Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
BAGIAN 1: REGA ALKATIRI
Orang bilang masa sekolah adalah masa paling membahagiakan bagi semua orang, dan sepertinya hal itu juga berlaku bagiku. Tapi sepertinya bahagia itu tidak sejalan dengan Pak Sapto yang hampir setiap hari ku kunjungi di ruangan bimbingan konseling.
"Rega... Rega saya itu pusing mikirin kamu"
Sebuah cengiran kulemparkan untuk menutupi rasa bersalah ku saat ini. Beberapa menit yang lalu aku baru saja membuat maha karya yang mungkin tidak terlalu disenangi para guru. Lagi pula sekolah ini aneh juga, membatasi murid untuk berkarya.
"Bapak dengar pembelaan saya yah, sekolah itu kan tempat belajar dan mengembangkan bakat. Makanya saya ini tuh lagi mengasah bakat menggambar saya, memangnya salah pak?". Helaan nafas berat dari pria paruh baya di depan ku sudah cukup menjadi jawaban, sepertinya aku salah bicara.
"Mengasah bakat memang perlu tapi nggak di tembok sekolah juga Rega, pokoknya bapak nggak mau dengar pembelaan kamu yah. Pulang sekolah kamu harus cat dinding belakang sampai sama seperti semula".
"Ya sudah pak saya janji nggak akan melukis di dinding lagi". Aku berdiri dari kursi sambil menatap wajah pak Sapto yang terlihat tidak percaya dengan ucapanku. Aku menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan ucapanku.
"Besok-besok saya ngelukisnya di lapangan sekolah" Sebelum spidol melayang aku langsung lari meninggalkan ruang konseling.
Hari itu aku kira akan menjadi salah satu kenangan masa sekolah yang paling berkesan, tapi ternyata tidak. Tepat sebelum aku menginjakkan kaki di halaman belakang sekolah tiba-tiba ada keributan. Disana di samping tembok yang baru saja tadi pagi kulukis, seorang perempuan di kelilingi tiga orang duduk bersandar dengan keadaan mengenaskan.
Dia di bully.
Entah inisiatif dari mana aku menendang tong besi di samping ruang laboratorium hingga menimbulkan suara keras. Orang yang ada disana kemudian terburu-buru menjauh meninggalkan satu orang yang masih bersandar pada dinding.
Satu langkah...
Dua langkah...
Bahkan sampai aku berdiri dihadapannya dia tidak bergeming sedikit pun.
"Kamu nggak papa kan?" Nggak ada sedikit pun pergerakan dari perempuan didepanku. Hanya suara nafas yang makin lama kian berat sampai akhirnya pundaknya bergetar hebat.
Entah untuk keberapa kalinya hari ini aku menghela nafas sebelum kemudian ikut bersandar di samping perempuan yang kini menangis dengan wajah disembunyikan pada lututnya. Tidak ada yang berbicara, aku dan perempuan disamping ku sama-sama sibuk dengan apa yang ada dipikiran kami.
Sepertinya masa sekolah yang bahagia tidak berlaku untuk semua orang...
1 note
·
View note