Photo

"Nih, makan es krim dulu keburu cair," katamu sambil menyodorkan sebungkus es krim coklat dingin yang sudah dibuka bungkusnya. "Kamu tidak bisa menolak. Pertama karena bungkusnya sudah dibuka. Kedua karena ini es krim coklat. Ketiga karena kamu butuh makan es krim," katamu sedikit memaksa lalu duduk menungguku menghabiskan es krim coklat yang diberikan. Tidak ada pembicaraan. Masing-masing hanya duduk menikmati es krim coklat. "Ehmm..." kataku. "Kalau tidak mau cerita sekarang, nanti saja kalau kamu sudah mau cerita. Habiskan saja es krimmu itu," katanya. Tidak ada pembicaraan lagi, hanya menghabiskan es krim saja. Selang satu dua hari kemudian kamu tahu cerita apa yang terjadi. ===== Pernah satu waktu tanpa bertanya "Mau dibawain ga?" atau "Perlu dibantuin?" dengan sigap kamu langsung mengambil dua kantong plastik besar dan berat yang kubawa lalu menukar kantong plastik bawaanmu yang lebih kecil dan lebih ringan untuk kubawa. Lalu kamu berjalan begitu saja. Tanpa banyak basa-basi. ===== Satu waktu tiba-tiba kamu bertanya, "Mau makan mie goreng atau mie rebus? Mau beli nasi goreng nih." saat aku sedang berkutat serius di pekerjaan di depan laptop, tersadar waktunya makan malam. Berapa lama kemudian terhidang seporsi mie goreng plus beberapa snack dan es krim, pengisi perut yang sedari siang tidak terisi. ===== Lagi-lagi saat sudah seharian di depan laptop berkutat dengan pekerjaan, kamu datang dengan sekantong penuh dengan snack hadir di depan mata lengkap dengan es krim coklat kesukaan. "Buruan dimakan itu es krimnya. Nanti keburu cair," katanu. Sejenak merefresh diri sambil makan es krim. Jadilah hari itu lanjut begadang sampai larut malam tanpa takut lapar karena sudah tersedia makanan pengisi perut, sudah senang lagi walaupun hanya dengan makan es krim. ===== Sangat penting memahami bahasa cinta orang-orang terdekat kita. Termasuk memahami bahasa cinta diri sendiri. Memahami bagaimana orang lain memperlakukan kita sebagai wujud bahasa cintanya dan bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain agar kita merasa dicintai. Jangan sampai saling merasa diabaikan hanya karena ketidakpahaman perbedaan bahasa cinta sebagai wujud perhatiannya. =====
0 notes
Photo

"Nih, makan es krim dulu keburu cair," katamu sambil menyodorkan sebungkus es krim coklat dingin yang sudah dibuka bungkusnya. "Kamu tidak bisa menolak. Pertama karena bungkusnya sudah dibuka. Kedua karena ini es krim coklat. Ketiga karena kamu butuh makan es krim," katamu sedikit memaksa lalu duduk menungguku menghabiskan es krim coklat yang diberikan. Tidak ada pembicaraan. Masing-masing hanya duduk menikmati es krim coklat. "Ehmm..." kataku. "Kalau tidak mau cerita sekarang, nanti saja kalau kamu sudah mau cerita. Habiskan saja es krimmu itu," katanya. Tidak ada pembicaraan lagi, hanya menghabiskan es krim saja. Selang satu dua hari kemudian kamu tahu cerita apa yang terjadi. ===== Pernah satu waktu tanpa bertanya "Mau dibawain ga?" atau "Perlu dibantuin?" dengan sigap kamu langsung mengambil dua kantong plastik besar dan berat yang kubawa lalu menukar kantong plastik bawaanmu yang lebih kecil dan lebih ringan untuk kubawa. Lalu kamu berjalan begitu saja. Tanpa banyak basa-basi. ===== Satu waktu tiba-tiba kamu bertanya, "Mau makan mie goreng atau mie rebus? Mau beli nasi goreng nih." saat aku sedang berkutat serius di pekerjaan di depan laptop, tersadar waktunya makan malam. Berapa lama kemudian terhidang seporsi mie goreng plus beberapa snack dan es krim, pengisi perut yang sedari siang tidak terisi. ===== Lagi-lagi saat sudah seharian di depan laptop berkutat dengan pekerjaan, kamu datang dengan sekantong penuh dengan snack hadir di depan mata lengkap dengan es krim coklat kesukaan. "Buruan dimakan itu es krimnya. Nanti keburu cair," katanu. Sejenak merefresh diri sambil makan es krim. Jadilah hari itu lanjut begadang sampai larut malam tanpa takut lapar karena sudah tersedia makanan pengisi perut, sudah senang lagi walaupun hanya dengan makan es krim. ===== Sangat penting memahami bahasa cinta orang-orang terdekat kita. Termasuk memahami bahasa cinta diri sendiri. Memahami bagaimana orang lain memperlakukan kita sebagai wujud bahasa cintanya dan bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain agar kita merasa dicintai. Jangan sampai saling merasa diabaikan hanya karena ketidakpahaman perbedaan bahasa cinta sebagai wujud perhatiannya. =====
0 notes
Photo

"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." katamu memulai percakapan pagi itu. Lalu kamu terdiam, menghela napas panjang. Kamu sedari semalam mengurung diri di kamar, yang meskipun kita hanya berbicara melalui telepon genggam, dari suaramu aku tahu kamu sedang menangis dan itu terbukti dengan sembabnya matamu. Pagi itu kita bertemu di tempat biasa kita berlari pagi. "Itu peribahasa yang sangat menyedihkan. Ironis." lanjutmu kemudian menghela napas panjang lagi. . "Katanyaa.. tidak ada manusia yang sempurna. Tapii.. manusia banyak menuntut kesempurnaan ada di diri manusia lain. Mudah melihat dan mengingat kekurangan orang lain. Mudah menilai kesalahan orang lain yang sebenarnya itu hanya sedikit dibandingkan hasil bagus lainnya yang bahkan tanpa orang lain tahu bagaimana hasil itu diperjuangkannya dengan luar biasa." katamu sambil memainkan rumput-rumput lapangan. Matamu nanar. Pikiranmu sudah melayang jauh ke mana. . "Aku tahu kesalahan dan ketidaksempurnaan membuat diri kita semakin dewasa, semakin memperbaiki diri, semakin bijak, semakin menghargai impian dan perjuangan orang lain. Tapi rasanya sangat menyakitkan dan berat untuk diterima." lanjutmu. "Kamu pasti akan bilang dinikmati saja. Kita bisa melewatinya. Semoga berkah." katamu sambil tersenyum sinis. "Berbicara memang mudah, tapi praktiknya berat." katamu lagi sambil melempar batu kecil jauh ke arah jalan. . "Aku tidak akan berbicara apa-apa. Hanya menemanimu dan mengajakmu lari mengelilingi bundaran ini bersama sampai kamu kelelahan, sampai kamu menangis lagi sampai puas." kataku sambil memandangimu. Aku yakin kamu sadar situasi yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Kamu pernah berkata dan bertindak yang sama ketika aku berada di posisimu di satu waktu di masa lalu. Kamu hanya perlu menangis dan melepas semua beban. Katamu, dulu, pikiran kita akan kembali waras ketika hati dan pikiran sudah lepas seperti tanpa beban, sudah plong, sudah keluar dari mulutmu semua yang ingin diceritakan. Sekarang giliranmu melakukan yang dahulu kamu katakan padaku. . Berapa lama, kamu mengencangkan tali sepatu, beranjak, dan mengajakku berlari. Berlari sampai lelah benar-benar. Lalu kamu menangis sejadi-jadinya. (at Megamendung, Jawa Barat, Indonesia)
0 notes
Photo

Merasakan rasa . Karena kita manusia dan kita hidup dalam kehidupan nyata dengan segala dinamika, warna, dan rasa. Sejenak berhentilah berkata pada diri, "Semua baik-baik saja." "Aku kuat." "Jangan menangis. Tidak boleh menangis." "Seharusnya tidak boleh bersedih seperti ini. Masa hanya karena ini aku jadi sedih." . . Terkadang semua tidak baik-baik saja, kita tahu itu. Dan kita boleh menangis. Kita boleh bersedih. Kita boleh marah. Kita boleh kecewa. Kita boleh merasa lemah, merasa panik. Sama halnya kita boleh merasakan bahagia. Boleh merasakan rasanya dicintai dan mencintai. Boleh merasakan tertawa lepas. Boleh merasakan hasrat terhadap sesuatu yang kita inginkan. Boleh merasakan motivasi yang membuat kita bersemangat, merasakan rasa lepas seolah tanpa beban. . . Agar kita tahu bagaimana rasa lemah, rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, rasa menyesal yang sangat mendalam, rasa bersalah, selain rasa bahagia, rasa tertawa lepas, rasa dicintai dan mencintai, rasa bersemangat, rasa tersenyum dan mendapat senyuman sumringah dan rasa lain yang membuat hidup kita berbahagia. . . Agar kita tahu apa yang membuat kita bisa mendapatkan rasa yang tidak mengenakkan hati, bagaimana kita mengubahnya menjadi lebih baik atau bahkan menghapusnya, dan apa yang membuat kita mendapatkan rasa yang menyenangkan hati. Agar kita lebih bisa bersyukur dan bersabar atas segala ujian dan nikmat-Nya. . . Kita memerlukan rasa kebijaksanaan hati dan akal untuk menakar porsi rasa-rasa itu dalam hidup. Terhadap apa dan siapa kita merasa lemah. Kepada siapa kita menangis, mengadukan semua masalah. Kepada siapa kita menaruh harapan, meminta pertolongan, dan memohon kekuatan. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk memberikan rasa positif dalam hidup ini ketika kita mencicipi rasa negatif. . . Hanya rasakan dan nikmatilah rasa-rasa itu. Sejenak saja. Ya, sejenak saja jika kita merasakan rasa-rasa tidak enak. Hidup ini terus berjalan, kan? Masa kita mau terus-menerus menebar aura negatif? Bukankah hidup kita terlalu singkat dan sangat berharga. . . #senja #senjahujandanceritayangtelahusai
0 notes
Photo

Merasakan rasa . Karena kita manusia dan kita hidup dalam kehidupan nyata dengan segala dinamika, warna, dan rasa. Sejenak berhentilah berkata pada diri, "Semua baik-baik saja." "Aku kuat." "Jangan menangis. Tidak boleh menangis." "Seharusnya tidak boleh bersedih seperti ini. Masa hanya karena ini aku jadi sedih." . . Terkadang semua tidak baik-baik saja, kita tahu itu. Dan kita boleh menangis. Kita boleh bersedih. Kita boleh marah. Kita boleh kecewa. Kita boleh merasa lemah, merasa panik. Sama halnya kita boleh merasakan bahagia. Boleh merasakan rasanya dicintai dan mencintai. Boleh merasakan tertawa lepas. Boleh merasakan hasrat terhadap sesuatu yang kita inginkan. Boleh merasakan motivasi yang membuat kita bersemangat, merasakan rasa lepas seolah tanpa beban. . . Agar kita tahu bagaimana rasa lemah, rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, rasa menyesal yang sangat mendalam, rasa bersalah, selain rasa bahagia, rasa tertawa lepas, rasa dicintai dan mencintai, rasa bersemangat, rasa tersenyum dan mendapat senyuman sumringah dan rasa lain yang membuat hidup kita berbahagia. . . Agar kita tahu apa yang membuat kita bisa mendapatkan rasa yang tidak mengenakkan hati, bagaimana kita mengubahnya menjadi lebih baik atau bahkan menghapusnya, dan apa yang membuat kita mendapatkan rasa yang menyenangkan hati. Agar kita lebih bisa bersyukur dan bersabar atas segala ujian dan nikmat-Nya. . . Kita memerlukan rasa kebijaksanaan hati dan akal untuk menakar porsi rasa-rasa itu dalam hidup. Terhadap apa dan siapa kita merasa lemah. Kepada siapa kita menangis, mengadukan semua masalah. Kepada siapa kita menaruh harapan, meminta pertolongan, dan memohon kekuatan. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk memberikan rasa positif dalam hidup ini ketika kita mencicipi rasa negatif. . . Hanya rasakan dan nikmatilah rasa-rasa itu. Sejenak saja. Ya, sejenak saja jika kita merasakan rasa-rasa tidak enak. Hidup ini terus berjalan, kan? Masa kita mau terus-menerus menebar aura negatif? Bukankah hidup kita terlalu singkat dan sangat berharga. . . #senja #senjahujandanceritayangtelahusai
0 notes
Photo

Ke Museum . Pada satu hari saat liburan panjang akhir tahun lalu. Ping A: Ada agenda ga? B: Enggak. Di rumah nih. A: Jalan yuk. B: Kemana? A: Jelajah museum. Percakapan terhenti sekian lama. Ping B: Rutenya gini gimana? Museum Kebangkitan Nasional, Museum Sumpah Pemuda, IMERI FK UI, shalat Zhuhur di Masjid ARH UI, makan siang, Museum Muhammad Yamin, Museum AH Nasution, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, shalat Ashar di Masjid Sunda Kelapa, terakhir Museum Sasmitaloka. A: Ayo. Naik motor atau TJ? B: Ok. Naik motor ya. 08.30 di halte Fatmawati ya. A: Siap. . Jadilah tanpa banyak rencana, ga ribet nuna nunu, izin pergi ada, seharian itu ngebolang bermotor ria berdua (yg satu jadi pengendara yg satu jadi navigator) menjelajah Jakarta (Senen, Salemba, Menteng) hanya bermodalkan google maps karena kita belum pernah ke tempat-tempat itu dan keinginan yg sama, jalan jelajah museum. Jalanan sepi dan lancar untuk ukuran jalanan Jakarta yg padat merayap. . Walaupun ada rencana yg tidak terealisasikan. Dua museum terakhir tidak dikunjungi karena jelajah dan makan siang++, plus nyari tempat makan, yg satu mau makan ini yg satu mau makan itu, akhirnya kita makan di resto fastfood ayam 😂plus ngobrol, cerita, curcol 😆 perjalanan berakhir santai di Taman Menteng. . Jalan-jalan banyak rencana bersama banyak orang terindikasi hanya sekadar wacana 😂 Yg inilah itulah. Eh, tapi kalau sevisi setujuan sih enggak, ditambah lagi teman perjalanannya asik, jadi seru. . Mungkin suatu hari nanti teman perjalanan hidup yg sesungguhnya datang di waktu yg tidak diduga. Kapan pun waktunya itu adalah kewajiban setiap kita untuk mempersiapkan diri, perbekalan, serta ilmu. Sudah pasti menentukan visi dan tujuan perjalanan panjang itu dan memastikan visi dan tujuan perjalanan dengan calon teman perjalanan hidup sama. Konflik, beda pendapat, keinginan jangka pendek pasti ada, so keyakinan, komunikasi, saling pengertian, keinginan sampai pada tujuan yang sama itu menyelesaikan konflik dan menguatkan hubungan. (Laah kenapa jadi ke topik ini) 😁 . Seharian jalan pakai jilbab @hijab.elmina_indonesia nyaman dan tetep adem euy 😄 . #latepost #jalanjalan #jelajahmuseum #ayokemuseum
0 notes
Photo

. . "Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." (Soekarno) . "Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, waktu hidupmu sebelum datang matimu." (HR al-Hakim) . Di museum ini akan kita rasakan semangat pemuda untuk Indonesia. Mereka berpikir dan bertindak, mereka berkumpul menyampaikan visi dan cita-cita serta menyamakannya. Ada beda visi, beda dasar berpikir dan bertindak ternyata sudah fitrah alam dan sudah ada sejak dahulu. . Sebagai refleksi diri juga sih untuk kita (wabil khusus aku pribadi) sebagai pemuda zaman now. Apa yang sudah kita lakukan dan berikan untuk orang lain dan lingkungan sekitar kita. Sudahkah kehadiran kita memberikan kebaikan dan kebermanfaatan bagi mereka. Seberapa banyakkah. . Semoga seiring bergantinya waktu kita bisa menjadi orang yang dikatakan Rasul sebagai sebaik-baik manusia yaitu manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Bisa memberikan kebaikan dan kebermanfaatan bagi orang-orang terdekat yang tercinta, orang di sekitar kita dalam lingkup sempit maupun luas. Dan kebaikan bagi diri sendiri pun juga akan bertambah. . FYI, di antara museum yang pernah aku kunjungi, museum ini yang paling bersih dan nyaman. Ruangan koleksinya, selain bersih dan tidak berdebu, juga tertutup dan full AC. Dingin, nyaman, dan bikin betah berlama-lama melihat koleksi. Ditambah lagi informasi sejarah yang disajikan lengkap. Di sini juga ada semacam mesin, yang aku prediksikan, sebagai mesin audiovisual untuk menjelaskan sejarah. Pencahayaannya juga bagus dan tidak menimbulkan kesan horor di museum. . #jalanjalan #jelajahmuseum #ayokemuseum #belajarasik #sejarah #2018 (at Museum Sumpah Pemuda)
0 notes
Photo

Kita tahu bahwa perjalanan ini tidak mudah. Ujian akan datang menguji tekad, sabar, dan ikhlas. Yakinkanlah diri sendiri bahwa kita tidak pernah sendiri, sekalipun kita sedang sendiri... . . . . . Sesaat sebelum TOPIK hari ini (at JAKARTA INTERNATIONAL KOREAN SCHOOL)
0 notes
Text
Melepas dalam Surat
Sudah hampir tiga jam dia berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang sedang ia tuliskan. Wajahnya serius. Sepasang headphone terpasang di telinga kanan dan kirinya. Temanku itu memang penulis. Namun, baru kali ini ia benar-benar terlihat sangat serius sekali menghadapi tulisannya. Berkali-kali ia menghela napas panjang. Aku juga penulis. Kami terkadang menulis bersama. Bisa aku rasakan jika seserius itu ia menghadapi tulisannya, tulisan yang sedang ia buat adalah tulisan yang benar-benar penting. Kuperhatikan berkali-kali pula ia berusaha menahan air matanya. Aku ingat perkataannya pagi hari ini, “Hari ini aku sudah membuat keputusan.”
Udara kamarku cukup sejuk. Pendingin ruangan kunyalakan dan hanya kumatikan ketika udara sudah terasa dingin lalu kunyalakan lagi jika mulai terasa panas untuk menyejukkan diri kami di tengah cuaca panas sepanjang hari ini. Hujan tidak turun. Meski demikian, temanku yang sedari semalam menginap di rumahku dan sekarang sedang duduk di tengah tempat tidurku, tenggelam dalam tulisannya, seringkali kuperhatikan mengelap dahinya yang sebenarnya tidak berkeringat. Kutahu, dia gugup. Dan aku dibuat penasaran olehnya. Apa yang sedang dia tulis hingga membuatnya seperti itu.
Adzan dzuhur berkumandang. Selepas shalat Dzuhur, kutanya padanya, “Sudah selesaikah tulisanmu itu?”
Dia hanya mengangguk dengan senyum sumringah.
“Rasanya lega seperti sudah melepaskan bawaan yang berat. Setelah ini kita makan bakso yuk. Bukannya aku tidak mau makan masakanmu hari ini. Aku ingin makan sesuatu yang pedas menggugah selera. Aaahh plong sekali rasanya.” katanya sambil mengulat-gulatkan badan. Merenggangkan otot yang kaku, kemudian berbaring di atas sajadah, menatap langit-langit kamar.
“Memangnya kamu menulis apa?” tanyaku sambil melipat mukena.
“Kamu boleh membaca tulisanku.” katanya.
Aku mendekat ke laptopnya, ingin menjawab rasa penasaranku tentang apa yang ditulisnya.
“Aku benar-benar akan melepaskannya mulai saat ini dan melanjutkan jalan cerita hidupku sendiri.” katanya dengan mata masih menatap langit-langit kamar.
Perlahan kubaca tulisannya. Sebuah surat. Yang entah akan dikirimkan kepada orang yang dituju atau tidak. Namun, kupikir bukan itu yang terpenting. Dikirimkan atau tidak surat itu, adalah suatu kemajuan bagi temanku itu ketika dia bisa menuliskan ketetapan hatinya untuk kembali melangkah, menjejaki cerita hidupnya.
Kuucapkan tulisannya itu dengan pelan, tapi pasti, dan suara mantap dengan intonasi yang pas.
Semua angan-angan tentang kamu satu per satu harus bisa aku lepaskan. Di persimpangan ini aku berdiri. Di jalan ini aku harus memilih. Masih bisakah aku terus menunggumu. Sementara aku tidak tahu tentangmu lagi. Aku bertanya pada hatiku sendiri. Aku yakin dan percaya padamu. Seberapa besarkah keyakinan dan kepercayaanku padamu. Bagaimana kamu bisa meyakinkan hatiku untuk tetap menunggumu. Haruskah aku melepasmu sekarang. Di sini, di persimpangan ini. Rasanya keyakinanku padamu mulai menghilang sedikit demi sedikit. Kamu tahu atau pernah mendengar: tidak harus dengan dia, yang terpenting karena Dia.
Sampai aku menulis tentangmu ini, keyakinan dan kepercayaanku padamu masih ada. Namun, sampai kapan? Sampai kapan aku menanti datangnya dirimu untuk menghalalkan diriku bagimu. Sampai kapan aku harus menahan rasa. Sampai kapan aku harus membunuh perasaan yang tumbuh perlahan, perasaan yang belum bolah aku tumbuhkan saat ini. Sampai kapan aku harus menekan rasa-rasa untuk tetap berada di dalam, tidak keluar karena belum boleh bertemu. Sampai kapan tekanan-tekanan terhadap rasa ini harus dilakukan? Bisakah kamu menjawabnya sampai kapan. Kamu tahu itu menyakitkan dan menyedihkan.
Aku tahu kamu merasakan hal yang sama (mungkin). Hanya kepercayaan dan keyakinanku yang membuatku mengatakan seperti itu. Kamu juga merasakan dan melakukan hal yang sama terhadap perasaan dan rindu-rindumu. Sampai kapan kamu akan bertahan melakukannya? Sampai kapan kamu akan menghalalkan perasaan dan rindu-rindu itu padaku. Berapa lama lagi kita harus menahan semua ini.
Bimbang ini harus disudahi. Persimpangan ini harus dilalui. Kamu pernah bilang bahwa semua sudah ada yang mengatur. Segalanya harus diikhlaskan, apa pun yang terjadi pada kita. Meski pada akhirnya kita tidak dipersatukan. Meski pada akhirnya jalan yang kita lalui tidak membuat kita bisa bersama-sama. Masing-masing dari kita hanya perlu mengikhlaskan. Menerima segala ketetapan-Nya yang Dia berikan kepada kita.
Kita luruskan lagi niat-niat kita. Segalanya kita lakukan hanya untuk-Nya, untuk meraih ridha-Nya, keberkahan-Nya. Meluruskan niat-niat yang tersirat untuk selain-Nya meski hanya sebersit terlintas. Kita mohon ampun atas segala kesalahan dan kemaksiatan yang kita lakukan. Jika memang niat itu lurus karena-Nya, bukankah akan mudah bagi kita untuk menerima takdir-Nya meski terasa sulit untuk kita terima dan jalani.
Semuanya sudah berakhir dan harus diakhiri. Tidak bisa selamanya terus menggantung. Entah sampai kapan lagi aku bisa menunggu. Aku mulai goyah menunggumu. Keyakinanku perlahan terkikis. Yang terpenting semua harus karena Dia bukan? Jika melepasmu dan meninggalkanmu adalah jalan terbaik yang harus dilalui, karena semata karena Dia, berat tapi akan aku pilih jalan itu. Melepasmu. Menyudahi semua penantian ini.
Tidak ada lagi angan tentangmu. Tidak ada lagi bayang-bayang masa depan bersamamu. Semua harus dihapuskan meski dengan berat dan ada air mata yang menetes. Kamu jug ahrus melupakan aku. Lupakan semua kenangan-kenangan. Menganggap kita tidak pernah bertemu. Jika suatu hari nanti kita bertemu lagi, kita bertemu sebagai seorang asing yang dipertemukan untuk berteman.
Aku tersenyum mengeja tulisannya. Perkataannya pagi tadi bukan omong kosong. Dia benar mewujudkan pikiran dan perkataannya, terlebih lagi benar dia telah memantapkan hati dan pikirannya.
“Tulisanmu ini akan kujadikan pengingatmu ketika kamu goyah. Kamu harus berkomitmen dengan apa yang sudah kamu tulis di sini. Juga membuktikannya.” kataku padanya.
“Kali ini kamu yang harus mentraktirku makan bakso. Itu akan menyenangkan hatiku setelah menulis surat itu.” balasnya.
“Jika itu bisa membuatmu lebih baik dan lebih mantap melangkah, berapa banyak mangkok bakso pun, akan kubayarkan. Nanti kutambahkan es krim kesukaanmu.” balasku menjawab tantangannya.
Hari ini memang sangat panas. Namun, seperti selalu ada hujan yang menenteramkan, menenangkan.
0 notes
Text
Keberanian Melangkah Lagi
“Lihat payung yang kubeli tadi siang. Mulai sekarang sepertinya hujan akan turun setiap hari. Bukankah kita harus sedia payung sebelum hujan?” kataku bersemangat menunjukkan payung berwarna ungu muda dengan motif polkadot putih.
“Untuk apa sedia payung sebelum hujan jika kamu tidak pernah lagi keluar dari sarangmu. Di bawah sini kamu akan terlindungi dari hujan dan dari panas. Memangnya kamu akan gunakan payungmu itu di sini? Di tempat kamu berusaha melindungi dirimu dari dunia luar di sekitarmu.” katamu datar bahkan kamu tidak menoleh sedikit pun ke arahku ketika kamu berkata-kata.
“Ah, bukan. Sepertinya bukan melindungi, tapi lebih tepatnya menyembunyikan diri.” lanjutmu dengan lagi-lagi tidak menoleh ke arahku. Kamu kemudian dengan santai menyeruput kopi hitam di depanmu lalu kembali membaca buku.
Aku berdiri kaku di tempatku berdiri. Memandang ke arahmu lekat-lekat. Kamu tetap asyik membaca bukumu sambil sesekali mengambil kue yang kusediakan kemudian menyeruput kopi sekali lagi. Menyadari aku tidak beranjak dari tempatku berdiri dan terus memandangimu, kamu sekali lagi menyeruput kopi lalu menutup bukumu tanpa lupa meletakkan pembatas buku di dalamnya.
Kamu menepuk-nepuk sisi kursi kosong di sebelahmu, memberi tanda untukku duduk. Aku masih belum menyambut. Kamu tersenyum sambil masih menepuk sisi kosong kursi. Luluh dengan senyummu itu aku mencair. Berjalan perlahan menujumu sambil masih memeluk erat payung ungu. Kemudian duduk di sebelahmu, memandangimu dengan masih tanpa kata-kata. Kuhela napas panjang lalu meminum kopi milikmu yang seperti biasa, pahit. Mukaku kecut menahan rasa pahit. Sedangkan kamu hanya tertawa kecil melihatku menahan pahit kopimu itu.
“Kamu marah dengan kata-kataku tadi?” tanyamu.
Kuangkat bahuku tanda tidak tahu. Tunggu. Aku meragu. Tanda tidak tahu ataukah aku ragu dengan jawabanku atas pertanyaannya. Kuambil dua potong kue. Satu potong kumasukkan ke mulut dan satu lagi kupegang di tangan. Kusandarkan punggung ke kursi. Mataku memandang kosong sembari mulut mengunyah kue. Pikiranku terbang melayang entah ke mana. Kembali kuhela napas panjang. Kumasukkan lagi sepotong kue yang ada di tanganku dengan mata masih memandang piring kue dengan pandangan kosong.
“Aku marah. Tapi entahlah aku marah padamu atau marah pada diriku sendiri.” kataku.
Kamu memandangiku dan aku tahu kamu menunggu kelanjutan kata-kataku. Kuarahkan badanku ke arahmu, kita saling memandang. Kamu hanya terdiam. Lagi aku menghela napas panjang menundukkan pandang lalu menutup wajahku dengan tangan. Kamu mengelus lembut bahuku sambil berkata, “Tidak apa jika kamu ingin menangis lagi.” Di luar langit yang sedari sore mendung dan gerimis kembali mengguyurkan airnya ke bumi. Kali ini tidak hanya gerimis, tetapi langit benar-benar menumpahkan kandungannya. Hujan deras.
“Aku takut. Ya, aku masih takut berada di luar sana. Aku takut kembali tersakiti atau kembali menyakiti. Aku takut akan peristiwa masa lalu. Jika nanti hanya akan membuatku tersakiti atau aku menyakiti orang lain, bukankah lebih baik aku di sini saja?”
“Bagaimanapun kamu menyembunyikan diri, kamu takkan bisa lari dari kenangan masa lalu. Dari semua peristiwa yang telah kamu alami di masa lalu. Karena ia hidup dalam pikiranmu, ia hidup dalam hatimu, ia bagian dari dirimu yang tidak akan pernah lepas.” katamu sambil memelukku.
“Kamu bisa terus bersembunyi. Namun, waktumu terus berjalan. Tidakkah kamu ingin kembali berjalan, menetapkan tujuan, merencanakan perjalananmu, mempersiapkan semuanya? Termasuk payung-payung cantikmu yang selalu kamu beli dan pada akhirnya tidak kamu gunakan. Hanya kemudian kamu berikan pada orang lain yang membutuhkannya. Payungmu itu cantik. Suatu hari nanti kamu yang akan menggunakan payung yang telah kamu sediakan itu dalam perjalananmu. Seperti katamu tadi, sedia payung sebelum hujan, dan itu hanya bisa kita lakukan jika kita berada di luar, sedang melangkahkan kaki dalam perjalanan hidup. Tidakkah kamu ingin melakukan perjalanan kembali menuju tujuan hidupmu yang pernah kamu tetapkan?”
Aku melepaskan pelukanmu dan memandangimu. Kamu tersenyum.
“Perjalanan hidup ini memang selalu akan memberikan kejutan. Suatu hal besar atau kecil yang bisa membuat kita tersenyum, tertawa, bahagia, kecewa, gagal, menangis, marah, membuat orang lain tertawa, orang lain menangis, mengecewakan, khawatir dan membuat khawatir. Setiap kita di masa lalu pernah merasakan kepahitan dan pernah memberikan kepahitan. Setiap kita pernah tersakiti dan menyakiti. Semua itu menjadi kenangan masa lalu yang tidak bisa kita lepaskan. Kita hanya bisa akan mengikhlaskan dengan damai ketika kita bisa mengambil hikmah dari semua kenangan masa lalu. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain itu.” katamu sambil mengusap air mata di pipiku. Lalu mengambil sehelai tissu dan memberikannya kepadaku, menyuruhku membersihkan ingus di hidung.
“Maukah kamu tetap menemaniku melakukan perjalanan ini? Sampai pada akhirnya aku bisa berjalan sendiri dalam perjalananku menuju tujuan yang telah aku tetapkan. Aku tahu ada beberapa tujuan persinggahan sepanjang perjalanan ini yang berbeda untuk kita datangi.” kataku setelah membersihkan ingus di hidung.
Kamu mengangguk-anggukan kepala tanda setuju.
“Hanya jangan lepaskan genggaman tanganmu sampai aku keluar, benar-benar keluar dari tempat ini, keluar dari tempat persembunyianku. Selama ini aku berpikir memang aku harus terus berjalan. Waktuku terus berjalan seperti yang kamu bilang. Aku hanya tidak punya cukup banyak keberanian untuk melangkahkan kakiku. Kata-katamu ketika aku menunjukkan payungku seperti menamparku, membuatku kembali menjejakkan kaki setelah lama aku terbang melayang tanpa arah tujuan, tak tahu mau ke mana berjalan karena rasa takutku akan tersakiti dan menyakiti, akan melakukan salah dan menyalahkan dan berbagai pikiran lainnya.”
Aku dan kamu sama-sama tersenyum, menghela napas panjang. Kamu ingin menyeruput kopimu yang sayangnya ternyata sudah habis. Kuhabiskan ketika meminum kopimu. Kopimu itu, meskipun pahit, tetap enak dinikmati.
“Aku rasa aku harus banyak-banyak mencicipi dan meminta kopimu itu.” kataku.
“Tidak boleh. Kamu harus membelinya sendiri.” katamu.
“Pelit…” balasku.
“Biar…” jawabmu.
“Hari ini kata-katamu sudah menampar dan menyadarkanku. Sama seperi kopimu. Kopimu pahit, tetapi nikmat dan harum wanginya. Ya, sama seperti sisi bagian hidup ini. Di masa lalu dan mungkin di masa depan nanti, kejadian-kejadian pahit dan sakit akan terasa nikmat ketika kita benar-benar menikmatinya….”
“Ikhlas menerima untuk mengambil hikmah dari apa yang terjadi.” kita mengucapkannya berbarengan lalu kita sama-sama tertawa. Hujan deras di luar meredamkan suara tawa kami.
Ah hujan. Jika sekiranya hari masih terang, belum gelap seperti malam ini, ingin rasanya aku keluar, menyatukan diri bersamamu wahai hujan di antara tetesan air tumpahan langit.
“Daripada kamu memikirkan untuk bermain hujan malam-malam lebih baik berdoa. Saat hujan turun adalah salah satu waktu berdoa yang mustajab. Daripada aku yang tidak selalu bisa menemani, ada yang lebih kamu butuhkan. Dia yang selalu ada untukmu kapan pun kamu membutuhkan-Nya. Dia yang selalu akan menemani dan memberikanmu kekuatan juga keberanian untuk melangkah. Bukankah pada akhirnya tujuan yang kita tetapkan akan kembali pada-Nya dan kita berharap saat itu dapat kita lalui dengan sebaik-baik kondisi iman. Dia yang selalu ada di dekatmu. Dia Tuhanmu, Allah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Kekuatan.”
0 notes
Text
Cahaya dalam Gelap
“Kamu tahu kenapa pelangi selalu datang setelah hujan?” tanyanya di saat kami sedang menikmati makan malam di tengah lampion-lampion cantik di pusat kota Yogya.
“Ya, karena pelangi tercipta karena biasan sinar matahari pada titik-titik tetes hujan,” jawabku sekenanya sembari bersiap memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut.
“Adakah pelangi yang datang sebelum hujan?” tanyanya lagi.
“Bisakah kita makan tanpa ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu?” kataku balik bertanya.
Kami kembali melanjutkan makan malam sembari mengobrol ringan remeh receh. Beberapa hari menjelajah Yogya membuat perutku tidak bisa diajak komproni di saat makan. Untuk menjelajah butuh asupan energi toh.
Kembali ia mempertanyakan pertanyaannya. Kujawab dengan pundak yang kuangkat menandakan tidak tahu. “Jika pelangi tercipta karena biasan sinar matahari pada titik air hujan, bagaimana mungkin pelangi muncul sebelum hujan. Pada apa sinar matahari akan membiaskan diri?” lanjutku.
“Kamu tahu gak kenapa taman pelangi ini buka pada sore hingga malam hari?” tanyanya terus berlanjut.
“Agar cahaya dari lampu-lampu dan lampion di sini terlihat bercahaya indah,” jawabku singkat. “Tidak usah muter-muter seperti itu. Apa yang ingin kamu sampaikan? Jangan merusak suasasa indah di tengah-tengah pemandangan lampu-lampu cantik ini.”
Dia tertawa. Sedari sore hari kami berada di taman penuh cahaya ini, destinasi terakhir sebelum kami akan kembali menuju ibu kota negara besok pagi. Sudah puas berjalan, berbicara panjang lebar yang kadang tak tentu arah, berkeliling, mengambil foto-foto ciamik. Di sinilah kami melepas lelah di malam terakhir sebelum kami kembali pada rutinitas. Orang-orang lalu lang di sekitar tempat kami duduk. Tidak ada pembicaraan. Kami hanya mengamati orang-orang dan harmoni perpaduan pendaran cahaya-cahaya lampu. Indah. Menakjubkan.
“Pada siang hari kurasa tempat ini tidak istimewa. Biasa saja. Karena terlalu banyak cahaya di tempat ini. Semua terlihat jelas, tidak ada yang menonjol. Justru gelap yang membuat tempat ini istimewa. Karena gelap memunculkan seluruh cahaya yang tersembunyikan cahaya siang. Gelap membuat kita melihat cahaya yang tidak kita lihat sebelumnya. dan gelap menjadikan itu semua sangat indah.” kataku memecah kesunyian di antara kami.
“Seperti hidup.” katanya.
“Cahayanya?” tanyaku.
“Bukan. Seperti hidup, hidup kita yang kita jalani. Pada saatnya nanti, gelap akan datang dalam hidup. Sayangnya kita tidak pernah tahu kapan waktu gelap akan datang. Karena itu, janganlah pernah kita lepaskan lentera cahaya hidup kita yang mampu menghidupkan cahaya-cahaya lain sehingga membuat perpaduan cahaya yang indah seperti di sini.” katanya lalu berhenti sejenak menghela napas panjang.
“Sepulang dari sini, itulah kenyataan hidup kita yang harus kita hadapi. Keseharian kita, pekerjaan kita, tugas dan kewajiban kita masing-masing, upaya untuk memenuhi hak-hak. Kedatangan gelap tidak kita tahu kapan akan datang, tapi kita tahu dia pasti tiba satu saat nanti. Yakinilah bahwa saat gelap itu adalah saat untuk kita bisa melihat cahaya yang tidak terlihat oleh kita sebelumnya. Jangan pernah melepaskan lentera hidup, pedoman hidup kita, cahaya, dan penguat kita menempuh jalan ini. Jangan juga berpikir dan merasa bahwa kamu sendiri dalam kegelapan. Kamu tidak pernah akan sendiri. Jika kamu merasa sendiri, yakinlah kamu tidak pernah sendiri. Mungkin hanya tidak terlihat sebentar.”
Kami sama-sama mengembuskan napas panjang. Perjalanan bersenang-senang ini akan berakhir. Bukankah segala sesuatu itu memang ada awal pasti ada akhir. Setelah akhir ada awal yang baru. Begitu seterusnya. Yang perlu dipahami adalah apa yang didapatkan sepanjang perjalanan dari awal sampai akhir untuk dibawa di awal perjalanan selanjutnya. Dan perjalanan selalu bisa membuat kami kembali mengenal juga mengetahui sisi-sisi diri teman perjalanan, sesuatu yang istimewa dan semoga menguatkan.
0 notes
Text
Satu Senja di Selatan Yogya

Katamu karena suasana kota Yogya hari ini yang membuatmu betah berlama-lama berkelilling kota Yogya sepanjang hari hingga siang terlewati sebelum pada akhirnya kita memulai perjalanan ke pantai selatan Yogya. Namun, pikiranku berkata lain. Itu hanya alasanmu saja untuk berlama-lama memulai perjalanan menuju pantai. Kamu tidak suka pantai. Gunung-gunung lebih kamu sukai untuk dijelajahi. Sudah kesekian kali gunung-gunung di Jawa kamu daki dan kamu tidak pernah bosan meski berulang kali melewati jalur pendakian yang sama. Panas, basah, ribet, ramai, dan banyak pemandangan yang membuat sakit mata alasanmu susah diajak bermain ke pantai. Apa bedanya toh dengan pergi ke gunung yang jauh lebih menyulitkan dengan fasilitas yang jauh lebih minim jauh dari kota kataku tidak mau kalah.
Perjalanan dari pusat kota Yogya menuju pantai selatan Yogya hari itu memakan waktu dua jam. Pembicaraan tentang gunung dan laut sudah terhenti sejak setengah perjalanan terlewati. Itu adalah masalah selera yang cukup sering kami jadikan bahan obrolan panjang lebar, menambah keseruan perjalanan yang semakin membuat karakter kami terlihat, dan membuatnya semakin dinamis.
Pukul empat sore. Matahari sudah lebih teduh dibandingkan siang tadi di pusat kota. Pantai sudah mulai sepi dari pengunjung-pengunjung. Angin sepoi-sepoi mengantarkan wangi air laut. Beberapa orang sudah membereskan barang-barangnya bersiap-siap pergi meninggalkan pantai. Beberapa lagi masih duduk-duduk santai menikmati angin dan sepertinya juga sedang menunggu sunset. Orang-orang yang berfoto di sekitar pantai mengabadikan momen kebersamaan di tengah suasana sore.
“Masih ada waktu sebelum matahari benar-benar tenggelam. Sudah tidak memungkinkan bagi kita berenang di pantai atau berbasah-basahan main air. Lebih baik kita mencari restoran untuk makan sambil menikmati semilir angin,” ajakmu sekejap setelah sampai di pantai.
Ya, usulnya terdengar lebih menyenangkan daripada hanya duduk-duduk diam di pinggir pantai menunggu matahari tenggelam.
Pengetahuannya tentang ikan dan hewan laut ternyata lebih banyak dari yang kuduga. Kupikir ia benar-benar tidak suka semua hal yang berhubungan dengan laut. Ia ceritakan berbagai hal dan banyak pengalamannnya tentang ikan dan tentu saja menu seafood kesukaannya. Bagi pecinta makanan seperti dia segala sesuatu pasti ada cerita tentang makanan. Aku hanya menjadi pendengar dan pengamatnya kali itu. Kubiarkan dia bercerita berbicara panjang lebar. Dia bisa menjadi menarik dan lebih ekspresif ketika menceritakan segala hal tentang sesuatu yang disukainya.
Jam tangan kuperlihatkan padanya. Pukul lima kurang sepuluh menit. Matahari sudah mulai berpulang. Dan itulah tujuan kami menunda keberangkatan ke pantai sejak pagi hari. Menikmati matahari sore. Suasana sore selalu bisa menyihir kami masuk ke dunia lain. Ada semacam kesyahduan dan ketenangan tersendiri ketika memandang langit sore ditambah angin bertiup lembut. Langit orange jingga berpadu semburat ungu dicampur hitam karena menjelang malam serta sisa-sisa warna biru yang masih memberi warna menjadi perpaduan harmoni indah. Kita sama-sama takjub dengan lukisan senja kala itu. Diam terpesona.
“Berbagai gunung kudaki dengan salah satu harapan bisa melihat matahari terbit di puncak gunung. Suatu yang membuat kita tidak berhenti menyerah ketika lelah dalam pendakian. Melihat matahari terbit membuatku bergairah dalam hidup. Sepanjang hari kuhabiskan waktu untuk mendapatkan sesuatu yang ingin kuraih. Di sini melihat matahari berpulang menikmati senja kutahu bahwa langit dan laut selalu bisa menerima senja apa adanya dengan berbagai penampakannya.”
Kamu menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Seperti menyeruput pelan-pelan keindahan langit senja kala itu.
“Kuyakin pasti ada seseorang dengan hati seluas langit dan sedalam lautan yang bisa menerima kita sebenarnya diri kita, menjadi tempat pulang untuk kembali menjadi diri sendiri. Dan ketika dia sudah kutemukan, aku juga akan menjadi langit dan laut untuk tempatnya pulang kala senja serta akan kujaga hatinya agar tetap seindah dan sesyahdu senja yang menenangkan.” katamu melanjutkan.
Aku hanya terdiam mendengar kata-katamu itu. Diam pertanda setuju.
“Jadi tidak penting lagi bagi kita memperdebatkan harus pergi ke pantai atau ke gunung atau tidak kedua-duanya dengan memilih jelajah kota. Bukan menjadi hal yang terpenting kita pergi ke mana. Namun, dengan siapa kita pergi melakukan perjalanan. Yang terpenting lagi adalah orang itu dengan hatinya seluas langit dan sedalam laut bisa menerima kita seutuhnya. Dan kamu tahu, hal terpenting lainnya lagi adalah orang itu sudah kutemukan.”
Aku hanya tersenyum. Itu kata terakhir darimu sebelum kita benar-benar terdiam menikmati senja. Tidak ada kata-kata apalagi di antara kita. Saat ini hanya senja saja yang ingin dinikmati. Masih ada waktu untuk kita melanjutkan kata-kata setelah senja benar-benar berakhir.
Ada satu waktu bersahabat, menjadi teman perjalanan, atau memiliki teman perjalanan tidak hanya menemani tetapi juga mengerti waktu untuk terdiam dan waktu untuk berbicara.
1 note
·
View note
Text
Terima
Menerima sebagai sikap pertama, menerima apa pun yang Allah berikan, dalam bentuk dan kondisi apa pun, membuat kita menjadi sadar posisi, situasi, dan kondisi. Mengingatkan kita akan tujuan awal, meluruskan niat kembali semata karena dan untuk-Nya. Sadar posisi dan kondisi serta kembali ke tujuan juga niat awal nan mulia mendorong kita untuk memberikan yang terbaik dengan cara yang benar juga baik, belajar lebih banyak untuk meningkatkan kontribusi dan belajar lebih giat mempelajari hal yang belum diketahui, semangat mengamalkan ilmu, berani melakukan hal baru, meskipun semua itu melelahkan. Ya melelahkan. Menerima adalah tempaan untuk pembelajaran keikhlasan. Maka jadikan lelah karena lillah semoga berkah.
0 notes
Text
Yakinlah
“Sepertinya niat dalam hati harus dilihat lebih dalam lagi. Jika niat itu tulus, seharusnya tidak perlu ada galau dan sedih, mundung lalu menyalahkan, marah yang berlebihan. Berbalas atau tidak, jika karena-Nya, lebih bisa kita terima segala ketetapan.” kataku sambil memeluk. “Menangislah jika itu membuatmu bisa melepas semuanya. Tidak apa-apa.”
Kata-kataku hanya disambut dengan tangisan. Dia memelukku semakin erat. Jilbabku basah oleh air matanya yang jatuh meleleh di bahu. Hanya sedikit kata yang keluar dari mulutnya. Dari raut wajahnya, dari tangisnya bisa kubaca semua maksud kata-kata yang sepotong itu. Sekitar 15 menit tangisnya tak berhenti. Selama itu pula kutepuk-tepuk pelan punggungnya sembari terus kupeluk dirinya. Tidak perlu ada kata-kata yang keluar. Dia hanya perlu menangis meski ini sudah kesekian kalinya dia menangis. Dan selalu kubiarkan dia menangis tanpa jeda, tanpa kuhujani dengan kata-kata. Hanya kudengarkan dan kupeluk saja dia.
Perlahan pelukan dilepaskannya. Segugukan mengelap hidungnya karena ingusnya mulai tidak berhenti keluar. Entah sudah berapa tisu yang dihabiskan. Tangisnya mulai mereda. Kusenyumi dia. Dan dia tersenyum membalas.
“Nasihati aku.” katanya.
Itu yang kusalut darinya. Bagaimanapun kondisi hatinya dia bisa dengan cepat mengatur hatinya. Tahu bahwa ia belum bisa mengingatkan dirinya sendiri, lalu minta diingatkan. Dan aku tahu dia melakukan hal itu untuk mengontrol hatinya, pikirannya untuk tetap waras.
Kugenggam tangannya.
“Kamu percaya bahwa segala telah diatur dan ditakdirkan untuk kita? Tidak ada kebetulan. Tidak ada juga segala sesuatu yang terjadi tanpa alasan. Meski sekarang kita tidak tahu mengapa ini terjadi. Pasti ada jawaban untuk kita mengapa kita harus merasakan hal yang sekarang kita jalani. Segala ketentuan-Nya untuk kita pasti baik. Jika bukan yang kita minta yang diberi oleh-Nya, yakin bahwa yang akan diberikan-Nya nanti akan lebih baik dari yang kita minta.”
“Ingat kisah Ummu Salamah ketika kehilangan Abu Salamah yang syahid. Ummu Salamah berpikir bahwa tidak ada laki-laki yang bisa mengganti Abu Salamah dan tidak ada laki-laki yang sebaik Abu Salamah. Dan Rasulullah mengajarkan sebuah doa kepada Ummu Salamah. Allahumma ajurni fi mushibati wa ahlif li khairan minha. Ya Allah beri aku pahala dalam musibah ini dan beri aku ganti yang lebih baik. Allah mengabulkan doanya. Allah SWT menganugerahkan laki-laki terbaik yang lebih baik dari Abu Salamah sebagai suaminya, yaitu Muhammad Rasulullah.”
“Ada hal-hal yang perlu kita banyak tangisi: kelalaian kita, kezaliman kita, kemaksiatan kita, dosa-dosa kita. Kalau saat ini Allah memberikan kita ujian dengan kita dipisahkan dari laki-laki yang kita inginkan bisa bersamanya dalam hubungan yang halal, itu tandanya Allah lagi memanggil kita untuk kembali kepada-Nya. Allah ingin mengajarkan kita keikhlasan, kesadaran bahwa berharap pada manusia hanya akan menimbulkan kecewa dan hanya kepada Allah-lah satu-satunya tempa kita berharap. Allah ingin melindungi kita dari hawa nafsu yang mungkin tidak kita sadari sudah membawa kita kepada kemaksiatan dan kezaliman terhadap diri kita sendiri, zalim kepada Allah. Allah lebih sayang, jauuuuh lebih sayang sama kamu. Allah kangen sama kamu makanya Allah panggil kamu untuk sering-sering berbicara pada-Nya di sepertiga malam.”
“Percayalah. Akan ada laki-laki terbaik pilihan-Nya yang Dia ridho padanya yang Dia kirimkan dan pertemukan denganmu. Yakinlah bahwa ganti yang Dia berikan akan lebih baik daripada yang kita minta. Lebih baik sekarang kita memberikan cinta kita kepada mereka yang memang lebih berhak atas cinta kita. Orang tua kita, saudara kita, teman kita, karya-karya kita, dan yang pasti diri kita sendiri. Lepaskan dia. Ikhlaskan dia. Jika melepasnya membuatmu lebih dekat pada-Nya, tidak ada yang perlu kamu tangisi atas perpisahan ini.”
Dia mendengarkannya dengan saksama. Permintaanya untuk dinasihati ternyata bukan sekadar permintaan. Ini sudah keempat kali dia datang padaku lalu menangis karena hal yang sama. Permintaannya kuharap benar menjadi pertanda dia sudah bisa move on dan tidak lagi menangis.
Dia tersenyum, tersenyum lebar. “Aku tahu ku tak salah datang padamu. Kamu benar-benar bisa meluruhkan rasa maluku untuk menangis.” katanya sambil memelukku.
“Kamu juga harus menguatkan hati. Kita olahraga hati bersama dengan banyak-banyak istighfar dan dzikir mengingat-Nya. Aku tahu yang kamu alami lebih berat dari yang terjadi padaku. Penantianmu tidak sia-sia. Ada banyak pelajaran yang sedang diajarkan-Nya pada kita. Pengingatan dari-Nya sebagai tanda cinta dan kasih sayang-Nya. Seperti katamu kita perlu melihat lagi niat dalam hati kita. Karena apa kita melakukan semua ini. Mungkin masih ada niat-niat yang perlu kita luruskan kembali, semata-semata niat hanya karena-Nya ” katanya sambil memeluk dan menepuk lembut punggungku.
Kaget aku mendengar ucapannya. Di tengah kesedihannya, dia masih mengingat kisah yang lalu. Kulihat diriku di cermin yang ada di hadapan. Melihat jauh ke dalam diriku. Mungkin benar kata orang bahwa terkadang orang yang memberi nasihat terbaik justru orang yang pernah atau sedang memiliki masalah yang sama. Dan dia, temanku itu, ah dia selalu penuh kejutan.
0 notes
Text
Jika berada pada satu waktu di masa depan
di jalan ini kita bertemu. berjalan beriringan sampai pada persimpangan di pertengahan jalan. menemukan diri kita berbeda jalan. lalu pilihan telah diambil. ini jalan kita masing-masing dengan tujuan yang berbeda, meski pada akhirnya di tujuan ujung paling akhir perjalanan ini sama. orang-orang yang ingin kita jadikan teman perjalanan tidak lagi sama.
apakah di masa depan kita akan bertemu lagi atau tidak. bukan. bukan itu yang ingin kutanyakan pada diriku sendiri. jika di masa depan, di sebuah persimpangan atau di tempat peristirahatan kita bertemu lagi, masihkah kuingat tentang dirimu. lalu kita bertemu seolah kita adalah dua orang yang baru pertama kali bertemu. itu yang ingin kutanyakan pada diriku sendiri.
nyatanya mengikhlas membuatku sedikit demi sedikit tidak lagi mengingat tentangmu. mengikhlaskan membuatku berpikir tentang banyak hal lain, kecuali dirimu. mengikhlaskan membuatku perlahan lupa kehadiranmu dahulu. nyatanya mengikhlaskan membuat diriku menciptakan memori-memori baru bersama orang lain, kecuali dirimu, yang perlahan menimbun memori kenangan tentangmu. dan nyatanya hal itu menghadirkan bahagia untuk diriku.
mungkin ada benarnya jika suatu waktu di masa depan nanti kita bertemu lagi, dirimu kembali menjadi seorang yang asing bagiku. sama seperti saat kita pertama kali bertemu dahulu kala. mungkin saja……..
0 notes
Text
나라에 가고싶어요? 왜요?

저는 아주 여행을 촣아해요. 람붕 저그자 하고 스마랑에서 백패커 붰어요. 점 무서웠어요. 그런데 재미있었어요. 지금은 해외에 안 가고싶어요. 저는 인도내시아에서 여행하고싶어요. 여행지 하고 문화여행은 촣아서 수마드라섬에 가고싶어요. 재 취미 등산을해요. 그데산 방랑오산 바반다얀산에서 등산을하붰어요. 아주 힘들었어요. 그런데 아주 즐거웠어요. 일출을 볼수있어요. 자와섬에 많이 산 있어요. 그래서 자와섬에서 답사하고싶어요. 저도 럼벅섬 하고 라자암팓 가고싶어요. 바다는 아주 예뻐요. 아주 인도내시아를 촣아해요.
1 note
·
View note