Text
Me, Myself & I



— v, excerpts from a book i’ll never write #2 (via letsbelonelytogetherr)
21K notes
·
View notes
Text
Padahal aku cuma alfabet yang patah.
Dipaksa bicara di negeri yang mengganti logika dengan paranoia.
19 notes
·
View notes
Text
sampai nanti, nama kita disebut sekali dan menggema melebihi umur bumi.


Dua Semesta
Diantara bisik waktu yang selalu terburu, kita adalah jeda yang menolak dikurangi.
Mereka bilang aku mesti lamat menilai dunia luar sebab malam selalu menabur ribuan kemungkinan, tapi aku sudah menemukan orbitku di sepasang matamu. Tak perlu peta, tak perlu arah, karena setiap detik bersamamu adalah koordinat yang terarah. Seperti garis tak kasatmata yang menghubungkan langkahku dengan keajaiban, melingkar lembut di pergelangan tangan, mengikat janji yang bahkan tak perlu diucapkan.
Mereka bertanya apakah ada ruang diantara kita? kubilang bahwa kita sudah memenuhi setiap sudutnya, mengalir dalam nadi seperti rahasia yang tak ingin diceritakan. Dalam genggamanmu, aku menemukan segala yang kebaikan tawarkan.
Aku temukan kau diantara jeda napas langit, ketika malam menakar gelap dengan sisa cahaya dan aku setitik debu yang lupa caranya mencinta, kau rengkuh dalam genggaman sehalus embun pertama. Kita bukan dua semesta yang mengorbit pada satu noktah. Kita adalah orbit itu sendiri. Yang miliki kau dan aku sebagai gravitasi.
Aku hirup kehadiranmu seperti udara pertama, seperti detik yang tak pernah gagal menggenapi jamnya, seperti gema yang tidak mencari dinding, karena ia tahu, ia sudah tiba di tujuan akhir.
sampai nanti, nama kita disebut sekali dan menggema melebihi umur bumi.
11 notes
·
View notes
Text
Dunia membungkam, langit malam menjahit luka-luka dengan jarum hitam, tapi tak satu pun nyeri hilang dan kemarahan ini terlalu besar untuk dikubur.


Darah Senyap
Aku mengunyah malam hingga rahangnya patah, tapi sunyi tetap menetes dari sela-sela gigiku. Kusut, anyir, menjalar ke lidah, menjadi rasa yang tak bisa kutelan, tapi juga tak bisa kumuntahkan. Dinding-dinding waktu merapat, menyerap suaraku sebelum sempat lahir. Aku meninju jam, tapi detiknya hanya menyeringai berjalan mundur dengan kesabaran yang menghancurkan.
Aku bertanya pada bayanganku, tapi ia hanya menggeleng, seolah aku bukan aku, seolah aku hanyalah sisa bisikan yang lupa dipadamkan.
Dunia membungkam, langit malam menjahit luka-luka dengan jarum hitam, tapi tak satu pun nyeri hilang dan kemarahan ini terlalu besar untuk dikubur. Sedang langkah-langkahku tersesat di jalan yang berubah bentuk; aspalnya mencair, trotoarnya melayang, lampu jalannya bergelayut seperti kepala yang sudah kehilangan leher.
Jika aku terbakar sekarang,
akankah aku menjadi cahaya,
atau hanya abu yang tersapu
tanpa pernah dikenang?
Jika aku mengoyaknya, akankah ia berdarah?
Atau hanya tersenyum melihat aku yang kehilangan arah?
6 notes
·
View notes
Text
Mungkin sepi telah mendarah dan sunyi menjelma tubuh kedua, mendekapku lebih erat daripada tangan sesiapa.


Hantam Hampa
Aku menggigit tepi malam, merobeknya seperti daging waktu yang busuk. Jam berdetak di tulangku, tapi detiknya sumbing, terlalu lelah untuk menghitung apa yang hilang.
Jalanan kosong meludahiku dengan lampu-lampu redup, menyeret bayanganku seperti kain sobek yang dipaksa bertahan.
Aku bicara pada udara, tapi ia hanya tertawa, mengembalikan suaraku sebagai gema yang retak.
Tuhan pernah kusebut dalam gelap,
tapi yang datang hanya keheningan yang menyeringai.
Mungkin sepi telah mendarah dan sunyi menjelma tubuh kedua, mendekapku lebih erat daripada tangan sesiapa.
Aku muak menjadi batu di dasar sungai,
diam, tak terbawa arus, tapi perlahan tergerus.
Aku marah pada angin yang hanya singgah,
pada malam yang menghapus langkah,
pada dunia yang terus bergerak
dan aku yang mendadak retak.
Jika aku berteriak sekarang,
akankah suaraku menjadi bara
atau hanya asap yang langsung larut di udara?
8 notes
·
View notes
Text
Pagi ini kau harusnya mengukir delapan lima dan aku mulai mengunyah dua tiga. Ganjil pada malam yang penuh gigil. Tak ada yang menggenapkan kecuali nihil.


Selamat Ulang Tahun Sapardi.
Ada kursi tua di sudut kepalamu, tempat dimana angka-angka kalender berebut duduk. Mereka bersiul ingin kau rayakan seperti orang-orang. Tapi dua puluh memilih bungkam di sudut ruang. Katanya, kau tak pernah mengingatnya dengan benar.
Malam ini anginmu tersesat. Tersandung sela napas yang kau sembunyikan di balik bibir. Ia mengaduh pelan, menyelinap ke tengkukmu, memohon dipeluk sebelum benar-benar hilang. Tapi kau juga enggan menyambutnya dengan benar.
Jendela mencoba membelaimu lewat bayangan yang ia pantulkan. Kau menoleh, bulan tampak bergegas mengemasi sinarnya--mungkin takut melihat merah di matamu. Orang bilang itu amarah, tapi sepi tau betul kalau itu cuma duka yang kau paksa padam nyala apinya. Sebentar lagi fajar datang, namun apa guna terang kalau tak mampu menemukanmu?
Kau menyesap kesunyian yang lama berkarat di cangkir matamu, rasanya hambar, tapi begitulah kehidupan menyeduhnya;
tanpa gula, tanpa asa, tanpa siapa-siapa.
Pagi ini kau harusnya mengukir delapan lima dan aku mulai mengunyah dua tiga. Ganjil pada malam yang penuh gigil. Tak ada yang menggenapkan kecuali nihil.
.
.
.
Bumi, 20 Maret 2025
14 notes
·
View notes
Text


Sebab Tuhan bilang, eksistensiku adalah litaskunū ilayhā. Dan kau yang paling tau bagaimana menciptakannya.
Han
Anggap saja pangkuan ini sandaran ternyaman di muka bumi. Biar kutemani kau dengan cerita paling melankoli. Perihal pucat pasinya kota setelah mati rasa, balon yang mulai terbang tinggi diisi harapan manusia, pun kembang api yang entah sampai kapan mencumbu langit kota.
Kau paling tau bahwa aku bukan nirmala, pun tidak bisa mengabulkan pintamu jadi tiga. Namun pada tiap tanda seru bertubi-tubi dan taburan kata yang mencoba bunuh diri, aku ada untuk kau menukar tanda tanya dengan roh tabah yang memeluk seisi doa.
Han, pada secangkir bahasa yang gagal kita teguk seluruh maknanya. Kuharap kita selalu menemukan titik koma seperti biasa. Lalu berakhir pada sekodi cumbu yang mabuknya meluruhkan seribu duka. Sebab Tuhan bilang, eksistensiku adalah litaskunū ilayhā. Dan kau yang paling tau bagaimana menciptakannya.
Nanti, ketika malam menyisakan tubuhnya sepertiga. Dan kota menitipkan kekalahan serta kelelahan yang berlipat ganda. Temukan aku pada tiap pilihan tenang yang ingin dimenangkan. Kau tau aku suka berlomba.
Biarkan aku jadi hujan yang paling kau tunggu selama kemarau panjang. Dan kau lautan tempat pulang seluruh rinduku tanpa keraguan. Biar kita jadi segala perayaan yang dirayakan tanpa perlu banyak alasan. Biar kita saling menemukan, menetap dan menghambarkan segala yang pernah disebut kenangan.
Sampai nanti
ketika tubuhku dipupuk segar kamboja.
Sampai nanti
yang lebih lama dari selamanya.
15 notes
·
View notes
Text
Harus dilatih, katanya. 2 anak kecil yang baru mahir merangkak. Yang satu memaksa diri ingin cepat jago lari, satu lagi entah ingin apa; geraknya tidak bisa diterka tapi semua orang tau mereka sama mencoba.
Harus dijelaskan, katanya. Tapi bahasa manusia tidak pernah cukup untuk komunikasi. Kita butuh mengerti dan mengerti mungkin di luar jangkauan manusia ya? Kita hanya pandai menerka. Ironinya, kita lebih percaya terkaan ketimbang bahasa yang digunakan manusia pada umumnya.
Ternyata kita lebih butuh belajar banyak kosa kata sebab membangun selalu lebih mudah ketimbang binasa.
Kita membangunnya seribu jam dan salah paham menghancurkannya sedetik kurang sekian. Duh, barangkali cinta memang serupa bisa ular; akan jadi obat atau racun tergantung pengolah seberapa handal.
5 notes
·
View notes
Text
Dan aku hanya mampu membungkus satu nama ketika sebagian yang lain menawarkan untuk menjadi separuhnya.
23 notes
·
View notes
Text
so sick i love dominant man who whimpers like a sub
2 notes
·
View notes
Text




Kalau rindumu adalah ikan, aku akan jadi lautan. Kalau kau menjelma hujan, aku akan jadi kemarau yang menunggumu datang.
Tapi Tuan, kemacetan ini kita nikmati sampai kapan?
9 notes
·
View notes
Text
you wasnt ready to love
and i wasnt ready to hurt again
such a miserable thing
4 notes
·
View notes
Text
Runtuh
Sebab kini aku terlanjur melihatmu sebagai satu-satunya tapi kau melihatku sebagai apa? Malam-malam sialan yang memabukkan isi kepala, yang mengesankan dan mengenaskan sebab kita tak mampu-atau tak mau-membawanya jadi nyata.

Kau kira aku tenggelam harap pada ilusi kebahagiaan yang disebut hubungan jangka panjang? Haha sialan. Aku bukan naif anak kecil yang melihatnya sebagai savana atau ladang penuh bunga, sedang darah masa laluku masih anyir di ujung sana.
Kau yang tiba-tiba dan kita yang penuh penasaran saja, sedang hatiku sudah lama mati rasa. Aku cemas tapi berani mengungkapkan; barangkali hanya rindu rasanya jatuh cinta atau barangkali kau benar-benar membuatku merasa?
Persetan. Peduli apa tentang awal dan akhirnya? Sebab kini aku terlanjur melihatmu sebagai satu-satunya tapi kau melihatku sebagai apa? Malam-malam sialan yang memabukkan isi kepala, yang mengesankan dan mengenaskan sebab kita tak mampu-atau tak mau-membawanya jadi nyata.
Matamu yang langit biru dan ribuan mendung yang berebut kursi di dadaku; apa kau akan mencari hangat yang baru setelah aku tak lagi api? apa kita akan berhenti sebab mekar pada tiap detak jantung sudah tak ada lagi? apa kita hanya saling menikmati tanpa peduli siapa yang paling sakit jika berakhir nanti?
Sialan. Kita bercinta dengan selimut apa, Sayang? Kemarahan dan kebencian? Ya, akulah yang paling banyak menyumbang. Kupuja kau dengan amarah Zeus yang menghukum Aphrodite, pun mengutukmu dengan kutukan Aphrodite kepada Phaedra. Mampukah kau lari darinya?
Aku hanya ingin melihatmu tetap disana. Aku hanya ingin melihat kita jadi satu kata;
Utuh.
Tapi kita ini hanya rapuh dan berakhir jadi judul sajak yang penuh gemuruh.
12 notes
·
View notes
Text
✉️✉️✉️✉️✉️
Kau tau? bohong kalau ada yang bilang waktu bisa menyembuhkan.
Waktu tidak mampu menyembuhkan apapun, Nona. Kitalah yang memilih ingin sembuh pada waktu yang mana. Barangkali kita jugalah yang sejatinya mengutuk diri sendiri untuk terus terjebak dalam paradoks pesakitan yang nyata. Bukan sebab semesta, tapi harapan dan ekspektasi kurang logika yang mengendalikan kita untuk terus berada di posisi yang membuat gila. Oh ayolah, aku tidak mau repot membawa teori Freud ataupun Sternberg.
Sembuhlah, berhenti menjadikan manusia sebagai rumah.
Rumah mestilah statis sedang manusia terlalu dinamis untuk kau jadikan sandaran pun untuk kau rawat dengan seluruh tubuhmu yang terbatas. Sembuhlah, perempuan sejatinya berdaya. Barangkali cinta dan sakit adalah satu paket yang tidak bisa kau pilah isinya, tapi bukankah kau beriman bahwa Tuhan menciptakan segala yang di dunia ini fana? Pun sakitmu yang hari ini menyesak dada, tak ada yang abadi, Nona. Kuharap, kau lekas bahagia meski bukan dia penyebabnya.
Selamat mengangkasa bersama hal-hal baik yang kau perjuangkan hari ini. Berlimpahlah cahaya. Tuhan menyertai, kisah kasih menyelimuti.
.
.
pstt sebentar, kau mesti tau kalau aku tidak pernah mendoakan orang yang tidak kukenal, tapi saat ini aku melakukannya dengan tulus. Tuhan Maha Tahu siapa namamu dan kepada siapa doa ini tertuju. Berbahagialah, aku tidak akan memaksa agar kau bahagia selalu sebab kau mesti ingat bahwa bahagia datang tepat pada waktunya, bukan bahagia setiap waktu. Selamat sembuh dari waktu ke waktu. Tuhan menyayangimu.


18 notes
·
View notes
Text
Kau Maha Melihat seberapa muak aku dengan permainan yang objeknya perasaan. Jikalau lebih bercahaya, aku lebih suka Kau kembalikan aku mati rasa.

Tuhan, banyak sedih tumbuh subur di mataku yang enggan hujan. Pun, Kau paling tahu perihal bandang yang berhasil kubendung dengan jatuh bangun. Badai yang tiap malam bertengger di kepala, kupersilakan duduk berdua agar ia punya teman untuk bercengkrama. Pundakku yang orang-orang suka, barangkali mereka melihatnya sebagai singgasana harapan penolak bala.
Duh, tidak. Dunia anak pertama tak sehitam yang dibicarakan manusia.
Yang patah tak selalu berteman payah. Meski sedikit-sedikit nanti akan penuh, sakit-sakit juga pasti akan sembuh. Tapi, Tuhan, mohon berikan aku semesta yang lebih ringan. Paling tidak, aku tak perlu memotong kaki tangan ataupun menjual seluruh badan dan menukarnya dengan satu sloki whisky hanya untuk dicintai. Aku khawatir manusia sejatinya adalah hewan yang diperbudak keinginan dan aku anak ayam yang sukarela dibesarkan agar jadi santapan malam.

Tuhan, di tubuh anak perempuan pertama dan satu-satunya, Kau Yang Maha Tahu seberapa banyak bejat dan bangsat yang melekat. Pun berapa darah dan nanah yang ia telan mentah-mentah. Sudah kewelahan ia dengan amin-amin yang dibalas main-main. Mohon ringankan perjalanannya dengan menyingkirkan segala yang menolak diisi, hanya penasaran dan justru mencuri. Perihal pelajaran yang Kau bungkus dengan cara kurang menyenangkan, aku beriman. Perihal doaku yang memelas dan minta dikuatkan sendirian, Kau jua Maha Mendengar dan Mengabulkan, bukan?
Tuhanku, untuk mereka yang Kau takdirkan sesaat dan terlewat, mohon singkirkan dan jaga aku dalam kesendirian. Kau Maha Melihat seberapa muak aku dengan permainan yang objeknya perasaan. Jikalau lebih bercahaya, aku lebih suka Kau kembalikan aku mati rasa.
Pada petang hari hujan ini, Kau berjanji lebih banyak mendengar dan mengabulkan. Aku beriman.

.
.
.
Jum'at, 04 Oktober 2024
59 notes
·
View notes