askarasa
askarasa
Perihal Bumi
7 posts
Just about world and words🌛
Don't wanna be here? Send us removal request.
askarasa · 5 years ago
Text
Perempuan Perkasa
Berbicara tentang perempuan kuat, perempuan cantik, perempuan cerdas, pun perempuan baik; aku rasa setiap perempuan punya caranya tersendiri untuk jadi sosok perkasa di hidupnya masing-masing. Karena sejatinya dunia yang begitu luas ini adalah sebenar-benarnya alam liar, aku akan membuat konteks tulisan ini jadi lebih realistis /jangan biarkan halu ini menguasaiku:")/.
Ada perempuan yang bisa bepergian sendiri, menggunakan kendaraan pribadi atau menaiki angkutan umum meski jaraknya jauh : dia perkasa.
Ada perempuan yang bisa menghasilkan uang sendiri, memberi segala kebutuhannya, bertahan di keganasan arus uang, bahkan memberi kepada orang lain : dia perkasa.
Ada perempuan yang mahir memasak, merapikan sesuatu, menjahit, dan menyayangi anak kecil : dia perkasa.
Ada perempuan yang cerdas, memiliki integritas dan intelektual yang tinggi, menata karir dengan baik : dia perkasa.
Semua perempuan, aku yakin memiliki sisi perkasa yang membuatnya jadi amat berharga dan selalu pantas mendapat tempat di dunia. Perempuan harus bisa jadi sosok yang tidak mudah didekati, tidak mudah dilecehkan, tidak mudah diremehkan. Supaya citranya sebagai manusia tidak terkelupas oleh stigma-stigma yang melenceng. Mungkin akan selalu ada cemooh dari sisi-sisi buruk, tidak apa-apa. Cukup bungkam saja mereka dengan kelebihan kita, dengan kemampuan kita. Banyak sekali omongan buas dan tindakan buruk bagi perempuan, dan selalu butuh jiwa perkasa untuk melindungi diri kita di bumi yang liar.
Aku selalu ingin menghargai diriku sendiri. Membiarkan kekurangan jadi pacuan untuk mengoptimalkan kelebihan. Terkadang aku benci diriku sendiri, tapi semakin lama aku lebih banyak merasa diri ini terlalu berharga untuk disakiti dengan mudah.
Membuat standar kehidupan bukan hal yang salah bagi perempuan. Ingin memiliki karir yang bagus, ingin memiliki gelar yang tinggi, ingin punya usaha sendiri--bahkan kriteria pasangan seperti ingin punya suami yang lebih pintar, humoris, ramah, bijaksana, pekerja keras, sabar, dan lain-lain. Sungguh standar itu selalu membuat kita punya pancingan untuk berjiwa seperti itu juga. Meski kedepannya ketulusan selalu menang, perempuan pun selalu berhak atas hidupnya. Jangan memilih dan dipilih sebagai sosok yang menemani saat jatuh, tapi jadilah dan dapatkan sosok yang menemanimu untuk bangkit.
Sebab apa? Dunia ini terlalu liar kalau perempuan tidak bisa memanfaatkan sisi perkasanya. Terlalu kacau, tidak mudah ditebak. Tidak baik bila menilai perempuan sebagai sosok yang harus selalu tulus pada orang lain sedang di hidupnya tidak ada yang memberi ketulusan.
Luasnya dunia, beragamnya manusia, revolusi zaman yang selalu tiba-tiba. Lihat, betapa perlu para perempuan sebagai asal muasal manusia hidup untuk bertahan dan berdiri dengan kakinya sendiri. Tidak dijajah oleh siapapun. Tidak dijajah oleh cinta yang beracun, oleh ketulusan palsu, oleh ketakutan tabu. Perempuan harus bisa menjaga dirinya, masa depannya, calon manusia yang akan lahir dari dirinya.
Tapi, perempuan selalu punya keistimewaan untuk jadi rumah. Untuk memeluk gundah keluarganya, memarahi adik atau anak-anaknya yang nakal, memberikan kasih sayang pada orang tua dan suaminya. Semua itu, adalah juga keperkasaan yang hadir, yang seharusnya memberikan dia sayap lebih lebar untuk turut mendapatkan ketulusan dan kasih sayang.
Note : Sebagai perempuan, barangkali saya akan selalu menemukan banyak pertanyaan. Kenapa mau mendapat prestasi A, predikat B, membuat C, melakukan D. Sebenarnya salah satu jawabannya sederhana.
Saya tidak ingin dimiliki sembarang laki-laki.
-'leen,2020.
0 notes
askarasa · 5 years ago
Text
Berdamai dengan Masa Lalu
Betapa banyak di dunia ini, manusia-manusia yang lahir prematur dari masa lalu yang belum seutuhnya tuntas. Saya enggan mengakui sebagai bagian dari mereka, tapi rasanya memang tidak ada manusia yang tidak pernah berlarut-larut menatap spion hidupnya. Kalau harus disebutkan, memang masa lalulah yang membentuk diri saya sekarang. Saya yang penakut : takut kehilangan, takut mengecewakan, takut gagal, takut terperosok. Saya adalah si sulung yang selalu jadi peran bungsu di setiap lingkar pertemanan dan lingkungan. Saya tumbuh dari dunia yang terlalu aman sampai-sampai saya lupa di dunia ini bukan cuma tercipta taman.
Selain saya, barangkali ada orang lain yang tumbuh jadi sosok pemberani. Ia ditempa pada dinding-dinding curam sejak lahir kemudian paham bahwa yang paling abadi di bumi ini cuma ketir. Ada yang tumbuh menjadi orang skeptis dan tak pernah yakin ada bunga yang benar-benar mekar di dunia. Semua itu, semua yang ada hari ini, adalah proses panjang dari masa lalu.
Bukan hanya sulit dilupakan, nampaknya masa lalu juga sulit untuk dimaafkan. Memaafkan masa lalu yang telah membentuk diri jadi terlalu rapuh, diri yang tidak sempurna, diri yang gagal : yang menyesal. Terlampau sulit ketika sadar bahwa semuanya tidak bisa diperbaiki karena sudah selesai sebelum diperkarakan. Terlampau perih ketika kebodohan dan kesialan di masa lalu merembet terus menerus sampai sekarang.
Saya jadi ingat kutipan dari Ilham Gunawan, "Masa lalu tidak akan menjadi guru bagimu, selagi, penyesalanmu tidak pernah kamu didik."
Saya tersenyum sebentar. Lalu terpejam. Dan tersenyum lagi. Ternyata benar. Manusia tidak pernah berpikir untuk mendidik penyesalan. Kita selalu ingin tercerabut dari masa-masa lara dan memaksa terbang tanpa pernah ingin mengingatnya. Kita menjadikan masa lalu sebagai rival yang harus dikalahkan. Kita membuat batas pada diri kita sendiri.
Padahal, kalau dipahami betul-betul, masa lalu itu tidak pernah salah. Ia tidak salah karena sampai sekarang, kita masih berdiri di tanah dan menatap langit yang masih cerah. Masa lalu mungkin mengubah kita, tapi bahkan bumi pun berevolusi setiap hari. Tak ada yang benar-benar abadi dan hakiki, termasuk kita atas kita. Segala kesalahan, takdir buruk, orang-orang jahat, kegagalan, rasa malu, rasa dendam--semua itu, seharusnya kita akui saja dengan sebaik-baiknya, semafhum-mafhumnya. Seharusnya kita genggam ia sebagai bagian dari diri kita--sebagai sosok manusia : makhluk yang tidak seutuhnya putih dan tidak sepenuhnya hitam. Kalau memaafkan itu sulit, terima saja dulu. Terima sedihnya, terima sakitnya. Peluk dia. Peluk masa lalu kita. Bilang terima kasih karena sudah ada dan semoga esok tinggal yang baik-baiknya saja.
Sungguh, yang paling awal dalam memaafkan adalah memaklumi. Membenci masa lalu berarti membenci proses yang kini membentuk kita. Jangan. Jangan. Sudah paham kan rasanya dibenci? Jangan biarkan masa lalu kita yang sudah hitam malah diperkelam oleh diri kita sendiri. Jangan biarkan bayang-bayang itu masa membuat masa depan jadi ragu-ragu untuk datang. Bukankah kita juga enggan mendampingi orang yang (hatinya) belum berdamai dengan masa lalunya? Pelan-pelan, kita coba untuk tidak membuat tenaga sia-sia dalam menyesali yang sudah terjadi.
Kasihan. Perlu juga kan, kasihan sama diri sendiri? :")
0 notes
askarasa · 5 years ago
Text
: Kamu
Yang mahir meloloskan diri dari berbagai tempat, menembus waktu, mengetuk aku.
Tumblr media
1 note · View note
askarasa · 5 years ago
Text
Sebuah cerpen
Bapak dan Secangkir Teh Pahit
Bapak punya penyakit gula--diabetes. Beberapa bulan ini sangat membatasi asupan makannya. Sedih sekali melihat Bapak tidak lagi bisa merasakan makanan manis, padahal dulu beliau sangat suka makan brownise--buatanku, atau secangkir kopi caramel kreasi Ibu. Sekarang, Bapak cuma bisa minum secangkir teh pahit setiap pagi, sambil duduk dan menunggu munculnya matahari.
"Pak, kenapa banyak hal manis di dunia ini justru bawa penyakit ya?"
"Kakak lagi patah hati?" Tanya Bapak menggoda, aku cuma nyengir kuda.
"Bukan, Pak."
Bapak menyeruput tehnya, sedikit meringis. Mungkin terlalu panas, terlihat dari caranya menyimpan cangkir di meja dengan hati-hati. Beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum-senyum setelah itu.
"Bukan hal manis yang bawa penyakit, Kak. Tapi ketidakmampuan kita." Kata Bapak mengawali percakapan. Aku terdiam dan menanti beliau melanjutkan.
"Kadang kita tidak mampu untuk menerima setiap hal dengan wajar, tidak mampu untuk mengharapkan setiap hal dengan wajar, tidak mampu untuk menikmati setiap hal dengan wajar. Kita yang tidak mampu, Kak."
Bapak menjauhkan tangannya dari kepalaku--membenarkan kacamata yang merosot. Uban sudah memenuhi hampir separuh kepalanya, aku tersenyum sendu. Setiap hari, umur Bapak terus berkurang dan aku belum banyak membuat lengkung bahagia di garis bibir beliau.
"Kakak tau apa yang ingin Bapak lakukan ketika Eka meninggal dalam kandungan?"
Aku menggeleng. Eka adalah nama almarhum kakakku. Ibu keguguran saat pertama kali mengandung, padahal butuh lima tahun untuk menanti janin itu hadir. Tapi bahkan sebelum melihat dunia, kakakku itu telah lebih dulu dipanggil oleh-Nya.
"Bapak ingin sekali menukar nyawa dengan bayi itu. Bapak tidak siap kehilangan," Suara Bapak melirih, "Membayangkan bagaimana kecewanya Ibumu saat bangun dari operasi, kecewanya kakek dan nenek yang sudah lama menanti, kecewanya para tetangga dan kerabat yang sudah sangat berambisi--semuanya menyakitkan. Beberapa hal seperti kehamilan itu adalah buah yang manis, tapi tak jarang yang berakhir dengan busuk."
Sekarang gantian, aku mengusap bahu Bapak yang melemah. Tersenyum menatap matanya. Beliau ikut menatapku. Dan tersenyum sendu.
"Tapi, Kak, penting bagi seorang pria untuk memikirkan segala sesuatu sebelum bertindak atau berbicara."
Aku tersenyum, mengangguk samar. Beliau melanjutkan, "Semenjak menikah dengan Ibumu, Bapak harus paham bahwa yang harus Bapak perjuangkan bukan lagi tentang diri sendiri, bukan juga cuma tentang Ibu. Ini tentang dunia kita berdua yang begitu luas."
"Apa hubungannya dengan hal manis yang menyakitkan?"
"Saking terlenanya dengan kabar kehamilan Ibu, kami tidak sadar bahwa segala yang ada di dunia ini cuma titipan. Segala yang titipan itu bisa diambil kapan saja, Kak, mau kita siap atau tidak, mau kita ikhlas atau tidak. Segala hal manis itu tetap manis. Yang menyakitkan adalah ketika kita tidak mampu untuk menikmatinya secara wajar, sedangkan hal itu bisa kapan saja hilang."
Ibu datang membawa kukusan pisang. Bapak membisikan sesuatu kepadaku, "Bahkan Ibu juga cuma titipan. Tugas Bapak hanya menjadikan dia calon bidadari surga, yang akan menyambut Bapak kelak dengan kemuliaannya."
Hatiku berdesir. Akhir-akhir ini Bapak dan Ibu lebih sering bangun di sepertiga malam, pernah kupergoki Bapak sedang bercerita dan Ibu tidur di pangkuannya sampai subuh. Aku tersenyum menatap Ibu dan Bapak bergantian.
"Ih, gosipin Ibu yaa?" Ibu mencubit lengan Bapak pelan, sedangkan Bapak menggenggam tangan Ibu dan mengajaknya duduk berdampingan.
Aku bersumpah. Aku ingin suami yang seperti Bapak.
***
Sorenya, Bapak menghampiriku yang sedang mengerjakan tugas. Beliau menaruh secarik kertas dan ketika kubuka, begini kira-kira isinya :
Mari kita bersama-sama mencari, sebuah lilin di kala gelap yang menerangi atau setitik gelap di tengah silau yang menenangi.
Mari kita bersama-sama mencari, jalan keluar dari labirin panjang atau tempat rehat untuk memperpanjang petualangan.
Mungkin jalan kita tidak sama, tujuan kita pun berbeda, kita tidak menetapkan satu puncak sebagai impian, tapi bukan berarti kita tidak bisa berjalan beriringan.
Nanti ketika pulang, kita akan saling bercerita tentang apa-apa yang kita temui, tentang siapa-siapa yang pernah menemani, lalu dari setiap beda itu, kita akan menemukan sesuatu yang lebih baik dari hanya sejalan.
Esok, kita harus belajar bahwa mata manusia berbeda-beda dalam memandang.
Meski pun begitu, tetaplah menjadi sosok yang selalu mencintai takdir yang menghampiri. Tempatkan setiap orang yang pernah memberimu tawa di posisi terbaik hatimu, sayangi dan istimewakan mereka meski pun kamu tidak tau ada di posisi mana namamu pada hatinya. Kita tidak pernah tahu masa depan seperti apa dan menjadi milik siapa, tetaplah menjadi orang baik dan penyayang bagi setiap orang yang kamu temui.
Lusa nanti, mungkin kamu yang membutuhkan dia, dan dia akan senang hati membantu karena kamu sudah menempatkan dirinya sebagai sosok penting dalam kisahmu sendiri.
Entah mengapa, entah darimana Bapak tahu kalau anaknya sedang kehilangan teman, sedang berselisih paham dengan banyak orang, sedang merasakan bahwa banyak manusia hanya menciptakan manis di awal.
Entah mengapa, Bapak selalu tepat sasaran.
---------
Ditulis oleh Lia Sylvia Dewi.
1 note · View note
askarasa · 5 years ago
Text
Langit Jakarta dan Kita
#Part 2
Kami memandangi gedung tua itu sambil tertawa miris. Chiko dan Bila masih sibuk menghubungi panitia. Bisa-bisanya mereka yang baru kelas 10 lebih sibuk dari aku dan Kak Arsyal yang sudah menginjang tingkat 2 dan 3 di SMA. Gak apa-apa, ya, anggap saja kami sedang mengawasi mereka untuk bisa mandiri.
"Bisa-bisanya tersesat ke sini," Kata Kak Arsyal sambil meluruskan kaki dan bersandar ke batang pohon.
"Untung kita engga ketemu monster," candaku, "Kan bahaya kalau ketemu hantu yang ada di novelmu, Kak." Ia tertawa.
"Iya, ya. Untung aja itu sebenarnya cuma ilusi yang sering muncul di pikiran manusia."
"Ilusi yang berdasarkan hal nyata ya, Kak? Kan, jin itu memang beneran ada."
"Betul banget."
.........
"Kak, kenapa ya semakin dewasa, rasanya hujan semakin menyedihkan. Padahal dulu, aku suka sekali main hujan. Hujan itu asyik. Buat anak kecil, hujan itu adalah hal terbaik, kan?"
Kak Arsyal mengeluarkan sketchbooknya, membuka halaman pertama lalu menunjukannya ke arahku, "Elsya lihat apa disini?"
Kupandangi lamat-lamat lukisan itu, "Ini lagi hujan, Kak?"
"Kenapa mengira lagi hujan?"
"Soalnya ada anak kecil yang pakai payung." Kataku, "Tapi airnya bukan dari langit. Dari hatinya, ya? Pasti hati anak itu lagi badai."
Kak Arsyal tersenyum, "Itu Elsya paham." aku tertegun, dia melanjutkan, "Hujan itu memang hal paling baik untuk anak kecil. Meskipun kadang, hal-hal paling baik itu bukan untuk bermain dan tertawa. Tapi untuk mengeluarkan emosi kita."
Aku tahu sejak awal dia tidak memikirkan hal yang sama. Aku juga tahu bahwa pendapat itu adalah salah satu pemikiran yang tidak akan pernah disetujuinya. Saat kecil, Kak Arsyal sering sekali hujan-hujanan, supaya tangisan dan jeritan dia tidak terdengar. Kalau lagi marahan sama adik-adiknya, lalu orangtuanya balik memarahi dia, Kak Arsyal hanya akan keluar lalu bermain hujan. Dan meluapkan emosinya di sana. Begitulah yang aku baca dari catatan yang sempat ia pinjamkan.
Tapi selama kami mengenal, sekali pun dia tidak pernah mengatakan 'tidak' atau 'bukan'. Kak Arsyal selalu menghargai pendapatku, mengatakan "Wah aku baru tau hal itu, awalnya yang aku tau hanya ...." atau "Sepertinya iya juga, tapi aku berpikir yang berbeda. Mau tau gak?". Iya, dia Kak Arsyal. Laki-laki paling manis yang selalu membuat aku merasa tenang bisa hidup di semesta ini.
0 notes
askarasa · 5 years ago
Text
Jika aku merindukanmu
suatu saat, atau sekarang
Jika aku merindukanmu
Setiap hari atau sesekali
Maka aku hanya perlu membuka buku
Dan membaca catatan-catatan kecil dari pena-mu
Jika aku merindukanmu
Sesekali atau berkali-kali
Maka aku tinggal mengambil gawai
Dan menatap setiap untaian kata pada takarir gambar di media sosial
Jika aku merindukanmu
Suatu saat, atau sekarang
Maka aku tak perlu risau sebab kau telah diabadikan oleh tulisan
Aku mungkin telah kehilangan jejakmu selama bertahun-tahun
Tapi aku tak pernah melewatkan cerita hidupmu barang sedetik pun
Kak-
Terima kasih karena tetap menulis
Terima kasih untuk tetap menuai senyum pada setiap kata yang kau ukir di layar maya
Yang tak pernah selesai menggamit nyawaku dalam kisah-kisah fantasi
Atau kalimat-kalimat yang keluar sebagai curahan hari-harimu
Yang terpenting,
Aku tak akan pernah kehilanganmu
Meski aku rindu
Suatu saat
Atau sekarang
~~~
'Aileen, 2020
0 notes
askarasa · 5 years ago
Text
Langit Jakarta dan Kita
#part1
Pintu hotel terbuka, kuhirup banyak-banyak udara sejuk yang keluar dari pendingin ruangan. Tak terbayangkan sebelumnya kalau Jakarta bisa sepanas ini. Keringat yang mengucur deras nampaknya juga karena aku kalut mencari alamat hotel, berjalan sendirian dari arah stasiun karena ketinggalan rombongan penjemput. Huft, ini karena jadwal kereta dari Bandung terganggu sejak malam kemarin.
Seorang pria dewasa dengan tanda pengenal "Kakak Pembimbing" menghampiriku sambil tersenyum, memberikan sebungkus tisu yang sudah terbuka.
"Panas ya?"
Aku nyengir canggung. Mengambil tiga lembar tisu lalu mengucapkan terima kasih.
"Nama adik siapa?"
"Elsya, Kak,"
"Ah, lomba cipta cerpen, ya?"
Aku mengangguk semangat. Beliau ikut tersenyum.
"Hai, kenalin aku Rendi, kakak pembimbing kamu di sini. Jadi dari enam puluh finalis, dibagi menjadi sepuluh kelompok dengan sepuluh kakak pembimbing. Teknis selanjutnya nanti saja saat pembukaan, ya. Sekarang mamu langsung ke aula aja, sebentar lagi ada pembagian kamar."
Sambil menarik koper kuikuti langkah Kak Rendi. Dekorasi hotel ini sangat mewah. Berkali-kali aku bersyukur pada Tuhan karena memberikan kesempatan terbaik di bulan bahasa tahun ini. Terpilih menjadi dua puluh besar finalis cipta cerpen dari seluruh Indonesia akhirnya membawaku sampai ke Jakarta. Kegiatan ini adalah hasil kerjasama antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Komunitas Sastra Nasional, serta salah satu penerbit terbesar yang ada di tanah air untuk pelajar-pelajar SMA yang memiliki minat pada sastra dan bahasa.
"Silakan duduk, Elsya."
"Terima kasih, Kak Rendi! Semangat ya!"
Beliau tertawa kecil lalu melangkah menuju belakang panggung. Aku duduk dengan perasaan bahagia. Panggung yang terpampang di aula ini begitu mengagumkan. Kulihat pula sekeliling, sudah ada beberapa anak, mungkin hampir seluruh finalis sudah datang.
"Elsya!"
Aku menengok ke samping kiri, beberapa anak sedang berkumpul dan melambaikan tangannya padaku.
"Sini!"
Aku menurut saja meskipun heran mengapa mereka tahu namaku, kenalan secara langsung saja belum, hehe. Tapi kuyakin mereka adalah orang-orang yang sering kusapa via media sosial. Setelah mendekat, akhirnya aku bisa mengenali mereka sedikit-sedikit.
"Fath, ya?" Tanyaku pada anak yang tadi memanggil, ia tertawa dan mengangguk.
"Lucu banget ih kamuu!"
Aku ikut tertawa. Tidak usah heran mengapa kami bisa saling mengenal, sebab sejak pengumuman finalis terpikih bulan lalu, kami langsung membuat grup chat di media sosial. Grup yang tidak pernah sepi. Bahkan sejak pagi mereka sudah mengirim pesan "Tolong nanti sapa aku, aku pake baju belang tas biru," "Gais aku yang pake sepatu hitam ya," "Gais pokoknya aku yg rambutnya pendek," dan lain-lain. Rasanya kami sudah mengenal sangat lama dan begitu nyaman untuk saling bersua. Mungkin karena kami menaruh minat yang sama dan tujuan yang sama.
"Sya, coba tebak aku siapa?!" Tanya anak cowo jangkung dengan narsisnya, aku menyipitkan mata dan berusaha menebak.
"Rikoo! Iya gak? Lomba cerpen juga, kan?"
"Pinter!" Katanya mengacungkan jempol.
Aku menjabat satu persatu dari mereka, selain Fath sang finalis komik dan Riko sang finalis cerpen, ada Kak Nara, Inna, Kak Ibal, Yono, dan Farid di bidang komik ; Faree, Tiara, Putra, Kak Syahreza, Kak Faudji, Kak Dhia, dan Rain sebagai finalis cerpen ; serta Dewi, Kak Amel, Kak Ryan, Faren, Cinta, dan Kak Arsyal di bidang puisi. Aku tersenyum lebar ketika menjabat tangan Kak Arsyal, beliau ikut tersenyum teduh.
"Elsya tadi ketinggalan rombongan, ya?"
"Iyaa huhu," Jawabku sedih, beliau terkekeh dan menepuk kepalaku pelan.
Aku terdiam.
2 notes · View notes