Tumgik
arhymesirony-blog1 · 7 years
Text
Dinding penghalang
Di kantor baru ini ada hal yang membuat gw tidak nyaman, selain gaji yang lebih kecil dari Kandang Naga dan ketidakadaan jenjang karier yang jelas, yakni tidak adanya hubungan interpersonal yang erat dengan kolega, seperti layaknya hubungan gw dengan Ko Hendri, Melita, Vera, dan Theo. Malah sosok mentor di kantor ini adalah orang yang paling menjaga jarak dan acuh dengan gw.
Selain dirinya, ada seorang lagi yang juga tampak antipati dengan gw, dan seorang kokoh manager yang beda jauh dengan Ko Hendri, baik dari kompetensinya dan perlakuannya ke gw. Mari membahas tiga orang ini satu per satu.
1. Carisa
Setelah Lia, temen seangkatan gw yang mengenalkan kantor baru gw ke kehidupan gw, Carisa adalah kolega kedua yang gw kenal di Meverik. Pertemuan kami sebenarnya berjalan baik-baik saja. Ia yang menjadi mentor gw di hari pertama bekerja, karena gw akan menggantikannya selama ia cuti seminggu.
Ia terlihat sebagai cewe yang tak terlalu banyak bicara, namun masih mau diajak ngomong di luar pekerjaan. Seminggu di kantor, tampak tak ada yang mengganjal dalam interaksi kami. Semua berjalan normal dan berjalan semestinya.
Namun perlahan gw menyadari sikap dinginnya terhadap gw. Usaha gw untuk mengajak bercanda tampak tak digubris. Masih untung ia masih mau menjawab jika gw ajak bicara, walau nada bicara dan ekspresinya terlihat bahwa ia tidak tertarik dengan gw. Ia juga tidak pernah membuka pembicaraan, kecuali untuk urusan pekerjaan.
Hal ini berlangsung hingga saat ini. Terhitung sudah lebih dari tiga bulan. Rasanya tidak tahan juga diembargo dengan teman yang duduk di sebelah kita. Nasib baik, Eris, rekan yang duduk berhadapan dengan gw adalah rekan kerja yang asik untuk diajak berbincang dan terbuka kepada gw.
Carisa tampak seperti orang yang berbeda jika melihat betapa lepas tawanya saat ia bercanda dengan rekan lain. Di hadapan publik pun ia bisa dibilang sosok yang cukup populer dengan keunikannya. Dari observasi gw, sepertinya personal brand Carisa adalah anak yang introvert tapi quirky dan sedikit nyentrik. Ia tak sungkan untuk melempar jokes dan segenap warga Meverik pun menyukai penampilan dan kepribadiannya yang seperti ini. Lantas apa yang membuat gw hanya sebatas orang asing yang menumpang duduk di sebelahnya setiap hari? Apa yang membuat saraf ekspresi wajahnya mati saat membuka mulut ke gw? 
Gw mencoba mengingat kejadian apa yang membuatnya tidak bisa sehangat sikapnya ke Lia, atau rekan sedepartemen lainnya. Atau mungkin ada gerak-gerik atau tingkah laku gw yang membuatnya ilfil terhadap gw? Atau jangan-jangan ada semacam rasa iri dan kecemburuan? Tapi masa Carisa yang berpotensi menapaki “jenjang karier” jejadian seperti Lia bisa merasa terancam dengan kehadiran gw? Atau mungkinkah ia iri dengan hal lain?
Gw pernah curhat tentang hubungan gw yang dingin nan canggung dengan beberapa rekan seperti Zefa, Eris, dan Vania. Mereka mengaku tidak aneh dengan sikap Carisa yang seperti itu. Zefa bercerita ketika ia juga diacuhnya selama outing kantor padahal mereka satu tim. Butuh enam bulan hingga Carisa dapat mengajak Zefa bergurau.
Eris juga berkata bahwa Carisa memang orang yang tidak bisa cepat akrab dengan orang baru. Ia perlu waktu lama untuk merasa nyaman dengan orang lain. Namun seiring dengan lepasnya tawa dan ekspresi Carisa saat ia berinteraksi dengan Vania, gw jadi meragukan bahwa waktu adalah alasan utama adanya dinding es di antara kita berdua. Vania dan Rifki dapat bersenda gurau dengannya dalam waktu tiga bulan mereka bekerja di Meverik. Lalu di mana letak kesalahan gw? Apa yang harus gw perbuat untuk melelehkan dinding es tersebut? Apakah kami harus terus begini sampai salah satu dari kami menjadi alumni Meverik?
2. Sonia
Sonia tergabung dalam geng Charlie’s Angels yang setiap hari selalu keluar makan siang bersama Charlie, satu-satunya kokoh dengan jabatan manager yang akan dibahas di poin berikutnya. Karena gw jarang keluar makan dengan mereka, dan letak tempat duduk kami berjauhan pula, hubungan gw dengan geng ini juga tidak akrab. Mungkin hanya Jess, nubi yang baru lima bulan bekerja di Meverik, yang cukup membuka diri dengan gw. Dua anggota lainnya, Tasia dan Asra, lebih suka berbincang dengan sesama anggota geng atau Charlie saat berjalan menuju ke tempat makan siang.
Diantara keempat anggota geng, rasanya hanya Sonia yang tak pernah mengajak gw berbincang saat kami makan bersama. Tampaknya ia juga menyimpan rasa tidak suka dengan gw, dilihat dari caranya berbicaradengan gw yang cenderung ketus dan menggunakan rangkaian kata yang di telinga gw kurang enak didengar. Saat bercerita pun, Ia juga selalu tidak menggubris gw dan tidak menatap mata gw, seolah-olah gw hanya orang asing yang kebetulan numpang duduk di meja geng Meverik. 
Gw berusaha menjadikan momen Ramadan sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri dengan gerombolan ini. Setiap harinya gw ikut makan siang bersama mereka, mencoba membuat mereka nyaman dan terbiasa dengan kehadiran gw di perbincangan mereka. Bahkan gw pernah membawakan bacang non-halal sebagai makanan “silahturahmi” kepada geng Charlie’s Angels yang kebetulan mayoritas diperbolehkan untuk mengonsumsi babi. Tentu saja gw mendapat ucapan terima kasih dari mereka, namun hal ini tidak serta merta menghangatkan hubungan gw dengan mereka. Setelah bulan puasa berlalu, tidak ada yang berubah dari keintiman hubungan kami. 
Seperti halnya dengan Carisa, gw juga mencoba menganalisa mengapa ada semacam “kecanggungan” antara gw dan geng Charlie’s Angels, dan yang terutama munculnya pretensi antipati dari diri Sonia? Apakah mereka mencium usaha gw untuk “masuk” dalam lingkaran pertemanan mereka, dan mereka tidak senang dengan itu?  Atau lagi-lagi, ada  tindak-tanduk gw atau komentar gw yang membuat gw kurang disukai?
Gw tetap keluar makan siang satu kali dalam seminggu, lebih tepatnya keluar makan siang dengan rombongan ini, yang tidak pernah sekalipun makan siang di kantor. Namun saat harus bersama mereka, gw berharap setidaknya ada satu non-Charlie’s Angels yang ikut serta, sehingga gw punya teman untuk ngobrol bareng saat makan. Karena seperti yang sudah gw utarakan, geng ini tidak menganggap gw sebagai partner berbincang yang asyik. 
3. Charlie
Ia adalah satu-satunya sosok kokoh di Meverik, meski bukan satu-satunya pria berdarah Naga. Dalam kesehariannya, ia tampak akrab dengan semua orang. Ia tampak tak canggung bergaul, bercanda, dan makan bareng setiap hari dengan kolega yang umurnya jauh dibawahnya. Charlie juga sekaligus menjadi satu-satunya pegawai level senior yang mau mingling dengan bocah-bocah Meverik.
Pertama bertemu dengannya ia tampak baik dan ramah. Ia menjabat tangan gw dengan cukup erat saat dikenalkan. Rasanya gw tidak pernah dijabat sebegitu eratnya. Apakah ia senang bertambah satu lagi populasi orang mata sipit di departemennya? Atau jika gw boleh ge-er, ia memandang gw sebagai cewe prospektif untuk digebet, mengingat populasi cewe Naga yang terbilang sedikit?
Dugaan gw sempat menguat ketika ia sempat menanyakan agama gw di hari pertama kami makan siang bersama. Apakah ia ingin memastikan kecocokan kami secara latar belakang? Inginnya sih gw menjawab jujur bahwa gw bukan seseorang yang agamais, namun karena takutnya Charlie adalah tipe pemuda gereja yang kurang toleran dengan orang non-religius, gw terpaksa menjawab dengan agama yang tertera di KTP. Lalu menambahkan bahwa biasanya gw menjawab “yang depannya K itu loh” untuk menangkis pertanyaan kepo khas orang Indonesia ini.
Gw akui di kantor gw yang proporsi gendernya kurang seimbang, Charlie cukup stand-out, dari segi fisik dan intelektualitas. Ia sama sekali tidak jelek untuk seseorang yang dua tahun lagi akan berkepala empat. Dengan sosoknya yang tinggi, berdada bidang, berperut rata, bisep agak kekar,  serta wajah yang terlihat seperti lima tahun lebih muda, rasanya sah jika Charlie dinobatkan sebagai pria paling rupawan di kantor.
Bisa jadi ia cukup menyadari hal ini, meski itu tidak membuat dirinya menjadi self-conscious narcist. Kelebihan pada segi fisik, ditambah kepribadian dan kepintarannya, membuat dirinya cukup populer baik di lantai 2 maupun lantai 3 tempat gw bekerja. Selain ahli dalam hal analisa survei, ia juga sangat berpengalaman di bidang teknologi jaringan, dilihat dari rekam jejak kariernya di suatu website. Hebatnya lagi, ia juga editor yang cakap dengan tingkat Bahasa Inggris yang cukup tinggi. Kok gw malah jadi fangirling ya? Tapi memang banyak hal yang bisa dikagumi dari Charlie. 
Mengapa gw merasakan ada kecanggungan dengan Charlie? Bermula dari usaha gw untuk bergabung dengan geng bidadarinya pada bulan puasa kemarin. Sempat ada beberapa momen dimana sepertinya ia enggan untuk duduk di samping atau berhadapan dengan gw dengan pindah tempat ke posisi lain. Gw yang sejujurnya agak senang bisa duduk berdekatan dengannya, cukup tertegun melihat ekspresi canggung yang terlihat ditutupi ketika ia berganti tempat duduk. 
Sepertinya Charlie pun sempat merasakan kecanggungan ketika ia sempat duduk di tempat Carisa selama sejam. Ketika itu, gw hanya menunjukkan gambar website Telkomsel dihack, sebagai stimulan pembicaraan kecil dan selorohan. Charlie memang merespon, namun tidak seheboh tawanya dengan Tasia, Carisa, atau Lia. Tidak dingin, namun tidak cukup hangat. 
Ada beberapa momen canggung di kantor yang gw sudah lupa, namun menegaskan bahwa kecanggungan itu nyata adanya. Yang gw masih ingat salah satunya adalah dinginnya Charlie ketika ia menghampiri gw untuk menjelaskan bahwa berita tentang tutupnya sevel karena larangan alkohol harus dimasukkan ke laporan. Charlie mungkin tak ambil pusing dengan kecanggungan ini, lagipula gw bukan teman akrabnya di kantor. Gw hanyalah seorang kru tambahan di lantai 3 yang bisa pergi sewaktu-waktu tanpa meninggalkan perubahan berarti bagi dirinya. Untuk urusan pekerjaan, gw cukup jarang berurusan dengannya. 
Momen canggung terbaru yang gw rasakan saat kelas yoga kemarin.  Saat gw bercerita tentang teman kos gw yang menjadi incaran foot worshipper, gw sempat menghindari menatapnya, karena rasa canggung yang tiba-tiba menyeruak. Sepertinya ia juga menyadari hal tersebut, lalu keluar sejenak untuk mengambil minuman. Tak hanya itu, ia juga tidak merespon saat gw menawarkan puding mangga, persis seperti respon Carisa. Untung Mba Dini yang bawel ikut menawarkan dapat mencegah keadaan menjadi semakin canggung. Ia dan Carisa lalu pulang berdua begitu saja, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengapa mereka enggan menyantap pudding gw. Ditolak dengan alasan tidak suka atau alergi susu atau kenyang masih lebih baik daripada dicueki begitu saja.
Sama seperti tersangka nomor satu dan dua, gw juga mencoba menganalisa apa penyebab kecanggungan antara kami berdua. Sepertinya alasannya mirip dengan kecanggungan gw dengan geng makan siangnya, gw tampak terlalu berusaha untuk bisa lebih akrab dengannya. Selain itu, kecanggungan datang dari gw sendiri. Apakah mungkin kecanggunan ini disebabkan oleh kekecewaan gw karena tidak bisa dekat dengannya? Bisa jadi namun untuk memiliki hubungan yang dekat dengannya mungkin gw harus bekerja minimal dua tahun seperti Tasia dan Carisa. Tasia adalah rekan yang paling akrabnya, sementara gw melihat Carisa rajin berchat ria dengan Charlie, meski dalam kehidupan nyata hubungan mereka tidak seheboh hubungan Charlie dengan Tasia. 
Seiring berjalannya waktu apakah gw bisa memperbaiki hubungan dengan tiga orang diatas, meski sejujurnya hubungan kami tak pernah rusak? Bagaimana caranya gw bisa lebih diterima, tanpa harus terlihat memaksakan diri? Apakah nantinya gw akan bisa dekat dengan rekan kerja seperti halnya gw dengan Vera, Theo, Melita, dan Ko Hendri, meski gw tahu bahwa kedekatan dengan rekan kerja adalah sebuah doorprize yang belum tentu dapat dinikmati semua orang?
0 notes
arhymesirony-blog1 · 7 years
Text
The Inner Thoughts
I used to have a tumblr with the same name, but after a long period of inactivity because I could not remember the password (and the registered email’s password since the email belongs to my brother), the tumblr just disappeared. I was disappointed of course, because I could no longer revisit some old posts which include retelling of dreams, wild imaginations, and honest heart-to-heart writings. And too bad all the posts have gone into the ocean of tumblr’s private archive since I could not even find cache from the old tumblr. I should thank tumblr for becoming an outlet to release the inner thoughts and desperation trapped inside my mind.
Then I decided to write a new blog on wordpress. But still, I miss the feeling of having a secret tumblr, where I can freely type any problems or doubts or any negative feelings. Although it may not solve problems, writing is said to be therapeutic and I indeed feel a relief after finishing a post.
That’s the welcome message of this revived tumblr. I will close the wordpress blog and move all the posts to this tumblr. And, the most importantly I should write about a new concern regarding a cold and awkward relationship with some colleagues at my new office. I should end the almost one month procrastination to write about that.
0 notes