tumblr media
+++ Kurator: Anam Khoirul | Tomi Firdaus
1 note · View note
anamdotka · 6 years ago
Text
Dialog Dua Anak Haram
Tumblr media
Profesi seniman dan penulis masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Profesi yang berperan penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan sebuah bangsa ini ibarat anak haram. Kesenian dan kepustakaan adalah lokomotif sejarah, karena ia adalah pemantik banyak revolusi. Sebuah tulisan dan ilustrasi bertajuk “Salam dari Pendjara” di koran Fikiran Ra’jat karya Bung Karno adalah salah satu contoh dari dialog kesenian dan kepustakaan.
Kenapa haram? Karena bagi pemerintahan yang otoriter, keduanya adalah seteru, seperti momok yang menakutkan di siang bolong. Seniman dan penulis tak boleh turun mengkritik pemerintahan otoriter. Jika membangkang ia akan dicap sebagai anti pemerintah, yang harus dibungkam dan wajib dihilangkan. Stereotipe tersebut juga ditanamkan pada masyarakat awam, sehingga dianggap bahwa seniman dan penulis tak mempunyai masa depan dan hanya dipandang sebagai perusuh. Padahal kontribusinya sangat besar, meskipun tidak berefek langsung terhadap masyarakat seperti halnya profesi guru, dokter dan profesi lainya yang sudah mapan.
Sejatinya hasil diaog dua anak haram tersebut menghasilkan karya yang segar, meskipun terkadang ditepikan dan dikubur. Gagasan segar tersebut bukan semata tercipta secara subjektif, tetapi juga bersumber dari reaitas, pustaka-pustaka dan ragam ilmu yang dikawin silang. Pustaka tidak melulu dari buku saja, pustaka dalam perspektif umum memiliki perluasan seperti halnya lingkungan, alam dan semesta raya.
Repsentasi yang disajikan dalam pameran yang terinspirasi dari pengantar buku terjemahan Galileo’s Daughter: A Drama of Science, Faith and Love milik Dava Sobel adalah olah dan ulah perupa yang menggai ragam pustaka yang diwujudkan pada dalam karya seni rupa. Mereka mengelaborasi pemikiran dan hasrat dengan karya para sastrawan, pustaka dan lintas disiplin ilmu lainnya. Pameran ini diselenggarakan agar penikmat seni dan lebih khusus masyarakat luas memahami dialog dua anak haram.
 Pustaka dan Seni Rupa
Karya seni rupa barangkali tidak bisa dipisahkan dengan kepustakaan, banyak karya seni rupa yang dipakai sebagai pelengkap sebuah pustaka, entah itu sebagai ilustrasi maupun sebagai sampul. Tak sedikit pula karya seni rupa yang lahir dari tulisan-tulisan yang berada dalam sebuah pustaka, tak bisa dihindari bahwa perupa banyak yang terinspirasi dan menemukan wawasan atau ideologi dari banyak buku-buku bacaan yang ia baca, selain dari lingkungan dan kepribadiannya sendiri. Karya-karya seni rupa memposisikan diri seperti halnya pustaka, merekam hal-hal yang terjadi di lingkungan masyarakat dan menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru dalam bentuk tulisan dan gambar, untuk perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.
Diskusi sebagai media bertukar pikiran dari tiap isi kepala pelakunya, topik yang dibahas bisanya bermula hal yang remeh-temeh sampai serius yang memakan waktu. Hal apapun yang dibahas terlepas dari bobot pembahasaan dalam diskusi selalu memberikan pencerahaan dan melahirkan gagasan baru diakhirnya. Hal ini pun terjadi ketika terbentuknya “Rupa Pustaka”. Ide segar dari para penggiat perubahan bermula di sebuah kantor milik Penerbit Ombak. Secara suka rela, Pemilik Penerbit Ombak mendukung dan menginiasi acara “Rupa Pustaka”
yang bekerjasama dengan kurator, pengelola seni dan para perupa yang sebagian besar karyanya berkaitan dengan kepustakaan dan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Jika menganalogikan dengan organ reproduksi dan embriologi, diskusi sebagai ovarium tempat sel telur bernama gagasan dibuahi oleh pemikiran-pemikiran, dari proses pembuahan tersebut terbentuk embrio bernama “Rupa Pustaka”. embrio yang masih begitu rentan membutuhkan waktu untuk merawat dan mengembangkan lewat kajian-kajian yang di lain waktu dapat diamini kelahirannya.
Nama “Rupa Pustaka” adalah penggabungan antar seni rupa dan dunia pustaka. Dalam kerjanya rupa pustaka mengelaborasi disiplin ilmu seni rupa dan dunia pustaka yang menciptakan suatu kebaruan dari peroses tersebut. Tentu sebelumnya penggabungan antar dua disiplin ilmu tersebut secara sadar atau tidak, pernah dilakukan tetapi hanya menonjolkan salah satunya. Semisal karya lukisan yang terinspirasi dari karya sastra dan sebuah tulisan yang terilhami dari mengamati karya seni rupa. Rupa pustaka diharapkan menjadi tajuk yang mampu menampilkan keduanya secara bersama yang saling berpadu.
Tumblr media
 Pada peroses penciptaan karya ragam acuan pustaka diperluas dan di eksplorasi, salah satunya pada karya “Membaca Jejak Sisa-Sisa Hutan” ciptaan Ugo Untoro. Pria kelahiran Purbalingga tersebut membaca dan menjadikan fenomena alam sebagai pustaka pada peroses penciptaan karyanya. Pada karyanya tersebut terlihat figur-figur manusia yang menelaah lembar-lembaran daun selayaknya membaca dengan seksama lembaran-lembaran kertas dari buku favorite. Dalam berkarya seni Ugo tidak terbatas unsur-unsur seni rupa saja, ia juga merambah pada karya sastra Cerpen yang dinamai Cerita Pendek Sekali dan ugo pun pernah menjadi sumber Pustaka yang kemudian diterbitkan dalam buku.
 Enka Komariah atau lebih dikenal dengan nama Enka Komr adalah seniman dengan citra karyanya terlihat vulgar dan erotik. Karyanya sering kali menerobos norma-norma yang begitu sakral di mata masyarakat, mengawin silangkan pustaka yang kemudian direpresentasi dengan ismenya. Dalam pameran kali ini Enka sebagi perupa memamerkan karya berjudul “ Minggatnya Cebolang”. Karya ini adalah ilustrasi dan repesentasi dari novel yang fenomenal berjudul “sherat centhini” yang menceritakan sosok cebolang dalam kacamata perupa. Suasana latar dan penggambaran sosok-sosok pada karya terkesan begitu horror dan mengganggu mata. Enka melalui karyanya dengan sengaja mengganggu dan bertujuan men-distract audiens. Selain itu dalam pengemasan dan penataan karya enka kembali keluar dari batasan umum. Sebagai penganti pengganti Frame, pria yang juga penggiat street art ini mengemas karyanya dalam plastik yang kemudian direkatkan pada panel ruang pamer menggunakan cloth tape berwarna merah. Benar-benar “mengganggu”.
 Berbeda dengan Enka, AC Andre Tanama pada salah satu karyanya mengacu pada karya puisi sebagai pustaka kemudian mengrepresentasikan melalui karya lukis. Karya yang berjudul “Legit” menjadi olah dan ulah dalam merepon puisi karya KH A Mustofa Bisri berjudul Mulut. Dalam perwujuan karyanya, perupa memasukan diri dan kedua anaknya sebagai subjek-subjek yang sedang melahap huruf-huruf pada buku didepan mereka. Mereduksi puisi berjudul “Mulut” karya KH A Mustofa Bisri, secara garis besar pesan yang disampaikan sebegitu hebatnya. Kemampuan mulut dalam fungsi sebagai alat kunyah, alat verbal yang mampu mempengaruhi sekitarnya hanya dari mulut. Jika melihat Karya andre tanama sebagai repesentasi dari puisi tersebut yang mengunakan mulut sebagai alat, teringat dengan ungkapan “Kamu Adalah Yang Kamu Makan”. pesan yang tersirat jelas antara Andre sebagai perupa kepada penikmat seni dan juga Andre sebagai ayah dari anak-anaknya mengenai pentingnya “memakan” pustaka-pustaka sebagai “makanan” Pokok sepokok nasi.
 Alfin Rizal, perupa asal Magelang ini tidak hanya menghasilkan karya seni rupa, tetapi juga menghasilkan karya-karya sastra dengan menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi. Perupa yang telah melahirkan delapan buku sastra ini juga menghasilkan beberapa karya-karya seni rupa yang tidak jauh-jauh dari buku. Hal ini dilatarbelakangi kegemarannya membaca buku-buku seperti novel, puisi, cerpen dan artikel sejak usia remaja. Seperti karya Dialog yang akan dipamerkan kali ini, karya yang berukuran 120 x 100 sentimeter menggambarkan figur dua anak, laki-laki dan perempuan berdiam saling menatap yang di tengah-tengahnya ada sepasang kucing yang sedang membaca buku. Kita bisa melihat dari karya ini, bahwa dialoag bukan sekedar dua orang yang mengobrol, melempar-tangkap kata-kata, tetapi dialog juga bisa terjadi lewat teks-teks karya tulis yang diciptakan penulis untuk pembaca.
 Media Legal adalah nama yang dipakai Isrol Triono sebagai identitas karya-karya seni jalanan dengan teknik stensil. Perupa yang sering terlibat sebagai aktifis sosial melalui seni ini, mengeksplorasi, mengekspos, dan mengangkat isu atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat, melalui karya-karyanya ia berpartisipasi dan mendukung pemberdayaan, pendidikan dan ekspresi demokratis, yang mana sebagian besar karyanya memakai objek figur anak-anak sebagai presentasi sifat kejujuran.Seperti karya Anak Berinteraksi Baca_Berwarna yang menggambarkan dua anak yang sedang mendiskusikan buku bacaan mereka.
 Sebagian besar karya Adit Here Here dikenal dikalangan masyarakat lewat karya mural atau graffitinya yang ikonik menghiasi tembok-tembok di sudut Kota Jogja. Hal tersebut memudahkan Adit menyampaikan karyanya yang berupa kritik sosisal ke publik, tanpa harus membuat pameran di galeri seni, tetapi legalitas akan kesenian jalanan seperti ini masih samar. Meskipun hal tersebut sudah mulai di terima oleh masyarakat yang merelakan dindingnya untuk di gunakan menjadi media berekspresi oleh anak- anak muda, tetapi banyak pelaku yang tidak bertanggung jawab dari kalangan anak-anak muda yang memanfaatkan hal tersebut untuk membuat vandalisme yang tidak berpatok pada standart estetika. Akibatnya pemerintah membuat peraturan tentang Vandalisme dan penggiat seni jalanan. Salah satunya menyebabkan hambatan para pelaku mural dan graffiti berkarya ialah mengurus surat izin pemakaian tembok, hal ini dirasa sulit oleh penggiat mural dan graffiti yang berlatar belakang bukan dari akademisi. Hit and Run adalah karya yang menggambarkan penggiat mural dan graffiti yang tertangkap basah tidak mempunyai izin penggunaan tembok, lari menghindari penangkapan oleh warga dan petugas ketertiban.
 Susiyo Guntur, pria lulusan dari Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2017 ini sedikit banyak mengunakan bahasa simbolik pada karya-karyanya. Guntur cukup dekat dengan kepustakaan, kita bisa lihat dari tugas akhir perancanganya, yaitu tipografi (huruf), ilustrasi, dan desain buku karya sastra Kahlil Gibran, tetapi ia lebih tertarik mengangkat tentang kehidupan manusia dan alam yang beraliran surealisme, karena pustaka dalam perspektif umum memiliki perluasan seperti halnya lingkungan, alam dan semesta raya. Contoh saja karya Pinkything yang ditampilkan pada pameran kali ini, menggambarkan objek-objek seperti rumah, tanaman dan hewan yang ada dilingkungan sekitarnya.
 Adi Ardiyansyah memandang seni tidak hanya sebagai keindahan semata, pada dasarnya keindahan akhirnya akan tercipta. Seniman kelahiran Bekasi ini menuliskan teks-teks yang kadang terlihat provokativ, peryataan, bahkan percakapan antara dirinya dengan imajinasinya sendiri pada karya-karyanya. Tak hanya simbolis, namun juga verbalistis. Simbiosis Balanceisme yang dipamerkan pada pameran ini adalah salah satu karyanya yang mengunakan simbolis dan verbalistis, contohnya saja menggunakan simbol langkah kaki yang berjalan maju dan pedal yang mengisyaratkan bahwa hidup terus berjalan, yang selalu meninggalkan sejarah. Adi ingin menyampaikan lewat karyanya, bahwa keseimbangan yang menguntungkan antara pustaka—buku— dan seni rupa menjadi bagian penting dalam menciptakan sejarah, karena baginya sejarah adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik, karena kita belajar dari sejarah.
Tumblr media
E-Catalog :  https://drive.google.com/file/d/1z8OysX-hpxXwrojwaTk3GOznfpn_hkiy/view?usp=sharing
+++++++ Kurator Mikke Susanto | Anam Khoirul | Tomi Firdaus 
3 notes · View notes