Photo

“When anyone tells me, that he saw a dead man restored to life, I immediately consider with myself, whether it be more probable, that this person should either deceive or be deceived, or that the fact, which he relates, should have really happened” Perkataan David Hume yang terkenal ini mewakili pemikiran manusia yang menolak adanya kebangkitan. Apakah ada bukti-bukti mengenai kebangkitan Yesus yang dipercaya oleh banyak pakar?
Norman L. Geisler dan Frank Turek menuliskan dalam bukunya tentang seorang pakar kebangkitan bernama Gary Habermas yang mengumpulkan 1400 buku dari tahun 1975 sd 2003 mengenai karya pakar yang paling kritis mengenai kebangkitan. Para pakar itu sepakat 12 poin mengenai Yesus dan kekristenan sebagai fakta yang benar-benar terjadi: Pertama, Yesus mati karena penyaliban Romawi. Kedua, Yesus dikuburkan. Ketiga, para murid kecewa, kehilangan semangat. Keempat, kubur Yesus ditemukan kosong. Kelima, Para murid meyakini penampakan Yesus yang bangkit. Keenam, kehidupan para murid berubah bahkan rela mati demi iman mereka. Ketujuh, kebangkitan Yesus diberitakan sejak awal gereja. Kedelapan, kesaksian para murid dilakukan di Yerusalem tempat Yesus disalib dan dikuburkan. Kesembilan, pesan Injil berpusat pada kematian dan kebangkitan Yesus. Kesepuluh, hari Minggu menjadi hari yang penting untuk bersekutu dan beribadah. Kesebelas, Yakobus saudara Yesus yang skeptic berubah setelah melihat Yesus yang bangkit. Keduabelas, musuh Kristen yaitu Paulus menjadi orang percaya setelah melihat Yesus (1).
Gary Habermas dan Licona menuliskan bukti kebangkitan Yesus dengan “pendekatan fakta minimal” (minimal facts approach). Pendekatan ini mempergunakan fakta yang didukung oleh banyak bahan bukti. Kemudian fakta yang ada itu diterima oleh hampir setiap pakar. Kelebihan pendekatan ini adalah menghindari banyak perdebatan soal pengilhaman Alkitab. Kerap kali keberatan beralih kepada “Alkitab yang mengandung banyak kekeliruan”. Melalui pendekatan ini, hanya diberikan fakta-fakta yang diterima oleh banyak pakar, bahkan yang skeptic sekalipun. Licona meringkas 12 fakta diatas menjadi 5 fakta, yaitu: Pertama, Yesus mati disalib. Kedua, Para murid Yesus percaya bahwa Ia bangkit dan menampakkan diri-Nya kepada mereka. Ketiga, Paulus penganiaya gereja diubahkan tiba-tiba. Keempat, Yakobus saudara Yesus yang skeptik tiba-tiba diubahkan. Kelima, Makam itu kosong (2).
Licona dalam penulisan tesis doktoratnya, yang kemudian menjadi buku terkenal mengenai kebangkitan Yesus, menuliskan bahwa Gary Habermas adalah seorang professional philosopy khusus mengenai kebangkitan Yesus. Habermas telah mengumpulkan bibliografi sekitar 3400 jurnal maupun buku yang ditulis dalam bahas Inggris, Jerman dan Perancis dari tahun 1975 hingga saat penulisan tesis Licona. Sebagai catatan, buku Licona ini diterbitkan tahun 2010 melalui research intensive sejak tahun 2003. Sebagai perbandingan, pada masa awal Habermas meneliti kebangkitan Yesus, sangat sedikit pakar historis profesional non Kristen yang menuliskan jurnal mengenai hal ini (3).
Dari tulisan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cukup banyak bukti yang diakui oleh para pakar dibidang historis, filosopy dan teologi. Cukup banyak dalam arti dibandingkan dengan teori lain yang menolak kebangkitan Yesus. Misalnya saja orang berkata bahwa Yesus tidak benar-benar bangkit, tapi murid-murid hanya berhalusinasi. Maka, teori ini harus membuktikan dengan memberikan fakta-fakta sejarah yang mendukung hal tersebut. Bagaimana mungkin Paulus yang merupakan musuh Kristen bisa berhalusinasi bertemu dengan Yesus? Bukankah halusinasi dikarenakan adanya keinginan yang kuat untuk bertemu dengan seseorang yang dirindukannya? Tetapi Paulus pada saat itu musuh Kristen. Tentu fakta-fakta yang ada tidak mendukung teori tersebut. Keduabelas fakta Habermas yang diakui oleh para pakar, bisa menyandingkan antara teori halusinasi dengan teori kebangkitan Yesus. Kita tentu segera mengetahui mana yang lebih dapat diterima akal.
Pertanyaan yang perlu dipikirakan adalah: Apakah manfaatnya kebangkitan Yesus itu? Kenapa kebangkitan Yesus harus menjadi pusat dari Injil itu sendiri? Bukankah Injil dalam arti kematian Kristus sudah cukup untuk mempertobatkan orang lain? Kenapa perlu dengan berita kebangkitan Yesus? Apa manfaatnya?
Referensi
(1) Norman L. Geisler and Frank Turek, I Don't Have Enough Faith to Be an Atheist (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2004), 335-6. (edisi bahasa Indonesia).
(2) Gary R. Habermas and Mike Licona, The Case for the Resurrection of Jesus (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, ©2004), 39-76. (edisi bahasa Indonesia)
(3) Mike Licona, The Resurrection of Jesus: A New Historiographical Approach (Downers Grove, Ill.: IVP Academic, ©2010), 19.
0 notes
Photo

Kenapa kebangkitan Yesus begitu penting bagi orang Kristen? Apakah karena kebangkitan adalah suatu hal yang menakjubkan dan belum pernah ada yang bangkit dalam sejarah? Dalam Perjanjian Lama dan Baru, beberapa orang juga pernah dibangkitkan. Dalam sejarah mitologi Yunani juga mengenal kebangkitan. Apa hebatnya Yesus dibangkitkan dibandingkan dengan yang lainnya?
John Piper dalam desiringgod.com menuliskan apa arti kebangkitan Yesus. Saya akan kutip beberapa diantaranya, kebangkitan Yesus memberikan: pertobatan (Kis.5:30-31); kelahiran baru (1 Pet.1:3); pengampunan dosa (1 Kor.15:17); Roh Kudus (Kis.2:32-33); tidak ada penghakiman (Rom.8:33-34); penyertaan (Mat.28:20); penghakiman (Kis.17:31); keselamatan (1 Tes.1:10); kebangkitan dari kematian (2 Kor.4:14). (1)
Berkouwer menyatakan bahwa kebangkitan Yesus adalah hal yang esensial dan sangat menentukan. Kebangkitan Yesus mengekspresikan sukacita dan kuasa superior Allah Kis.2:23, 4:10). Karena Allah yang membangkitan Yesus dari antara orang mati (Rom.8:11, 8:34). Dibangkitkan oleh kemuliaan Bapa ((Rom.6:4), dan tidak akan mati lagi karena maut tidak lagi berkuasa (Rom.6:9). Fakta kebangkitan ini harus dipercaya dalam hati (Rom.10:9). Kebangkitan Yesus berelasi dengan kebangkitan orang Kristen (1 Kor.6:14). Kebangkitan mengakibatkan iman kita tidak sia-sia (1 Kor.15:17) sehingga orang-orang yang mati dalam Kristus tidak akan binasa (1 Kor.15:18). (2)
Warfield mengatakan bahwa kebangkitan Yesus adalah ajaran yang fundamental (a Fundamental doctrine). Fred G. Zaspel menuliskan pandangan B. B. Warfield mengenai kebangkitan Yesus ini. Kaum liberal berusaha menghilangkan semua mukjizat dari kekristenan. Warfiel menuliskan bahwa pusat perkabaran injil dari Paulus adalah kematian dan kebangkitan Yesus sebagai buah yang pertama dari yang mati (sleep). Menghilangkan kebangkita Yesus berarti menghilangkan esensi dan keistimewaan Kristen. (3)
Gerald Bray menuliskan bahwa jika Kristus tidak dibangkitakan maka sis-sia kepercayaan kita, karena orang Kristen juga tidak akan dibangkitkan. Bray membahas pentingnya kebangkitan Kristus sehubungan dengan kebangkitna tubuh orang Kristen juga. Setelah Kristus bangkit, tubuh-Nya bertransformasi menjadi tubuh semi surgawi, bisa dilihat dan bisa menghilang. Ini bersifat sementara dan bertransformasi lagi saat datang yang kedua kali. Kebangkitan tubuh Yesus akan menjadi jamian kebangkitan tubuh setiap orang Kristen. (4)
Richard B. Gaffin, JR. mengaitkan kebangkitan Yesus dengan kebangkitan orang percaya sebagai persatuan dengan Kristus (union with Christ). Kritus sebagai buah sulung, dimana orang percaya akan mengikuti buang sulung tersebut. Bagi Gaffin, pengalaman keselamatan mempunyai karakter eskatologi. Kebangkitan bukan berbentuk figurative atau gambaran saja, tetapi pengalaman realistik. Gaffin secara antropologi membagi dalam 2 aspek pengalaman kebangkitan bagi umat Kristiani. Yaitu, aspek tubuh eksternal dan internal, terbuka dan rahasia, yaitu kebangkitan tubuh dan non tubuh. Yaitu kebangkitan manusia batiniah (inner) diwaktu lampau dan manusia lahiriah (outer) diwaktu yang akan datang (2 Kor.4:16, Rom.6:12, Ef.3:16). (5)
John M. Frame dalam sistematik teologinya, menulis sangat sedikit mengenai kebangkitan Yesus. Frame mengkaitkan antara regenerasi dengan kebangkitan. Dalam regenerasi umat Kristen mengalami kelahiran baru (new born) yang identik dengan ciptaan baru (new creation). Ini berarti juga transformasi dari mati menjadi hidup. Ini adalah kebangkitan. Kebangkitan ini berarti kesatuan (union) dengan Kristus. (6)
N. T. Wright menuliskan dengan sangat luas mengenai kebangkitan Yesus. Wright menuliskan bahwa kebangkitan Yesus berbeda dengan kebangkitan pada pemikiran Yunani atau mitologi sebelum Yesus. Kematian bagi Yunani adalah satu jalan dan tidak ada kembali. Kalaupun ada yang hidup, akan mati kembali. Kebangkitanpun dikaitkan dengan jiwa yang tetap hidup, bukan mengenai kebangkitan tubuh itu sendiri. (7)
Kenneth Richard Samples menuliskan bahwa Yesus dibangkitkan bukan hidup kembali dari kematian atau reinkarnasi. Bukan mati suri atau pengalaman nyaris mati. Tapi kebangkitan Yesus adalah suatu bentuk baru kehidupan manusia, tubuh fisik yang diubahkan menjadi mulia, tidak ada kelemahan. kesakitan, penyakit dan kematian karena Yesus telah menaklukkan maut selama-lamanya. (8)
Dapat kita simpulkan, bahwa kebangkitan Yesus adalah pusat dan sentral dari iman Kristen dan Injil itu sendiri yang membedakan dengan kepercayaan yang pernah ada didunia ini. Kebangkitan Yesus menjadi jaminan kesatuan dengan Kristus dan semua janji-janji Allah bisa digenapi dan umat Kristen mempunyai jaminan kebangkitan tubuh pada hari penghakiman dan hidup bersama-sama dengan Kristus di sorga.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan, apakah fakta kebangkitan Yesus yang “katanya” historis itu dan katanya diakui oleh banyak ahli, membuat banyak skeptic percaya bahwa Yesus bangkit? Ternyata tidak. Banyak skeptik atau atheis tidak percaya Yesus bangkit. Apakah yang menyebabkan penolak itu? Pandangan mana yang benar? Kalau memang Yesus historis itu penting, bagaimana ahli sejarah memandang hal ini?
Referensi
(1) John Piper, Desiring God. Diundah 4 Juli 2016. Ada 2 link yang bisa dilihat: http://www.desiringgod.org/articles/what-we-owe-the-resurrection-of-jesus. Dapat dilihat juga http://www.desiringgod.org/articles/let-these-results-of-the-resurrection-of-jesus-revive-your-passion-for-his-supremacy-over-all-things.
(2) G C. Berkouwer, The Work of Christ, His Studies in Dogmatics (Grand Rapids, MI: W.B. Eerdmans Pub. Co., ©1965), 181-82.
(3) Fred G. Zaspel, The Theology of B.b. Warfield: A Systematic Summary (Wheaton, Ill.: Crossway, ©2010), 314.
(4) Gerald Lewis Bray, God Is Love: A Biblical and Systematic Theology (Wheaton, Ill.: Crossway, ©2012), 594-95.
(5) Richard B. Gaffin, Resurrection and Redemption: A Study in Paul's Soteriology, 2nd ed. (Phillipsburg, N.J.: Presbyterian and Reformed Pub. Co., 1987, ©1978), 39-61.
(6) John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (Phillipsburg, New Jersey: P & R Publishing, 2013), 949.
(7) N.T. Wright, The Resurrection of the Son of God: Christian Origins and the Question of God, vol.3 (North American ed. 4 vols. Minneapolis: Fortress Press, 1992-2013), 83-4.
(8) Kenneth R. Samples, Without a Doubt: Answering the 20 Toughest Faith Questions (Grand Rapids, Mich.: Baker Books, ©2004), 170. (edisi bahasa Indonesia)
0 notes
Photo

Apakah arti dan definisi dari sejarah? Apakah ada pengaruh defisini sejarah terhadap cara pandang historian terhadap sejarah itu sendiri dan definisi apa saja yang diberikan untuk mendeskripsikan sejarah itu sendiri? Apakah definisi sejarah sudah cukup menggambarkan apa itu sejarah?
Wright mendefinisikan sejarah dalam lima cara. Pertama, sejarah adalah sebagai kejadian. Berarti sesuatu yang telah terjadi walaupun kita mempunyai atau tidak mempunyai bukti-bukti mengenai hal itu. Kedua, sejarah dipandang sebagai kejadian yang signifikan atau penting. Berarti ada suatu momentum yang penting pada kejadian tersebut. Ketiga, sejarah adalah sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan. Berarti sejarah bukan saja terjadi tapi dapat di demonstrasikan dalam matematika sehingga disebut sebagai “ilmu yang sulit”. Keempat, sejarah berarti menulis tentang kejadian-kejadian diwaktu lampau. Termasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang telah ditulis pada masa lampau, termasuk tentu saja tradisi lisan (informasi yang disampaikan melalui lisan) yang terjadi dimasa lampau. Kelima, sejarah adalah kombinasi atara poin (3) dan (4) diatas. Dengan pemikiran setelah “masa pencerahan” (post enlightenment) yang menekankan rasio dan ilmu pengetahuan. Dari pengertian diatas, ketika para ahli menuliskan Yesus sejarah (historical Jesus), perkataan ini mengandung arti seperti kelima deifinisi diatas. (1)
Craig menuliskan bahwa pengetahuan sejarah menimbulkan suatu pertanyaan penting: bagaimanakah kepastian kebenaran ketika mempelajari “apa saja yang berhubungan dengan manusia” diwaktu lampau? Pertanyaan ini menimbulkan suatu derajat ketidakpastian. Bahkan dikatakan bahwa sejarah adalah kebohongan yang disetujui bersama. Pemikiran ini tentu saja secara langsung menghantam kekristenan yang berdiri diatas wahyu Allah. Craig kemudian melanjutkan bahwa pengetahuan sejarah dimulai sejak abad pertengahan berupa catatan-catatan kejadian dan tanggal terjadinya dari orang-orang yang mempunyai otoritas. Kemudian beralih pada tahap “kesadaran historis” pada abad modern. Tulisan sejarah berkembang menjadi tulisan yang popular. Masa ini menjadi kelahirkan Sejarah yang berdasarkan kesadaran diri (rise of historical consciousness). Kemudian berkembang lagi pada abad sembilanbelas dan duapuluh menjadi abad relativisme. Dimulai pada abad sembilanbelas yang ditandai dengan sifat objektif dari sejarah itu sendiri. Biarkan fakta itu yang berbicara sendiri. Berkembang pada abad duapuluh menjadi relativisme, yang berfokus pada dua hal: pertama, non-realisme atau konstruksionisme, yaitu konstruksionisme sejarah untuk masa lampau daripada kejadian masa lampau itu sendiri; kedua, non-objektif atau subjektifisme, pandangan yang melihat bahwa tidak ada satu rekonstruksi sejarah dapat menyatakan lebih akurat daripada rekonstruksi sejarah lainnya. (2)
Licona mendefinisikan sejarah sebagai kejadian-kejadian dimasa lampau yang menjadi objek studi. Dari definisi ini dapat dimengerti bahwa kejadian masa lampau demikian banyak. Tetapi yang dicatat adalah yang menjadi objek studi. Namun, sejarah berbeda juga dengan historiography, yaitu penelitian tentang sejarah dan pertanyaan-pertanyaan mengenai sejarah yang tercatat. Berarti ada unsur metodologi dan filosofinya. Selain itu, sejarah tidak mencatat semua hal, namun yang perlu saja. Contohnya, bila melihat sejarah Suharto, Presiden kedua RI, sangat sedikit mengulas masa pacarannya selagi muda. Tetapi walaupun sejarah tidak mencatat lengkap masa berpacarannya, tetap tidak mengubah pendapat bahwa Ia adalah Presiden RI yang kedua. Ini adalah fakta yang akurat. Demikian juga bila dikaitkan dengan Yesus, murid-murid tidak pernah menggambarkan tubuh Yesus, tetapi tidak berarti menolak keberadaan-Nya dalam sejarah. Karena sejarah sebagai objek, maka manusia yang mempelajarinya sebagai subjek. Setiap subjek, yaitu manusia itu sendiri memiliki perspektif atau presuposisi dalam menimbang sesuati atau memikirkan sesuatu. Licona menyebutkan hal itu sebagai Horizon, yaitu kacamata yang manusia pakai untuk menilai sejarah itu sendiri. (3)
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah adalah kejadian pada masa lampau yang dikonstruksikan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Namun, fakta-fakta itu sendiri tidak bisa memberikan kepastian seratus persen, sehingga akhirnya muncul banyak pemikiran dalam membaca fakta-fakta itu yang berhubungan dengan tulisan atau teks. Sejarah menjadi topik yang menarik karena banyaknya perbedaan pandangan mengenai bagaimana melihat sejarah itu sendiri.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah, tentu ada unsur subjektifitas dalam memandang sejarah. Ini berarti setiap orang memakai “kacamata” masing-masing dalam memandang sejarah dan fakta yang sama. Hal ini memberikan perbedaan hasil konstruksi dikarenakan perbedaan cara memandang tersebut. Perbedaan ini tentu mengakibat “ketidakbenaran” sejarah itu sendiri. Bagaimanakah caranya agar setiap orang yang melihat sejarah, dapat menghilangkan cara pandang yang salah? Apakah ada satu cara pandang yang benar-benar seratus persen dapat dipercaya?
Referensi
(1) N.T. Wright, The Resurrection of the Son of God: Christian Origins and the Question of God, vol.3 (North American ed. 4 vols. Minneapolis: Fortress Press, 1992-2013), 12-15.
(2) William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2008), 208-217.
(3) Mike Licona, The Resurrection of Jesus: A New Historiographical Approach (Downers Grove, Ill.: IVP Academic, ©2010), 30-9.
0 notes
Photo

Kenapa ketika berhadapan dengan fakta sejarah, bisa terjadi perbedaan pendapat antara para ahli? Bukankah mereka orang yang berpendidikan bahkan hingga S3 dan bergelar professor. Kenapa mereka bisa berbeda dalam memandang fakta yang sama? Apakah yang membedakan cara mereka memanda suatu fakta sejarah?
Strobel juga menuliskan hal yang sama. Dalam wawancaranya dengan William Lane Craig, dikutip mengenai Michael Martin, yang adalah seorang filsuf. Craig mengatakan bahwa Martin (dalam cara pandangnya) bila melihat ada fakta-fakta yang tidak konsisten, maka sesuai hukum kontradiksi, Martin akan membuang fakta-fakta tersebut. Tentu hal ini berbeda dengan Historian. Para sejarawan akan melihat berbeda dibandingkan filsuf. Mereka akan berkata ketika melihat beberapa ketidak konsistenan, mereka meneliti dan mengatakan itu adalah detail-detail sekunder. Misalnya saja kasus kebangkitan: berapakah jumlah Malaikat yang berada di kubur Yesus, ketika hari kebangkitan? Apa perbedaan mengenai hal ini antara Matius 2:28 yang menuliskan satu malaikat dengan Lukas 24:4 yang menuliskan dua malaikat. Tetapi hal itu, bagi historian, tidak akan menghilangkan fakta, bahwa kubur Yesus kosong. Data jumlah malaikat adalah berbeda, data sekunder. Tetapi pesan utama yang ingin disampaikan oleh para penulis Injil adalah, bahwa kuburan Yesus sudah kosong. (1)
Licona menuliskan suatu istilah, Horison, sebagai pengertian awal yang dimiliki oleh setiap manusia. Sehingga ketika ada fakta sejarah, maka penetahuan awal yang dimilikinya akan memberikan penilaian kepada fakta sejarah tersebut. Bukan hanya belajar dari fakta tersebut dn mendapatkan sesuatu, tetapi fakta tersebut dilihat dalam kerangka pemikiran yang telah dibentuk sebelumnya. Licona mendefinisikan Horison sebagai cara melihat sesuatu yang didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, pendidikan, kondisi budaya, kecenderungan, praduga awal, cara pandang dunia (worldview). Horison itu bagaikan kacamata hitam yang mengakibatkan setiap benda yang dilihatnya “diwarnai” oleh warna hitam. Akibat dari horizon ini, maka para historian (ahli sejarah) akan memilih fkata-fakta yang sesuai dengan horizon yang dimilikinya. Maka fakta-fakta yang tidak sesuai dengan horizon-nya dianggap sebagai “fakta” yang tidak berguna. Seperti contoh sebelumnya, maka fakta mengenai bagaimana masa muda Suharto berpacaran, tidak signifikan dengan kejadian G30S PKI. Maka ketika seseorang memfokuskan pada kejadian tersebut, data-data yang tidak relevan, akan dikesampingkan. Licon menuliskan lebih lanjut, bahwa tidak ada historian yang bebas nilai, atau netral. Hal ini berlaku bagi orang Kristen yang dianggap tidak netral oleh orang skeptik karena melihat berdasarkan sifat religi, namun hal itu juga berlaku sebaliknya. Masing-masing memilih data yang berguna untuk tujuan yang dicapainya. Hal ini karena mereka dipengaruhi oleh Horison. (2)
Mc Dowell sendiri menuliskan bahwa banyak para mahasiswa yang disesatkan oleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat berdasarkan metode penelitian sastra atau sejarah secara objektif, tetapi kenyataannya adalah subjektif. Hal ini dimulai dari adanya praduga (atau Horison) yang sudah meyimpulkan sesuatu sebelum dimulainya penyelidikan. Baik peneliti konservatif maupun radikal, membuat banyak praduga. Pada tahap tertentu, praduga ini tidak bisa dihindarkan. Dowell kemudian menuliskan bahwa yang menjadi persoalan kunci adalah, “Apakah praduga seseorang sesuai dengan fakta-fakta yang diterimanya, sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya? Apakah cukup bukti mendukung praduga tersebut?” (3)
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Horison adalah cara pandang atau sesuatu pengertian yang mendahului manusia untuk menilai sesuatu fakta itu, sebelum fakta itu diteliti. Hal ini bisa disebut juga dengan praduga. Seringkali, praduga atau Horizon itu membuat historian membuang fakta-fakta yang sesungguhnya penting demi mendukung praduganya. Untuk itu perlu dihilangkan praduga-praduga tersebut saat akan meneliti sebuah fakta.
Perenungan: bagaimanakah caranya mengurangi sebanyak mungkin Horison sehingga berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa mendapatkan kesimpulan yang benar. Bagaimanakah Horison ini bisa berubah? Apakah ada yang mempengaruhinya?
Referensi
(1) Lee Strobel, The Case for Christ: A Journalist's Personal Investigation of the Evidence for Jesus (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2013), 271-72.
(2) Mike Licona, The Resurrection of Jesus: A New Historiographical Approach (Downers Grove, Ill.: IVP Academic, ©2010), 38-9.
(3) Josh McDowell and Bill Wilson, He Walked Among Us (San Bernardino, CA: Here, ©1988), 29-32.
0 notes
Photo

Horison adalah praduga yang dimiliki terhadap suatu fakta sejarah. Bagaimanakah caranya mengurangi sebanyak mungkin Horison sehingga berdasarkan fakta-fakta yang ada bisa mendapatkan kesimpulan yang benar. Apakah Horison ini bisa diubahkan? Bagaimana mengatasi Horison ini?
Horison itu adalah praduga awal yang manusia memiliki dalam membaca fakta-fakta sejarah. Horison ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan kita (assets and liabilities) dalam menyelidiki fakta sejarah. Disatu sisi konsep iman orang percaya dapat menolongnya melihat bukti-bukti dengan lebih jernih yang mendukung kebangkitan Yesus, namun disisi lain bisa “mengabaikan logika” seperti yang dilihat dan dipikirkan orang atheis. (1)
N.T. Wright menuliskan kasus Thomas dalam Yohanes 20. Dikatakan bahwa Thomas mempunyai epistemologi (*) percaya kalau sudah menyentuh Yesus yang bangkit. Thomas tidak percaya, dan ketidakpercayaan itu hanya bisa dihilangkan bila melihat bekas paku di tangan dan mencucukkan tangan ke lambung Yesus. Epistmologinya berubah setelah mendengar suara Yesus yang berkata, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”. Perubahan horizon sangat memungkinkan setelah melihat fakta itu langsung. Perjumpaan dengan fakta-fakta sejarah kebangkitan Yesus dapat merubah horison seseorang. (2)
Lebih lanjut, Licona mengusulkan 5 cara agar setidaknya dapat meminimalkan horison: (1) Metode, dengan melihat metode-metode yang berbeda dan yang digunakan. (2) Historian harus mempublikasikan horizon dan metodenya ke publik untuk dianalisa. (3) Pihak yang mencurigai (peer pressure) dapat meminimalkan horizon seorang historian. (4) Menyerahkan ide tersebut kepada ahli yang sangat bertentangan (unsympathetic experts). (5) Mempertimbangkan hal-hal relevan tentang fakta yang didukung bukti-bukti yang kuat dan telah disetujui banyak ahli. (6). Pendirian teguh terhadap bias adalah hal yang tidak dapat ditolerir. Dengan memikirkan keenam hal ini, maka horizon historian dapat diminimalkan. Tapi tentu saja tidak dapat dihilangkan. (3)
Craig sebagai editor dalam bukunya, memuat satu bab mengenai “Perjalanan dari Atheis ke Theis: Sebuah diskusi antara Anthony Flew dan Gary Habermas”. Dituliskan, dalam tahun-tahun terakhir sebelum perpindahan Horisonnya, Flew adalah seorang “the world’s most influential philosophical atheist”, Atheis yang paling berpengaruh dalam filsafat. Perpindahan Flew ini merupakan perpindahan Horison juga, ketika melihat fakta-fakta yang ada. Perpindahan Flew ini dikarenakan keberadaan Allah didukung oleh penemuan scientific beberapa tahun terakhir. Secara khusus argumentasi ”Intelligent Design” yaitu adanya Pencipta yang sangat cerdas. Hal ini didukung oleh Big-Bang Cosmology dan Fine-Tuning Arguments. Dalam tulisan itu juga dijelaskan mengenai perpindahan C.S. Lewis, dari seorang Atheis menjadi Theis dan kemudian berpindah lagi menjadi seorang Kristen. Perpindahan ini, menyatakan bahwa horizon seseorang itu dapat berubah, tidak selalu statis, namun dinamis. (4)
Sebagai kesimpulannya, horizon itu dapat diminimalkan, tetapi tidak dapat dihilangkan. Perpindahan horizon sangat dimungkinkan, seperti perjumpaan Thomas dengan Tuhan Yesus. Semuanya adalah anugerah Allah, bukan karena kemampuan manusia itu sendiri untuk berubah. Seperti yang Yesus nyatakan dalam Yohanes 4:66, “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.”
(*) Epistemologi adalah studi bagaimana pengetahuan manusia itu diperoleh, dasar-dasarnya, bentuk dan kriterianya. (5)
Referensi
(1) Mike Licona, The Resurrection of Jesus: A New Historiographical Approach (Downers Grove, Ill.: IVP Academic, ©2010), 49.
(2) N.T. Wright, The Resurrection of the Son of God: Christian Origins and the Question of God, vol.3 (North American ed. 4 vols. Minneapolis: Fortress Press, 1992-2013), 22.
(3) The Resurrection of Jesus, 50-60.
(4) William Lane Craig and Chad V. Meister, eds., God Is Great, God Is Good: Why Believing in God Is Reasonable and Responsible (Downers Grove, Ill.: IVP Books, ©2009), 228-246.
(5) Donald K. McKim, Westminster Dictionary of Theological Terms (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, ©1996), 91.
0 notes
Photo

Kaum intelektual selalu mengatakan bahwa Yesus tidaklah sungguh-sungguh ada dalam sejarah. Karena Yesus tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanNya. Mungkinkah Yesus hanya dongeng saja, ataukah pernah ada dalam sejarah? Bagaimana membuktikannya?
Roger E. Olson menuliskan revolusii ilmu pengetahuan, secara umum dimulai dari Galileo-Galilei (1564-1642) dan abad pencerahan dimulai dari Rene Descartes (1596-1650). Kedua gerakan ini menempatkan otoritas atas rasio dan mempertanyakan otoritas Gereja. Kesulitan menjawab masalah mukjizat mengakibatkan sebagian kaum theologian mengambil jalan pintas. Mereka meniadakan Yesus historis yang berhubungan dengan mukjizat itu sendiri. Termasuk mengenai kebangkitan Yesus. Bahkan David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa mukjizat bertentangan dan merupakan kekerasan (violence) terhadap hukum alam (1).
Dari tulisan Olson, dapat dimengerti bahwa Yesus yang historis mulai dipertanyakan dikarenakan ketidakpercayaan akan mukjizat itu sendiri. Pada dasarnya, bukti-bukti historis Yesus, misalnya saja mengenai kebangkitan demikian banyak. Sesungguhnya para pemikir skeptik tidak percaya akan mukjizat itu sendiri.
Norman L. Geisler dan Frank Turek menuliskan cuplikan perdebatan antara William Lane Craig (Kristen) dan John Dominic Crossan (Skeptik, salah satu pendiri Jesus Seminar). Crossan menolak mempercayai kebangkitan Yesus karena memiliki prasangka filosofis yang menolak mukjizat walaupun kebangkitan Yesus memiliki demikian banyak bukti historis yang kuat (2).
Lebih lanjut, Geiler dan Turek menuliskan sepuluh alasan utama bahwa para penulis PB menceritakan kebanaran. Pertama, para penulis PB memasukkan rincian yang memalukan mengenai diri mereka sendiri. Kedua, mereka memasukkan rincian yang memalukan dan perkataan Yesus yang sulit. Ketiga, mereka membiarkan perkataan Yesus yang penuh tuntutan. Keempat, mereka dengan teliti membedakan perkataan Yesus dari perkataan mereka sendiri. Kelima, mereka juga menyinggung peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kebangkitan yang tidak mungkin mereka rekayasa. Keenam, mereka memasukkan lebih dari tiga puluh tokoh yang diakui secara historis di dalam tulisan mereka. Ketujuh, mereka memasukkan rincian yang berbeda. Kedelapan, mereka menantang pembaca mereka untuk memeriksa fakta-fakta yang sudah diakui, bahkan data mengenai mukjizat-mukjizat. Kesembilan, mereka menjelaskan mukjizat seperti peristiwa historis lainnya: dengan catatan sederhana dan tidak dibumbu-bumbui. Terakhir yang kesepuluh, mereka membuang begitu saja kepercayaan dan gaya hidup suci yang selama ini mereka yakini, memungut kepercayaan baru, dan tidak menyangkal kesaksian mereka meskipun terancam oleh penganiayaan dan kematian (3).
Josh McDowell menuliskan berbagai rujukan (bukti) mengenai Yesus yang ditulis oleh para penulis sekuler (bukan Kristen) dari zaman bapa gereja awal. Termasuk didalamnya Thallus dan Phlegon, Yosefus, Plinius Muda, Cornelius Tacitus, Suetonius, Lucianus dari Samosata, Mara Bar-Serapion. Tokoh-tokoh diluar Kristen ini memberikan bukti yang melimpah mengenai Yesus historis itu sendiri. Tentu saja ini belum termasuk rujukan dari para rabi, para martir, pengakuan iman, para pemimpin Gereja mula-mula, kitab perjanjian baru, agrafa, apokrifa, pseudepigrafa dan lainnya (4).
Michael R. Licona menuliskan topik kebangkitan Yesus dari sudut pandang historian (ahli yang mempelajari sejarah). Pada bab pertamanya yang hampir mencapai 100 halaman itu menuliskan bahwa historian kadangkala kehilangan horizon (cara pandang yang menyeluruh) mengenai kebangkitan Yesus dan mengabaikan pendekatan historis yang benar (5).
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Yesus adalah benar-benar historis artinya Yesus sungguh-sungguh ada dalam sejarah. Bukti-bukti yang demikian banyak menyatakan bahwa mukjizat Yesus sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah. Penolakan pada ahli bukan dikarenakan bukti itu tidak cukup kuat, melainkan karena mereka tidak percaya akan mukjizat itu sendiri sehingga mengabaikan bukti-bukti yang demikian kuat. Bukti-bukti ini akan dibahas satu-persatu dalam website ini kemudian.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan: Apakah memang benar bukti-bukti Yesus historis itu demikian banyak? Apakah memang bukti-bukti itu bisa diterima oleh banyak orang? Kalau memang ada, coba berikan bukti-bukti historis mengenai Mukjizat kebangkitan Yesus yang dipercayai oleh hampir seluruh ahli, baik itu yang Kristen maupun non Kristen, termasuk kaum skeptik dan atheis. Apakah ada?
Referensi
(1) Roger E. Olson, The Journey of Modern Theology: From Reconstruction to Deconstruction (Downers Grove, Illinois: IVP Academic, 2013), 17-9; 80.
(2) Norman L. Geisler and Frank Turek, I Don't Have Enough Faith to Be an Atheist (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2004), 353-4. (edisi bahasa Indonesia).
(3) ibid., 307-34.
(4) Josh McDowell and Bill Wilson, He Walked Among Us (San Bernardino, CA: Here, ©1988), 43-152. (volume 3, edisi bahasa Indonesia).
(5) Mike Licona, The Resurrection of Jesus: A New Historiographical Approach (Downers Grove, Ill.: IVP Academic, ©2010), 129-30.
0 notes
Photo

Apakah Iman bertentangan dengan Apologetika? Karena Apologetika itu sendiri berkaitan dengan memberikan pembelaan berdasarkan bukti-bukti. Sedangkan Iman itu sendiri seakan-akan berdiri sendiri dan tidak memerlukan bukti, karena iman adalah bukti itu sendiri. Ibrani 11:1 jelas menyatakan hal itu: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Norman L. Geisler menuliskan pada pada bab 16 mengenai “The Historical Relibility of the New Testament” bahwa dokumen Perjanjian Baru (PB) adalah asli. Ada tiga alasannya. Pertama, dokumen PB adalah historis. Kedua, secara akurat Kristus mengklaim dirinya Allah yang berinkarnasi dan hidup suci serta menubuatkan kematianNya dan menggenapi apa yang dinubuatkanNya. Ketiga, karena itulah Kristus dan mujizatNya terbukti ada dalam sejarah. (1)
H. Wayne House dalam makalahnya yang berjudul “A Biblical Argument for Balanced Apologetics: How the Apostle Paul Practiced Apologetics in the Acts” menuliskan argumentasi yang sama dengan Habermas dan Licona diatas. Hpose menguraikan cari berapologetika baik itu secara klasik, melalui bukti-bukti (evidential) maupun hanya berdasarkan Alkitab yaitu bahwa Allah ada (presuppositional) bahwa semuanya adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus. Dalam arti Roh Kudus bisa bekerja melalui berbagai macam cara dan hanya Roh Kuduslah yang mampu merubah hati manusia. (2)
Habermas dan Licona menjelaskan apologetika tidak bertentangan dengan iman itu sendiri. Mereka mendasarkan pada Kisah Para Rasul 17:2 dimana Paulus berada di bait suci. Pada pasal yang sama ayat 16 sampai dengan 31 mengkisahkan Paulus berhadapan dengan intelektual Athena. (3)
Saya akan mejelaskan maksud dari Habermas dan Licona tersebut. Kis.17:2 (Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci.) menjelaskan bahwa Paulus berbincang-bincang dengan mereka, orang-orang Yahudi disana dan membungkam mereka dan menunjukkan bahwa Mesaia harus mati dan bangkit (ayat 3: “Ia menerangkannya kepada mereka dan menunjukkan, bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati, lalu ia berkata: "Inilah Mesias, yaitu Yesus, yang kuberitakan kepadamu."). Tentu saja dalam diskusi itu, Paulus mempergunakan kitab suci.
Setelah dari Thesalonika, Paulus berangkat ke Berea dan kemudian ke Athena untuk menunggu Silas dan Timotius. Di Athena Paulus berdiskusi dan berapologetika di Aeropagus. Paulus mempergunakan tulisan dari pujangga-pujangga Yunani untuk menyatakan iman Kristennya. (4)
Karena itulah Paulus menuliskan dalam I Korintus 9:21, “Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.”
Gerald Lewis Bray menuliskan bahwa orang Kristen tidak dapat memaksa orang lain percaya Kristus, tapi setiap orang dapat bersaksi apa yang Allah telah lakukan dalam hidupnya. Orang Kristen harus dapat menuturkan bagaimana mereka memahami dunia ini, seperti apa posisi mereka didunia ini dan tujuan keberadaan mereka Orang Kristen yang kabur mengenai hal ini tidak akan pernah mengkomunikasikan iman mereka kepada orang lain. (5)
Dari Prinsip Bray dapat kita simpulkan bahwa iman mengenai injil harus disampaikan bersamaan dengan kesaksian hidup itu sendiri. Kalau demikian, apa bedanya menyampaikan injil dengan bahan bukti dengan menyampaikan injil dengan kesaksian? Keduanya adalah hal yang merupakan tambahan yang memperkuat apologetika Injil itu sendiri.
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Roh Kudus bisa memakai berbagai macam cara untuk bersaksi kedalam hati manusia. Melaui Alkitab yang kita pelajari, Roh Kudus bersaksi, dan melalui bukti-bukti Roh Kudus juga memakai hal itu sehingga manusia bisa mengerti apa yang dipercayainya dan roh manusia bisa ikut bersaksi. Tepat seperti yang tertulis dalam Roma 8:16, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.”
Pemikiran lanjutan: kaum intelektual selalu mengatakan bahwa Yesus tidaklah sungguh-sungguh ada dalam sejarah. Karena Yesus tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanNya. Siapakah yang pernah hidup dan menyaksikan semua itu terjadi? Bukankah semuanya bersifat dongeng seperti kisah Cinderella ataupun Putri Salju yang sulit dibuktikan kebenarannya namun disukai banyak orang? Bagaimanakah Apologetika menjawab tantangan ini?
Referensi:
(1) Norman L. Geisler, Christian Apologetics, pbk. ed. (Grand Rapids, Mich.: Baker Book House, 1988, ©1976), 305.
(2) Norman L. Geisler and Chad V. Meister, Reasons for Faith: Making a Case for the Christian Faith (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2007), 53-75.
(3) Gary R. Habermas and Mike Licona, The Case for the Resurrection of Jesus (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, ©2004), 25. (edisi bahasa Indonesia)
(4) Ibid., 26. Habermas dan Licona menuliskan mengenai tulisan pujangga-pujangga tersebut. I Korintus 15:33 Paulus mengutip syair pujangga Yunani, Menander (kr 342-291 sed.M), “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik”. Kis.17:28 mengutip syair Epemenides, pujangga Kreta (kr 600 seb.M), “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,” disambung dengan syair Arastus, pujangga Kilikia (kr 314-240 seb.M), “Sebab kita ini dari keturunan-Nya juga.” Titus 1:12 Paulus mengutip syair Epimenides, “Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.”
(5) Gerald Lewis Bray, God Is Love: A Biblical and Systematic Theology (Wheaton, Ill.: Crossway, ©2012), 22-3.
0 notes
Photo

Mengapa orang Kristen perlu berapologetika? Apakah kesulitan bagi saya sebagai orang Kristen untuk berapologetika, bukankah keristenan itu mudah dipahami? Apakah artinya apologetika Kristen?
Menurut kutipan John M. Frame, dituliskan bahwa kata apologetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “apologia” yang berarti pembelaan. Maksudnya adalah seseorang memberikan penjelasan tentang apa yang dipercayainya kepada orang yang meminta penjelasan kepadanya. Apologia berarti pembelaan yang diberikan (1).
Kata Kristen sendiri berarti “pengikut Kristus”. Ini berarti apologetika Kristen adalah pengikut Kristus yang memberikan pembelaan iman Kristen kepada mereka yang memintanya, yaitu orang yang belum percaya.
Norman L. Geisler sendiri pada pendahuluan bukunya menuliskan jantung (pusat) dari pendekatan apologetika Kristen adalah pengakuan bahwa Kristus adalah anak Allah dan Alkitab adalah Firman Allah (2).
Adapun Gary R. Habermas dan Michael R. Licona mengatakan bahwa melalui amanat agung dalam Matius 28:18-20 (Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."), setiap orang percaya wajib menginjili dalam arti berapologetika Injil kepada orang lain mengenai apa yang dia percayai. Lebih lanjut Habermas dan Licona mengatakan bahwa injil itu sendiri berpusat pada 3 hal, yaitu pengakuan tentang keilahian Kristus, kematian Yesus bagi orang berdosa dan kebangkitan Yesus (3).
Sedangkan Doug Powell melihat Apologetika seperti sebuah “supermarket rohani” yang menawarkan “agama atau kepercayaan” sehingga yang membeli harus diyakinkan oleh penjualnya, sehingga penjualpun harus yakin dengan barang jualannya. Karena itu, apologetika bukan saja bermanfaat bagi “orang lain” namun juga bagi diri sendiri. Powell sendiri melihat beberapa isu yang harus diperhatikan oleh orang Kristen, yaitu: Yesus tidak pernah hidup, kamu tidak pernah bisa membuktikan bahwa Allah itu ada, tidak ada sesungguhnya mujizat itu, Yesus tidak pernah bangkit, Alkitab ditulis setelah beberapa ratus tahun setelah kehidupan Yesus, Alkitab adalah buku kuno yang sudah ketinggalan zaman, semua agama pada dasarnya mengajarkan hal yang sama, kalau Allah ada mengapa ada kejahatan, apa yang benar bagimu adalah untukmu demikian juga sebaliknya, dan Kekristenan itu tidak masuk akal (4).
Dari penjelasan singkat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa apologetika Kristen adalah setiap orang Kristen mempertanggung jawabkan imannya kepada orang-orang yang meminta pertanggungan jawab mengenai pengharapan yang ada pada orang Kristen tersebut. Tepat seperti yang tertulis dalam 1 Petrus 3:15, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”
Berapologetika bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa dipelajari dengan sungguh-sungguh. Pertanyaan-pertanyaan mengenai iman Kristen diatas tidak mudah untuk dijawab namun juga bukan berarti tidak bisa dijawab. Karena Alkitab adalah firman Allah yang hidup, kekal dan tidak terbatas. Pikiran manusia yang dicipta, berdosa dan terbataslah yang mengakibatkan manusia tidak mungkin mengenal Allah dengan benar. Dan Kristus datang untuk menyelesaikan masalah ini.
Perenungan: Berapologetika berarti memberikan bukti-bukti, kalau demikian apa gunanya iman orang kristen? Bukankah iman itu bertentangan dengan apologetika? Bukankah iman tidak memerlukan bukti? Karena iman adalah bukti itu sendiri. (Ibrani 11:1, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat"). Bagaimana mengaasi hal ini?
-------------------------------
Referensi:
(1) John M. Frame, Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phillipsburg, N.J.: P & R Pub., 1994), v. (edisi bahasa Indonesia).
(2) Norman L. Geisler, Christian Apologetics, pbk. ed. (Grand Rapids, Mich.: Baker Book House, 1988, ©1976), 7.
(3) Gary R. Habermas and Mike Licona, The Case for the Resurrection of Jesus (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, ©2004), 15. (edisi bahasa Indonesia)
(4) Doug Powell, Holman Quicksource Guide to Christian Apologetics, Holman Reference (Nashville, Tenn.: Holman Reference, ©2006), 1-9.
0 notes