Tumgik
ayutyasti-blog · 6 years
Text
Part 5. Hari - Hari Di Kampus.
Ucok, seperti biasanya, dia menyendiri dengan duduk di anak tangga, gedung fakultasnya, dan pada saat yang bersamaan, Rani baru saja selesai kuliah pertamanya, dia baru saja memasukkan buku ke dalam ransel, dan akan segera beranjak berdiri dari kursinya, kemudian Kadek yang duduk di sebelahnya menegur dirinya
"Ketut ingin mentraktir kita di kantin hari ini....", dia berkata dengan semangat.
Notes : part 5 ku updateeeeeeee mau traktiran makan
22 notes · View notes
ayutyasti-blog · 6 years
Text
Part 4 Cerita Hati Ucok Kepada Rani
Ucok, berdiri di tepian pantai, sambil bersedekap, dia mengenakan kaos berwarna biru yang sering di gunakannya, rambut gondrongnya diterpa angin, hingga menutupi sedikit kacamata yang dikenakannya, dia memandang deburan dengan tatapan sayu, dan Rani berjalan perlahan di belakangnya untuk mendekati dirinya.
Kemudian ikut berdiri di sebelahnya, sambil ikut menatap gelombang, dia mulai ingin mengatakan sesuatu yang ingin diucapkannya di mulutnya.
"Ucok, aku bisa merasakan apa yang menjadi derita dalam hidupmu, dan kamu tahu aku berbeda dari Kadek atau teman lainnya....., dalam menilai dirimu, aku tidak memandang apa yang terlihat dari luar, aku sangat memahamimu....", Rani berkata pelan.
"Aku berharap, aku akan gila dengan beratnya hidupku ini, dan Allah lebih mengasihiku karena aku kehilangan akal warasku.......", dia berkata dengan nada suara gusar.
"Aku ingin benci pada hidupku sendiri......", dia meneruskan kata - katanya.
"Ucokkkkk....., jika kamu membenci dirimu sendiri, kebencian itu justru akan membuat duri yang kamu tanam sendiri, kamu sudah terluka, jangam kamu malah lukai dirimu sendiri, tidak sanggup hatiku melihat ini.....", Rani berkata dengan nada suara cemas.
"Ran...., aku memang orang gila, yang hanya selalu sendiri", perkataan Ucok, membuat air mata Rani menetes.
"Ucok, jangan pernah menghakimi dirimu sendiri, biarlah mereka berkata apa, karena hati tidak semua akan mampu melihatnya, kecuali seseorang yang mau menyelaminya", ! Tegas Rani dengan terengah.
Meskipun seorang sahabat, dan tidak lebih dari itu, perasaan yang dimiliki Rani, amatlah besar kepadanya.
Rani, bukan mengasihinya, tapi tidak sanggup melihat penderitaan orang lain, kadang apakah dengan berdoa segalanya belumlah cukup, semua yang di butuhkan dalam hidup tifak hanya itu saja melainkan keinginan menjalani hidup.
Pasrah, adalah salah satu jalan, dimana waktu telah menyesatkan dan berserah kepada Tuhan, agar semua jalan dapat dimudahkan.
dia masih mengingat kata - kata itu, mungkin Rani sendiri adalah orang yang hampir gila, karena dikucilkan oleh keluarganya, dulu meskipun sekarang tidak.
"Ucok, aku juga sebenarnya seorang mualaf, aku dan keluargaku, pada awalnya aku di asingkan oleh sanak saudara, aku dan orang tuaku, hanya terperangkap dalam sepi tidak memiliki siapapun dalam hidupku, tapi Allah membuka pikiran mereka, membiarkan aku dan orang tuaku beribadah dengan cara Islam, meskipun mereka tidak. Mereka tetap pergi ke Pura segimana yang diajarkan oleh agama Hindu...", Rani berkata panjang lebar.
"Akhirnya, memang mereka mau menerima perbedaan kami, sanak saudaraku dengan keluargaku....", Rani bercerita panjang lebar, dan kisah itu membuat terperanga mendenhar kisah tersebut.
"Jadi kamu.....", ? Dia bertanya heran.
"Yah, aku seorang mualaf....", dia mengangguk halus.
Next part 5 yah dan masih sampai part 30 dan 31
33 notes · View notes
ayutyasti-blog · 6 years
Text
Part 3 Cerita Hidup Rani.
Rani sendiri, sebenarnya memiliki kisah hidupnya sendiri, yang sama beratnya dengan Ucok, tidak mudah baginya, yang awalnya keluarganya beragama Hindu, memutuskan untuk masuk Isla, dan Rani mengenakan Hijab, sebagian keluarga mencerca mereka, yang masih memeluk agama Hindu, bahkan satu diantaranya memusuhinya, pada awalnya, dan awalnya pula mereka di singkirkan oleh mereka, karena sudah tidak pergi ke Pura, lagi bersama mereka
Tetapi kebahagiaan, yang dimiliki oleh Rani, adalah akhirnya dia mendapat pengakuan dari mereka semua, jika memang keimanan itu adalah hal yang paling kuat untuk Rani dan keluarganya untuk memeluknya.
Hidup Rani, tidak begitu menderita seperti Ucok meskjpun ia pula pernah mengalamj masa pahit, tetapi pahit itu tidak banyak di lewatinya, tidak banyak aral yang melintang di hadapannya.
Tuhan lebih menyayangi hidupnya, untuk tetap bisa bebas dari belenggu hitam, sedangkan Ucok, tetap terjebak mau sampai kapanpun kakinya melangkah.
Dan yang sulit diakui, itu adalah ibu dan kakak perempuannya sendiri yang melakukannya, Ranj baru saja masak dan Nurhayati ibunya, menghampirinya kearah dapur, dia tersenyum disana, dan dapur tersebut menghadap kearah pantai Kuta yang indah, sama seperti kamar miliknya.
"Lagi masak apa, anak mama yang cantik", ? Dia bertanya
"Hanya sayur kangkung", Rani menjawab datar sambil menengok kearah wanita tersebut
Nurhayati, bersedekap sambil, mengamati kagum putri satu - satunya itu, dan Kurdi baru saja pulang dari Pasar Sukawati, dan memperlihatkan senyuman lebar kearah, anak perempuan tersebut.
"Wow, rupanya ada ibu calon rumah tangga disana", dia memuji Rani.
"Yah, sifatmu sesuai namamu yang diberikan oleh mamamu nak, Maharani....", Kurdi meneruskan kata - katanya.
"Banyak yang mengatakan indah sekali namaku, namun aku merasa biasa saja", Rani ikut menyahut.
"Secantik dirimu juga, pada saat mengenakan hijab, kamu tahu nak, aura kecantikkan seseorang terpancar pada saat mengenakan hijab", Nurhayati ikut berbicara, dulunya pada saat dia belum memeluk Islam, namanya adalah Sri Devi, namun pada saat sudah menjadi seorang mualaf, namanya diganti menjadi Nurhayati, meskipun nama depannya tidak dihilangkan, dia sudah dengan ikhlas, sepenuhnya akan menyembah Tuhan yang satu yaitu Allah, bahkan keluarga itu, meninggalkan Pura, demi melakukan sholat di mesjid, hidayah ini diterimanya pada Nurhayati dan Kurdi baru saja menikah, dulunyapun Kurdi bernama Nyoman.
Kala itu, sepasang suami istri, sedang berjalan, di pesisir pantai Kuta, dan disana ada sebuah rumah yang terdengar seorang membacakan Al Quran, suaranya terdengar merdu, hingga nyaring sampai ke pelosok pantai.
Pada akhirnya, sepasang suami istri tersebut, tergerak hatinya karena panggilan Tuhan, untuk memeluk islam, air matapun menetes di kala dengan sukarela, meninggalkan apa yang telah dimilikinya selama ini, meski harus mengorbankan hati sekalipun.
Sulitnya menerima, pengakuan keluarga yang masih beragama Hindu, jika mereka telah mengislamkan diri mereka.
Namun cobaan itu, tidaklah lama, akhirnya mereka semua mau mengakuinya, menerima kenyataan jika hanya keluarga Rani yang pergi mesjid untuk lebaran, dan mereka pergi 0ke Pura pada saat hari nyepi, menjadi yang berbeda daripada yang lainnya.
Sederhana, namun bahagia, karena tidak banyak pelik dalam hidup Rani, seperti yang dialami oleh Ucok
Meskipun dalam kehidupan pribadipun, ekonomi mereka rendah, Rani bisa masuk kuliah, karena biaya dari hasil tabungannya sendiri, yang sering rajin menabung, di kala dia mendapay songkongan darj pihak sana saudara, yang awalnya membenci mereka, tetapi akhirnya mengasihi mereka.
Akhirnya apa yang dibuat oleh Rani, sudah jadi dia tinggal menaruhnya di dalam mangkok besar, dan menyediakannya diatas meja, sambil menutupinya dengan tudung saji, lalu masuk ke dalam kamarnya, untuk merapikan pakaian di dalam lemari, yang masih berantakkan sejak tadi pagi.
Dan Rani mulai menaruhnya di keranjang, cucian lalu mulai mencucinya, disana pada saat yang bersamaan berkalj - kali Ucok menelepon dirinya, namun Rani tidak mendengar bunyi telepon sama sekalj, karena ssdang berada jauh dari kamar.
Dan setelah selesai, mencuci dia baru saja kembali ke dalam kamarnya, dan menunggu Rani di pantai Kuta, itu adalah pesan whatsapp dari Ucok.
Terlihat dari kata - katanya, ada kisah yang ingin dituturkannya kepada Rani, kisah yang sedang baru saja di hadapinya, setelah selesai sholat maghri Ranipun menemui sahabatnya itu.
Part 4 Cerita Hati Ucok Kepada Rani
7 notes · View notes
ayutyasti-blog · 6 years
Text
Part 2 Rani Dan Ucok 2
Kata - kata Badria, hanya membuat perasaan Ucok, teramatlah sakit, apalagi melihat sikap Alika yang sama congkaknya
"Lagipula, kuliah itu hanya kesampingan saja, bukan nomor satu", perkataan sombong yang terlontar dari mulut Alika, membuat Ucok semakin menahan perih di hatinya, dia tidak menjawab apapun dan masuk ke dalam kamarnya, duduk dibawah ranjangnya sambil menatap kosong kearah pintu perasaan itu tidak bisa ditahannya lagi, namun dia tetap berusaha agar tidak menjadi anak durhaka, walau kenyataan pahit yang diterimanya.
"Laipula, kuliahmu, dibayai oleh mamak. Hanya untuk kesampingan saja, dan tidak begitu penting mamak hanya ingin menuruti keinginanmu saja untuk kuliah", kata - kata Alika terdengar dari luar pintu kamar, Ucok, dja memegang dadanya perih mendengar semua itu, apa artinya memiliki segalanya jika tidak bahagia.
Jika saja memiliih untuk, tidak meneruskan hidup, adalah bukan pilihan yang tepat, Tuhan pastikan akan memberikan dosa yang setimpal untuk Ucok.
Kadang tersirat, rasa iri kepada Rani, sahabatnya meskipun dia hidup sederhana, dibanding Ucok, tapi bisa lebih bahagia, sungguh kebahagiaan itu adalah hal yang sederhana bukan yang berlebih - lebihkan.
Rasanya, sulit untuk menerima kenyataam hidup yang sangat pahit, dia teringat akan tugasnya, dan Ucok mulai mengambil buku sketsa, percuma juga tidak ada yang mengingatkan karena tidak pernah ada yang peduli juga akan keadaannya, Badria hanya memberikan materi kepadanya, karena memiliki segalanya, tetapi bukan hidupnya, Badria hanya memerhatikan dirinya, secara adat yang berlaku dalam keluarga. Laki - laki harus menikah, dan di jodohkan dengan sepupunya, tetapi bukan nasib dirinya.
Dia mulai memegang pensi, dan menggambar disana, Alika membuka pintu kamar, tanpa bertanya dulu, apa yang sedang di lakukannya, meskipun dia melihatnya.
"Kak, kau tidak mau makan, atau kau mau mati.....", perkataannya terdengar kasar di telinga Ucok, namun dia tetap berusaha sabar menghadapinya.
"Sebentar lagi", dia menjawab singkat, pintu terdengar di tutup kembali dengan suara agak keras, itu membuatnya semakin merasakan perih yang dalam sanubari dan menusuk dirinya, Ucok mulai mengambil warna yang tergeletak di sebelahnya, dan dia mencoretnya dengan halus, segala perasaannya yang di tuangkan disana.
Pada saat itu, juga dia mendapat pesan whatsapp dari Berlian, dan bunyinya adalah mengajak dirinya jalan - jalan nanti malam.
"Cok, nanti malam jam tujuh, aku ingin mengajakmu ke Dreamland Beach", dengan perasaan agak malas - malasan, Ucok membalasnya singkat.
"Oke", sesungguhnya dia mau melayani perempuan itu, hanya karena Badria, entah dari dulu, Ucok pula tidak sanggup memberontak, meskjpun prilakunya tidak sesuai keinginannya, di tambah Alika, kakak perempuannya yang justru ikut - ikutan, tidak ada yang bisa membelanya, Ranipun hanya mampu menguatkan dirinya.
Di kampus, dia malah di jauhi, dianggap aneh karena sering menyendiri, padahal hal itu di lakukan, karena ancaman Badria, yang tidak akan peduli jika ada teman yang menelepon kerumahnya, dia tidak akan sungkan - sungkan memperlakukannya kasar, meski apapun masalahnya, sudah banyak tidak hanya teman perempuan, teman laki - lakipun juga sama mengalaminya.
Kini nasib dipikulnya sendiri, teman satu - satunya di kampus hanya Rani yang bisa mengerti keadaannya, dia lebih dari seorang sahabat melainkan saudara.
Bayangan itu muncul di mata, Ucok tiba - tiba saja, sempat dia ingin menjauh dari Rani, pada saat gadis itupun pernah terkena dampak akan kisah hidupnya, dia menghubungi Ucok melalui Hpnya, namun Berlian yang mengangkatnya, nasib memang sedang tidak mujur padanya.
"Halo Ucoknya ada", ? Rani bertanya
"Aku kekasihnya...., ini siapa yah. Jangan ganggu calon suami orang, ", ! Suara kasar terdengar disana.
"Heyyy kamu, jangan pikir aku ini perempuan tidak tahu diri yah, aku hanya memberikan tahu tentang tugas kepada Ucok, paham....", ! Tegas Rani.
"Alahhhh...., tugas apa, aku tidak peduli", suara teleponpun ditutup dengan keras, betapa dunianya sungguh tidak ada yang mau tahu, kehidupannya sendiri, bahkan sampai masalah kuliah sekalipun, pergaulan dengan teman - temannya, mereka hanya mementingkan keinginan mereka sendiri.
Dia hanya hidup sebatang kara jadinya, di kampuspun tidak ada yang peduli, Ucok melirik kearah jam dinding, sudah menunjukkan pukul dua siang, dan dia pergi ke ruang makan, pikirannya berkelut pada hidupnya.
"Yah perasaan orang lain, jika di perlakukan semena - mena, sudah pasti mereka jengah dan itu yang dialami oleh temanku semua di kampus, hingga aku dikucilkan, karena memiliki keluarga yang wataknya seperti ini", dia berpikir akan dirinya sendiri.
Di luar jendela, dekat ruang makan dan dapur, menghadap kearah jalan raya, dan disana dia melihat segerombolan anak muda, yang sedang jalan bersama tiga orang temannya, dan terlihat mereka sangat bahagia, dan itu yang tidak dimiliki olehnya, air matanya menetes membayangkan hidupnya sendiri, yang hanya berteman dengan Rani. Namun sangat besar hati gadis itu yang mau menerima keadaannya, dan berpikir positif tentang dirinya, tidak seperti yang lain.
Rani yang sedang berada di rumahnya yang sederhana, di daerah Kuta, baru saja menonton Tv, dan mendapat pesan whatsapp dari Ucok.
"Kamu adalah orang paling beruntung sedunia", kata - katanya membuat hening, namun terbuyar oleh suara ketukan pintu dari luar, sahabatnya Kadek datang kerumah, untuk berdiskusi tugas bersama.
"Kadek, aku baru saja santai...", Rani membukakan pintunya sambil berkata.
"Aku ingin mengajakmu, untuk berdiskusi tugas makalah tadi pagi, dan jujur kadang kala aku juga melihat agak sikap anehmu, sejak bergaul dengan Ucok anak jurusan seni lukis itu", Kadek memberikan pendapatnya.
"Jangan bilang kamu ketularan aneh.....", dia meneruskan kata - katanya.
"Dia tidak seperti yang kamu kira Kadek, meskipun keluarganya begitu", ! Tegas Rani memelankan suaranya.
Keduanya masuk ke dalam rumah, dan membahas tugas itu bersama, sambil mengobrol pada saat mengobrol, ingatannya kembali kepada sahabatnya tersebut yang menyebut dirinya orang paling beruntung sedunia.
Kadang kala, memang ada orang yang sudah diberikan Tuhan berlimpah, namun dia tetap tidak bisa menikmatinya karena kelam hidupnya, dan itu adalah Ucok.
Akhirnya, Kadek berpamitan untuk meninggalkan rumah, tepat pada saat itu waktu sholat Ashar, Rani segera mengambil air wudhu, dan melakukan sholat dengan khusyuk begitu adzan terdengar, pada usai sholat, dia mendoakan Ucok agar tetap bisa merasa bahagia, walau sebenarnya tidak dalam hidupnya.
Malam harinya.....
Ucok, sedang bersama Berlian, gadis itu terlihat manis, namun hatinya bagai serigala, dia mengajak Ucok mengobrol tanpa memperdulikan dirinya, dan apa yang sedang di rasakannya saat ini, pada saat bersamanya.
"Kapan kau akan melamarku, jangan buat mamakmu pusing", dia menasehati dirinya, tanpa peduli apa yang di rasakan sebenarnya oleh Ucok.
"Aku ingin selesaikan kuliahku dulu", dia menjawab lesu.
"Ha....ha....ha, kau ini lucu masih mementingkan pendidikan, padahal mamak kau bilang, dia membiayai kuliahmu, untuk mendaftar di kampus itu, hanya karena menuruti keinginanmu, karena baginya uang adalah segalanya meskipun itu tidak penting, karena kau adalah anak laki - laki satu - satunya, jadi apa salahnya dituruti walau tidak penting, karena yanh terpenting adalah menikah, dia hanya ingin menghamburkan uangnya saja", kata - kata Berlian, membuat jantung jiwa Ucok tertusuk amat dalam.
Matanya, mulai melihat ingin melawan dirinya, dia sudah mulai memandang tajam dirinya, tapi di redupkan lagi, jika tidak mungkin ada pembelaan untuknya, Berlian sendiri, adalah anak keluarga Sitohang, keluarga sahabat keluarga Ucok yaitu Siahaan, dan ibu Berlian, Wanda adalah sahabat baik Badria, jadi tidak mungkin akan membelanya, mereka semua adalah orang yang sama, dan meskipun Sitohang orang sederhana, mereka sangat dihormati oleh orang - orang yang mengenalnya.
Tangannya yang mulai, mengepal di urungkannya lagi, dan gadis itu semakin tertawa penuh kemenangan.
"Ha.......ha.....ha, "
"Kau tidak mungkin akan melawanku, karena jika melawanku, kau akan jadi anak durhaka bukan, ingatlah kutukan seorang ibu....", kata - kata Berlian, membuat Ucok hanya mampu tertunduk di depannya tanpa menjawab apapun kata - katanya, dan membalas dirinya.
"Sudah malam, aku antar kau pulang, setelah itu aku mau sholat isya, hanya Allah yang tahu terbaik untuk umatNya....", dia berkata lembut.
"Alahhhhhh....sok alim kau ini, ayolah pulang", Berlian menyergah kalimatnya dan mereka berjalan pulang kerumah masing - masing.
5 notes · View notes
ayutyasti-blog · 6 years
Text
MAHARANI
Genre : Romance
Sinopsis : sosok gadis berhijab meskipun dia seorang gadis Bali dengan wajah manis bernama Maharani dan dia biasa disapa Rani, memiliki sifat yang lemah lembut, segala apa yang ada dalam dirinya nyaris sempurna. Sejak kuliah, Rani memiliki sahabat laki - laki bernama Ucok laki - laki asal Medan, yang memiliki sifat misterius namun hanya Rani yang memgetahuinya, seiring berjalannya waktupun perasaan persahabatan antara Rani dan Ucok telah berubah menjadi cinta, namun Ucok bukanlah orang yang tegas dalam pilihan hidup, sampai akhirnya Rani dipertemukan oleh Awwut Dang, seorang fotografer asal Thailand yang sedang berkunjung ke Bali. Cinta bukan lagi masalah terlambat untuk bisa menyadari tentang siapa yang sebenarnya di takdirkan Tuhan, melainkan tentang perbedaan keyakinan, serta yang tidak dipilih bukanlah jodoh rencana Tuhan.
Part 1 Persahabatan
Rani dan Ucok, memang selalu bersama - sama, mereka dua sahabat dalam satu kampus,
meskipun berbeda jurusan, Rani mengambil jurusan Tari, dan Ucok seni lukis, gadis ini meskipun dia berasal dari Bali, dia memakai hijab, karena dia adalah seorang muslimah, sorot matanya yang tajam.
Memang membuat laki - laki menjadi terpaku, hari Rani, baru saja selesai mata kuliah praktek pada jam sepuluh, dia berjalan kearah, Gedung Manik, sambil menyandang ranselnya, langkahnya perlahan sambil menatap kearah depan, dari belakang seorang laki - laki berkulit sawo matang, dengan rambut dibelah kesamping kanan, dan mengenakan kaos berwarna hita, serta bertubuh tinggi, nampak sedang mencarinya, matanya mencari kearah sebelah kanan lebih dulu, lalu pada akhirnya dia melihatnya sedang berjalan disana, dan duduk sambil menatap hamparan hijau rumput.
Mahasiswa yang menempuh tingkat semester lima keduanya ini, akhirnya mereka saling bertemu, Ucok menghampiri dirinya dan duduk di sebelah kanannya.
"Asalamualaikum", dia menyapa ramah.
"Walaikumsalam", Rani membalasnya sambil tersenyum, mata Ucok seakan memperlihatkan hal yang jngin di ceritakan di dalam hatinya, suatu beban hidup yang hanya Rani mengetahuinya, meskipun tidak banyak tapi Rani sudah mampu menangkap masalah yang di hadapinya dan menyimpulkannya.
Ucok, adalah sahabat terbaik Rani, sikapnya memang agak misterius, dia pula kadang cenderung introvert, lebih sering menyendiri, ketimbang mengobrol bersama teman lainnyam kecuali Rani, karena hanya kepadanya Ucok bisa membuka isi hatinya.
Tidak banyak yang tahu, mengetahui kisah hidup Ucok, mereka juga tidak ada yang mau berteman dengan Ucok, karena masalah keluarga yang di hadapinya, mereka menganggap Ucok orang yang aneh, karena orang tua Ucok Badria, yang tidak pernah peduli dengan kehidupan sosialisasi Ucok, sikapnya tidak peduli, jika kehidupan Ucok diluar sana tetaplah bergantung kepada orang lain entah itu seorang gadis atau laki - laki, semua berlangsung sejak ayah Ucok tiada.
Pengekangan dirinya, yang membuat dia tidak punya teman lain, selain Rani yang hanya bisa mengerti dirinya, dan melihat Ucok dari segi positifnya.
"Rasanya untuk apa aku kuliah, yang hanya membuang ongkos saja", Ucok mengeluh akan dirinya sendiri.
"Jika saja kita sedang menatap langit seperti ini, yang menjadi pertanyaanku, apakah Allah, bisa menunjukkan keadilannya untuk hidupku", Ucok meneruskan kata - katanya.
"Allah itu maha pemurah cok, dia tahu yang terbaik untuk umatnya", Rani berkata dengan lembut dan sabar.
Laki - laki itu hanya diam saja mendengarkan kata - kata seorang sahabat baiknya, bagi Ranipun tidak banyak orang yang seperti dirinya, sesungguhnya Ucok memiliki hati seorang malaikat yang tidak bisa dilihat oleh siapapun, kecuali seseorang yang mau mendekati dirinya menjadi teman, dan akhirnya menembus kisah hidupnya, dja penyendiri tapi karena memang tidak punya teman, teman di kampus, hanya sekedar bertegur sapa kepadanya tidak lebih dari itu, tidak mau ada yang mengajaknya mengobrol.
Beruntunglah Rani, yang terlahir sebagai sosok gadis yang sebaliknya memiliki banyak teman, meskjpun dia dari keluarga yang sederhana, ibunya seorang penjual suvenir di Pasar Sukawati dan ayahnya, hanya seorang pembersih WC di hotel daerah Kuta Beach, sempurna, meski sederhana, Ucok sendiri mengalami hal demikian, sejak dirinya juga dijodohkan oleh Berlian, keluarganya masih terpaku dengan adat, meskipun sudah lama meninggalkan Medan, dan tinggal di Kuta Bali.
Berlian sendiri, adalah gadis yang jatuh cinta dengannya, karena sosok Ucok yang istimewa, dia memiliki sifat yang misterius, akan kisah hidupnya sendiri, tapi perhatian dengan orang lain, bukan hanya itu Ucok sendiri, bisa menempuh pendidikan sampai kuliah, karena orang tuanya yang mampu membiayai dirinya, sedangkan Berlian hanya mampu tamat SMA saja, kalau mau kuliah dia harus bekerja dulu.
Bukan hanya itu, wajar saja Ucok sendiri, terbilang dari keluarga yang mampu, rumahnya di Kuta itu besar, meskipun dia menderita di dalamnya.
"Aku mengerti tidak ada yang memperdulikan keadaan dirimu...", Rani berkata halus.
"Tapi ada yang lebih perduli daripada keluargamu, yaitu Allah", Rani meneruskan kata - katanya.
"Tapi bagaimana dengan Berljan, dia juga sama dengan mamakku....", Ucok memotong dirinya bicara.
"Dan mestinya kamu tidak pernah mengenalku sebagai sahabat sebelumnya", Ucok meneruskan pembicaraannya.
"Aku mengenalmu karena Allah, mestinya kamu bisa melawan mereka", Rani menasehati dirinya.
Dan ingatannya seakan tergiang oleh sikap Berlian juga kepadanya, Rani melirik kearah jam tangannya, sudah menunjukkan pukul dua belas.
"Kamu masih ada kuliah jam berapa", ? Rani bertanya, dan Ucok yang sedang melamun sedikit tersentak.
"Nanti jam satu", dia menjawab singkat.
"Kalau begitu, kita makan dulu di kantin", Rani bersemangat mengajak dirinya, lalu keduanya berjalan kearah kantin.
Bagi Rani juga, sebenarnya kelahiran Ucok ke dunia mestinya menjadi orang paling beruntung, dia lebih memiliki segalanya dibanding Rani, mestinya dia harus jauh merasa bahagia dibanding Rani, tapi tekanan hidup yang membuatnya menjadi seperti itu.
Apa yang dimilikinya, dan tidak dimiliki oleh orang lain, tidak bisa dirasakannya, apa rasanya jika seluruh kampus, memandang dirinya dengan memicingkan mata. Ada seseorang laki - laki dan seorang gadis sedang berjalan bersama juga, dia adalah Ketut dan kadek, gadis itu mengenakan kemeja berwarna kuning dan rambutnya dikuncir keatas.
"Kalian baru mau ke kantin", ? Kadek menegur Rani lebih dulu, dan Rani menyimpulkan senyuman kepadanya.
"Iyah, kami baru saja mau menuju kesana", Rani menjawab ramah, dan di saat bersamaan Ketut, menegur Ucok dengan nada suara yang kaku, bahkan Kadekpun memberikan pandangan kaku tidak seramah kepada Rani, pada saat menatap kearah Ucok.
"Kuliah jam berapa nanti", mereka bertanya.
"Jam satu", Ucokpun membalasnya dengan suara acuh.
"Yah sudah kalau begitu, kami duluan", kedua muda - mudi tersebut, melambaikan tangannya kepada, Rani namun tidak kepada Ucok, mereka tidak memperlihatkam gerak - gerik yang ramah dan akrab seperti kepada Rani, keduanya hanya menganggukan kepala dengan Ucok, dengan tersenyum.
Gerak - gerik ini, sangat Ucok rasakan, dia menundukkan kepalanya, namun Rani mengagetkan dirinya, dengan menepuk bahunya.
"Sudahlah tidak usah di pikirkan ayo, kita ke kantin", Rani menyemangati dirinya.
Ucok memberikan senyumannya, sambil mengangguk kepadanya.
"Thanks, kamu sudah menjadi sahabat yang baik", mereka akhirnya melanjutkan langkah kakinya menuju kantin.
Di dalam kantin, ada sebuah bangku panjang, serta meja panjang yang sama - sama berwarna cokelat, di sebelah kirinya ada orang berjualan mie ayam.
"Jadi, tadi kamu sedang menari apa", ? Ucok bertanya kepada Rani.
"Tarian khas Palembang", jawab singkat Rani, sambil memanggil seorang penjual minuman, dan dia datang ke hadapannya.
Tatapan mata Ucok, menyiratkan kisah hidup yang terselubung, hamya seseorang tertentu yang mampu menyelaminya, berbeda dengan Rani, yang peragainya ceria, dan riang hingga mudah ditebak kalau sedang sedih.
"Maaf, hijabmu agak sedikit berantakkan....", Ucok mencoba membantu membetulkannya namun tangan Rani menyergah dirinya, meskipun sifat Rani lebih terbuka dengan orang lain dibanding Ucok, dia tetap menjaga dirinya, sebagai gadis yang belum menikah, untuk tidak bersentuhan dengan laki - laki lebih dalam, sosok gadis yang juga taat beribadah.
"Ucok, kita belum jadi muhrim" , Rani berkata halus.
Sambil menyergah tangannya, kemudian menyedot es teh manis, yang baru saja datang, Ucoj juga baru saja menyuap mie ayam ke dalam mulutnya, tiba - tiba saja terdengar bunyi Hp dari ranselnya, Ucok, membuka resleting bagian depannya, dan mengambil Hp, lalu membuka pesan whatsapp yang ada di dalamnya terdapat dari Berlian, yang bunyinya membuat Ucok terdiam, dengan tatapan kosong kedepan.
"Berlian.....", dia menyebutnya di depan Rani.
"Kamu baca sendiri", Ucok memberikan Hpnya kepada Rani, lalu dia melihatnya sambil menaikkan alisnya.
"Ucok, pokoknya selama di jalan, kamu jangan sampai melihat kanan atau kiri, apalagi seorang gadis...., karena aku adalah calon istrimu", ! Rani hanya mendesah, membaca kalimat tersebut.
"Ucok, menurutku ini terlalu berlebihan, sekalinya kamu melangkah ke dunia luar, yang kamu lihat banyak sekali...., maaf bukan maksudku ikut campur", Rani memberikan nasehat padanya, sambil dia membayangkan awal perkenalannya dengan Ucok dulu, pada saat dirinya sedang di kantin.
5 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Buat readers udah masuk ke wattpad saya @ayuntyas di follow yah disana ada cerita bugis street tapi maaf kalau masih revisi oh yah saya novel ini juga ada seri 2nya lhoo tapi kalau mau ini potongan cerita bocorannya tapi maaf hanya begini karena saya masih mengerjakan revisi novel pertama saya ini.
9 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
(Outline novel ) BUGIS STREET seri II ( Misteri Yang Masih Tersisa )
Genre : Romance
Sinopsis : lanjutan dari seri pertama dimana pada akhirnya Katherine tetap mempertahankan cintanya dengan Adi daripada memilih Peter yang justru menyeretnya ke dalam luka lama yang membuatnya kembali menjadi orang yang pasif menutup diri dengan laki - laki lain
Tetapi Adi datang mengubah kehidupannya dari masa lalu. Sekarang mereka telah memasukki umur pernikahan dua tahun dan Katherine telah di karuniai seorang anak laki - laki berumur tiga tahun tetapi misteri yang dulu pernah tersimpan masihlah tetap menjadi sebuah teka - teki tidak terpecahkan, Katherine dan Adi yang kini tinggal di Perancis mereka melupakan semua yang belum terkuak dari Peter.
Apakah Peter benar - benar akhirnya menerima cinta Adeline karena menyerah untuk mendapatkan Katherine?
Part 1. Pekerjaan Baru
Adi kini telah berumur dua puluh lima tahun, selama tinggal di Kota Paris, dia bekerja sebagai desainer untuk label perusahaan butik, diantara sudut - sudut kota yang terlihat indah dengan bangunan - bangunan kuno, dia memandang pemandangan itu dari lantai empat kantornya di cafetaria pada jam makan siang, sambil menyeruput kopi sekedar menghangatkan badan karena Paris sangat dingin, apalagi saat ini menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Kehidupan yang dulu waktu masa kuliah menjadi impiannya selama pernah hidup di Singapura kini terwujud di negara ini, dia sudah bisa membelikan rumah yang lebih bagus untuk emak dan bapaknya di Jakarta, serta Gitapun sekarang kabarnya sudah ada laki - laki yang mau serius menjadi calon suaminya tidak menyangka jika orang itu adalah Galih, tetangga mereka waktu masih tinggal di gang, karena sekarang keluarga Adi sudah tinggal di komplek perumahan di kota Jakarta walau bukan kawasan elite.
Adi menaruh cangkirnya, ketika melihat ada seseorang menghampirinya untuk duduk bersama dengannya, dia seorang pria bernama Achille Roberto, penampilannya terlihat sosok yang menawan dengan kemeja biru dan celana hitam yang dikenakannya dan tubuh tingginya lengkap dengan rambut cokelat tuanya yang disisir belahan rambutnya kesamping kanan.
Selama berada di Paris, Achille adalah rekan kerja Adi yang sangat dekat, sifatnya memang tidak sama dengan Nino sahabat Adi waktu kuliah dulu apalagi Jaki waktu SMA dulu juga.
Achille terlihat memiliki sifat yang berwibawa dan lebih dewasa dari mereka semua.
"Adi, alos quen il de noves", ? Achille bertanya padanya dan Adi hanya mendongak sambil tersenyum.
"Fine Achille, sejak kami menikah, dalam rumah tangga kami sama sekali tidak ada pertengkaran sedikitpun" Adi menanggapi dengan ramah.
Achille terkekeh perlahan sambil menyuap kembali Croissant ke dalam mulutnya
Adi menyelesaikan makanannya kemudian kembali mengobrol dengan Achille, sambil berdehem sejenak. Je suis content de ce nouvel emploi ", Adi memulai ceritanya untuk mengobrol.
" Karena kamu tahu, gaji disini bisa membuat diriku membelikan rumah yang lebih bagus kepada keluargaku di Jakarta. Tapi aku tidak akan melupakan masa laluku juga siapa aku yang dulu ", Adi meneruskan perkataannya.
"Kamu tahu Mr Ansel Thomas sangat mengagumi, hasil prestasimu waktu kamu menempuh pendidikan di Singapura, katanya di Universitas ternama itu kamu bisa mendapat gelar coumlaude dan itu luar biasa" , Achille menanggapinya dengan berkomentar memuji dirinya.
"Ah......, kamu terlalu berlebihan memujiku Achile, Jaki teman SMAku dulu, juga pernah bersikap yang sama seakan aku ini Dewa...", Adi berkata sambil menarik pelan lalu membuangnya dari mulut.
"Ces,t la realite" Achille tersenyum padanya. Setelah lama mengobrol Adi melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, dia beranjak dari kursinya untuk meninggalkan cafetaria dan kembali ke ruangannya.
Langkah kakinya menuju lorong diantara deretan ruangan kemudian berjalan kearah lift di depannya dan menekan tombol untuk naik keatas dan setelah pintu lift terbuka dia masuk ke dalam dan menekan tombol lantai tiga.
"Aku tidak mengiranya jika lamanya aku mengikat janji suci padamu Katherine ini adalah hasil dari cinta yang ku pertahankan dan ku perjuangkan kepadamu. Kalau bukan karena MRT itu mungkin kita tidak pernah menjadi seperti saat ini" Adi berkata dari dalam hatinya selama berada di dalam, oada saat pintunya terbuka kembali Adi langsung keluar dan menuju ruang kerjanya.
Disana terdapat jendela yang menghadap kearah pintu serta meja berwarna cokelat dan kursi berwarna hitam, disampingnya ada sebuah kalender kecil serta telepon.
Adi membuka laptopnya sambil sejenak menghela nafas untuk memulai membuat desainnya lagi, tangannya mulai memainkan mouse di samping kiri laptopnya dan menggerak - gerakannya.
Matanya menatap fokus kearah layar dengan sangat fokus, sampai tiba - tiba saja Adi mendengar ketukan dari luar membuatnya mengeluh karena terpecah pusat pikirannya.
"Siapa lagi itu...."?
"Come" Adi berkata dari dalam dan seorang wanita membuka pintunya, dia mengenakan kemeja berwarna cokelat tua serta celana hitam, tubunnya terlihat ramping tinggi serta rambut pirang lurusnya di kuncir ke belakang, dia memegang map berwarna merah yang di letakkan di dadanya.
"I just wanted to give you map for the meeting at three in the clock ", ! Dia berkata dengan tegas.
Wanita tersebut bernama Agathe Lambert, dia terdiam untuk menunggu jawaban dari Adi.
"Ok, I will go", Adi mengangguk, dan menyuruh Agathe untuk menaruh mapsnya diatas meja kerjanya.
"Monsiur Adi, de laisse votre chambre de a bord puis" Dia membungkuk kemudian meninggalkan ruangannya, Adi hanya mengangguk sekali dan melanjutkan mengetiknya, hingga tanpa terasa waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, Adi menutup laptopnya dan meninggalkan ruangan, untuk menuju ke ruangan rapat.
Dia berjalan menelusuri lorong dan masuk ke dalam lift, dan setelah di dalam tangannya menekan tombol angka lima, kemudian lift itu terbuka, Adi masuk ke dalam ruangan yang ukurannya besar di tengahnya ada sebuah meja panjang berwarna cokelat, lengkap dengan vas bunga di tengahnya serta kursi yang berderet panjang diantara kanan dan kirinya, satu tangan Adi memegang maps yang diberikan oleh Agathe, lalu menaruhnya di atas meja, disana terlihat belum banyak karyawan yang masuk ke dalamnya dan hanya ada Adi sendiri, setelah tidak berapa lama kemudian, beberapa karyawan baru masuk ke dalamnya.
Yang masuk pertama adalah seorang pria dengan rambut pirang mengenakan kemeja berwarna abu - abu serta celana hitam bernama Adam Martin kemudian dia duduk di sebelah Adi, lalu disusul oleh seorang wanita bernama Laurent Klemens dan yang menyusul mereka masuk ada juga Aline Muller dia duduk disamping kiri Laurent Klemes kemudian juga lainnya termasuk manager perusahaan ini Ansel Thomas, pria dengan tubuh tinggi tegap mengenakan kemeja hitam, dan rambutnya pirang mulai berdiri di tengah karyawan untuk membahas mengenai rapatnya kali ini.
Dia berdiri di tengah layar presentasi dan menjelaskan tentang produk yang baru di keluarkan oleh perusahaan, fashion kemeja laki - laki yang sedang menjadi tren juga wanita dari produk nama butik itu, Ansel Thomas.
Pria itu memang sungguh luar biasa, dia berawal dari usahanya menjual baju di media sosial bahkan sempat tidak ada yang beli model - model kemeja dan kaos khusus laki - laki yang di jualnya dulu dan akhirnya lamban laun, laris banyak peminatnya hingga membuatnya menghasilkan uang berlimpah kemudian membangun perusahaannya sendiri atas namanya sendiri juga.
Hal ini mengingatkan Adi pada James yang dulu waktu kuliah Adi membantu membuatkan toko kue kecilnya di Singapura.
Dan semua laki - laki memiliki prinsip yang sama, ingin menjadi kaya tapi jerih payah diri sendiri.
Ansel mengakhiri rapatnya pada pukul lima sore, dan rencana produk itupun akan di buka cabangnya di Amsterdam juga negara Eropa lainnya.
Adi kembali ke dalam ruangannya, secara waktu bersamaan di dalam ranselnya terdengar bunyi Hp, Adi membukanya dan terdapat whatsapp dari Katherine.
"Adi pulang jam berapa",? Aku baru siapkan dinner untuk kita, dan aku baru membantu
Adrien mengerjakan tugas sekolahnya", lalu Adi langsung membalasnya
"Aku mungkin pulang malam honey ",
"Okey" Katherine mengakhiri pesan whatsaapnya dan Adi menaruh Hpnya kembali ke dalam ranselnya yang di taruh dibawah mejanya, lalu melanjutkan mengetik pekerjaannya.
Setelah pukul delapan malam, Adi baru keluar dari kantornya dia berjalan ke arah halte bis, untuk menuju apartemennya di Paris, disana ia duduk sambil tertegun menunggu kendaraan itu tiba, satu tangannya mengenggam Hp, melihat foto - foto masa kuliahnya dulu di dalam gallery, dengan tersenyum sendiri, mengenang memori indahnya.
"Apa kabar mereka semua yah, Nino, Raka dan James..., juga Jaki, Dion dan Vini, rasanya aku baru bertemu mereka hari kemarin, dan sekarang aku memulai hidup baru di belahan Eropa ini, rasanya kenangan itu adalah suatu hal walau hanya dirasa di hati tetapi tidak pernah terlupakan" dia berkata dari dalam hatinya.
"Seolah kisah itu belum lama berlalu" dia meneruskan kata hatinya, sesaat kemudian bis yang di tunggunya datang, Adi langsung masuk ke dalamnya dan duduk di pinggir jendela sambil mendengarkan earphone.
Lagu dari Michael Jackson mengalun lembut di telinganya, hingga tidak lama bis tersebut, berhenti di stasiun dekat apartemennya, Adi langsung keluar dari bis dan masuk ke dalam halaman, dia melangkah kearah sebuah pintu utama, yang terdapat di dalamnya hall besar kemudian masuk ke dalam lift, lalu menekan tombol lantai 5, kemudian setelah pintu itu terbuka dia menelusuri lorong dan membuka salah satu pintu.
"Hii" Adi menyapa keluarga kecilnya, Adrien yang berumur tiga tahun, langsung ceria menyambut papanya pulang, dia menghambur berlari kecil ke dalam pelukan Adi dan Adi langsung menggendong anaknya tersebut, Katherine ikut menyambut suaminya dengan tersenyum.
"Oh kamu sudah pulang nak" Fatimah ikut menyambut menantunya, sekarang Fatimah dan Alexander sudah terlihat lebih tua dari sebelumnya, Adi menurunkan Adrien kemudian membungkuk menghormati mereka.
"Aku berusaha pulang tidak terlalu larut malam, agar kita bisa makan bersama" Adi mengungkapkan isi hatinya.
"Oh begitu..., aku memang sudah membuat ayam goreng juga salad" , Katherine menimpali dengan senang.
"Papa, ada yang ingin aku tanyakan kepada papa" Adrien menarik tangan Adi, dia terheran melihat anaknya begitu semangat tidak biasa.
"Apa nak"? Dia bertanya.
"Mama baru saja mengajarinya Bahasa Melayu dan dia bilang juga mau belajar gambar" Fatimah menjelaskan kepada Adi.
"Ohh begitu", Adi terlihat bersemangat mendengarnya, kemudian dia masuk ke dalam kamarnya untuk melepas kemeja juga celananya, lalu keluar kamar kembali untuk mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi sedangkan Katherine di dalam kamar, merapikan baju suaminya, dan menggantungnya di balik pintu.
Fatimah masuk ke dalam kamarnya, dan membelai rambut putrinya, sambil keduanya duduk di pinggir ranjang.
"Kelihatannya kamu bahagia sekali menjadi suami Adi", dia berkata lembut
"Bukan hanya bahagi tapi ini adalah pertama kalinya kumiliki", Katherine menyetujui pendapat Fatimah sambil mengangguk.
"Kalau begitu, kami tunggu di meja makan" Fatimah meneruskan kalimat yang diucapkannya sambil meninggalkan kamar Katherine.
Katherine, menyusul mereka semua ke meja makan, dia duduk di sisi sebelah kanan Adi dan di tengah sendiri sebelah kiri Katherine adalah Adrien si kecil, lalu di depan mereka adalah Fatimah dan Alexander.
Adi mengambil ayam gorengnya juga mengambil nasinya, dia memulai obrolan pertamanya.
"Aku merasa terkesan dengan jerih payah Mr Anzel Thomas, hal itu mengingatkanku pada James dulu, dia merintis karirnya dari bawah sampai bisa punya perusahaan sendiri, dan aku mendengarnya sangat antusias, karena itu pula yang ku hadapi selama ini, perjalanan hidup yang tidak mudah"
Katherine, melirik dirinya sambil tersenyum sambil menanggapi perkataannya.
"Karena itu aku dulu tetap mempertahankanmu" dan mulai menyuap makanannya ke dalam mulut.
"Lalu bagaimana dengan pekerjaan tadi di kantor"? Alexander menimpalinya.
"Produk terbaru itu, nanti akan dibuka cabang di Amsterdam, dan mungkin aku akan kesana karena masalah pekerjaan ini, untuk melakukan riset dalam memgerjakan desainnya" Adi melanjutkan pembicaraannya.
"Katherine boleh ikut"? Fatimah menimpali, dan Katherine baru hanya mendengarkan saja mendengar percakapan mereka.
"Yah boleh, sekaligus mau ajak Adrien holiday" Adi melirik ke anaknya.
"Tapi kalau sekarang aku belum libur papa" Adrien berkata polos.
"Iyah sayang, mudah - mudahan papa kamu akan berangkat Amsterdam bertepatan sekolahmu libur" Katherine ikut menyahut.
"I want study Melayu language again mama..." dia berkata kepada Katherine.
"Oke, nanti mama ajarkan kamu lagi" Katherine menanggapi dengan lembut.
10 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Yang mau baca bugis street saya mohon maaf masih revisi dan saya sendiri masih pemula tapi bisa dibuka lewat akun wattpad saya @ayuntyas search aja bugis street dan disana ada kumpulan puisi juga serta natalie yang masih berupa outline saya juga posting disini juga untuk natalie.
Oh yah satu hal lagi dari saya, semua cerita saya berdasarkan kisah nyata pengalaman orang - orang di sekitar saya yang biasanya adalah oranvg - orang terdekat atau orang yang saya temui di jalan tidak sengaja saya dengar ceritanya tapi saya kembangkan lagi menjadi sedikit imajinasi karena ide - ide saya ini benar - benar murni tidak terinsipirasi oleh mana - mana jadi tolong yah hargai mereka dan saya juga yang sudah membuat cerita, hargai privasi mereka dengan cara tidak mencopy sembarangan karya orang lain atau kalian membuang sampah sembarangan di akun saya untuk menulis untuk mrmbahas non penulisan seperti contoh membahas tentang Peter Pan atau apa, maaf yah sekali lagi saya bukan fans fanatik dan hidup saya
Di lakukan setiap harinya untuk mengerjakan untuk yang menghasilkan yang bermutu kalau mau bertanya silahkan bisa di tumblr saya ini atau wattpad saya, jadi ingat jangan bertanya diluar non kepenulisan
Ayu Tyas
@ayuntyas wattpad
Tinggal di follow kalau ada yang mau
7 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Bahasa Hati Hanya kekasih yang mampu Mendengar semua ceritanya Terlalu banyak kata yang harus Terucap jika ku ucapkan. Kekasihku air mata ini Hanya mampu menjadi saksi Dimana ada saatnya ku harus Merasa kehilangan... Tapi aku tahu akan satu hal Bahasa hati yang hanya kau Mampu mendengarnya Dibalik sejuta rasa ini... Cintaku hanyalah jiwaku Teman dalam perasaan Yang bermain di hidupku Menghujaniku diatas atap cinta kita Kita adalah satu nyawa Bagian dari raga yang kau Bagi kepadaku jua Dan bahasa hati hanya telingamu Yang mengerti artinya Ayu Tyas
10 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Akhirnya Natalie saya publish juga outline novelnya #wattpadayutyas @ayuntyaswattpad di follow yah guys dan ada bugis street juga disana yang masih revisi
14 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Part 15 Mencoba Lupakan Diantara salju yang mulai turun, nun jauh disana Hans berlarian kecil kearah rumah Jessica dan Bram bersama Patrick, yang kini mulai pulih dari gangguan jiwanya, bahkan perkembangannya sangat pesat akan alam sadarnya, dia menggedor rumah itu dengan suara agak keras, wajahnya nampak tegang. Jessica yang pertama membuka pintunya dan tersenyum padanya. "Aku teman Natalie dulu waktu kuliah, dan aku ingin bertemu dengannya"? Dia bertanya dengan suara agak keras. "Natalie sudah tidak ada disini, sejak dia juga lulus kuliah dan sekarang bekerja di Amerika, dia kembali ke rumah orang tuanya disana" Jessica menjelaskan panjang lebar. "Dimana alamatnya aku harus bertemu"? Dia mendesak, dan Patrick yang disampingnya nampak mengeluarkan air matanya mendengar ini semua, di hati Hanspun timbul penyesalan dengan apa yang telah di lakukannya selama ini, dia merunduk dengan perasaan yang bercampur aduk, Jessica menyuruh keduanya masuk ke dalam, lalu duduk di sofa, wajah Patrick penuh kesedihan yang mendalam di jiwanya. "Natalie, aku jujur ada hal yang selama ini aku pendam dan belum tersampaikan olehmu, bukan hanya rasa cinta, tetapi rasa yang lain sangat menyesakkan, kadang aku memilih mati demi cinta, perasaan cinta yang hanyalah berbalas pada sebuah jiwa yang tidak bertuan" dia berkata dari dalam hatinya. "Aku mencintaimu yang hanya mampu ada di hati saja, apalagi disaat dunia tidak mungkin untuk kita bersatu, aku lelah pada hidup ini, kalau harus bernafas pada penderitaan menahan semua rasa yang aku tahu tapi bisu" suara hatinya bicara lagi. Jessica, menyediakan kedua laki - laki itu dengan teh hangat juga cemilan, lalu duduk di depannya sambil bersandar. "Lalu kamu sendiri bekerja dimana.."? Tanyanya. "Baru saja memasukki lamaran pekerjaan di bagian Desain Grafis, tapi belum juga ada panggilan, yah kalau jodoh nanti juga bisa di dapatkan" jawab Hans, kalimat yang di ucapkannya, mengingatkannya pada dirinya sendiri. "Maafkan Natalie, aku selama ini menghalangi apa yang kamu rasakan selama ini, terhadap Natalie, seolah aku meremehkan dahsyatnya kekuatan cinta yang kalian miliki, mungkin mestinya aku tidak ada disini bersama Patrick, agar akupun tidak bertemu dengan Marion" katanya dalam hati. Jessica menaruh alamat tersebut diatas meja, dan
6 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Part 14 Waktu Yang Tak Bisa Terulang. Natalie akhirnya menyelesaikan skripsinya dalam setahun ini, dan dia nyatakan lulus dalam sidang, dan tahun kemarin adalah tahun kelam baginya selama perjalanan hidupnya menempuh pendidikan di negara ini, wisudanya akan di selenggarakan bulan depan, dan untuk mempersiapkannya dia sejenak pulang ke Amerika, empat tahun sudah meninggalkan rumah Di Amerika. Rasanya banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam rumah, Natalie mulai membuat surat lamaran pekerjaan, Jessica dan Bram menyarankan agar lebih baik mencari kerja di California saja, usianya sudah memasukki dua puluh dua tahun, dan memang waktunya untuk memulai hari yang baru, meskipun Amerika banyak meninggalkan sejarah termanis tentang Patrick apalagi taman di dekat komplek perumahannya dulu sering mengobrol disana sambil memandang langit, tapi sekarang hanyalah hampa. Natalie sedang berjalan - jalan di sekitar pejalan kaki kota Las Vegas, kota yang orang bilang penuh gemerlap, dan kemudian dia melihat ada poster konser Christina Perri, ingin rasanya mengulang sejarah pada saat nonton konser dengan Helen dulu, dia mencoba mencari nama kontak Helen di Hpnya. "Helen ini aku Natalie" Natalie mulai berbicara di telepon pada saat ada terdengar suara gadis dari seberang telepon. "Hi apa kabar kamu"? Dia bertanya ramah
"Jika memang itu yang ku butuhkan untuk apa aku mengharap cinta"? Dia bertanya lagi dari dalam hatinya.
"Kamu sudah lulus kuliahnya"? Dia bertanya kembali "Aku sedang menunggu wisuda, sambil memasukkan lamaran pekerjaan, dan sebenarnya aku ingin melamar disini tapi ada hal yang rasanya sangat pedih, tapi bila aku bekerja di Den Haag ada rasa pedih juga disana" Natalie bercerita panjang lebar. "Beruntunglah kamu Helen, kamu tidak pernah terikut oleh kesedihan ini" dia meneruskan kalimatnya panjang lebar. "Natalie ada yang sangat menyakitkan di hatimu"? Helen bertanya perhatian. "Aku ceritakan panjang lebar nanti" Natalie mengakhiri pembicaraan, dan air matanya menetes kembali mengingat Patrick, wajahnya sangat jelas menari di matanya. "Sebenarnya apa yang aku butuhkan selama dari cinta, hanya sekedar perhatian semu yang membuatku jatuh hati, tapi bukan cinta yang sebenarnya, mungkin cinta adalah perhatian tetapi bukan untuk tidak peduli kepada orang lain. Tapi patrick hanya kamu, yang buatku memang merasa nyaman dan hangat, tapi aku hanya bisa merasakan dalam sebuah kebisuan. Di negara itulah kita di pertemukan tapi cobaan melanda, haruskah aku berjalan sendiri tanpa dirimu dan bila nanti akan ada cinta yang baru hidupku telah berubah" suara hati Natalie bicara panjang lebar.
2 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
Part 14 Waktu Yang Tak Bisa Terulang. Natalie akhirnya menyelesaikan skripsinya dalam setahun ini, dan dia nyatakan lulus dalam sidang, dan tahun kemarin adalah tahun kelam baginya selama perjalanan hidupnya menempuh pendidikan di negara ini, wisudanya akan di selenggarakan bulan depan, dan untuk mempersiapkannya dia sejenak pulang ke Amerika, empat tahun sudah meninggalkan rumah Di Amerika. Rasanya banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam rumah, Natalie mulai membuat surat lamaran pekerjaan, Jessica dan Bram menyarankan agar lebih baik mencari kerja di California saja, usianya sudah memasukki dua puluh dua tahun, dan memang waktunya untuk memulai hari yang baru, meskipun Amerika banyak meninggalkan sejarah termanis tentang Patrick apalagi taman di dekat komplek perumahannya dulu sering mengobrol disana sambil memandang langit, tapi sekarang hanyalah hampa. Natalie sedang berjalan - jalan di sekitar pejalan kaki kota Las Vegas, kota yang orang bilang penuh gemerlap, dan kemudian dia melihat ada poster konser Christina Perri, ingin rasanya mengulang sejarah pada saat nonton konser dengan Helen dulu, dia mencoba mencari nomor kontak Helen
Helen ini aku Natalie" Natalie mulai berbicara di telepon pada saat ada terdengar suara gadis dari seberang telepon. "Hi apa kabar kamu"? Dia bertanya ramah
4 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
NATALIE
Genre : Romance
( outline Novel )
Sinopsis : Hendra kala itu dijodohkan dengan Rina oleh orang tua Rina, Jessica dan Bram, Bram adalah pria berdarah Netherland sedangkan Hendra adalah pemuda lulusan dari Universitas di Jerman dengan nilai terbaik di kampusnya, pada saat mereka menikah dan Rina memiliki anak perempuan bernama Natalie, ketika Natalie duduk di kelas enam SD dia bermimpi ingin sekolah di Amerika. Karena saudara Rina sendiri sudah banyak menetap di Amerika dan anak - anak mereka sekolah disàna semua. Natalie tidak mau kalah dengan saudara - saudaranya termasuk dua kakak Natalie Larry dan Zyan.
Setelah Natalie lulus SD akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Amerika demi mengikuti keinginan bulat Natalie bersekolah di Amerika, pada saat Natalie berumur 12 tahun dia bertemu dengan seorang laki - laki bernama Patrick yang menjadi sahabatnya tapi semakin bertambahnya usia perasaan persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lain di hati Natalie, ada yang mengganjal tersimpan di hati dengan pemuda bermata biru serta berambut cokelat itu, belum sempat rasa itu tersampaikan Patrick meninggalkannya entah kemana, kabar yang diterima oleh tetangganya kalau mereka pindah keluar negeri tetapi satu keluarga meninggal semua.
Tetapi jika bukan itu yang terjadi maka tak pernah ada cerita, hingga pada saat Natalie diminta oleh Omanya Siska untuk kuliah di Netherland dan dia yang menanggung semua biayanya termasuk Natalie akan tinggal bersamanya di Den Haag sampai akhirnya bertemu dengan pria yang arogan, sombong dan selalu mencari masalah bernama Hans tetapi kalau bukan itu yang terjadi cerita tidak akan dimulai
Part 1 : Kisah Hendra
Hendra baru saja kembali Jakarta setelah dia lulus dari perguruan tinggi di Jerman, pemuda dengan wajah putih dan rambut kelimis tersebut bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta di bidang IT, pria yang ulet dan rajin, serta ramah selalu menilai tambah dalam pekerjaannya serta mendapat pujian dari managernya Hanafi, tetapi Hendra dijodohkan oleh Rina wanita dengan rambut pendek dan wajah hitam manis. Rina memiliki darah keturunan Netherland karena papa Rina seorang pria berasal dari negeri kincir angin tersebut sedangkan Siska adalah orang Indonesia. “Usiamu sudah 25 tahun nakk” kala itu Hendra mengobrol dengan ibunya Mawar di meja makan. Dia paham apa yang dimaksud olehnya, namun hatinya masih saja gusar, dia terdiam sambil menyuap nasinya ke dalam mulut. “Bagi seorang laki - laki banyak hal yang yang dipersiapkan ketika memiliki istri apalagi anak” Hendra memberikan pendapatnya.
“Yah tapi jangan kelamaan tidak menikah daripada kamu dikira macam - macam oleh orang diluar sana” Mawar bersungut, Hendra menghabiskan makanannya dia terlihat nampak berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Mawar kepadanya, nafasnya mendesah sambil berdiri membawa piringnya dan berjalan ke dapur.
Omongan orang tua seperti kata - kata yang baik dan buruknya membawa nasib pada anaknya, namun untuk yang satu ini Hendra tidak akan dengan mudahnya mengatakan “Iyah” itu tidaklah mudah kecuali menikahi seekor kucing.
“Pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, tidak mungkin aku mengambil keputusan secepat itu” dia berpikir dalam.
Pada saat Hendra selesai mencuci piring, dari dalam dapur terdengar suara pintu ditutup Hendra menoleh kearah belakang rupanya Fandy ayahnya baru saja tiba dirumah, dia berjalan kecil menuju kearah dapur, sambil menepuk bahunya. “Pastinya kamu sudah sering dengar cerita tentang Rina dari keluarga besar semua” dia berkata bijak, mata Hendra agak terbelalak lebar.
“Mama dan papa, merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku”?? Dia bertanya heran dengan mulut terbuka.
“Aku pasti menikah maaa, paaa tapi terus terangg kalau untuk yang satu ini jangan disamakan seperti mencari kacang goreng dipasar” Hendra menghela nafas.
“Tapi Rina pasti cocok untukmu, cobalah kamu menemuinya” Mawar bersikeras dengan pendapatnya yang sudah menjadi sepakatan bersama, dia bersedekap memandang Hendra yang masih berpikir panjang atas dirinya sendiri. Hendra sesungguhnya dia dari keluarga yang ekonominya masih pas - pasan dia bisa kuliah di Jerman karena beasiswa dari SMAnya beruntungnya juga disana kuliah gratis dan Hendra sosok yang cerdas serta pintar, waktu SMA dulu selalu aktif dalam organisasi dia juga di calonkan sebagai ketua OSIS dan waktu kuliah dia menjadi ketua komunitas mahasiswa Indonesia
Hendra menaikki tangga kayu di lorong dekat dapur untuk menuju ke kamarnya, dia membuka pintu kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang ukuran kamarnya agak kecil tidak besar tapi terasa nyaman, matanya melihat kearah gitar yang tergantung di dinding pojok sebelah kanan tempat tidurnya kemudian dia mulai mengambilnya yah itulah yang dilakukannya setiap harinya kalau perasaannya sedang galau, jemarinya mulai memetik alunan nada gitar sambil bersenandung pelan.
“Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kuberi….” belum sampai selesai bernyanyi kecil seseorang terdengar memanggilnya dari bawah, Hendra bergegas menaruh gitarnya di tempat tidur untuk menuju kearah balkon.
“Aldo” dia menyebut pria dibawah balkon kamarnya yang sedang berdiri melambai padanya dia adalah sahabatnya waktu SMA dulu, kemudian Hendra keluar dari kamarnya untuk menemuinya.
“Ada banyak yang aku ingin ceritakan padamu” Hendra menarik tangannya, dan Aldo menahannya. “Soal Rina kannn.., gadis Indonesia keturunan Netherland itu level kejauhannn…kamu tahu” Hendra hanya terdiam meniup belahan samping rambutnya, matanya nampak keresahan dihatinya. “Yah aku tahu, dan aku berpikir memangnya apa Rina itu mau denganku sedangkan dia anak orang kaya, bukan hanya itu masalahnya, dirumahnya yang aku dengar sangat disiplin keras sekali didikan dari ayahnya seperti itu” Hendra bercerita sedikit, Aldo membaca apa yang ada dalam pikiran Hendra.
“Dijodohi itu ada enak dan tidaknya, yah semua itu nanti kamu yang rasakan sendiri, lagipula kamu sudah lulus kuliah dan sudah punya pekerjaan mapan lalu kapan kamu mau punya istri kalau begitu” Aldo menasehatinya, Hendra tersenyum padanya sambil menatap wajahnya. “Yah kamu benar” Aldo bersedekap sambil matanya melayangkan ke udara sedangkan Hendra masih menunduk dalam, kedua sahabat itu hening. “Mampirlah dulu sejenak kerumahku, untuk menenangkan pikiran” Aldo menawarkan dirinya dan kebetulan Aldo tinggal satu komplek dengan Hendra, Hendrapun mengangguk mereka berjalan kearah rumah yang hanya berapa blok dari rumah Hendra.
Aldo membuka pintu pagar yang berwarna hitam, kemudian mengajaknya duduk diteras rumahnya. “Dari namanya aku sudah menduga dia wanita yang menarik” Aldo memberikan pendapatnya, sedangkan Hendra hanya diam saja merenung.
Tiba saatnya pada pertemuan keluarga, Hendra akhirnya bertemu dengan Rina, yah dia memang menarik seperti kata Aldo, wajahnya nampak hitam manis dan rambutnya hitam ayahnya nampak fasih berbahasa Indonesia walau terbata.
Hendra duduk diantara kedua orang tuanya saling berhadapan dengan Rina juga orang tuanya juga dia tersipu malu sambil menunduk melihat wajah Hendra.
“Yah ini anak kami Rina” Bram ayahnya dengan bangga memperkenalkan putrinya itu Rina semakin menunduk malu, sedangkan Hendra sudah mulai terlihat gusar, dia mencoba untuk mengajak ngobrol Rina namun bibirnya terasa bergetar. “Kamu kuliah dimana”? Dia mencoba mengeluarkan suaranya dan Rina menjawab dengan tenang. “Ohhh di Jakarta saja, tidak dimana - mana seperti kamu” tutur katanya sangat halus meskipun gaya bicaranya terdengar keras. “Dia kuliah disini saja, karena kami juga tinggal disini” Jessica menimpali sambil memeluk Rina. “Bagaimana menurut kamu”? Bram menanyakan dengan memicingkan mata menunjuk kearah Hendra, nampak dari wajahnya kalau Rina sangat senang berkenalan dengan Hendra dan akhirnya mereka melakukan pendekatan dan setelah itu menikah.
Part 2 Natalie
Dari pernikahannya akhirnya diberikan oleh Tuhan Hendra dan Rina dua orang putra dan satu orang putri, dan kini anak - anak mereka sudah mulai besar dan kakak Natalie Larry melanjutkan pendidikannya di Amerika sedangkan Zayn setelah tamat SMA akan menyusulnya Natalie kala itu berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas enam Sd ambisinya untuk sekolah di Amerika adalah karena melihat saudaranya yang akan pergi kesana begitu juga karena keluarga Rina sudah banyak pindah ke Amerika karena anak mereka sekolah di negara pam sam tersebut juga, dan Jessica sendiri sudah pindah ke Netherland bersama Bram Impian yang memang terlalu tinggi memang namun manusia berhak memiliki impian setinggi melampaui batas langit. “Aku akan berusah mengejarnya untuk bisa masuk SMP disana kelak” Natalie berkata dari dalam hatinya, hari demi haripun terus bergulir Natalie akhirnya lulus SD dan masuk SMP di Amerika keluarga Nataliepun ikut pindah kesana dan bertempat tinggal di California.
Suatu hari di sekolahnya Natalie sedang duduk di dalam kantin, pandangannya melayang kearah pemandangan didepannya sambil meminum Orange Juicenya, rambutnya yang lurus terlihat digerai dan dia memakai kemeja berwarna kuning dengan celana berwarna biru. Seorang laki - laki sambil membawa nampan makannya dan menaruhnya diatas meja kemudian mengambil chesse burgernya dari tempat makannya, kebetulan laki - laki itu duduk tepat di kursi hadapan Natalie, dia melihat sejenak sambil mengunyah makanannya kearah Natalie yang mengamati dirinya, namun Helen yang duduk kebetulan juga baru datang duduk di depan Natalie sambil membawa makanannya dia menghalangi Natalie untuk melihat siswa itu.
“Melihat siapa Natalie”? Dia menoleh ke belakang, dan kursi yang di duduki olehnya sudah kosong, Helen menarik nafasnya sejenak kemudian mendesah perlahan sambil meneruskan mengunyah burgernya. “Dia sudah tidak ada disana”? Tanya Natalie penasaran melihat kearah sekelilingnya Natalie masih ingat benar ciri - cirinya dia memakai kaos berwarna putih dan celana hitam rambut pirangnya belahannya disisir kesamping dan tubuhnya tinggi tegap, layaknya penampilan laki - laki idaman perempuan, dan usianya nampak lebih tua daripada Natalie “Maksud kamu siapa, aku tidak melihat siapa - siapa disana”? Helen menggeleng polos kemudian meminum juicenya setelah selesai makan kemudian melirik jam tangannya.
“Aku masih ada kelas dan kalau dengan Mr Smith terlambat sedikit bisa tidak masuk selamanya dan kamu tahu itu kan…” kata Helen sambil beranjak dari kursinya dan menyandang ranselnya untuk meninggalkan cafetaria. “Oke, sebentar lagi masuk ke dalam kelas” Natalie menghabiskan minumnya lebih dulu kemudian berjalan sedikit kearah kasir untuk membayar makanan dan minumannya yang dipesannya kemudian barulah dia melangkahkan kaki keluar dari sana, Natalie berjalan kearah lorong yang kini dan kanannya terdapat loker kemudian dia membuka lokernya untuk membuka pintunya untuk mengambil buku di dalamnya, tepat saat itu laki - laki yang barusan di Cafetaria berada disamping Natalie dia membuka lokernya juga, kemudian melihat kearah Natalie tapi pandangannya teralihkan oleh seorang temannya yang menegurnya dari belakang dengan menepuk bahunya. “Patrick rupanya kamu disini, aku mencarimu kemana - mana tadi ayo kita masuk kelas sekarang” dia mengajaknya. “‘Miguel Ok” dia mengiyakan, Natalie masih berdiri memerhatikan dirinya disamping loker dan Patrick sejenak membalas tatapan tersebut sebelum meninggalkan ruangan itu. Sore harinya pada saat berjalan menelusuri trotoar, Patrick berjalan di belakangnya, dia berlari kecil untuk mengejarnya. “Kamu Patrick kan”? Dia bertanya ramah. Dan Patrick hanya mengangguk ramah sambil memberikan senyuman padanya Nataliepun tersipu malu padanya, di umurnya yang masih dua belas Natalie memang baru mengalami pertumbuhan awal remaja, dan jni gelora pertama yang dirasakannya. “Nama kamu Natalie kan”? Patrick memecah lamunannya, dan Natalie menjadi salah tingkah “Eh iyah, itu namaku” dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya “Seluruh anak sekolah kita sering menyebut nama kamu, dan sepertinya kamu terkenal di sekolah ” Patrick menegadah memandang langit saat mengatakannya, dia terlihat sosok yang baik dan penyayang. Natalie tercengang mendengarnya kemudian tertawa pelan “What is funny”? Patrick heran menatap sikapnya dia memicingkan mata sambil sedekap membalikkan badan untuk berdiri berhadapan dengannya. “Tidak ada, tapi aku hanya heran kenapa kamu bisa menilai aku seperti itu”? Natalie malu - malu. “Karena kamu cantikkk”!!! Patrick menggodanya kemudian melanjutkan langkah kakinya dia berlari kecil sambil melambaikan tangan di udara dan Natalie membalasnya Pertemuannya dengan Patrick entah kenapa membawanya pada perasaan yang tidak biasa kepada Patrick bayang dirinya selalu menghantui Natalie, pada saat dirumah Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya kemudian mendapat telepon dari Helen.
“Yah Helen” dia menyahut “Natalie, aku ingin mengajak kamu menonton pertunjukkan di Las Vegas” terdengar suara menggebu dari Helen, dan Natalie hanya mendesah nafas “Aku sedang mengerjakan tugas hari ini” dia menolak halus, tapi Helen mendesak “Aku tidak tahu harus pergi dengan siapa, Clara, Louissa, Marianne tidak ada yang mengangkat teleponku huffff….” Helen mengeluh. “Oke, aku temani” Natalie akhirnya menyerah dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak dari kursi meja belajarnya, sebenarnya waktu mengerjakan tugas sekolahpun pikiran Natalie sedang tidak fokus karena nama Patrick mengusik ubun kepalanya, Natalie memakai kaos berwarna merah serta celana panjang hitam kemudian mengikat rambutnya ke belakang Natalie kemudian menuruni anak tangga rumahnya dan Helen sudah menyambutnya dari bawah, inikah dia perasaan cinta anak remaja awal yang tidak tahu jelas apa sebabnya tapi Patrick terlihat tampan dan lembut dan hal itu yang membuat Natalie jatuh hati pada pandangan pertama dengannya. Selama dalam perjalanan Helen terus mengajaknya bicara
“Natalie kamu dengar aku tidakkk”!! Helen merasa kesal karena dari tadi Natalie tidak memerhatikan Helen bicarakan. “Maaf, aku sedang tidak fokus” Natalie berkata lembut tapi Helen masih bersungut kesal sambil bersedekap. “Aneh sikapmu belakangan ini” dia menggerutu “Sehari saja tidak di sekolah, aku justru merasa bosan daripada jalan - jalan seperti ini” Natalie berkata dengan tenang. “Girl ayolah, ini penyanyi idola aku dan aku tidak harus pergi dengan siapa lagi” Helen menggerutu “Dan Celine Dion itu adalah inspirasiku untuk kelak menjadi seorang penyanyi” Helen menambahkan kalimatnya. “Jangan konyol kamu ha….ha..ha” Natalie menertawakannya hingga wajah Helen semakin memerah, dia memandang keluar jendela bis dengan wajah penuh emosi, dia menghembuskan nafas dari mulutnya, sedangkan Natalie dengan tenangnya mengeluarkan Hp dari dalam tasnya dan membaca pesan yang baru saja masuk dari Marianne.
“Have fun today girlss”!! Kata - katanya nampak bersemangat “Yah tapi Helen sedang merasa kesal sedikit dengan ledekanku padanya, dia memang kadang suka bertingkah seperti anak umur sembilan tahun ha….ha…ha” Natalie menyahutnya sambil tertawa membalas pesan tersebut dan Marianne mengirim balasannya lagi. “Its not funny Natalie” kalimatnya nampak marah, dan Natalie terdiam dia merenungi perkataannya sendiri. “Forgive me” dia mengirim satu kalimat lagi pada Marianne. “Aku hanya ingin beritahumu sikap bercandamu berlebihan” Marianne mengirim lagi balasannya “Aku hapus kata - kataku tadi” Natalie membalasnya lagi untuk mengakhiri pembicaraan dengan Marianne, tanpa terasa mereka sudah sampai di tujuan, bis itu berhenti di halte terakhir dan kedua remaja itu turun dari dalam. Natalie turun lebih dulu, kemudian memandang sekitarnya dan Helen menyusulnya dari belakang, dia berjalan kedepan sedikit untuk menghampiri Natalie, kemudian berdiri di sebelah kanannya sambil menoleh dengan tersenyum. “Kamu sudah tidak kesal denganku lagi”? Natalie bertanya dengan suara lembut dan menunjukkan cengiran kecil padanya. “Aku tidak benar - benar merasa kesal juga kokk” Helen mengangguk kemudian memegang pergelangan tangannya. Di dalam arena pertunjukkan, kerumunan orang penuh sesak, diatas atap nampak gelap tapi berkilauan cahaya dengan warna ungu, kuning atau merah dan suara membahana mulai terdengar diantara sorak orang. “Suittt…suittt…” seseorang penonton terdengar sedang bersiul Natalie mendongak dari antara orang - orang yang berdiri didepannya yang bernyanyi My Heart Will Go On “Helennnn”!! Dia berteriak memekik “Aku tidak bisa melihat Celine Dion disini”!!!! “Kalau kita maju selangkah lagi, didepan sana sangat padat” Helen memberikan komentarnya pada Natalie.
Sepulangnya dari nonton konser Larry kakak tertua Natalie sudah menunggunya di depan Tv, hari memang sudah larut malam, wajah Natalie nampak kecut, tapi justru sebaliknya Larry terlihat tersenyum dari sofa berwarna putih yang didudukinya, Natalie hanya bisa memalingkan wajah. “Aku tahu ini sudah jam satu malam” dia mengangguk paham. “Yah kamu benar, oh yah tadi ada seseorang yang melintas disini dia menanyakan kamu pada Zayn” Larry memberi tahukannya, dan wajah Natalie berubah tercengang.
“Dia laki - laki”??? Larry hanya mengangguk perlahan, dan yang ada dalam pikirannya itu adalah Patrick. “Seperti apa orangnya”? Dia bertanya kembali, mendengar suara Natalie dan menyebut namanya Zayn keluar dari kamarnya tapi juga disusul oleh Hendra dan Rina. “Awalnya kami mengira kamu pergi dengannya juga”? Hendra menimpali. “Aku hanya pergi dengan Helen saja berdua” Natalie membenarkan kata - katanya “Karena umur kamu baru dua belas nakk, baru saja memasukki usia remaja dan kamu mengerti kan maksud kami” Rina berkata bijak. “Aku tahu” Natalie mengangguk pelan.
Keesokan harinya di sekolah, Natalie mencari Patrick, dan menemuinya di ruang musik sekolah, dia sedang memetik gitar sambil bersenandung perlahan disana, Natalie berdiri di ambang pintu sekolah dan Patrick menoleh kearahnya sambil menghentikkan permainannya Perasaaan yang berada dalam tubuh Natalie semakin tidak menentu pada saat menatap wajahnya. “Apa yang kamu lakukan di komplek sekitar rumahku”? Natalie bertanya. “Aku hanya kebetulan lewat saja, dan aku baru tahu kamu tinggal disana” Patrick menjawab santai sambil kembali memetik gitarnya. “Dan kamu pergi seharian dengan temanmu yang bernama Helen itu kan” dia menambahkan kalimatnya yang sedang diucapkannya, Natalie berjalan kecil untuk mendekati Patrick dan duduk disebelahnya. “Kamu bisa bermain gitar”? Dia bertanya “Yah begitulah” dia mengangkat bahunya, lalu menaruh gitar tersebut di sebelahnya keduanya memandang tembok didepannya dengan hening, tidak tahu apa sebabnya rasa itu tidak bisa dibendungnya lagi. “Kamu ini, sudah kelas dua belas kan Patrick”? Dia bertanya, Patrick hanya mengangguk usianya kini memang sudah empat belas tahun dan sèbentar lagi dia akan meninggalkan bangku SMPnya untuk meneruskannya ke SMA. “Kenapa kamu berkata demikian”? Patrick bertanya ingin tahu. “Karena aku ingin jadi sahabat sejatimu, bolehkah”? Natalie bertanya perlahan. “Yah” Patrick menjawab singkat.
Part 3 Sahabat Tapi Cinta
Akhirnya kini umur Natalie menginjak yang ke enam belas tahun, di bersekolah yang sama juga di SMA dengan Patrick, hubungan mereka semakin dekat tapi perasaan yang dipendamnya semakin tumbuh dan tak bisa dibendungnya lagi, rasanya ingin mengatakannya tapi bibir hanya bisa diam, dia duduk di taman sekolah memandang pohon didepannya, hasrat itu semakin lama semakin tidak pernah memudar, Patrick yang melihatnya dari kejauhan dari balik tembok, kini tubuhnya semakin tinggi daripada waktu dulu empat belas tahun, hari persahabatan mereka semakin erat, namun tahukah Patrick apa yang terselubung dalam hati Natalie sebenarnya, dia memandang menerawang dengan tatapan berbinar kemudian tiba - tiba saja, Emily mengusiknya dia datang dari arah yang berlawanan menepuk bahu Natalie. “Aku jadi merindukan Helen dia diterima bukan di sekolah ini, tapi sekolah lain yah dia sahabatku waktu SMP dulu” Natalie bercerita dengan suara sayu, dan Emily berdiri disampingnya bola mata birunya memandang dekat pohon itu, sejenak rambut lurus selehernya mengembang tertiup angin. “Aku rasa kamu memikirkan sesuatu yang lain” Emily menebak perasaan Natalie, dan tanpa sadar Patrick mendengar percakapan mereka dari balik tembok, entah apa yang dirasakannya dia seperti sudah menduganya sejak lama isi kepala Natalie, Patrick meninggalkan tembok tersebut dan berjalan kearah tak tentu arah, sambil tertunduk, belahan rambut disampingnya jatuh menutupi atas alisnya. “Natalie.., entah kenapa sebenarnya perasaan itu serupa, aku seperti mengharap kamu yang lain, dan ada harapan yang berbeda diantara kita” patrick berpikir, dia berjalan kearah hall basket dan masuk ke dalamnya, kemudian duduk di deretan kursi yang menghadap kedepan, tiba - tiba saja ada suara orang yang membuka pintu, Patrick tersentak dan menoleh ke kanan.
“Henry” dia menyebut namanya, dan Henry menutup pintu itu kembali, dia membetulkan sisiran rambutnya sambil duduk disisi Patrick, berusaha untuk ikut memikirkan apa yang sedang dalam pikirannya. “Jika saja itu sesuatu yang kamu sembunyikan dan tidak pernah kamu buka, maka akan ada sakit yang tidak pernah mendapat jawabannya” Henry menembus pikiran Patrick, Patrick berdiri mendengar kalimat itu, bagaikan telinganya langsung ditegakkan. “I can’t speak anymore…..” matanya nampak gelisah melihat sekeliling. “You’re someone man, you much brave” suara Henry berubah menjadi tegas. “I CAN’T”!!!! Patrick berteriak histeris pelan, itulah alasan penyebab Patrick sulit mendapatkan pacar, meskipun dia dekat dengan banyak gadis dan salah satunya Natalie, dan sebenarnya Patrick juga sedang dekat dengan teman baik Natalie di SMA ini yaitu Emily namun hubungannya menggantung tanpa arah tujuan. “Kamu tidak bisa bermain seenaknya dengan perasaan kamu sendiri”!! Sikap Henry tidak kalah tegas dengan Patrick, untuk menghindari pertengkaran yang terjadi dan menjadi hebat, Patrick meninggalkan ruangan tersebut, dia berjalan di antara lorong dengan galau, sambil menyandang ranselnya, kemudian melirik jam tangan berwarna biru sudah menunjukkan pukul sembilan. “Ya Tuhan, aku ada kelas dengan, Mrs Wendy Gale” wajahnya yang memperlihatkan semakin tidak bisa dibendungnya, buru - buru Patrick berlari kecil masuk ke dalam gedung di samping taman dan mengetuk kelas yang tertutup, Mrs Wendy membukanya dengan wajah melotot marah. “Kamu tahu ini sudah jam berapa, dan kamu datang lima menit setelah saya sudah di dalam kelas”!! Dia membentak keras. “Mrs Wendy, saya minta maaf kalau terlambat, saya rela jika harus terkena sanksi” Patrick merunduk menyesal, dan sanksi yang dikenakan oleh Mrs Wendy itupun sudah mendapat toleransi darinya daripada biasanya siswi atau siswa tidak dapat mengikuti ujian mata pelajaran dengannya, Patrick hanya mendapat tugas sekolah dua kali lipat untuk membayar kesalahannya dalam satu hari itu.
“Kringggg” bel sekolah berbunyi Natalie di lain tempat, dia sedang berada di kelas, tangannya meraih buku diatas meja untuk dimasukkan ke dalam ranselnya, dan Mr Bryan meninggalkan kelas sambil membawa bukunya. “Dimana kamu tinggal”? Tanya Emily yang duduk di kursi sebelahnya. “California” jawab Natalie, kemudian dia mengelurkan notes kecil untuk memberikan catatan alamat rumah serta nomor rumah dan nomor Hpnya. “Tidak jauh dari tempat tinggalku” Emily tersenyum ramahnya padanya, kemudian mengambil ikat rambut di dalam resletingnya. “Yah benar, tapi kalau hari ini aku ingin pergi menemani Zayn” Natalie mengangguk.
“Zayn”? Dia bertanya heran. “Kakakku yang kedua” jawab Natalie dan meninggalkan sekolah, hari cuaca sangatlah panas, dia membuka jaket yang dikenakannya karena sudah diluar sekolah, kemudian duduk di halte untuk menunggu bis yang datang. Pikirannya kembali terlintas tentang Patrick, wajahnya menari - nari di matanya dan Natalie menghembuskan nafas perlahan dari mulutnya, sambil melihat bayangan yang memantul dari bawah jalanan. “Patrick, rasanya kenapa aku punya pilihan lain, yang bukan jadi sahabatmu, tapi….” lamunan Natalie terbuyar pada saat bis jurusan yang ditunggunya sudah tiba, Natalie terperanjat mendongakkan kepala dan bergegas masuk ke dalamnya, dia melayangkan mata kearah keluar jendela, tidak tahu apa sebabnya Natalie menelepon Patrick pada saat dalam perjalanan, dan rasa ingin bicara padanya.
“Patrick, nanti malam aku mau kerumah kamu pukul tujuh malam” “Oke” Patrick mengiyakan sambil mengakhiri pembicaraannya, bis itu berhenti tepat di halte dekat rumahnya, dan Natalie langsung turun, ketika itu Natalie melihat keluarganya tengah mengobrol di sofa keluarga. Natalie, terdiam terpaku berdiri di hadapan mereka semua dan merekapun menengok kearahnya, Rina tersenyum padanya, dia seperti sudah membaca apa yang ada dalam isi kepala Natalie, namun Natalie, terlihat sedang tidak ingin diganggu dulu hari ini, dia masuk ke dalam kamarnya dan membuka ransel untuk mengambil buku dan mulai mengerjakan tugas, sejenak Natalie melihat kearah Walkman di sebelahnya lalu meraihnya dan memutar lagu Backstreet Boys, kemudian meneruskan mengerjakan tugasnya.
Suara ketukan pintu yang terdengar, membuat Natalie mematikan walkmannya dan menoleh kearah daun pintu. “Cominggg”! Dia berseru, Rina masuk ke dalam kamarnya, dan berjalan perlahan masuk ke dalam. “Dibawah sedang ada Sam sepupu kamu” dia memberi tahukan. “Sam dan tante Vina, tapi aku tidak mendengar suara mobilnya barusan”? Natalie tercengang. “Aku akan turun setelah aku selesai mengerjakan tugas sekolahku” dia mengangguk kemudian, dan Rina meninggalkannya, di lantai bawah Sam sedang mengobrol dengan Zayn dan Larry. “Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya” dia memberi tahukan. “Sejak kapan Natalie menjadi anak yang rajin” Sam sedikit meledek dirinya. “Sam adikku sudah umur enam belas sekarang”!! Dengan keras Zayn sedikit membentak Sam, dan Larry melotototi dirinya. “Oke, oke aku salah berkata demikian, hanya saja sikap Natalie berbeda dari biasanya” dia memberikan komentar. Di tengah obrolan itu, tiba - tiba saja Natalie datang, dan bersedekap diantara ketiganya. “Aku tahu, apa yang kamu inginkan”? Dia menebak pikiran Sam dan Sam memang umurnya lebih muda daripada Natalie. “Bersepeda memutari komplek rumah ini” kemudian dia melanjutkan kata - katanya, dalam pikiran Nataliepun melakukan itu sejenak untuk melupakan pikirannya tentang Patrick tetapi justru semakin menghantuinya. Senja di sore hari, mereka bersepeda mengelilingi komplek tersebut, dan sampai waktu malam tiba, Natalie bersiap - siap untuk kerumah Patrick, dia sudah menunggunya di teras halaman.
“Patrick” Natalie memanggilnya dari luar pagar, dan Patrick membukakan pagarnya kemudian Natalie masuk, dia terlihat tampan hari ini dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan celana pendek hitam.
“Aku tidak tahu kenapa aku merasa benci akan sesuatu” dia berkata sambil menunduk dalam. “Aku benci jadi sahabatmu sebenarnya selama ini dan menurutmu apakah aku orang yang tepat untuk menjadi sahabat”? Natalie bertanya getir, tiba - tiba saja Patrick meremas telapak tangannya tanpa kata, dan hanya memalingkan wajah kearah kanan. “JAWAB AKUUUU”!!!! Natalie berteriak keras, dan Patrick tersenyum padanya. “Aku tidak memaksa siapapun untuk berteman denganku, tapi kamu sendiri yang dulu menginginkan persahabatan ini” dia berkata polos, dan Natalie hanya menggeleng lemah. “Yah aku tahu maaf” Natalie melepas pergelangan tangannya, wajah Patrick berubah perhatian kepadanya. “Kalau ada masalah ceritakan padaku” “Terlalu sulit untuk mengatakannya” Natalie menggeleng lesu, dan kemudian Patrick mengajaknya masuk ke halaman, dia mengambil gitar dari dalam rumahnya dan memainkannya disamping Natalie, gadis itu tertunduk sambil tertegun diam mendengar Patrick bernyanyi dan Natalie mendesah sambil, merunduk dalam. “Patrick kamu terlalu baik kepadaku” Natalie menoleh kearahnya. “Natalie kamu adalah sahabat setiaku” Patrick berkata lembut sambil memeluk bahu Natalie, sikapnya bukanlah justru menunjukkan rasa sahabat tetapi sesuatu yang lain Natalie lamban laun bisa merasakan hal itu.
“Patrick sudah mulai larut malam, thanks lagu The Corrs untukku barusan” Natalie berdiri dan rasa dihatinya semakin berkata lain, Patrick ikut berdiri di depannya. “Sebenarnya aku juga bosan menjadi sahabat tapi aku ingin tetap menjaga kesetiaan yang tidak pernah berubah ini” Patrick menyahutnya lembut. Natalie mengiyakan hal itu, jika bosan untuk bersahabat dan sebenarnya dari awal tidak mau menerima pertemanan dengan Patrick mengapa rasanya Natalie waktu itu menyetujuinya, hari demi hari dilewatinya dan tiba - tiba saja Natalie melihat Patrick berdua dengan sahabatnya sendiri mesra.
Air mata Natalie jatuh tak tertahankan, rasanya hancur perasaannya tanpa Patrick paham apa yang dirasakan Natalie sebenarnya kepadanya.
Part 4 Terpendam
Natalie, duduk di taman sekolah sambil mendengarkan walkman, sejak melihat itu sikapnya kepada Emily menjadi berubah, tetapi dia menahan pedih rasa cemburunya, karena rasa cinta terpendamnya pada Patrick yang tertahan selama ini kepadanya sejak awal bertemu, Emily y Menghampiri Natalie di taman dan dia melihat Natalie menangis. “Why you crying”? Dia bertanya perhatian, Natalie tersentak sambil melepas walkmannya di telinganya. “Aku lebih baik sendiri saja” dia berkata sayu, melihat kearah Emily kemudian mengusap air matanya dan meninggalkannya di taman, Patrick yang melihat Emily sendiri disana menghampirinya untuk duduk disebelahnya. “Natalie, sepertinya cemburu karena aku dekat denganmu, bisakah kamu menjauhiku”? Dia bertanya pelan, mata Patrick terbelalak mendengarnya, dan berdiri disamping Emily. “Kamu tidak pernah tahu rasanya jadi aku” dia menggeleng lemah. Emily hanya duduk di kursi tersebut, terisak mendengar setiap ucapan yang dikatakan Patrick, laki - laki yang hanya mampu sebatas mendekati gadis saja tapi tidak bisa mengungkapkan perasaannya, Emily berlari dari tempat sana dan apa yang dibenaknya sudah pasti akan terjadi, dia dimusuhi oleh Natalie karena cemburu dan Emily tahu perasaan sebenarnya Natalie pada Patrick belum bisa diungkapkannya sampai sekian detik waktu.
Namun mereka tetap akrab bagai pinang dibelah dua, namun Patrick sudah menghancurkan perasaan Natalie, dan entah bagaimana seakan Natalie masih mengharapkannya diatas keyakinannya jika dia tidak akan gagal. Emily masuk ke dalam ruang kosong di sekolah dia menutup pintu dengan keras dan menangis disana, meluapkan emosinya yang ada. Sedangkan Natalie duduk sambil berjongkok dibawah loker, air matanya sudah mengering disaat nama Patrick menghiasi hatinya, derap langkah sepatu terdengar dari kejauhan dan Natalie berdiri menghadapinya, Patrick kini di hadapannya.
“Aku mengenalmu dari SMP, dan aku tahu siapa kamu dengan jelas”!! Tegas Natalie. “Aku mengerti” hanya itu yang bisa Patrick katakan padanya. “Siapa yang kamu pilih sekarangggg”!! Dia berteriak keras, dan Patrick tetap hanya membisu seribu bahasa Natalie mengguncang pundaknya kemudian tanpa sadar jatuh dalam pelukannya dan Patrick membiarkannya.
“Aku hanya ingin tidak dipermainkan” dia berbisik di telinga Patrick, Emily yang berada di ujung sana mengeluarkan air matanya. “Katakan Patrick sejujurnya….” dia mendesak. “Emily” dia menyebut nama itu dan Natalie menangis meraung dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa keluar dari hatinya, entah apa yang sebenarnya dirasakan Patrick tapi dia nampak bimbang dan resah, ada sesuatu yang justru bukan itu jawabannya.
Natalie semakin membenci Emily sejak saat itu, dia bahkan menjauhi dirinya tapi tidak sanggup kalau menyakitinya tanpa disakiti sekalipun Emily sudah merasa sakit oleh perasaannya sendiri karena telah merebut pujaan hati sahabatnya sendiri.
Emily kini memiliki teman baru namun dia tidak seperti Natalie yang lebih perhatian dengannya pertemanan itu seperti rasa yang dipaksakan olehnya karena Emily merasa takut untuk menegur Natalie dan dia selalu menjawab tidak enak belakangan ini, Emily tahu perasaannya.
Part 5 Allyson
Allyson sosok gadis yang acuh dan cuek, tidak banyak memikirkan orang lain, Emily menjadi merasa kesepian karenanya meskipun dia mendapat teman baru, pada saat itu dia bertemu dengan Natalie di cafetaria dan Natalie membawa makanannya untuk ditaruh diatas meja, tiba - tiba saja.
“Brakkkk”!! Dia memukul meja dengan kuat didepan Emily, tatapan dirinya sudah seperti musuh besarnya namun Emily dapat membaca isi perasaan Natalie yang sebenarnya. “Aku mau duduk disini dan kenapa harusss ada gadis freak seperti kamuu”!!! “Dasar gadissss tidak tahu diri, dasar anak norak” Natalie menghina habis - habisan Emily “Dan teman kamu sama noraknya dengan kamu” dia menunjuk kearah wajah Allyson dan Allyson dengan sekejap menampar wajah Natalie dengan keras.
“Aku sebenarnya tidak cocok berteman dengan Emily” dengan tegas dia mengatakan hal itu dan Natalie menjadi terdiam, Allyson meninggalkan Emily yang sedang sendiri berdiri di hadapan Natalie, pada saat itu Patrick melerai mereka semua, dan menarik pergelangan tangan Natalie ke suatu tempat.
“Natalie kamu harus dengar ini”!!! Dia berusaha untuk mengatakannya dan Natalie menunggu kata - kata itu.
“Akuu” dia berusaha untuk menyatakan cintanya tapi mulutnya terasa terkunci, hari demi haripun terus berlalu, entah kenapa sejak kejadian itu Natalie menjauhi sejenak Patrick untuk menenangkan pikirannya sendiri hingga tiba saatnya pada saat kelulusan SMA, Patrick meninggalkan sekolah dengan kalimat masih menggantung di hati Natalie, kini Nataliepun duduk di bangku kelas dua belas.
Dan saat dia akan mulai mendekati ujian SMA, ingatannya kembali pada Patrick namun dia sudah lama tidak pernah berhubungan dengannya lagi dan Patrick kini tidak tahu kemana
Part 6 Menghilang
Ujian kelulusan tinggal menghitung berapa hari, dan Patrick seperti sudah hilang ditelan bumi, tapi perasaan Natalie tidak pernah hilang untuk tetap menyimpan nama Patrick, dulu waktu di kelas sebelas dia sempat cemburu dengan Emily dan menjauhi, tetapi kini justru Natalie semakin memikirkannya, Emily sendiri seakan tidak pernah menghindar dari apa yang Natalie lakukan padanya, karena rasa bersalah meliputi dirinya, Emily sendiri mengorbankan perasaannya menerima sakit sendiri dihatinya, memiliki teman baru seperti Allyson memang menyakitkan, Allyson kalau mengirim pesan sms kepada Emilypun bukan seperti Natalie yang sangat perhatian kepadanya dan Emily tidak pernah lupa akan kata - kata Allyson kalau sebenarnya tidak terlalu cocok berteman Emily. Inikah yang disebut memaksakan diri melakukan hal yang sebenarnya tidak mungkin bisa dilakukan….?
Allyson, dengan ceria masuk ke dalam kelas, dia tersenyum, kepadanya namun terlihat tidak memperdulikan perasaan Emily saat ini, ekpreksi wajahnya dia berkesan hanya ingin mengobrol untuk kesenangannya sendiri. “Hi” dia menyapa Emily dan dia hanya tersenyum, Allyson tidak peduli ekpreksi wajahnya. “Aku mau traktir kamu selepas ujian nanti, kita akan bersenang - senang ke Disneyland” dia menawarkan ramah. “Aku ingin lebih baik mencari informasi universitas untuk kuliah nanti” Emily menolak halus. “Well its ok, kalau begitu aku pergi sendiri saja” Allyson meninggalkannya sendiri tanpa peduli keadaannya, sedangkan Natalie melihat mereka dari balik pintu kelas dengan meneteskan air mata, karena sikapnya yang ego Emily harus menderita batin seperti ini tapi rasa cinta kepada Patrick tidak bisa hilang dari hatinya, terlalu pedih untuk mengingat pada saat Emily berdekatan dengannya mesra, dan Patrick mengakui jatuh cinta pada Emily saat itu, tanpa mengetahui kebenarannya Natalie memusuhi Emily. Kini dia mencoba berjalan kearah Emily derap langkahnya perlahan, mendekati dirinya dan berdiri disamping kanannya dan Emily menolehnya.
“Natalie aku minta maaf” Emily pertama kalinya menegur Natalie kembali. “Tidak perlu semua sudah terjadi” Natalie melemahkan suaranya “Aku tidak tahan melihat kamu menderita karena berteman dengan Allyson yang cuek padamu, dan aku tahu semua karena kamu berusaha menjauhiku tetapi kamu justru mendapat hal yang buruk” Natalie berkata panjang lebar. Pertama kalinya Natalie bersikap lebih bijak dari sebelumnya dan Emily terlihat berpikir “Kamu yang lebih dulu melakukannya, dan aku hanya ingin selama ini juga menyendiri dulu” dia berkata dengan muram, Natalie sama muramnya dengan Emily. “Patrick sudah menghilang ditelan bumi, untuk apa kita bermusuhan lagi”! Tegas Emily kemudian, dan Natalie tersenyum mendengarnya, dia tidak dapat membendung perasaannya lagi dan memeluk Emily.
Akhirnya ujian kelulusan SMA telah tiba selama seminggu dan dari hasil pengumumannya mereka semua di nyatakan lulus termasuk Natalie dan Emily, kedua sahabat itu kini kembali berhubungan baik lagi, tetapi perasaan Natalie semakin terbawa arus oleh perasaan cinta yang belum sempat Patrick ketahui sampai saat ini, dan membuatnya semakin galau. Apakah Natalie harus melupakan Patrick, karena dia benar - benar sudah tiada tidak tahu kemana..?, Hpnya benar - benar tidak bisa dihubungi lagi.
Ada rasa yang tidak menentu di hati Natalie, beberapa hari ini pula tidak bisa tidur, selalu terbawa mimpi yang sama, seakan pertanda buruk tentang Patrick, ada suara ledakan dari pesawat yang sedang terbang di udara, malam itu Natalie tiba - tiba saja menjerit histeris karena mimpinya sendiri, dia menangis tersedu - sedu ada rasa takut dihatinya kalau Patrick benar - benar akan menghilang selamanya dihatinya.
Keesokan harinya, Natalie bergegas kerumah Patrick, untuk memastikan apakah mimpi itu benar - benar akan terjadi selama dalam perjalanan perasaannya amatlah kacau tidak karuan, dan rumah Patrick nampak kosong, air mata turun dengan derasnya perasaan cinta tidak dapat dibendungnya lagi, rasanya seperti mencintai tetapi hanyalah hampa dan Tuhan tidak mengizinkan untuk Patrick berjodoh dengan Natalie.
Seorang tetangga wanita berambut cokelat menghampiri Natalie yang berdiri didepan rumah Natalie.
“Are you find someone”? Dia bertanya
Natalie menoleh kearahnya, dengan tertegun sayu.
“Where they go”? Dia bertanya kembali.
“Sudah beberapa bulan yang lalu, mereka pergi katanya akan meninggalkan Amerika karena anaknya akan kuliah di Den Haag, tapi kami mendapat kabar kalau mereka semua kecelakaan pesawat” dia memberi tahukan.
Entah itu benar atau tidak, tapi menurut cerita wanita itu kalau dari orang yang menghubunginya menemukan identitas korban dengan nama Patrick Johnson dan keluarganya, tapi bisa saja salah karena di dunia ini ada banyak nama Patrick Johson tetapi dengan orang yang berbeda, air mata Natalie tidak dapat dibendung lagi dia menangis sejadinya dirumahnya, rasa cinta itu tidak pernah akan ada jawabannya dan tidak pernah ada balasannya serta hanya terpendam tanpa pernah terungkap selamanya.
Hari demi haripun berlalu berganti dengan tahun, dan akhirnya Natalie disarankan oleh orang tuanya untuk kuliah di Netherland, karena Jessica sudah semakin menua begitupun dengan Bram dan hanya hidup sendiri disana, jadi Natalie kuliah sambil menjaga Jessica dan Bram di negara tersebut, dari kampus mungkin jaraknya agak jauh dari rumah Jessica namun tidak masalah, dan satu hal juga Natalie sudah tidak pernah mengingat nama Patrick lagi karena baginya Patrick hanya tinggal kenangan di dalam hati, untuk apa bagi Natalie mencarinya karena Patrick benar - benar bukan jodohnya,
Dia jodohnya Tuhan sekarang ini, dan Patrick juga meninggal, rasanya wanita tetangganya itu tidak bohong padanya, tapi apa rasanya orang yang mengalami cintanya tidak tersampaikan.
Part 7 Laki - laki Misterius
Di kampus itu Natalie berjalan perlahan menelusuri lorong antara deretan loker dan duduk di anak tangga Fakultas Ekonomi, dia diterima di salah satu Universitas di kota Den Haag, nafasnya dihembuskan dari mulut sambil melihat kearah kedepannya, dan kemudian menunduk, dia melihat jam tangannya masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan untuk masuk ke dalam kelas berikutnya masih nanti jam dua belas, rambut cokelatnya tergerai ke belakang, dan usianya kini delapan belas tahun, seorang gadis melangkah disamping kanannya dan berdiri menghadapinya.
“Natalie, kita ke perpustakaan yuk, untuk mengerjakan tugas” dia mengajaknya “Sebentar lagi Alina” Alina adalah sahabatnya selama Natalie duduk di perguruan tinggi, dia duduk disamping Natalie memerhatikan ekpreksi wajahnya sedang tertegun. “Ada yang kamu pikirkan”? Dia bertanya ingin tahu “Tidak ada” Natalie menggeleng, lalu beranjak berdiri sambil menarik tangan Alina, wajahnya berubah semangat, untuk ke perpustakaan, ada keresahan tidak menentu sebenarnya dari dalam jiwa Natalie. “Ayo kita kerjakan tugas sekarang” dia terlihat menggebu, kemudian Alina mengikutinya keduanya berjalan kearah perpustakaan, dan disana mereka mengerjakan tugas bersama sambil membahasnya, dengan berdiskusi bersama.
Setelah pulang kuliah di sore hari, Natalie menonton Tv, di sofa berwarna merah dia teringat akan Larry dan Zayn kedua kakaknya yang kini telah menikah dan memiliki kehidupan baru dengan keluarga baru mereka, Zayn sekarang tinggal di Florida bersama Lily istrinya dan Larry tinggal di New York dengan istrinya Vanessa tetapi yang sudah memiliki anak pertama adalah Larry yang tertua, Zayn istrinya baru mengandung empat bulan.
Jessica keluar dari kamarnya, dia menginjak lantai kayu dengan sandalnya, dan hawa dingin semakin terasa karena akan mendekati malam, Jessica mengenakan jaket berwarna putih, kemudian Bram baru saja dari luar dia suka berkunjung kerumah temannya sekedar mengobrol dengan secangkir kopi, Natalie melirik kearah Jessica kearah lebih dulu yang duduk disampingnya dan Bram tersenyum sambil melintas di depan Tv, untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Perasaan kalau dipendam tidak pernah dikeluarkan akan semakin membuat pedih” dia menasehati Natalie. “Percuma, Patrick sudah meninggal, dan itu sepertinya memang keluarga Johnson nama keluarga Patrick, aku berpikir demikian dan aku sudah lelah” dia meneteskan air matanya sepertinya kesedihan itu selama ini sebenarnya dipendamnya dan Natalie hanya berpura - pura melupakan Patrick.
“Ja, Oma tahu perasaannmu” dia mengelus rambutnya perhatian. “Aku mencintainya dan benar - benar mencintainya” Natalie berguman sendiri, dalam pikirannya mungkin saja perasaan yang masih menggantung akan sebuah kalimat tidak tersampaikan itu bisa tersampaikan kalau dia bisa menemui Patrick di dunia lain, tapi rasanya sungguh berdosa kalau Natalie bunuh diri, namun mencoba melupakan Patrick selama ini bagai hanya kepalsuan belaka isi hatinya.
“Aku lelah menipu diriku sendiri, untuk mencoba tidak memikirkan Patrick lagi karena teryata aku tidak bisa melakukannya, perasaanku masih sama seperti yang dulu” Natalie berpikir dirinya sendiri.
Bram ikut duduk disampingnya, sambil memainkan Hpnya dia menerima WhatsApp dari Rina yang menanyakan kabar putri satu - satunya.
“Mamamu mengirim pesan” Bram memperlihatkan layar Hpnya dan Natalie hanya mengangguk lesu. “Aku mau telepon mama dan papa dulu kalau begitu” Natalie masuk ke dalam kamarnya kiranya dia bisa sejenak menghibur dirinya dengan berbicara di telepon dengan orang tuanya di Amerika.
“Halo” Natalie menaruh layar di telinganya dan terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon.
“Hi, nak apa kabar, bagaimana kuliah kamu disana”? Suara Rina terdengar meletup
“Baik” Natalie menjawab dengan semangat
“Jaga Oma dan Opa baik - baik yah” dia berpesan sambil mengakhiri pembicaraan.
Malam harinya pada saat Natalie sudah tidur, mimpi itu tidak datang lagi seolah Patrick memang benar - benar pergi selamanya.
Keesokan harinya pada saat di dalam tramp menuju kampus, di pagi yang langit biru dan hawanya lebih dingin dari biasanya, Natalie duduk di pinggir jendela, matanya menatap kosong kearah ke jalan, dan pada saat berhenti di sebuah halte, seorang lelaki dengan kemeja kuning masuk ke dalam bis dengan dua orang temannya, kelakuannya seperti mencerminkan laki - laki yang bersikap kampungan, dia tertawa keras - keras, padahal orang yang duduk di belakang mereka sudah melotot dengan tajam, mestinya orang - orang yang tinggal disini sangat menjaga sikapnya tetapi dia tidak, mereka berbicara menggunakan bahasa setempat dan terlihat penduduk asli, laki - laki itu menyandang ransel di bahu kanannya.
“Shut upppp”!!!! Natalie bertreriak dari jauh, wajahnya diperlihatkan sedang emosi, Natalie mengira dia akan diam tetapi sebaliknya, dia melotot kearah Natalie.
“Baru kali ini yah ada yang berani denganku” dia bersikap seperti jagoan yang sangat arogan dan tidak terkalahkan. “Sudahlahh, dia juga hanya seorang gadis” temannya menepuk bahunya dengan tertawa terbahak - bahak. “FREAK YOU”!!!!! Mendengar kata - kata itu, emosinyapun langsung meledak.
“Heyy kamu ini siapa yahhh, berani sekali rasanyaaa kamu tidak tahu siapa aku”? Dia bersikap sombong.
“I DONT KNOW”!! Natalie membentak dengan keras, dan pada saat meninggalkan kendaraan rupanya laki - laki itu masuk ke dalam kampus yang sama, hanya saja dia berjalan kearah Fakultas yang berbeda, dan rasanya benar - benar seperti dunia akan hancur kalau satu kampus dengan laki - laki arogan, sombong, dan kampungan serta tidak tahu aturan begitu.
Natalie masuk ke dalam gedung fakultas dengan perasaan menggebu emosinya dia duduk di taman sambil membuka laptopnya dan Alina menghampirinya dari kejauhan, lalu duduk disampingnya nafasnya terdengar ngos - ngosan. “Kamu memang habis lari marathon ha…ha…ha” Natalie meledeknya sambil tertawa pelan. “Enak saja, aku dari tadi sedang mencarimu” Wajah Alina nampak cemberut.
Kemudian Natalie terdiam sejenak, dan memandang kedepan melihat rumput disana, dan Alina memerhatikan dirinya sambil memiringkan matanya, menatapnya ingin tahu isi hatinya namun Natalie tiba - tiba saja berdiri sambil menyandang ranselnya di bahu kanan, dan meninggalkan Alina disana.
Dia berjalan melangkah menelusuri lorong kemudian masuk ke dalam Cafetaria, Natalie masih ada kelas nanti jam dua belas, dan sekarang baru jam sebelas, Natalie mengambil nampan makannya dan memilih Burger di dalam etalase kaca kemudian mengambil juice strawberry dan membawanya kasir untuk membayar lebih dulu, baru duduk di kursinya.
Dia menyuap burger sambil menghadap etalase makanan prasmanan tersebut dan laki - laki yang barusan di tramp melintasj dirinya, dia selalu tidak pernah sendirian, pasti bersama dua orang temannya tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya piring disisir kesamping belahannya.
“Brakkkkk” suara meja dj hentakkan membuat Natalie tersentak menoleh ke arah disamping kirinya, rupanya dia juga tukang bully orang yang terlihat lemah. Seorang mahasiswa nampak takut memandang wajahnya, dia tidak berani menatap matanya.
“Semester berapa kamu”? Dia bertanya kasar “Vierr” dia menjawab dengan suara gemetar “Ja anak baru angkatan kencur sudah berani dengan yang lebih tua, kamu ikut komunitas basket denganku tapi kenapa kamu kemarin tidak datang”?? Dia bertanya dengan berteriak.
“Kemarin aku masuk rumah sakit” dia merasa ketakutan.
Natalie memandang dengan menggeleng kelakuan laki - laki itu, sambil menepuk dadanya rasanya kalau di kampus disini tidak pernah ada senioritas tapi mereka melakukannya dan rasanya hanya mereka saja yang melakukan itu, dan nampaknya kedua temannya itu justru mengompor - ngompori.
Dan hanya mereka yang melakukan seperti ini, ada seseorang yang melihat mereka dan dia seorang gadis hendak mendekatinya.
“Kamu jangan berbuat onar lagiii, kalau sampai pihak dosen tahu, bisa - bisa kamu kena sanksi dan ini kampus bukan tempat berkelahi”!!! Dia berteriak tidak suka melerai kelakuannya.
“Bisa - bisa nama baik kampus kita tercoreng” dia memperingatkan.
Natalie yang melihat perkelahian itu, teringat kalau dulu Hendra pernah bercerita waktu dulu kuliahnya sangat nyaman dan tidak pernah ada kejadian yang mencoreng nama baik kampusnya. Dan memang waktu Natalie pertama kali kuliahpun tidak ada yang namanya dikerjai oleh senior namun yang dilakukan laki - laki itu bukan seperti mengerjai junior melainkan seperti merasa sok berkuasa.
“Alaah, kamu itu perempuan tidak usah ikut campur urusan laki - laki” dia menyahutnya dengan pedas, kata - kata itu sama persis seperti yang dilontarkan kepada Natalie pada waktu di bis seperti meremehkan perempuan. Natalie ingin ikut membela namun dia tidak ingin masalah menjadi besar.
“Okeeyyy jadi kamu mau apa”!!! Perempuan yang disebelahnya terlihat marah. “Itu urusanku” dia berkata sinis, dan tangannya yang meremas kerah baju korbannya dilepaskannya dan meninggalkannya tidak berdaya begitu saja, laki - laki itu nampak sangat ketakutan hingga matanya melotot tajam.
Dan pada saat dia berjalan keluar cafetaria, dirinya melintasi Natalie di belakangnya sejenak dia memandangnya dengan tajam baru melanjutkan langkah kakinya dan Natalie hanya terdiam terpaku disana.
Kejadian itu tidak pernah bisa dilupakan olehnya, matanya masih terbayang kelakuannya, pada malam harinya Natalie sedang berjalan di sebuah taman, dan dia teryata juga ada disana, duduk melamun dalam sebuah kursi, kali ini dia sedang sendiri. Dan sepertinya sikapnya jauh berbeda dibanding di kampus.
Yah sikapnya memang terbilang misterius kasar, arogan, seenaknya sendiri, tidak tahu aturan, urakan tapi dia memiliki hal yang terselip di hatinya, Natalie melihatnya dari jauh dia baru menerima telepon, dan teryata mahasiswa yang kemarin di bully olehnya bukan hanya sekali saja mengalami, karena dia menjadi tertekan dia mengadu pada orang tuanya dan kini wajahnya berubah cemas, dia meninggalkan kursinya dan terlihat akan pergi ke suatu tempat.
Keesokan paginya di kampus, laki - laki itu nampak berbuat masalah lagi, dia kali ini menghina seseorang mahasiswi di grup Facebook hanya karena dia mengirim WhatsApp tidak dijawab olehnya.
Begini kalimat bunyinya
“Dasarr yahhh punya hp tapi seperti tidak punya jangan - jangan hpnya itu juga nomornya membohongiku hufff buang saja hpnya kalau begitu, dasar anak orang kaya sombong”
Dan kalimat itu menyakitkan hatinya tapi yang Natalie sedang pikirkan memang ada sesuatu tersembunyi dari dalam dirinya dia menyinggung soal orang kaya.
Kelihatannya dia juga tidak punya teman selain dua orang temannya itu, mungkin karena jengah dengan sifatnya.
sore harinya pada saat pulang dari kampus Natalie duduk di tramp, dan laki - laki itu juga masuk kembali ke dalam tramp yang sama, disana sudah penuh orang dan kursi yang tersisa hanyalah disebelah Natalie mau tidak mau dia harus duduk disana.
“Kamu lagi”? Dia menegur Natalie dengan sangat tidak ramah, karena mengingat kejadian awal bertemu dengannya.
“Yah dan sebenarnya aku juga tidak sudi duduk disebelahmu” Natalie membalasnya ketus.
“Kamu sudah semester berapa memang”? Tanya Natalie kemudian. “Setahun lagi aku akan mengambil skripsi dan sebenarnya aku kuliah agak terlambat untuk mengejar kelulusan…” dia bercerita sedikit.
“Yah karena kamu seorang yang tukang berbuat onar di kampus, aku yakin pasti mata kuliah kamu banyak yang gagal” Natalie menanggapi dengan nada tidak ramah
“Itu urusankuuu, lagipula kamu ini tahu apa tentang aku” dia mulai bersikap sombong
Namun terlihat dia tidak melakukan apapun, yang lebih terhadap Natalie dia hanya cemberut kemudian menatap Natalie sinis, sikapnya memang dingin. “Siapa nama kamu”? Tanyanya kemudian, Natalie hanya menjawab datar dirinya
“Natalie” “Hans” dia menyebut namanya
Dengan sikap yang kaku pada saat bis itu berhenti, Hans turun lebih dulu dan Natalie baru belakangan, rasanya seharian dalam bis bersama orang semacam dia, gerah juga, Natalie merapikan jaket yang dikenakannya sambil memandang ransel di bahu kanan, menuju gedung fakultas kemudian menelusuri lorong, lalu membuka salah satu pintu kelas dan disana sudah ada beberapa orang yang datang, Natalie memilih tempat duduk di bagian kursi pojok dekat tembok sebelah kanan, kemudian mulai membuka laptop untuk sekedar menyimpan data tugas yang baru selesai lalu menutupnya kembali.
Proffesor Andrianus, baru saja masuk ke dalam kelas dan kemudian menaruh tasnya diatas meja dan memanggil nama absen masing - masing yang mahasiswa atau mahasiswi yang mengambil kelas mata kuliahnya kemudian memulai materi pembahasannya dan baru selesai jam dua belas.
Setelah selesai Natalie keluar kelasnya dan tiba - tiba saja dia mendapat telepon dari Oma Jessica
“Yah halo oma” Natalie menyahut telepon dengan sopan.
“Nak nanti pulang kuliah, kita hari ini beli makan saja yah diluar, opa sekalian nitip sambal goreng, dia suka sekali” terdengar suara Jessica dari seberang telepon.
“Iyah nanti aku belikan” Natalie menyudahi teleponnya
Malam hari itu…
Hans berjalan kearah sebuah pusat rehabilitas, selama ini dia kuliah sambil merawat sepupunya yang mengalami sedikit gangguan psikologi mental, orang tuanya telah tiada karena kecelakaan bis dan sejak saat itu dia mengalami trauma yang sangat dalam karena satu keluarga tidak ada yang selama, hidup sendiri bagai kapas yang tak bertuan dan sayap yang patah hanya tersisa oleh luka berdarah.
Hidup Hanspun harus mengurus dirinya karena hanya dia sepupu terdekatnya meski jarak negara memisahkan, gagal sudah impian juga untuk masuk ke universitas tidak main - main itu hancur sudah hidup dan mungkin lebih baik mati.
Dibalik sifatnya yang yang seenaknya di kampus teryata dia sosok yang bijak, sosok yang justru menyimpan kebaikan yang mereka tidak ketahui, penyebab sifat buruk Hans selama ini adalah karena dia merasa orang - orang kaya adalah orang yang kejam, terutama kalau dia seorang gadis, karena kekayaan yang dimiliki oleh sepupunya dulu jatuh begitu saja karena keadaan dirinya, bahkan Hans yang bukan orang berkecukupan harus menyisikan uang kuliahnya untuk biaya perawatan.
Di dalam lorong dia masuk ke dalam dengan ukuran besar dan sepupu Hans duduk dengan tatapan kosong diatas ranjang, air matanya menetes seperti kalau mengingat tentang Amerika Apalagi tentang bis yang membawanya bernasib tragis.
“Kamu makan dulu yah” dia berkata ramah sambil menyuapkan makan padanya
“Natalie” tiba - tiba saja dia menyebut nama itu, dan nama itu membuat Hans berpikir rasanya nama itu tidak asing di telinganya, namun tidak mungkin kalau Natalie teman kampusnya.
“Patrick, Natalie siapa yang kamu maksud”? Dia bertanya dan Patrick hanya diam saja, keresahan mulai menerpa dirinya, baginya mustahil kalau itu adalah Natalie gadis itu.
“Makan dulu saja yuk” Hans menyuapkan makan ke dalam mulutnya lagi, dan Patrick hanya bisa meneteskan air mata, dia sudah tidak bisa bicara layaknya orang normal selama ini dia hanya diam seribu bahasa dan pertama kalinya dia menyebut nama Natalie.
Jadi selama ini yang mengalami kecelakaan pesawat itu adalah keluarga Johnson yang lain yang nama keluarganya serupa dengan nama keluarga Patrick, dan sebenarnya keluarga Patrick mengalami kecelakaan bis pada saat mereka pindah ke Den Haag dan Patrick hendak kuliah disana.
Part 8 Keresahan
Di tempat yang berbeda Natalie sedang, membayar di kasir dia baru saja membelikan makanan kesukaaan Bram dan Jessica, pada saat di trotoar jalanan tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang gadis, Natalie melihat seperti gadis yang bersama Hans waktu itu, dia tersenyum pada Natalie sambil membantunya berdiri.
“Kamu Natalie kan anak dari fakultas ekonomi”? Dia bertanya
“Yah benar” Natalie hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkannya, entah bagaimana tiba - tiba saja perasaannya menjadi resah saat bertemu dengannya, bagai badai yang menerpa kencang dalam tubuhnya, alam pikirannya tiba - tiba menjadi kacau.
“Tidak ada yang bisa menggantikan Patrick dihatiku, biarlah aku sendiri berteman cinta yang hanyalah hampa dan cinta itu hanya aku saja yang tahu” dia berkata dari dalam hatinya.
Di sepanjang perjalanan, keresahan yang tanpa arah mengisi jiwanya begitu saja, tiba - tiba saja entah kenapa….? Natalie teringat kembali tentang Patrick, yang telah tiada di dunia dengan meninggalkan cinta yang belum sempat diketahui olehnya dari Natalie.
“Tuhan, kenapa aku harus hidup tanpa Patrick” kata hatinya bicara kembali
Air mata Natalie terasa meleleh, impian Natalie dia tetap bisa bersama - sama dengan Patrick kemana saja waktu akan membawa pergi, tapi adilkah hidup…? Jika Patrick yang harus pergi dulu darinya.
Sulit rasanya untuk saat ini membuka hati pada yang lain, biarlah Patrick hilang tetapi cinta tetap hidup di jiwa.
Rasanya Natalie ingin sekali, mencari makam Patrick, tapi dimana…? Dan sepertinya jasad Patrick sudah tidak utuh lagi, tapj biarlah Natalie memeluknya, menangis di samping dirinya “Aku mencintainya, tapi kenapa Tuhan membiarkan cinta itu hanya menggantung dalam hatiku tanpa mendengarkan dulu perasaanku padanya…”
“Patrick apakah yang kamu katakan itu benar adanya, kalau kamu mencintainya.., bukan aku, tapi kenapa kamu justru memberikan hatimu padaku, dan kamu tahu perasaan ini sama” Natalie berkata dari dalam hatinya,
“Emily yah, aku harus menghubunginya” dia berkata lagi dari dalam hati.
Malam harinya keresahan yang semakin menjadi puncak di jiwa, semakin membuncah Natalie meremas Hp dalam genggamannya dan mengirim whatsapp pada Emily.
“Emily apa kabar”?
“Baik” dia menjawab singkat
“Bagaimana kuliahmu dj Den Haag”? Dia bertanya kembali
“😊”
Entah apa maksudnya Natalie hanya memberikan simbol smile di layar balasan whatsapp
Emily membalas emoji tersebut
“😮”
“aku ingin membahas tentang Patrick yang selama ini sudah terkubur lama”
“Natalie sudahlah.., aku tahu perasaan kamu” Emily langsung menyahutnya
“Kamu tahu sesuatu tentang Patrick”? Natalie mendesak Emily hingga akhirnya dia harus mengeluarkan perasaannya pada Natalie.
“Patrick, tidak pernah mengatakan apapun padaku waktu itu, bahkan dia juga tidak pernah menyatakan cintanya padaku, sama halnya dengan dirimu. Aku merasa juga sebenarnya ada yang janggal darinya dan kini telah terkubur selamanya tanpa terungkap” Emily menulis panjang lebar di whatsapp
Hal itu membuat Natalie berpikir, dia harus menguak misteri tentang Patrick, namun bagaimana caranya, andai saja dia bisa menyusulnya mungkin misteri itu akan terungkap.
Part 9 penyelamat hidup
Di malam itu, Natalie berjalan sendirian dalam sebuah taman, pikiran tentang Patrick akhir - akhir ini semakin menghantuinya, pikiran yang terselubung tak mampu di tahannya lagi, air mata menetes sambil di kursi taman itu, kemudian beranjak dari kursi untuk berjalan kearah Tengah jalan rasanya memang benar - benar semua tidak berarti lagi, sebuah kendaraan Sedang melintas dengan ngebut hendak menabrak dirinya, tapi ada seseorang yang menarik tangannya dari arah samping, dan tubuh Natalie terjatuh kearah samping tengkurap memeluknya dan setelah dia sadar, matanya terbelalak memandang laki - laki yang telentang memeluknya.
“Hans” dia menyebut namanya wajahnya tercengang, tidak percaya kalau teryata laki - laki menyebalkan seantero kampus menyelamatkan hidupnya, Natalie berdiri lebih dulu kemudian merapikan kemeja serta jaket yang dikenakannya, Hans juga ikut berdiri disamping kirinya.
“Memangnya tidak ada orang lain apa, sepertinya kemana - mana selalu ada kamu….” Natalie mengeluh.
“Kalau kamu hantu, aku sudah panggilkan pengusir hantu buat mengusir kamu selamanya…” dia menambahkan kalimatnya.
“Dasar yah perempuan tidak tahu dirii…” Hans membalasnya dengan ketus.
“Daripada kamu, anak tidak pernah diajari oleh orang tuamu yang baikkk”!!!! Natalie memekik keras.
Mendengar ini, emosi laki - laki itu menjadi bertubi - tubi, entah apa yang dirasakannya seperti kata - katanya amat menyinggung perasaan dirinya, tangannya mengepal ingin menampar wajah Natalie namun dia menahannya, apa yang tersimpan dibalik dirinya, Natalie melotot memerhatikan wajahnya dengan tajam, diapun membalasnya, wajahnya marah benar - benar tidak biasa dan kini Natalie merunduk, dia merasa takut.
“Aku minta maaf, aku hanya merasa sebal dengan kelakuanmu di kampus” dia mengungkapkan perasaannya.
Natalie benar - benar sadar, jika seseorang itu terlihat tidak sempurna dari luarnya maka justru dari dalam dirinya jauh lebih sempurna, Hans menatap wajah Natalie, dan teringat akan sepupunya yang mengucap nama Natalie, namun rasanya ada ratusan nama Natalie di dunia dan bisa saja Natalie lainnya bukan yang saat ini bersamanya.
Entah bagaimana, dia seperti ingin mulai mendekati dirinya dan mengubah sifat buruk dirinya sejak mengenal Natalie, tetapi Natalie masih terperangkap dalam kisah lalunya bersama Patrick dan mau sampai kapan dia belum juga bisa mengubah kehidupannya.
Ada sebuah perkataan yang menyadarkan dirinya dari Natalie dan itu yang membuatnya sadar akan kesalahan di masa lalu dirinya, dia tidak lagi membully orang atau berbuat masalah seperti dulu.
Natalie memikirkan kejadian itu, pikirannya semakin menjadi rumit baginya, ada rasa yang tak bisa untuk seculi saja menghilangkan rasanya pada yang lain, sampai kapanpun hanya boleh nama Patrick yang singgah dihatinya
Dia baru selesai mengerjakan tugas, lalu melihat buku yang tergeletak disampingnya. Buku hariannya dulu tentang Patrick, Natalie hendak meraihnya namun suara ketukan pintu dari luar mengagetkan dirinya.
“Iyah oma” dia menyahut sambil menutup laptopnya kembali, kemudian berjalan kearah pintu kamarnya untuk membukanya, dan Natalie berdiri dari ambang pintu.
“Kamu kapan liburan semester”? Dia bertanya
“Sejauh ini masih perkuliahan biasa”? Jawab Natalie.
“Mama dan papa, katanya akan berkunjung kemari kalau kamu sudah liburan semester dan mungkin kita akan jalan” Jessica memberi tahukannya.
“Yah, oma” Natalie kemudian menutup pintunya kembali, ada hasrat kalau dia ingin membuka harian miliknya, namun Natalie sudah tidak kuasa lebih dulu menahan air matanya melihat foto Patrick terselip di sela halaman buku, tangannya terasa gemetar dan tanpa sadar menjatuhkan buku tersebut, sulit untuk mengembalikan waktu yang telah berubah kecuali dengan melakukan bunuh diri, karena hidup di dunia adalah butuh cinta.
Siapapun dia tetap membutuhkan cinta dengan lawan jenisnya dan kelak akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat. Rasanya fana bila hidup tanpa cinta dari kekasih, dan kekasih Natalie hanyalah Patrick meski belum menjadi resmi kekasihnya tetapi hanya tambatan hati.
Sampai detik ini, baginya masih sulit bangkit dari terpuruk di masa lalu karena cinta, dia masih merasa Patrick itu hidup walau sudah tiada, hidup sampai kapanpun di hati dan cinta tak pernah mengenal batasan waktu atau jaman telah berubah.
Dalam tempat yang berbeda, Hans juga memikirkan kejadian itu, hatinya merenung tentang Natalie, dia sosok yang berbeda dari yang lainnya, dan hal itu yang membuatnya akhirnya sifatnya berubah.
Tetapi sebenarnya ada gadis lain yang mengejar dirinya, sejak dulu, gadis itu bernama Marion, gadis yang waktu itu melerai perkelahiannya dengan laki - laki yang berada di cafetaria, namun Hans tidak mudah untuk jatuh cinta begitu saja, dia tidak ingin sosok perempuan seperti mamanya dulu yang meninggalkan papanya dengan wanita lain, hal itu yang membuat awalnya laki - laki ini, berpikir semua wanita adalah sama, tetapi lain hal dengan Natalie yang justru sulit berubah untuk menjalani hidup barunya, menerima kenyataan kalau Patrick bukanlah jodoh untuknya.
Kegagalan cinta memang menyakitkan, apalagi kegagalan itu jika cinta itu hanya bertumpu pada harapan yang semu, mau sampai kapan hidup Natalie terus begini, tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Namun Hans tidak tertarik padanya, Marion sosok gadis yang ego dan keras kepala untuk mendapatkan sesuatunya harus terpenuhi. Hans membuka pintu kamarnya dan menelusuri setiap sudut ruang untuk berjalan kearah ruang tv, rumahnya memang tidak besar karena dia bukan orang yang berkecukupan.
“Jika ada tawaran ada yang bisa aku kerjakan, mungkin aku boleh melakukannya” dia berkata pada Elena mamanya.
“Kamu tidak khawatir dengan masalah student pass kamu” laki - laki itu tahu yang dimaksud dan resikonya jika ketahuan dia bekerja sambil kuliah, tetapi uang yang disisihkan selama ini sudah banyak dikeluarkan demi membayar biaya perawatan Patrick dan itu uang Elena, bukan dari hasil tenaganya sendiri, sebagai laki - laki yang sudah dewasa baginya harus bersikap dan punya tanggung jawab lebih besar kalau perlu pengorbanan yang membuatnya lemah dan menderita.
“Aku tidak peduli dengan student pass, aku dulu sudah sering berbuat onar juga, dan sekarang aku ingin benar - benar juga, mereka sudah mengenal sifatku yang tidak baik dan mama pernah terseret juga ke dalamnya” dia berkata panjang lebar.
“Aku tahu itu bukan sebenarnya dirimu” dia mengelus rambutnya dengan bijak, ada perasaan yang menyelinap kembali di hati tentang nama Natalie di waktu yang bersamaan, dia menghela nafas panjang lebar.
“Barang siapa yang memang sudah menghancurkan hidupnya, sampai mati aku akan mengejar orang itu, Patrick dia sepupu aku yang amat aku sayangi” dia berkata tegas, dan tahukah Hans, jika Patrick mengenal Natalie dan itu adalah Natalie yang dimaksud adalah orang yang hanya satu kampus dengannya bukan yang lain, jika tahu dia akan berbuat yang akan sangat menyakitkan pada Natalie, kalau mengetahui sebenarnya selama ini Patrick menyimpan rasa cinta pada Natalie.
Keesokan harinya di kampus, Natalie sedang di depan layar laptop untuk mengetik tugasnya, matanya terfokus pada setiap kalimat yang dilihatnya, dan Hans berbuat hal yang tidak biasa padanya yaitu mendekatinya.
Perasaan yang sudah mati dan membeku, tetap saja membuatnya bersikap datar meskipun mereka sudah tidak lagi berkelahi.
“Aku sedang mengerjakan tugas makalah yang menumpuk akhir - akhir ini” dia bercerita pada saat laki - laki tersebut menarik kursi di depan mereka untuk duduk.
“Mestinya kamu biarkan aku mati kemarin”! Suaranya terdengar dalam, dan hal ini membuat pikiran Hans ingin menembus apa yang ada dalam otak Natalie.
“Kenapa kamu berpikir begitu”? Dia bertanya
“Jangan desak aku bercerita tentang ini” jawab Natalie
“Mungkin kamu tidak pernah merasakannya” dia meneruskan kalimatnya, lalu Natalie meninggalkan tempat tersebut dan Hans masih duduk disana, rasa yang bersemayam dalam hati adalah tak biasa, dan rasa itu karena melihat melihat sifat Natalie yang lembut, pemuda mana yang tidak tertarik pada gadis lemah lembut tapi juga tidak mudah didekati, dan itu yang membuatnya penasaran.
“Sekarang aku sadar yang aku lihat bukanlah dunia yang orang tahu tentang dirimu, tapi yang mereka tidak tahu, namun maaf aku masih menyimpan perasan ini pada Patrick selamanya” Natalie berkata dari dalam hatinya.
Hans yang masih terbujur duduk disana, terpikir kembali tentang kalimat apa yang dikatakan oleh Natalie padanya tentang orang tuanya, yah memang penyebab dia mudah tersinggung kalau disinggung tentang orang tuanya, karena adanya keluarganya yang berantakan, dia menjadi sensitif dengan kalimat tersebut, karena seakan mengingatkan kembali pada perceraian orang tuanya dimana Robert papanya meninggalkan Elena begitu saja, sungguh menyakitkan, baginya dan Elena harus berperan sebagai mama sekaligus papa di dalam rumah, yah dia wanita yang tegar tapi juga wanita yang sibuk namun untungnya mampu meluangkan waktu untuknya, namun ada hal yang paling menyakitkan, dimana semua kekayaan yang dulu harus jatuh berserakan demi pengorbanannya pada Patrick, meski pedih tapi harus merelakannya, Patrick lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri karena itu Hans selalu sinis terhadap orang kaya yang nampak hanya menghamburkan uang saja tidak ada gunanya, apalagi jika anak - anak mereka dimanja oleh harta. Karena itu sikapnya menjadi seperti menjadi berkesan arogan, sombong, tidak tahu aturan, sinis, dingin dan ketus akhirnya berbuah menjadi tukang pembuat masalah karena orang menjadi menjauh padanya untuk berteman, kecuali dua orang temannya itu.
Part 9 Kebencian Paling Menyakitkan.
Natalie, baru saja keluar dari dalam toko, dan berpas - pasan dengan Alina di pinggir jalan, dan entah kenapa tiba - tiba saja wajahnya berubah menjadi serius
“Kamu mengenal Henry Walker” ?
Mata Natalie terbelalak mendengarnya bibirnya terasa membeku, dan pikirannya kembali pada patrick, jantungnya berdegup keras naik dan turun, sekujur tubuhya terasa membeku.
“Aku mengenalnya tapi tidak begitu waktu sma” Natalie mengangguk lemah.
“Dia bercerita temannya Patrick johnson” mendengar bagian kalimat ini, rasa yang semakin menyesakkan hati Natalie semakin bertubi.
“Aku hanya berpikir, kasihan dengan gadis yang selama ini hanya digantungi oleh Patrick bahkan sampai membawanya mati, itu karena Patrick tidak sanggup menyatakan cinta padanya, yang ku tahu lagi juga, karena dia punya sepupu, yang mamanya terluka karena cinta, Patrick tidak ingin mengalami seperti dirinya, dia hanya mau kalau mencintai adalah yang tulus, karena itu tidak mudah baginya mengatakan jatuh cinta pada seorang gadis manapun” dia bercerita panjang lebar, dan air mata Natalie menangis mendengarnya.
“Alina gadis yang Patrick gantungi selama ini sampai dia meninggal itu aku” Natalie berkata dari hatinya yang paling dalam.
“Je dentk kao jou”? Alina bertanya, dan Natalie hanya diam murung, bibirnya terasa membeku.
“Apa hubungannya kamu dengan Henry”? Suaranya tiba - tiba meninggi, perasaanya mulai kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, Alina mulutnya terasa dikunci rapat.
“APA HUBUNGANNYA KAMU DENGAN HENRYYY”? emosinya semakin tidak terkontrol, Alina hanya bisa bengong menatap sikap Natalie yang begitu emosional mendengar nama Patrick disebut, dan Alina merunduk merasa bersalah, telah menceritakan sesuatu yang menjadikannya masalah besar.
“Berapa nomor whatsapp Henry aku mau bicara”!! Suara Natalie terdengar serak parau, air matanya tidak dapat ditampung lagi olehnya.
“Aku adalah teman masa kecil Henry, sebelum aku pindah ke negara ini” Alina menjelaskan padanya.
“Sebenarnya selama ini dia banyak bercerita tentang kelemahan Patrick dan sesuatu yang mungkin kamu belum tahu” Alina berkata pelan - pelan.
“Aku tahu semua tentang Patrick dia temanku dari umur dua belas tahun, Alinaaaa” Natalie memekik melengking
“Jangan sebut Patrick sahabat atau teman, kalau kenyataannya yang di hatimu dengannya sama”!! Tegas Alina memotong perkataan Natalie dengan cepat.
Pada saat itu Alina yang mengenggam Hpnya menyambungkan teleponnya ke Henry kemudian setelah tersambung dia memberikannya pada Natalie.
“Halo Henry apa kabar ini aku Natalie”? Dia menangis sambil menaruh Hp di telinga.
“Bisakah kamu hubungi ke nomorku, biar Alina yang nanti memberikannya” dia langsung mengakhiri teleponnya dan rasanya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu, tidak lama Henry mengirim whatsapp pada Alina.
“Alina, berapa nomor whatsapp Natalie”?
Dan Alina langsung menulis nomornya di balasan pesan kemudian mengirimnya.
“Kamu memang butuh bicara pada Henry tentang Patrick” Alina mengangguk tegas, dan Natalie yang masih belum mampu mengontrol emosinya dia langsung jatuh di pelukkan Alina rasanya sangat menderita juga, menahan perasan cinta yang semakin malam menjadi siksa hatinya karena hanya tertahan dengan hampa.
“Natalie sabar yahhh” Alina mengelus rambutnya sambil memeluknya.
Malam hari itu….
Dirumah Hans, Marion datang kerumahnya, dia meneguk minuman yang berada diatas meja dan menaruh gelasnya kembali, tatapan matanya terasa tajam dan dingin, peragainya seperti gadis yang kejam, dia menyimpulkan senyuman kaku pada Hans.
“Belakangan kamu dekat dengan mahasiswi bernama Natalie”? Dia memulai pembicaraan
“Biasa saja” dia hanya menanggapi dengan santai.
“Bukankah kamu anti dengan orang kaya selama ini”? Perkataannya membuat wajah Hans berubah kepadanya dengan ekpreksi tidak senang.
“Kalau maksud kamu hanya bertujuan cari masalah keluar dari rumahku sekarang”! Tangannya menunjuk kearah pintu rumahnya.
“Selama ini bukankah itu kelakuanmu, hingga aku justru aku yang jengah terhadap dirimu, kamu membully orang yang lemah darimu dan, kamu membenci orang kaya, kamu tukang pembuat masalah di kampus. Karena itu kuliahmu terlambat selesai, bagus kalau mereka masih memberimu kesempatan tapi sekarang kamu berubah seperti bukan diri kamu” perkataan Marion seakan memojokkan dirinya.
“Je beb e jelouser Natalie”? Tatapan mata Hans tidak berkedip padanya.
“Kamu tahu sendiri nanti” Marion seakan mengancam dirinya.
“Apa rasanya jika cinta ditolak hingga puluhan kali, harus ada yang dibayar” dia keluar rumah dengan perasaan yang begitu marah, dan sikapnya tidak biasanya. Selama ini laki - laki itu memang sudah acap kali, menolak Marion pada saat memberikan perasaannya padanya, meskipun dia juga punya sifat buruk tapi dia tetap masih bisa untuk berpikir jernih soal cinta, sebagai laki - laki tetaplah wanita terbaik yang dipilihnya, memiliki sifat lemah lembut dan tidak agresif berlebihan.
Marion yang dibakar cemburu terdalam, berjalan kearah halte untuk menunggu bis dan dia kemudian masuk ke dalamnya, selama dalam perjalanan, dia telah menyusun suatu rencana agar Hans bisa jadi miliknya.
Cemburu berlebihan telah membutakan mata dan pikirannya, ketika dia sampai dirumahnya Marion berjalan masuk ke dalam kamar, dan dengan tanpa sadar bagai orang setengah gila dia membanting barang di dalam kamar dengan mengamuk, kemudian menjerit sambil menangis dengan histeris, Natalie harus menjadi orang paling menderita sedunia baginya.
Namun dia butuh waktu lama untuk memikirkan rencana itu dengan matang, setelah memasukki semester baru, enam bulan kemudian, dia baru menyusun rencana itu, sepertinya Marion menawarkan bekerja di restoran milik orang tuanya, namun sayangnya cara itu tidak berhasil dan akhirnya mencari siasat cara lain yang lebih cerdas.
Marion dengan sengaja, mencari tahu apa yang disembunyikan olehnya dan di ketahui oleh semua mahasiswi dan mahasiswa di kampus.
Senja diatas mentari, berwarna oranye, tanpa sadar Hans telah akrab dengan Natalie, bahkan ada rasa yang tersimpan, di hatinya, sepulang dari kampus, mereka jalan berdua menelusuri lorong keluar gedung fakultas, dan Hans melambaikan tangan dari anak tangga, Natalie tetaplah diam dan tak bergeming.
Siapapun dia, tetaplah bukan Patrick, dan Natalie tetap menjaga kesetiaannya meskipun hanya hampa belum juga terjawab, bertahun lamanya dan semakin mengikis perih hatinya Rasanya kenapa tidak menyudahinya saja tapi Patrick adalah yang pertama dan terakhir untuk Natalie.
Gadis itu, duduk di anak tangga sambil menghela nafas.
“Tuhan, aku tidak akan mengizinkan siapapun masuk ke dalamnya, tidak semudah itu membuka pintu jiwaku, aku tidak akan biarkan ada yang mencintaiku yang lain selain Patrick, kalaupun ada mungkin aku akan memilih jalan agar yang lain tidak bisa menyentuhku. Abadi bersama cinta pertama dan terakhirku. Tahukah kamu, selama ini, apa yang aku rasa itu, tolong dengarkan hatiku” dia berkata lirih dari dalam hatinya paling dalam.
Lorong rumah sakit, terdengar berdebum lantainya oleh langkah Hans disana, dirinya tak menyadari jika ada yang akan memanfaatkan keadaan semuanya. Marion sudah mengikutinya dari mulai di bis, kamar pasien dibukanya, sudah berapa bulan dia tidak kesana, karena sedang mencari uang untuk tagihannya yang semakin besar biayanya dengan menanggung hidup Patrick, dia semakin seperti orang gila, keadannya tidak terurus sama sekali, air matanya meleleh tidak tahan untuk keluar, tanpa sadar ada yang mendengar semua pembicaraannya dari luar.
Marion tersenyum kejam mendengarnya. “Aku tahu, apa yang harus aku lakukan terhadap Natalie” dia berpikir jahat.
Marion tersentak, ketika laki - laki di dalam sana, mulai membalikkan badan, sebelum dirinya terlihat dia cepat - cepat bersembunyi tapi akalnya kini sekarang sudah seperti kelinci.
Di kampus, dia menyebarkan berita kalau Hans punya sepupu sakit mental, dan dia mengatakannya kalau berita itu dia dapat dari Natalie.
Natalie yang tidak tahu apa - apa, dia berjalan masuk ke dalam kelas, ada hal yang janggal dalam dirinya, semua mata tertuju kepadanya dengan penuh kebencian, seolah Natalie adalah orang yang sangat jahat bahkan Alina juga melakukan yang sama, menuduh dirinya, mereka semua membenci Natalie, bahkan ada yang tidak menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya, padahal dia tidak melakukan apapun sama sekali, Marion tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan kali ini dengan akal yang lebih cerdik dari sebelumnya, kenapa tidak dia melakukan hal itu sebelumnya, berpikir matang.
Dia tertawa perlahan, baginya dengan cara ini dia akan mendapatkan segala hal yang diinginkannya terutama orang yang saat ini dekat dengan Natalie akan menjauhinya kemudisn bertekuk lutut di hadapannya.
Selesai perkuliahan pertama, langkah kaki Natalie menuju kearah cafetaria, Hans menghampirinya jantungnya berdegup kencang, tidak percaya jika dia menyimpan rasa cinta pada gadis yang salah, dia berdiri di samping Natalie, dengan terdiam mulutnya terkunci rapat menahan rasa kecewa.
“Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya, jika hanya melukai” dia berkata dari dalam hatinya.
“Kamu teryata gila Natalie” suaranya tidak terdengar biasanya ekpreksinya penuh kebencian.
“Apa maksud kamu”? Natalie masih tidak paham.
“Apa yang kamu lakukan terhadap sepupu aku Patrick, jadi selama ini yang kamu lakukan tanpa memikirkan perasaan dia, yahhh dia memang sekarang gilaaaa karena keluarganya semua meninggal tapi juga karena kamuuu”!!!!! Kebencian yang tersorot di mata Hans adalah yang paling menyakitkan, dibandingkan saling bencinya mereka waktu saling mengenal, dan kini juga Natalie mendengarnya sendiri kalau Patrick masih hidup tapi dia menjadi gangguan mental.
Air matanya menetes tidak karuan, dia menangis meraung tidak tahu harus apa, tanpa ada yang melerainya, rasanya penderitaan itu belumlah cukup.
“Dimanaaaaa Patrickkkkk sekarangggg”? Natalie berteriak histeris
“Aku ingin bertemu dengannya, aku mencintainya sudah lama aku memendam rasa ini”!!!!!!
“Kamu mencintainya tapi kamu menyakitinyaaaaaaaa, untuk apa kalau begitu lebih baik lupakannnnn diaaaaa”!!! Hans membentaknya keras.
“Apa maksud kamu menghina aku dan dia ke seluruh kampus, begini saja kita berjauhan saja dan jangan pernah temui Patrick”!!!
“Aku tetap akan menemuinyaaaa, dan aku tidak melakukan semua itu, percayalahhh” Natalie membantah sambil menangis, dia meremas pundak Hans tapi tiba - tiba saja.
“Prakkkkkk” sebuah tamparan melesat di pipi Natalie, dan itu sungguh menyakitkan dirinya, tanpa sadar tangannya laki - laki itu menjadi melayang, dengan amarah besar dia memandang tajam.
“Ni” dia memperingatkan kemudian meninggalkannya di tempat itu, Natalie benar - benar tidak menyangka juga kalau tetangganya yang di Amerika itu, mengatakan hal yang salah tentang Patrick teryata itu adalah keluarga Johnson yang lain dan Patrick bukan kecelakaan di pesawat melainkan di bis.
Part 10 Terlambat Untuk Cinta
Natalie, melangkah dengan gontai kearah rumahnya, apa yang di dengarnya benar - benar membuatnya tidak mampu lagi menahan kelemahan tubuhnya atas apa yang di derita oleh hatinya, dan semakin memuncak betapa rasanya perih menyayat hati mendengar perkataan Hans mengatakan hal itu, sejuta kali rasa berkecamuk dalam dirinya, Natalie meneteskan air matanya di dalam bis, sambil melayangkan mata, kearah jendela sambil menyandarkan kepalanya sambil bersedekap, bayangan Patrick dengan sangat jelas hinggap di matanya, rasanya hatinya lelah untuk terus berharap akan semu, dan ingin segala berakhir, masih teringat jelas di mata Natalie juga pada saat Hans menyelamatkan hidupnya
Mungkinkah Tuhan memberikan jalan lain untuk jatuh cinta, tapi Natalie mengabaikannya hanya karena Patrick yang selalu abadi di hatinya, rasanya perih Hans menyakiti dirinya di akhir kisahnya, bahkan tidak mau memberi tahukannya keberadaan Patrick, wajahnya penuh benci, amarah dan dendam seolah Natalie gadis tidak punya hati.
Air mata itu terus menetes, dia mencoba menghubungi Hans tapi terdengar dengan sengaja telepon tidak diangkat, dia benar - benar sudah menganggapnya musuh.
Ada satu kalimat yang sengaja juga di kirim olehnya.
“Teryata memang benar kalau gadis kaya itu hanya bisa mempermainkan orang lain, jangan tanya soal Patrick lagi, anggap saja dia sudah mati dan aku juga sudah mati”!
Bunyi whatsappnya lebih menyakitkan daripada sifatnya dulu, dan ini adalah puncak rasa benci yang lebih melukai tubuh Natalie, daripada rasa benci sebelumnya. Untung saja dia sama sekali tidak berpaling ke hati lainnya tapi, ada rasa yang menusuknya sikapnya selama ini baik padanya, dan membuatnya sempat bimbang.
Natalie tidak membalasnya, tapi hanya bisa tersedu, sepulang dari kampusnya Natalie berlari kecil ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarnya dia menjatuhkan dirinya di seprai menangis tanpa henti, hingga tenaganya terkuras oleh air matanya.
Sedangkan dalam tempat yang berbeda, Hans sedang di rumah sakit, gadis itu mulai menghasutnya perlahan, dia duduk sambil menyuapi Patrick makan. “Biaya untuk bulan ini, sudah aku yang bantu menanggungnya” dia bersikap pura - pura manis untuk menutupi iblis di jiwanya gadis itu.
“Thank” tidak biasanya Hans bersikap ramah padanya, hatinya sudah berhenti mempercayai Natalie padanya, apalagi Marion berusaha terlihat bersikap baik di depannya, bahkan dia membantu biaya rehabilitasi Patrick.
Hatinya laki - laki itu, sudah tertipu dengan kelicikkan Marion yang bagai lebih dari kelinci. Bahkan berhasil membuat Hans jatuh hati padanya dan semakin membenci Natalie.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu”? Dia bertanya lembut.
“Ja yang orang tidak tahu saja, seperti dapur restoran” dia menjawab.
“Karena kamu tahu akibatnya aku bisa gagal maju sidang skripsiku tahun depan” dia meneruskan kalimatnya.
“Yah okey” Marion mengangguk.
Lambat laun mereka semakin, akrab dia sudah buta mata hatinya pada Natalie karena Marion bahkan berpikir kalau semestinya dulu tidak usah mengenal Natalie, agar diapun tidak tahu tentang Patrick yang sebenarnya bahkan tidak berhak tahu, jadi Natalie itukah yang kerap disebut namanya oleh Patrick.
Dan kalau saja Patrick sembuh, dia akan berlari mengejar Natalie, rasanya Hans lama - kelamaan bagi cinta mereka, karena sesuatu yang salah dalam dirinya, menilai Natalie dan mendengar berita yang salah, tanpa dia sadari Marion di balik semua rencana itu.
Rasanya untuk apa juga memberikan hati pada gadis semacam Natalie, bahkan Patrickpun tidak boleh, dia tidak akan juga merebut Natalie dari tangan Patrick untuk dicintai melainkan disakiti adalah lebih pantas untuknya.
Siang hari di kampus, Natalie sedang membuka Hpnya, Hans sudah menghapus pertemanannya di Facebook, tapi ada yang lupa dia lakukan, adalah memblokir Facebooknya dan disana tercantum alamat lengkapnya di bio pengguna, Natalie langsung mencatatnya dan malam harinya dia kerumahnya.
Pintu di ketuk dua kali, Natalie berdiri di anak tangga, dan seorang wanita membukakan pintunya, matanya menatap Natalie dengan tajam.
“Excause me madame, i just want meet Hans”? Natalie bertanya dengan nada suara menenangkan diri.
“How do you know about this andress”? Dia bertanya lagi.
“From his Facebook” Natalie menjawab dengan perasaan cemas, dia menunduk dalam.
“I’m his mother” dia menyebut dirinya sendiri.
Dan saat itu ada seorang laki - laki dari dalam rumah keluar ke arah pintu dan menatap Natalie dengan marah.
“Mau apa kamu kesini”? Dia membentak dengan kasar, air mata Natalie tumpah begitu saja.
“Aku mohon Hans, please tell about Patrick” dia terisak.
“Aku adalah teman dari usianya waktu dua belas tahun, di Amerika dan ada hal yang Patrick juga harus tahu tentang aku, aku tidak melakukan semua itu. Bahkan selama ini aku mengira aku sudah kehilangan dia” Natalie menangis sejadinya.
“Jangan pikir aku tertipu oleh air mata palsu kamu”!! Hans membentak dengan suara lebih keras, kemudian mendorong Natalie untuk menjauhi dirinya dari pintu rumah, namun Natalie bersikeras untuk tetap bisa menemuinya, pintu ditutup dengan keras, gadis itu terus menggedornya dengan sekuat tenaga, dan wanita yang barusan pertama kali menemuinya membukakannya lagi.
“Pergi atau saya panggilkan polisi setempat” dia mengusir Natalie, penderitaan rasanya datang semakin membuat perasaannya remuk redam, air matanya menetes tidak karuan.
“Patrick andai kamu bisa mendengarnya, kamu bisa jelaskan semuanya dengan mereka, aku mohon.., aku tidak sanggup hidup seperti ini atau lebih baik memang kamu mati saja agar aku juga bisa mati bersamamu, dan tidak ada lagi yang menghalangi kita” dia berjalan dengan gontai menuju pulang ke rumahnya.
Tetapi hatinya tidak akan pernah menyerah, untuk bisa mencari keberadaan Patrick, mungkin Natalie harus melakukan sesuatu yang tanpa diketahui oleh Hans, ini adalah jalur resiko terbesar yang akan ditempuhnya tapi harus di lakukan demi cinta.
“Jika saja aku mampu mengembalikan waktu, maka aku tidak akan membuang waktuku dengan sesuatu yang menyakitkan begini, Tuhannn, jika saja aku tidak pernah bertemu Hans mungkin aku juga tidak pernah akan tahu tentang Patrick, tetapi tolong aku tidak ingin dipisahkan olehnya kecuali Tuhan.., aku tidak ingin kehilangan Patrick lagi”
Dia berkata dari dalam hatinya, sambil duduk di bis air matanya tidak pernah kering sampai akhirnya dia bisa bertemu oleh Patrick, rasa yang terlalu menekan jiwanya tidak pernah akan pudar. Di dalam tempat yang berbeda, Hans menghela nafas sambil sedekap, rasa benci semakin tidak berujung pada hatinya.
“Aku ingin menghubungi Marion, ada yang harus aku bicarakan padanya” dia berkata perlahan.
Kemudian dia menekan nomor telepon Marion di kontaknya, sambil menunggu telepon tersambung Elena mengajaknya bicara.
“Mama, pikir gadis itu hanya membawa sial saja pada Patrick” dia memberikan pendapatnya.
“Ja” dia hanya menyahut singkat, pada saat sudah tersambung dengan Marion barulah dia berbicara di telepon.
“Marion, aku ingin bicara ini tentang Natalie” dia berkata pelan.
“Gadis itu hanya perusak kehidupan orang kann.., aku sudah bilang” Marion berusaha mempengaruhinya lebih jauh lagi.
“I know” dia berkata perlahan.
“Tapi rasanya…., jika memang dia benar - benar mencintai Patrick” laki - laki itu berpikir.
“Halangi dia, jangan sampai dia bertemu Patrick”! Tegas Marion.
“Untuk apa, kamu memberikan hati dengan gadis yang jelas hanya pembawa sial, dia hanya menghancurkan kehidupanmu, dan juga Patrick”
Pada saat di rumah sakit, terlihat Marion juga membantu Hans mengurus Patrick, wajahnya nampak tertegun, dia semakin tertipu oleh kepalsuan sikap Marion yang hanya ingin menyakiti Natalie karena cemburu.
“Hi” dia menyapa ramah sambil masuk ke dalam kamar pasien, dan entah kenapa seolah dengan mudahnya hatinya berpaling pada Marion, namun apa gunanya pula karena Natalie tidak akan juga berpaling dengan yang lainnya, tetapi apa rasanya sakit dikecewakan oleh seorang gadis.
“Mulai besok kamu sudah mulai bisa membantu di restoran milik papaku” Marion bersikap lembut padanya
“Thanks teryata kamu gadis yang sangat baik, aku salah menilaimu selama ini” mendengar kalimat itu, Marion menyembunyikan senyuman liciknya.
“Kamu nanti di bagian mencuci piring saja…” dia menambahkan lagi.
“Oke” Hans mengangguk.
Sejak saat itu Hans mulai melakukan pekerjaannya di restoran, dan siang ini Natalie tertegun memikirkan dirinya sendiri, dalam perpustakaan, dia membayangkan jika sebelumnya pernah melakukannya pada Emily, dan itu karena cemburunya pada kedekatan Emily dengan Patrick saat itu, Natalie membuka ransel dan mencari nomor kontak Henry, dia teringat dengan apa yang harus di lakukannya, Natalie mengirim whatsapp padanya.
“Henry tolong jelaskan padaku tentang Patrick dan Emily waktu itu” tidak lama Henry membalasnya.
“Natalie, Patrick itu tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan cintanya pada gadis manapun tidak juga Emily atau kamu, dia merasa tidak berani untuk katakan cinta, dan saat itu Emily sebenarnya mengalami yang sama denganmu, dia hanya mendekatinya saja tapi tidak mengungkapkannya” hatinya seperti benar - benar tidak percaya, kata - kata Henry rasanya bagaikan mimpi yang nyata, Natalie masih tertegun, Hp di tangannya di remas dengan kuat.
“Aku tidak bisa hanya diam saja begini” dia berkata dari dalam hatinya, dengan sengaja akhirnya memutuskan untuk mengikuti Hans kemana dia pergi, diam - diam Natalie mengikuti gerakan langkah kakinya saat keluar dari gedung fakultasnya, dia bersembunyi dari jauh agar tidak ketahuan. Degup jantungnya terasa berdetak keras, dan telapak tangan berkeringat dingin, Hans belakangan juga sejak kedekatannya dengan Natalie, dia sudah jarang berdekatan dengan dua orang temannya itu, Hans baru menyadarinya jika selama ini dia hanya memanfaatkannya saja untuk membully orang biar terlihat jagoan, tapi kini dia justru dekat dengan Mario gadis berhati iblis itu.
Natalie memelankan suara langkah kakinya, agar tidak terdengar oleh Hans, yang melangkah di depannya keluar gedung kampus, dan berjalan kearah halte, lalu duduk dengan membungkukkan badan. Ada seseorang pria melintasi Natalie yang tengah berdiri mengamati gerak - gerik Hans dari jauh, Natalie merasa resah, kegelisahan menerpa pria itu terlihat bingung dan hendak bertanya pada Natalie.
“Sorry Miss, kamu tahu kendaraan ke arah Volendam”? Dia bertanya.
“Bisa naik tramp yang nomornya sebentar lagi mungkin akan lewat…” Natalie menjawab dengan tergesa - gesa, dan dia langsung masuk ke dalam bis yang baru saja melintasi, untung saja juga tidak kehilangan jejak Hans karena pria tersebut.
Natalie duduk di kursi paling belakang, dan Hans di depannya, sama sekali dirinya tidak menyadari kalau ada yang mengikutinya dari belakang, Hans melayangkan pandangan dengan mata birunya, dan rambut pirangnya sekarang terlihat belahan rambutnya lebih gondrong dari sebelumnya. Wajah laki - laki berkesan dalam ekpreksinya tidak tega untuk melakukan hal itu terhadap Natalie tetapi rasa sayangnya pada Patrick yang membuatnya berkorban untuk apa saja, dan dia ingin satu orangpun menyentuh Patrick, karena itu penyebabnya Hans terpengaruh oleh hasutan Mario. Kelemahannya adalah Patrick.
Bis itu berhenti di stasiun berikutnya dan Hans turun ke bawah untuk berjalan di pejalan kaki, Natalie tidak ingin kehilangan jejak Hans lagi, sekelebat dia teringat awal pertemuannya dengan Hans dulu bagaikan dalam sekejap terbawa oleh angin begitu saja, dan menghilang menjadi awan hitam.
Langkah Hans masuk ke dalam rumah sakit pusat rehabilitasi, dan Nataliepun bertanya dari dalam hatinya, rasa gelisah mulai menguasai dirinya, ada sesuatu yang amat di takutinya tetapi cinta tetap akan bertahan walau apapun yang terjadi saat ini dan sekarang, Natalie terus mengikuti diam - diam gerakannya sampai ke arah kamar pasien rehabilitasi, disana banyak mereka yang terkena gangguan kejiwaan, ada yang parah dan ada yang tidak.
Perasaan yang mengguncang diri Natalie sangat memukulnya, melihat pemandangan itu semua, dia ingin menangis, namun di tahannnya, inikah ujian terbesar bagi cinta Natalie kepada Patrick atau terlambatkah sudah bagi cinta, untuk menyatakannya, karena Patrick tidak akan pernah bisa menjawabnya, meskipun hatinya tahu.
Hans masuk ke dalam satu kamar pasien, dan disana wajah Natalie tercengang, dari jendela kamar dia melihat Patrick, air matanya sudah tidak tertahankan olehnya, teryata Hans banyak mengetahui tentang Patrick, daripada orang lain, bahkan dia menyembunyikan kondisi Patrick dari siapapun termasuk Natalie, jadi inikah yang membuat Hans membenci Natalie bahkan menuduhnya pembawa sial, dia berkorban untuk apa saja demi Patrick, bahkan di matanya saat ini Natalie sudah seperti terdakwa.
“Ya Tuhannn…, kalau saja aku tahu semuanya dari awal, mungkin aku tidak akan pernah menunggu kamu untuk menyatakannya lebih dulu tapi lebih baik aku yang ungkapkannya. Patrick, apapun keadaan kamu saat ini, aku tetap mencintaimu” dia berkata dari dalam hati.
Saat kamar itu kosong, Natalie langsung menghambur masuk dan memeluk Patrick sambil menangis, tetapi Patrick hanya diam dengan tatapan kosong duduk di ranjangnya, dia sudah tidak seperti dulu lagi, segalanya telah berubah, dia tidak lagi bisa membalas pelukkan Natalie kepadanya, tetapi Natalie tahu dia bisa merasakannya.
“Jangan katakan semuanya sudah terlambat” Natalie berbisik padanya, tanpa sadar Hans berdiri di belakangnya dari jauh, dan Natalie menengok ke belakang tersadar kalau dirinya terpegok olehnya, dia menatap dengan mata memperingatkan.
“Keluar dari sini, atau aku panggil petugas”!! Dia berteriak keras.
“Apa yang terjadi padanya”? Natalie menangis.
“Dia trauma karena keluarganya tewas di bis dalam kecelakaan, tapi juga kamu pembawa sial Natalie, kamu menggantungkan perasaannya” dia berkata ketus.
“Mulai sekarang menjauhlah darinya”!!!! Dia berteriak keras.
Natalie hanya bisa menangis tersedu, keluar dari kamar pasien, dia ingin menyatakan cintanya agar dunia tahu, tapi Patrick sudah tidak ada respon apapun, dia bagai mayat hidup disana.
Part 11 Jangan Pisahkan Natalie Dan Patrick
Peringatan yang keluar dari mulut Hans, kali ini lebih menyiksa dirinya, tubuh laki - laki itu bersimpuh di hadapan Patrick, rupanya dia masih menyimpan sedikit kesadarannya, jiwa normalnya, Patrick mengetahui kalau Hans menghalangi hubungannya dengan Natalie.
“Aku cinta Natalie” suaranya terdengar lemah, dan air mata jatuh dengan deras, rupanya kekuatan cinta dalam tubuh Patrick sangat kuat, namun Hans hanya tidak ingin dia di lukai oleh siapapun, maka lapun mengambil inisiatif untuk membawa Patrick lebih baik dirumahnya saja daripada kalau bertemu Natalie harus menderita, tapi justru itu yang membuatnya semaki menderita, karena telah dipisahkan secara paksa begitu saja.
“Jangannn sebut namaaa dia lagi, sudah cukupkah dia menyakitiku, juga kamu. Natalie itu hanya tukang cari masalah diantara kita dan kamu Patrick…”!!! Hans berteriak keras, sambil mengguncang tubuhnya, dan entah bagaimana Patrick memekik menjerit, kemudian beranjak dari ranjangnya, kemudian mendorong sepupunya dengan keras, lalu Patrick berlari kearah jendela seakan tanpa sadar hendak loncat dari sana, namun Hans menangkap bahunya dari belakang, ingatannya tiba - tiba saja kembali pada kejadian yang sama dengan Natalie.
Patrick mencoba bunuh diri seperti Natalie juga saat itu, dia tertegun, sejenak berpikir tentang sikapnya sendiri.
Di tempat yang berbeda, Natalie rasanya sudah remuk redam jika harus menahan rasa ini, sebegitu pelik cinta yang harus di hadapinya, Patrick rasanya terlalu sulit untuk digapai lamban laun namun dia tidak akan menyerah.
Natalie tetap akan mencari cara bertemu Patrick, dunia bukan penghalang bagi cinta kecuali Tuhan, meski tembok yang susah untuk dihancurkan sekalipun, meskipun harus perih tapi dia akan bertemu Patrick, dan Patrickpun harus menyadari jika semua itu tidak mungkin, Natalie masih seperti yang dulu, bahkan menunggu kesempatan untuk bisa menyatukan cinta mereka dan Natalie sudah tahu kalau dari dulu sebenarnya hati Patrick hanya untuknya bukan yang lain.
Suatu hari di sore hari, Natalie duduk sendiri, dan Alina melihatnya dari jauh, dia berjalan mendekati temannya itu dari belakang, menuju ke taman kampus tempat Natalie duduk, air mata Natalie jatuh tidak tertahankan.
“Apa salah dan kurangku selama ini”? Dia berguman menyalahkan dirinya.
“Natalie” Alina mulai menegur dirinya dan Natalie menengok kearahnya.
“Apa benar kamu melakukan semuanya”? Dia bertanya dengan lembut.
“Itu tidak benar Alina, itu semua fitnahhh, pasti ada yang merencanakan semua ini” Natalie berbicara dengan cepat.
“Lamban laun aku berpikir begitu, dan aku curiga pada satu orang” mata Alina menatap ke sekelilingnya.
“Siapa maksud kamu”? Pertanyaan Natalie terdengar mendesak, dan Alina menghela nafas.
“Aku sudah berbicara dengan Henry tentang Patrick, dan aku sedikitnya sudah tahu semuanya” air mata Natalie meleleh.
“Kamu benar - benar memang mencintai Patrick, Natalie” Alina memegang tangan dirinya untuk menguatkannya.
“Aku tidak pernah bohong dengan hatiku sendiri, walau sering kali aku lakukan” Natalie terisak.
“Aku memang anak orang berkecukupan, dan sangat beruntung tapi aku bukan orang yang meremehkan soal hati” air mata Natalie terus mengalir di pipi.
“Natalie aku minta maaf atas sikapku yang selama ini, justru ikut - ikutan mereka, seharusnya aku lebih percaya padamu” Alina memeluknya kemudian mengusap rambutnya.
“Henry bilang kalau Patrick juga menggantungkan cinta pada Emily, karena Patrick sulit mengungkapkan rasa cinta pada seorang gadis” Natalie bercerita sedikit tentang Patrick.
Malam hari itu…
Natalie kembali menyelinap, masuk ke dalam rumah sakit, dan wajahnya tercengang memandang tempat tidur Patrick yang kosong, air matanya menetes sudah pasti Hans membawanya pergi, dia menangis tersedu dan seorang suster baru saja melintasi kamar itu mendapatkan Natalie duduk berjongkok disana.
“Sorry, dimana pasien di kamar ini”? Natalie terengah perlahan.
“Seseorang yang merawatnya membawanya pergi, atas nama Hans” dia menjawab datar
“Tapi kemana”??? Natalie mendesak dengan keras.
“Aku tidak akan berbuat sesuatu apapun dengan Patrick, percayalah aku hanya ingin menemuinya, aku adalah teman Patrick waktu di Amerika, dan dulu aku malah mengira Patrick meninggal” Natalie menjelaskan panjang lebar.
“Tolong beri tahu aku”??? Natalie semakin mendesak.
“Aku tidak bisa” dia hanya menggeleng dan meninggalkan Natalie sendiri, tangisannya semakin memecah ruangannya, mungkinkah memang sebaiknya di akhiri saja kisah ini dan tidak akan pernah berharap pada Patrick memulai sesuatu yang baru, Tuhan semakin mempersulit untuk Natalie bisa bersatu dengan Patrick, seakan benar - benar memang bukan jodohnya, air matanya tidak tahan untuk mengalir di pipinya.
Dan tiba - tiba saja dia teringat akan sesuatu, barangkali Hans membawanya kerumah, mudah - mudahan bukan menghilangkan Patrick dalam hidup Natalie, karena cukup sekali saja Natalie merasakan itu.
Setelah dari rumah sakit, Natalie menggedor rumah Hans, dan dia sendiri kali ini yang membukakan pintunya, matanya melotot tajam.
“Jadi kamu masih nekat”!! Suaranya terdengar membentak hingga ada seseorang gadis dari dalam ikut keluar, matanya melihat Natalie penuh kebencian.
“Marion” Natalie berguman pelan, tubuhnya terasa kaku di depannya.
“Kamu itu punya otak atau tidak sudah di peringatkan masih saja, dasar tidak tahu diriiii”!!! Dia menghina Natalie habis - habisan.
“Mungkin kamu tidak laku makanya mengejar - ngejar laki - laki sampai seperti itu, yah bisa juga tadinya ibu kamu orang seperti kamu” mendengar Marion menghina mama Natalie, membuat hatinya pedih tersayat.
“TUTUP MULUT KAMUUUU, DASARR WANITA IBLISSSS”!!!! Natalie berteriak keras.
“Lalu kamu apa, tidak tahu diri dan pembawa sialll”!!!!!! Marion tidak mau kalah dengan Natalie dan satu tamparan keras melesat di pipinya, namun betapa melukai hati seperti ditusuk berkali - kali bukan hanya dengan pisau tapi pedang yang membuat lukanya tidak pernah sembuh.
“Natalieee jaga mulut kamuuu, dengan Marion” Hans malah membelanya.
“Kalau kamu bertemu Patrick, kamu justru akan membunuhnyaaaaa”!!!! Dia berteriak lebih keras dengan suara melengking.
“Berhentilah berharap” dengan suara pintu ditutup keras, dia membantingnya, dan Natalie menangis duduk sambil menyandarkan kepalanya di pintu, air matanya tidak tertahankan lagi sekarang dirinya bagai seorang pengemis cinta yang hampa.
Patrick, kalau saja dia sembuh dari gangguan mentalnya, dia akan berbicara panjang lebar tapi semua hanyalah angan, seharian Natalie duduk di anak tangga rumah itu, tidak peduli hawa dingin yang menerpa tubuhnya dan membuatnya mengigil, baginya lebih baik mati karena cinta daripada hidup harus terluka.
Tiba - tiba saja, Alina datang dan melihatnya berada disana, kemudian memeluknya, sambil menangis.
“Lebih baik kita pulang saja” dia terisak.
“Aku tahu, kalau Patrick ada di dalam” Natalie menyahut lemah, dan Patrick yang memang ada di dalam rumah itu, dari jendela kamarnya dia melihat Natalie disana, kemudian bergegas untuk keluar dari kamarnya, namun Elena dan Hans mencegahnya, dia hanya bisa menyebut namanya tapi kali ini lamban laun dia sudah mulai bisa bicara agak sedikit banyak.
“Aku mencintaiiii Natalieeeeeee…., tolong aku mau ketemu” dia terisak
“Aku mencintainya, dia tidak menyakitiku sama sekali” Patrick menangis sejadinya, namun mereka masih juga tidak mau mendengar, dan malah saling berhadapan.
“Patrick lupakan Natalieee, dia hanya bisa membuatku tersiksa” Hans mengulangi kalimatnya dan keluar sambil mengunci kamarnya.
Dan pada saat di luar, Elena menemui Marion, sepertinya ada yang ingin dibicarakan olehnya.
“Marion, kapan kalian akan sidang skripsi”? Dia bertanya.
“Awal tahun madame” dia menjawab.
“Kalau begitu, kita harus mempersiapkan pertemuan dua keluarga, dan setelah kalian bertunangan dan menikah kita tinggalkan kota ini, sambil membawa Patrick” Marion tersenyum kejam dan otaknya liciknya berputar.
“Bagus, semakin itulah Hans akan membenci Natalie, aku tahu kalau dia memendam rasa yang sama sebenarnya dengan Patrick, dan aku harus mendapatkan cinta Hans dengan cara apapun” otak kejam Marion dan licik, semakin meluas dalam tubuhnya, seakan tidak berperasaan lagi.
Baginya Hans adalah lelaki yang tidak boleh disia - siakan, kemapanan sifatnya adalah hasrat bagi tiap gadis yang ingin jadi calon istrinya kelak, dan sifat tanggung jawab besarnya serta ketampanan wajahnya.
Selama ini sebenarnya Marion tahu sifat tidak baik Hans, namun dia menyimpan cinta yang dalam dan itu harus dimiliki, apalagi Marion juga tahu kalau itu bukan diri yang sebenarnya. Ada orang yang memang memiliki sifat tidak baik karena latar belakang kehidupannya tetapi ada orang yang justru benar - benar jahat dan kejam, tega menyakiti siapapun asalkan impiannya bisa terpenuhi, dan itu yang justru menyakitkan daripada hanya sifat sok jagoan orang di depan umum.
Satu hal bagi laki - laki semacam dirinya, laki - laki tipikal Hans adalah jangan pernah menyentuh wanita yang dicintainya, yang tidak lain mamanya, keluarganya maka diapun sekalipun kekasih akan mengorbankannya untuk tersakiti, dan itu lebih baik, namun dia tidak sadar jika Marion bukanlah gadis baik - baik, hanya karena melindungi Patrick setengah mati mata hatinya tertutup dan terpengaruh oleh gadis semacam dia, yang sebenarnya justru dialah penghancur segalanya bukan Natalie, dia hanya ingin bisa ambisinya terpenuhi saja.
Natalie, berbicara dengan Emily malam itu di telepon, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir semester namun, guncangan hebat dirinya membuatnya betapa tidak tenang untuk bisa menghadapinya, mudah - mudahan saja, dia tidak ada yang gagal dalam mata kuliahnya semester ini.
Universitas yang banyak orang mengadang - gadangkan ini tidak sembarangan orang bisa masuk, pada saat dulu mengikuti test masuk ke kampus inipun, hal biasa Natalie mendengarnya kalau ada yang menangis kecewa harus kembali ke asalnya, dan yang menyakitkannya dia sudah dari jauh - jauh, dari negaranya harus kembali dengan tangan kosong, tetapi ada yang lebih mengalami kegagalan lebih berat, yaitu Patrick, belum sempat menyentuh kampus yang terletak di kota Den Haag ini, sudah mengalami musibah besar hingga kini.
Impian hancur berantakan begitu saja, andai saja Natalie saja, bisa mendaftar barsamanya saat itu mungkin semua tidak akan terjadi, sayang kala itu dia sudah meninggalkan Amerika lebih dulu. Harapan memang akan bertemu dengan Patrick disini, dan merajut hari itu lagi tapi kenyataannya sudah tidak bisa lagi.
“Emily, aku ingin mengatakan sesuatu tentang Patrick, dia masih hidup dan berita itu salah” kata - kata Natalie terasa getir pada saat di telepon.
“Tapi dia gangguan jiwa” Natalie tidak sanggup bicara apa - apa lagi, dia mematikan teleponnya dan menangis diatas meja dengan tersedu, haruskah memang melupakan Patrick mungkin memang bisa untuk sementara waktu ini, hanya karena mau fokus menghadapi ujian akhir semester.
Part 12 Semester Baru Dengan Duka
Seakan hanya Patrick yang tahu isi hatinya meskipun dia membisu, daripada orang lain, adakah dunia yang hanya bisa membuat Natalie hanya hidup bersama Patrick berdua, sekarang sudah memasukki semester yang baru, untung saja tidak ada yang mengulang dan remidial, cerita lain Hans skripsinya sudah selesai, tinggal persiapannya untuk sidang, dan selama Marion masih bersanding dengannya, tidak akan pernah membukakan mata hati Hans dan tetap bersikukuh menuduh Natalie pembawa sial atas Patrick, namun tanpa disadari oleh Hans jika Patrick mulai mengalami kemajuan sejak bertemu dengan Natalie, dia tetap bersikeras menjauhkan cinta mereka, tapi perlu disadari, kelak dia akan kembali seperti Patrick yang dulu.
Desas - desus rencana pertunangan Marion dengan Hans, sayup terdengar di telinga Natalie, Natalie tersentak, mendengar itu, pikirannya tertuju pada Patrick, dan hatinya sangat tidak menentu, hatinya resah tidak karuan, maka Natalie memberanikan diri menghampiri Hans dia sedang berada di perpustakaan, Natalie melihatnya dari jauh.
“Sepertinya kita harus bicara” dia berkata tegas.
“Natalie” Hans menggeleng dengan kesal, kemudian menghampirinya keluar pintu dan menarik tangannya kearah balik tembok pintu.
“Aku sudah bilang cukup, kamu ini mengerti tidak perasaan orang lain, kalau kamu benar - benar mencintai Patrick, mestinya kamu mengerti keadaannya, bukan menuruti ego kamu sendiri begini…, aku sudah hilang kesabaran denganmu sebenarnya selama ini, dan jangan buat aku bertindak lebih dari ini”! Tegas Hans.
“Kamu salah menilai aku selama ini tentang Patrick” Natalie menyahutnya, dan air matanya jatuh tak tertahankan.
“Seharusnya buka pintu hati kamu, kamu berubah sejak kamu berdekatan dengan Marion, apa yang dikatakannya tentang aku itu bohong”!!! Natalie memekik melengking.
“Terserah kamu mau apa, kamu mau bertunangan dengannya juga tidak apa bagiku, asalkan jangan pisahkan aku dengan Patrick”!! Natalie tidak sanggup lagi menahan rasa yang menyiksanya dan diam hanya diam saja.
Kali ini Hans, hanya diam saja, entah apa yang dipikirkannya, wajahnya menunduk ke bawah kemudian melihat ke lorong tanpa arah
“Jika kamu percaya Tuhan, maka kamupun tahu jika Tuhan yang hanya berkuasa termasuk rasa cinta, dulu kamu tidak begitu, bahkan akupun sempat merasakannya.., kalau ada yang kamu rasakan padaku…” entah bagaimana mulut Hans hanya terkunci rapat, dia tidak bisa berkata apapun kecuali berpikir
“Dan kamu tahu, aku baru saja bertemu orang yang ku kira selama ini meninggalkanku tapj justru kamu membuatnya jauh dariku, dan sekarang bagaimana kalau itu kamu…”!! Tegas Natalie keras sambil menangis.
“Bewitjs of he, enhctn lifede is” Hans berkata lebih tegas ( buktikan kalau itu benar - benar cinta yang tulus )
“Aku sudah membuktikannya di depan mata kamu, tapi mata kamu saja yang selama ini sedang buta karena Marionnn”!! Natalie berteriak keras, tangannya menunjuk kearah wajahnya.
Ini adalah sikap seorang gadis yang sudah tidak sabar dengan luka hatinya, yang sangat menusuk dirinya, Natalie menangis meninggalkan dirinya, dan kata hatinya terus berkata.
“Ya Tuhan, mungkin itu memang benar, dia pula dulu sempat memberi rasa, tapi aku lebih baik memilih setia, dan ku bunuh orang yang menghalangi kesetiaanku karena cinta, namun aku masih takut pada dosa”
Dalam tempat yang berbeda, Hanspun berpikir yang serupa, namun Marion memecahkan keheningannya.
“Aku mau bicara dengan keluargaku nanti malam, tentang rencana pertunangan kita, bulan depan setelah wisuda” dia berkata panjang lebar.
“Lalu kita akan membawa Patrick pergi dari Natalie dan semakin menjauhinya itu maksud kamu” Hans menanggapinya dengan cepat.
“Yah” dia menjawab dengan rasa haus keinginan, untuk semakin Hans membencinya dan benar - benar tidak ada rasa lagi pada Natalie, kalau perlu membunuh gadis itu, Patrick semakin dijadikan kunci utama bagi siasat Marion, untuk membuat Natalie teraniaya.
“Rasanya rencana kamu terlalu terburu - buru” dia menggeleng, dan entah bagaimana dia menjadi orang yang hanya ingin sendiri dulu memikirkan segalanya.
Natalie baru saja sampai di rumahnya, dan melihat keadaan Jessica dan Bram yang semakin tua, hatinya semakin gelisah, apalagi usia Natalie sebentar lagi akan dua puluh satu tahun, belum juga dia menemukan pasangan yang tepat dan hanya memikirkan rasa cinta tak bertuan dengan Patrick.
Apakah mungkin sebaiknya di lupakan saja, tidak ada Patrick, dan tidak peduli lagi pada kehidupannya, termasuk sikap Hans padanya, dan mulai merajut hari baru dengan melupakan semuanya, bangkit ke masa depan.
Namun rasanya sulit melakukannya karena cinta kekuatannya seperti karang yang kokoh kalau sudah ditanamnya puluhan tahun, namun di usia yang semakin bertambah sudah seharusnya memikirkan seorang calon suami yang menemani sepanjang hidupnya bukan cinta yang begini. Apa jadinya, jika belum saja menikah dan tidak punya suami.
Malam hari itu Hans membuka sedikit pintu kamar Patrick, dan berjalan perlahan masuk ke dalam saat dia tertidur, kemudian membuka laci disamping tempat tidur, ada terdapat buku harian yang terus melekat di tasnya, dia membuka lembaran demi lembaran, dan memulainya pada halaman pertama.
Hari ini, aku bertemu seorang gadis yang kelak akan mengubah Jalan hidupku, namanya Natalie dia satu sekolah denganku Meskipun kami berbeda usia, tapi aku percaya akan sebuah kejaiban Kata orang mengubah jalan hidup seseorang, namun entahlah bagiku Perasaan itu bersemayam dalam jiwaku yang paling dalam dan tak Bisa keluar begitu saja. Sudah cukup bagi kakakku, Gray yang tersakiti oleh cinta Pertunangan yang batal, kandas begitu saja diterpa oleh badai Yang menghantamnya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Yang aku kenal Natalie, adalah gadis yang ceria, polos dan lugu Tak pantas untuknya bersanding dengan aku yang hidupnya rumit Tapi rasa ini pertama kalinya aku rasakan di usiaku kini yang 13 tahun
Patrick Johnson.
Natalie adalah sahabat setiaku, aku mengenalnya dia Bukan orang yang sembarangan orang mudah menyentuhnya Walau itu duri teratai sekalipun, dan yah persahabatan itu Mendapat dukungan dari semuanya. Aku bahagia karena bisa mengenal Natalie Namun sayang yang ku lakukan hanyalah diam seribu bahasa Seperti yang ku lakukan pada Emily.
Dua lembar itu, sudah membuat perasaan sepupu tersayang ini, menyayat pilu membaca air mata tidak dapat dibendung lagi, dia meremas lembaran itu dan tetesan air matanya tumpah terkena kertasnya.
Dirumahnya Natalie baru saja mengobrol dengan Rina dan Hendra di telepon membicarakan tentang kuliah Natalie lalu Jessica dan Bram, tanpa terasa sudah tiga tahun Natalie tinggal di rumah oma dan opanya di Den Haag selama dia kuliah disana, rasanya rindu pada Amerika, namun rasanya jika kembali kinipun hanya menyisakan kenangan yang berubah pahit dengan Patrick.
“Ya maa.., aku slalu jaga oma dan opa disini, tapi tahun depan aku sudah skripsi mungkin lebih baik aku bekerja di Amerika saja nanti, tapi bagaimana dengan Oma dan Opa”? Dia berbicara panjang lebar dan melihat Jessica yang sedang membuatkan minum untuk Bram di meja makan.
“Kami tidak apa - apa sendiri disini, asalkan kamu rajin menengok kami” Jessica ikut menimpali pembicaraan Natalie di telepon.
“Tapi oma….” Natalie nampak khawatir kepada mereka semua.
“Kalau disana izin cutinya bisa mudah setiap weekend mungkin aku bisa sering” Natalie terlihat sedang berpikir.
Pada saat yang bersamaan, ada yang mengetuk pintunya rumahnya dua kali, dan Natalie.
“Yesss” dia menyahutnya dari dalam, dan kembali berbicara pada Hendra di telepon
“Ada tamu di luar nanti aku bukakan dulu pintunya” Natalie mengakhiri teleponnya, lalu berjalan kearah daun pintu, wajahnya tersentak melihat siapa yang datang, seorang laki- laki berdiri dengan mata tajam melihat dirinya.
“Hans” menyebut namanya air mata Natalie mengalir.
“Mungkin apa yang kamu katakan tentang Patrick itu benar, aku terlalu hanya mengikuti egoku tanpa memikirkan keadaannya, dan kini saatnya aku harus lupakan semuanya” suara Natalie terdengar lemah, dan seperti sudah tidak kuat lagi menahan rasanya.
“Natalie aku yang mungkin salah selama ini” tiba - tiba saja Hans meremas pergelangan tangannya.
“Niet, Dot hiet….” suaranya yang biasanya kasar terhadap Natalie berubah lemah, dia seperti lelah selama ini sudah menjadikan Natalie korban untuk dipojokkan dan tersudut.
“Cukup Hans”!! Natalie nada suaranya melengking pelan dengan nafas terengah, air matanya mengalir deras.
“Aku sudah lelah, aku lelah harus tersiksa dengan cinta yang tidak aku miliki” dia terisak.
“Kali ini aku mau mendengarkanmu, karena mungkin saja ada yang aku tidak tahu tentang Patrick, tapi jika tidak akan kesempatan, aku pergi dan menerima kekalahanku”! Tegas Hans
“Bukankah Marion sudah cukup menjelaskannya padamu, dan aku hanya orang yang menyakiti Patrick, mungkin itu benarnya, dan bilang padanya jangan sebut namaku lagi, aku yang kalah bukan kamu” Natalie merunduk dalam.
“NiETT”!! Dia berteriak keras.
“Well, oke kita bicara…” akhirnya Natalie membuka kesempatan padanya.
Dan mereka duduk di restoran dekat rumah oma dan opa Natalie.
“Patrick tidak pernah menyatakan cintanya padaku, saat aku di Amerika, tapi aku tahu perasaannya…” Natalie memulainya dalam sambil duduk di hadapannya.
Natalie membuang wajahnya dulu kearah kaca dekat kursi mereka duduk, di restoran itu pula tidak banyak orang disana.
“Dia melakukan yang sama dengan Emily gadis lain di sekolahku saat itu, dan waktu itu aku dan Patrick masih SMA, tapi aku mengenalnya, dari SMP, rumahnya memang tidak jauh jaraknya denganku…” Natalie bercerita panjang lebar.
“Hans, aku tidak bisa meneruskannya lagi, bagiku ini saatnya mungkin memulai hidup baru” Natalie beranjak dari kursinya dan ingin meninggalkannya, namun Hans memegang pergelangan tangannya dengan kuat.
“Sebenarnya aku tahu sesuatu yang kamu tidak ketahui tentang Patrick, soal cinta yang hampa yang kamu terima darinya”! Dia berkata tegas tapi suaranya kali ini dilembutkan
“Kakak Patrick pernah terluka karena cinta, bahkan membuatnya mati rasa.., cinta yang semestinya di harapkan bahagia berujung perih, dan itu yang membuatnya melakukan itu, Gadis yang dicintainya meninggalkannya bersama lainnya…” Hans berkata panjang lebar.
“Apa rasanya jika cinta dihancurkan dengan sengaja….” dia berkata sambil menarik nafas dalam.
“Kadang orang berharap cinta itu adalah kebahagian pada akhirnya, namun akhirnya tidak…, Hans aku menerimanya jika memang tidak pernah akan bersatu dengan Patrick, kali ini aku ingin pergi karena cinta yang ku tunggu justru membuatku menderita, dan untuk apa aku berharap. Dan mungkin semua kata - katamu benar, aku pembawa sial, penghancur kehidupan orang, dan sekarang kenapa kamu tidak hina aku lagi…”!! Tegas Natalie.
“Kamu jauhkan aku dengan Patrick dengan berbagai cara tanpa pedulikan perasaanku, sudah terlambat untuk penyesalan, karena aku sudah sakit. Sampaikan pada Patrick, mulailah hidup baru tanpa diriku…, dan kamu terserah mau bertunangan dengan Marion kapan saja” perkataan Natalie, seakan sudah muak dengan siksa jiwanya selama ini yang diterimanya rasanya dia sudah jera kali ini, dia tidak ingin menderita lagi.
Tetapi rasanya kalau menghilangkan nama Patrick dalam dirinya, sama saja membohongi diri kalau masih mencintainya, Hans yang akhirnya mungkin menyadari ketulusan cinta mereka dia hanya terdiam, tergiang jelas di telinga kata -kata Natalie tentang Patrick padanya.
Habis sudah kesabaran Natalie, karena hanya menjadi orang yang teraniaya karena cinta, mungkin memang ada baiknya pergi sejauh mungkin, tetapi Marion yang tahu isi Hans jika sebenarnya menyimpan rasa cinta itu juga, namun ditutupinya bahkan di korbankannya demi cinta kebaikan, sepupu tersayangnya Patrick, semakin meracuni pikirannya.
Namun kali ini dia melakukannya dengan sangat perlahan dan mulus, fitnah yang lebih kejam akan segera dimulai oleh Marion.
Marion dengan sengaja, menemui Elena dan mengajaknya berbicara tentang Patrick, dia sengaja datang kerumah Hans, tidak bersamanya.
“Madame, kali jni madame harus berhati - hati, Natalie sepertinya merencanakan sesuatu untuk menyakiti Patrick, dia akan melakukan sesuatu karena merasa cintanya pada Patrick belum tersampaikan, dia akan membawa Patrick pergi. Gadis itu iblis madame, dia jatuh cinta hanya karena nafsu, dan hanya karena tidak ingin sendiri.., dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan Patrick….” suaranya di sengaja dibuat berapi - api, dan Elena terdiam tertegun mendengarkannya.
“Jangan percaya segala kata -katanya”!! Tegas Marion, kemudian meninggalkan rumah, sedangkan wanita itu tertegun untuk berpikir menyerap semua perkataanya.
Tanpa di sadari, pula Patrick mendengar semuanya, hatinya tahu sebenarnya apa yang terjadi namun dia belum pulih benar keadaannya dari gangguan jiwa, bertahun lamanya, tetapi sebuah hati itu adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi, air matanya jatuh menetes di pipinya.
Tidak menyangka, jika hubungannya dengan Natalie, harus diterpa badai dengan ganas, kalau saja waktu bisa kembali, mungkin lebih baik Patrick tidak akan pernah memilihnya, sejak awal mestjnya dia tidak pernah memilih untuk kuliah di kota ini, kalau tahu apa yang terjadi sekarang. Tuhan, maha adil, kalau manusia diberi cobaan, mungkin akan ada hikmah di dalamnya, tetapi yang satu ini sungguh luar biasa dengan apa yang terjadi olehnya.
Karena terlalu lama menelan perasaan cinta itu sendiri, tanpa bisa tertumpahkan dan tercurahkan, bahkan sebenarnya Patrickpun ingin mengatakannya, dia memilih Natalie bukan Emily, apa yang dikatakannya waktu itu hanyalah bohong, perasaan cinta maha dahsyat dalam hati tidak dapat teringkari oleh apapun.
Apa yang di lakukan Natalie setelah dari restoran tersebut, dia membayangkan kembali masa lalu bersama Patrick, apakah mungkin benar adanya sudah tidak ada harapan apapun untuk tetap bisa menyatukan cinta, dan cinta sampai kapanpun tidak pernah mempertemukannya karena bukan jodohnya, bukan mungkin di surga sekalipun.
“Patrick maafkan aku, aku harus melakukan ini, aku sudah jera atas perasaanku ini sendiri” Natalie terisak sambil duduk di kursi dan wajahnya ditutupi oleh tangannya.
Hari demi hari berlalu, dan kini Natalie akhirnya masuk ke semester yang baru, dalam kehidupan kelabunya, dia kini sudah mengambil skripsi dan Professor Nicholas sebagai pembimbingnya, sedangkan Hans baru saja dinyatakan lulus dalam sidang, lalu Patrick, perasaan itu rupanya tidak pernah pudar.
Wisuda untuk angkatan sebelumnya, akan di gelar, pada bulan berikutnya, Marion sudah mulai mengadakan pertemuan dua pihak keluarga untuk rencana pertunangannya dengan Hans, tapi kelak mereka benar - benar akan membawa Patrick, pergi menghilang dari Natalie selamanya.
Malam itu, Patrick tengah berdiri di sisi jendela, melihat salju yang mulai turun, air mata yang tak mampu terbendung lagi karena perasaannya terus mengalir, dia tahu rencana sepupunya itu padanya, kalau saja dulu tidak memilih universitas disini, mungkin dia tidak akan pernah tinggal bersamanya dan itu lebih baik, tapi kecelakaan bis yang mengantarnya dan nempertemukan dirinya, bahkan membuat hidupnya harus seperti sekarang ini.
“Aku mohon jangan pisahkan kami” dia berguman pelan, tanpa sadar perlahan otaknya memang mulai pulih, meski dalam waktu yang lama, dia menunduk membayangkan wajah Natalie menari di matanya.
“Aku sebenarnya hanya mencintainya…” dia terisak.
Hatinya yang galau, membuat Patrick tidak sadar dengan apa yang hendak dia lakukan, di genggamnya pisau untuk mencoba mengiris pergelangan tangannya, kali ini percobaan bunuh dirinya hampir berhasil daripada sebelumnya, dia sudah mulai lemas, dan jatuh telentang di pinggir jendela. Baginya mungkin hal ini yang bisa membuatnya bertemu dengan Natalie, tanpa terpisahkan lagi oleh apapun.
Suara derap langkah, masuk ke dalam kamar di sertai jeritan melengking, dan air mata seorang wanita sambil memeluknya, Hans yang baru sampai di kamar itu, ikut panik di samping Patrick, dia menangis tidak karuan.
“Mama sudah bilang dengan kamu, dia hanya penghancur hidup Patrick, sekarang kita bawa Patrikck ke tempat yang lebih jauh dari Natalie…, dan pertunanganmu bulan depan setelah wisuda dengan Marion….” dia berkata panjang lebar.
“Dan Patrick akan hidup bersama kita tanpa ada Natalie lagi menganggu dirinya”!! Tegas Elena.
Namun laki - laki itu hanya bisa meneteskan air matanya, dia tidak sanggup menjawab sepatah kata saja, bibirnya terasa bergetar kuat dengan hebat.
Entah kenapa, kata - kata itu semakin merasuk ke dalam telinganya dan membuatnya bimbang, kedua orang itu mengantar Patrick ke rumah sakit dan dokter mengatakan perdarahan hebat tapi tidak masalah.
Marion duduk di sebelahnya, berusaha mempengaruhi pikirannya lebih dalam tentang Natalie.
“Kamu lihat saja sendiri kan untung saja nyawanya dapat tertolong, dan Natalie itu hanya bisa menghancurkan sepupumu bukan mencintainya” dia berbisik pelan.
Laki - laki di sebelahnya tetaplah diam, namun pada akhirnya diapun tersadar, jika Marion selama ini hanya mempengaruhinya karena cinta, bahkan juga sudah menghasut mamanya.
“Kamu mencintaiku, dan cemburu terhadap Natalie”? Tiba - tiba saja dia bertanya yang tidak pernah diucapkan olehnya sebelumnya.
“Aku tahu kalau kamu sempat cemburu, karena aku dekat dengan Natalie”!! Tegas Hans kemudian.
Kini giliran Marion yang diam, dia tidak bisa berkata apapun lagi.
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan waktu itu bohong kann, kamu bilang kalau Natalie menyakiti Patrick, tetapi justru yang aku lihat berkali - kali adalah cinta dan ketulusan dari mereka” dia meneruskan kalimatnya, Marion ingin beranjak dari kursinya namun dia menahan tangannya.
“Tunggu, siapa yang sebenarnya waktu itu ke rumah sakit dan mengikuti aku, kamu kan yang tahu tempat ini lebih dulu, bukan Natalie”!! Dia berteriak keras.
“Kamu mau menuduh aku, kalau aku melakukan fitnah”!! Marion memberontak.
“Aku tidak mungkin melakukannya, aku tidak pernah ada rasa pada Patrick” Marion berubah menjadi gugup.
“Aku tahu, tapi kamu merasakan cinta padaku, dan kamu berpikir aku sempat merasakan hal yang sama dengan apa yang Patrick rasakan terhadap Natalie” perkataan ini membuat jantung Marion semakin berdetak keras.
Air mata laki - laki itupun semakin jatuh, saat mengucapkannya, dan baru menyadari jika memang selama ini yang dia sempat rasakan, hingga membuat Marion berbuat demikian demi memilikinya, tetapi melihat keadaan Patrick, lebih baik mengorbankan perasaan itu sendiri demi keutuhan cinta mereka.
“Bagaimana kalau aku ingin menyatukan cinta mereka”? Entah bagaimana kalimat itu terucap dari mulutnya, dan sikap Marion semakin gugup mendengarkannya.
“Tidakk” dia berkata keras, dan nafasnya terasa tersenggal berat.
4 notes · View notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
NATALIE Genre : Romance ( outline Novel ) Sinopsis : Hendra kala itu dijodohkan dengan Rina oleh orang tua Rina, Jessica dan Bram, Bram adalah pria berdarah Netherland sedangkan Hendra adalah pemuda lulusan dari Universitas di Jerman dengan nilai terbaik di kampusnya, pada saat mereka menikah dan Rina memiliki anak perempuan bernama Natalie, ketika Natalie duduk di kelas enam SD dia bermimpi ingin sekolah di Amerika. Karena saudara Rina sendiri sudah banyak menetap di Amerika dan anak - anak mereka sekolah disàna semua. Natalie tidak mau kalah dengan saudara - saudaranya termasuk dua kakak Natalie Larry dan Zyan. Setelah Natalie lulus SD akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Amerika demi mengikuti keinginan bulat Natalie bersekolah di Amerika, pada saat Natalie berumur 12 tahun dia bertemu dengan seorang laki - laki bernama Patrick yang menjadi sahabatnya tapi semakin bertambahnya usia perasaan persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lain di hati Natalie, ada yang mengganjal tersimpan di hati dengan pemuda bermata biru serta berambut cokelat itu, belum sempat rasa itu tersampaikan Patrick meninggalkannya entah kemana, kabar yang diterima oleh tetangganya kalau mereka pindah keluar negeri tetapi satu keluarga meninggal semua. Tetapi jika bukan itu yang terjadi maka tak pernah ada cerita, hingga pada saat Natalie diminta oleh Omanya Siska untuk kuliah di Netherland dan dia yang menanggung semua biayanya termasuk Natalie akan tinggal bersamanya di Den Haag sampai akhirnya bertemu dengan pria yang arogan, sombong dan selalu mencari masalah bernama Hans tetapi kalau bukan itu yang terjadi cerita tidak akan dimulai Part 1 : Kisah Hendra Hendra baru saja kembali Jakarta setelah dia lulus dari perguruan tinggi di Jerman, pemuda dengan wajah putih dan rambut kelimis tersebut bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta di bidang IT, pria yang ulet dan rajin, serta ramah selalu menilai tambah dalam pekerjaannya serta mendapat pujian dari managernya Hanafi, tetapi Hendra dijodohkan oleh Rina wanita dengan rambut pendek dan wajah hitam manis. Rina memiliki darah keturunan Netherland karena papa Rina seorang pria berasal dari negeri kincir angin tersebut sedangkan Siska adalah orang Indonesia. "Usiamu sudah 25 tahun nakk" kala itu Hendra mengobrol dengan ibunya Mawar di meja makan. Dia paham apa yang dimaksud olehnya, namun hatinya masih saja gusar, dia terdiam sambil menyuap nasinya ke dalam mulut. "Bagi seorang laki - laki banyak hal yang yang dipersiapkan ketika memiliki istri apalagi anak" Hendra memberikan pendapatnya. "Yah tapi jangan kelamaan tidak menikah daripada kamu dikira macam - macam oleh orang diluar sana" Mawar bersungut, Hendra menghabiskan makanannya dia terlihat nampak berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Mawar kepadanya, nafasnya mendesah sambil berdiri membawa piringnya dan berjalan ke dapur. Omongan orang tua seperti kata - kata yang baik dan buruknya membawa nasib pada anaknya, namun untuk yang satu ini Hendra tidak akan dengan mudahnya mengatakan "Iyah" itu tidaklah mudah kecuali menikahi seekor kucing. "Pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, tidak mungkin aku mengambil keputusan secepat itu" dia berpikir dalam. Pada saat Hendra selesai mencuci piring, dari dalam dapur terdengar suara pintu ditutup Hendra menoleh kearah belakang rupanya Fandy ayahnya baru saja tiba dirumah, dia berjalan kecil menuju kearah dapur, sambil menepuk bahunya. "Pastinya kamu sudah sering dengar cerita tentang Rina dari keluarga besar semua" dia berkata bijak, mata Hendra agak terbelalak lebar. "Mama dan papa, merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku"?? Dia bertanya heran dengan mulut terbuka. "Aku pasti menikah maaa, paaa tapi terus terangg kalau untuk yang satu ini jangan disamakan seperti mencari kacang goreng dipasar" Hendra menghela nafas. "Tapi Rina pasti cocok untukmu, cobalah kamu menemuinya" Mawar bersikeras dengan pendapatnya yang sudah menjadi sepakatan bersama, dia bersedekap memandang Hendra yang masih berpikir panjang atas dirinya sendiri. Hendra sesungguhnya dia dari keluarga yang ekonominya masih pas - pasan dia bisa kuliah di Jerman karena beasiswa dari SMAnya beruntungnya juga disana kuliah gratis dan Hendra sosok yang cerdas serta pintar, waktu SMA dulu selalu aktif dalam organisasi dia juga di calonkan sebagai ketua OSIS dan waktu kuliah dia menjadi ketua komunitas mahasiswa Indonesia Hendra menaikki tangga kayu di lorong dekat dapur untuk menuju ke kamarnya, dia membuka pintu kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang ukuran kamarnya agak kecil tidak besar tapi terasa nyaman, matanya melihat kearah gitar yang tergantung di dinding pojok sebelah kanan tempat tidurnya kemudian dia mulai mengambilnya yah itulah yang dilakukannya setiap harinya kalau perasaannya sedang galau, jemarinya mulai memetik alunan nada gitar sambil bersenandung pelan. "Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kuberi...." belum sampai selesai bernyanyi kecil seseorang terdengar memanggilnya dari bawah, Hendra bergegas menaruh gitarnya di tempat tidur untuk menuju kearah balkon. "Aldo" dia menyebut pria dibawah balkon kamarnya yang sedang berdiri melambai padanya dia adalah sahabatnya waktu SMA dulu, kemudian Hendra keluar dari kamarnya untuk menemuinya. "Ada banyak yang aku ingin ceritakan padamu" Hendra menarik tangannya, dan Aldo menahannya. "Soal Rina kannn.., gadis Indonesia keturunan Netherland itu level kejauhannn...kamu tahu" Hendra hanya terdiam meniup belahan samping rambutnya, matanya nampak keresahan dihatinya. "Yah aku tahu, dan aku berpikir memangnya apa Rina itu mau denganku sedangkan dia anak orang kaya, bukan hanya itu masalahnya, dirumahnya yang aku dengar sangat disiplin keras sekali didikan dari ayahnya seperti itu" Hendra bercerita sedikit, Aldo membaca apa yang ada dalam pikiran Hendra. "Dijodohi itu ada enak dan tidaknya, yah semua itu nanti kamu yang rasakan sendiri, lagipula kamu sudah lulus kuliah dan sudah punya pekerjaan mapan lalu kapan kamu mau punya istri kalau begitu" Aldo menasehatinya, Hendra tersenyum padanya sambil menatap wajahnya. "Yah kamu benar" Aldo bersedekap sambil matanya melayangkan ke udara sedangkan Hendra masih menunduk dalam, kedua sahabat itu hening. "Mampirlah dulu sejenak kerumahku, untuk menenangkan pikiran" Aldo menawarkan dirinya dan kebetulan Aldo tinggal satu komplek dengan Hendra, Hendrapun mengangguk mereka berjalan kearah rumah yang hanya berapa blok dari rumah Hendra. Aldo membuka pintu pagar yang berwarna hitam, kemudian mengajaknya duduk diteras rumahnya. "Dari namanya aku sudah menduga dia wanita yang menarik" Aldo memberikan pendapatnya, sedangkan Hendra hanya diam saja merenung. Tiba saatnya pada pertemuan keluarga, Hendra akhirnya bertemu dengan Rina, yah dia memang menarik seperti kata Aldo, wajahnya nampak hitam manis dan rambutnya hitam ayahnya nampak fasih berbahasa Indonesia walau terbata. Hendra duduk diantara kedua orang tuanya saling berhadapan dengan Rina juga orang tuanya juga dia tersipu malu sambil menunduk melihat wajah Hendra. "Yah ini anak kami Rina" Bram ayahnya dengan bangga memperkenalkan putrinya itu Rina semakin menunduk malu, sedangkan Hendra sudah mulai terlihat gusar, dia mencoba untuk mengajak ngobrol Rina namun bibirnya terasa bergetar. "Kamu kuliah dimana"? Dia mencoba mengeluarkan suaranya dan Rina menjawab dengan tenang. "Ohhh di Jakarta saja, tidak dimana - mana seperti kamu" tutur katanya sangat halus meskipun gaya bicaranya terdengar keras. "Dia kuliah disini saja, karena kami juga tinggal disini" Jessica menimpali sambil memeluk Rina. "Bagaimana menurut kamu"? Bram menanyakan dengan memicingkan mata menunjuk kearah Hendra, nampak dari wajahnya kalau Rina sangat senang berkenalan dengan Hendra dan akhirnya mereka melakukan pendekatan dan setelah itu menikah. Part 2 Natalie Dari pernikahannya akhirnya diberikan oleh Tuhan Hendra dan Rina dua orang putra dan satu orang putri, dan kini anak - anak mereka sudah mulai besar dan kakak Natalie Larry melanjutkan pendidikannya di Amerika sedangkan Zayn setelah tamat SMA akan menyusulnya Natalie kala itu berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas enam Sd ambisinya untuk sekolah di Amerika adalah karena melihat saudaranya yang akan pergi kesana begitu juga karena keluarga Rina sudah banyak pindah ke Amerika karena anak mereka sekolah di negara pam sam tersebut juga, dan Jessica sendiri sudah pindah ke Netherland bersama Bram Impian yang memang terlalu tinggi memang namun manusia berhak memiliki impian setinggi melampaui batas langit. "Aku akan berusah mengejarnya untuk bisa masuk SMP disana kelak" Natalie berkata dari dalam hatinya, hari demi haripun terus bergulir Natalie akhirnya lulus SD dan masuk SMP di Amerika keluarga Nataliepun ikut pindah kesana dan bertempat tinggal di California. Suatu hari di sekolahnya Natalie sedang duduk di dalam kantin, pandangannya melayang kearah pemandangan didepannya sambil meminum Orange Juicenya, rambutnya yang lurus terlihat digerai dan dia memakai kemeja berwarna kuning dengan celana berwarna biru. Seorang laki - laki sambil membawa nampan makannya dan menaruhnya diatas meja kemudian mengambil chesse burgernya dari tempat makannya, kebetulan laki - laki itu duduk tepat di kursi hadapan Natalie, dia melihat sejenak sambil mengunyah makanannya kearah Natalie yang mengamati dirinya, namun Helen yang duduk kebetulan juga baru datang duduk di depan Natalie sambil membawa makanannya dia menghalangi Natalie untuk melihat siswa itu. "Melihat siapa Natalie"? Dia menoleh ke belakang, dan kursi yang di duduki olehnya sudah kosong, Helen menarik nafasnya sejenak kemudian mendesah perlahan sambil meneruskan mengunyah burgernya. "Dia sudah tidak ada disana"? Tanya Natalie penasaran melihat kearah sekelilingnya Natalie masih ingat benar ciri - cirinya dia memakai kaos berwarna putih dan celana hitam rambut pirangnya belahannya disisir kesamping dan tubuhnya tinggi tegap, layaknya penampilan laki - laki idaman perempuan, dan usianya nampak lebih tua daripada Natalie "Maksud kamu siapa, aku tidak melihat siapa - siapa disana"? Helen menggeleng polos kemudian meminum juicenya setelah selesai makan kemudian melirik jam tangannya. "Aku masih ada kelas dan kalau dengan Mr Smith terlambat sedikit bisa tidak masuk selamanya dan kamu tahu itu kan..." kata Helen sambil beranjak dari kursinya dan menyandang ranselnya untuk meninggalkan cafetaria. "Oke, sebentar lagi masuk ke dalam kelas" Natalie menghabiskan minumnya lebih dulu kemudian berjalan sedikit kearah kasir untuk membayar makanan dan minumannya yang dipesannya kemudian barulah dia melangkahkan kaki keluar dari sana, Natalie berjalan kearah lorong yang kini dan kanannya terdapat loker kemudian dia membuka lokernya untuk membuka pintunya untuk mengambil buku di dalamnya, tepat saat itu laki - laki yang barusan di Cafetaria berada disamping Natalie dia membuka lokernya juga, kemudian melihat kearah Natalie tapi pandangannya teralihkan oleh seorang temannya yang menegurnya dari belakang dengan menepuk bahunya. "Patrick rupanya kamu disini, aku mencarimu kemana - mana tadi ayo kita masuk kelas sekarang" dia mengajaknya. "'Miguel Ok" dia mengiyakan, Natalie masih berdiri memerhatikan dirinya disamping loker dan Patrick sejenak membalas tatapan tersebut sebelum meninggalkan ruangan itu. Sore harinya pada saat berjalan menelusuri trotoar, Patrick berjalan di belakangnya, dia berlari kecil untuk mengejarnya. "Kamu Patrick kan"? Dia bertanya ramah. Dan Patrick hanya mengangguk ramah sambil memberikan senyuman padanya Nataliepun tersipu malu padanya, di umurnya yang masih dua belas Natalie memang baru mengalami pertumbuhan awal remaja, dan jni gelora pertama yang dirasakannya. "Nama kamu Natalie kan"? Patrick memecah lamunannya, dan Natalie menjadi salah tingkah "Eh iyah, itu namaku" dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya "Seluruh anak sekolah kita sering menyebut nama kamu, dan sepertinya kamu terkenal di sekolah " Patrick menegadah memandang langit saat mengatakannya, dia terlihat sosok yang baik dan penyayang. Natalie tercengang mendengarnya kemudian tertawa pelan "What is funny"? Patrick heran menatap sikapnya dia memicingkan mata sambil sedekap membalikkan badan untuk berdiri berhadapan dengannya. "Tidak ada, tapi aku hanya heran kenapa kamu bisa menilai aku seperti itu"? Natalie malu - malu. "Karena kamu cantikkk"!!! Patrick menggodanya kemudian melanjutkan langkah kakinya dia berlari kecil sambil melambaikan tangan di udara dan Natalie membalasnya Pertemuannya dengan Patrick entah kenapa membawanya pada perasaan yang tidak biasa kepada Patrick bayang dirinya selalu menghantui Natalie, pada saat dirumah Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya kemudian mendapat telepon dari Helen. "Yah Helen" dia menyahut "Natalie, aku ingin mengajak kamu menonton pertunjukkan di Las Vegas" terdengar suara menggebu dari Helen, dan Natalie hanya mendesah nafas "Aku sedang mengerjakan tugas hari ini" dia menolak halus, tapi Helen mendesak "Aku tidak tahu harus pergi dengan siapa, Clara, Louissa, Marianne tidak ada yang mengangkat teleponku huffff...." Helen mengeluh. "Oke, aku temani" Natalie akhirnya menyerah dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak dari kursi meja belajarnya, sebenarnya waktu mengerjakan tugas sekolahpun pikiran Natalie sedang tidak fokus karena nama Patrick mengusik ubun kepalanya, Natalie memakai kaos berwarna merah serta celana panjang hitam kemudian mengikat rambutnya ke belakang Natalie kemudian menuruni anak tangga rumahnya dan Helen sudah menyambutnya dari bawah, inikah dia perasaan cinta anak remaja awal yang tidak tahu jelas apa sebabnya tapi Patrick terlihat tampan dan lembut dan hal itu yang membuat Natalie jatuh hati pada pandangan pertama dengannya. Selama dalam perjalanan Helen terus mengajaknya bicara "Natalie kamu dengar aku tidakkk"!! Helen merasa kesal karena dari tadi Natalie tidak memerhatikan Helen bicarakan. "Maaf, aku sedang tidak fokus" Natalie berkata lembut tapi Helen masih bersungut kesal sambil bersedekap. "Aneh sikapmu belakangan ini" dia menggerutu "Sehari saja tidak di sekolah, aku justru merasa bosan daripada jalan - jalan seperti ini" Natalie berkata dengan tenang. "Girl ayolah, ini penyanyi idola aku dan aku tidak harus pergi dengan siapa lagi" Helen menggerutu "Dan Celine Dion itu adalah inspirasiku untuk kelak menjadi seorang penyanyi" Helen menambahkan kalimatnya. "Jangan konyol kamu ha....ha..ha" Natalie menertawakannya hingga wajah Helen semakin memerah, dia memandang keluar jendela bis dengan wajah penuh emosi, dia menghembuskan nafas dari mulutnya, sedangkan Natalie dengan tenangnya mengeluarkan Hp dari dalam tasnya dan membaca pesan yang baru saja masuk dari Marianne. "Have fun today girlss"!! Kata - katanya nampak bersemangat "Yah tapi Helen sedang merasa kesal sedikit dengan ledekanku padanya, dia memang kadang suka bertingkah seperti anak umur sembilan tahun ha....ha...ha" Natalie menyahutnya sambil tertawa membalas pesan tersebut dan Marianne mengirim balasannya lagi. "Its not funny Natalie" kalimatnya nampak marah, dan Natalie terdiam dia merenungi perkataannya sendiri. "Forgive me" dia mengirim satu kalimat lagi pada Marianne. "Aku hanya ingin beritahumu sikap bercandamu berlebihan" Marianne mengirim lagi balasannya "Aku hapus kata - kataku tadi" Natalie membalasnya lagi untuk mengakhiri pembicaraan dengan Marianne, tanpa terasa mereka sudah sampai di tujuan, bis itu berhenti di halte terakhir dan kedua remaja itu turun dari dalam. Natalie turun lebih dulu, kemudian memandang sekitarnya dan Helen menyusulnya dari belakang, dia berjalan kedepan sedikit untuk menghampiri Natalie, kemudian berdiri di sebelah kanannya sambil menoleh dengan tersenyum. "Kamu sudah tidak kesal denganku lagi"? Natalie bertanya dengan suara lembut dan menunjukkan cengiran kecil padanya. "Aku tidak benar - benar merasa kesal juga kokk" Helen mengangguk kemudian memegang pergelangan tangannya. Di dalam arena pertunjukkan, kerumunan orang penuh sesak, diatas atap nampak gelap tapi berkilauan cahaya dengan warna ungu, kuning atau merah dan suara membahana mulai terdengar diantara sorak orang. "Suittt...suittt..." seseorang penonton terdengar sedang bersiul Natalie mendongak dari antara orang - orang yang berdiri didepannya yang bernyanyi My Heart Will Go On "Helennnn"!! Dia berteriak memekik "Aku tidak bisa melihat Celine Dion disini"!!!! "Kalau kita maju selangkah lagi, didepan sana sangat padat" Helen memberikan komentarnya pada Natalie. Sepulangnya dari nonton konser Larry kakak tertua Natalie sudah menunggunya di depan Tv, hari memang sudah larut malam, wajah Natalie nampak kecut, tapi justru sebaliknya Larry terlihat tersenyum dari sofa berwarna putih yang didudukinya, Natalie hanya bisa memalingkan wajah. "Aku tahu ini sudah jam satu malam" dia mengangguk paham. "Yah kamu benar, oh yah tadi ada seseorang yang melintas disini dia menanyakan kamu pada Zayn" Larry memberi tahukannya, dan wajah Natalie berubah tercengang. "Dia laki - laki"??? Larry hanya mengangguk perlahan, dan yang ada dalam pikirannya itu adalah Patrick. "Seperti apa orangnya"? Dia bertanya kembali, mendengar suara Natalie dan menyebut namanya Zayn keluar dari kamarnya tapi juga disusul oleh Hendra dan Rina. "Awalnya kami mengira kamu pergi dengannya juga"? Hendra menimpali. "Aku hanya pergi dengan Helen saja berdua" Natalie membenarkan kata - katanya "Karena umur kamu baru dua belas nakk, baru saja memasukki usia remaja dan kamu mengerti kan maksud kami" Rina berkata bijak. "Aku tahu" Natalie mengangguk pelan. Keesokan harinya di sekolah, Natalie mencari Patrick, dan menemuinya di ruang musik sekolah, dia sedang memetik gitar sambil bersenandung perlahan disana, Natalie berdiri di ambang pintu sekolah dan Patrick menoleh kearahnya sambil menghentikkan permainannya Perasaaan yang berada dalam tubuh Natalie semakin tidak menentu pada saat menatap wajahnya. "Apa yang kamu lakukan di komplek sekitar rumahku"? Natalie bertanya. "Aku hanya kebetulan lewat saja, dan aku baru tahu kamu tinggal disana" Patrick menjawab santai sambil kembali memetik gitarnya. "Dan kamu pergi seharian dengan temanmu yang bernama Helen itu kan" dia menambahkan kalimatnya yang sedang diucapkannya, Natalie berjalan kecil untuk mendekati Patrick dan duduk disebelahnya. "Kamu bisa bermain gitar"? Dia bertanya "Yah begitulah" dia mengangkat bahunya, lalu menaruh gitar tersebut di sebelahnya keduanya memandang tembok didepannya dengan hening, tidak tahu apa sebabnya rasa itu tidak bisa dibendungnya lagi. "Kamu ini, sudah kelas dua belas kan Patrick"? Dia bertanya, Patrick hanya mengangguk usianya kini memang sudah empat belas tahun dan sèbentar lagi dia akan meninggalkan bangku SMPnya untuk meneruskannya ke SMA. "Kenapa kamu berkata demikian"? Patrick bertanya ingin tahu. "Karena aku ingin jadi sahabat sejatimu, bolehkah"? Natalie bertanya perlahan. "Yah" Patrick menjawab singkat. Part 3 Sahabat Tapi Cinta Akhirnya kini umur Natalie menginjak yang ke enam belas tahun, di bersekolah yang sama juga di SMA dengan Patrick, hubungan mereka semakin dekat tapi perasaan yang dipendamnya semakin tumbuh dan tak bisa dibendungnya lagi, rasanya ingin mengatakannya tapi bibir hanya bisa diam, dia duduk di taman sekolah memandang pohon didepannya, hasrat itu semakin lama semakin tidak pernah memudar, Patrick yang melihatnya dari kejauhan dari balik tembok, kini tubuhnya semakin tinggi daripada waktu dulu empat belas tahun, hari persahabatan mereka semakin erat, namun tahukah Patrick apa yang terselubung dalam hati Natalie sebenarnya, dia memandang menerawang dengan tatapan berbinar kemudian tiba - tiba saja, Emily mengusiknya dia datang dari arah yang berlawanan menepuk bahu Natalie. "Aku jadi merindukan Helen dia diterima bukan di sekolah ini, tapi sekolah lain yah dia sahabatku waktu SMP dulu" Natalie bercerita dengan suara sayu, dan Emily berdiri disampingnya bola mata birunya memandang dekat pohon itu, sejenak rambut lurus selehernya mengembang tertiup angin. "Aku rasa kamu memikirkan sesuatu yang lain" Emily menebak perasaan Natalie, dan tanpa sadar Patrick mendengar percakapan mereka dari balik tembok, entah apa yang dirasakannya dia seperti sudah menduganya sejak lama isi kepala Natalie, Patrick meninggalkan tembok tersebut dan berjalan kearah tak tentu arah, sambil tertunduk, belahan rambut disampingnya jatuh menutupi atas alisnya. "Natalie.., entah kenapa sebenarnya perasaan itu serupa, aku seperti mengharap kamu yang lain, dan ada harapan yang berbeda diantara kita" patrick berpikir, dia berjalan kearah hall basket dan masuk ke dalamnya, kemudian duduk di deretan kursi yang menghadap kedepan, tiba - tiba saja ada suara orang yang membuka pintu, Patrick tersentak dan menoleh ke kanan. "Henry" dia menyebut namanya, dan Henry menutup pintu itu kembali, dia membetulkan sisiran rambutnya sambil duduk disisi Patrick, berusaha untuk ikut memikirkan apa yang sedang dalam pikirannya. "Jika saja itu sesuatu yang kamu sembunyikan dan tidak pernah kamu buka, maka akan ada sakit yang tidak pernah mendapat jawabannya" Henry menembus pikiran Patrick, Patrick berdiri mendengar kalimat itu, bagaikan telinganya langsung ditegakkan. "I can't speak anymore....." matanya nampak gelisah melihat sekeliling. "You're someone man, you much brave" suara Henry berubah menjadi tegas. "I CAN'T"!!!! Patrick berteriak histeris pelan, itulah alasan penyebab Patrick sulit mendapatkan pacar, meskipun dia dekat dengan banyak gadis dan salah satunya Natalie, dan sebenarnya Patrick juga sedang dekat dengan teman baik Natalie di SMA ini yaitu Emily namun hubungannya menggantung tanpa arah tujuan. "Kamu tidak bisa bermain seenaknya dengan perasaan kamu sendiri"!! Sikap Henry tidak kalah tegas dengan Patrick, untuk menghindari pertengkaran yang terjadi dan menjadi hebat, Patrick meninggalkan ruangan tersebut, dia berjalan di antara lorong dengan galau, sambil menyandang ranselnya, kemudian melirik jam tangan berwarna biru sudah menunjukkan pukul sembilan. "Ya Tuhan, aku ada kelas dengan, Mrs Wendy Gale" wajahnya yang memperlihatkan semakin tidak bisa dibendungnya, buru - buru Patrick berlari kecil masuk ke dalam gedung di samping taman dan mengetuk kelas yang tertutup, Mrs Wendy membukanya dengan wajah melotot marah. "Kamu tahu ini sudah jam berapa, dan kamu datang lima menit setelah saya sudah di dalam kelas"!! Dia membentak keras. "Mrs Wendy, saya minta maaf kalau terlambat, saya rela jika harus terkena sanksi" Patrick merunduk menyesal, dan sanksi yang dikenakan oleh Mrs Wendy itupun sudah mendapat toleransi darinya daripada biasanya siswi atau siswa tidak dapat mengikuti ujian mata pelajaran dengannya, Patrick hanya mendapat tugas sekolah dua kali lipat untuk membayar kesalahannya dalam satu hari itu. "Kringggg" bel sekolah berbunyi Natalie di lain tempat, dia sedang berada di kelas, tangannya meraih buku diatas meja untuk dimasukkan ke dalam ranselnya, dan Mr Bryan meninggalkan kelas sambil membawa bukunya. "Dimana kamu tinggal"? Tanya Emily yang duduk di kursi sebelahnya. "California" jawab Natalie, kemudian dia mengelurkan notes kecil untuk memberikan catatan alamat rumah serta nomor rumah dan nomor Hpnya. "Tidak jauh dari tempat tinggalku" Emily tersenyum ramahnya padanya, kemudian mengambil ikat rambut di dalam resletingnya. "Yah benar, tapi kalau hari ini aku ingin pergi menemani Zayn" Natalie mengangguk. "Zayn"? Dia bertanya heran. "Kakakku yang kedua" jawab Natalie dan meninggalkan sekolah, hari cuaca sangatlah panas, dia membuka jaket yang dikenakannya karena sudah diluar sekolah, kemudian duduk di halte untuk menunggu bis yang datang. Pikirannya kembali terlintas tentang Patrick, wajahnya menari - nari di matanya dan Natalie menghembuskan nafas perlahan dari mulutnya, sambil melihat bayangan yang memantul dari bawah jalanan. "Patrick, rasanya kenapa aku punya pilihan lain, yang bukan jadi sahabatmu, tapi...." lamunan Natalie terbuyar pada saat bis jurusan yang ditunggunya sudah tiba, Natalie terperanjat mendongakkan kepala dan bergegas masuk ke dalamnya, dia melayangkan mata kearah keluar jendela, tidak tahu apa sebabnya Natalie menelepon Patrick pada saat dalam perjalanan, dan rasa ingin bicara padanya. "Patrick, nanti malam aku mau kerumah kamu pukul tujuh malam" "Oke" Patrick mengiyakan sambil mengakhiri pembicaraannya, bis itu berhenti tepat di halte dekat rumahnya, dan Natalie langsung turun, ketika itu Natalie melihat keluarganya tengah mengobrol di sofa keluarga. Natalie, terdiam terpaku berdiri di hadapan mereka semua dan merekapun menengok kearahnya, Rina tersenyum padanya, dia seperti sudah membaca apa yang ada dalam isi kepala Natalie, namun Natalie, terlihat sedang tidak ingin diganggu dulu hari ini, dia masuk ke dalam kamarnya dan membuka ransel untuk mengambil buku dan mulai mengerjakan tugas, sejenak Natalie melihat kearah Walkman di sebelahnya lalu meraihnya dan memutar lagu Backstreet Boys, kemudian meneruskan mengerjakan tugasnya. Suara ketukan pintu yang terdengar, membuat Natalie mematikan walkmannya dan menoleh kearah daun pintu. "Cominggg"! Dia berseru, Rina masuk ke dalam kamarnya, dan berjalan perlahan masuk ke dalam. "Dibawah sedang ada Sam sepupu kamu" dia memberi tahukan. "Sam dan tante Vina, tapi aku tidak mendengar suara mobilnya barusan"? Natalie tercengang. "Aku akan turun setelah aku selesai mengerjakan tugas sekolahku" dia mengangguk kemudian, dan Rina meninggalkannya, di lantai bawah Sam sedang mengobrol dengan Zayn dan Larry. "Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya" dia memberi tahukan. "Sejak kapan Natalie menjadi anak yang rajin" Sam sedikit meledek dirinya. "Sam adikku sudah umur enam belas sekarang"!! Dengan keras Zayn sedikit membentak Sam, dan Larry melotototi dirinya. "Oke, oke aku salah berkata demikian, hanya saja sikap Natalie berbeda dari biasanya" dia memberikan komentar. Di tengah obrolan itu, tiba - tiba saja Natalie datang, dan bersedekap diantara ketiganya. "Aku tahu, apa yang kamu inginkan"? Dia menebak pikiran Sam dan Sam memang umurnya lebih muda daripada Natalie. "Bersepeda memutari komplek rumah ini" kemudian dia melanjutkan kata - katanya, dalam pikiran Nataliepun melakukan itu sejenak untuk melupakan pikirannya tentang Patrick tetapi justru semakin menghantuinya. Senja di sore hari, mereka bersepeda mengelilingi komplek tersebut, dan sampai waktu malam tiba, Natalie bersiap - siap untuk kerumah Patrick, dia sudah menunggunya di teras halaman. "Patrick" Natalie memanggilnya dari luar pagar, dan Patrick membukakan pagarnya kemudian Natalie masuk, dia terlihat tampan hari ini dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan celana pendek hitam. "Aku tidak tahu kenapa aku merasa benci akan sesuatu" dia berkata sambil menunduk dalam. "Aku benci jadi sahabatmu sebenarnya selama ini dan menurutmu apakah aku orang yang tepat untuk menjadi sahabat"? Natalie bertanya getir, tiba - tiba saja Patrick meremas telapak tangannya tanpa kata, dan hanya memalingkan wajah kearah kanan. "JAWAB AKUUUU"!!!! Natalie berteriak keras, dan Patrick tersenyum padanya. "Aku tidak memaksa siapapun untuk berteman denganku, tapi kamu sendiri yang dulu menginginkan persahabatan ini" dia berkata polos, dan Natalie hanya menggeleng lemah. "Yah aku tahu maaf" Natalie melepas pergelangan tangannya, wajah Patrick berubah perhatian kepadanya. "Kalau ada masalah ceritakan padaku" "Terlalu sulit untuk mengatakannya" Natalie menggeleng lesu, dan kemudian Patrick mengajaknya masuk ke halaman, dia mengambil gitar dari dalam rumahnya dan memainkannya disamping Natalie, gadis itu tertunduk sambil tertegun diam mendengar Patrick bernyanyi dan Natalie mendesah sambil, merunduk dalam. "Patrick kamu terlalu baik kepadaku" Natalie menoleh kearahnya. "Natalie kamu adalah sahabat setiaku" Patrick berkata lembut sambil memeluk bahu Natalie, sikapnya bukanlah justru menunjukkan rasa sahabat tetapi sesuatu yang lain Natalie lamban laun bisa merasakan hal itu. "Patrick sudah mulai larut malam, thanks lagu The Corrs untukku barusan" Natalie berdiri dan rasa dihatinya semakin berkata lain, Patrick ikut berdiri di depannya. "Sebenarnya aku juga bosan menjadi sahabat tapi aku ingin tetap menjaga kesetiaan yang tidak pernah berubah ini" Patrick menyahutnya lembut. Natalie mengiyakan hal itu, jika bosan untuk bersahabat dan sebenarnya dari awal tidak mau menerima pertemanan dengan Patrick mengapa rasanya Natalie waktu itu menyetujuinya, hari demi hari dilewatinya dan tiba - tiba saja Natalie melihat Patrick berdua dengan sahabatnya sendiri mesra. Air mata Natalie jatuh tak tertahankan, rasanya hancur perasaannya tanpa Patrick paham apa yang dirasakan Natalie sebenarnya kepadanya. Part 4 Terpendam Natalie, duduk di taman sekolah sambil mendengarkan walkman, sejak melihat itu sikapnya kepada Emily menjadi berubah, tetapi dia menahan pedih rasa cemburunya, karena rasa cinta terpendamnya pada Patrick yang tertahan selama ini kepadanya sejak awal bertemu, Emily y Menghampiri Natalie di taman dan dia melihat Natalie menangis. "Why you crying"? Dia bertanya perhatian, Natalie tersentak sambil melepas walkmannya di telinganya. "Aku lebih baik sendiri saja" dia berkata sayu, melihat kearah Emily kemudian mengusap air matanya dan meninggalkannya di taman, Patrick yang melihat Emily sendiri disana menghampirinya untuk duduk disebelahnya. "Natalie, sepertinya cemburu karena aku dekat denganmu, bisakah kamu menjauhiku"? Dia bertanya pelan, mata Patrick terbelalak mendengarnya, dan berdiri disamping Emily. "Kamu tidak pernah tahu rasanya jadi aku" dia menggeleng lemah. Emily hanya duduk di kursi tersebut, terisak mendengar setiap ucapan yang dikatakan Patrick, laki - laki yang hanya mampu sebatas mendekati gadis saja tapi tidak bisa mengungkapkan perasaannya, Emily berlari dari tempat sana dan apa yang dibenaknya sudah pasti akan terjadi, dia dimusuhi oleh Natalie karena cemburu dan Emily tahu perasaan sebenarnya Natalie pada Patrick belum bisa diungkapkannya sampai sekian detik waktu. Namun mereka tetap akrab bagai pinang dibelah dua, namun Patrick sudah menghancurkan perasaan Natalie, dan entah bagaimana seakan Natalie masih mengharapkannya diatas keyakinannya jika dia tidak akan gagal. Emily masuk ke dalam ruang kosong di sekolah dia menutup pintu dengan keras dan menangis disana, meluapkan emosinya yang ada. Sedangkan Natalie duduk sambil berjongkok dibawah loker, air matanya sudah mengering disaat nama Patrick menghiasi hatinya, derap langkah sepatu terdengar dari kejauhan dan Natalie berdiri menghadapinya, Patrick kini di hadapannya. "Aku mengenalmu dari SMP, dan aku tahu siapa kamu dengan jelas"!! Tegas Natalie. "Aku mengerti" hanya itu yang bisa Patrick katakan padanya. "Siapa yang kamu pilih sekarangggg"!! Dia berteriak keras, dan Patrick tetap hanya membisu seribu bahasa Natalie mengguncang pundaknya kemudian tanpa sadar jatuh dalam pelukannya dan Patrick membiarkannya. "Aku hanya ingin tidak dipermainkan" dia berbisik di telinga Patrick, Emily yang berada di ujung sana mengeluarkan air matanya. "Katakan Patrick sejujurnya...." dia mendesak. "Emily" dia menyebut nama itu dan Natalie menangis meraung dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa keluar dari hatinya, entah apa yang sebenarnya dirasakan Patrick tapi dia nampak bimbang dan resah, ada sesuatu yang justru bukan itu jawabannya. Natalie semakin membenci Emily sejak saat itu, dia bahkan menjauhi dirinya tapi tidak sanggup kalau menyakitinya tanpa disakiti sekalipun Emily sudah merasa sakit oleh perasaannya sendiri karena telah merebut pujaan hati sahabatnya sendiri. Emily kini memiliki teman baru namun dia tidak seperti Natalie yang lebih perhatian dengannya pertemanan itu seperti rasa yang dipaksakan olehnya karena Emily merasa takut untuk menegur Natalie dan dia selalu menjawab tidak enak belakangan ini, Emily tahu perasaannya. Part 5 Allyson Allyson sosok gadis yang acuh dan cuek, tidak banyak memikirkan orang lain, Emily menjadi merasa kesepian karenanya meskipun dia mendapat teman baru, pada saat itu dia bertemu dengan Natalie di cafetaria dan Natalie membawa makanannya untuk ditaruh diatas meja, tiba - tiba saja. "Brakkkk"!! Dia memukul meja dengan kuat didepan Emily, tatapan dirinya sudah seperti musuh besarnya namun Emily dapat membaca isi perasaan Natalie yang sebenarnya. "Aku mau duduk disini dan kenapa harusss ada gadis freak seperti kamuu"!!! "Dasar gadissss tidak tahu diri, dasar anak norak" Natalie menghina habis - habisan Emily "Dan teman kamu sama noraknya dengan kamu" dia menunjuk kearah wajah Allyson dan Allyson dengan sekejap menampar wajah Natalie dengan keras. "Aku sebenarnya tidak cocok berteman dengan Emily" dengan tegas dia mengatakan hal itu dan Natalie menjadi terdiam, Allyson meninggalkan Emily yang sedang sendiri berdiri di hadapan Natalie, pada saat itu Patrick melerai mereka semua, dan menarik pergelangan tangan Natalie ke suatu tempat. "Natalie kamu harus dengar ini"!!! Dia berusaha untuk mengatakannya dan Natalie menunggu kata - kata itu. "Akuu" dia berusaha untuk menyatakan cintanya tapi mulutnya terasa terkunci, hari demi haripun terus berlalu, entah kenapa sejak kejadian itu Natalie menjauhi sejenak Patrick untuk menenangkan pikirannya sendiri hingga tiba saatnya pada saat kelulusan SMA, Patrick meninggalkan sekolah dengan kalimat masih menggantung di hati Natalie, kini Nataliepun duduk di bangku kelas dua belas. Dan saat dia akan mulai mendekati ujian SMA, ingatannya kembali pada Patrick namun dia sudah lama tidak pernah berhubungan dengannya lagi dan Patrick kini tidak tahu kemana Part 6 Menghilang Ujian kelulusan tinggal menghitung berapa hari, dan Patrick seperti sudah hilang ditelan bumi, tapi perasaan Natalie tidak pernah hilang untuk tetap menyimpan nama Patrick, dulu waktu di kelas sebelas dia sempat cemburu dengan Emily dan menjauhi, tetapi kini justru Natalie semakin memikirkannya, Emily sendiri seakan tidak pernah menghindar dari apa yang Natalie lakukan padanya, karena rasa bersalah meliputi dirinya, Emily sendiri mengorbankan perasaannya menerima sakit sendiri dihatinya, memiliki teman baru seperti Allyson memang menyakitkan, Allyson kalau mengirim pesan sms kepada Emilypun bukan seperti Natalie yang sangat perhatian kepadanya dan Emily tidak pernah lupa akan kata - kata Allyson kalau sebenarnya tidak terlalu cocok berteman Emily. Inikah yang disebut memaksakan diri melakukan hal yang sebenarnya tidak mungkin bisa dilakukan....? Allyson, dengan ceria masuk ke dalam kelas, dia tersenyum, kepadanya namun terlihat tidak memperdulikan perasaan Emily saat ini, ekpreksi wajahnya dia berkesan hanya ingin mengobrol untuk kesenangannya sendiri. "Hi" dia menyapa Emily dan dia hanya tersenyum, Allyson tidak peduli ekpreksi wajahnya. "Aku mau traktir kamu selepas ujian nanti, kita akan bersenang - senang ke Disneyland" dia menawarkan ramah. "Aku ingin lebih baik mencari informasi universitas untuk kuliah nanti" Emily menolak halus. "Well its ok, kalau begitu aku pergi sendiri saja" Allyson meninggalkannya sendiri tanpa peduli keadaannya, sedangkan Natalie melihat mereka dari balik pintu kelas dengan meneteskan air mata, karena sikapnya yang ego Emily harus menderita batin seperti ini tapi rasa cinta kepada Patrick tidak bisa hilang dari hatinya, terlalu pedih untuk mengingat pada saat Emily berdekatan dengannya mesra, dan Patrick mengakui jatuh cinta pada Emily saat itu, tanpa mengetahui kebenarannya Natalie memusuhi Emily. Kini dia mencoba berjalan kearah Emily derap langkahnya perlahan, mendekati dirinya dan berdiri disamping kanannya dan Emily menolehnya. "Natalie aku minta maaf" Emily pertama kalinya menegur Natalie kembali. "Tidak perlu semua sudah terjadi" Natalie melemahkan suaranya "Aku tidak tahan melihat kamu menderita karena berteman dengan Allyson yang cuek padamu, dan aku tahu semua karena kamu berusaha menjauhiku tetapi kamu justru mendapat hal yang buruk" Natalie berkata panjang lebar. Pertama kalinya Natalie bersikap lebih bijak dari sebelumnya dan Emily terlihat berpikir "Kamu yang lebih dulu melakukannya, dan aku hanya ingin selama ini juga menyendiri dulu" dia berkata dengan muram, Natalie sama muramnya dengan Emily. "Patrick sudah menghilang ditelan bumi, untuk apa kita bermusuhan lagi"! Tegas Emily kemudian, dan Natalie tersenyum mendengarnya, dia tidak dapat membendung perasaannya lagi dan memeluk Emily. Akhirnya ujian kelulusan SMA telah tiba selama seminggu dan dari hasil pengumumannya mereka semua di nyatakan lulus termasuk Natalie dan Emily, kedua sahabat itu kini kembali berhubungan baik lagi, tetapi perasaan Natalie semakin terbawa arus oleh perasaan cinta yang belum sempat Patrick ketahui sampai saat ini, dan membuatnya semakin galau. Apakah Natalie harus melupakan Patrick, karena dia benar - benar sudah tiada tidak tahu kemana..?, Hpnya benar - benar tidak bisa dihubungi lagi. Ada rasa yang tidak menentu di hati Natalie, beberapa hari ini pula tidak bisa tidur, selalu terbawa mimpi yang sama, seakan pertanda buruk tentang Patrick, ada suara ledakan dari pesawat yang sedang terbang di udara, malam itu Natalie tiba - tiba saja menjerit histeris karena mimpinya sendiri, dia menangis tersedu - sedu ada rasa takut dihatinya kalau Patrick benar - benar akan menghilang selamanya dihatinya. Keesokan harinya, Natalie bergegas kerumah Patrick, untuk memastikan apakah mimpi itu benar - benar akan terjadi selama dalam perjalanan perasaannya amatlah kacau tidak karuan, dan rumah Patrick nampak kosong, air mata turun dengan derasnya perasaan cinta tidak dapat dibendungnya lagi, rasanya seperti mencintai tetapi hanyalah hampa dan Tuhan tidak mengizinkan untuk Patrick berjodoh dengan Natalie. Seorang tetangga wanita berambut cokelat menghampiri Natalie yang berdiri didepan rumah Natalie. "Are you find someone"? Dia bertanya Natalie menoleh kearahnya, dengan tertegun sayu. "Where they go"? Dia bertanya kembali. "Sudah beberapa bulan yang lalu, mereka pergi katanya akan meninggalkan Amerika karena anaknya akan kuliah di Den Haag, tapi kami mendapat kabar kalau mereka semua kecelakaan pesawat" dia memberi tahukan. Entah itu benar atau tidak, tapi menurut cerita wanita itu kalau dari orang yang menghubunginya menemukan identitas korban dengan nama Patrick Johnson dan keluarganya, tapi bisa saja salah karena di dunia ini ada banyak nama Patrick Johson tetapi dengan orang yang berbeda, air mata Natalie tidak dapat dibendung lagi dia menangis sejadinya dirumahnya, rasa cinta itu tidak pernah akan ada jawabannya dan tidak pernah ada balasannya serta hanya terpendam tanpa pernah terungkap selamanya. Hari demi haripun berlalu berganti dengan tahun, dan akhirnya Natalie disarankan oleh orang tuanya untuk kuliah di Netherland, karena Jessica sudah semakin menua begitupun dengan Bram dan hanya hidup sendiri disana, jadi Natalie kuliah sambil menjaga Jessica dan Bram di negara tersebut, dari kampus mungkin jaraknya agak jauh dari rumah Jessica namun tidak masalah, dan satu hal juga Natalie sudah tidak pernah mengingat nama Patrick lagi karena baginya Patrick hanya tinggal kenangan di dalam hati, untuk apa bagi Natalie mencarinya karena Patrick benar - benar bukan jodohnya, Dia jodohnya Tuhan sekarang ini, dan Patrick juga meninggal, rasanya wanita tetangganya itu tidak bohong padanya, tapi apa rasanya orang yang mengalami cintanya tidak tersampaikan. Part 7 Laki - laki Misterius Di kampus itu Natalie berjalan perlahan menelusuri lorong antara deretan loker dan duduk di anak tangga Fakultas Ekonomi, dia diterima di salah satu Universitas di kota Den Haag, nafasnya dihembuskan dari mulut sambil melihat kearah kedepannya, dan kemudian menunduk, dia melihat jam tangannya masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan untuk masuk ke dalam kelas berikutnya masih nanti jam dua belas, rambut cokelatnya tergerai ke belakang, dan usianya kini delapan belas tahun, seorang gadis melangkah disamping kanannya dan berdiri menghadapinya. "Natalie, kita ke perpustakaan yuk, untuk mengerjakan tugas" dia mengajaknya "Sebentar lagi Alina" Alina adalah sahabatnya selama Natalie duduk di perguruan tinggi, dia duduk disamping Natalie memerhatikan ekpreksi wajahnya sedang tertegun. "Ada yang kamu pikirkan"? Dia bertanya ingin tahu "Tidak ada" Natalie menggeleng, lalu beranjak berdiri sambil menarik tangan Alina, wajahnya berubah semangat, untuk ke perpustakaan, ada keresahan tidak menentu sebenarnya dari dalam jiwa Natalie. "Ayo kita kerjakan tugas sekarang" dia terlihat menggebu, kemudian Alina mengikutinya keduanya berjalan kearah perpustakaan, dan disana mereka mengerjakan tugas bersama sambil membahasnya, dengan berdiskusi bersama. Setelah pulang kuliah di sore hari, Natalie menonton Tv, di sofa berwarna merah dia teringat akan Larry dan Zayn kedua kakaknya yang kini telah menikah dan memiliki kehidupan baru dengan keluarga baru mereka, Zayn sekarang tinggal di Florida bersama Lily istrinya dan Larry tinggal di New York dengan istrinya Vanessa tetapi yang sudah memiliki anak pertama adalah Larry yang tertua, Zayn istrinya baru mengandung empat bulan. Jessica keluar dari kamarnya, dia menginjak lantai kayu dengan sandalnya, dan hawa dingin semakin terasa karena akan mendekati malam, Jessica mengenakan jaket berwarna putih, kemudian Bram baru saja dari luar dia suka berkunjung kerumah temannya sekedar mengobrol dengan secangkir kopi, Natalie melirik kearah Jessica kearah lebih dulu yang duduk disampingnya dan Bram tersenyum sambil melintas di depan Tv, untuk masuk ke dalam kamarnya. "Perasaan kalau dipendam tidak pernah dikeluarkan akan semakin membuat pedih" dia menasehati Natalie. "Percuma, Patrick sudah meninggal, dan itu sepertinya memang keluarga Johnson nama keluarga Patrick, aku berpikir demikian dan aku sudah lelah" dia meneteskan air matanya sepertinya kesedihan itu selama ini sebenarnya dipendamnya dan Natalie hanya berpura - pura melupakan Patrick. "Ja, Oma tahu perasaannmu" dia mengelus rambutnya perhatian. "Aku mencintainya dan benar - benar mencintainya" Natalie berguman sendiri, dalam pikirannya mungkin saja perasaan yang masih menggantung akan sebuah kalimat tidak tersampaikan itu bisa tersampaikan kalau dia bisa menemui Patrick di dunia lain, tapi rasanya sungguh berdosa kalau Natalie bunuh diri, namun mencoba melupakan Patrick selama ini bagai hanya kepalsuan belaka isi hatinya. "Aku lelah menipu diriku sendiri, untuk mencoba tidak memikirkan Patrick lagi karena teryata aku tidak bisa melakukannya, perasaanku masih sama seperti yang dulu" Natalie berpikir dirinya sendiri. Bram ikut duduk disampingnya, sambil memainkan Hpnya dia menerima WhatsApp dari Rina yang menanyakan kabar putri satu - satunya. "Mamamu mengirim pesan" Bram memperlihatkan layar Hpnya dan Natalie hanya mengangguk lesu. "Aku mau telepon mama dan papa dulu kalau begitu" Natalie masuk ke dalam kamarnya kiranya dia bisa sejenak menghibur dirinya dengan berbicara di telepon dengan orang tuanya di Amerika. "Halo" Natalie menaruh layar di telinganya dan terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon. "Hi, nak apa kabar, bagaimana kuliah kamu disana"? Suara Rina terdengar meletup "Baik" Natalie menjawab dengan semangat "Jaga Oma dan Opa baik - baik yah" dia berpesan sambil mengakhiri pembicaraan. Malam harinya pada saat Natalie sudah tidur, mimpi itu tidak datang lagi seolah Patrick memang benar - benar pergi selamanya. Keesokan harinya pada saat di dalam tramp menuju kampus, di pagi yang langit biru dan hawanya lebih dingin dari biasanya, Natalie duduk di pinggir jendela, matanya menatap kosong kearah ke jalan, dan pada saat berhenti di sebuah halte, seorang lelaki dengan kemeja kuning masuk ke dalam bis dengan dua orang temannya, kelakuannya seperti mencerminkan laki - laki yang bersikap kampungan, dia tertawa keras - keras, padahal orang yang duduk di belakang mereka sudah melotot dengan tajam, mestinya orang - orang yang tinggal disini sangat menjaga sikapnya tetapi dia tidak, mereka berbicara menggunakan bahasa setempat dan terlihat penduduk asli, laki - laki itu menyandang ransel di bahu kanannya. "Shut upppp"!!!! Natalie bertreriak dari jauh, wajahnya diperlihatkan sedang emosi, Natalie mengira dia akan diam tetapi sebaliknya, dia melotot kearah Natalie. "Baru kali ini yah ada yang berani denganku" dia bersikap seperti jagoan yang sangat arogan dan tidak terkalahkan. "Sudahlahh, dia juga hanya seorang gadis" temannya menepuk bahunya dengan tertawa terbahak - bahak. "FREAK YOU"!!!!! Mendengar kata - kata itu, emosinyapun langsung meledak. "Heyy kamu ini siapa yahhh, berani sekali rasanyaaa kamu tidak tahu siapa aku"? Dia bersikap sombong. "I DONT KNOW"!! Natalie membentak dengan keras, dan pada saat meninggalkan kendaraan rupanya laki - laki itu masuk ke dalam kampus yang sama, hanya saja dia berjalan kearah Fakultas yang berbeda, dan rasanya benar - benar seperti dunia akan hancur kalau satu kampus dengan laki - laki arogan, sombong, dan kampungan serta tidak tahu aturan begitu. Natalie masuk ke dalam gedung fakultas dengan perasaan menggebu emosinya dia duduk di taman sambil membuka laptopnya dan Alina menghampirinya dari kejauhan, lalu duduk disampingnya nafasnya terdengar ngos - ngosan. "Kamu memang habis lari marathon ha...ha...ha" Natalie meledeknya sambil tertawa pelan. "Enak saja, aku dari tadi sedang mencarimu" Wajah Alina nampak cemberut. Kemudian Natalie terdiam sejenak, dan memandang kedepan melihat rumput disana, dan Alina memerhatikan dirinya sambil memiringkan matanya, menatapnya ingin tahu isi hatinya namun Natalie tiba - tiba saja berdiri sambil menyandang ranselnya di bahu kanan, dan meninggalkan Alina disana. Dia berjalan melangkah menelusuri lorong kemudian masuk ke dalam Cafetaria, Natalie masih ada kelas nanti jam dua belas, dan sekarang baru jam sebelas, Natalie mengambil nampan makannya dan memilih Burger di dalam etalase kaca kemudian mengambil juice strawberry dan membawanya kasir untuk membayar lebih dulu, baru duduk di kursinya. Dia menyuap burger sambil menghadap etalase makanan prasmanan tersebut dan laki - laki yang barusan di tramp melintasj dirinya, dia selalu tidak pernah sendirian, pasti bersama dua orang temannya tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya piring disisir kesamping belahannya. "Brakkkkk" suara meja dj hentakkan membuat Natalie tersentak menoleh ke arah disamping kirinya, rupanya dia juga tukang bully orang yang terlihat lemah. Seorang mahasiswa nampak takut memandang wajahnya, dia tidak berani menatap matanya. "Semester berapa kamu"? Dia bertanya kasar "Vierr" dia menjawab dengan suara gemetar "Ja anak baru angkatan kencur sudah berani dengan yang lebih tua, kamu ikut komunitas basket denganku tapi kenapa kamu kemarin tidak datang"?? Dia bertanya dengan berteriak. "Kemarin aku masuk rumah sakit" dia merasa ketakutan. Natalie memandang dengan menggeleng kelakuan laki - laki itu, sambil menepuk dadanya rasanya kalau di kampus disini tidak pernah ada senioritas tapi mereka melakukannya dan rasanya hanya mereka saja yang melakukan itu, dan nampaknya kedua temannya itu justru mengompor - ngompori. Dan hanya mereka yang melakukan seperti ini, ada seseorang yang melihat mereka dan dia seorang gadis hendak mendekatinya. "Kamu jangan berbuat onar lagiii, kalau sampai pihak dosen tahu, bisa - bisa kamu kena sanksi dan ini kampus bukan tempat berkelahi"!!! Dia berteriak tidak suka melerai kelakuannya. "Bisa - bisa nama baik kampus kita tercoreng" dia memperingatkan. Natalie yang melihat perkelahian itu, teringat kalau dulu Hendra pernah bercerita waktu dulu kuliahnya sangat nyaman dan tidak pernah ada kejadian yang mencoreng nama baik kampusnya. Dan memang waktu Natalie pertama kali kuliahpun tidak ada yang namanya dikerjai oleh senior namun yang dilakukan laki - laki itu bukan seperti mengerjai junior melainkan seperti merasa sok berkuasa. "Alaah, kamu itu perempuan tidak usah ikut campur urusan laki - laki" dia menyahutnya dengan pedas, kata - kata itu sama persis seperti yang dilontarkan kepada Natalie pada waktu di bis seperti meremehkan perempuan. Natalie ingin ikut membela namun dia tidak ingin masalah menjadi besar. "Okeeyyy jadi kamu mau apa"!!! Perempuan yang disebelahnya terlihat marah. "Itu urusanku" dia berkata sinis, dan tangannya yang meremas kerah baju korbannya dilepaskannya dan meninggalkannya tidak berdaya begitu saja, laki - laki itu nampak sangat ketakutan hingga matanya melotot tajam. Dan pada saat dia berjalan keluar cafetaria, dirinya melintasi Natalie di belakangnya sejenak dia memandangnya dengan tajam baru melanjutkan langkah kakinya dan Natalie hanya terdiam terpaku disana. Kejadian itu tidak pernah bisa dilupakan olehnya, matanya masih terbayang kelakuannya, pada malam harinya Natalie sedang berjalan di sebuah taman, dan dia teryata juga ada disana, duduk melamun dalam sebuah kursi, kali ini dia sedang sendiri. Dan sepertinya sikapnya jauh berbeda dibanding di kampus. Yah sikapnya memang terbilang misterius kasar, arogan, seenaknya sendiri, tidak tahu aturan, urakan tapi dia memiliki hal yang terselip di hatinya, Natalie melihatnya dari jauh dia baru menerima telepon, dan teryata mahasiswa yang kemarin di bully olehnya bukan hanya sekali saja mengalami, karena dia menjadi tertekan dia mengadu pada orang tuanya dan kini wajahnya berubah cemas, dia meninggalkan kursinya dan terlihat akan pergi ke suatu tempat. Keesokan paginya di kampus, laki - laki itu nampak berbuat masalah lagi, dia kali ini menghina seseorang mahasiswi di grup Facebook hanya karena dia mengirim WhatsApp tidak dijawab olehnya. Begini kalimat bunyinya "Dasarr yahhh punya hp tapi seperti tidak punya jangan - jangan hpnya itu juga nomornya membohongiku hufff buang saja hpnya kalau begitu, dasar anak orang kaya sombong" Dan kalimat itu menyakitkan hatinya tapi yang Natalie sedang pikirkan memang ada sesuatu tersembunyi dari dalam dirinya dia menyinggung soal orang kaya. Kelihatannya dia juga tidak punya teman selain dua orang temannya itu, mungkin karena jengah dengan sifatnya. sore harinya pada saat pulang dari kampus Natalie duduk di tramp, dan laki - laki itu juga masuk kembali ke dalam tramp yang sama, disana sudah penuh orang dan kursi yang tersisa hanyalah disebelah Natalie mau tidak mau dia harus duduk disana. "Kamu lagi"? Dia menegur Natalie dengan sangat tidak ramah, karena mengingat kejadian awal bertemu dengannya. "Yah dan sebenarnya aku juga tidak sudi duduk disebelahmu" Natalie membalasnya ketus. "Kamu sudah semester berapa memang"? Tanya Natalie kemudian. "Setahun lagi aku akan mengambil skripsi dan sebenarnya aku kuliah agak terlambat untuk mengejar kelulusan..." dia bercerita sedikit. "Yah karena kamu seorang yang tukang berbuat onar di kampus, aku yakin pasti mata kuliah kamu banyak yang gagal" Natalie menanggapi dengan nada tidak ramah "Itu urusankuuu, lagipula kamu ini tahu apa tentang aku" dia mulai bersikap sombong Namun terlihat dia tidak melakukan apapun, yang lebih terhadap Natalie dia hanya cemberut kemudian menatap Natalie sinis, sikapnya memang dingin. "Siapa nama kamu"? Tanyanya kemudian, Natalie hanya menjawab datar dirinya "Natalie" "Hans" dia menyebut namanya Dengan sikap yang kaku pada saat bis itu berhenti, Hans turun lebih dulu dan Natalie baru belakangan, rasanya seharian dalam bis bersama orang semacam dia, gerah juga, Natalie merapikan jaket yang dikenakannya sambil memandang ransel di bahu kanan, menuju gedung fakultas kemudian menelusuri lorong, lalu membuka salah satu pintu kelas dan disana sudah ada beberapa orang yang datang, Natalie memilih tempat duduk di bagian kursi pojok dekat tembok sebelah kanan, kemudian mulai membuka laptop untuk sekedar menyimpan data tugas yang baru selesai lalu menutupnya kembali. Proffesor Andrianus, baru saja masuk ke dalam kelas dan kemudian menaruh tasnya diatas meja dan memanggil nama absen masing - masing yang mahasiswa atau mahasiswi yang mengambil kelas mata kuliahnya kemudian memulai materi pembahasannya dan baru selesai jam dua belas. Setelah selesai Natalie keluar kelasnya dan tiba - tiba saja dia mendapat telepon dari Oma Jessica "Yah halo oma" Natalie menyahut telepon dengan sopan. "Nak nanti pulang kuliah, kita hari ini beli makan saja yah diluar, opa sekalian nitip sambal goreng, dia suka sekali" terdengar suara Jessica dari seberang telepon. "Iyah nanti aku belikan" Natalie menyudahi teleponnya Malam hari itu... Hans berjalan kearah sebuah pusat rehabilitas, selama ini dia kuliah sambil merawat sepupunya yang mengalami sedikit gangguan psikologi mental, orang tuanya telah tiada karena kecelakaan bis dan sejak saat itu dia mengalami trauma yang sangat dalam karena satu keluarga tidak ada yang selama, hidup sendiri bagai kapas yang tak bertuan dan sayap yang patah hanya tersisa oleh luka berdarah. Hidup Hanspun harus mengurus dirinya karena hanya dia sepupu terdekatnya meski jarak negara memisahkan, gagal sudah impian juga untuk masuk ke universitas tidak main - main itu hancur sudah hidup dan mungkin lebih baik mati. Dibalik sifatnya yang yang seenaknya di kampus teryata dia sosok yang bijak, sosok yang justru menyimpan kebaikan yang mereka tidak ketahui, penyebab sifat buruk Hans selama ini adalah karena dia merasa orang - orang kaya adalah orang yang kejam, terutama kalau dia seorang gadis, karena kekayaan yang dimiliki oleh sepupunya dulu jatuh begitu saja karena keadaan dirinya, bahkan Hans yang bukan orang berkecukupan harus menyisikan uang kuliahnya untuk biaya perawatan. Di dalam lorong dia masuk ke dalam dengan ukuran besar dan sepupu Hans duduk dengan tatapan kosong diatas ranjang, air matanya menetes seperti kalau mengingat tentang Amerika Apalagi tentang bis yang membawanya bernasib tragis. "Kamu makan dulu yah" dia berkata ramah sambil menyuapkan makan padanya "Natalie" tiba - tiba saja dia menyebut nama itu, dan nama itu membuat Hans berpikir rasanya nama itu tidak asing di telinganya, namun tidak mungkin kalau Natalie teman kampusnya. "Patrick, Natalie siapa yang kamu maksud"? Dia bertanya dan Patrick hanya diam saja, keresahan mulai menerpa dirinya, baginya mustahil kalau itu adalah Natalie gadis itu. "Makan dulu saja yuk" Hans menyuapkan makan ke dalam mulutnya lagi, dan Patrick hanya bisa meneteskan air mata, dia sudah tidak bisa bicara layaknya orang normal selama ini dia hanya diam seribu bahasa dan pertama kalinya dia menyebut nama Natalie. Jadi selama ini yang mengalami kecelakaan pesawat itu adalah keluarga Johnson yang lain yang nama keluarganya serupa dengan nama keluarga Patrick, dan sebenarnya keluarga Patrick mengalami kecelakaan bis pada saat mereka pindah ke Den Haag dan Patrick hendak kuliah disana. Part 8 Keresahan Di tempat yang berbeda Natalie sedang, membayar di kasir dia baru saja membelikan makanan kesukaaan Bram dan Jessica, pada saat di trotoar jalanan tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang gadis, Natalie melihat seperti gadis yang bersama Hans waktu itu, dia tersenyum pada Natalie sambil membantunya berdiri. "Kamu Natalie kan anak dari fakultas ekonomi"? Dia bertanya "Yah benar" Natalie hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkannya, entah bagaimana tiba - tiba saja perasaannya menjadi resah saat bertemu dengannya, bagai badai yang menerpa kencang dalam tubuhnya, alam pikirannya tiba - tiba menjadi kacau. "Tidak ada yang bisa menggantikan Patrick dihatiku, biarlah aku sendiri berteman cinta yang hanyalah hampa dan cinta itu hanya aku saja yang tahu" dia berkata dari dalam hatinya. Di sepanjang perjalanan, keresahan yang tanpa arah mengisi jiwanya begitu saja, tiba - tiba saja entah kenapa....? Natalie teringat kembali tentang Patrick, yang telah tiada di dunia dengan meninggalkan cinta yang belum sempat diketahui olehnya dari Natalie. "Tuhan, kenapa aku harus hidup tanpa Patrick" kata hatinya bicara kembali Air mata Natalie terasa meleleh, impian Natalie dia tetap bisa bersama - sama dengan Patrick kemana saja waktu akan membawa pergi, tapi adilkah hidup...? Jika Patrick yang harus pergi dulu darinya. Sulit rasanya untuk saat ini membuka hati pada yang lain, biarlah Patrick hilang tetapi cinta tetap hidup di jiwa. Rasanya Natalie ingin sekali, mencari makam Patrick, tapi dimana...? Dan sepertinya jasad Patrick sudah tidak utuh lagi, tapj biarlah Natalie memeluknya, menangis di samping dirinya "Aku mencintainya, tapi kenapa Tuhan membiarkan cinta itu hanya menggantung dalam hatiku tanpa mendengarkan dulu perasaanku padanya..." "Patrick apakah yang kamu katakan itu benar adanya, kalau kamu mencintainya.., bukan aku, tapi kenapa kamu justru memberikan hatimu padaku, dan kamu tahu perasaan ini sama" Natalie berkata dari dalam hatinya, "Emily yah, aku harus menghubunginya" dia berkata lagi dari dalam hati. Malam harinya keresahan yang semakin menjadi puncak di jiwa, semakin membuncah Natalie meremas Hp dalam genggamannya dan mengirim whatsapp pada Emily. "Emily apa kabar"? "Baik" dia menjawab singkat "Bagaimana kuliahmu dj Den Haag"? Dia bertanya kembali "😊" Entah apa maksudnya Natalie hanya memberikan simbol smile di layar balasan whatsapp Emily membalas emoji tersebut "😮" "aku ingin membahas tentang Patrick yang selama ini sudah terkubur lama" "Natalie sudahlah.., aku tahu perasaan kamu" Emily langsung menyahutnya "Kamu tahu sesuatu tentang Patrick"? Natalie mendesak Emily hingga akhirnya dia harus mengeluarkan perasaannya pada Natalie. "Patrick, tidak pernah mengatakan apapun padaku waktu itu, bahkan dia juga tidak pernah menyatakan cintanya padaku, sama halnya dengan dirimu. Aku merasa juga sebenarnya ada yang janggal darinya dan kini telah terkubur selamanya tanpa terungkap" Emily menulis panjang lebar di whatsapp Hal itu membuat Natalie berpikir, dia harus menguak misteri tentang Patrick, namun bagaimana caranya, andai saja dia bisa menyusulnya mungkin misteri itu akan terungkap. Part 9 penyelamat hidup Di malam itu, Natalie berjalan sendirian dalam sebuah taman, pikiran tentang Patrick akhir - akhir ini semakin menghantuinya, pikiran yang terselubung tak mampu di tahannya lagi, air mata menetes sambil di kursi taman itu, kemudian beranjak dari kursi untuk berjalan kearah Tengah jalan rasanya memang benar - benar semua tidak berarti lagi, sebuah kendaraan Sedang melintas dengan ngebut hendak menabrak dirinya, tapi ada seseorang yang menarik tangannya dari arah samping, dan tubuh Natalie terjatuh kearah samping tengkurap memeluknya dan setelah dia sadar, matanya terbelalak memandang laki - laki yang telentang memeluknya. "Hans" dia menyebut namanya wajahnya tercengang, tidak percaya kalau teryata laki - laki menyebalkan seantero kampus menyelamatkan hidupnya, Natalie berdiri lebih dulu kemudian merapikan kemeja serta jaket yang dikenakannya, Hans juga ikut berdiri disamping kirinya. "Memangnya tidak ada orang lain apa, sepertinya kemana - mana selalu ada kamu...." Natalie mengeluh. "Kalau kamu hantu, aku sudah panggilkan pengusir hantu buat mengusir kamu selamanya..." dia menambahkan kalimatnya. "Dasar yah perempuan tidak tahu dirii..." Hans membalasnya dengan ketus. "Daripada kamu, anak tidak pernah diajari oleh orang tuamu yang baikkk"!!!! Natalie memekik keras. Mendengar ini, emosi laki - laki itu menjadi bertubi - tubi, entah apa yang dirasakannya seperti kata - katanya amat menyinggung perasaan dirinya, tangannya mengepal ingin menampar wajah Natalie namun dia menahannya, apa yang tersimpan dibalik dirinya, Natalie melotot memerhatikan wajahnya dengan tajam, diapun membalasnya, wajahnya marah benar - benar tidak biasa dan kini Natalie merunduk, dia merasa takut. "Aku minta maaf, aku hanya merasa sebal dengan kelakuanmu di kampus" dia mengungkapkan perasaannya. Natalie benar - benar sadar, jika seseorang itu terlihat tidak sempurna dari luarnya maka justru dari dalam dirinya jauh lebih sempurna, Hans menatap wajah Natalie, dan teringat akan sepupunya yang mengucap nama Natalie, namun rasanya ada ratusan nama Natalie di dunia dan bisa saja Natalie lainnya bukan yang saat ini bersamanya. Entah bagaimana, dia seperti ingin mulai mendekati dirinya dan mengubah sifat buruk dirinya sejak mengenal Natalie, tetapi Natalie masih terperangkap dalam kisah lalunya bersama Patrick dan mau sampai kapan dia belum juga bisa mengubah kehidupannya. Ada sebuah perkataan yang menyadarkan dirinya dari Natalie dan itu yang membuatnya sadar akan kesalahan di masa lalu dirinya, dia tidak lagi membully orang atau berbuat masalah seperti dulu. Natalie memikirkan kejadian itu, pikirannya semakin menjadi rumit baginya, ada rasa yang tak bisa untuk seculi saja menghilangkan rasanya pada yang lain, sampai kapanpun hanya boleh nama Patrick yang singgah dihatinya Dia baru selesai mengerjakan tugas, lalu melihat buku yang tergeletak disampingnya. Buku hariannya dulu tentang Patrick, Natalie hendak meraihnya namun suara ketukan pintu dari luar mengagetkan dirinya. "Iyah oma" dia menyahut sambil menutup laptopnya kembali, kemudian berjalan kearah pintu kamarnya untuk membukanya, dan Natalie berdiri dari ambang pintu. "Kamu kapan liburan semester"? Dia bertanya "Sejauh ini masih perkuliahan biasa"? Jawab Natalie. "Mama dan papa, katanya akan berkunjung kemari kalau kamu sudah liburan semester dan mungkin kita akan jalan" Jessica memberi tahukannya. "Yah, oma" Natalie kemudian menutup pintunya kembali, ada hasrat kalau dia ingin membuka harian miliknya, namun Natalie sudah tidak kuasa lebih dulu menahan air matanya melihat foto Patrick terselip di sela halaman buku, tangannya terasa gemetar dan tanpa sadar menjatuhkan buku tersebut, sulit untuk mengembalikan waktu yang telah berubah kecuali dengan melakukan bunuh diri, karena hidup di dunia adalah butuh cinta. Siapapun dia tetap membutuhkan cinta dengan lawan jenisnya dan kelak akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat. Rasanya fana bila hidup tanpa cinta dari kekasih, dan kekasih Natalie hanyalah Patrick meski belum menjadi resmi kekasihnya tetapi hanya tambatan hati. Sampai detik ini, baginya masih sulit bangkit dari terpuruk di masa lalu karena cinta, dia masih merasa Patrick itu hidup walau sudah tiada, hidup sampai kapanpun di hati dan cinta tak pernah mengenal batasan waktu atau jaman telah berubah. Dalam tempat yang berbeda, Hans juga memikirkan kejadian itu, hatinya merenung tentang Natalie, dia sosok yang berbeda dari yang lainnya, dan hal itu yang membuatnya akhirnya sifatnya berubah. Tetapi sebenarnya ada gadis lain yang mengejar dirinya, sejak dulu, gadis itu bernama Marion, gadis yang waktu itu melerai perkelahiannya dengan laki - laki yang berada di cafetaria, namun Hans tidak mudah untuk jatuh cinta begitu saja, dia tidak ingin sosok perempuan seperti mamanya dulu yang meninggalkan papanya dengan wanita lain, hal itu yang membuat awalnya laki - laki ini, berpikir semua wanita adalah sama, tetapi lain hal dengan Natalie yang justru sulit berubah untuk menjalani hidup barunya, menerima kenyataan kalau Patrick bukanlah jodoh untuknya. Kegagalan cinta memang menyakitkan, apalagi kegagalan itu jika cinta itu hanya bertumpu pada harapan yang semu, mau sampai kapan hidup Natalie terus begini, tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Namun Hans tidak tertarik padanya, Marion sosok gadis yang ego dan keras kepala untuk mendapatkan sesuatunya harus terpenuhi. Hans membuka pintu kamarnya dan menelusuri setiap sudut ruang untuk berjalan kearah ruang tv, rumahnya memang tidak besar karena dia bukan orang yang berkecukupan. "Jika ada tawaran ada yang bisa aku kerjakan, mungkin aku boleh melakukannya" dia berkata pada Elena mamanya. "Kamu tidak khawatir dengan masalah student pass kamu" laki - laki itu tahu yang dimaksud dan resikonya jika ketahuan dia bekerja sambil kuliah, tetapi uang yang disisihkan selama ini sudah banyak dikeluarkan demi membayar biaya perawatan Patrick dan itu uang Elena, bukan dari hasil tenaganya sendiri, sebagai laki - laki yang sudah dewasa baginya harus bersikap dan punya tanggung jawab lebih besar kalau perlu pengorbanan yang membuatnya lemah dan menderita. "Aku tidak peduli dengan student pass, aku dulu sudah sering berbuat onar juga, dan sekarang aku ingin benar - benar juga, mereka sudah mengenal sifatku yang tidak baik dan mama pernah terseret juga ke dalamnya" dia berkata panjang lebar. "Aku tahu itu bukan sebenarnya dirimu" dia mengelus rambutnya dengan bijak, ada perasaan yang menyelinap kembali di hati tentang nama Natalie di waktu yang bersamaan, dia menghela nafas panjang lebar. "Barang siapa yang memang sudah menghancurkan hidupnya, sampai mati aku akan mengejar orang itu, Patrick dia sepupu aku yang amat aku sayangi" dia berkata tegas, dan tahukah Hans, jika Patrick mengenal Natalie dan itu adalah Natalie yang dimaksud adalah orang yang hanya satu kampus dengannya bukan yang lain, jika tahu dia akan berbuat yang akan sangat menyakitkan pada Natalie, kalau mengetahui sebenarnya selama ini Patrick menyimpan rasa cinta pada Natalie. Keesokan harinya di kampus, Natalie sedang di depan layar laptop untuk mengetik tugasnya, matanya terfokus pada setiap kalimat yang dilihatnya, dan Hans berbuat hal yang tidak biasa padanya yaitu mendekatinya. Perasaan yang sudah mati dan membeku, tetap saja membuatnya bersikap datar meskipun mereka sudah tidak lagi berkelahi. "Aku sedang mengerjakan tugas makalah yang menumpuk akhir - akhir ini" dia bercerita pada saat laki - laki tersebut menarik kursi di depan mereka untuk duduk. "Mestinya kamu biarkan aku mati kemarin"! Suaranya terdengar dalam, dan hal ini membuat pikiran Hans ingin menembus apa yang ada dalam otak Natalie. "Kenapa kamu berpikir begitu"? Dia bertanya "Jangan desak aku bercerita tentang ini" jawab Natalie "Mungkin kamu tidak pernah merasakannya" dia meneruskan kalimatnya, lalu Natalie meninggalkan tempat tersebut dan Hans masih duduk disana, rasa yang bersemayam dalam hati adalah tak biasa, dan rasa itu karena melihat melihat sifat Natalie yang lembut, pemuda mana yang tidak tertarik pada gadis lemah lembut tapi juga tidak mudah didekati, dan itu yang membuatnya penasaran. "Sekarang aku sadar yang aku lihat bukanlah dunia yang orang tahu tentang dirimu, tapi yang mereka tidak tahu, namun maaf aku masih menyimpan perasan ini pada Patrick selamanya" Natalie berkata dari dalam hatinya. Hans yang masih terbujur duduk disana, terpikir kembali tentang kalimat apa yang dikatakan oleh Natalie padanya tentang orang tuanya, yah memang penyebab dia mudah tersinggung kalau disinggung tentang orang tuanya, karena adanya keluarganya yang berantakan, dia menjadi sensitif dengan kalimat tersebut, karena seakan mengingatkan kembali pada perceraian orang tuanya dimana Robert papanya meninggalkan Elena begitu saja, sungguh menyakitkan, baginya dan Elena harus berperan sebagai mama sekaligus papa di dalam rumah, yah dia wanita yang tegar tapi juga wanita yang sibuk namun untungnya mampu meluangkan waktu untuknya, namun ada hal yang paling menyakitkan, dimana semua kekayaan yang dulu harus jatuh berserakan demi pengorbanannya pada Patrick, meski pedih tapi harus merelakannya, Patrick lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri karena itu Hans selalu sinis terhadap orang kaya yang nampak hanya menghamburkan uang saja tidak ada gunanya, apalagi jika anak - anak mereka dimanja oleh harta. Karena itu sikapnya menjadi seperti menjadi berkesan arogan, sombong, tidak tahu aturan, sinis, dingin dan ketus akhirnya berbuah menjadi tukang pembuat masalah karena orang menjadi menjauh padanya untuk berteman, kecuali dua orang temannya itu. Part 9 Kebencian Paling Menyakitkan. Natalie, baru saja keluar dari dalam toko, dan berpas - pasan dengan Alina di pinggir jalan, dan entah kenapa tiba - tiba saja wajahnya berubah menjadi serius "Kamu mengenal Henry Walker" ? Mata Natalie terbelalak mendengarnya bibirnya terasa membeku, dan pikirannya kembali pada patrick, jantungnya berdegup keras naik dan turun, sekujur tubuhya terasa membeku. "Aku mengenalnya tapi tidak begitu waktu sma" Natalie mengangguk lemah. "Dia bercerita temannya Patrick johnson" mendengar bagian kalimat ini, rasa yang semakin menyesakkan hati Natalie semakin bertubi. "Aku hanya berpikir, kasihan dengan gadis yang selama ini hanya digantungi oleh Patrick bahkan sampai membawanya mati, itu karena Patrick tidak sanggup menyatakan cinta padanya, yang ku tahu lagi juga, karena dia punya sepupu, yang mamanya terluka karena cinta, Patrick tidak ingin mengalami seperti dirinya, dia hanya mau kalau mencintai adalah yang tulus, karena itu tidak mudah baginya mengatakan jatuh cinta pada seorang gadis manapun" dia bercerita panjang lebar, dan air mata Natalie menangis mendengarnya. "Alina gadis yang Patrick gantungi selama ini sampai dia meninggal itu aku" Natalie berkata dari hatinya yang paling dalam. "Je dentk kao jou"? Alina bertanya, dan Natalie hanya diam murung, bibirnya terasa membeku. "Apa hubungannya kamu dengan Henry"? Suaranya tiba - tiba meninggi, perasaanya mulai kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, Alina mulutnya terasa dikunci rapat. "APA HUBUNGANNYA KAMU DENGAN HENRYYY"? emosinya semakin tidak terkontrol, Alina hanya bisa bengong menatap sikap Natalie yang begitu emosional mendengar nama Patrick disebut, dan Alina merunduk merasa bersalah, telah menceritakan sesuatu yang menjadikannya masalah besar. "Berapa nomor whatsapp Henry aku mau bicara"!! Suara Natalie terdengar serak parau, air matanya tidak dapat ditampung lagi olehnya. "Aku adalah teman masa kecil Henry, sebelum aku pindah ke negara ini" Alina menjelaskan padanya. "Sebenarnya selama ini dia banyak bercerita tentang kelemahan Patrick dan sesuatu yang mungkin kamu belum tahu" Alina berkata pelan - pelan. "Aku tahu semua tentang Patrick dia temanku dari umur dua belas tahun, Alinaaaa" Natalie memekik melengking "Jangan sebut Patrick sahabat atau teman, kalau kenyataannya yang di hatimu dengannya sama"!! Tegas Alina memotong perkataan Natalie dengan cepat. Pada saat itu Alina yang mengenggam Hpnya menyambungkan teleponnya ke Henry kemudian setelah tersambung dia memberikannya pada Natalie. "Halo Henry apa kabar ini aku Natalie"? Dia menangis sambil menaruh Hp di telinga. "Bisakah kamu hubungi ke nomorku, biar Alina yang nanti memberikannya" dia langsung mengakhiri teleponnya dan rasanya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu, tidak lama Henry mengirim whatsapp pada Alina. "Alina, berapa nomor whatsapp Natalie"? Dan Alina langsung menulis nomornya di balasan pesan kemudian mengirimnya. "Kamu memang butuh bicara pada Henry tentang Patrick" Alina mengangguk tegas, dan Natalie yang masih belum mampu mengontrol emosinya dia langsung jatuh di pelukkan Alina rasanya sangat menderita juga, menahan perasan cinta yang semakin malam menjadi siksa hatinya karena hanya tertahan dengan hampa. "Natalie sabar yahhh" Alina mengelus rambutnya sambil memeluknya. Malam hari itu.... Dirumah Hans, Marion datang kerumahnya, dia meneguk minuman yang berada diatas meja dan menaruh gelasnya kembali, tatapan matanya terasa tajam dan dingin, peragainya seperti gadis yang kejam, dia menyimpulkan senyuman kaku pada Hans. "Belakangan kamu dekat dengan mahasiswi bernama Natalie"? Dia memulai pembicaraan "Biasa saja" dia hanya menanggapi dengan santai. "Bukankah kamu anti dengan orang kaya selama ini"? Perkataannya membuat wajah Hans berubah kepadanya dengan ekpreksi tidak senang. "Kalau maksud kamu hanya bertujuan cari masalah keluar dari rumahku sekarang"! Tangannya menunjuk kearah pintu rumahnya. "Selama ini bukankah itu kelakuanmu, hingga aku justru aku yang jengah terhadap dirimu, kamu membully orang yang lemah darimu dan, kamu membenci orang kaya, kamu tukang pembuat masalah di kampus. Karena itu kuliahmu terlambat selesai, bagus kalau mereka masih memberimu kesempatan tapi sekarang kamu berubah seperti bukan diri kamu" perkataan Marion seakan memojokkan dirinya. "Je beb e jelouser Natalie"? Tatapan mata Hans tidak berkedip padanya. "Kamu tahu sendiri nanti" Marion seakan mengancam dirinya. "Apa rasanya jika cinta ditolak hingga puluhan kali, harus ada yang dibayar" dia keluar rumah dengan perasaan yang begitu marah, dan sikapnya tidak biasanya. Selama ini laki - laki itu memang sudah acap kali, menolak Marion pada saat memberikan perasaannya padanya, meskipun dia juga punya sifat buruk tapi dia tetap masih bisa untuk berpikir jernih soal cinta, sebagai laki - laki tetaplah wanita terbaik yang dipilihnya, memiliki sifat lemah lembut dan tidak agresif berlebihan. Marion yang dibakar cemburu terdalam, berjalan kearah halte untuk menunggu bis dan dia kemudian masuk ke dalamnya, selama dalam perjalanan, dia telah menyusun suatu rencana agar Hans bisa jadi miliknya. Cemburu berlebihan telah membutakan mata dan pikirannya, ketika dia sampai dirumahnya Marion berjalan masuk ke dalam kamar, dan dengan tanpa sadar bagai orang setengah gila dia membanting barang di dalam kamar dengan mengamuk, kemudian menjerit sambil menangis dengan histeris, Natalie harus menjadi orang paling menderita sedunia baginya. Namun dia butuh waktu lama untuk memikirkan rencana itu dengan matang, setelah memasukki semester baru, enam bulan kemudian, dia baru menyusun rencana itu, sepertinya Marion menawarkan bekerja di restoran milik orang tuanya, namun sayangnya cara itu tidak berhasil dan akhirnya mencari siasat cara lain yang lebih cerdas. Marion dengan sengaja, mencari tahu apa yang disembunyikan olehnya dan di ketahui oleh semua mahasiswi dan mahasiswa di kampus. Senja diatas mentari, berwarna oranye, tanpa sadar Hans telah akrab dengan Natalie, bahkan ada rasa yang tersimpan, di hatinya, sepulang dari kampus, mereka jalan berdua menelusuri lorong keluar gedung fakultas, dan Hans melambaikan tangan dari anak tangga, Natalie tetaplah diam dan tak bergeming. Siapapun dia, tetaplah bukan Patrick, dan Natalie tetap menjaga kesetiaannya meskipun hanya hampa belum juga terjawab, bertahun lamanya dan semakin mengikis perih hatinya Rasanya kenapa tidak menyudahinya saja tapi Patrick adalah yang pertama dan terakhir untuk Natalie. Gadis itu, duduk di anak tangga sambil menghela nafas. "Tuhan, aku tidak akan mengizinkan siapapun masuk ke dalamnya, tidak semudah itu membuka pintu jiwaku, aku tidak akan biarkan ada yang mencintaiku yang lain selain Patrick, kalaupun ada mungkin aku akan memilih jalan agar yang lain tidak bisa menyentuhku. Abadi bersama cinta pertama dan terakhirku. Tahukah kamu, selama ini, apa yang aku rasa itu, tolong dengarkan hatiku" dia berkata lirih dari dalam hatinya paling dalam. Lorong rumah sakit, terdengar berdebum lantainya oleh langkah Hans disana, dirinya tak menyadari jika ada yang akan memanfaatkan keadaan semuanya. Marion sudah mengikutinya dari mulai di bis, kamar pasien dibukanya, sudah berapa bulan dia tidak kesana, karena sedang mencari uang untuk tagihannya yang semakin besar biayanya dengan menanggung hidup Patrick, dia semakin seperti orang gila, keadannya tidak terurus sama sekali, air matanya meleleh tidak tahan untuk keluar, tanpa sadar ada yang mendengar semua pembicaraannya dari luar. Marion tersenyum kejam mendengarnya. "Aku tahu, apa yang harus aku lakukan terhadap Natalie" dia berpikir jahat. Marion tersentak, ketika laki - laki di dalam sana, mulai membalikkan badan, sebelum dirinya terlihat dia cepat - cepat bersembunyi tapi akalnya kini sekarang sudah seperti kelinci. Di kampus, dia menyebarkan berita kalau Hans punya sepupu sakit mental, dan dia mengatakannya kalau berita itu dia dapat dari Natalie. Natalie yang tidak tahu apa - apa, dia berjalan masuk ke dalam kelas, ada hal yang janggal dalam dirinya, semua mata tertuju kepadanya dengan penuh kebencian, seolah Natalie adalah orang yang sangat jahat bahkan Alina juga melakukan yang sama, menuduh dirinya, mereka semua membenci Natalie, bahkan ada yang tidak menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya, padahal dia tidak melakukan apapun sama sekali, Marion tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan kali ini dengan akal yang lebih cerdik dari sebelumnya, kenapa tidak dia melakukan hal itu sebelumnya, berpikir matang. Dia tertawa perlahan, baginya dengan cara ini dia akan mendapatkan segala hal yang diinginkannya terutama orang yang saat ini dekat dengan Natalie akan menjauhinya kemudisn bertekuk lutut di hadapannya. Selesai perkuliahan pertama, langkah kaki Natalie menuju kearah cafetaria, Hans menghampirinya jantungnya berdegup kencang, tidak percaya jika dia menyimpan rasa cinta pada gadis yang salah, dia berdiri di samping Natalie, dengan terdiam mulutnya terkunci rapat menahan rasa kecewa. "Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya, jika hanya melukai" dia berkata dari dalam hatinya. "Kamu teryata gila Natalie" suaranya tidak terdengar biasanya ekpreksinya penuh kebencian. "Apa maksud kamu"? Natalie masih tidak paham. "Apa yang kamu lakukan terhadap sepupu aku Patrick, jadi selama ini yang kamu lakukan tanpa memikirkan perasaan dia, yahhh dia memang sekarang gilaaaa karena keluarganya semua meninggal tapi juga karena kamuuu"!!!!! Kebencian yang tersorot di mata Hans adalah yang paling menyakitkan, dibandingkan saling bencinya mereka waktu saling mengenal, dan kini juga Natalie mendengarnya sendiri kalau Patrick masih hidup tapi dia menjadi gangguan mental. Air matanya menetes tidak karuan, dia menangis meraung tidak tahu harus apa, tanpa ada yang melerainya, rasanya penderitaan itu belumlah cukup. "Dimanaaaaa Patrickkkkk sekarangggg"? Natalie berteriak histeris "Aku ingin bertemu dengannya, aku mencintainya sudah lama aku memendam rasa ini"!!!!!! "Kamu mencintainya tapi kamu menyakitinyaaaaaaaa, untuk apa kalau begitu lebih baik lupakannnnn diaaaaa"!!! Hans membentaknya keras. "Apa maksud kamu menghina aku dan dia ke seluruh kampus, begini saja kita berjauhan saja dan jangan pernah temui Patrick"!!! "Aku tetap akan menemuinyaaaa, dan aku tidak melakukan semua itu, percayalahhh" Natalie membantah sambil menangis, dia meremas pundak Hans tapi tiba - tiba saja. "Prakkkkkk" sebuah tamparan melesat di pipi Natalie, dan itu sungguh menyakitkan dirinya, tanpa sadar tangannya laki - laki itu menjadi melayang, dengan amarah besar dia memandang tajam. "Ni" dia memperingatkan kemudian meninggalkannya di tempat itu, Natalie benar - benar tidak menyangka juga kalau tetangganya yang di Amerika itu, mengatakan hal yang salah tentang Patrick teryata itu adalah keluarga Johnson yang lain dan Patrick bukan kecelakaan di pesawat melainkan di bis. Part 10 Terlambat Untuk Cinta Natalie, melangkah dengan gontai kearah rumahnya, apa yang di dengarnya benar - benar membuatnya tidak mampu lagi menahan kelemahan tubuhnya atas apa yang di derita oleh hatinya, dan semakin memuncak betapa rasanya perih menyayat hati mendengar perkataan Hans mengatakan hal itu, sejuta kali rasa berkecamuk dalam dirinya, Natalie meneteskan air matanya di dalam bis, sambil melayangkan mata, kearah jendela sambil menyandarkan kepalanya sambil bersedekap, bayangan Patrick dengan sangat jelas hinggap di matanya, rasanya hatinya lelah untuk terus berharap akan semu, dan ingin segala berakhir, masih teringat jelas di mata Natalie juga pada saat Hans menyelamatkan hidupnya Mungkinkah Tuhan memberikan jalan lain untuk jatuh cinta, tapi Natalie mengabaikannya hanya karena Patrick yang selalu abadi di hatinya, rasanya perih Hans menyakiti dirinya di akhir kisahnya, bahkan tidak mau memberi tahukannya keberadaan Patrick, wajahnya penuh benci, amarah dan dendam seolah Natalie gadis tidak punya hati. Air mata itu terus menetes, dia mencoba menghubungi Hans tapi terdengar dengan sengaja telepon tidak diangkat, dia benar - benar sudah menganggapnya musuh. Ada satu kalimat yang sengaja juga di kirim olehnya. "Teryata memang benar kalau gadis kaya itu hanya bisa mempermainkan orang lain, jangan tanya soal Patrick lagi, anggap saja dia sudah mati dan aku juga sudah mati"! Bunyi whatsappnya lebih menyakitkan daripada sifatnya dulu, dan ini adalah puncak rasa benci yang lebih melukai tubuh Natalie, daripada rasa benci sebelumnya. Untung saja dia sama sekali tidak berpaling ke hati lainnya tapi, ada rasa yang menusuknya sikapnya selama ini baik padanya, dan membuatnya sempat bimbang. Natalie tidak membalasnya, tapi hanya bisa tersedu, sepulang dari kampusnya Natalie berlari kecil ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarnya dia menjatuhkan dirinya di seprai menangis tanpa henti, hingga tenaganya terkuras oleh air matanya. Sedangkan dalam tempat yang berbeda, Hans sedang di rumah sakit, gadis itu mulai menghasutnya perlahan, dia duduk sambil menyuapi Patrick makan. "Biaya untuk bulan ini, sudah aku yang bantu menanggungnya" dia bersikap pura - pura manis untuk menutupi iblis di jiwanya gadis itu. "Thank" tidak biasanya Hans bersikap ramah padanya, hatinya sudah berhenti mempercayai Natalie padanya, apalagi Marion berusaha terlihat bersikap baik di depannya, bahkan dia membantu biaya rehabilitasi Patrick. Hatinya laki - laki itu, sudah tertipu dengan kelicikkan Marion yang bagai lebih dari kelinci. Bahkan berhasil membuat Hans jatuh hati padanya dan semakin membenci Natalie. "Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu"? Dia bertanya lembut. "Ja yang orang tidak tahu saja, seperti dapur restoran" dia menjawab. "Karena kamu tahu akibatnya aku bisa gagal maju sidang skripsiku tahun depan" dia meneruskan kalimatnya. "Yah okey" Marion mengangguk. Lambat laun mereka semakin, akrab dia sudah buta mata hatinya pada Natalie karena Marion bahkan berpikir kalau semestinya dulu tidak usah mengenal Natalie, agar diapun tidak tahu tentang Patrick yang sebenarnya bahkan tidak berhak tahu, jadi Natalie itukah yang kerap disebut namanya oleh Patrick. Dan kalau saja Patrick sembuh, dia akan berlari mengejar Natalie, rasanya Hans lama - kelamaan bagi cinta mereka, karena sesuatu yang salah dalam dirinya, menilai Natalie dan mendengar berita yang salah, tanpa dia sadari Marion di balik semua rencana itu. Rasanya untuk apa juga memberikan hati pada gadis semacam Natalie, bahkan Patrickpun tidak boleh, dia tidak akan juga merebut Natalie dari tangan Patrick untuk dicintai melainkan disakiti adalah lebih pantas untuknya. Siang hari di kampus, Natalie sedang membuka Hpnya, Hans sudah menghapus pertemanannya di Facebook, tapi ada yang lupa dia lakukan, adalah memblokir Facebooknya dan disana tercantum alamat lengkapnya di bio pengguna, Natalie langsung mencatatnya dan malam harinya dia kerumahnya. Pintu di ketuk dua kali, Natalie berdiri di anak tangga, dan seorang wanita membukakan pintunya, matanya menatap Natalie dengan tajam. "Excause me madame, i just want meet Hans"? Natalie bertanya dengan nada suara menenangkan diri. "How do you know about this andress"? Dia bertanya lagi. "From his Facebook" Natalie menjawab dengan perasaan cemas, dia menunduk dalam. "I'm his mother" dia menyebut dirinya sendiri. Dan saat itu ada seorang laki - laki dari dalam rumah keluar ke arah pintu dan menatap Natalie dengan marah. "Mau apa kamu kesini"? Dia membentak dengan kasar, air mata Natalie tumpah begitu saja. "Aku mohon Hans, please tell about Patrick" dia terisak. "Aku adalah teman dari usianya waktu dua belas tahun, di Amerika dan ada hal yang Patrick juga harus tahu tentang aku, aku tidak melakukan semua itu. Bahkan selama ini aku mengira aku sudah kehilangan dia" Natalie menangis sejadinya. "Jangan pikir aku tertipu oleh air mata palsu kamu"!! Hans membentak dengan suara lebih keras, kemudian mendorong Natalie untuk menjauhi dirinya dari pintu rumah, namun Natalie bersikeras untuk tetap bisa menemuinya, pintu ditutup dengan keras, gadis itu terus menggedornya dengan sekuat tenaga, dan wanita yang barusan pertama kali menemuinya membukakannya lagi. "Pergi atau saya panggilkan polisi setempat" dia mengusir Natalie, penderitaan rasanya datang semakin membuat perasaannya remuk redam, air matanya menetes tidak karuan. "Patrick andai kamu bisa mendengarnya, kamu bisa jelaskan semuanya dengan mereka, aku mohon.., aku tidak sanggup hidup seperti ini atau lebih baik memang kamu mati saja agar aku juga bisa mati bersamamu, dan tidak ada lagi yang menghalangi kita" dia berjalan dengan gontai menuju pulang ke rumahnya. Tetapi hatinya tidak akan pernah menyerah, untuk bisa mencari keberadaan Patrick, mungkin Natalie harus melakukan sesuatu yang tanpa diketahui oleh Hans, ini adalah jalur resiko terbesar yang akan ditempuhnya tapi harus di lakukan demi cinta. "Jika saja aku mampu mengembalikan waktu, maka aku tidak akan membuang waktuku dengan sesuatu yang menyakitkan begini, Tuhannn, jika saja aku tidak pernah bertemu Hans mungkin aku juga tidak pernah akan tahu tentang Patrick, tetapi tolong aku tidak ingin dipisahkan olehnya kecuali Tuhan.., aku tidak ingin kehilangan Patrick lagi" Dia berkata dari dalam hatinya, sambil duduk di bis air matanya tidak pernah kering sampai akhirnya dia bisa bertemu oleh Patrick, rasa yang terlalu menekan jiwanya tidak pernah akan pudar. Di dalam tempat yang berbeda, Hans menghela nafas sambil sedekap, rasa benci semakin tidak berujung pada hatinya. "Aku ingin menghubungi Marion, ada yang harus aku bicarakan padanya" dia berkata perlahan. Kemudian dia menekan nomor telepon Marion di kontaknya, sambil menunggu telepon tersambung Elena mengajaknya bicara. "Mama, pikir gadis itu hanya membawa sial saja pada Patrick" dia memberikan pendapatnya. "Ja" dia hanya menyahut singkat, pada saat sudah tersambung dengan Marion barulah dia berbicara di telepon. "Marion, aku ingin bicara ini tentang Natalie" dia berkata pelan. "Gadis itu hanya perusak kehidupan orang kann.., aku sudah bilang" Marion berusaha mempengaruhinya lebih jauh lagi. "I know" dia berkata perlahan. "Tapi rasanya...., jika memang dia benar - benar mencintai Patrick" laki - laki itu berpikir. "Halangi dia, jangan sampai dia bertemu Patrick"! Tegas Marion. "Untuk apa, kamu memberikan hati dengan gadis yang jelas hanya pembawa sial, dia hanya menghancurkan kehidupanmu, dan juga Patrick" Pada saat di rumah sakit, terlihat Marion juga membantu Hans mengurus Patrick, wajahnya nampak tertegun, dia semakin tertipu oleh kepalsuan sikap Marion yang hanya ingin menyakiti Natalie karena cemburu. "Hi" dia menyapa ramah sambil masuk ke dalam kamar pasien, dan entah kenapa seolah dengan mudahnya hatinya berpaling pada Marion, namun apa gunanya pula karena Natalie tidak akan juga berpaling dengan yang lainnya, tetapi apa rasanya sakit dikecewakan oleh seorang gadis. "Mulai besok kamu sudah mulai bisa membantu di restoran milik papaku" Marion bersikap lembut padanya "Thanks teryata kamu gadis yang sangat baik, aku salah menilaimu selama ini" mendengar kalimat itu, Marion menyembunyikan senyuman liciknya. "Kamu nanti di bagian mencuci piring saja..." dia menambahkan lagi. "Oke" Hans mengangguk. Sejak saat itu Hans mulai melakukan pekerjaannya di restoran, dan siang ini Natalie tertegun memikirkan dirinya sendiri, dalam perpustakaan, dia membayangkan jika sebelumnya pernah melakukannya pada Emily, dan itu karena cemburunya pada kedekatan Emily dengan Patrick saat itu, Natalie membuka ransel dan mencari nomor kontak Henry, dia teringat dengan apa yang harus di lakukannya, Natalie mengirim whatsapp padanya. "Henry tolong jelaskan padaku tentang Patrick dan Emily waktu itu" tidak lama Henry membalasnya. "Natalie, Patrick itu tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan cintanya pada gadis manapun tidak juga Emily atau kamu, dia merasa tidak berani untuk katakan cinta, dan saat itu Emily sebenarnya mengalami yang sama denganmu, dia hanya mendekatinya saja tapi tidak mengungkapkannya" hatinya seperti benar - benar tidak percaya, kata - kata Henry rasanya bagaikan mimpi yang nyata, Natalie masih tertegun, Hp di tangannya di remas dengan kuat. "Aku tidak bisa hanya diam saja begini" dia berkata dari dalam hatinya, dengan sengaja akhirnya memutuskan untuk mengikuti Hans kemana dia pergi, diam - diam Natalie mengikuti gerakan langkah kakinya saat keluar dari gedung fakultasnya, dia bersembunyi dari jauh agar tidak ketahuan. Degup jantungnya terasa berdetak keras, dan telapak tangan berkeringat dingin, Hans belakangan juga sejak kedekatannya dengan Natalie, dia sudah jarang berdekatan dengan dua orang temannya itu, Hans baru menyadarinya jika selama ini dia hanya memanfaatkannya saja untuk membully orang biar terlihat jagoan, tapi kini dia justru dekat dengan Mario gadis berhati iblis itu. Natalie memelankan suara langkah kakinya, agar tidak terdengar oleh Hans, yang melangkah di depannya keluar gedung kampus, dan berjalan kearah halte, lalu duduk dengan membungkukkan badan. Ada seseorang pria melintasi Natalie yang tengah berdiri mengamati gerak - gerik Hans dari jauh, Natalie merasa resah, kegelisahan menerpa pria itu terlihat bingung dan hendak bertanya pada Natalie. "Sorry Miss, kamu tahu kendaraan ke arah Volendam"? Dia bertanya. "Bisa naik tramp yang nomornya sebentar lagi mungkin akan lewat..." Natalie menjawab dengan tergesa - gesa, dan dia langsung masuk ke dalam bis yang baru saja melintasi, untung saja juga tidak kehilangan jejak Hans karena pria tersebut. Natalie duduk di kursi paling belakang, dan Hans di depannya, sama sekali dirinya tidak menyadari kalau ada yang mengikutinya dari belakang, Hans melayangkan pandangan dengan mata birunya, dan rambut pirangnya sekarang terlihat belahan rambutnya lebih gondrong dari sebelumnya. Wajah laki - laki berkesan dalam ekpreksinya tidak tega untuk melakukan hal itu terhadap Natalie tetapi rasa sayangnya pada Patrick yang membuatnya berkorban untuk apa saja, dan dia ingin satu orangpun menyentuh Patrick, karena itu penyebabnya Hans terpengaruh oleh hasutan Mario. Kelemahannya adalah Patrick. Bis itu berhenti di stasiun berikutnya dan Hans turun ke bawah untuk berjalan di pejalan kaki, Natalie tidak ingin kehilangan jejak Hans lagi, sekelebat dia teringat awal pertemuannya dengan Hans dulu bagaikan dalam sekejap terbawa oleh angin begitu saja, dan menghilang menjadi awan hitam. Langkah Hans masuk ke dalam rumah sakit pusat rehabilitasi, dan Nataliepun bertanya dari dalam hatinya, rasa gelisah mulai menguasai dirinya, ada sesuatu yang amat di takutinya tetapi cinta tetap akan bertahan walau apapun yang terjadi saat ini dan sekarang, Natalie terus mengikuti diam - diam gerakannya sampai ke arah kamar pasien rehabilitasi, disana banyak mereka yang terkena gangguan kejiwaan, ada yang parah dan ada yang tidak. Perasaan yang mengguncang diri Natalie sangat memukulnya, melihat pemandangan itu semua, dia ingin menangis, namun di tahannnya, inikah ujian terbesar bagi cinta Natalie kepada Patrick atau terlambatkah sudah bagi cinta, untuk menyatakannya, karena Patrick tidak akan pernah bisa menjawabnya, meskipun hatinya tahu. Hans masuk ke dalam satu kamar pasien, dan disana wajah Natalie tercengang, dari jendela kamar dia melihat Patrick, air matanya sudah tidak tertahankan olehnya, teryata Hans banyak mengetahui tentang Patrick, daripada orang lain, bahkan dia menyembunyikan kondisi Patrick dari siapapun termasuk Natalie, jadi inikah yang membuat Hans membenci Natalie bahkan menuduhnya pembawa sial, dia berkorban untuk apa saja demi Patrick, bahkan di matanya saat ini Natalie sudah seperti terdakwa. "Ya Tuhannn..., kalau saja aku tahu semuanya dari awal, mungkin aku tidak akan pernah menunggu kamu untuk menyatakannya lebih dulu tapi lebih baik aku yang ungkapkannya. Patrick, apapun keadaan kamu saat ini, aku tetap mencintaimu" dia berkata dari dalam hati. Saat kamar itu kosong, Natalie langsung menghambur masuk dan memeluk Patrick sambil menangis, tetapi Patrick hanya diam dengan tatapan kosong duduk di ranjangnya, dia sudah tidak seperti dulu lagi, segalanya telah berubah, dia tidak lagi bisa membalas pelukkan Natalie kepadanya, tetapi Natalie tahu dia bisa merasakannya. "Jangan katakan semuanya sudah terlambat" Natalie berbisik padanya, tanpa sadar Hans berdiri di belakangnya dari jauh, dan Natalie menengok ke belakang tersadar kalau dirinya terpegok olehnya, dia menatap dengan mata memperingatkan. "Keluar dari sini, atau aku panggil petugas"!! Dia berteriak keras. "Apa yang terjadi padanya"? Natalie menangis. "Dia trauma karena keluarganya tewas di bis dalam kecelakaan, tapi juga kamu pembawa sial Natalie, kamu menggantungkan perasaannya" dia berkata ketus. "Mulai sekarang menjauhlah darinya"!!!! Dia berteriak keras. Natalie hanya bisa menangis tersedu, keluar dari kamar pasien, dia ingin menyatakan cintanya agar dunia tahu, tapi Patrick sudah tidak ada respon apapun, dia bagai mayat hidup disana. Part 11 Jangan Pisahkan Natalie Dan Patrick Peringatan yang keluar dari mulut Hans, kali ini lebih menyiksa dirinya, tubuh laki - laki itu bersimpuh di hadapan Patrick, rupanya dia masih menyimpan sedikit kesadarannya, jiwa normalnya, Patrick mengetahui kalau Hans menghalangi hubungannya dengan Natalie. "Aku cinta Natalie" suaranya terdengar lemah, dan air mata jatuh dengan deras, rupanya kekuatan cinta dalam tubuh Patrick sangat kuat, namun Hans hanya tidak ingin dia di lukai oleh siapapun, maka lapun mengambil inisiatif untuk membawa Patrick lebih baik dirumahnya saja daripada kalau bertemu Natalie harus menderita, tapi justru itu yang membuatnya semaki menderita, karena telah dipisahkan secara paksa begitu saja. "Jangannn sebut namaaa dia lagi, sudah cukupkah dia menyakitiku, juga kamu. Natalie itu hanya tukang cari masalah diantara kita dan kamu Patrick..."!!! Hans berteriak keras, sambil mengguncang tubuhnya, dan entah bagaimana Patrick memekik menjerit, kemudian beranjak dari ranjangnya, kemudian mendorong sepupunya dengan keras, lalu Patrick berlari kearah jendela seakan tanpa sadar hendak loncat dari sana, namun Hans menangkap bahunya dari belakang, ingatannya tiba - tiba saja kembali pada kejadian yang sama dengan Natalie. Patrick mencoba bunuh diri seperti Natalie juga saat itu, dia tertegun, sejenak berpikir tentang sikapnya sendiri. Di tempat yang berbeda, Natalie rasanya sudah remuk redam jika harus menahan rasa ini, sebegitu pelik cinta yang harus di hadapinya, Patrick rasanya terlalu sulit untuk digapai lamban laun namun dia tidak akan menyerah. Natalie tetap akan mencari cara bertemu Patrick, dunia bukan penghalang bagi cinta kecuali Tuhan, meski tembok yang susah untuk dihancurkan sekalipun, meskipun harus perih tapi dia akan bertemu Patrick, dan Patrickpun harus menyadari jika semua itu tidak mungkin, Natalie masih seperti yang dulu, bahkan menunggu kesempatan untuk bisa menyatukan cinta mereka dan Natalie sudah tahu kalau dari dulu sebenarnya hati Patrick hanya untuknya bukan yang lain. Suatu hari di sore hari, Natalie duduk sendiri, dan Alina melihatnya dari jauh, dia berjalan mendekati temannya itu dari belakang, menuju ke taman kampus tempat Natalie duduk, air mata Natalie jatuh tidak tertahankan. "Apa salah dan kurangku selama ini"? Dia berguman menyalahkan dirinya. "Natalie" Alina mulai menegur dirinya dan Natalie menengok kearahnya. "Apa benar kamu melakukan semuanya"? Dia bertanya dengan lembut. "Itu tidak benar Alina, itu semua fitnahhh, pasti ada yang merencanakan semua ini" Natalie berbicara dengan cepat. "Lamban laun aku berpikir begitu, dan aku curiga pada satu orang" mata Alina menatap ke sekelilingnya. "Siapa maksud kamu"? Pertanyaan Natalie terdengar mendesak, dan Alina menghela nafas. "Aku sudah berbicara dengan Henry tentang Patrick, dan aku sedikitnya sudah tahu semuanya" air mata Natalie meleleh. "Kamu benar - benar memang mencintai Patrick, Natalie" Alina memegang tangan dirinya untuk menguatkannya. "Aku tidak pernah bohong dengan hatiku sendiri, walau sering kali aku lakukan" Natalie terisak. "Aku memang anak orang berkecukupan, dan sangat beruntung tapi aku bukan orang yang meremehkan soal hati" air mata Natalie terus mengalir di pipi. "Natalie aku minta maaf atas sikapku yang selama ini, justru ikut - ikutan mereka, seharusnya aku lebih percaya padamu" Alina memeluknya kemudian mengusap rambutnya. "Henry bilang kalau Patrick juga menggantungkan cinta pada Emily, karena Patrick sulit mengungkapkan rasa cinta pada seorang gadis" Natalie bercerita sedikit tentang Patrick. Malam hari itu... Natalie kembali menyelinap, masuk ke dalam rumah sakit, dan wajahnya tercengang memandang tempat tidur Patrick yang kosong, air matanya menetes sudah pasti Hans membawanya pergi, dia menangis tersedu dan seorang suster baru saja melintasi kamar itu mendapatkan Natalie duduk berjongkok disana. "Sorry, dimana pasien di kamar ini"? Natalie terengah perlahan. "Seseorang yang merawatnya membawanya pergi, atas nama Hans" dia menjawab datar "Tapi kemana"??? Natalie mendesak dengan keras. "Aku tidak akan berbuat sesuatu apapun dengan Patrick, percayalah aku hanya ingin menemuinya, aku adalah teman Patrick waktu di Amerika, dan dulu aku malah mengira Patrick meninggal" Natalie menjelaskan panjang lebar. "Tolong beri tahu aku"??? Natalie semakin mendesak. "Aku tidak bisa" dia hanya menggeleng dan meninggalkan Natalie sendiri, tangisannya semakin memecah ruangannya, mungkinkah memang sebaiknya di akhiri saja kisah ini dan tidak akan pernah berharap pada Patrick memulai sesuatu yang baru, Tuhan semakin mempersulit untuk Natalie bisa bersatu dengan Patrick, seakan benar - benar memang bukan jodohnya, air matanya tidak tahan untuk mengalir di pipinya. Dan tiba - tiba saja dia teringat akan sesuatu, barangkali Hans membawanya kerumah, mudah - mudahan bukan menghilangkan Patrick dalam hidup Natalie, karena cukup sekali saja Natalie merasakan itu. Setelah dari rumah sakit, Natalie menggedor rumah Hans, dan dia sendiri kali ini yang membukakan pintunya, matanya melotot tajam. "Jadi kamu masih nekat"!! Suaranya terdengar membentak hingga ada seseorang gadis dari dalam ikut keluar, matanya melihat Natalie penuh kebencian. "Marion" Natalie berguman pelan, tubuhnya terasa kaku di depannya. "Kamu itu punya otak atau tidak sudah di peringatkan masih saja, dasar tidak tahu diriiii"!!! Dia menghina Natalie habis - habisan. "Mungkin kamu tidak laku makanya mengejar - ngejar laki - laki sampai seperti itu, yah bisa juga tadinya ibu kamu orang seperti kamu" mendengar Marion menghina mama Natalie, membuat hatinya pedih tersayat. "TUTUP MULUT KAMUUUU, DASARR WANITA IBLISSSS"!!!! Natalie berteriak keras. "Lalu kamu apa, tidak tahu diri dan pembawa sialll"!!!!!! Marion tidak mau kalah dengan Natalie dan satu tamparan keras melesat di pipinya, namun betapa melukai hati seperti ditusuk berkali - kali bukan hanya dengan pisau tapi pedang yang membuat lukanya tidak pernah sembuh. "Natalieee jaga mulut kamuuu, dengan Marion" Hans malah membelanya. "Kalau kamu bertemu Patrick, kamu justru akan membunuhnyaaaaa"!!!! Dia berteriak lebih keras dengan suara melengking. "Berhentilah berharap" dengan suara pintu ditutup keras, dia membantingnya, dan Natalie menangis duduk sambil menyandarkan kepalanya di pintu, air matanya tidak tertahankan lagi sekarang dirinya bagai seorang pengemis cinta yang hampa. Patrick, kalau saja dia sembuh dari gangguan mentalnya, dia akan berbicara panjang lebar tapi semua hanyalah angan, seharian Natalie duduk di anak tangga rumah itu, tidak peduli hawa dingin yang menerpa tubuhnya dan membuatnya mengigil, baginya lebih baik mati karena cinta daripada hidup harus terluka. Tiba - tiba saja, Alina datang dan melihatnya berada disana, kemudian memeluknya, sambil menangis. "Lebih baik kita pulang saja" dia terisak. "Aku tahu, kalau Patrick ada di dalam" Natalie menyahut lemah, dan Patrick yang memang ada di dalam rumah itu, dari jendela kamarnya dia melihat Natalie disana, kemudian bergegas untuk keluar dari kamarnya, namun Elena dan Hans mencegahnya, dia hanya bisa menyebut namanya tapi kali ini lamban laun dia sudah mulai bisa bicara agak sedikit banyak. "Aku mencintaiiii Natalieeeeeee...., tolong aku mau ketemu" dia terisak "Aku mencintainya, dia tidak menyakitiku sama sekali" Patrick menangis sejadinya, namun mereka masih juga tidak mau mendengar, dan malah saling berhadapan. "Patrick lupakan Natalieee, dia hanya bisa membuatku tersiksa" Hans mengulangi kalimatnya dan keluar sambil mengunci kamarnya. Dan pada saat di luar, Elena menemui Marion, sepertinya ada yang ingin dibicarakan olehnya. "Marion, kapan kalian akan sidang skripsi"? Dia bertanya. "Awal tahun madame" dia menjawab. "Kalau begitu, kita harus mempersiapkan pertemuan dua keluarga, dan setelah kalian bertunangan dan menikah kita tinggalkan kota ini, sambil membawa Patrick" Marion tersenyum kejam dan otaknya liciknya berputar. "Bagus, semakin itulah Hans akan membenci Natalie, aku tahu kalau dia memendam rasa yang sama sebenarnya dengan Patrick, dan aku harus mendapatkan cinta Hans dengan cara apapun" otak kejam Marion dan licik, semakin meluas dalam tubuhnya, seakan tidak berperasaan lagi. Baginya Hans adalah lelaki yang tidak boleh disia - siakan, kemapanan sifatnya adalah hasrat bagi tiap gadis yang ingin jadi calon istrinya kelak, dan sifat tanggung jawab besarnya serta ketampanan wajahnya. Selama ini sebenarnya Marion tahu sifat tidak baik Hans, namun dia menyimpan cinta yang dalam dan itu harus dimiliki, apalagi Marion juga tahu kalau itu bukan diri yang sebenarnya. Ada orang yang memang memiliki sifat tidak baik karena latar belakang kehidupannya tetapi ada orang yang justru benar - benar jahat dan kejam, tega menyakiti siapapun asalkan impiannya bisa terpenuhi, dan itu yang justru menyakitkan daripada hanya sifat sok jagoan orang di depan umum. Satu hal bagi laki - laki semacam dirinya, laki - laki tipikal Hans adalah jangan pernah menyentuh wanita yang dicintainya, yang tidak lain mamanya, keluarganya maka diapun sekalipun kekasih akan mengorbankannya untuk tersakiti, dan itu lebih baik, namun dia tidak sadar jika Marion bukanlah gadis baik - baik, hanya karena melindungi Patrick setengah mati mata hatinya tertutup dan terpengaruh oleh gadis semacam dia, yang sebenarnya justru dialah penghancur segalanya bukan Natalie, dia hanya ingin bisa ambisinya terpenuhi saja. Natalie, berbicara dengan Emily malam itu di telepon, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir semester namun, guncangan hebat dirinya membuatnya betapa tidak tenang untuk bisa menghadapinya, mudah - mudahan saja, dia tidak ada yang gagal dalam mata kuliahnya semester ini. Universitas yang banyak orang mengadang - gadangkan ini tidak sembarangan orang bisa masuk, pada saat dulu mengikuti test masuk ke kampus inipun, hal biasa Natalie mendengarnya kalau ada yang menangis kecewa harus kembali ke asalnya, dan yang menyakitkannya dia sudah dari jauh - jauh, dari negaranya harus kembali dengan tangan kosong, tetapi ada yang lebih mengalami kegagalan lebih berat, yaitu Patrick, belum sempat menyentuh kampus yang terletak di kota Den Haag ini, sudah mengalami musibah besar hingga kini. Impian hancur berantakan begitu saja, andai saja Natalie saja, bisa mendaftar barsamanya saat itu mungkin semua tidak akan terjadi, sayang kala itu dia sudah meninggalkan Amerika lebih dulu. Harapan memang akan bertemu dengan Patrick disini, dan merajut hari itu lagi tapi kenyataannya sudah tidak bisa lagi. "Emily, aku ingin mengatakan sesuatu tentang Patrick, dia masih hidup dan berita itu salah" kata - kata Natalie terasa getir pada saat di telepon. "Tapi dia gangguan jiwa" Natalie tidak sanggup bicara apa - apa lagi, dia mematikan teleponnya dan menangis diatas meja dengan tersedu, haruskah memang melupakan Patrick mungkin memang bisa untuk sementara waktu ini, hanya karena mau fokus menghadapi ujian akhir semester. Part 12 Semester Baru Dengan Duka Seakan hanya Patrick yang tahu isi hatinya meskipun dia membisu, daripada orang lain, adakah dunia yang hanya bisa membuat Natalie hanya hidup bersama Patrick berdua, sekarang sudah memasukki semester yang baru, untung saja tidak ada yang mengulang dan remidial, cerita lain Hans skripsinya sudah selesai, tinggal persiapannya untuk sidang, dan selama Marion masih bersanding dengannya, tidak akan pernah membukakan mata hati Hans dan tetap bersikukuh menuduh Natalie pembawa sial atas Patrick, namun tanpa disadari oleh Hans jika Patrick mulai mengalami kemajuan sejak bertemu dengan Natalie, dia tetap bersikeras menjauhkan cinta mereka, tapi perlu disadari, kelak dia akan kembali seperti Patrick yang dulu. Desas - desus rencana pertunangan Marion dengan Hans, sayup terdengar di telinga Natalie, Natalie tersentak, mendengar itu, pikirannya tertuju pada Patrick, dan hatinya sangat tidak menentu, hatinya resah tidak karuan, maka Natalie memberanikan diri menghampiri Hans dia sedang berada di perpustakaan, Natalie melihatnya dari jauh. "Sepertinya kita harus bicara" dia berkata tegas. "Natalie" Hans menggeleng dengan kesal, kemudian menghampirinya keluar pintu dan menarik tangannya kearah balik tembok pintu. "Aku sudah bilang cukup, kamu ini mengerti tidak perasaan orang lain, kalau kamu benar - benar mencintai Patrick, mestinya kamu mengerti keadaannya, bukan menuruti ego kamu sendiri begini..., aku sudah hilang kesabaran denganmu sebenarnya selama ini, dan jangan buat aku bertindak lebih dari ini"! Tegas Hans. "Kamu salah menilai aku selama ini tentang Patrick" Natalie menyahutnya, dan air matanya jatuh tak tertahankan. "Seharusnya buka pintu hati kamu, kamu berubah sejak kamu berdekatan dengan Marion, apa yang dikatakannya tentang aku itu bohong"!!! Natalie memekik melengking. "Terserah kamu mau apa, kamu mau bertunangan dengannya juga tidak apa bagiku, asalkan jangan pisahkan aku dengan Patrick"!! Natalie tidak sanggup lagi menahan rasa yang menyiksanya dan diam hanya diam saja. Kali ini Hans, hanya diam saja, entah apa yang dipikirkannya, wajahnya menunduk ke bawah kemudian melihat ke lorong tanpa arah "Jika kamu percaya Tuhan, maka kamupun tahu jika Tuhan yang hanya berkuasa termasuk rasa cinta, dulu kamu tidak begitu, bahkan akupun sempat merasakannya.., kalau ada yang kamu rasakan padaku..." entah bagaimana mulut Hans hanya terkunci rapat, dia tidak bisa berkata apapun kecuali berpikir "Dan kamu tahu, aku baru saja bertemu orang yang ku kira selama ini meninggalkanku tapj justru kamu membuatnya jauh dariku, dan sekarang bagaimana kalau itu kamu..."!! Tegas Natalie keras sambil menangis. "Bewitjs of he, enhctn lifede is" Hans berkata lebih tegas ( buktikan kalau itu benar - benar cinta yang tulus ) "Aku sudah membuktikannya di depan mata kamu, tapi mata kamu saja yang selama ini sedang buta karena Marionnn"!! Natalie berteriak keras, tangannya menunjuk kearah wajahnya. Ini adalah sikap seorang gadis yang sudah tidak sabar dengan luka hatinya, yang sangat menusuk dirinya, Natalie menangis meninggalkan dirinya, dan kata hatinya terus berkata. "Ya Tuhan, mungkin itu memang benar, dia pula dulu sempat memberi rasa, tapi aku lebih baik memilih setia, dan ku bunuh orang yang menghalangi kesetiaanku karena cinta, namun aku masih takut pada dosa" Dalam tempat yang berbeda, Hanspun berpikir yang serupa, namun Marion memecahkan keheningannya. "Aku mau bicara dengan keluargaku nanti malam, tentang rencana pertunangan kita, bulan depan setelah wisuda" dia berkata panjang lebar. "Lalu kita akan membawa Patrick pergi dari Natalie dan semakin menjauhinya itu maksud kamu" Hans menanggapinya dengan cepat. "Yah" dia menjawab dengan rasa haus keinginan, untuk semakin Hans membencinya dan benar - benar tidak ada rasa lagi pada Natalie, kalau perlu membunuh gadis itu, Patrick semakin dijadikan kunci utama bagi siasat Marion, untuk membuat Natalie teraniaya. "Rasanya rencana kamu terlalu terburu - buru" dia menggeleng, dan entah bagaimana dia menjadi orang yang hanya ingin sendiri dulu memikirkan segalanya. Natalie baru saja sampai di rumahnya, dan melihat keadaan Jessica dan Bram yang semakin tua, hatinya semakin gelisah, apalagi usia Natalie sebentar lagi akan dua puluh satu tahun, belum juga dia menemukan pasangan yang tepat dan hanya memikirkan rasa cinta tak bertuan dengan Patrick. Apakah mungkin sebaiknya di lupakan saja, tidak ada Patrick, dan tidak peduli lagi pada kehidupannya, termasuk sikap Hans padanya, dan mulai merajut hari baru dengan melupakan semuanya, bangkit ke masa depan. Namun rasanya sulit melakukannya karena cinta kekuatannya seperti karang yang kokoh kalau sudah ditanamnya puluhan tahun, namun di usia yang semakin bertambah sudah seharusnya memikirkan seorang calon suami yang menemani sepanjang hidupnya bukan cinta yang begini. Apa jadinya, jika belum saja menikah dan tidak punya suami. Malam hari itu Hans membuka sedikit pintu kamar Patrick, dan berjalan perlahan masuk ke dalam saat dia tertidur, kemudian membuka laci disamping tempat tidur, ada terdapat buku harian yang terus melekat di tasnya, dia membuka lembaran demi lembaran, dan memulainya pada halaman pertama. Hari ini, aku bertemu seorang gadis yang kelak akan mengubah Jalan hidupku, namanya Natalie dia satu sekolah denganku Meskipun kami berbeda usia, tapi aku percaya akan sebuah kejaiban Kata orang mengubah jalan hidup seseorang, namun entahlah bagiku Perasaan itu bersemayam dalam jiwaku yang paling dalam dan tak Bisa keluar begitu saja. Sudah cukup bagi kakakku, Gray yang tersakiti oleh cinta Pertunangan yang batal, kandas begitu saja diterpa oleh badai Yang menghantamnya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Yang aku kenal Natalie, adalah gadis yang ceria, polos dan lugu Tak pantas untuknya bersanding dengan aku yang hidupnya rumit Tapi rasa ini pertama kalinya aku rasakan di usiaku kini yang 13 tahun Patrick Johnson. Natalie adalah sahabat setiaku, aku mengenalnya dia Bukan orang yang sembarangan orang mudah menyentuhnya Walau itu duri teratai sekalipun, dan yah persahabatan itu Mendapat dukungan dari semuanya. Aku bahagia karena bisa mengenal Natalie Namun sayang yang ku lakukan hanyalah diam seribu bahasa Seperti yang ku lakukan pada Emily. Dua lembar itu, sudah membuat perasaan sepupu tersayang ini, menyayat pilu membaca air mata tidak dapat dibendung lagi, dia meremas lembaran itu dan tetesan air matanya tumpah terkena kertasnya. Dirumahnya Natalie baru saja mengobrol dengan Rina dan Hendra di telepon membicarakan tentang kuliah Natalie lalu Jessica dan Bram, tanpa terasa sudah tiga tahun Natalie tinggal di rumah oma dan opanya di Den Haag selama dia kuliah disana, rasanya rindu pada Amerika, namun rasanya jika kembali kinipun hanya menyisakan kenangan yang berubah pahit dengan Patrick. "Ya maa.., aku slalu jaga oma dan opa disini, tapi tahun depan aku sudah skripsi mungkin lebih baik aku bekerja di Amerika saja nanti, tapi bagaimana dengan Oma dan Opa"? Dia berbicara panjang lebar dan melihat Jessica yang sedang membuatkan minum untuk Bram di meja makan. "Kami tidak apa - apa sendiri disini, asalkan kamu rajin menengok kami" Jessica ikut menimpali pembicaraan Natalie di telepon. "Tapi oma...." Natalie nampak khawatir kepada mereka semua. "Kalau disana izin cutinya bisa mudah setiap weekend mungkin aku bisa sering" Natalie terlihat sedang berpikir. Pada saat yang bersamaan, ada yang mengetuk pintunya rumahnya dua kali, dan Natalie. "Yesss" dia menyahutnya dari dalam, dan kembali berbicara pada Hendra di telepon "Ada tamu di luar nanti aku bukakan dulu pintunya" Natalie mengakhiri teleponnya, lalu berjalan kearah daun pintu, wajahnya tersentak melihat siapa yang datang, seorang laki- laki berdiri dengan mata tajam melihat dirinya. "Hans" menyebut namanya air mata Natalie mengalir. "Mungkin apa yang kamu katakan tentang Patrick itu benar, aku terlalu hanya mengikuti egoku tanpa memikirkan keadaannya, dan kini saatnya aku harus lupakan semuanya" suara Natalie terdengar lemah, dan seperti sudah tidak kuat lagi menahan rasanya. "Natalie aku yang mungkin salah selama ini" tiba - tiba saja Hans meremas pergelangan tangannya. "Niet, Dot hiet...." suaranya yang biasanya kasar terhadap Natalie berubah lemah, dia seperti lelah selama ini sudah menjadikan Natalie korban untuk dipojokkan dan tersudut. "Cukup Hans"!! Natalie nada suaranya melengking pelan dengan nafas terengah, air matanya mengalir deras. "Aku sudah lelah, aku lelah harus tersiksa dengan cinta yang tidak aku miliki" dia terisak. "Kali ini aku mau mendengarkanmu, karena mungkin saja ada yang aku tidak tahu tentang Patrick, tapi jika tidak akan kesempatan, aku pergi dan menerima kekalahanku"! Tegas Hans "Bukankah Marion sudah cukup menjelaskannya padamu, dan aku hanya orang yang menyakiti Patrick, mungkin itu benarnya, dan bilang padanya jangan sebut namaku lagi, aku yang kalah bukan kamu" Natalie merunduk dalam. "NiETT"!! Dia berteriak keras. "Well, oke kita bicara..." akhirnya Natalie membuka kesempatan padanya. Dan mereka duduk di restoran dekat rumah oma dan opa Natalie. "Patrick tidak pernah menyatakan cintanya padaku, saat aku di Amerika, tapi aku tahu perasaannya..." Natalie memulainya dalam sambil duduk di hadapannya. Natalie membuang wajahnya dulu kearah kaca dekat kursi mereka duduk, di restoran itu pula tidak banyak orang disana. "Dia melakukan yang sama dengan Emily gadis lain di sekolahku saat itu, dan waktu itu aku dan Patrick masih SMA, tapi aku mengenalnya, dari SMP, rumahnya memang tidak jauh jaraknya denganku..." Natalie bercerita panjang lebar. "Hans, aku tidak bisa meneruskannya lagi, bagiku ini saatnya mungkin memulai hidup baru" Natalie beranjak dari kursinya dan ingin meninggalkannya, namun Hans memegang pergelangan tangannya dengan kuat. "Sebenarnya aku tahu sesuatu yang kamu tidak ketahui tentang Patrick, soal cinta yang hampa yang kamu terima darinya"! Dia berkata tegas tapi suaranya kali ini dilembutkan "Kakak Patrick pernah terluka karena cinta, bahkan membuatnya mati rasa.., cinta yang semestinya di harapkan bahagia berujung perih, dan itu yang membuatnya melakukan itu, Gadis yang dicintainya meninggalkannya bersama lainnya..." Hans berkata panjang lebar. "Apa rasanya jika cinta dihancurkan dengan sengaja...." dia berkata sambil menarik nafas dalam. "Kadang orang berharap cinta itu adalah kebahagian pada akhirnya, namun akhirnya tidak..., Hans aku menerimanya jika memang tidak pernah akan bersatu dengan Patrick, kali ini aku ingin pergi karena cinta yang ku tunggu justru membuatku menderita, dan untuk apa aku berharap. Dan mungkin semua kata - katamu benar, aku pembawa sial, penghancur kehidupan orang, dan sekarang kenapa kamu tidak hina aku lagi..."!! Tegas Natalie. "Kamu jauhkan aku dengan Patrick dengan berbagai cara tanpa pedulikan perasaanku, sudah terlambat untuk penyesalan, karena aku sudah sakit. Sampaikan pada Patrick, mulailah hidup baru tanpa diriku..., dan kamu terserah mau bertunangan dengan Marion kapan saja" perkataan Natalie, seakan sudah muak dengan siksa jiwanya selama ini yang diterimanya rasanya dia sudah jera kali ini, dia tidak ingin menderita lagi. Tetapi rasanya kalau menghilangkan nama Patrick dalam dirinya, sama saja membohongi diri kalau masih mencintainya, Hans yang akhirnya mungkin menyadari ketulusan cinta mereka dia hanya terdiam, tergiang jelas di telinga kata -kata Natalie tentang Patrick padanya. Habis sudah kesabaran Natalie, karena hanya menjadi orang yang teraniaya karena cinta, mungkin memang ada baiknya pergi sejauh mungkin, tetapi Marion yang tahu isi Hans jika sebenarnya menyimpan rasa cinta itu juga, namun ditutupinya bahkan di korbankannya demi cinta kebaikan, sepupu tersayangnya Patrick, semakin meracuni pikirannya. Namun kali ini dia melakukannya dengan sangat perlahan dan mulus, fitnah yang lebih kejam akan segera dimulai oleh Marion. Part 13 Penyesalan.
0 notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
NATALIE
Genre : Romance
( outline Novel )
Sinopsis : Hendra kala itu dijodohkan dengan Rina oleh orang tua Rina, Jessica dan Bram, Bram adalah pria berdarah Netherland sedangkan Hendra adalah pemuda lulusan dari Universitas di Jerman dengan nilai terbaik di kampusnya, pada saat mereka menikah dan Rina memiliki anak perempuan bernama Natalie, ketika Natalie duduk di kelas enam SD dia bermimpi ingin sekolah di Amerika. Karena saudara Rina sendiri sudah banyak menetap di Amerika dan anak - anak mereka sekolah disàna semua. Natalie tidak mau kalah dengan saudara - saudaranya termasuk dua kakak Natalie Larry dan Zyan.
Setelah Natalie lulus SD akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Amerika demi mengikuti keinginan bulat Natalie bersekolah di Amerika, pada saat Natalie berumur 12 tahun dia bertemu dengan seorang laki - laki bernama Patrick yang menjadi sahabatnya tapi semakin bertambahnya usia perasaan persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lain di hati Natalie, ada yang mengganjal tersimpan di hati dengan pemuda bermata biru serta berambut cokelat itu, belum sempat rasa itu tersampaikan Patrick meninggalkannya entah kemana, kabar yang diterima oleh tetangganya kalau mereka pindah keluar negeri tetapi satu keluarga meninggal semua.
Tetapi jika bukan itu yang terjadi maka tak pernah ada cerita, hingga pada saat Natalie diminta oleh Omanya Siska untuk kuliah di Netherland dan dia yang menanggung semua biayanya termasuk Natalie akan tinggal bersamanya di Den Haag sampai akhirnya bertemu dengan pria yang arogan, sombong dan selalu mencari masalah bernama Hans tetapi kalau bukan itu yang terjadi cerita tidak akan dimulai
Part 1 : Kisah Hendra
Hendra baru saja kembali Jakarta setelah dia lulus dari perguruan tinggi di Jerman, pemuda dengan wajah putih dan rambut kelimis tersebut bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta di bidang IT, pria yang ulet dan rajin, serta ramah selalu menilai tambah dalam pekerjaannya serta mendapat pujian dari managernya Hanafi, tetapi Hendra dijodohkan oleh Rina wanita dengan rambut pendek dan wajah hitam manis. Rina memiliki darah keturunan Netherland karena papa Rina seorang pria berasal dari negeri kincir angin tersebut sedangkan Siska adalah orang Indonesia. “Usiamu sudah 25 tahun nakk” kala itu Hendra mengobrol dengan ibunya Mawar di meja makan. Dia paham apa yang dimaksud olehnya, namun hatinya masih saja gusar, dia terdiam sambil menyuap nasinya ke dalam mulut. “Bagi seorang laki - laki banyak hal yang yang dipersiapkan ketika memiliki istri apalagi anak” Hendra memberikan pendapatnya.
“Yah tapi jangan kelamaan tidak menikah daripada kamu dikira macam - macam oleh orang diluar sana” Mawar bersungut, Hendra menghabiskan makanannya dia terlihat nampak berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Mawar kepadanya, nafasnya mendesah sambil berdiri membawa piringnya dan berjalan ke dapur.
Omongan orang tua seperti kata - kata yang baik dan buruknya membawa nasib pada anaknya, namun untuk yang satu ini Hendra tidak akan dengan mudahnya mengatakan “Iyah” itu tidaklah mudah kecuali menikahi seekor kucing.
“Pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, tidak mungkin aku mengambil keputusan secepat itu” dia berpikir dalam.
Pada saat Hendra selesai mencuci piring, dari dalam dapur terdengar suara pintu ditutup Hendra menoleh kearah belakang rupanya Fandy ayahnya baru saja tiba dirumah, dia berjalan kecil menuju kearah dapur, sambil menepuk bahunya. “Pastinya kamu sudah sering dengar cerita tentang Rina dari keluarga besar semua” dia berkata bijak, mata Hendra agak terbelalak lebar.
“Mama dan papa, merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku”?? Dia bertanya heran dengan mulut terbuka.
“Aku pasti menikah maaa, paaa tapi terus terangg kalau untuk yang satu ini jangan disamakan seperti mencari kacang goreng dipasar” Hendra menghela nafas.
“Tapi Rina pasti cocok untukmu, cobalah kamu menemuinya” Mawar bersikeras dengan pendapatnya yang sudah menjadi sepakatan bersama, dia bersedekap memandang Hendra yang masih berpikir panjang atas dirinya sendiri. Hendra sesungguhnya dia dari keluarga yang ekonominya masih pas - pasan dia bisa kuliah di Jerman karena beasiswa dari SMAnya beruntungnya juga disana kuliah gratis dan Hendra sosok yang cerdas serta pintar, waktu SMA dulu selalu aktif dalam organisasi dia juga di calonkan sebagai ketua OSIS dan waktu kuliah dia menjadi ketua komunitas mahasiswa Indonesia
Hendra menaikki tangga kayu di lorong dekat dapur untuk menuju ke kamarnya, dia membuka pintu kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang ukuran kamarnya agak kecil tidak besar tapi terasa nyaman, matanya melihat kearah gitar yang tergantung di dinding pojok sebelah kanan tempat tidurnya kemudian dia mulai mengambilnya yah itulah yang dilakukannya setiap harinya kalau perasaannya sedang galau, jemarinya mulai memetik alunan nada gitar sambil bersenandung pelan.
“Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kuberi….” belum sampai selesai bernyanyi kecil seseorang terdengar memanggilnya dari bawah, Hendra bergegas menaruh gitarnya di tempat tidur untuk menuju kearah balkon.
“Aldo” dia menyebut pria dibawah balkon kamarnya yang sedang berdiri melambai padanya dia adalah sahabatnya waktu SMA dulu, kemudian Hendra keluar dari kamarnya untuk menemuinya.
“Ada banyak yang aku ingin ceritakan padamu” Hendra menarik tangannya, dan Aldo menahannya. “Soal Rina kannn.., gadis Indonesia keturunan Netherland itu level kejauhannn…kamu tahu” Hendra hanya terdiam meniup belahan samping rambutnya, matanya nampak keresahan dihatinya. “Yah aku tahu, dan aku berpikir memangnya apa Rina itu mau denganku sedangkan dia anak orang kaya, bukan hanya itu masalahnya, dirumahnya yang aku dengar sangat disiplin keras sekali didikan dari ayahnya seperti itu” Hendra bercerita sedikit, Aldo membaca apa yang ada dalam pikiran Hendra.
“Dijodohi itu ada enak dan tidaknya, yah semua itu nanti kamu yang rasakan sendiri, lagipula kamu sudah lulus kuliah dan sudah punya pekerjaan mapan lalu kapan kamu mau punya istri kalau begitu” Aldo menasehatinya, Hendra tersenyum padanya sambil menatap wajahnya. “Yah kamu benar” Aldo bersedekap sambil matanya melayangkan ke udara sedangkan Hendra masih menunduk dalam, kedua sahabat itu hening. “Mampirlah dulu sejenak kerumahku, untuk menenangkan pikiran” Aldo menawarkan dirinya dan kebetulan Aldo tinggal satu komplek dengan Hendra, Hendrapun mengangguk mereka berjalan kearah rumah yang hanya berapa blok dari rumah Hendra.
Aldo membuka pintu pagar yang berwarna hitam, kemudian mengajaknya duduk diteras rumahnya. “Dari namanya aku sudah menduga dia wanita yang menarik” Aldo memberikan pendapatnya, sedangkan Hendra hanya diam saja merenung.
Tiba saatnya pada pertemuan keluarga, Hendra akhirnya bertemu dengan Rina, yah dia memang menarik seperti kata Aldo, wajahnya nampak hitam manis dan rambutnya hitam ayahnya nampak fasih berbahasa Indonesia walau terbata.
Hendra duduk diantara kedua orang tuanya saling berhadapan dengan Rina juga orang tuanya juga dia tersipu malu sambil menunduk melihat wajah Hendra.
“Yah ini anak kami Rina” Bram ayahnya dengan bangga memperkenalkan putrinya itu Rina semakin menunduk malu, sedangkan Hendra sudah mulai terlihat gusar, dia mencoba untuk mengajak ngobrol Rina namun bibirnya terasa bergetar. “Kamu kuliah dimana”? Dia mencoba mengeluarkan suaranya dan Rina menjawab dengan tenang. “Ohhh di Jakarta saja, tidak dimana - mana seperti kamu” tutur katanya sangat halus meskipun gaya bicaranya terdengar keras. “Dia kuliah disini saja, karena kami juga tinggal disini” Jessica menimpali sambil memeluk Rina. “Bagaimana menurut kamu”? Bram menanyakan dengan memicingkan mata menunjuk kearah Hendra, nampak dari wajahnya kalau Rina sangat senang berkenalan dengan Hendra dan akhirnya mereka melakukan pendekatan dan setelah itu menikah.
Part 2 Natalie
Dari pernikahannya akhirnya diberikan oleh Tuhan Hendra dan Rina dua orang putra dan satu orang putri, dan kini anak - anak mereka sudah mulai besar dan kakak Natalie Larry melanjutkan pendidikannya di Amerika sedangkan Zayn setelah tamat SMA akan menyusulnya Natalie kala itu berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas enam Sd ambisinya untuk sekolah di Amerika adalah karena melihat saudaranya yang akan pergi kesana begitu juga karena keluarga Rina sudah banyak pindah ke Amerika karena anak mereka sekolah di negara pam sam tersebut juga, dan Jessica sendiri sudah pindah ke Netherland bersama Bram Impian yang memang terlalu tinggi memang namun manusia berhak memiliki impian setinggi melampaui batas langit. “Aku akan berusah mengejarnya untuk bisa masuk SMP disana kelak” Natalie berkata dari dalam hatinya, hari demi haripun terus bergulir Natalie akhirnya lulus SD dan masuk SMP di Amerika keluarga Nataliepun ikut pindah kesana dan bertempat tinggal di California.
Suatu hari di sekolahnya Natalie sedang duduk di dalam kantin, pandangannya melayang kearah pemandangan didepannya sambil meminum Orange Juicenya, rambutnya yang lurus terlihat digerai dan dia memakai kemeja berwarna kuning dengan celana berwarna biru. Seorang laki - laki sambil membawa nampan makannya dan menaruhnya diatas meja kemudian mengambil chesse burgernya dari tempat makannya, kebetulan laki - laki itu duduk tepat di kursi hadapan Natalie, dia melihat sejenak sambil mengunyah makanannya kearah Natalie yang mengamati dirinya, namun Helen yang duduk kebetulan juga baru datang duduk di depan Natalie sambil membawa makanannya dia menghalangi Natalie untuk melihat siswa itu.
“Melihat siapa Natalie”? Dia menoleh ke belakang, dan kursi yang di duduki olehnya sudah kosong, Helen menarik nafasnya sejenak kemudian mendesah perlahan sambil meneruskan mengunyah burgernya. “Dia sudah tidak ada disana”? Tanya Natalie penasaran melihat kearah sekelilingnya Natalie masih ingat benar ciri - cirinya dia memakai kaos berwarna putih dan celana hitam rambut pirangnya belahannya disisir kesamping dan tubuhnya tinggi tegap, layaknya penampilan laki - laki idaman perempuan, dan usianya nampak lebih tua daripada Natalie “Maksud kamu siapa, aku tidak melihat siapa - siapa disana”? Helen menggeleng polos kemudian meminum juicenya setelah selesai makan kemudian melirik jam tangannya.
“Aku masih ada kelas dan kalau dengan Mr Smith terlambat sedikit bisa tidak masuk selamanya dan kamu tahu itu kan…” kata Helen sambil beranjak dari kursinya dan menyandang ranselnya untuk meninggalkan cafetaria. “Oke, sebentar lagi masuk ke dalam kelas” Natalie menghabiskan minumnya lebih dulu kemudian berjalan sedikit kearah kasir untuk membayar makanan dan minumannya yang dipesannya kemudian barulah dia melangkahkan kaki keluar dari sana, Natalie berjalan kearah lorong yang kini dan kanannya terdapat loker kemudian dia membuka lokernya untuk membuka pintunya untuk mengambil buku di dalamnya, tepat saat itu laki - laki yang barusan di Cafetaria berada disamping Natalie dia membuka lokernya juga, kemudian melihat kearah Natalie tapi pandangannya teralihkan oleh seorang temannya yang menegurnya dari belakang dengan menepuk bahunya. “Patrick rupanya kamu disini, aku mencarimu kemana - mana tadi ayo kita masuk kelas sekarang” dia mengajaknya. “‘Miguel Ok” dia mengiyakan, Natalie masih berdiri memerhatikan dirinya disamping loker dan Patrick sejenak membalas tatapan tersebut sebelum meninggalkan ruangan itu. Sore harinya pada saat berjalan menelusuri trotoar, Patrick berjalan di belakangnya, dia berlari kecil untuk mengejarnya. “Kamu Patrick kan”? Dia bertanya ramah. Dan Patrick hanya mengangguk ramah sambil memberikan senyuman padanya Nataliepun tersipu malu padanya, di umurnya yang masih dua belas Natalie memang baru mengalami pertumbuhan awal remaja, dan jni gelora pertama yang dirasakannya. “Nama kamu Natalie kan”? Patrick memecah lamunannya, dan Natalie menjadi salah tingkah “Eh iyah, itu namaku” dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya “Seluruh anak sekolah kita sering menyebut nama kamu, dan sepertinya kamu terkenal di sekolah ” Patrick menegadah memandang langit saat mengatakannya, dia terlihat sosok yang baik dan penyayang. Natalie tercengang mendengarnya kemudian tertawa pelan “What is funny”? Patrick heran menatap sikapnya dia memicingkan mata sambil sedekap membalikkan badan untuk berdiri berhadapan dengannya. “Tidak ada, tapi aku hanya heran kenapa kamu bisa menilai aku seperti itu”? Natalie malu - malu. “Karena kamu cantikkk”!!! Patrick menggodanya kemudian melanjutkan langkah kakinya dia berlari kecil sambil melambaikan tangan di udara dan Natalie membalasnya Pertemuannya dengan Patrick entah kenapa membawanya pada perasaan yang tidak biasa kepada Patrick bayang dirinya selalu menghantui Natalie, pada saat dirumah Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya kemudian mendapat telepon dari Helen.
“Yah Helen” dia menyahut “Natalie, aku ingin mengajak kamu menonton pertunjukkan di Las Vegas” terdengar suara menggebu dari Helen, dan Natalie hanya mendesah nafas “Aku sedang mengerjakan tugas hari ini” dia menolak halus, tapi Helen mendesak “Aku tidak tahu harus pergi dengan siapa, Clara, Louissa, Marianne tidak ada yang mengangkat teleponku huffff….” Helen mengeluh. “Oke, aku temani” Natalie akhirnya menyerah dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak dari kursi meja belajarnya, sebenarnya waktu mengerjakan tugas sekolahpun pikiran Natalie sedang tidak fokus karena nama Patrick mengusik ubun kepalanya, Natalie memakai kaos berwarna merah serta celana panjang hitam kemudian mengikat rambutnya ke belakang Natalie kemudian menuruni anak tangga rumahnya dan Helen sudah menyambutnya dari bawah, inikah dia perasaan cinta anak remaja awal yang tidak tahu jelas apa sebabnya tapi Patrick terlihat tampan dan lembut dan hal itu yang membuat Natalie jatuh hati pada pandangan pertama dengannya. Selama dalam perjalanan Helen terus mengajaknya bicara
“Natalie kamu dengar aku tidakkk”!! Helen merasa kesal karena dari tadi Natalie tidak memerhatikan Helen bicarakan. “Maaf, aku sedang tidak fokus” Natalie berkata lembut tapi Helen masih bersungut kesal sambil bersedekap. “Aneh sikapmu belakangan ini” dia menggerutu “Sehari saja tidak di sekolah, aku justru merasa bosan daripada jalan - jalan seperti ini” Natalie berkata dengan tenang. “Girl ayolah, ini penyanyi idola aku dan aku tidak harus pergi dengan siapa lagi” Helen menggerutu “Dan Celine Dion itu adalah inspirasiku untuk kelak menjadi seorang penyanyi” Helen menambahkan kalimatnya. “Jangan konyol kamu ha….ha..ha” Natalie menertawakannya hingga wajah Helen semakin memerah, dia memandang keluar jendela bis dengan wajah penuh emosi, dia menghembuskan nafas dari mulutnya, sedangkan Natalie dengan tenangnya mengeluarkan Hp dari dalam tasnya dan membaca pesan yang baru saja masuk dari Marianne.
“Have fun today girlss”!! Kata - katanya nampak bersemangat “Yah tapi Helen sedang merasa kesal sedikit dengan ledekanku padanya, dia memang kadang suka bertingkah seperti anak umur sembilan tahun ha….ha…ha” Natalie menyahutnya sambil tertawa membalas pesan tersebut dan Marianne mengirim balasannya lagi. “Its not funny Natalie” kalimatnya nampak marah, dan Natalie terdiam dia merenungi perkataannya sendiri. “Forgive me” dia mengirim satu kalimat lagi pada Marianne. “Aku hanya ingin beritahumu sikap bercandamu berlebihan” Marianne mengirim lagi balasannya “Aku hapus kata - kataku tadi” Natalie membalasnya lagi untuk mengakhiri pembicaraan dengan Marianne, tanpa terasa mereka sudah sampai di tujuan, bis itu berhenti di halte terakhir dan kedua remaja itu turun dari dalam. Natalie turun lebih dulu, kemudian memandang sekitarnya dan Helen menyusulnya dari belakang, dia berjalan kedepan sedikit untuk menghampiri Natalie, kemudian berdiri di sebelah kanannya sambil menoleh dengan tersenyum. “Kamu sudah tidak kesal denganku lagi”? Natalie bertanya dengan suara lembut dan menunjukkan cengiran kecil padanya. “Aku tidak benar - benar merasa kesal juga kokk” Helen mengangguk kemudian memegang pergelangan tangannya. Di dalam arena pertunjukkan, kerumunan orang penuh sesak, diatas atap nampak gelap tapi berkilauan cahaya dengan warna ungu, kuning atau merah dan suara membahana mulai terdengar diantara sorak orang. “Suittt…suittt…” seseorang penonton terdengar sedang bersiul Natalie mendongak dari antara orang - orang yang berdiri didepannya yang bernyanyi My Heart Will Go On “Helennnn”!! Dia berteriak memekik “Aku tidak bisa melihat Celine Dion disini”!!!! “Kalau kita maju selangkah lagi, didepan sana sangat padat” Helen memberikan komentarnya pada Natalie.
Sepulangnya dari nonton konser Larry kakak tertua Natalie sudah menunggunya di depan Tv, hari memang sudah larut malam, wajah Natalie nampak kecut, tapi justru sebaliknya Larry terlihat tersenyum dari sofa berwarna putih yang didudukinya, Natalie hanya bisa memalingkan wajah. “Aku tahu ini sudah jam satu malam” dia mengangguk paham. “Yah kamu benar, oh yah tadi ada seseorang yang melintas disini dia menanyakan kamu pada Zayn” Larry memberi tahukannya, dan wajah Natalie berubah tercengang.
“Dia laki - laki”??? Larry hanya mengangguk perlahan, dan yang ada dalam pikirannya itu adalah Patrick. “Seperti apa orangnya”? Dia bertanya kembali, mendengar suara Natalie dan menyebut namanya Zayn keluar dari kamarnya tapi juga disusul oleh Hendra dan Rina. “Awalnya kami mengira kamu pergi dengannya juga”? Hendra menimpali. “Aku hanya pergi dengan Helen saja berdua” Natalie membenarkan kata - katanya “Karena umur kamu baru dua belas nakk, baru saja memasukki usia remaja dan kamu mengerti kan maksud kami” Rina berkata bijak. “Aku tahu” Natalie mengangguk pelan.
Keesokan harinya di sekolah, Natalie mencari Patrick, dan menemuinya di ruang musik sekolah, dia sedang memetik gitar sambil bersenandung perlahan disana, Natalie berdiri di ambang pintu sekolah dan Patrick menoleh kearahnya sambil menghentikkan permainannya Perasaaan yang berada dalam tubuh Natalie semakin tidak menentu pada saat menatap wajahnya. “Apa yang kamu lakukan di komplek sekitar rumahku”? Natalie bertanya. “Aku hanya kebetulan lewat saja, dan aku baru tahu kamu tinggal disana” Patrick menjawab santai sambil kembali memetik gitarnya. “Dan kamu pergi seharian dengan temanmu yang bernama Helen itu kan” dia menambahkan kalimatnya yang sedang diucapkannya, Natalie berjalan kecil untuk mendekati Patrick dan duduk disebelahnya. “Kamu bisa bermain gitar”? Dia bertanya “Yah begitulah” dia mengangkat bahunya, lalu menaruh gitar tersebut di sebelahnya keduanya memandang tembok didepannya dengan hening, tidak tahu apa sebabnya rasa itu tidak bisa dibendungnya lagi. “Kamu ini, sudah kelas dua belas kan Patrick”? Dia bertanya, Patrick hanya mengangguk usianya kini memang sudah empat belas tahun dan sèbentar lagi dia akan meninggalkan bangku SMPnya untuk meneruskannya ke SMA. “Kenapa kamu berkata demikian”? Patrick bertanya ingin tahu. “Karena aku ingin jadi sahabat sejatimu, bolehkah”? Natalie bertanya perlahan. “Yah” Patrick menjawab singkat.
Part 3 Sahabat Tapi Cinta
Akhirnya kini umur Natalie menginjak yang ke enam belas tahun, di bersekolah yang sama juga di SMA dengan Patrick, hubungan mereka semakin dekat tapi perasaan yang dipendamnya semakin tumbuh dan tak bisa dibendungnya lagi, rasanya ingin mengatakannya tapi bibir hanya bisa diam, dia duduk di taman sekolah memandang pohon didepannya, hasrat itu semakin lama semakin tidak pernah memudar, Patrick yang melihatnya dari kejauhan dari balik tembok, kini tubuhnya semakin tinggi daripada waktu dulu empat belas tahun, hari persahabatan mereka semakin erat, namun tahukah Patrick apa yang terselubung dalam hati Natalie sebenarnya, dia memandang menerawang dengan tatapan berbinar kemudian tiba - tiba saja, Emily mengusiknya dia datang dari arah yang berlawanan menepuk bahu Natalie. “Aku jadi merindukan Helen dia diterima bukan di sekolah ini, tapi sekolah lain yah dia sahabatku waktu SMP dulu” Natalie bercerita dengan suara sayu, dan Emily berdiri disampingnya bola mata birunya memandang dekat pohon itu, sejenak rambut lurus selehernya mengembang tertiup angin. “Aku rasa kamu memikirkan sesuatu yang lain” Emily menebak perasaan Natalie, dan tanpa sadar Patrick mendengar percakapan mereka dari balik tembok, entah apa yang dirasakannya dia seperti sudah menduganya sejak lama isi kepala Natalie, Patrick meninggalkan tembok tersebut dan berjalan kearah tak tentu arah, sambil tertunduk, belahan rambut disampingnya jatuh menutupi atas alisnya. “Natalie.., entah kenapa sebenarnya perasaan itu serupa, aku seperti mengharap kamu yang lain, dan ada harapan yang berbeda diantara kita” patrick berpikir, dia berjalan kearah hall basket dan masuk ke dalamnya, kemudian duduk di deretan kursi yang menghadap kedepan, tiba - tiba saja ada suara orang yang membuka pintu, Patrick tersentak dan menoleh ke kanan.
“Henry” dia menyebut namanya, dan Henry menutup pintu itu kembali, dia membetulkan sisiran rambutnya sambil duduk disisi Patrick, berusaha untuk ikut memikirkan apa yang sedang dalam pikirannya. “Jika saja itu sesuatu yang kamu sembunyikan dan tidak pernah kamu buka, maka akan ada sakit yang tidak pernah mendapat jawabannya” Henry menembus pikiran Patrick, Patrick berdiri mendengar kalimat itu, bagaikan telinganya langsung ditegakkan. “I can’t speak anymore…..” matanya nampak gelisah melihat sekeliling. “You’re someone man, you much brave” suara Henry berubah menjadi tegas. “I CAN’T”!!!! Patrick berteriak histeris pelan, itulah alasan penyebab Patrick sulit mendapatkan pacar, meskipun dia dekat dengan banyak gadis dan salah satunya Natalie, dan sebenarnya Patrick juga sedang dekat dengan teman baik Natalie di SMA ini yaitu Emily namun hubungannya menggantung tanpa arah tujuan. “Kamu tidak bisa bermain seenaknya dengan perasaan kamu sendiri”!! Sikap Henry tidak kalah tegas dengan Patrick, untuk menghindari pertengkaran yang terjadi dan menjadi hebat, Patrick meninggalkan ruangan tersebut, dia berjalan di antara lorong dengan galau, sambil menyandang ranselnya, kemudian melirik jam tangan berwarna biru sudah menunjukkan pukul sembilan. “Ya Tuhan, aku ada kelas dengan, Mrs Wendy Gale” wajahnya yang memperlihatkan semakin tidak bisa dibendungnya, buru - buru Patrick berlari kecil masuk ke dalam gedung di samping taman dan mengetuk kelas yang tertutup, Mrs Wendy membukanya dengan wajah melotot marah. “Kamu tahu ini sudah jam berapa, dan kamu datang lima menit setelah saya sudah di dalam kelas”!! Dia membentak keras. “Mrs Wendy, saya minta maaf kalau terlambat, saya rela jika harus terkena sanksi” Patrick merunduk menyesal, dan sanksi yang dikenakan oleh Mrs Wendy itupun sudah mendapat toleransi darinya daripada biasanya siswi atau siswa tidak dapat mengikuti ujian mata pelajaran dengannya, Patrick hanya mendapat tugas sekolah dua kali lipat untuk membayar kesalahannya dalam satu hari itu.
“Kringggg” bel sekolah berbunyi Natalie di lain tempat, dia sedang berada di kelas, tangannya meraih buku diatas meja untuk dimasukkan ke dalam ranselnya, dan Mr Bryan meninggalkan kelas sambil membawa bukunya. “Dimana kamu tinggal”? Tanya Emily yang duduk di kursi sebelahnya. “California” jawab Natalie, kemudian dia mengelurkan notes kecil untuk memberikan catatan alamat rumah serta nomor rumah dan nomor Hpnya. “Tidak jauh dari tempat tinggalku” Emily tersenyum ramahnya padanya, kemudian mengambil ikat rambut di dalam resletingnya. “Yah benar, tapi kalau hari ini aku ingin pergi menemani Zayn” Natalie mengangguk.
“Zayn”? Dia bertanya heran. “Kakakku yang kedua” jawab Natalie dan meninggalkan sekolah, hari cuaca sangatlah panas, dia membuka jaket yang dikenakannya karena sudah diluar sekolah, kemudian duduk di halte untuk menunggu bis yang datang. Pikirannya kembali terlintas tentang Patrick, wajahnya menari - nari di matanya dan Natalie menghembuskan nafas perlahan dari mulutnya, sambil melihat bayangan yang memantul dari bawah jalanan. “Patrick, rasanya kenapa aku punya pilihan lain, yang bukan jadi sahabatmu, tapi….” lamunan Natalie terbuyar pada saat bis jurusan yang ditunggunya sudah tiba, Natalie terperanjat mendongakkan kepala dan bergegas masuk ke dalamnya, dia melayangkan mata kearah keluar jendela, tidak tahu apa sebabnya Natalie menelepon Patrick pada saat dalam perjalanan, dan rasa ingin bicara padanya.
“Patrick, nanti malam aku mau kerumah kamu pukul tujuh malam” “Oke” Patrick mengiyakan sambil mengakhiri pembicaraannya, bis itu berhenti tepat di halte dekat rumahnya, dan Natalie langsung turun, ketika itu Natalie melihat keluarganya tengah mengobrol di sofa keluarga. Natalie, terdiam terpaku berdiri di hadapan mereka semua dan merekapun menengok kearahnya, Rina tersenyum padanya, dia seperti sudah membaca apa yang ada dalam isi kepala Natalie, namun Natalie, terlihat sedang tidak ingin diganggu dulu hari ini, dia masuk ke dalam kamarnya dan membuka ransel untuk mengambil buku dan mulai mengerjakan tugas, sejenak Natalie melihat kearah Walkman di sebelahnya lalu meraihnya dan memutar lagu Backstreet Boys, kemudian meneruskan mengerjakan tugasnya.
Suara ketukan pintu yang terdengar, membuat Natalie mematikan walkmannya dan menoleh kearah daun pintu. “Cominggg”! Dia berseru, Rina masuk ke dalam kamarnya, dan berjalan perlahan masuk ke dalam. “Dibawah sedang ada Sam sepupu kamu” dia memberi tahukan. “Sam dan tante Vina, tapi aku tidak mendengar suara mobilnya barusan”? Natalie tercengang. “Aku akan turun setelah aku selesai mengerjakan tugas sekolahku” dia mengangguk kemudian, dan Rina meninggalkannya, di lantai bawah Sam sedang mengobrol dengan Zayn dan Larry. “Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya” dia memberi tahukan. “Sejak kapan Natalie menjadi anak yang rajin” Sam sedikit meledek dirinya. “Sam adikku sudah umur enam belas sekarang”!! Dengan keras Zayn sedikit membentak Sam, dan Larry melotototi dirinya. “Oke, oke aku salah berkata demikian, hanya saja sikap Natalie berbeda dari biasanya” dia memberikan komentar. Di tengah obrolan itu, tiba - tiba saja Natalie datang, dan bersedekap diantara ketiganya. “Aku tahu, apa yang kamu inginkan”? Dia menebak pikiran Sam dan Sam memang umurnya lebih muda daripada Natalie. “Bersepeda memutari komplek rumah ini” kemudian dia melanjutkan kata - katanya, dalam pikiran Nataliepun melakukan itu sejenak untuk melupakan pikirannya tentang Patrick tetapi justru semakin menghantuinya. Senja di sore hari, mereka bersepeda mengelilingi komplek tersebut, dan sampai waktu malam tiba, Natalie bersiap - siap untuk kerumah Patrick, dia sudah menunggunya di teras halaman.
“Patrick” Natalie memanggilnya dari luar pagar, dan Patrick membukakan pagarnya kemudian Natalie masuk, dia terlihat tampan hari ini dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan celana pendek hitam.
“Aku tidak tahu kenapa aku merasa benci akan sesuatu” dia berkata sambil menunduk dalam. “Aku benci jadi sahabatmu sebenarnya selama ini dan menurutmu apakah aku orang yang tepat untuk menjadi sahabat”? Natalie bertanya getir, tiba - tiba saja Patrick meremas telapak tangannya tanpa kata, dan hanya memalingkan wajah kearah kanan. “JAWAB AKUUUU”!!!! Natalie berteriak keras, dan Patrick tersenyum padanya. “Aku tidak memaksa siapapun untuk berteman denganku, tapi kamu sendiri yang dulu menginginkan persahabatan ini” dia berkata polos, dan Natalie hanya menggeleng lemah. “Yah aku tahu maaf” Natalie melepas pergelangan tangannya, wajah Patrick berubah perhatian kepadanya. “Kalau ada masalah ceritakan padaku” “Terlalu sulit untuk mengatakannya” Natalie menggeleng lesu, dan kemudian Patrick mengajaknya masuk ke halaman, dia mengambil gitar dari dalam rumahnya dan memainkannya disamping Natalie, gadis itu tertunduk sambil tertegun diam mendengar Patrick bernyanyi dan Natalie mendesah sambil, merunduk dalam. “Patrick kamu terlalu baik kepadaku” Natalie menoleh kearahnya. “Natalie kamu adalah sahabat setiaku” Patrick berkata lembut sambil memeluk bahu Natalie, sikapnya bukanlah justru menunjukkan rasa sahabat tetapi sesuatu yang lain Natalie lamban laun bisa merasakan hal itu.
“Patrick sudah mulai larut malam, thanks lagu The Corrs untukku barusan” Natalie berdiri dan rasa dihatinya semakin berkata lain, Patrick ikut berdiri di depannya. “Sebenarnya aku juga bosan menjadi sahabat tapi aku ingin tetap menjaga kesetiaan yang tidak pernah berubah ini” Patrick menyahutnya lembut. Natalie mengiyakan hal itu, jika bosan untuk bersahabat dan sebenarnya dari awal tidak mau menerima pertemanan dengan Patrick mengapa rasanya Natalie waktu itu menyetujuinya, hari demi hari dilewatinya dan tiba - tiba saja Natalie melihat Patrick berdua dengan sahabatnya sendiri mesra.
Air mata Natalie jatuh tak tertahankan, rasanya hancur perasaannya tanpa Patrick paham apa yang dirasakan Natalie sebenarnya kepadanya.
Part 4 Terpendam
Natalie, duduk di taman sekolah sambil mendengarkan walkman, sejak melihat itu sikapnya kepada Emily menjadi berubah, tetapi dia menahan pedih rasa cemburunya, karena rasa cinta terpendamnya pada Patrick yang tertahan selama ini kepadanya sejak awal bertemu, Emily y Menghampiri Natalie di taman dan dia melihat Natalie menangis. “Why you crying”? Dia bertanya perhatian, Natalie tersentak sambil melepas walkmannya di telinganya. “Aku lebih baik sendiri saja” dia berkata sayu, melihat kearah Emily kemudian mengusap air matanya dan meninggalkannya di taman, Patrick yang melihat Emily sendiri disana menghampirinya untuk duduk disebelahnya. “Natalie, sepertinya cemburu karena aku dekat denganmu, bisakah kamu menjauhiku”? Dia bertanya pelan, mata Patrick terbelalak mendengarnya, dan berdiri disamping Emily. “Kamu tidak pernah tahu rasanya jadi aku” dia menggeleng lemah. Emily hanya duduk di kursi tersebut, terisak mendengar setiap ucapan yang dikatakan Patrick, laki - laki yang hanya mampu sebatas mendekati gadis saja tapi tidak bisa mengungkapkan perasaannya, Emily berlari dari tempat sana dan apa yang dibenaknya sudah pasti akan terjadi, dia dimusuhi oleh Natalie karena cemburu dan Emily tahu perasaan sebenarnya Natalie pada Patrick belum bisa diungkapkannya sampai sekian detik waktu.
Namun mereka tetap akrab bagai pinang dibelah dua, namun Patrick sudah menghancurkan perasaan Natalie, dan entah bagaimana seakan Natalie masih mengharapkannya diatas keyakinannya jika dia tidak akan gagal. Emily masuk ke dalam ruang kosong di sekolah dia menutup pintu dengan keras dan menangis disana, meluapkan emosinya yang ada. Sedangkan Natalie duduk sambil berjongkok dibawah loker, air matanya sudah mengering disaat nama Patrick menghiasi hatinya, derap langkah sepatu terdengar dari kejauhan dan Natalie berdiri menghadapinya, Patrick kini di hadapannya.
“Aku mengenalmu dari SMP, dan aku tahu siapa kamu dengan jelas”!! Tegas Natalie. “Aku mengerti” hanya itu yang bisa Patrick katakan padanya. “Siapa yang kamu pilih sekarangggg”!! Dia berteriak keras, dan Patrick tetap hanya membisu seribu bahasa Natalie mengguncang pundaknya kemudian tanpa sadar jatuh dalam pelukannya dan Patrick membiarkannya.
“Aku hanya ingin tidak dipermainkan” dia berbisik di telinga Patrick, Emily yang berada di ujung sana mengeluarkan air matanya. ���Katakan Patrick sejujurnya….” dia mendesak. “Emily” dia menyebut nama itu dan Natalie menangis meraung dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa keluar dari hatinya, entah apa yang sebenarnya dirasakan Patrick tapi dia nampak bimbang dan resah, ada sesuatu yang justru bukan itu jawabannya.
Natalie semakin membenci Emily sejak saat itu, dia bahkan menjauhi dirinya tapi tidak sanggup kalau menyakitinya tanpa disakiti sekalipun Emily sudah merasa sakit oleh perasaannya sendiri karena telah merebut pujaan hati sahabatnya sendiri.
Emily kini memiliki teman baru namun dia tidak seperti Natalie yang lebih perhatian dengannya pertemanan itu seperti rasa yang dipaksakan olehnya karena Emily merasa takut untuk menegur Natalie dan dia selalu menjawab tidak enak belakangan ini, Emily tahu perasaannya.
Part 5 Allyson
Allyson sosok gadis yang acuh dan cuek, tidak banyak memikirkan orang lain, Emily menjadi merasa kesepian karenanya meskipun dia mendapat teman baru, pada saat itu dia bertemu dengan Natalie di cafetaria dan Natalie membawa makanannya untuk ditaruh diatas meja, tiba - tiba saja.
“Brakkkk”!! Dia memukul meja dengan kuat didepan Emily, tatapan dirinya sudah seperti musuh besarnya namun Emily dapat membaca isi perasaan Natalie yang sebenarnya. “Aku mau duduk disini dan kenapa harusss ada gadis freak seperti kamuu”!!! “Dasar gadissss tidak tahu diri, dasar anak norak” Natalie menghina habis - habisan Emily “Dan teman kamu sama noraknya dengan kamu” dia menunjuk kearah wajah Allyson dan Allyson dengan sekejap menampar wajah Natalie dengan keras.
“Aku sebenarnya tidak cocok berteman dengan Emily” dengan tegas dia mengatakan hal itu dan Natalie menjadi terdiam, Allyson meninggalkan Emily yang sedang sendiri berdiri di hadapan Natalie, pada saat itu Patrick melerai mereka semua, dan menarik pergelangan tangan Natalie ke suatu tempat.
“Natalie kamu harus dengar ini”!!! Dia berusaha untuk mengatakannya dan Natalie menunggu kata - kata itu.
“Akuu” dia berusaha untuk menyatakan cintanya tapi mulutnya terasa terkunci, hari demi haripun terus berlalu, entah kenapa sejak kejadian itu Natalie menjauhi sejenak Patrick untuk menenangkan pikirannya sendiri hingga tiba saatnya pada saat kelulusan SMA, Patrick meninggalkan sekolah dengan kalimat masih menggantung di hati Natalie, kini Nataliepun duduk di bangku kelas dua belas.
Dan saat dia akan mulai mendekati ujian SMA, ingatannya kembali pada Patrick namun dia sudah lama tidak pernah berhubungan dengannya lagi dan Patrick kini tidak tahu kemana
Part 6 Menghilang
Ujian kelulusan tinggal menghitung berapa hari, dan Patrick seperti sudah hilang ditelan bumi, tapi perasaan Natalie tidak pernah hilang untuk tetap menyimpan nama Patrick, dulu waktu di kelas sebelas dia sempat cemburu dengan Emily dan menjauhi, tetapi kini justru Natalie semakin memikirkannya, Emily sendiri seakan tidak pernah menghindar dari apa yang Natalie lakukan padanya, karena rasa bersalah meliputi dirinya, Emily sendiri mengorbankan perasaannya menerima sakit sendiri dihatinya, memiliki teman baru seperti Allyson memang menyakitkan, Allyson kalau mengirim pesan sms kepada Emilypun bukan seperti Natalie yang sangat perhatian kepadanya dan Emily tidak pernah lupa akan kata - kata Allyson kalau sebenarnya tidak terlalu cocok berteman Emily. Inikah yang disebut memaksakan diri melakukan hal yang sebenarnya tidak mungkin bisa dilakukan….?
Allyson, dengan ceria masuk ke dalam kelas, dia tersenyum, kepadanya namun terlihat tidak memperdulikan perasaan Emily saat ini, ekpreksi wajahnya dia berkesan hanya ingin mengobrol untuk kesenangannya sendiri. “Hi” dia menyapa Emily dan dia hanya tersenyum, Allyson tidak peduli ekpreksi wajahnya. “Aku mau traktir kamu selepas ujian nanti, kita akan bersenang - senang ke Disneyland” dia menawarkan ramah. “Aku ingin lebih baik mencari informasi universitas untuk kuliah nanti” Emily menolak halus. “Well its ok, kalau begitu aku pergi sendiri saja” Allyson meninggalkannya sendiri tanpa peduli keadaannya, sedangkan Natalie melihat mereka dari balik pintu kelas dengan meneteskan air mata, karena sikapnya yang ego Emily harus menderita batin seperti ini tapi rasa cinta kepada Patrick tidak bisa hilang dari hatinya, terlalu pedih untuk mengingat pada saat Emily berdekatan dengannya mesra, dan Patrick mengakui jatuh cinta pada Emily saat itu, tanpa mengetahui kebenarannya Natalie memusuhi Emily. Kini dia mencoba berjalan kearah Emily derap langkahnya perlahan, mendekati dirinya dan berdiri disamping kanannya dan Emily menolehnya.
“Natalie aku minta maaf” Emily pertama kalinya menegur Natalie kembali. “Tidak perlu semua sudah terjadi” Natalie melemahkan suaranya “Aku tidak tahan melihat kamu menderita karena berteman dengan Allyson yang cuek padamu, dan aku tahu semua karena kamu berusaha menjauhiku tetapi kamu justru mendapat hal yang buruk” Natalie berkata panjang lebar. Pertama kalinya Natalie bersikap lebih bijak dari sebelumnya dan Emily terlihat berpikir “Kamu yang lebih dulu melakukannya, dan aku hanya ingin selama ini juga menyendiri dulu” dia berkata dengan muram, Natalie sama muramnya dengan Emily. “Patrick sudah menghilang ditelan bumi, untuk apa kita bermusuhan lagi”! Tegas Emily kemudian, dan Natalie tersenyum mendengarnya, dia tidak dapat membendung perasaannya lagi dan memeluk Emily.
Akhirnya ujian kelulusan SMA telah tiba selama seminggu dan dari hasil pengumumannya mereka semua di nyatakan lulus termasuk Natalie dan Emily, kedua sahabat itu kini kembali berhubungan baik lagi, tetapi perasaan Natalie semakin terbawa arus oleh perasaan cinta yang belum sempat Patrick ketahui sampai saat ini, dan membuatnya semakin galau. Apakah Natalie harus melupakan Patrick, karena dia benar - benar sudah tiada tidak tahu kemana..?, Hpnya benar - benar tidak bisa dihubungi lagi.
Ada rasa yang tidak menentu di hati Natalie, beberapa hari ini pula tidak bisa tidur, selalu terbawa mimpi yang sama, seakan pertanda buruk tentang Patrick, ada suara ledakan dari pesawat yang sedang terbang di udara, malam itu Natalie tiba - tiba saja menjerit histeris karena mimpinya sendiri, dia menangis tersedu - sedu ada rasa takut dihatinya kalau Patrick benar - benar akan menghilang selamanya dihatinya.
Keesokan harinya, Natalie bergegas kerumah Patrick, untuk memastikan apakah mimpi itu benar - benar akan terjadi selama dalam perjalanan perasaannya amatlah kacau tidak karuan, dan rumah Patrick nampak kosong, air mata turun dengan derasnya perasaan cinta tidak dapat dibendungnya lagi, rasanya seperti mencintai tetapi hanyalah hampa dan Tuhan tidak mengizinkan untuk Patrick berjodoh dengan Natalie.
Seorang tetangga wanita berambut cokelat menghampiri Natalie yang berdiri didepan rumah Natalie.
“Are you find someone”? Dia bertanya
Natalie menoleh kearahnya, dengan tertegun sayu.
“Where they go”? Dia bertanya kembali.
“Sudah beberapa bulan yang lalu, mereka pergi katanya akan meninggalkan Amerika karena anaknya akan kuliah di Den Haag, tapi kami mendapat kabar kalau mereka semua kecelakaan pesawat” dia memberi tahukan.
Entah itu benar atau tidak, tapi menurut cerita wanita itu kalau dari orang yang menghubunginya menemukan identitas korban dengan nama Patrick Johnson dan keluarganya, tapi bisa saja salah karena di dunia ini ada banyak nama Patrick Johson tetapi dengan orang yang berbeda, air mata Natalie tidak dapat dibendung lagi dia menangis sejadinya dirumahnya, rasa cinta itu tidak pernah akan ada jawabannya dan tidak pernah ada balasannya serta hanya terpendam tanpa pernah terungkap selamanya.
Hari demi haripun berlalu berganti dengan tahun, dan akhirnya Natalie disarankan oleh orang tuanya untuk kuliah di Netherland, karena Jessica sudah semakin menua begitupun dengan Bram dan hanya hidup sendiri disana, jadi Natalie kuliah sambil menjaga Jessica dan Bram di negara tersebut, dari kampus mungkin jaraknya agak jauh dari rumah Jessica namun tidak masalah, dan satu hal juga Natalie sudah tidak pernah mengingat nama Patrick lagi karena baginya Patrick hanya tinggal kenangan di dalam hati, untuk apa bagi Natalie mencarinya karena Patrick benar - benar bukan jodohnya,
Dia jodohnya Tuhan sekarang ini, dan Patrick juga meninggal, rasanya wanita tetangganya itu tidak bohong padanya, tapi apa rasanya orang yang mengalami cintanya tidak tersampaikan.
Part 7 Laki - laki Misterius
Di kampus itu Natalie berjalan perlahan menelusuri lorong antara deretan loker dan duduk di anak tangga Fakultas Ekonomi, dia diterima di salah satu Universitas di kota Den Haag, nafasnya dihembuskan dari mulut sambil melihat kearah kedepannya, dan kemudian menunduk, dia melihat jam tangannya masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan untuk masuk ke dalam kelas berikutnya masih nanti jam dua belas, rambut cokelatnya tergerai ke belakang, dan usianya kini delapan belas tahun, seorang gadis melangkah disamping kanannya dan berdiri menghadapinya.
“Natalie, kita ke perpustakaan yuk, untuk mengerjakan tugas” dia mengajaknya “Sebentar lagi Alina” Alina adalah sahabatnya selama Natalie duduk di perguruan tinggi, dia duduk disamping Natalie memerhatikan ekpreksi wajahnya sedang tertegun. “Ada yang kamu pikirkan”? Dia bertanya ingin tahu “Tidak ada” Natalie menggeleng, lalu beranjak berdiri sambil menarik tangan Alina, wajahnya berubah semangat, untuk ke perpustakaan, ada keresahan tidak menentu sebenarnya dari dalam jiwa Natalie. “Ayo kita kerjakan tugas sekarang” dia terlihat menggebu, kemudian Alina mengikutinya keduanya berjalan kearah perpustakaan, dan disana mereka mengerjakan tugas bersama sambil membahasnya, dengan berdiskusi bersama.
Setelah pulang kuliah di sore hari, Natalie menonton Tv, di sofa berwarna merah dia teringat akan Larry dan Zayn kedua kakaknya yang kini telah menikah dan memiliki kehidupan baru dengan keluarga baru mereka, Zayn sekarang tinggal di Florida bersama Lily istrinya dan Larry tinggal di New York dengan istrinya Vanessa tetapi yang sudah memiliki anak pertama adalah Larry yang tertua, Zayn istrinya baru mengandung empat bulan.
Jessica keluar dari kamarnya, dia menginjak lantai kayu dengan sandalnya, dan hawa dingin semakin terasa karena akan mendekati malam, Jessica mengenakan jaket berwarna putih, kemudian Bram baru saja dari luar dia suka berkunjung kerumah temannya sekedar mengobrol dengan secangkir kopi, Natalie melirik kearah Jessica kearah lebih dulu yang duduk disampingnya dan Bram tersenyum sambil melintas di depan Tv, untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Perasaan kalau dipendam tidak pernah dikeluarkan akan semakin membuat pedih” dia menasehati Natalie. “Percuma, Patrick sudah meninggal, dan itu sepertinya memang keluarga Johnson nama keluarga Patrick, aku berpikir demikian dan aku sudah lelah” dia meneteskan air matanya sepertinya kesedihan itu selama ini sebenarnya dipendamnya dan Natalie hanya berpura - pura melupakan Patrick.
“Ja, Oma tahu perasaannmu” dia mengelus rambutnya perhatian. “Aku mencintainya dan benar - benar mencintainya” Natalie berguman sendiri, dalam pikirannya mungkin saja perasaan yang masih menggantung akan sebuah kalimat tidak tersampaikan itu bisa tersampaikan kalau dia bisa menemui Patrick di dunia lain, tapi rasanya sungguh berdosa kalau Natalie bunuh diri, namun mencoba melupakan Patrick selama ini bagai hanya kepalsuan belaka isi hatinya.
“Aku lelah menipu diriku sendiri, untuk mencoba tidak memikirkan Patrick lagi karena teryata aku tidak bisa melakukannya, perasaanku masih sama seperti yang dulu” Natalie berpikir dirinya sendiri.
Bram ikut duduk disampingnya, sambil memainkan Hpnya dia menerima WhatsApp dari Rina yang menanyakan kabar putri satu - satunya.
“Mamamu mengirim pesan” Bram memperlihatkan layar Hpnya dan Natalie hanya mengangguk lesu. “Aku mau telepon mama dan papa dulu kalau begitu” Natalie masuk ke dalam kamarnya kiranya dia bisa sejenak menghibur dirinya dengan berbicara di telepon dengan orang tuanya di Amerika.
“Halo” Natalie menaruh layar di telinganya dan terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon.
“Hi, nak apa kabar, bagaimana kuliah kamu disana”? Suara Rina terdengar meletup
“Baik” Natalie menjawab dengan semangat
“Jaga Oma dan Opa baik - baik yah” dia berpesan sambil mengakhiri pembicaraan.
Malam harinya pada saat Natalie sudah tidur, mimpi itu tidak datang lagi seolah Patrick memang benar - benar pergi selamanya.
Keesokan harinya pada saat di dalam tramp menuju kampus, di pagi yang langit biru dan hawanya lebih dingin dari biasanya, Natalie duduk di pinggir jendela, matanya menatap kosong kearah ke jalan, dan pada saat berhenti di sebuah halte, seorang lelaki dengan kemeja kuning masuk ke dalam bis dengan dua orang temannya, kelakuannya seperti mencerminkan laki - laki yang bersikap kampungan, dia tertawa keras - keras, padahal orang yang duduk di belakang mereka sudah melotot dengan tajam, mestinya orang - orang yang tinggal disini sangat menjaga sikapnya tetapi dia tidak, mereka berbicara menggunakan bahasa setempat dan terlihat penduduk asli, laki - laki itu menyandang ransel di bahu kanannya.
“Shut upppp”!!!! Natalie bertreriak dari jauh, wajahnya diperlihatkan sedang emosi, Natalie mengira dia akan diam tetapi sebaliknya, dia melotot kearah Natalie.
“Baru kali ini yah ada yang berani denganku” dia bersikap seperti jagoan yang sangat arogan dan tidak terkalahkan. “Sudahlahh, dia juga hanya seorang gadis” temannya menepuk bahunya dengan tertawa terbahak - bahak. “FREAK YOU”!!!!! Mendengar kata - kata itu, emosinyapun langsung meledak.
“Heyy kamu ini siapa yahhh, berani sekali rasanyaaa kamu tidak tahu siapa aku”? Dia bersikap sombong.
“I DONT KNOW”!! Natalie membentak dengan keras, dan pada saat meninggalkan kendaraan rupanya laki - laki itu masuk ke dalam kampus yang sama, hanya saja dia berjalan kearah Fakultas yang berbeda, dan rasanya benar - benar seperti dunia akan hancur kalau satu kampus dengan laki - laki arogan, sombong, dan kampungan serta tidak tahu aturan begitu.
Natalie masuk ke dalam gedung fakultas dengan perasaan menggebu emosinya dia duduk di taman sambil membuka laptopnya dan Alina menghampirinya dari kejauhan, lalu duduk disampingnya nafasnya terdengar ngos - ngosan. “Kamu memang habis lari marathon ha…ha…ha” Natalie meledeknya sambil tertawa pelan. “Enak saja, aku dari tadi sedang mencarimu” Wajah Alina nampak cemberut.
Kemudian Natalie terdiam sejenak, dan memandang kedepan melihat rumput disana, dan Alina memerhatikan dirinya sambil memiringkan matanya, menatapnya ingin tahu isi hatinya namun Natalie tiba - tiba saja berdiri sambil menyandang ranselnya di bahu kanan, dan meninggalkan Alina disana.
Dia berjalan melangkah menelusuri lorong kemudian masuk ke dalam Cafetaria, Natalie masih ada kelas nanti jam dua belas, dan sekarang baru jam sebelas, Natalie mengambil nampan makannya dan memilih Burger di dalam etalase kaca kemudian mengambil juice strawberry dan membawanya kasir untuk membayar lebih dulu, baru duduk di kursinya.
Dia menyuap burger sambil menghadap etalase makanan prasmanan tersebut dan laki - laki yang barusan di tramp melintasj dirinya, dia selalu tidak pernah sendirian, pasti bersama dua orang temannya tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya piring disisir kesamping belahannya.
“Brakkkkk” suara meja dj hentakkan membuat Natalie tersentak menoleh ke arah disamping kirinya, rupanya dia juga tukang bully orang yang terlihat lemah. Seorang mahasiswa nampak takut memandang wajahnya, dia tidak berani menatap matanya.
“Semester berapa kamu”? Dia bertanya kasar “Vierr” dia menjawab dengan suara gemetar “Ja anak baru angkatan kencur sudah berani dengan yang lebih tua, kamu ikut komunitas basket denganku tapi kenapa kamu kemarin tidak datang”?? Dia bertanya dengan berteriak.
“Kemarin aku masuk rumah sakit” dia merasa ketakutan.
Natalie memandang dengan menggeleng kelakuan laki - laki itu, sambil menepuk dadanya rasanya kalau di kampus disini tidak pernah ada senioritas tapi mereka melakukannya dan rasanya hanya mereka saja yang melakukan itu, dan nampaknya kedua temannya itu justru mengompor - ngompori.
Dan hanya mereka yang melakukan seperti ini, ada seseorang yang melihat mereka dan dia seorang gadis hendak mendekatinya.
“Kamu jangan berbuat onar lagiii, kalau sampai pihak dosen tahu, bisa - bisa kamu kena sanksi dan ini kampus bukan tempat berkelahi”!!! Dia berteriak tidak suka melerai kelakuannya.
“Bisa - bisa nama baik kampus kita tercoreng” dia memperingatkan.
Natalie yang melihat perkelahian itu, teringat kalau dulu Hendra pernah bercerita waktu dulu kuliahnya sangat nyaman dan tidak pernah ada kejadian yang mencoreng nama baik kampusnya. Dan memang waktu Natalie pertama kali kuliahpun tidak ada yang namanya dikerjai oleh senior namun yang dilakukan laki - laki itu bukan seperti mengerjai junior melainkan seperti merasa sok berkuasa.
“Alaah, kamu itu perempuan tidak usah ikut campur urusan laki - laki” dia menyahutnya dengan pedas, kata - kata itu sama persis seperti yang dilontarkan kepada Natalie pada waktu di bis seperti meremehkan perempuan. Natalie ingin ikut membela namun dia tidak ingin masalah menjadi besar.
“Okeeyyy jadi kamu mau apa”!!! Perempuan yang disebelahnya terlihat marah. “Itu urusanku” dia berkata sinis, dan tangannya yang meremas kerah baju korbannya dilepaskannya dan meninggalkannya tidak berdaya begitu saja, laki - laki itu nampak sangat ketakutan hingga matanya melotot tajam.
Dan pada saat dia berjalan keluar cafetaria, dirinya melintasi Natalie di belakangnya sejenak dia memandangnya dengan tajam baru melanjutkan langkah kakinya dan Natalie hanya terdiam terpaku disana.
Kejadian itu tidak pernah bisa dilupakan olehnya, matanya masih terbayang kelakuannya, pada malam harinya Natalie sedang berjalan di sebuah taman, dan dia teryata juga ada disana, duduk melamun dalam sebuah kursi, kali ini dia sedang sendiri. Dan sepertinya sikapnya jauh berbeda dibanding di kampus.
Yah sikapnya memang terbilang misterius kasar, arogan, seenaknya sendiri, tidak tahu aturan, urakan tapi dia memiliki hal yang terselip di hatinya, Natalie melihatnya dari jauh dia baru menerima telepon, dan teryata mahasiswa yang kemarin di bully olehnya bukan hanya sekali saja mengalami, karena dia menjadi tertekan dia mengadu pada orang tuanya dan kini wajahnya berubah cemas, dia meninggalkan kursinya dan terlihat akan pergi ke suatu tempat.
Keesokan paginya di kampus, laki - laki itu nampak berbuat masalah lagi, dia kali ini menghina seseorang mahasiswi di grup Facebook hanya karena dia mengirim WhatsApp tidak dijawab olehnya.
Begini kalimat bunyinya
“Dasarr yahhh punya hp tapi seperti tidak punya jangan - jangan hpnya itu juga nomornya membohongiku hufff buang saja hpnya kalau begitu, dasar anak orang kaya sombong”
Dan kalimat itu menyakitkan hatinya tapi yang Natalie sedang pikirkan memang ada sesuatu tersembunyi dari dalam dirinya dia menyinggung soal orang kaya.
Kelihatannya dia juga tidak punya teman selain dua orang temannya itu, mungkin karena jengah dengan sifatnya.
sore harinya pada saat pulang dari kampus Natalie duduk di tramp, dan laki - laki itu juga masuk kembali ke dalam tramp yang sama, disana sudah penuh orang dan kursi yang tersisa hanyalah disebelah Natalie mau tidak mau dia harus duduk disana.
“Kamu lagi”? Dia menegur Natalie dengan sangat tidak ramah, karena mengingat kejadian awal bertemu dengannya.
“Yah dan sebenarnya aku juga tidak sudi duduk disebelahmu” Natalie membalasnya ketus.
“Kamu sudah semester berapa memang”? Tanya Natalie kemudian. “Setahun lagi aku akan mengambil skripsi dan sebenarnya aku kuliah agak terlambat untuk mengejar kelulusan…” dia bercerita sedikit.
“Yah karena kamu seorang yang tukang berbuat onar di kampus, aku yakin pasti mata kuliah kamu banyak yang gagal” Natalie menanggapi dengan nada tidak ramah
“Itu urusankuuu, lagipula kamu ini tahu apa tentang aku” dia mulai bersikap sombong
Namun terlihat dia tidak melakukan apapun, yang lebih terhadap Natalie dia hanya cemberut kemudian menatap Natalie sinis, sikapnya memang dingin. “Siapa nama kamu”? Tanyanya kemudian, Natalie hanya menjawab datar dirinya
“Natalie” “Hans” dia menyebut namanya
Dengan sikap yang kaku pada saat bis itu berhenti, Hans turun lebih dulu dan Natalie baru belakangan, rasanya seharian dalam bis bersama orang semacam dia, gerah juga, Natalie merapikan jaket yang dikenakannya sambil memandang ransel di bahu kanan, menuju gedung fakultas kemudian menelusuri lorong, lalu membuka salah satu pintu kelas dan disana sudah ada beberapa orang yang datang, Natalie memilih tempat duduk di bagian kursi pojok dekat tembok sebelah kanan, kemudian mulai membuka laptop untuk sekedar menyimpan data tugas yang baru selesai lalu menutupnya kembali.
Proffesor Andrianus, baru saja masuk ke dalam kelas dan kemudian menaruh tasnya diatas meja dan memanggil nama absen masing - masing yang mahasiswa atau mahasiswi yang mengambil kelas mata kuliahnya kemudian memulai materi pembahasannya dan baru selesai jam dua belas.
Setelah selesai Natalie keluar kelasnya dan tiba - tiba saja dia mendapat telepon dari Oma Jessica
“Yah halo oma” Natalie menyahut telepon dengan sopan.
“Nak nanti pulang kuliah, kita hari ini beli makan saja yah diluar, opa sekalian nitip sambal goreng, dia suka sekali” terdengar suara Jessica dari seberang telepon.
“Iyah nanti aku belikan” Natalie menyudahi teleponnya
Malam hari itu…
Hans berjalan kearah sebuah pusat rehabilitas, selama ini dia kuliah sambil merawat sepupunya yang mengalami sedikit gangguan psikologi mental, orang tuanya telah tiada karena kecelakaan bis dan sejak saat itu dia mengalami trauma yang sangat dalam karena satu keluarga tidak ada yang selama, hidup sendiri bagai kapas yang tak bertuan dan sayap yang patah hanya tersisa oleh luka berdarah.
Hidup Hanspun harus mengurus dirinya karena hanya dia sepupu terdekatnya meski jarak negara memisahkan, gagal sudah impian juga untuk masuk ke universitas tidak main - main itu hancur sudah hidup dan mungkin lebih baik mati.
Dibalik sifatnya yang yang seenaknya di kampus teryata dia sosok yang bijak, sosok yang justru menyimpan kebaikan yang mereka tidak ketahui, penyebab sifat buruk Hans selama ini adalah karena dia merasa orang - orang kaya adalah orang yang kejam, terutama kalau dia seorang gadis, karena kekayaan yang dimiliki oleh sepupunya dulu jatuh begitu saja karena keadaan dirinya, bahkan Hans yang bukan orang berkecukupan harus menyisikan uang kuliahnya untuk biaya perawatan.
Di dalam lorong dia masuk ke dalam dengan ukuran besar dan sepupu Hans duduk dengan tatapan kosong diatas ranjang, air matanya menetes seperti kalau mengingat tentang Amerika Apalagi tentang bis yang membawanya bernasib tragis.
“Kamu makan dulu yah” dia berkata ramah sambil menyuapkan makan padanya
“Natalie” tiba - tiba saja dia menyebut nama itu, dan nama itu membuat Hans berpikir rasanya nama itu tidak asing di telinganya, namun tidak mungkin kalau Natalie teman kampusnya.
“Patrick, Natalie siapa yang kamu maksud”? Dia bertanya dan Patrick hanya diam saja, keresahan mulai menerpa dirinya, baginya mustahil kalau itu adalah Natalie gadis itu.
“Makan dulu saja yuk” Hans menyuapkan makan ke dalam mulutnya lagi, dan Patrick hanya bisa meneteskan air mata, dia sudah tidak bisa bicara layaknya orang normal selama ini dia hanya diam seribu bahasa dan pertama kalinya dia menyebut nama Natalie.
Jadi selama ini yang mengalami kecelakaan pesawat itu adalah keluarga Johnson yang lain yang nama keluarganya serupa dengan nama keluarga Patrick, dan sebenarnya keluarga Patrick mengalami kecelakaan bis pada saat mereka pindah ke Den Haag dan Patrick hendak kuliah disana.
Part 8 Keresahan
Di tempat yang berbeda Natalie sedang, membayar di kasir dia baru saja membelikan makanan kesukaaan Bram dan Jessica, pada saat di trotoar jalanan tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang gadis, Natalie melihat seperti gadis yang bersama Hans waktu itu, dia tersenyum pada Natalie sambil membantunya berdiri.
“Kamu Natalie kan anak dari fakultas ekonomi”? Dia bertanya
“Yah benar” Natalie hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkannya, entah bagaimana tiba - tiba saja perasaannya menjadi resah saat bertemu dengannya, bagai badai yang menerpa kencang dalam tubuhnya, alam pikirannya tiba - tiba menjadi kacau.
“Tidak ada yang bisa menggantikan Patrick dihatiku, biarlah aku sendiri berteman cinta yang hanyalah hampa dan cinta itu hanya aku saja yang tahu” dia berkata dari dalam hatinya.
Di sepanjang perjalanan, keresahan yang tanpa arah mengisi jiwanya begitu saja, tiba - tiba saja entah kenapa….? Natalie teringat kembali tentang Patrick, yang telah tiada di dunia dengan meninggalkan cinta yang belum sempat diketahui olehnya dari Natalie.
“Tuhan, kenapa aku harus hidup tanpa Patrick” kata hatinya bicara kembali
Air mata Natalie terasa meleleh, impian Natalie dia tetap bisa bersama - sama dengan Patrick kemana saja waktu akan membawa pergi, tapi adilkah hidup…? Jika Patrick yang harus pergi dulu darinya.
Sulit rasanya untuk saat ini membuka hati pada yang lain, biarlah Patrick hilang tetapi cinta tetap hidup di jiwa.
Rasanya Natalie ingin sekali, mencari makam Patrick, tapi dimana…? Dan sepertinya jasad Patrick sudah tidak utuh lagi, tapj biarlah Natalie memeluknya, menangis di samping dirinya “Aku mencintainya, tapi kenapa Tuhan membiarkan cinta itu hanya menggantung dalam hatiku tanpa mendengarkan dulu perasaanku padanya…”
“Patrick apakah yang kamu katakan itu benar adanya, kalau kamu mencintainya.., bukan aku, tapi kenapa kamu justru memberikan hatimu padaku, dan kamu tahu perasaan ini sama” Natalie berkata dari dalam hatinya,
“Emily yah, aku harus menghubunginya” dia berkata lagi dari dalam hati.
Malam harinya keresahan yang semakin menjadi puncak di jiwa, semakin membuncah Natalie meremas Hp dalam genggamannya dan mengirim whatsapp pada Emily.
“Emily apa kabar”?
“Baik” dia menjawab singkat
“Bagaimana kuliahmu dj Den Haag”? Dia bertanya kembali
“😊”
Entah apa maksudnya Natalie hanya memberikan simbol smile di layar balasan whatsapp
Emily membalas emoji tersebut
“😮”
“aku ingin membahas tentang Patrick yang selama ini sudah terkubur lama”
“Natalie sudahlah.., aku tahu perasaan kamu” Emily langsung menyahutnya
“Kamu tahu sesuatu tentang Patrick”? Natalie mendesak Emily hingga akhirnya dia harus mengeluarkan perasaannya pada Natalie.
“Patrick, tidak pernah mengatakan apapun padaku waktu itu, bahkan dia juga tidak pernah menyatakan cintanya padaku, sama halnya dengan dirimu. Aku merasa juga sebenarnya ada yang janggal darinya dan kini telah terkubur selamanya tanpa terungkap” Emily menulis panjang lebar di whatsapp
Hal itu membuat Natalie berpikir, dia harus menguak misteri tentang Patrick, namun bagaimana caranya, andai saja dia bisa menyusulnya mungkin misteri itu akan terungkap.
Part 9 penyelamat hidup
Di malam itu, Natalie berjalan sendirian dalam sebuah taman, pikiran tentang Patrick akhir - akhir ini semakin menghantuinya, pikiran yang terselubung tak mampu di tahannya lagi, air mata menetes sambil di kursi taman itu, kemudian beranjak dari kursi untuk berjalan kearah Tengah jalan rasanya memang benar - benar semua tidak berarti lagi, sebuah kendaraan Sedang melintas dengan ngebut hendak menabrak dirinya, tapi ada seseorang yang menarik tangannya dari arah samping, dan tubuh Natalie terjatuh kearah samping tengkurap memeluknya dan setelah dia sadar, matanya terbelalak memandang laki - laki yang telentang memeluknya.
“Hans” dia menyebut namanya wajahnya tercengang, tidak percaya kalau teryata laki - laki menyebalkan seantero kampus menyelamatkan hidupnya, Natalie berdiri lebih dulu kemudian merapikan kemeja serta jaket yang dikenakannya, Hans juga ikut berdiri disamping kirinya.
“Memangnya tidak ada orang lain apa, sepertinya kemana - mana selalu ada kamu….” Natalie mengeluh.
“Kalau kamu hantu, aku sudah panggilkan pengusir hantu buat mengusir kamu selamanya…” dia menambahkan kalimatnya.
“Dasar yah perempuan tidak tahu dirii…” Hans membalasnya dengan ketus.
“Daripada kamu, anak tidak pernah diajari oleh orang tuamu yang baikkk”!!!! Natalie memekik keras.
Mendengar ini, emosi laki - laki itu menjadi bertubi - tubi, entah apa yang dirasakannya seperti kata - katanya amat menyinggung perasaan dirinya, tangannya mengepal ingin menampar wajah Natalie namun dia menahannya, apa yang tersimpan dibalik dirinya, Natalie melotot memerhatikan wajahnya dengan tajam, diapun membalasnya, wajahnya marah benar - benar tidak biasa dan kini Natalie merunduk, dia merasa takut.
“Aku minta maaf, aku hanya merasa sebal dengan kelakuanmu di kampus” dia mengungkapkan perasaannya.
Natalie benar - benar sadar, jika seseorang itu terlihat tidak sempurna dari luarnya maka justru dari dalam dirinya jauh lebih sempurna, Hans menatap wajah Natalie, dan teringat akan sepupunya yang mengucap nama Natalie, namun rasanya ada ratusan nama Natalie di dunia dan bisa saja Natalie lainnya bukan yang saat ini bersamanya.
Entah bagaimana, dia seperti ingin mulai mendekati dirinya dan mengubah sifat buruk dirinya sejak mengenal Natalie, tetapi Natalie masih terperangkap dalam kisah lalunya bersama Patrick dan mau sampai kapan dia belum juga bisa mengubah kehidupannya.
Ada sebuah perkataan yang menyadarkan dirinya dari Natalie dan itu yang membuatnya sadar akan kesalahan di masa lalu dirinya, dia tidak lagi membully orang atau berbuat masalah seperti dulu.
Natalie memikirkan kejadian itu, pikirannya semakin menjadi rumit baginya, ada rasa yang tak bisa untuk seculi saja menghilangkan rasanya pada yang lain, sampai kapanpun hanya boleh nama Patrick yang singgah dihatinya
Dia baru selesai mengerjakan tugas, lalu melihat buku yang tergeletak disampingnya. Buku hariannya dulu tentang Patrick, Natalie hendak meraihnya namun suara ketukan pintu dari luar mengagetkan dirinya.
“Iyah oma” dia menyahut sambil menutup laptopnya kembali, kemudian berjalan kearah pintu kamarnya untuk membukanya, dan Natalie berdiri dari ambang pintu.
“Kamu kapan liburan semester”? Dia bertanya
“Sejauh ini masih perkuliahan biasa”? Jawab Natalie.
“Mama dan papa, katanya akan berkunjung kemari kalau kamu sudah liburan semester dan mungkin kita akan jalan” Jessica memberi tahukannya.
“Yah, oma” Natalie kemudian menutup pintunya kembali, ada hasrat kalau dia ingin membuka harian miliknya, namun Natalie sudah tidak kuasa lebih dulu menahan air matanya melihat foto Patrick terselip di sela halaman buku, tangannya terasa gemetar dan tanpa sadar menjatuhkan buku tersebut, sulit untuk mengembalikan waktu yang telah berubah kecuali dengan melakukan bunuh diri, karena hidup di dunia adalah butuh cinta.
Siapapun dia tetap membutuhkan cinta dengan lawan jenisnya dan kelak akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat. Rasanya fana bila hidup tanpa cinta dari kekasih, dan kekasih Natalie hanyalah Patrick meski belum menjadi resmi kekasihnya tetapi hanya tambatan hati.
Sampai detik ini, baginya masih sulit bangkit dari terpuruk di masa lalu karena cinta, dia masih merasa Patrick itu hidup walau sudah tiada, hidup sampai kapanpun di hati dan cinta tak pernah mengenal batasan waktu atau jaman telah berubah.
Dalam tempat yang berbeda, Hans juga memikirkan kejadian itu, hatinya merenung tentang Natalie, dia sosok yang berbeda dari yang lainnya, dan hal itu yang membuatnya akhirnya sifatnya berubah.
Tetapi sebenarnya ada gadis lain yang mengejar dirinya, sejak dulu, gadis itu bernama Marion, gadis yang waktu itu melerai perkelahiannya dengan laki - laki yang berada di cafetaria, namun Hans tidak mudah untuk jatuh cinta begitu saja, dia tidak ingin sosok perempuan seperti mamanya dulu yang meninggalkan papanya dengan wanita lain, hal itu yang membuat awalnya laki - laki ini, berpikir semua wanita adalah sama, tetapi lain hal dengan Natalie yang justru sulit berubah untuk menjalani hidup barunya, menerima kenyataan kalau Patrick bukanlah jodoh untuknya.
Kegagalan cinta memang menyakitkan, apalagi kegagalan itu jika cinta itu hanya bertumpu pada harapan yang semu, mau sampai kapan hidup Natalie terus begini, tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
Namun Hans tidak tertarik padanya, Marion sosok gadis yang ego dan keras kepala untuk mendapatkan sesuatunya harus terpenuhi. Hans membuka pintu kamarnya dan menelusuri setiap sudut ruang untuk berjalan kearah ruang tv, rumahnya memang tidak besar karena dia bukan orang yang berkecukupan.
“Jika ada tawaran ada yang bisa aku kerjakan, mungkin aku boleh melakukannya” dia berkata pada Elena mamanya.
“Kamu tidak khawatir dengan masalah student pass kamu” laki - laki itu tahu yang dimaksud dan resikonya jika ketahuan dia bekerja sambil kuliah, tetapi uang yang disisihkan selama ini sudah banyak dikeluarkan demi membayar biaya perawatan Patrick dan itu uang Elena, bukan dari hasil tenaganya sendiri, sebagai laki - laki yang sudah dewasa baginya harus bersikap dan punya tanggung jawab lebih besar kalau perlu pengorbanan yang membuatnya lemah dan menderita.
“Aku tidak peduli dengan student pass, aku dulu sudah sering berbuat onar juga, dan sekarang aku ingin benar - benar juga, mereka sudah mengenal sifatku yang tidak baik dan mama pernah terseret juga ke dalamnya” dia berkata panjang lebar.
“Aku tahu itu bukan sebenarnya dirimu” dia mengelus rambutnya dengan bijak, ada perasaan yang menyelinap kembali di hati tentang nama Natalie di waktu yang bersamaan, dia menghela nafas panjang lebar.
“Barang siapa yang memang sudah menghancurkan hidupnya, sampai mati aku akan mengejar orang itu, Patrick dia sepupu aku yang amat aku sayangi” dia berkata tegas, dan tahukah Hans, jika Patrick mengenal Natalie dan itu adalah Natalie yang dimaksud adalah orang yang hanya satu kampus dengannya bukan yang lain, jika tahu dia akan berbuat yang akan sangat menyakitkan pada Natalie, kalau mengetahui sebenarnya selama ini Patrick menyimpan rasa cinta pada Natalie.
Keesokan harinya di kampus, Natalie sedang di depan layar laptop untuk mengetik tugasnya, matanya terfokus pada setiap kalimat yang dilihatnya, dan Hans berbuat hal yang tidak biasa padanya yaitu mendekatinya.
Perasaan yang sudah mati dan membeku, tetap saja membuatnya bersikap datar meskipun mereka sudah tidak lagi berkelahi.
“Aku sedang mengerjakan tugas makalah yang menumpuk akhir - akhir ini” dia bercerita pada saat laki - laki tersebut menarik kursi di depan mereka untuk duduk.
“Mestinya kamu biarkan aku mati kemarin”! Suaranya terdengar dalam, dan hal ini membuat pikiran Hans ingin menembus apa yang ada dalam otak Natalie.
“Kenapa kamu berpikir begitu”? Dia bertanya
“Jangan desak aku bercerita tentang ini” jawab Natalie
“Mungkin kamu tidak pernah merasakannya” dia meneruskan kalimatnya, lalu Natalie meninggalkan tempat tersebut dan Hans masih duduk disana, rasa yang bersemayam dalam hati adalah tak biasa, dan rasa itu karena melihat melihat sifat Natalie yang lembut, pemuda mana yang tidak tertarik pada gadis lemah lembut tapi juga tidak mudah didekati, dan itu yang membuatnya penasaran.
“Sekarang aku sadar yang aku lihat bukanlah dunia yang orang tahu tentang dirimu, tapi yang mereka tidak tahu, namun maaf aku masih menyimpan perasan ini pada Patrick selamanya” Natalie berkata dari dalam hatinya.
Hans yang masih terbujur duduk disana, terpikir kembali tentang kalimat apa yang dikatakan oleh Natalie padanya tentang orang tuanya, yah memang penyebab dia mudah tersinggung kalau disinggung tentang orang tuanya, karena adanya keluarganya yang berantakan, dia menjadi sensitif dengan kalimat tersebut, karena seakan mengingatkan kembali pada perceraian orang tuanya dimana Robert papanya meninggalkan Elena begitu saja, sungguh menyakitkan, baginya dan Elena harus berperan sebagai mama sekaligus papa di dalam rumah, yah dia wanita yang tegar tapi juga wanita yang sibuk namun untungnya mampu meluangkan waktu untuknya, namun ada hal yang paling menyakitkan, dimana semua kekayaan yang dulu harus jatuh berserakan demi pengorbanannya pada Patrick, meski pedih tapi harus merelakannya, Patrick lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri karena itu Hans selalu sinis terhadap orang kaya yang nampak hanya menghamburkan uang saja tidak ada gunanya, apalagi jika anak - anak mereka dimanja oleh harta. Karena itu sikapnya menjadi seperti menjadi berkesan arogan, sombong, tidak tahu aturan, sinis, dingin dan ketus akhirnya berbuah menjadi tukang pembuat masalah karena orang menjadi menjauh padanya untuk berteman, kecuali dua orang temannya itu.
Part 9 Kebencian Paling Menyakitkan.
Natalie, baru saja keluar dari dalam toko, dan berpas - pasan dengan Alina di pinggir jalan, dan entah kenapa tiba - tiba saja wajahnya berubah menjadi serius
“Kamu mengenal Henry Walker” ?
Mata Natalie terbelalak mendengarnya bibirnya terasa membeku, dan pikirannya kembali pada patrick, jantungnya berdegup keras naik dan turun, sekujur tubuhya terasa membeku.
“Aku mengenalnya tapi tidak begitu waktu sma” Natalie mengangguk lemah.
“Dia bercerita temannya Patrick johnson” mendengar bagian kalimat ini, rasa yang semakin menyesakkan hati Natalie semakin bertubi.
“Aku hanya berpikir, kasihan dengan gadis yang selama ini hanya digantungi oleh Patrick bahkan sampai membawanya mati, itu karena Patrick tidak sanggup menyatakan cinta padanya, yang ku tahu lagi juga, karena dia punya sepupu, yang mamanya terluka karena cinta, Patrick tidak ingin mengalami seperti dirinya, dia hanya mau kalau mencintai adalah yang tulus, karena itu tidak mudah baginya mengatakan jatuh cinta pada seorang gadis manapun” dia bercerita panjang lebar, dan air mata Natalie menangis mendengarnya.
“Alina gadis yang Patrick gantungi selama ini sampai dia meninggal itu aku” Natalie berkata dari hatinya yang paling dalam.
“Je dentk kao jou”? Alina bertanya, dan Natalie hanya diam murung, bibirnya terasa membeku.
“Apa hubungannya kamu dengan Henry”? Suaranya tiba - tiba meninggi, perasaanya mulai kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, Alina mulutnya terasa dikunci rapat.
“APA HUBUNGANNYA KAMU DENGAN HENRYYY”? emosinya semakin tidak terkontrol, Alina hanya bisa bengong menatap sikap Natalie yang begitu emosional mendengar nama Patrick disebut, dan Alina merunduk merasa bersalah, telah menceritakan sesuatu yang menjadikannya masalah besar.
“Berapa nomor whatsapp Henry aku mau bicara”!! Suara Natalie terdengar serak parau, air matanya tidak dapat ditampung lagi olehnya.
“Aku adalah teman masa kecil Henry, sebelum aku pindah ke negara ini” Alina menjelaskan padanya.
“Sebenarnya selama ini dia banyak bercerita tentang kelemahan Patrick dan sesuatu yang mungkin kamu belum tahu” Alina berkata pelan - pelan.
“Aku tahu semua tentang Patrick dia temanku dari umur dua belas tahun, Alinaaaa” Natalie memekik melengking
“Jangan sebut Patrick sahabat atau teman, kalau kenyataannya yang di hatimu dengannya sama”!! Tegas Alina memotong perkataan Natalie dengan cepat.
Pada saat itu Alina yang mengenggam Hpnya menyambungkan teleponnya ke Henry kemudian setelah tersambung dia memberikannya pada Natalie.
“Halo Henry apa kabar ini aku Natalie”? Dia menangis sambil menaruh Hp di telinga.
“Bisakah kamu hubungi ke nomorku, biar Alina yang nanti memberikannya” dia langsung mengakhiri teleponnya dan rasanya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu, tidak lama Henry mengirim whatsapp pada Alina.
“Alina, berapa nomor whatsapp Natalie”?
Dan Alina langsung menulis nomornya di balasan pesan kemudian mengirimnya.
“Kamu memang butuh bicara pada Henry tentang Patrick” Alina mengangguk tegas, dan Natalie yang masih belum mampu mengontrol emosinya dia langsung jatuh di pelukkan Alina rasanya sangat menderita juga, menahan perasan cinta yang semakin malam menjadi siksa hatinya karena hanya tertahan dengan hampa.
“Natalie sabar yahhh” Alina mengelus rambutnya sambil memeluknya.
Malam hari itu….
Dirumah Hans, Marion datang kerumahnya, dia meneguk minuman yang berada diatas meja dan menaruh gelasnya kembali, tatapan matanya terasa tajam dan dingin, peragainya seperti gadis yang kejam, dia menyimpulkan senyuman kaku pada Hans.
“Belakangan kamu dekat dengan mahasiswi bernama Natalie”? Dia memulai pembicaraan
“Biasa saja” dia hanya menanggapi dengan santai.
“Bukankah kamu anti dengan orang kaya selama ini”? Perkataannya membuat wajah Hans berubah kepadanya dengan ekpreksi tidak senang.
“Kalau maksud kamu hanya bertujuan cari masalah keluar dari rumahku sekarang”! Tangannya menunjuk kearah pintu rumahnya.
“Selama ini bukankah itu kelakuanmu, hingga aku justru aku yang jengah terhadap dirimu, kamu membully orang yang lemah darimu dan, kamu membenci orang kaya, kamu tukang pembuat masalah di kampus. Karena itu kuliahmu terlambat selesai, bagus kalau mereka masih memberimu kesempatan tapi sekarang kamu berubah seperti bukan diri kamu” perkataan Marion seakan memojokkan dirinya.
“Je beb e jelouser Natalie”? Tatapan mata Hans tidak berkedip padanya.
“Kamu tahu sendiri nanti” Marion seakan mengancam dirinya.
“Apa rasanya jika cinta ditolak hingga puluhan kali, harus ada yang dibayar” dia keluar rumah dengan perasaan yang begitu marah, dan sikapnya tidak biasanya. Selama ini laki - laki itu memang sudah acap kali, menolak Marion pada saat memberikan perasaannya padanya, meskipun dia juga punya sifat buruk tapi dia tetap masih bisa untuk berpikir jernih soal cinta, sebagai laki - laki tetaplah wanita terbaik yang dipilihnya, memiliki sifat lemah lembut dan tidak agresif berlebihan.
Marion yang dibakar cemburu terdalam, berjalan kearah halte untuk menunggu bis dan dia kemudian masuk ke dalamnya, selama dalam perjalanan, dia telah menyusun suatu rencana agar Hans bisa jadi miliknya.
Cemburu berlebihan telah membutakan mata dan pikirannya, ketika dia sampai dirumahnya Marion berjalan masuk ke dalam kamar, dan dengan tanpa sadar bagai orang setengah gila dia membanting barang di dalam kamar dengan mengamuk, kemudian menjerit sambil menangis dengan histeris, Natalie harus menjadi orang paling menderita sedunia baginya.
Namun dia butuh waktu lama untuk memikirkan rencana itu dengan matang, setelah memasukki semester baru, enam bulan kemudian, dia baru menyusun rencana itu, sepertinya Marion menawarkan bekerja di restoran milik orang tuanya, namun sayangnya cara itu tidak berhasil dan akhirnya mencari siasat cara lain yang lebih cerdas.
Marion dengan sengaja, mencari tahu apa yang disembunyikan olehnya dan di ketahui oleh semua mahasiswi dan mahasiswa di kampus.
Senja diatas mentari, berwarna oranye, tanpa sadar Hans telah akrab dengan Natalie, bahkan ada rasa yang tersimpan, di hatinya, sepulang dari kampus, mereka jalan berdua menelusuri lorong keluar gedung fakultas, dan Hans melambaikan tangan dari anak tangga, Natalie tetaplah diam dan tak bergeming.
Siapapun dia, tetaplah bukan Patrick, dan Natalie tetap menjaga kesetiaannya meskipun hanya hampa belum juga terjawab, bertahun lamanya dan semakin mengikis perih hatinya Rasanya kenapa tidak menyudahinya saja tapi Patrick adalah yang pertama dan terakhir untuk Natalie.
Gadis itu, duduk di anak tangga sambil menghela nafas.
“Tuhan, aku tidak akan mengizinkan siapapun masuk ke dalamnya, tidak semudah itu membuka pintu jiwaku, aku tidak akan biarkan ada yang mencintaiku yang lain selain Patrick, kalaupun ada mungkin aku akan memilih jalan agar yang lain tidak bisa menyentuhku. Abadi bersama cinta pertama dan terakhirku. Tahukah kamu, selama ini, apa yang aku rasa itu, tolong dengarkan hatiku” dia berkata lirih dari dalam hatinya paling dalam.
Lorong rumah sakit, terdengar berdebum lantainya oleh langkah Hans disana, dirinya tak menyadari jika ada yang akan memanfaatkan keadaan semuanya. Marion sudah mengikutinya dari mulai di bis, kamar pasien dibukanya, sudah berapa bulan dia tidak kesana, karena sedang mencari uang untuk tagihannya yang semakin besar biayanya dengan menanggung hidup Patrick, dia semakin seperti orang gila, keadannya tidak terurus sama sekali, air matanya meleleh tidak tahan untuk keluar, tanpa sadar ada yang mendengar semua pembicaraannya dari luar.
Marion tersenyum kejam mendengarnya. “Aku tahu, apa yang harus aku lakukan terhadap Natalie” dia berpikir jahat.
Marion tersentak, ketika laki - laki di dalam sana, mulai membalikkan badan, sebelum dirinya terlihat dia cepat - cepat bersembunyi tapi akalnya kini sekarang sudah seperti kelinci.
Di kampus, dia menyebarkan berita kalau Hans punya sepupu sakit mental, dan dia mengatakannya kalau berita itu dia dapat dari Natalie.
Natalie yang tidak tahu apa - apa, dia berjalan masuk ke dalam kelas, ada hal yang janggal dalam dirinya, semua mata tertuju kepadanya dengan penuh kebencian, seolah Natalie adalah orang yang sangat jahat bahkan Alina juga melakukan yang sama, menuduh dirinya, mereka semua membenci Natalie, bahkan ada yang tidak menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya, padahal dia tidak melakukan apapun sama sekali, Marion tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan kali ini dengan akal yang lebih cerdik dari sebelumnya, kenapa tidak dia melakukan hal itu sebelumnya, berpikir matang.
Dia tertawa perlahan, baginya dengan cara ini dia akan mendapatkan segala hal yang diinginkannya terutama orang yang saat ini dekat dengan Natalie akan menjauhinya kemudisn bertekuk lutut di hadapannya.
Selesai perkuliahan pertama, langkah kaki Natalie menuju kearah cafetaria, Hans menghampirinya jantungnya berdegup kencang, tidak percaya jika dia menyimpan rasa cinta pada gadis yang salah, dia berdiri di samping Natalie, dengan terdiam mulutnya terkunci rapat menahan rasa kecewa.
“Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya, jika hanya melukai” dia berkata dari dalam hatinya.
“Kamu teryata gila Natalie” suaranya tidak terdengar biasanya ekpreksinya penuh kebencian.
“Apa maksud kamu”? Natalie masih tidak paham.
“Apa yang kamu lakukan terhadap sepupu aku Patrick, jadi selama ini yang kamu lakukan tanpa memikirkan perasaan dia, yahhh dia memang sekarang gilaaaa karena keluarganya semua meninggal tapi juga karena kamuuu”!!!!! Kebencian yang tersorot di mata Hans adalah yang paling menyakitkan, dibandingkan saling bencinya mereka waktu saling mengenal, dan kini juga Natalie mendengarnya sendiri kalau Patrick masih hidup tapi dia menjadi gangguan mental.
Air matanya menetes tidak karuan, dia menangis meraung tidak tahu harus apa, tanpa ada yang melerainya, rasanya penderitaan itu belumlah cukup.
“Dimanaaaaa Patrickkkkk sekarangggg”? Natalie berteriak histeris
“Aku ingin bertemu dengannya, aku mencintainya sudah lama aku memendam rasa ini”!!!!!!
“Kamu mencintainya tapi kamu menyakitinyaaaaaaaa, untuk apa kalau begitu lebih baik lupakannnnn diaaaaa”!!! Hans membentaknya keras.
“Apa maksud kamu menghina aku dan dia ke seluruh kampus, begini saja kita berjauhan saja dan jangan pernah temui Patrick”!!!
“Aku tetap akan menemuinyaaaa, dan aku tidak melakukan semua itu, percayalahhh” Natalie membantah sambil menangis, dia meremas pundak Hans tapi tiba - tiba saja.
“Prakkkkkk” sebuah tamparan melesat di pipi Natalie, dan itu sungguh menyakitkan dirinya, tanpa sadar tangannya laki - laki itu menjadi melayang, dengan amarah besar dia memandang tajam.
“Ni” dia memperingatkan kemudian meninggalkannya di tempat itu, Natalie benar - benar tidak menyangka juga kalau tetangganya yang di Amerika itu, mengatakan hal yang salah tentang Patrick teryata itu adalah keluarga Johnson yang lain dan Patrick bukan kecelakaan di pesawat melainkan di bis.
Part 10 Terlambat Untuk Cinta
Natalie, melangkah dengan gontai kearah rumahnya, apa yang di dengarnya benar - benar membuatnya tidak mampu lagi menahan kelemahan tubuhnya atas apa yang di derita oleh hatinya, dan semakin memuncak betapa rasanya perih menyayat hati mendengar perkataan Hans mengatakan hal itu, sejuta kali rasa berkecamuk dalam dirinya, Natalie meneteskan air matanya di dalam bis, sambil melayangkan mata, kearah jendela sambil menyandarkan kepalanya sambil bersedekap, bayangan Patrick dengan sangat jelas hinggap di matanya, rasanya hatinya lelah untuk terus berharap akan semu, dan ingin segala berakhir, masih teringat jelas di mata Natalie juga pada saat Hans menyelamatkan hidupnya
Mungkinkah Tuhan memberikan jalan lain untuk jatuh cinta, tapi Natalie mengabaikannya hanya karena Patrick yang selalu abadi di hatinya, rasanya perih Hans menyakiti dirinya di akhir kisahnya, bahkan tidak mau memberi tahukannya keberadaan Patrick, wajahnya penuh benci, amarah dan dendam seolah Natalie gadis tidak punya hati.
Air mata itu terus menetes, dia mencoba menghubungi Hans tapi terdengar dengan sengaja telepon tidak diangkat, dia benar - benar sudah menganggapnya musuh.
Ada satu kalimat yang sengaja juga di kirim olehnya.
“Teryata memang benar kalau gadis kaya itu hanya bisa mempermainkan orang lain, jangan tanya soal Patrick lagi, anggap saja dia sudah mati dan aku juga sudah mati”!
Bunyi whatsappnya lebih menyakitkan daripada sifatnya dulu, dan ini adalah puncak rasa benci yang lebih melukai tubuh Natalie, daripada rasa benci sebelumnya. Untung saja dia sama sekali tidak berpaling ke hati lainnya tapi, ada rasa yang menusuknya sikapnya selama ini baik padanya, dan membuatnya sempat bimbang.
Natalie tidak membalasnya, tapi hanya bisa tersedu, sepulang dari kampusnya Natalie berlari kecil ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarnya dia menjatuhkan dirinya di seprai menangis tanpa henti, hingga tenaganya terkuras oleh air matanya.
Sedangkan dalam tempat yang berbeda, Hans sedang di rumah sakit, gadis itu mulai menghasutnya perlahan, dia duduk sambil menyuapi Patrick makan. “Biaya untuk bulan ini, sudah aku yang bantu menanggungnya” dia bersikap pura - pura manis untuk menutupi iblis di jiwanya gadis itu.
“Thank” tidak biasanya Hans bersikap ramah padanya, hatinya sudah berhenti mempercayai Natalie padanya, apalagi Marion berusaha terlihat bersikap baik di depannya, bahkan dia membantu biaya rehabilitasi Patrick.
Hatinya laki - laki itu, sudah tertipu dengan kelicikkan Marion yang bagai lebih dari kelinci. Bahkan berhasil membuat Hans jatuh hati padanya dan semakin membenci Natalie.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu”? Dia bertanya lembut.
“Ja yang orang tidak tahu saja, seperti dapur restoran” dia menjawab.
“Karena kamu tahu akibatnya aku bisa gagal maju sidang skripsiku tahun depan” dia meneruskan kalimatnya.
“Yah okey” Marion mengangguk.
Lambat laun mereka semakin, akrab dia sudah buta mata hatinya pada Natalie karena Marion bahkan berpikir kalau semestinya dulu tidak usah mengenal Natalie, agar diapun tidak tahu tentang Patrick yang sebenarnya bahkan tidak berhak tahu, jadi Natalie itukah yang kerap disebut namanya oleh Patrick.
Dan kalau saja Patrick sembuh, dia akan berlari mengejar Natalie, rasanya Hans lama - kelamaan bagi cinta mereka, karena sesuatu yang salah dalam dirinya, menilai Natalie dan mendengar berita yang salah, tanpa dia sadari Marion di balik semua rencana itu.
Rasanya untuk apa juga memberikan hati pada gadis semacam Natalie, bahkan Patrickpun tidak boleh, dia tidak akan juga merebut Natalie dari tangan Patrick untuk dicintai melainkan disakiti adalah lebih pantas untuknya.
Siang hari di kampus, Natalie sedang membuka Hpnya, Hans sudah menghapus pertemanannya di Facebook, tapi ada yang lupa dia lakukan, adalah memblokir Facebooknya dan disana tercantum alamat lengkapnya di bio pengguna, Natalie langsung mencatatnya dan malam harinya dia kerumahnya.
Pintu di ketuk dua kali, Natalie berdiri di anak tangga, dan seorang wanita membukakan pintunya, matanya menatap Natalie dengan tajam.
“Excause me madame, i just want meet Hans”? Natalie bertanya dengan nada suara menenangkan diri.
“How do you know about this andress”? Dia bertanya lagi.
“From his Facebook” Natalie menjawab dengan perasaan cemas, dia menunduk dalam.
“I’m his mother” dia menyebut dirinya sendiri.
Dan saat itu ada seorang laki - laki dari dalam rumah keluar ke arah pintu dan menatap Natalie dengan marah.
“Mau apa kamu kesini”? Dia membentak dengan kasar, air mata Natalie tumpah begitu saja.
“Aku mohon Hans, please tell about Patrick” dia terisak.
“Aku adalah teman dari usianya waktu dua belas tahun, di Amerika dan ada hal yang Patrick juga harus tahu tentang aku, aku tidak melakukan semua itu. Bahkan selama ini aku mengira aku sudah kehilangan dia” Natalie menangis sejadinya.
“Jangan pikir aku tertipu oleh air mata palsu kamu”!! Hans membentak dengan suara lebih keras, kemudian mendorong Natalie untuk menjauhi dirinya dari pintu rumah, namun Natalie bersikeras untuk tetap bisa menemuinya, pintu ditutup dengan keras, gadis itu terus menggedornya dengan sekuat tenaga, dan wanita yang barusan pertama kali menemuinya membukakannya lagi.
“Pergi atau saya panggilkan polisi setempat” dia mengusir Natalie, penderitaan rasanya datang semakin membuat perasaannya remuk redam, air matanya menetes tidak karuan.
“Patrick andai kamu bisa mendengarnya, kamu bisa jelaskan semuanya dengan mereka, aku mohon.., aku tidak sanggup hidup seperti ini atau lebih baik memang kamu mati saja agar aku juga bisa mati bersamamu, dan tidak ada lagi yang menghalangi kita” dia berjalan dengan gontai menuju pulang ke rumahnya.
Tetapi hatinya tidak akan pernah menyerah, untuk bisa mencari keberadaan Patrick, mungkin Natalie harus melakukan sesuatu yang tanpa diketahui oleh Hans, ini adalah jalur resiko terbesar yang akan ditempuhnya tapi harus di lakukan demi cinta.
“Jika saja aku mampu mengembalikan waktu, maka aku tidak akan membuang waktuku dengan sesuatu yang menyakitkan begini, Tuhannn, jika saja aku tidak pernah bertemu Hans mungkin aku juga tidak pernah akan tahu tentang Patrick, tetapi tolong aku tidak ingin dipisahkan olehnya kecuali Tuhan.., aku tidak ingin kehilangan Patrick lagi”
Dia berkata dari dalam hatinya, sambil duduk di bis air matanya tidak pernah kering sampai akhirnya dia bisa bertemu oleh Patrick, rasa yang terlalu menekan jiwanya tidak pernah akan pudar. Di dalam tempat yang berbeda, Hans menghela nafas sambil sedekap, rasa benci semakin tidak berujung pada hatinya.
“Aku ingin menghubungi Marion, ada yang harus aku bicarakan padanya” dia berkata perlahan.
Kemudian dia menekan nomor telepon Marion di kontaknya, sambil menunggu telepon tersambung Elena mengajaknya bicara.
“Mama, pikir gadis itu hanya membawa sial saja pada Patrick” dia memberikan pendapatnya.
“Ja” dia hanya menyahut singkat, pada saat sudah tersambung dengan Marion barulah dia berbicara di telepon.
“Marion, aku ingin bicara ini tentang Natalie” dia berkata pelan.
“Gadis itu hanya perusak kehidupan orang kann.., aku sudah bilang” Marion berusaha mempengaruhinya lebih jauh lagi.
“I know” dia berkata perlahan.
“Tapi rasanya…., jika memang dia benar - benar mencintai Patrick” laki - laki itu berpikir.
“Halangi dia, jangan sampai dia bertemu Patrick”! Tegas Marion.
“Untuk apa, kamu memberikan hati dengan gadis yang jelas hanya pembawa sial, dia hanya menghancurkan kehidupanmu, dan juga Patrick”
Pada saat di rumah sakit, terlihat Marion juga membantu Hans mengurus Patrick, wajahnya nampak tertegun, dia semakin tertipu oleh kepalsuan sikap Marion yang hanya ingin menyakiti Natalie karena cemburu.
“Hi” dia menyapa ramah sambil masuk ke dalam kamar pasien, dan entah kenapa seolah dengan mudahnya hatinya berpaling pada Marion, namun apa gunanya pula karena Natalie tidak akan juga berpaling dengan yang lainnya, tetapi apa rasanya sakit dikecewakan oleh seorang gadis.
“Mulai besok kamu sudah mulai bisa membantu di restoran milik papaku” Marion bersikap lembut padanya
“Thanks teryata kamu gadis yang sangat baik, aku salah menilaimu selama ini” mendengar kalimat itu, Marion menyembunyikan senyuman liciknya.
“Kamu nanti di bagian mencuci piring saja…” dia menambahkan lagi.
“Oke” Hans mengangguk.
Sejak saat itu Hans mulai melakukan pekerjaannya di restoran, dan siang ini Natalie tertegun memikirkan dirinya sendiri, dalam perpustakaan, dia membayangkan jika sebelumnya pernah melakukannya pada Emily, dan itu karena cemburunya pada kedekatan Emily dengan Patrick saat itu, Natalie membuka ransel dan mencari nomor kontak Henry, dia teringat dengan apa yang harus di lakukannya, Natalie mengirim whatsapp padanya.
“Henry tolong jelaskan padaku tentang Patrick dan Emily waktu itu” tidak lama Henry membalasnya.
“Natalie, Patrick itu tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan cintanya pada gadis manapun tidak juga Emily atau kamu, dia merasa tidak berani untuk katakan cinta, dan saat itu Emily sebenarnya mengalami yang sama denganmu, dia hanya mendekatinya saja tapi tidak mengungkapkannya” hatinya seperti benar - benar tidak percaya, kata - kata Henry rasanya bagaikan mimpi yang nyata, Natalie masih tertegun, Hp di tangannya di remas dengan kuat.
“Aku tidak bisa hanya diam saja begini” dia berkata dari dalam hatinya, dengan sengaja akhirnya memutuskan untuk mengikuti Hans kemana dia pergi, diam - diam Natalie mengikuti gerakan langkah kakinya saat keluar dari gedung fakultasnya, dia bersembunyi dari jauh agar tidak ketahuan. Degup jantungnya terasa berdetak keras, dan telapak tangan berkeringat dingin, Hans belakangan juga sejak kedekatannya dengan Natalie, dia sudah jarang berdekatan dengan dua orang temannya itu, Hans baru menyadarinya jika selama ini dia hanya memanfaatkannya saja untuk membully orang biar terlihat jagoan, tapi kini dia justru dekat dengan Mario gadis berhati iblis itu.
Natalie memelankan suara langkah kakinya, agar tidak terdengar oleh Hans, yang melangkah di depannya keluar gedung kampus, dan berjalan kearah halte, lalu duduk dengan membungkukkan badan. Ada seseorang pria melintasi Natalie yang tengah berdiri mengamati gerak - gerik Hans dari jauh, Natalie merasa resah, kegelisahan menerpa pria itu terlihat bingung dan hendak bertanya pada Natalie.
“Sorry Miss, kamu tahu kendaraan ke arah Volendam”? Dia bertanya.
“Bisa naik tramp yang nomornya sebentar lagi mungkin akan lewat…” Natalie menjawab dengan tergesa - gesa, dan dia langsung masuk ke dalam bis yang baru saja melintasi, untung saja juga tidak kehilangan jejak Hans karena pria tersebut.
Natalie duduk di kursi paling belakang, dan Hans di depannya, sama sekali dirinya tidak menyadari kalau ada yang mengikutinya dari belakang, Hans melayangkan pandangan dengan mata birunya, dan rambut pirangnya sekarang terlihat belahan rambutnya lebih gondrong dari sebelumnya. Wajah laki - laki berkesan dalam ekpreksinya tidak tega untuk melakukan hal itu terhadap Natalie tetapi rasa sayangnya pada Patrick yang membuatnya berkorban untuk apa saja, dan dia ingin satu orangpun menyentuh Patrick, karena itu penyebabnya Hans terpengaruh oleh hasutan Mario. Kelemahannya adalah Patrick.
Bis itu berhenti di stasiun berikutnya dan Hans turun ke bawah untuk berjalan di pejalan kaki, Natalie tidak ingin kehilangan jejak Hans lagi, sekelebat dia teringat awal pertemuannya dengan Hans dulu bagaikan dalam sekejap terbawa oleh angin begitu saja, dan menghilang menjadi awan hitam.
Langkah Hans masuk ke dalam rumah sakit pusat rehabilitasi, dan Nataliepun bertanya dari dalam hatinya, rasa gelisah mulai menguasai dirinya, ada sesuatu yang amat di takutinya tetapi cinta tetap akan bertahan walau apapun yang terjadi saat ini dan sekarang, Natalie terus mengikuti diam - diam gerakannya sampai ke arah kamar pasien rehabilitasi, disana banyak mereka yang terkena gangguan kejiwaan, ada yang parah dan ada yang tidak.
Perasaan yang mengguncang diri Natalie sangat memukulnya, melihat pemandangan itu semua, dia ingin menangis, namun di tahannnya, inikah ujian terbesar bagi cinta Natalie kepada Patrick atau terlambatkah sudah bagi cinta, untuk menyatakannya, karena Patrick tidak akan pernah bisa menjawabnya, meskipun hatinya tahu.
Hans masuk ke dalam satu kamar pasien, dan disana wajah Natalie tercengang, dari jendela kamar dia melihat Patrick, air matanya sudah tidak tertahankan olehnya, teryata Hans banyak mengetahui tentang Patrick, daripada orang lain, bahkan dia menyembunyikan kondisi Patrick dari siapapun termasuk Natalie, jadi inikah yang membuat Hans membenci Natalie bahkan menuduhnya pembawa sial, dia berkorban untuk apa saja demi Patrick, bahkan di matanya saat ini Natalie sudah seperti terdakwa.
“Ya Tuhannn…, kalau saja aku tahu semuanya dari awal, mungkin aku tidak akan pernah menunggu kamu untuk menyatakannya lebih dulu tapi lebih baik aku yang ungkapkannya. Patrick, apapun keadaan kamu saat ini, aku tetap mencintaimu” dia berkata dari dalam hati.
Saat kamar itu kosong, Natalie langsung menghambur masuk dan memeluk Patrick sambil menangis, tetapi Patrick hanya diam dengan tatapan kosong duduk di ranjangnya, dia sudah tidak seperti dulu lagi, segalanya telah berubah, dia tidak lagi bisa membalas pelukkan Natalie kepadanya, tetapi Natalie tahu dia bisa merasakannya.
“Jangan katakan semuanya sudah terlambat” Natalie berbisik padanya, tanpa sadar Hans berdiri di belakangnya dari jauh, dan Natalie menengok ke belakang tersadar kalau dirinya terpegok olehnya, dia menatap dengan mata memperingatkan.
“Keluar dari sini, atau aku panggil petugas”!! Dia berteriak keras.
“Apa yang terjadi padanya”? Natalie menangis.
“Dia trauma karena keluarganya tewas di bis dalam kecelakaan, tapi juga kamu pembawa sial Natalie, kamu menggantungkan perasaannya” dia berkata ketus.
“Mulai sekarang menjauhlah darinya”!!!! Dia berteriak keras.
Natalie hanya bisa menangis tersedu, keluar dari kamar pasien, dia ingin menyatakan cintanya agar dunia tahu, tapi Patrick sudah tidak ada respon apapun, dia bagai mayat hidup disana.
Part 11 Jangan Pisahkan Natalie Dan Patrick
Peringatan yang keluar dari mulut Hans, kali ini lebih menyiksa dirinya, tubuh laki - laki itu bersimpuh di hadapan Patrick, rupanya dia masih menyimpan sedikit kesadarannya, jiwa normalnya, Patrick mengetahui kalau Hans menghalangi hubungannya dengan Natalie.
“Aku cinta Natalie” suaranya terdengar lemah, dan air mata jatuh dengan deras, rupanya kekuatan cinta dalam tubuh Patrick sangat kuat, namun Hans hanya tidak ingin dia di lukai oleh siapapun, maka lapun mengambil inisiatif untuk membawa Patrick lebih baik dirumahnya saja daripada kalau bertemu Natalie harus menderita, tapi justru itu yang membuatnya semaki menderita, karena telah dipisahkan secara paksa begitu saja.
“Jangannn sebut namaaa dia lagi, sudah cukupkah dia menyakitiku, juga kamu. Natalie itu hanya tukang cari masalah diantara kita dan kamu Patrick…”!!! Hans berteriak keras, sambil mengguncang tubuhnya, dan entah bagaimana Patrick memekik menjerit, kemudian beranjak dari ranjangnya, kemudian mendorong sepupunya dengan keras, lalu Patrick berlari kearah jendela seakan tanpa sadar hendak loncat dari sana, namun Hans menangkap bahunya dari belakang, ingatannya tiba - tiba saja kembali pada kejadian yang sama dengan Natalie.
Patrick mencoba bunuh diri seperti Natalie juga saat itu, dia tertegun, sejenak berpikir tentang sikapnya sendiri.
Di tempat yang berbeda, Natalie rasanya sudah remuk redam jika harus menahan rasa ini, sebegitu pelik cinta yang harus di hadapinya, Patrick rasanya terlalu sulit untuk digapai lamban laun namun dia tidak akan menyerah.
Natalie tetap akan mencari cara bertemu Patrick, dunia bukan penghalang bagi cinta kecuali Tuhan, meski tembok yang susah untuk dihancurkan sekalipun, meskipun harus perih tapi dia akan bertemu Patrick, dan Patrickpun harus menyadari jika semua itu tidak mungkin, Natalie masih seperti yang dulu, bahkan menunggu kesempatan untuk bisa menyatukan cinta mereka dan Natalie sudah tahu kalau dari dulu sebenarnya hati Patrick hanya untuknya bukan yang lain.
Suatu hari di sore hari, Natalie duduk sendiri, dan Alina melihatnya dari jauh, dia berjalan mendekati temannya itu dari belakang, menuju ke taman kampus tempat Natalie duduk, air mata Natalie jatuh tidak tertahankan.
“Apa salah dan kurangku selama ini”? Dia berguman menyalahkan dirinya.
“Natalie” Alina mulai menegur dirinya dan Natalie menengok kearahnya.
“Apa benar kamu melakukan semuanya”? Dia bertanya dengan lembut.
“Itu tidak benar Alina, itu semua fitnahhh, pasti ada yang merencanakan semua ini” Natalie berbicara dengan cepat.
“Lamban laun aku berpikir begitu, dan aku curiga pada satu orang” mata Alina menatap ke sekelilingnya.
“Siapa maksud kamu”? Pertanyaan Natalie terdengar mendesak, dan Alina menghela nafas.
“Aku sudah berbicara dengan Henry tentang Patrick, dan aku sedikitnya sudah tahu semuanya” air mata Natalie meleleh.
“Kamu benar - benar memang mencintai Patrick, Natalie” Alina memegang tangan dirinya untuk menguatkannya.
“Aku tidak pernah bohong dengan hatiku sendiri, walau sering kali aku lakukan” Natalie terisak.
“Aku memang anak orang berkecukupan, dan sangat beruntung tapi aku bukan orang yang meremehkan soal hati” air mata Natalie terus mengalir di pipi.
“Natalie aku minta maaf atas sikapku yang selama ini, justru ikut - ikutan mereka, seharusnya aku lebih percaya padamu” Alina memeluknya kemudian mengusap rambutnya.
“Henry bilang kalau Patrick juga menggantungkan cinta pada Emily, karena Patrick sulit mengungkapkan rasa cinta pada seorang gadis” Natalie bercerita sedikit tentang Patrick.
Malam hari itu…
Natalie kembali menyelinap, masuk ke dalam rumah sakit, dan wajahnya tercengang memandang tempat tidur Patrick yang kosong, air matanya menetes sudah pasti Hans membawanya pergi, dia menangis tersedu dan seorang suster baru saja melintasi kamar itu mendapatkan Natalie duduk berjongkok disana.
“Sorry, dimana pasien di kamar ini”? Natalie terengah perlahan.
“Seseorang yang merawatnya membawanya pergi, atas nama Hans” dia menjawab datar
“Tapi kemana”??? Natalie mendesak dengan keras.
“Aku tidak akan berbuat sesuatu apapun dengan Patrick, percayalah aku hanya ingin menemuinya, aku adalah teman Patrick waktu di Amerika, dan dulu aku malah mengira Patrick meninggal” Natalie menjelaskan panjang lebar.
“Tolong beri tahu aku”??? Natalie semakin mendesak.
“Aku tidak bisa” dia hanya menggeleng dan meninggalkan Natalie sendiri, tangisannya semakin memecah ruangannya, mungkinkah memang sebaiknya di akhiri saja kisah ini dan tidak akan pernah berharap pada Patrick memulai sesuatu yang baru, Tuhan semakin mempersulit untuk Natalie bisa bersatu dengan Patrick, seakan benar - benar memang bukan jodohnya, air matanya tidak tahan untuk mengalir di pipinya.
Dan tiba - tiba saja dia teringat akan sesuatu, barangkali Hans membawanya kerumah, mudah - mudahan bukan menghilangkan Patrick dalam hidup Natalie, karena cukup sekali saja Natalie merasakan itu.
Setelah dari rumah sakit, Natalie menggedor rumah Hans, dan dia sendiri kali ini yang membukakan pintunya, matanya melotot tajam.
“Jadi kamu masih nekat”!! Suaranya terdengar membentak hingga ada seseorang gadis dari dalam ikut keluar, matanya melihat Natalie penuh kebencian.
“Marion” Natalie berguman pelan, tubuhnya terasa kaku di depannya.
“Kamu itu punya otak atau tidak sudah di peringatkan masih saja, dasar tidak tahu diriiii”!!! Dia menghina Natalie habis - habisan.
“Mungkin kamu tidak laku makanya mengejar - ngejar laki - laki sampai seperti itu, yah bisa juga tadinya ibu kamu orang seperti kamu” mendengar Marion menghina mama Natalie, membuat hatinya pedih tersayat.
“TUTUP MULUT KAMUUUU, DASARR WANITA IBLISSSS”!!!! Natalie berteriak keras.
“Lalu kamu apa, tidak tahu diri dan pembawa sialll”!!!!!! Marion tidak mau kalah dengan Natalie dan satu tamparan keras melesat di pipinya, namun betapa melukai hati seperti ditusuk berkali - kali bukan hanya dengan pisau tapi pedang yang membuat lukanya tidak pernah sembuh.
“Natalieee jaga mulut kamuuu, dengan Marion” Hans malah membelanya.
“Kalau kamu bertemu Patrick, kamu justru akan membunuhnyaaaaa”!!!! Dia berteriak lebih keras dengan suara melengking.
“Berhentilah berharap” dengan suara pintu ditutup keras, dia membantingnya, dan Natalie menangis duduk sambil menyandarkan kepalanya di pintu, air matanya tidak tertahankan lagi sekarang dirinya bagai seorang pengemis cinta yang hampa.
Patrick, kalau saja dia sembuh dari gangguan mentalnya, dia akan berbicara panjang lebar tapi semua hanyalah angan, seharian Natalie duduk di anak tangga rumah itu, tidak peduli hawa dingin yang menerpa tubuhnya dan membuatnya mengigil, baginya lebih baik mati karena cinta daripada hidup harus terluka.
Tiba - tiba saja, Alina datang dan melihatnya berada disana, kemudian memeluknya, sambil menangis.
“Lebih baik kita pulang saja” dia terisak.
“Aku tahu, kalau Patrick ada di dalam” Natalie menyahut lemah, dan Patrick yang memang ada di dalam rumah itu, dari jendela kamarnya dia melihat Natalie disana, kemudian bergegas untuk keluar dari kamarnya, namun Elena dan Hans mencegahnya, dia hanya bisa menyebut namanya tapi kali ini lamban laun dia sudah mulai bisa bicara agak sedikit banyak.
“Aku mencintaiiii Natalieeeeeee…., tolong aku mau ketemu” dia terisak
“Aku mencintainya, dia tidak menyakitiku sama sekali” Patrick menangis sejadinya, namun mereka masih juga tidak mau mendengar, dan malah saling berhadapan.
“Patrick lupakan Natalieee, dia hanya bisa membuatku tersiksa” Hans mengulangi kalimatnya dan keluar sambil mengunci kamarnya.
Dan pada saat di luar, Elena menemui Marion, sepertinya ada yang ingin dibicarakan olehnya.
“Marion, kapan kalian akan sidang skripsi”? Dia bertanya.
“Awal tahun madame” dia menjawab.
“Kalau begitu, kita harus mempersiapkan pertemuan dua keluarga, dan setelah kalian bertunangan dan menikah kita tinggalkan kota ini, sambil membawa Patrick” Marion tersenyum kejam dan otaknya liciknya berputar.
“Bagus, semakin itulah Hans akan membenci Natalie, aku tahu kalau dia memendam rasa yang sama sebenarnya dengan Patrick, dan aku harus mendapatkan cinta Hans dengan cara apapun” otak kejam Marion dan licik, semakin meluas dalam tubuhnya, seakan tidak berperasaan lagi.
Baginya Hans adalah lelaki yang tidak boleh disia - siakan, kemapanan sifatnya adalah hasrat bagi tiap gadis yang ingin jadi calon istrinya kelak, dan sifat tanggung jawab besarnya serta ketampanan wajahnya.
Selama ini sebenarnya Marion tahu sifat tidak baik Hans, namun dia menyimpan cinta yang dalam dan itu harus dimiliki, apalagi Marion juga tahu kalau itu bukan diri yang sebenarnya. Ada orang yang memang memiliki sifat tidak baik karena latar belakang kehidupannya tetapi ada orang yang justru benar - benar jahat dan kejam, tega menyakiti siapapun asalkan impiannya bisa terpenuhi, dan itu yang justru menyakitkan daripada hanya sifat sok jagoan orang di depan umum.
Satu hal bagi laki - laki semacam dirinya, laki - laki tipikal Hans adalah jangan pernah menyentuh wanita yang dicintainya, yang tidak lain mamanya, keluarganya maka diapun sekalipun kekasih akan mengorbankannya untuk tersakiti, dan itu lebih baik, namun dia tidak sadar jika Marion bukanlah gadis baik - baik, hanya karena melindungi Patrick setengah mati mata hatinya tertutup dan terpengaruh oleh gadis semacam dia, yang sebenarnya justru dialah penghancur segalanya bukan Natalie, dia hanya ingin bisa ambisinya terpenuhi saja.
Natalie, berbicara dengan Emily malam itu di telepon, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir semester namun, guncangan hebat dirinya membuatnya betapa tidak tenang untuk bisa menghadapinya, mudah - mudahan saja, dia tidak ada yang gagal dalam mata kuliahnya semester ini.
Universitas yang banyak orang mengadang - gadangkan ini tidak sembarangan orang bisa masuk, pada saat dulu mengikuti test masuk ke kampus inipun, hal biasa Natalie mendengarnya kalau ada yang menangis kecewa harus kembali ke asalnya, dan yang menyakitkannya dia sudah dari jauh - jauh, dari negaranya harus kembali dengan tangan kosong, tetapi ada yang lebih mengalami kegagalan lebih berat, yaitu Patrick, belum sempat menyentuh kampus yang terletak di kota Den Haag ini, sudah mengalami musibah besar hingga kini.
Impian hancur berantakan begitu saja, andai saja Natalie saja, bisa mendaftar barsamanya saat itu mungkin semua tidak akan terjadi, sayang kala itu dia sudah meninggalkan Amerika lebih dulu. Harapan memang akan bertemu dengan Patrick disini, dan merajut hari itu lagi tapi kenyataannya sudah tidak bisa lagi.
“Emily, aku ingin mengatakan sesuatu tentang Patrick, dia masih hidup dan berita itu salah” kata - kata Natalie terasa getir pada saat di telepon.
“Tapi dia gangguan jiwa” Natalie tidak sanggup bicara apa - apa lagi, dia mematikan teleponnya dan menangis diatas meja dengan tersedu, haruskah memang melupakan Patrick mungkin memang bisa untuk sementara waktu ini, hanya karena mau fokus menghadapi ujian akhir semester.
Part 12 Semester Baru Dengan Duka
Seakan hanya Patrick yang tahu isi hatinya meskipun dia membisu, daripada orang lain, adakah dunia yang hanya bisa membuat Natalie hanya hidup bersama Patrick berdua, sekarang sudah memasukki semester yang baru, untung saja tidak ada yang mengulang dan remidial, cerita lain Hans skripsinya sudah selesai, tinggal persiapannya untuk sidang, dan selama Marion masih bersanding dengannya, tidak akan pernah membukakan mata hati Hans dan tetap bersikukuh menuduh Natalie pembawa sial atas Patrick, namun tanpa disadari oleh Hans jika Patrick mulai mengalami kemajuan sejak bertemu dengan Natalie, dia tetap bersikeras menjauhkan cinta mereka, tapi perlu disadari, kelak dia akan kembali seperti Patrick yang dulu.
Desas - desus rencana pertunangan Marion dengan Hans, sayup terdengar di telinga Natalie, Natalie tersentak, mendengar itu, pikirannya tertuju pada Patrick, dan hatinya sangat tidak menentu, hatinya resah tidak karuan, maka Natalie memberanikan diri menghampiri Hans dia sedang berada di perpustakaan, Natalie melihatnya dari jauh.
“Sepertinya kita harus bicara” dia berkata tegas.
“Natalie” Hans menggeleng dengan kesal, kemudian menghampirinya keluar pintu dan menarik tangannya kearah balik tembok pintu.
“Aku sudah bilang cukup, kamu ini mengerti tidak perasaan orang lain, kalau kamu benar - benar mencintai Patrick, mestinya kamu mengerti keadaannya, bukan menuruti ego kamu sendiri begini…, aku sudah hilang kesabaran denganmu sebenarnya selama ini, dan jangan buat aku bertindak lebih dari ini”! Tegas Hans.
“Kamu salah menilai aku selama ini tentang Patrick” Natalie menyahutnya, dan air matanya jatuh tak tertahankan.
“Seharusnya buka pintu hati kamu, kamu berubah sejak kamu berdekatan dengan Marion, apa yang dikatakannya tentang aku itu bohong”!!! Natalie memekik melengking.
“Terserah kamu mau apa, kamu mau bertunangan dengannya juga tidak apa bagiku, asalkan jangan pisahkan aku dengan Patrick”!! Natalie tidak sanggup lagi menahan rasa yang menyiksanya dan diam hanya diam saja.
Kali ini Hans, hanya diam saja, entah apa yang dipikirkannya, wajahnya menunduk ke bawah kemudian melihat ke lorong tanpa arah
“Jika kamu percaya Tuhan, maka kamupun tahu jika Tuhan yang hanya berkuasa termasuk rasa cinta, dulu kamu tidak begitu, bahkan akupun sempat merasakannya.., kalau ada yang kamu rasakan padaku…” entah bagaimana mulut Hans hanya terkunci rapat, dia tidak bisa berkata apapun kecuali berpikir
“Dan kamu tahu, aku baru saja bertemu orang yang ku kira selama ini meninggalkanku tapj justru kamu membuatnya jauh dariku, dan sekarang bagaimana kalau itu kamu…”!! Tegas Natalie keras sambil menangis.
“Bewitjs of he, enhctn lifede is” Hans berkata lebih tegas ( buktikan kalau itu benar - benar cinta yang tulus )
“Aku sudah membuktikannya di depan mata kamu, tapi mata kamu saja yang selama ini sedang buta karena Marionnn”!! Natalie berteriak keras, tangannya menunjuk kearah wajahnya.
Ini adalah sikap seorang gadis yang sudah tidak sabar dengan luka hatinya, yang sangat menusuk dirinya, Natalie menangis meninggalkan dirinya, dan kata hatinya terus berkata.
“Ya Tuhan, mungkin itu memang benar, dia pula dulu sempat memberi rasa, tapi aku lebih baik memilih setia, dan ku bunuh orang yang menghalangi kesetiaanku karena cinta, namun aku masih takut pada dosa”
Dalam tempat yang berbeda, Hanspun berpikir yang serupa, namun Marion memecahkan keheningannya.
“Aku mau bicara dengan keluargaku nanti malam, tentang rencana pertunangan kita, bulan depan setelah wisuda” dia berkata panjang lebar.
“Lalu kita akan membawa Patrick pergi dari Natalie dan semakin menjauhinya itu maksud kamu” Hans menanggapinya dengan cepat.
“Yah” dia menjawab dengan rasa haus keinginan, untuk semakin Hans membencinya dan benar - benar tidak ada rasa lagi pada Natalie, kalau perlu membunuh gadis itu, Patrick semakin dijadikan kunci utama bagi siasat Marion, untuk membuat Natalie teraniaya.
“Rasanya rencana kamu terlalu terburu - buru” dia menggeleng, dan entah bagaimana dia menjadi orang yang hanya ingin sendiri dulu memikirkan segalanya.
Natalie baru saja sampai di rumahnya, dan melihat keadaan Jessica dan Bram yang semakin tua, hatinya semakin gelisah, apalagi usia Natalie sebentar lagi akan dua puluh satu tahun, belum juga dia menemukan pasangan yang tepat dan hanya memikirkan rasa cinta tak bertuan dengan Patrick.
Apakah mungkin sebaiknya di lupakan saja, tidak ada Patrick, dan tidak peduli lagi pada kehidupannya, termasuk sikap Hans padanya, dan mulai merajut hari baru dengan melupakan semuanya, bangkit ke masa depan.
Namun rasanya sulit melakukannya karena cinta kekuatannya seperti karang yang kokoh kalau sudah ditanamnya puluhan tahun, namun di usia yang semakin bertambah sudah seharusnya memikirkan seorang calon suami yang menemani sepanjang hidupnya bukan cinta yang begini. Apa jadinya, jika belum saja menikah dan tidak punya suami.
Malam hari itu Hans membuka sedikit pintu kamar Patrick, dan berjalan perlahan masuk ke dalam saat dia tertidur, kemudian membuka laci disamping tempat tidur, ada terdapat buku harian yang terus melekat di tasnya, dia membuka lembaran demi lembaran, dan memulainya pada halaman pertama.
Hari ini, aku bertemu seorang gadis yang kelak akan mengubah Jalan hidupku, namanya Natalie dia satu sekolah denganku Meskipun kami berbeda usia, tapi aku percaya akan sebuah kejaiban Kata orang mengubah jalan hidup seseorang, namun entahlah bagiku Perasaan itu bersemayam dalam jiwaku yang paling dalam dan tak Bisa keluar begitu saja. Sudah cukup bagi kakakku, Gray yang tersakiti oleh cinta Pertunangan yang batal, kandas begitu saja diterpa oleh badai Yang menghantamnya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Yang aku kenal Natalie, adalah gadis yang ceria, polos dan lugu Tak pantas untuknya bersanding dengan aku yang hidupnya rumit Tapi rasa ini pertama kalinya aku rasakan di usiaku kini yang 13 tahun
Patrick Johnson.
Natalie adalah sahabat setiaku, aku mengenalnya dia Bukan orang yang sembarangan orang mudah menyentuhnya Walau itu duri teratai sekalipun, dan yah persahabatan itu Mendapat dukungan dari semuanya. Aku bahagia karena bisa mengenal Natalie Namun sayang yang ku lakukan hanyalah diam seribu bahasa Seperti yang ku lakukan pada Emily.
Dua lembar itu, sudah membuat perasaan sepupu tersayang ini, menyayat pilu membaca air mata tidak dapat dibendung lagi, dia meremas lembaran itu dan tetesan air matanya tumpah terkena kertasnya.
Dirumahnya Natalie baru saja mengobrol dengan Rina dan Hendra di telepon membicarakan tentang kuliah Natalie lalu Jessica dan Bram, tanpa terasa sudah tiga tahun Natalie tinggal di rumah oma dan opanya di Den Haag selama dia kuliah disana, rasanya rindu pada Amerika, namun rasanya jika kembali kinipun hanya menyisakan kenangan yang berubah pahit dengan Patrick.
“Ya maa.., aku slalu jaga oma dan opa disini, tapi tahun depan aku sudah skripsi mungkin lebih baik aku bekerja di Amerika saja nanti, tapi bagaimana dengan Oma dan Opa”? Dia berbicara panjang lebar dan melihat Jessica yang sedang membuatkan minum untuk Bram di meja makan.
“Kami tidak apa - apa sendiri disini, asalkan kamu rajin menengok kami” Jessica ikut menimpali pembicaraan Natalie di telepon.
“Tapi oma….” Natalie nampak khawatir kepada mereka semua.
“Kalau disana izin cutinya bisa mudah setiap weekend mungkin aku bisa sering” Natalie terlihat sedang berpikir.
Pada saat yang bersamaan, ada yang mengetuk pintunya rumahnya dua kali, dan Natalie
Part 14
0 notes
ayutyasti-blog · 7 years
Text
NATALIE Genre : Romance ( outline Novel ) Sinopsis : Hendra kala itu dijodohkan dengan Rina oleh orang tua Rina, Jessica dan Bram, Bram adalah pria berdarah Netherland sedangkan Hendra adalah pemuda lulusan dari Universitas di Jerman dengan nilai terbaik di kampusnya, pada saat mereka menikah dan Rina memiliki anak perempuan bernama Natalie, ketika Natalie duduk di kelas enam SD dia bermimpi ingin sekolah di Amerika. Karena saudara Rina sendiri sudah banyak menetap di Amerika dan anak - anak mereka sekolah disàna semua. Natalie tidak mau kalah dengan saudara - saudaranya termasuk dua kakak Natalie Larry dan Zyan. Setelah Natalie lulus SD akhirnya mereka sekeluarga pindah ke Amerika demi mengikuti keinginan bulat Natalie bersekolah di Amerika, pada saat Natalie berumur 12 tahun dia bertemu dengan seorang laki - laki bernama Patrick yang menjadi sahabatnya tapi semakin bertambahnya usia perasaan persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lain di hati Natalie, ada yang mengganjal tersimpan di hati dengan pemuda bermata biru serta berambut cokelat itu, belum sempat rasa itu tersampaikan Patrick meninggalkannya entah kemana, kabar yang diterima oleh tetangganya kalau mereka pindah keluar negeri tetapi satu keluarga meninggal semua. Tetapi jika bukan itu yang terjadi maka tak pernah ada cerita, hingga pada saat Natalie diminta oleh Omanya Siska untuk kuliah di Netherland dan dia yang menanggung semua biayanya termasuk Natalie akan tinggal bersamanya di Den Haag sampai akhirnya bertemu dengan pria yang arogan, sombong dan selalu mencari masalah bernama Hans tetapi kalau bukan itu yang terjadi cerita tidak akan dimulai Part 1 : Kisah Hendra Hendra baru saja kembali Jakarta setelah dia lulus dari perguruan tinggi di Jerman, pemuda dengan wajah putih dan rambut kelimis tersebut bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta di bidang IT, pria yang ulet dan rajin, serta ramah selalu menilai tambah dalam pekerjaannya serta mendapat pujian dari managernya Hanafi, tetapi Hendra dijodohkan oleh Rina wanita dengan rambut pendek dan wajah hitam manis. Rina memiliki darah keturunan Netherland karena papa Rina seorang pria berasal dari negeri kincir angin tersebut sedangkan Siska adalah orang Indonesia. "Usiamu sudah 25 tahun nakk" kala itu Hendra mengobrol dengan ibunya Mawar di meja makan. Dia paham apa yang dimaksud olehnya, namun hatinya masih saja gusar, dia terdiam sambil menyuap nasinya ke dalam mulut. "Bagi seorang laki - laki banyak hal yang yang dipersiapkan ketika memiliki istri apalagi anak" Hendra memberikan pendapatnya. "Yah tapi jangan kelamaan tidak menikah daripada kamu dikira macam - macam oleh orang diluar sana" Mawar bersungut, Hendra menghabiskan makanannya dia terlihat nampak berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Mawar kepadanya, nafasnya mendesah sambil berdiri membawa piringnya dan berjalan ke dapur. Omongan orang tua seperti kata - kata yang baik dan buruknya membawa nasib pada anaknya, namun untuk yang satu ini Hendra tidak akan dengan mudahnya mengatakan "Iyah" itu tidaklah mudah kecuali menikahi seekor kucing. "Pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, tidak mungkin aku mengambil keputusan secepat itu" dia berpikir dalam. Pada saat Hendra selesai mencuci piring, dari dalam dapur terdengar suara pintu ditutup Hendra menoleh kearah belakang rupanya Fandy ayahnya baru saja tiba dirumah, dia berjalan kecil menuju kearah dapur, sambil menepuk bahunya. "Pastinya kamu sudah sering dengar cerita tentang Rina dari keluarga besar semua" dia berkata bijak, mata Hendra agak terbelalak lebar. "Mama dan papa, merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku"?? Dia bertanya heran dengan mulut terbuka. "Aku pasti menikah maaa, paaa tapi terus terangg kalau untuk yang satu ini jangan disamakan seperti mencari kacang goreng dipasar" Hendra menghela nafas. "Tapi Rina pasti cocok untukmu, cobalah kamu menemuinya" Mawar bersikeras dengan pendapatnya yang sudah menjadi sepakatan bersama, dia bersedekap memandang Hendra yang masih berpikir panjang atas dirinya sendiri. Hendra sesungguhnya dia dari keluarga yang ekonominya masih pas - pasan dia bisa kuliah di Jerman karena beasiswa dari SMAnya beruntungnya juga disana kuliah gratis dan Hendra sosok yang cerdas serta pintar, waktu SMA dulu selalu aktif dalam organisasi dia juga di calonkan sebagai ketua OSIS dan waktu kuliah dia menjadi ketua komunitas mahasiswa Indonesia Hendra menaikki tangga kayu di lorong dekat dapur untuk menuju ke kamarnya, dia membuka pintu kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang ukuran kamarnya agak kecil tidak besar tapi terasa nyaman, matanya melihat kearah gitar yang tergantung di dinding pojok sebelah kanan tempat tidurnya kemudian dia mulai mengambilnya yah itulah yang dilakukannya setiap harinya kalau perasaannya sedang galau, jemarinya mulai memetik alunan nada gitar sambil bersenandung pelan. "Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kuberi...." belum sampai selesai bernyanyi kecil seseorang terdengar memanggilnya dari bawah, Hendra bergegas menaruh gitarnya di tempat tidur untuk menuju kearah balkon. "Aldo" dia menyebut pria dibawah balkon kamarnya yang sedang berdiri melambai padanya dia adalah sahabatnya waktu SMA dulu, kemudian Hendra keluar dari kamarnya untuk menemuinya. "Ada banyak yang aku ingin ceritakan padamu" Hendra menarik tangannya, dan Aldo menahannya. "Soal Rina kannn.., gadis Indonesia keturunan Netherland itu level kejauhannn...kamu tahu" Hendra hanya terdiam meniup belahan samping rambutnya, matanya nampak keresahan dihatinya. "Yah aku tahu, dan aku berpikir memangnya apa Rina itu mau denganku sedangkan dia anak orang kaya, bukan hanya itu masalahnya, dirumahnya yang aku dengar sangat disiplin keras sekali didikan dari ayahnya seperti itu" Hendra bercerita sedikit, Aldo membaca apa yang ada dalam pikiran Hendra. "Dijodohi itu ada enak dan tidaknya, yah semua itu nanti kamu yang rasakan sendiri, lagipula kamu sudah lulus kuliah dan sudah punya pekerjaan mapan lalu kapan kamu mau punya istri kalau begitu" Aldo menasehatinya, Hendra tersenyum padanya sambil menatap wajahnya. "Yah kamu benar" Aldo bersedekap sambil matanya melayangkan ke udara sedangkan Hendra masih menunduk dalam, kedua sahabat itu hening. "Mampirlah dulu sejenak kerumahku, untuk menenangkan pikiran" Aldo menawarkan dirinya dan kebetulan Aldo tinggal satu komplek dengan Hendra, Hendrapun mengangguk mereka berjalan kearah rumah yang hanya berapa blok dari rumah Hendra. Aldo membuka pintu pagar yang berwarna hitam, kemudian mengajaknya duduk diteras rumahnya. "Dari namanya aku sudah menduga dia wanita yang menarik" Aldo memberikan pendapatnya, sedangkan Hendra hanya diam saja merenung. Tiba saatnya pada pertemuan keluarga, Hendra akhirnya bertemu dengan Rina, yah dia memang menarik seperti kata Aldo, wajahnya nampak hitam manis dan rambutnya hitam ayahnya nampak fasih berbahasa Indonesia walau terbata. Hendra duduk diantara kedua orang tuanya saling berhadapan dengan Rina juga orang tuanya juga dia tersipu malu sambil menunduk melihat wajah Hendra. "Yah ini anak kami Rina" Bram ayahnya dengan bangga memperkenalkan putrinya itu Rina semakin menunduk malu, sedangkan Hendra sudah mulai terlihat gusar, dia mencoba untuk mengajak ngobrol Rina namun bibirnya terasa bergetar. "Kamu kuliah dimana"? Dia mencoba mengeluarkan suaranya dan Rina menjawab dengan tenang. "Ohhh di Jakarta saja, tidak dimana - mana seperti kamu" tutur katanya sangat halus meskipun gaya bicaranya terdengar keras. "Dia kuliah disini saja, karena kami juga tinggal disini" Jessica menimpali sambil memeluk Rina. "Bagaimana menurut kamu"? Bram menanyakan dengan memicingkan mata menunjuk kearah Hendra, nampak dari wajahnya kalau Rina sangat senang berkenalan dengan Hendra dan akhirnya mereka melakukan pendekatan dan setelah itu menikah. Part 2 Natalie Dari pernikahannya akhirnya diberikan oleh Tuhan Hendra dan Rina dua orang putra dan satu orang putri, dan kini anak - anak mereka sudah mulai besar dan kakak Natalie Larry melanjutkan pendidikannya di Amerika sedangkan Zayn setelah tamat SMA akan menyusulnya Natalie kala itu berumur 11 tahun dan duduk di bangku kelas enam Sd ambisinya untuk sekolah di Amerika adalah karena melihat saudaranya yang akan pergi kesana begitu juga karena keluarga Rina sudah banyak pindah ke Amerika karena anak mereka sekolah di negara pam sam tersebut juga, dan Jessica sendiri sudah pindah ke Netherland bersama Bram Impian yang memang terlalu tinggi memang namun manusia berhak memiliki impian setinggi melampaui batas langit. "Aku akan berusah mengejarnya untuk bisa masuk SMP disana kelak" Natalie berkata dari dalam hatinya, hari demi haripun terus bergulir Natalie akhirnya lulus SD dan masuk SMP di Amerika keluarga Nataliepun ikut pindah kesana dan bertempat tinggal di California. Suatu hari di sekolahnya Natalie sedang duduk di dalam kantin, pandangannya melayang kearah pemandangan didepannya sambil meminum Orange Juicenya, rambutnya yang lurus terlihat digerai dan dia memakai kemeja berwarna kuning dengan celana berwarna biru. Seorang laki - laki sambil membawa nampan makannya dan menaruhnya diatas meja kemudian mengambil chesse burgernya dari tempat makannya, kebetulan laki - laki itu duduk tepat di kursi hadapan Natalie, dia melihat sejenak sambil mengunyah makanannya kearah Natalie yang mengamati dirinya, namun Helen yang duduk kebetulan juga baru datang duduk di depan Natalie sambil membawa makanannya dia menghalangi Natalie untuk melihat siswa itu. "Melihat siapa Natalie"? Dia menoleh ke belakang, dan kursi yang di duduki olehnya sudah kosong, Helen menarik nafasnya sejenak kemudian mendesah perlahan sambil meneruskan mengunyah burgernya. "Dia sudah tidak ada disana"? Tanya Natalie penasaran melihat kearah sekelilingnya Natalie masih ingat benar ciri - cirinya dia memakai kaos berwarna putih dan celana hitam rambut pirangnya belahannya disisir kesamping dan tubuhnya tinggi tegap, layaknya penampilan laki - laki idaman perempuan, dan usianya nampak lebih tua daripada Natalie "Maksud kamu siapa, aku tidak melihat siapa - siapa disana"? Helen menggeleng polos kemudian meminum juicenya setelah selesai makan kemudian melirik jam tangannya. "Aku masih ada kelas dan kalau dengan Mr Smith terlambat sedikit bisa tidak masuk selamanya dan kamu tahu itu kan..." kata Helen sambil beranjak dari kursinya dan menyandang ranselnya untuk meninggalkan cafetaria. "Oke, sebentar lagi masuk ke dalam kelas" Natalie menghabiskan minumnya lebih dulu kemudian berjalan sedikit kearah kasir untuk membayar makanan dan minumannya yang dipesannya kemudian barulah dia melangkahkan kaki keluar dari sana, Natalie berjalan kearah lorong yang kini dan kanannya terdapat loker kemudian dia membuka lokernya untuk membuka pintunya untuk mengambil buku di dalamnya, tepat saat itu laki - laki yang barusan di Cafetaria berada disamping Natalie dia membuka lokernya juga, kemudian melihat kearah Natalie tapi pandangannya teralihkan oleh seorang temannya yang menegurnya dari belakang dengan menepuk bahunya. "Patrick rupanya kamu disini, aku mencarimu kemana - mana tadi ayo kita masuk kelas sekarang" dia mengajaknya. "'Miguel Ok" dia mengiyakan, Natalie masih berdiri memerhatikan dirinya disamping loker dan Patrick sejenak membalas tatapan tersebut sebelum meninggalkan ruangan itu. Sore harinya pada saat berjalan menelusuri trotoar, Patrick berjalan di belakangnya, dia berlari kecil untuk mengejarnya. "Kamu Patrick kan"? Dia bertanya ramah. Dan Patrick hanya mengangguk ramah sambil memberikan senyuman padanya Nataliepun tersipu malu padanya, di umurnya yang masih dua belas Natalie memang baru mengalami pertumbuhan awal remaja, dan jni gelora pertama yang dirasakannya. "Nama kamu Natalie kan"? Patrick memecah lamunannya, dan Natalie menjadi salah tingkah "Eh iyah, itu namaku" dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya "Seluruh anak sekolah kita sering menyebut nama kamu, dan sepertinya kamu terkenal di sekolah " Patrick menegadah memandang langit saat mengatakannya, dia terlihat sosok yang baik dan penyayang. Natalie tercengang mendengarnya kemudian tertawa pelan "What is funny"? Patrick heran menatap sikapnya dia memicingkan mata sambil sedekap membalikkan badan untuk berdiri berhadapan dengannya. "Tidak ada, tapi aku hanya heran kenapa kamu bisa menilai aku seperti itu"? Natalie malu - malu. "Karena kamu cantikkk"!!! Patrick menggodanya kemudian melanjutkan langkah kakinya dia berlari kecil sambil melambaikan tangan di udara dan Natalie membalasnya Pertemuannya dengan Patrick entah kenapa membawanya pada perasaan yang tidak biasa kepada Patrick bayang dirinya selalu menghantui Natalie, pada saat dirumah Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya kemudian mendapat telepon dari Helen. "Yah Helen" dia menyahut "Natalie, aku ingin mengajak kamu menonton pertunjukkan di Las Vegas" terdengar suara menggebu dari Helen, dan Natalie hanya mendesah nafas "Aku sedang mengerjakan tugas hari ini" dia menolak halus, tapi Helen mendesak "Aku tidak tahu harus pergi dengan siapa, Clara, Louissa, Marianne tidak ada yang mengangkat teleponku huffff...." Helen mengeluh. "Oke, aku temani" Natalie akhirnya menyerah dia mengakhiri pembicaraan kemudian beranjak dari kursi meja belajarnya, sebenarnya waktu mengerjakan tugas sekolahpun pikiran Natalie sedang tidak fokus karena nama Patrick mengusik ubun kepalanya, Natalie memakai kaos berwarna merah serta celana panjang hitam kemudian mengikat rambutnya ke belakang Natalie kemudian menuruni anak tangga rumahnya dan Helen sudah menyambutnya dari bawah, inikah dia perasaan cinta anak remaja awal yang tidak tahu jelas apa sebabnya tapi Patrick terlihat tampan dan lembut dan hal itu yang membuat Natalie jatuh hati pada pandangan pertama dengannya. Selama dalam perjalanan Helen terus mengajaknya bicara "Natalie kamu dengar aku tidakkk"!! Helen merasa kesal karena dari tadi Natalie tidak memerhatikan Helen bicarakan. "Maaf, aku sedang tidak fokus" Natalie berkata lembut tapi Helen masih bersungut kesal sambil bersedekap. "Aneh sikapmu belakangan ini" dia menggerutu "Sehari saja tidak di sekolah, aku justru merasa bosan daripada jalan - jalan seperti ini" Natalie berkata dengan tenang. "Girl ayolah, ini penyanyi idola aku dan aku tidak harus pergi dengan siapa lagi" Helen menggerutu "Dan Celine Dion itu adalah inspirasiku untuk kelak menjadi seorang penyanyi" Helen menambahkan kalimatnya. "Jangan konyol kamu ha....ha..ha" Natalie menertawakannya hingga wajah Helen semakin memerah, dia memandang keluar jendela bis dengan wajah penuh emosi, dia menghembuskan nafas dari mulutnya, sedangkan Natalie dengan tenangnya mengeluarkan Hp dari dalam tasnya dan membaca pesan yang baru saja masuk dari Marianne. "Have fun today girlss"!! Kata - katanya nampak bersemangat "Yah tapi Helen sedang merasa kesal sedikit dengan ledekanku padanya, dia memang kadang suka bertingkah seperti anak umur sembilan tahun ha....ha...ha" Natalie menyahutnya sambil tertawa membalas pesan tersebut dan Marianne mengirim balasannya lagi. "Its not funny Natalie" kalimatnya nampak marah, dan Natalie terdiam dia merenungi perkataannya sendiri. "Forgive me" dia mengirim satu kalimat lagi pada Marianne. "Aku hanya ingin beritahumu sikap bercandamu berlebihan" Marianne mengirim lagi balasannya "Aku hapus kata - kataku tadi" Natalie membalasnya lagi untuk mengakhiri pembicaraan dengan Marianne, tanpa terasa mereka sudah sampai di tujuan, bis itu berhenti di halte terakhir dan kedua remaja itu turun dari dalam. Natalie turun lebih dulu, kemudian memandang sekitarnya dan Helen menyusulnya dari belakang, dia berjalan kedepan sedikit untuk menghampiri Natalie, kemudian berdiri di sebelah kanannya sambil menoleh dengan tersenyum. "Kamu sudah tidak kesal denganku lagi"? Natalie bertanya dengan suara lembut dan menunjukkan cengiran kecil padanya. "Aku tidak benar - benar merasa kesal juga kokk" Helen mengangguk kemudian memegang pergelangan tangannya. Di dalam arena pertunjukkan, kerumunan orang penuh sesak, diatas atap nampak gelap tapi berkilauan cahaya dengan warna ungu, kuning atau merah dan suara membahana mulai terdengar diantara sorak orang. "Suittt...suittt..." seseorang penonton terdengar sedang bersiul Natalie mendongak dari antara orang - orang yang berdiri didepannya yang bernyanyi My Heart Will Go On "Helennnn"!! Dia berteriak memekik "Aku tidak bisa melihat Celine Dion disini"!!!! "Kalau kita maju selangkah lagi, didepan sana sangat padat" Helen memberikan komentarnya pada Natalie. Sepulangnya dari nonton konser Larry kakak tertua Natalie sudah menunggunya di depan Tv, hari memang sudah larut malam, wajah Natalie nampak kecut, tapi justru sebaliknya Larry terlihat tersenyum dari sofa berwarna putih yang didudukinya, Natalie hanya bisa memalingkan wajah. "Aku tahu ini sudah jam satu malam" dia mengangguk paham. "Yah kamu benar, oh yah tadi ada seseorang yang melintas disini dia menanyakan kamu pada Zayn" Larry memberi tahukannya, dan wajah Natalie berubah tercengang. "Dia laki - laki"??? Larry hanya mengangguk perlahan, dan yang ada dalam pikirannya itu adalah Patrick. "Seperti apa orangnya"? Dia bertanya kembali, mendengar suara Natalie dan menyebut namanya Zayn keluar dari kamarnya tapi juga disusul oleh Hendra dan Rina. "Awalnya kami mengira kamu pergi dengannya juga"? Hendra menimpali. "Aku hanya pergi dengan Helen saja berdua" Natalie membenarkan kata - katanya "Karena umur kamu baru dua belas nakk, baru saja memasukki usia remaja dan kamu mengerti kan maksud kami" Rina berkata bijak. "Aku tahu" Natalie mengangguk pelan. Keesokan harinya di sekolah, Natalie mencari Patrick, dan menemuinya di ruang musik sekolah, dia sedang memetik gitar sambil bersenandung perlahan disana, Natalie berdiri di ambang pintu sekolah dan Patrick menoleh kearahnya sambil menghentikkan permainannya Perasaaan yang berada dalam tubuh Natalie semakin tidak menentu pada saat menatap wajahnya. "Apa yang kamu lakukan di komplek sekitar rumahku"? Natalie bertanya. "Aku hanya kebetulan lewat saja, dan aku baru tahu kamu tinggal disana" Patrick menjawab santai sambil kembali memetik gitarnya. "Dan kamu pergi seharian dengan temanmu yang bernama Helen itu kan" dia menambahkan kalimatnya yang sedang diucapkannya, Natalie berjalan kecil untuk mendekati Patrick dan duduk disebelahnya. "Kamu bisa bermain gitar"? Dia bertanya "Yah begitulah" dia mengangkat bahunya, lalu menaruh gitar tersebut di sebelahnya keduanya memandang tembok didepannya dengan hening, tidak tahu apa sebabnya rasa itu tidak bisa dibendungnya lagi. "Kamu ini, sudah kelas dua belas kan Patrick"? Dia bertanya, Patrick hanya mengangguk usianya kini memang sudah empat belas tahun dan sèbentar lagi dia akan meninggalkan bangku SMPnya untuk meneruskannya ke SMA. "Kenapa kamu berkata demikian"? Patrick bertanya ingin tahu. "Karena aku ingin jadi sahabat sejatimu, bolehkah"? Natalie bertanya perlahan. "Yah" Patrick menjawab singkat. Part 3 Sahabat Tapi Cinta Akhirnya kini umur Natalie menginjak yang ke enam belas tahun, di bersekolah yang sama juga di SMA dengan Patrick, hubungan mereka semakin dekat tapi perasaan yang dipendamnya semakin tumbuh dan tak bisa dibendungnya lagi, rasanya ingin mengatakannya tapi bibir hanya bisa diam, dia duduk di taman sekolah memandang pohon didepannya, hasrat itu semakin lama semakin tidak pernah memudar, Patrick yang melihatnya dari kejauhan dari balik tembok, kini tubuhnya semakin tinggi daripada waktu dulu empat belas tahun, hari persahabatan mereka semakin erat, namun tahukah Patrick apa yang terselubung dalam hati Natalie sebenarnya, dia memandang menerawang dengan tatapan berbinar kemudian tiba - tiba saja, Emily mengusiknya dia datang dari arah yang berlawanan menepuk bahu Natalie. "Aku jadi merindukan Helen dia diterima bukan di sekolah ini, tapi sekolah lain yah dia sahabatku waktu SMP dulu" Natalie bercerita dengan suara sayu, dan Emily berdiri disampingnya bola mata birunya memandang dekat pohon itu, sejenak rambut lurus selehernya mengembang tertiup angin. "Aku rasa kamu memikirkan sesuatu yang lain" Emily menebak perasaan Natalie, dan tanpa sadar Patrick mendengar percakapan mereka dari balik tembok, entah apa yang dirasakannya dia seperti sudah menduganya sejak lama isi kepala Natalie, Patrick meninggalkan tembok tersebut dan berjalan kearah tak tentu arah, sambil tertunduk, belahan rambut disampingnya jatuh menutupi atas alisnya. "Natalie.., entah kenapa sebenarnya perasaan itu serupa, aku seperti mengharap kamu yang lain, dan ada harapan yang berbeda diantara kita" patrick berpikir, dia berjalan kearah hall basket dan masuk ke dalamnya, kemudian duduk di deretan kursi yang menghadap kedepan, tiba - tiba saja ada suara orang yang membuka pintu, Patrick tersentak dan menoleh ke kanan. "Henry" dia menyebut namanya, dan Henry menutup pintu itu kembali, dia membetulkan sisiran rambutnya sambil duduk disisi Patrick, berusaha untuk ikut memikirkan apa yang sedang dalam pikirannya. "Jika saja itu sesuatu yang kamu sembunyikan dan tidak pernah kamu buka, maka akan ada sakit yang tidak pernah mendapat jawabannya" Henry menembus pikiran Patrick, Patrick berdiri mendengar kalimat itu, bagaikan telinganya langsung ditegakkan. "I can't speak anymore....." matanya nampak gelisah melihat sekeliling. "You're someone man, you much brave" suara Henry berubah menjadi tegas. "I CAN'T"!!!! Patrick berteriak histeris pelan, itulah alasan penyebab Patrick sulit mendapatkan pacar, meskipun dia dekat dengan banyak gadis dan salah satunya Natalie, dan sebenarnya Patrick juga sedang dekat dengan teman baik Natalie di SMA ini yaitu Emily namun hubungannya menggantung tanpa arah tujuan. "Kamu tidak bisa bermain seenaknya dengan perasaan kamu sendiri"!! Sikap Henry tidak kalah tegas dengan Patrick, untuk menghindari pertengkaran yang terjadi dan menjadi hebat, Patrick meninggalkan ruangan tersebut, dia berjalan di antara lorong dengan galau, sambil menyandang ranselnya, kemudian melirik jam tangan berwarna biru sudah menunjukkan pukul sembilan. "Ya Tuhan, aku ada kelas dengan, Mrs Wendy Gale" wajahnya yang memperlihatkan semakin tidak bisa dibendungnya, buru - buru Patrick berlari kecil masuk ke dalam gedung di samping taman dan mengetuk kelas yang tertutup, Mrs Wendy membukanya dengan wajah melotot marah. "Kamu tahu ini sudah jam berapa, dan kamu datang lima menit setelah saya sudah di dalam kelas"!! Dia membentak keras. "Mrs Wendy, saya minta maaf kalau terlambat, saya rela jika harus terkena sanksi" Patrick merunduk menyesal, dan sanksi yang dikenakan oleh Mrs Wendy itupun sudah mendapat toleransi darinya daripada biasanya siswi atau siswa tidak dapat mengikuti ujian mata pelajaran dengannya, Patrick hanya mendapat tugas sekolah dua kali lipat untuk membayar kesalahannya dalam satu hari itu. "Kringggg" bel sekolah berbunyi Natalie di lain tempat, dia sedang berada di kelas, tangannya meraih buku diatas meja untuk dimasukkan ke dalam ranselnya, dan Mr Bryan meninggalkan kelas sambil membawa bukunya. "Dimana kamu tinggal"? Tanya Emily yang duduk di kursi sebelahnya. "California" jawab Natalie, kemudian dia mengelurkan notes kecil untuk memberikan catatan alamat rumah serta nomor rumah dan nomor Hpnya. "Tidak jauh dari tempat tinggalku" Emily tersenyum ramahnya padanya, kemudian mengambil ikat rambut di dalam resletingnya. "Yah benar, tapi kalau hari ini aku ingin pergi menemani Zayn" Natalie mengangguk. "Zayn"? Dia bertanya heran. "Kakakku yang kedua" jawab Natalie dan meninggalkan sekolah, hari cuaca sangatlah panas, dia membuka jaket yang dikenakannya karena sudah diluar sekolah, kemudian duduk di halte untuk menunggu bis yang datang. Pikirannya kembali terlintas tentang Patrick, wajahnya menari - nari di matanya dan Natalie menghembuskan nafas perlahan dari mulutnya, sambil melihat bayangan yang memantul dari bawah jalanan. "Patrick, rasanya kenapa aku punya pilihan lain, yang bukan jadi sahabatmu, tapi...." lamunan Natalie terbuyar pada saat bis jurusan yang ditunggunya sudah tiba, Natalie terperanjat mendongakkan kepala dan bergegas masuk ke dalamnya, dia melayangkan mata kearah keluar jendela, tidak tahu apa sebabnya Natalie menelepon Patrick pada saat dalam perjalanan, dan rasa ingin bicara padanya. "Patrick, nanti malam aku mau kerumah kamu pukul tujuh malam" "Oke" Patrick mengiyakan sambil mengakhiri pembicaraannya, bis itu berhenti tepat di halte dekat rumahnya, dan Natalie langsung turun, ketika itu Natalie melihat keluarganya tengah mengobrol di sofa keluarga. Natalie, terdiam terpaku berdiri di hadapan mereka semua dan merekapun menengok kearahnya, Rina tersenyum padanya, dia seperti sudah membaca apa yang ada dalam isi kepala Natalie, namun Natalie, terlihat sedang tidak ingin diganggu dulu hari ini, dia masuk ke dalam kamarnya dan membuka ransel untuk mengambil buku dan mulai mengerjakan tugas, sejenak Natalie melihat kearah Walkman di sebelahnya lalu meraihnya dan memutar lagu Backstreet Boys, kemudian meneruskan mengerjakan tugasnya. Suara ketukan pintu yang terdengar, membuat Natalie mematikan walkmannya dan menoleh kearah daun pintu. "Cominggg"! Dia berseru, Rina masuk ke dalam kamarnya, dan berjalan perlahan masuk ke dalam. "Dibawah sedang ada Sam sepupu kamu" dia memberi tahukan. "Sam dan tante Vina, tapi aku tidak mendengar suara mobilnya barusan"? Natalie tercengang. "Aku akan turun setelah aku selesai mengerjakan tugas sekolahku" dia mengangguk kemudian, dan Rina meninggalkannya, di lantai bawah Sam sedang mengobrol dengan Zayn dan Larry. "Natalie sedang mengerjakan tugas sekolahnya" dia memberi tahukan. "Sejak kapan Natalie menjadi anak yang rajin" Sam sedikit meledek dirinya. "Sam adikku sudah umur enam belas sekarang"!! Dengan keras Zayn sedikit membentak Sam, dan Larry melotototi dirinya. "Oke, oke aku salah berkata demikian, hanya saja sikap Natalie berbeda dari biasanya" dia memberikan komentar. Di tengah obrolan itu, tiba - tiba saja Natalie datang, dan bersedekap diantara ketiganya. "Aku tahu, apa yang kamu inginkan"? Dia menebak pikiran Sam dan Sam memang umurnya lebih muda daripada Natalie. "Bersepeda memutari komplek rumah ini" kemudian dia melanjutkan kata - katanya, dalam pikiran Nataliepun melakukan itu sejenak untuk melupakan pikirannya tentang Patrick tetapi justru semakin menghantuinya. Senja di sore hari, mereka bersepeda mengelilingi komplek tersebut, dan sampai waktu malam tiba, Natalie bersiap - siap untuk kerumah Patrick, dia sudah menunggunya di teras halaman. "Patrick" Natalie memanggilnya dari luar pagar, dan Patrick membukakan pagarnya kemudian Natalie masuk, dia terlihat tampan hari ini dengan mengenakan kemeja cokelat muda dan celana pendek hitam. "Aku tidak tahu kenapa aku merasa benci akan sesuatu" dia berkata sambil menunduk dalam. "Aku benci jadi sahabatmu sebenarnya selama ini dan menurutmu apakah aku orang yang tepat untuk menjadi sahabat"? Natalie bertanya getir, tiba - tiba saja Patrick meremas telapak tangannya tanpa kata, dan hanya memalingkan wajah kearah kanan. "JAWAB AKUUUU"!!!! Natalie berteriak keras, dan Patrick tersenyum padanya. "Aku tidak memaksa siapapun untuk berteman denganku, tapi kamu sendiri yang dulu menginginkan persahabatan ini" dia berkata polos, dan Natalie hanya menggeleng lemah. "Yah aku tahu maaf" Natalie melepas pergelangan tangannya, wajah Patrick berubah perhatian kepadanya. "Kalau ada masalah ceritakan padaku" "Terlalu sulit untuk mengatakannya" Natalie menggeleng lesu, dan kemudian Patrick mengajaknya masuk ke halaman, dia mengambil gitar dari dalam rumahnya dan memainkannya disamping Natalie, gadis itu tertunduk sambil tertegun diam mendengar Patrick bernyanyi dan Natalie mendesah sambil, merunduk dalam. "Patrick kamu terlalu baik kepadaku" Natalie menoleh kearahnya. "Natalie kamu adalah sahabat setiaku" Patrick berkata lembut sambil memeluk bahu Natalie, sikapnya bukanlah justru menunjukkan rasa sahabat tetapi sesuatu yang lain Natalie lamban laun bisa merasakan hal itu. "Patrick sudah mulai larut malam, thanks lagu The Corrs untukku barusan" Natalie berdiri dan rasa dihatinya semakin berkata lain, Patrick ikut berdiri di depannya. "Sebenarnya aku juga bosan menjadi sahabat tapi aku ingin tetap menjaga kesetiaan yang tidak pernah berubah ini" Patrick menyahutnya lembut. Natalie mengiyakan hal itu, jika bosan untuk bersahabat dan sebenarnya dari awal tidak mau menerima pertemanan dengan Patrick mengapa rasanya Natalie waktu itu menyetujuinya, hari demi hari dilewatinya dan tiba - tiba saja Natalie melihat Patrick berdua dengan sahabatnya sendiri mesra. Air mata Natalie jatuh tak tertahankan, rasanya hancur perasaannya tanpa Patrick paham apa yang dirasakan Natalie sebenarnya kepadanya. Part 4 Terpendam Natalie, duduk di taman sekolah sambil mendengarkan walkman, sejak melihat itu sikapnya kepada Emily menjadi berubah, tetapi dia menahan pedih rasa cemburunya, karena rasa cinta terpendamnya pada Patrick yang tertahan selama ini kepadanya sejak awal bertemu, Emily y Menghampiri Natalie di taman dan dia melihat Natalie menangis. "Why you crying"? Dia bertanya perhatian, Natalie tersentak sambil melepas walkmannya di telinganya. "Aku lebih baik sendiri saja" dia berkata sayu, melihat kearah Emily kemudian mengusap air matanya dan meninggalkannya di taman, Patrick yang melihat Emily sendiri disana menghampirinya untuk duduk disebelahnya. "Natalie, sepertinya cemburu karena aku dekat denganmu, bisakah kamu menjauhiku"? Dia bertanya pelan, mata Patrick terbelalak mendengarnya, dan berdiri disamping Emily. "Kamu tidak pernah tahu rasanya jadi aku" dia menggeleng lemah. Emily hanya duduk di kursi tersebut, terisak mendengar setiap ucapan yang dikatakan Patrick, laki - laki yang hanya mampu sebatas mendekati gadis saja tapi tidak bisa mengungkapkan perasaannya, Emily berlari dari tempat sana dan apa yang dibenaknya sudah pasti akan terjadi, dia dimusuhi oleh Natalie karena cemburu dan Emily tahu perasaan sebenarnya Natalie pada Patrick belum bisa diungkapkannya sampai sekian detik waktu. Namun mereka tetap akrab bagai pinang dibelah dua, namun Patrick sudah menghancurkan perasaan Natalie, dan entah bagaimana seakan Natalie masih mengharapkannya diatas keyakinannya jika dia tidak akan gagal. Emily masuk ke dalam ruang kosong di sekolah dia menutup pintu dengan keras dan menangis disana, meluapkan emosinya yang ada. Sedangkan Natalie duduk sambil berjongkok dibawah loker, air matanya sudah mengering disaat nama Patrick menghiasi hatinya, derap langkah sepatu terdengar dari kejauhan dan Natalie berdiri menghadapinya, Patrick kini di hadapannya. "Aku mengenalmu dari SMP, dan aku tahu siapa kamu dengan jelas"!! Tegas Natalie. "Aku mengerti" hanya itu yang bisa Patrick katakan padanya. "Siapa yang kamu pilih sekarangggg"!! Dia berteriak keras, dan Patrick tetap hanya membisu seribu bahasa Natalie mengguncang pundaknya kemudian tanpa sadar jatuh dalam pelukannya dan Patrick membiarkannya. "Aku hanya ingin tidak dipermainkan" dia berbisik di telinga Patrick, Emily yang berada di ujung sana mengeluarkan air matanya. "Katakan Patrick sejujurnya...." dia mendesak. "Emily" dia menyebut nama itu dan Natalie menangis meraung dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa keluar dari hatinya, entah apa yang sebenarnya dirasakan Patrick tapi dia nampak bimbang dan resah, ada sesuatu yang justru bukan itu jawabannya. Natalie semakin membenci Emily sejak saat itu, dia bahkan menjauhi dirinya tapi tidak sanggup kalau menyakitinya tanpa disakiti sekalipun Emily sudah merasa sakit oleh perasaannya sendiri karena telah merebut pujaan hati sahabatnya sendiri. Emily kini memiliki teman baru namun dia tidak seperti Natalie yang lebih perhatian dengannya pertemanan itu seperti rasa yang dipaksakan olehnya karena Emily merasa takut untuk menegur Natalie dan dia selalu menjawab tidak enak belakangan ini, Emily tahu perasaannya. Part 5 Allyson Allyson sosok gadis yang acuh dan cuek, tidak banyak memikirkan orang lain, Emily menjadi merasa kesepian karenanya meskipun dia mendapat teman baru, pada saat itu dia bertemu dengan Natalie di cafetaria dan Natalie membawa makanannya untuk ditaruh diatas meja, tiba - tiba saja. "Brakkkk"!! Dia memukul meja dengan kuat didepan Emily, tatapan dirinya sudah seperti musuh besarnya namun Emily dapat membaca isi perasaan Natalie yang sebenarnya. "Aku mau duduk disini dan kenapa harusss ada gadis freak seperti kamuu"!!! "Dasar gadissss tidak tahu diri, dasar anak norak" Natalie menghina habis - habisan Emily "Dan teman kamu sama noraknya dengan kamu" dia menunjuk kearah wajah Allyson dan Allyson dengan sekejap menampar wajah Natalie dengan keras. "Aku sebenarnya tidak cocok berteman dengan Emily" dengan tegas dia mengatakan hal itu dan Natalie menjadi terdiam, Allyson meninggalkan Emily yang sedang sendiri berdiri di hadapan Natalie, pada saat itu Patrick melerai mereka semua, dan menarik pergelangan tangan Natalie ke suatu tempat. "Natalie kamu harus dengar ini"!!! Dia berusaha untuk mengatakannya dan Natalie menunggu kata - kata itu. "Akuu" dia berusaha untuk menyatakan cintanya tapi mulutnya terasa terkunci, hari demi haripun terus berlalu, entah kenapa sejak kejadian itu Natalie menjauhi sejenak Patrick untuk menenangkan pikirannya sendiri hingga tiba saatnya pada saat kelulusan SMA, Patrick meninggalkan sekolah dengan kalimat masih menggantung di hati Natalie, kini Nataliepun duduk di bangku kelas dua belas. Dan saat dia akan mulai mendekati ujian SMA, ingatannya kembali pada Patrick namun dia sudah lama tidak pernah berhubungan dengannya lagi dan Patrick kini tidak tahu kemana Part 6 Menghilang Ujian kelulusan tinggal menghitung berapa hari, dan Patrick seperti sudah hilang ditelan bumi, tapi perasaan Natalie tidak pernah hilang untuk tetap menyimpan nama Patrick, dulu waktu di kelas sebelas dia sempat cemburu dengan Emily dan menjauhi, tetapi kini justru Natalie semakin memikirkannya, Emily sendiri seakan tidak pernah menghindar dari apa yang Natalie lakukan padanya, karena rasa bersalah meliputi dirinya, Emily sendiri mengorbankan perasaannya menerima sakit sendiri dihatinya, memiliki teman baru seperti Allyson memang menyakitkan, Allyson kalau mengirim pesan sms kepada Emilypun bukan seperti Natalie yang sangat perhatian kepadanya dan Emily tidak pernah lupa akan kata - kata Allyson kalau sebenarnya tidak terlalu cocok berteman Emily. Inikah yang disebut memaksakan diri melakukan hal yang sebenarnya tidak mungkin bisa dilakukan....? Allyson, dengan ceria masuk ke dalam kelas, dia tersenyum, kepadanya namun terlihat tidak memperdulikan perasaan Emily saat ini, ekpreksi wajahnya dia berkesan hanya ingin mengobrol untuk kesenangannya sendiri. "Hi" dia menyapa Emily dan dia hanya tersenyum, Allyson tidak peduli ekpreksi wajahnya. "Aku mau traktir kamu selepas ujian nanti, kita akan bersenang - senang ke Disneyland" dia menawarkan ramah. "Aku ingin lebih baik mencari informasi universitas untuk kuliah nanti" Emily menolak halus. "Well its ok, kalau begitu aku pergi sendiri saja" Allyson meninggalkannya sendiri tanpa peduli keadaannya, sedangkan Natalie melihat mereka dari balik pintu kelas dengan meneteskan air mata, karena sikapnya yang ego Emily harus menderita batin seperti ini tapi rasa cinta kepada Patrick tidak bisa hilang dari hatinya, terlalu pedih untuk mengingat pada saat Emily berdekatan dengannya mesra, dan Patrick mengakui jatuh cinta pada Emily saat itu, tanpa mengetahui kebenarannya Natalie memusuhi Emily. Kini dia mencoba berjalan kearah Emily derap langkahnya perlahan, mendekati dirinya dan berdiri disamping kanannya dan Emily menolehnya. "Natalie aku minta maaf" Emily pertama kalinya menegur Natalie kembali. "Tidak perlu semua sudah terjadi" Natalie melemahkan suaranya "Aku tidak tahan melihat kamu menderita karena berteman dengan Allyson yang cuek padamu, dan aku tahu semua karena kamu berusaha menjauhiku tetapi kamu justru mendapat hal yang buruk" Natalie berkata panjang lebar. Pertama kalinya Natalie bersikap lebih bijak dari sebelumnya dan Emily terlihat berpikir "Kamu yang lebih dulu melakukannya, dan aku hanya ingin selama ini juga menyendiri dulu" dia berkata dengan muram, Natalie sama muramnya dengan Emily. "Patrick sudah menghilang ditelan bumi, untuk apa kita bermusuhan lagi"! Tegas Emily kemudian, dan Natalie tersenyum mendengarnya, dia tidak dapat membendung perasaannya lagi dan memeluk Emily. Akhirnya ujian kelulusan SMA telah tiba selama seminggu dan dari hasil pengumumannya mereka semua di nyatakan lulus termasuk Natalie dan Emily, kedua sahabat itu kini kembali berhubungan baik lagi, tetapi perasaan Natalie semakin terbawa arus oleh perasaan cinta yang belum sempat Patrick ketahui sampai saat ini, dan membuatnya semakin galau. Apakah Natalie harus melupakan Patrick, karena dia benar - benar sudah tiada tidak tahu kemana..?, Hpnya benar - benar tidak bisa dihubungi lagi. Ada rasa yang tidak menentu di hati Natalie, beberapa hari ini pula tidak bisa tidur, selalu terbawa mimpi yang sama, seakan pertanda buruk tentang Patrick, ada suara ledakan dari pesawat yang sedang terbang di udara, malam itu Natalie tiba - tiba saja menjerit histeris karena mimpinya sendiri, dia menangis tersedu - sedu ada rasa takut dihatinya kalau Patrick benar - benar akan menghilang selamanya dihatinya. Keesokan harinya, Natalie bergegas kerumah Patrick, untuk memastikan apakah mimpi itu benar - benar akan terjadi selama dalam perjalanan perasaannya amatlah kacau tidak karuan, dan rumah Patrick nampak kosong, air mata turun dengan derasnya perasaan cinta tidak dapat dibendungnya lagi, rasanya seperti mencintai tetapi hanyalah hampa dan Tuhan tidak mengizinkan untuk Patrick berjodoh dengan Natalie. Seorang tetangga wanita berambut cokelat menghampiri Natalie yang berdiri didepan rumah Natalie. "Are you find someone"? Dia bertanya Natalie menoleh kearahnya, dengan tertegun sayu. "Where they go"? Dia bertanya kembali. "Sudah beberapa bulan yang lalu, mereka pergi katanya akan meninggalkan Amerika karena anaknya akan kuliah di Den Haag, tapi kami mendapat kabar kalau mereka semua kecelakaan pesawat" dia memberi tahukan. Entah itu benar atau tidak, tapi menurut cerita wanita itu kalau dari orang yang menghubunginya menemukan identitas korban dengan nama Patrick Johnson dan keluarganya, tapi bisa saja salah karena di dunia ini ada banyak nama Patrick Johson tetapi dengan orang yang berbeda, air mata Natalie tidak dapat dibendung lagi dia menangis sejadinya dirumahnya, rasa cinta itu tidak pernah akan ada jawabannya dan tidak pernah ada balasannya serta hanya terpendam tanpa pernah terungkap selamanya. Hari demi haripun berlalu berganti dengan tahun, dan akhirnya Natalie disarankan oleh orang tuanya untuk kuliah di Netherland, karena Jessica sudah semakin menua begitupun dengan Bram dan hanya hidup sendiri disana, jadi Natalie kuliah sambil menjaga Jessica dan Bram di negara tersebut, dari kampus mungkin jaraknya agak jauh dari rumah Jessica namun tidak masalah, dan satu hal juga Natalie sudah tidak pernah mengingat nama Patrick lagi karena baginya Patrick hanya tinggal kenangan di dalam hati, untuk apa bagi Natalie mencarinya karena Patrick benar - benar bukan jodohnya, Dia jodohnya Tuhan sekarang ini, dan Patrick juga meninggal, rasanya wanita tetangganya itu tidak bohong padanya, tapi apa rasanya orang yang mengalami cintanya tidak tersampaikan. Part 7 Laki - laki Misterius Di kampus itu Natalie berjalan perlahan menelusuri lorong antara deretan loker dan duduk di anak tangga Fakultas Ekonomi, dia diterima di salah satu Universitas di kota Den Haag, nafasnya dihembuskan dari mulut sambil melihat kearah kedepannya, dan kemudian menunduk, dia melihat jam tangannya masih menunjukkan pukul sembilan pagi dan untuk masuk ke dalam kelas berikutnya masih nanti jam dua belas, rambut cokelatnya tergerai ke belakang, dan usianya kini delapan belas tahun, seorang gadis melangkah disamping kanannya dan berdiri menghadapinya. "Natalie, kita ke perpustakaan yuk, untuk mengerjakan tugas" dia mengajaknya "Sebentar lagi Alina" Alina adalah sahabatnya selama Natalie duduk di perguruan tinggi, dia duduk disamping Natalie memerhatikan ekpreksi wajahnya sedang tertegun. "Ada yang kamu pikirkan"? Dia bertanya ingin tahu "Tidak ada" Natalie menggeleng, lalu beranjak berdiri sambil menarik tangan Alina, wajahnya berubah semangat, untuk ke perpustakaan, ada keresahan tidak menentu sebenarnya dari dalam jiwa Natalie. "Ayo kita kerjakan tugas sekarang" dia terlihat menggebu, kemudian Alina mengikutinya keduanya berjalan kearah perpustakaan, dan disana mereka mengerjakan tugas bersama sambil membahasnya, dengan berdiskusi bersama. Setelah pulang kuliah di sore hari, Natalie menonton Tv, di sofa berwarna merah dia teringat akan Larry dan Zayn kedua kakaknya yang kini telah menikah dan memiliki kehidupan baru dengan keluarga baru mereka, Zayn sekarang tinggal di Florida bersama Lily istrinya dan Larry tinggal di New York dengan istrinya Vanessa tetapi yang sudah memiliki anak pertama adalah Larry yang tertua, Zayn istrinya baru mengandung empat bulan. Jessica keluar dari kamarnya, dia menginjak lantai kayu dengan sandalnya, dan hawa dingin semakin terasa karena akan mendekati malam, Jessica mengenakan jaket berwarna putih, kemudian Bram baru saja dari luar dia suka berkunjung kerumah temannya sekedar mengobrol dengan secangkir kopi, Natalie melirik kearah Jessica kearah lebih dulu yang duduk disampingnya dan Bram tersenyum sambil melintas di depan Tv, untuk masuk ke dalam kamarnya. "Perasaan kalau dipendam tidak pernah dikeluarkan akan semakin membuat pedih" dia menasehati Natalie. "Percuma, Patrick sudah meninggal, dan itu sepertinya memang keluarga Johnson nama keluarga Patrick, aku berpikir demikian dan aku sudah lelah" dia meneteskan air matanya sepertinya kesedihan itu selama ini sebenarnya dipendamnya dan Natalie hanya berpura - pura melupakan Patrick. "Ja, Oma tahu perasaannmu" dia mengelus rambutnya perhatian. "Aku mencintainya dan benar - benar mencintainya" Natalie berguman sendiri, dalam pikirannya mungkin saja perasaan yang masih menggantung akan sebuah kalimat tidak tersampaikan itu bisa tersampaikan kalau dia bisa menemui Patrick di dunia lain, tapi rasanya sungguh berdosa kalau Natalie bunuh diri, namun mencoba melupakan Patrick selama ini bagai hanya kepalsuan belaka isi hatinya. "Aku lelah menipu diriku sendiri, untuk mencoba tidak memikirkan Patrick lagi karena teryata aku tidak bisa melakukannya, perasaanku masih sama seperti yang dulu" Natalie berpikir dirinya sendiri. Bram ikut duduk disampingnya, sambil memainkan Hpnya dia menerima WhatsApp dari Rina yang menanyakan kabar putri satu - satunya. "Mamamu mengirim pesan" Bram memperlihatkan layar Hpnya dan Natalie hanya mengangguk lesu. "Aku mau telepon mama dan papa dulu kalau begitu" Natalie masuk ke dalam kamarnya kiranya dia bisa sejenak menghibur dirinya dengan berbicara di telepon dengan orang tuanya di Amerika. "Halo" Natalie menaruh layar di telinganya dan terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon. "Hi, nak apa kabar, bagaimana kuliah kamu disana"? Suara Rina terdengar meletup "Baik" Natalie menjawab dengan semangat "Jaga Oma dan Opa baik - baik yah" dia berpesan sambil mengakhiri pembicaraan. Malam harinya pada saat Natalie sudah tidur, mimpi itu tidak datang lagi seolah Patrick memang benar - benar pergi selamanya. Keesokan harinya pada saat di dalam tramp menuju kampus, di pagi yang langit biru dan hawanya lebih dingin dari biasanya, Natalie duduk di pinggir jendela, matanya menatap kosong kearah ke jalan, dan pada saat berhenti di sebuah halte, seorang lelaki dengan kemeja kuning masuk ke dalam bis dengan dua orang temannya, kelakuannya seperti mencerminkan laki - laki yang bersikap kampungan, dia tertawa keras - keras, padahal orang yang duduk di belakang mereka sudah melotot dengan tajam, mestinya orang - orang yang tinggal disini sangat menjaga sikapnya tetapi dia tidak, mereka berbicara menggunakan bahasa setempat dan terlihat penduduk asli, laki - laki itu menyandang ransel di bahu kanannya. "Shut upppp"!!!! Natalie bertreriak dari jauh, wajahnya diperlihatkan sedang emosi, Natalie mengira dia akan diam tetapi sebaliknya, dia melotot kearah Natalie. "Baru kali ini yah ada yang berani denganku" dia bersikap seperti jagoan yang sangat arogan dan tidak terkalahkan. "Sudahlahh, dia juga hanya seorang gadis" temannya menepuk bahunya dengan tertawa terbahak - bahak. "FREAK YOU"!!!!! Mendengar kata - kata itu, emosinyapun langsung meledak. "Heyy kamu ini siapa yahhh, berani sekali rasanyaaa kamu tidak tahu siapa aku"? Dia bersikap sombong. "I DONT KNOW"!! Natalie membentak dengan keras, dan pada saat meninggalkan kendaraan rupanya laki - laki itu masuk ke dalam kampus yang sama, hanya saja dia berjalan kearah Fakultas yang berbeda, dan rasanya benar - benar seperti dunia akan hancur kalau satu kampus dengan laki - laki arogan, sombong, dan kampungan serta tidak tahu aturan begitu. Natalie masuk ke dalam gedung fakultas dengan perasaan menggebu emosinya dia duduk di taman sambil membuka laptopnya dan Alina menghampirinya dari kejauhan, lalu duduk disampingnya nafasnya terdengar ngos - ngosan. "Kamu memang habis lari marathon ha...ha...ha" Natalie meledeknya sambil tertawa pelan. "Enak saja, aku dari tadi sedang mencarimu" Wajah Alina nampak cemberut. Kemudian Natalie terdiam sejenak, dan memandang kedepan melihat rumput disana, dan Alina memerhatikan dirinya sambil memiringkan matanya, menatapnya ingin tahu isi hatinya namun Natalie tiba - tiba saja berdiri sambil menyandang ranselnya di bahu kanan, dan meninggalkan Alina disana. Dia berjalan melangkah menelusuri lorong kemudian masuk ke dalam Cafetaria, Natalie masih ada kelas nanti jam dua belas, dan sekarang baru jam sebelas, Natalie mengambil nampan makannya dan memilih Burger di dalam etalase kaca kemudian mengambil juice strawberry dan membawanya kasir untuk membayar lebih dulu, baru duduk di kursinya. Dia menyuap burger sambil menghadap etalase makanan prasmanan tersebut dan laki - laki yang barusan di tramp melintasj dirinya, dia selalu tidak pernah sendirian, pasti bersama dua orang temannya tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya piring disisir kesamping belahannya. "Brakkkkk" suara meja dj hentakkan membuat Natalie tersentak menoleh ke arah disamping kirinya, rupanya dia juga tukang bully orang yang terlihat lemah. Seorang mahasiswa nampak takut memandang wajahnya, dia tidak berani menatap matanya. "Semester berapa kamu"? Dia bertanya kasar "Vierr" dia menjawab dengan suara gemetar "Ja anak baru angkatan kencur sudah berani dengan yang lebih tua, kamu ikut komunitas basket denganku tapi kenapa kamu kemarin tidak datang"?? Dia bertanya dengan berteriak. "Kemarin aku masuk rumah sakit" dia merasa ketakutan. Natalie memandang dengan menggeleng kelakuan laki - laki itu, sambil menepuk dadanya rasanya kalau di kampus disini tidak pernah ada senioritas tapi mereka melakukannya dan rasanya hanya mereka saja yang melakukan itu, dan nampaknya kedua temannya itu justru mengompor - ngompori. Dan hanya mereka yang melakukan seperti ini, ada seseorang yang melihat mereka dan dia seorang gadis hendak mendekatinya. "Kamu jangan berbuat onar lagiii, kalau sampai pihak dosen tahu, bisa - bisa kamu kena sanksi dan ini kampus bukan tempat berkelahi"!!! Dia berteriak tidak suka melerai kelakuannya. "Bisa - bisa nama baik kampus kita tercoreng" dia memperingatkan. Natalie yang melihat perkelahian itu, teringat kalau dulu Hendra pernah bercerita waktu dulu kuliahnya sangat nyaman dan tidak pernah ada kejadian yang mencoreng nama baik kampusnya. Dan memang waktu Natalie pertama kali kuliahpun tidak ada yang namanya dikerjai oleh senior namun yang dilakukan laki - laki itu bukan seperti mengerjai junior melainkan seperti merasa sok berkuasa. "Alaah, kamu itu perempuan tidak usah ikut campur urusan laki - laki" dia menyahutnya dengan pedas, kata - kata itu sama persis seperti yang dilontarkan kepada Natalie pada waktu di bis seperti meremehkan perempuan. Natalie ingin ikut membela namun dia tidak ingin masalah menjadi besar. "Okeeyyy jadi kamu mau apa"!!! Perempuan yang disebelahnya terlihat marah. "Itu urusanku" dia berkata sinis, dan tangannya yang meremas kerah baju korbannya dilepaskannya dan meninggalkannya tidak berdaya begitu saja, laki - laki itu nampak sangat ketakutan hingga matanya melotot tajam. Dan pada saat dia berjalan keluar cafetaria, dirinya melintasi Natalie di belakangnya sejenak dia memandangnya dengan tajam baru melanjutkan langkah kakinya dan Natalie hanya terdiam terpaku disana. Kejadian itu tidak pernah bisa dilupakan olehnya, matanya masih terbayang kelakuannya, pada malam harinya Natalie sedang berjalan di sebuah taman, dan dia teryata juga ada disana, duduk melamun dalam sebuah kursi, kali ini dia sedang sendiri. Dan sepertinya sikapnya jauh berbeda dibanding di kampus. Yah sikapnya memang terbilang misterius kasar, arogan, seenaknya sendiri, tidak tahu aturan, urakan tapi dia memiliki hal yang terselip di hatinya, Natalie melihatnya dari jauh dia baru menerima telepon, dan teryata mahasiswa yang kemarin di bully olehnya bukan hanya sekali saja mengalami, karena dia menjadi tertekan dia mengadu pada orang tuanya dan kini wajahnya berubah cemas, dia meninggalkan kursinya dan terlihat akan pergi ke suatu tempat. Keesokan paginya di kampus, laki - laki itu nampak berbuat masalah lagi, dia kali ini menghina seseorang mahasiswi di grup Facebook hanya karena dia mengirim WhatsApp tidak dijawab olehnya. Begini kalimat bunyinya "Dasarr yahhh punya hp tapi seperti tidak punya jangan - jangan hpnya itu juga nomornya membohongiku hufff buang saja hpnya kalau begitu, dasar anak orang kaya sombong" Dan kalimat itu menyakitkan hatinya tapi yang Natalie sedang pikirkan memang ada sesuatu tersembunyi dari dalam dirinya dia menyinggung soal orang kaya. Kelihatannya dia juga tidak punya teman selain dua orang temannya itu, mungkin karena jengah dengan sifatnya. sore harinya pada saat pulang dari kampus Natalie duduk di tramp, dan laki - laki itu juga masuk kembali ke dalam tramp yang sama, disana sudah penuh orang dan kursi yang tersisa hanyalah disebelah Natalie mau tidak mau dia harus duduk disana. "Kamu lagi"? Dia menegur Natalie dengan sangat tidak ramah, karena mengingat kejadian awal bertemu dengannya. "Yah dan sebenarnya aku juga tidak sudi duduk disebelahmu" Natalie membalasnya ketus. "Kamu sudah semester berapa memang"? Tanya Natalie kemudian. "Setahun lagi aku akan mengambil skripsi dan sebenarnya aku kuliah agak terlambat untuk mengejar kelulusan..." dia bercerita sedikit. "Yah karena kamu seorang yang tukang berbuat onar di kampus, aku yakin pasti mata kuliah kamu banyak yang gagal" Natalie menanggapi dengan nada tidak ramah "Itu urusankuuu, lagipula kamu ini tahu apa tentang aku" dia mulai bersikap sombong Namun terlihat dia tidak melakukan apapun, yang lebih terhadap Natalie dia hanya cemberut kemudian menatap Natalie sinis, sikapnya memang dingin. "Siapa nama kamu"? Tanyanya kemudian, Natalie hanya menjawab datar dirinya "Natalie" "Hans" dia menyebut namanya Dengan sikap yang kaku pada saat bis itu berhenti, Hans turun lebih dulu dan Natalie baru belakangan, rasanya seharian dalam bis bersama orang semacam dia, gerah juga, Natalie merapikan jaket yang dikenakannya sambil memandang ransel di bahu kanan, menuju gedung fakultas kemudian menelusuri lorong, lalu membuka salah satu pintu kelas dan disana sudah ada beberapa orang yang datang, Natalie memilih tempat duduk di bagian kursi pojok dekat tembok sebelah kanan, kemudian mulai membuka laptop untuk sekedar menyimpan data tugas yang baru selesai lalu menutupnya kembali. Proffesor Andrianus, baru saja masuk ke dalam kelas dan kemudian menaruh tasnya diatas meja dan memanggil nama absen masing - masing yang mahasiswa atau mahasiswi yang mengambil kelas mata kuliahnya kemudian memulai materi pembahasannya dan baru selesai jam dua belas. Setelah selesai Natalie keluar kelasnya dan tiba - tiba saja dia mendapat telepon dari Oma Jessica "Yah halo oma" Natalie menyahut telepon dengan sopan. "Nak nanti pulang kuliah, kita hari ini beli makan saja yah diluar, opa sekalian nitip sambal goreng, dia suka sekali" terdengar suara Jessica dari seberang telepon. "Iyah nanti aku belikan" Natalie menyudahi teleponnya Malam hari itu... Hans berjalan kearah sebuah pusat rehabilitas, selama ini dia kuliah sambil merawat sepupunya yang mengalami sedikit gangguan psikologi mental, orang tuanya telah tiada karena kecelakaan bis dan sejak saat itu dia mengalami trauma yang sangat dalam karena satu keluarga tidak ada yang selama, hidup sendiri bagai kapas yang tak bertuan dan sayap yang patah hanya tersisa oleh luka berdarah. Hidup Hanspun harus mengurus dirinya karena hanya dia sepupu terdekatnya meski jarak negara memisahkan, gagal sudah impian juga untuk masuk ke universitas tidak main - main itu hancur sudah hidup dan mungkin lebih baik mati. Dibalik sifatnya yang yang seenaknya di kampus teryata dia sosok yang bijak, sosok yang justru menyimpan kebaikan yang mereka tidak ketahui, penyebab sifat buruk Hans selama ini adalah karena dia merasa orang - orang kaya adalah orang yang kejam, terutama kalau dia seorang gadis, karena kekayaan yang dimiliki oleh sepupunya dulu jatuh begitu saja karena keadaan dirinya, bahkan Hans yang bukan orang berkecukupan harus menyisikan uang kuliahnya untuk biaya perawatan. Di dalam lorong dia masuk ke dalam dengan ukuran besar dan sepupu Hans duduk dengan tatapan kosong diatas ranjang, air matanya menetes seperti kalau mengingat tentang Amerika Apalagi tentang bis yang membawanya bernasib tragis. "Kamu makan dulu yah" dia berkata ramah sambil menyuapkan makan padanya "Natalie" tiba - tiba saja dia menyebut nama itu, dan nama itu membuat Hans berpikir rasanya nama itu tidak asing di telinganya, namun tidak mungkin kalau Natalie teman kampusnya. "Patrick, Natalie siapa yang kamu maksud"? Dia bertanya dan Patrick hanya diam saja, keresahan mulai menerpa dirinya, baginya mustahil kalau itu adalah Natalie gadis itu. "Makan dulu saja yuk" Hans menyuapkan makan ke dalam mulutnya lagi, dan Patrick hanya bisa meneteskan air mata, dia sudah tidak bisa bicara layaknya orang normal selama ini dia hanya diam seribu bahasa dan pertama kalinya dia menyebut nama Natalie. Jadi selama ini yang mengalami kecelakaan pesawat itu adalah keluarga Johnson yang lain yang nama keluarganya serupa dengan nama keluarga Patrick, dan sebenarnya keluarga Patrick mengalami kecelakaan bis pada saat mereka pindah ke Den Haag dan Patrick hendak kuliah disana. Part 8 Keresahan Di tempat yang berbeda Natalie sedang, membayar di kasir dia baru saja membelikan makanan kesukaaan Bram dan Jessica, pada saat di trotoar jalanan tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang gadis, Natalie melihat seperti gadis yang bersama Hans waktu itu, dia tersenyum pada Natalie sambil membantunya berdiri. "Kamu Natalie kan anak dari fakultas ekonomi"? Dia bertanya "Yah benar" Natalie hanya mengangguk, kemudian berlalu meninggalkannya, entah bagaimana tiba - tiba saja perasaannya menjadi resah saat bertemu dengannya, bagai badai yang menerpa kencang dalam tubuhnya, alam pikirannya tiba - tiba menjadi kacau. "Tidak ada yang bisa menggantikan Patrick dihatiku, biarlah aku sendiri berteman cinta yang hanyalah hampa dan cinta itu hanya aku saja yang tahu" dia berkata dari dalam hatinya. Di sepanjang perjalanan, keresahan yang tanpa arah mengisi jiwanya begitu saja, tiba - tiba saja entah kenapa....? Natalie teringat kembali tentang Patrick, yang telah tiada di dunia dengan meninggalkan cinta yang belum sempat diketahui olehnya dari Natalie. "Tuhan, kenapa aku harus hidup tanpa Patrick" kata hatinya bicara kembali Air mata Natalie terasa meleleh, impian Natalie dia tetap bisa bersama - sama dengan Patrick kemana saja waktu akan membawa pergi, tapi adilkah hidup...? Jika Patrick yang harus pergi dulu darinya. Sulit rasanya untuk saat ini membuka hati pada yang lain, biarlah Patrick hilang tetapi cinta tetap hidup di jiwa. Rasanya Natalie ingin sekali, mencari makam Patrick, tapi dimana...? Dan sepertinya jasad Patrick sudah tidak utuh lagi, tapj biarlah Natalie memeluknya, menangis di samping dirinya "Aku mencintainya, tapi kenapa Tuhan membiarkan cinta itu hanya menggantung dalam hatiku tanpa mendengarkan dulu perasaanku padanya..." "Patrick apakah yang kamu katakan itu benar adanya, kalau kamu mencintainya.., bukan aku, tapi kenapa kamu justru memberikan hatimu padaku, dan kamu tahu perasaan ini sama" Natalie berkata dari dalam hatinya, "Emily yah, aku harus menghubunginya" dia berkata lagi dari dalam hati. Malam harinya keresahan yang semakin menjadi puncak di jiwa, semakin membuncah Natalie meremas Hp dalam genggamannya dan mengirim whatsapp pada Emily. "Emily apa kabar"? "Baik" dia menjawab singkat "Bagaimana kuliahmu dj Den Haag"? Dia bertanya kembali "😊" Entah apa maksudnya Natalie hanya memberikan simbol smile di layar balasan whatsapp Emily membalas emoji tersebut "😮" "aku ingin membahas tentang Patrick yang selama ini sudah terkubur lama" "Natalie sudahlah.., aku tahu perasaan kamu" Emily langsung menyahutnya "Kamu tahu sesuatu tentang Patrick"? Natalie mendesak Emily hingga akhirnya dia harus mengeluarkan perasaannya pada Natalie. "Patrick, tidak pernah mengatakan apapun padaku waktu itu, bahkan dia juga tidak pernah menyatakan cintanya padaku, sama halnya dengan dirimu. Aku merasa juga sebenarnya ada yang janggal darinya dan kini telah terkubur selamanya tanpa terungkap" Emily menulis panjang lebar di whatsapp Hal itu membuat Natalie berpikir, dia harus menguak misteri tentang Patrick, namun bagaimana caranya, andai saja dia bisa menyusulnya mungkin misteri itu akan terungkap. Part 9 penyelamat hidup Di malam itu, Natalie berjalan sendirian dalam sebuah taman, pikiran tentang Patrick akhir - akhir ini semakin menghantuinya, pikiran yang terselubung tak mampu di tahannya lagi, air mata menetes sambil di kursi taman itu, kemudian beranjak dari kursi untuk berjalan kearah Tengah jalan rasanya memang benar - benar semua tidak berarti lagi, sebuah kendaraan Sedang melintas dengan ngebut hendak menabrak dirinya, tapi ada seseorang yang menarik tangannya dari arah samping, dan tubuh Natalie terjatuh kearah samping tengkurap memeluknya dan setelah dia sadar, matanya terbelalak memandang laki - laki yang telentang memeluknya. "Hans" dia menyebut namanya wajahnya tercengang, tidak percaya kalau teryata laki - laki menyebalkan seantero kampus menyelamatkan hidupnya, Natalie berdiri lebih dulu kemudian merapikan kemeja serta jaket yang dikenakannya, Hans juga ikut berdiri disamping kirinya. "Memangnya tidak ada orang lain apa, sepertinya kemana - mana selalu ada kamu...." Natalie mengeluh. "Kalau kamu hantu, aku sudah panggilkan pengusir hantu buat mengusir kamu selamanya..." dia menambahkan kalimatnya. "Dasar yah perempuan tidak tahu dirii..." Hans membalasnya dengan ketus. "Daripada kamu, anak tidak pernah diajari oleh orang tuamu yang baikkk"!!!! Natalie memekik keras. Mendengar ini, emosi laki - laki itu menjadi bertubi - tubi, entah apa yang dirasakannya seperti kata - katanya amat menyinggung perasaan dirinya, tangannya mengepal ingin menampar wajah Natalie namun dia menahannya, apa yang tersimpan dibalik dirinya, Natalie melotot memerhatikan wajahnya dengan tajam, diapun membalasnya, wajahnya marah benar - benar tidak biasa dan kini Natalie merunduk, dia merasa takut. "Aku minta maaf, aku hanya merasa sebal dengan kelakuanmu di kampus" dia mengungkapkan perasaannya. Natalie benar - benar sadar, jika seseorang itu terlihat tidak sempurna dari luarnya maka justru dari dalam dirinya jauh lebih sempurna, Hans menatap wajah Natalie, dan teringat akan sepupunya yang mengucap nama Natalie, namun rasanya ada ratusan nama Natalie di dunia dan bisa saja Natalie lainnya bukan yang saat ini bersamanya. Entah bagaimana, dia seperti ingin mulai mendekati dirinya dan mengubah sifat buruk dirinya sejak mengenal Natalie, tetapi Natalie masih terperangkap dalam kisah lalunya bersama Patrick dan mau sampai kapan dia belum juga bisa mengubah kehidupannya. Ada sebuah perkataan yang menyadarkan dirinya dari Natalie dan itu yang membuatnya sadar akan kesalahan di masa lalu dirinya, dia tidak lagi membully orang atau berbuat masalah seperti dulu. Natalie memikirkan kejadian itu, pikirannya semakin menjadi rumit baginya, ada rasa yang tak bisa untuk seculi saja menghilangkan rasanya pada yang lain, sampai kapanpun hanya boleh nama Patrick yang singgah dihatinya Dia baru selesai mengerjakan tugas, lalu melihat buku yang tergeletak disampingnya. Buku hariannya dulu tentang Patrick, Natalie hendak meraihnya namun suara ketukan pintu dari luar mengagetkan dirinya. "Iyah oma" dia menyahut sambil menutup laptopnya kembali, kemudian berjalan kearah pintu kamarnya untuk membukanya, dan Natalie berdiri dari ambang pintu. "Kamu kapan liburan semester"? Dia bertanya "Sejauh ini masih perkuliahan biasa"? Jawab Natalie. "Mama dan papa, katanya akan berkunjung kemari kalau kamu sudah liburan semester dan mungkin kita akan jalan" Jessica memberi tahukannya. "Yah, oma" Natalie kemudian menutup pintunya kembali, ada hasrat kalau dia ingin membuka harian miliknya, namun Natalie sudah tidak kuasa lebih dulu menahan air matanya melihat foto Patrick terselip di sela halaman buku, tangannya terasa gemetar dan tanpa sadar menjatuhkan buku tersebut, sulit untuk mengembalikan waktu yang telah berubah kecuali dengan melakukan bunuh diri, karena hidup di dunia adalah butuh cinta. Siapapun dia tetap membutuhkan cinta dengan lawan jenisnya dan kelak akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat. Rasanya fana bila hidup tanpa cinta dari kekasih, dan kekasih Natalie hanyalah Patrick meski belum menjadi resmi kekasihnya tetapi hanya tambatan hati. Sampai detik ini, baginya masih sulit bangkit dari terpuruk di masa lalu karena cinta, dia masih merasa Patrick itu hidup walau sudah tiada, hidup sampai kapanpun di hati dan cinta tak pernah mengenal batasan waktu atau jaman telah berubah. Dalam tempat yang berbeda, Hans juga memikirkan kejadian itu, hatinya merenung tentang Natalie, dia sosok yang berbeda dari yang lainnya, dan hal itu yang membuatnya akhirnya sifatnya berubah. Tetapi sebenarnya ada gadis lain yang mengejar dirinya, sejak dulu, gadis itu bernama Marion, gadis yang waktu itu melerai perkelahiannya dengan laki - laki yang berada di cafetaria, namun Hans tidak mudah untuk jatuh cinta begitu saja, dia tidak ingin sosok perempuan seperti mamanya dulu yang meninggalkan papanya dengan wanita lain, hal itu yang membuat awalnya laki - laki ini, berpikir semua wanita adalah sama, tetapi lain hal dengan Natalie yang justru sulit berubah untuk menjalani hidup barunya, menerima kenyataan kalau Patrick bukanlah jodoh untuknya. Kegagalan cinta memang menyakitkan, apalagi kegagalan itu jika cinta itu hanya bertumpu pada harapan yang semu, mau sampai kapan hidup Natalie terus begini, tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Namun Hans tidak tertarik padanya, Marion sosok gadis yang ego dan keras kepala untuk mendapatkan sesuatunya harus terpenuhi. Hans membuka pintu kamarnya dan menelusuri setiap sudut ruang untuk berjalan kearah ruang tv, rumahnya memang tidak besar karena dia bukan orang yang berkecukupan. "Jika ada tawaran ada yang bisa aku kerjakan, mungkin aku boleh melakukannya" dia berkata pada Elena mamanya. "Kamu tidak khawatir dengan masalah student pass kamu" laki - laki itu tahu yang dimaksud dan resikonya jika ketahuan dia bekerja sambil kuliah, tetapi uang yang disisihkan selama ini sudah banyak dikeluarkan demi membayar biaya perawatan Patrick dan itu uang Elena, bukan dari hasil tenaganya sendiri, sebagai laki - laki yang sudah dewasa baginya harus bersikap dan punya tanggung jawab lebih besar kalau perlu pengorbanan yang membuatnya lemah dan menderita. "Aku tidak peduli dengan student pass, aku dulu sudah sering berbuat onar juga, dan sekarang aku ingin benar - benar juga, mereka sudah mengenal sifatku yang tidak baik dan mama pernah terseret juga ke dalamnya" dia berkata panjang lebar. "Aku tahu itu bukan sebenarnya dirimu" dia mengelus rambutnya dengan bijak, ada perasaan yang menyelinap kembali di hati tentang nama Natalie di waktu yang bersamaan, dia menghela nafas panjang lebar. "Barang siapa yang memang sudah menghancurkan hidupnya, sampai mati aku akan mengejar orang itu, Patrick dia sepupu aku yang amat aku sayangi" dia berkata tegas, dan tahukah Hans, jika Patrick mengenal Natalie dan itu adalah Natalie yang dimaksud adalah orang yang hanya satu kampus dengannya bukan yang lain, jika tahu dia akan berbuat yang akan sangat menyakitkan pada Natalie, kalau mengetahui sebenarnya selama ini Patrick menyimpan rasa cinta pada Natalie. Keesokan harinya di kampus, Natalie sedang di depan layar laptop untuk mengetik tugasnya, matanya terfokus pada setiap kalimat yang dilihatnya, dan Hans berbuat hal yang tidak biasa padanya yaitu mendekatinya. Perasaan yang sudah mati dan membeku, tetap saja membuatnya bersikap datar meskipun mereka sudah tidak lagi berkelahi. "Aku sedang mengerjakan tugas makalah yang menumpuk akhir - akhir ini" dia bercerita pada saat laki - laki tersebut menarik kursi di depan mereka untuk duduk. "Mestinya kamu biarkan aku mati kemarin"! Suaranya terdengar dalam, dan hal ini membuat pikiran Hans ingin menembus apa yang ada dalam otak Natalie. "Kenapa kamu berpikir begitu"? Dia bertanya "Jangan desak aku bercerita tentang ini" jawab Natalie "Mungkin kamu tidak pernah merasakannya" dia meneruskan kalimatnya, lalu Natalie meninggalkan tempat tersebut dan Hans masih duduk disana, rasa yang bersemayam dalam hati adalah tak biasa, dan rasa itu karena melihat melihat sifat Natalie yang lembut, pemuda mana yang tidak tertarik pada gadis lemah lembut tapi juga tidak mudah didekati, dan itu yang membuatnya penasaran. "Sekarang aku sadar yang aku lihat bukanlah dunia yang orang tahu tentang dirimu, tapi yang mereka tidak tahu, namun maaf aku masih menyimpan perasan ini pada Patrick selamanya" Natalie berkata dari dalam hatinya. Hans yang masih terbujur duduk disana, terpikir kembali tentang kalimat apa yang dikatakan oleh Natalie padanya tentang orang tuanya, yah memang penyebab dia mudah tersinggung kalau disinggung tentang orang tuanya, karena adanya keluarganya yang berantakan, dia menjadi sensitif dengan kalimat tersebut, karena seakan mengingatkan kembali pada perceraian orang tuanya dimana Robert papanya meninggalkan Elena begitu saja, sungguh menyakitkan, baginya dan Elena harus berperan sebagai mama sekaligus papa di dalam rumah, yah dia wanita yang tegar tapi juga wanita yang sibuk namun untungnya mampu meluangkan waktu untuknya, namun ada hal yang paling menyakitkan, dimana semua kekayaan yang dulu harus jatuh berserakan demi pengorbanannya pada Patrick, meski pedih tapi harus merelakannya, Patrick lebih membutuhkan daripada dirinya sendiri karena itu Hans selalu sinis terhadap orang kaya yang nampak hanya menghamburkan uang saja tidak ada gunanya, apalagi jika anak - anak mereka dimanja oleh harta. Karena itu sikapnya menjadi seperti menjadi berkesan arogan, sombong, tidak tahu aturan, sinis, dingin dan ketus akhirnya berbuah menjadi tukang pembuat masalah karena orang menjadi menjauh padanya untuk berteman, kecuali dua orang temannya itu. Part 9 Kebencian Paling Menyakitkan. Natalie, baru saja keluar dari dalam toko, dan berpas - pasan dengan Alina di pinggir jalan, dan entah kenapa tiba - tiba saja wajahnya berubah menjadi serius "Kamu mengenal Henry Walker" ? Mata Natalie terbelalak mendengarnya bibirnya terasa membeku, dan pikirannya kembali pada patrick, jantungnya berdegup keras naik dan turun, sekujur tubuhya terasa membeku. "Aku mengenalnya tapi tidak begitu waktu sma" Natalie mengangguk lemah. "Dia bercerita temannya Patrick johnson" mendengar bagian kalimat ini, rasa yang semakin menyesakkan hati Natalie semakin bertubi. "Aku hanya berpikir, kasihan dengan gadis yang selama ini hanya digantungi oleh Patrick bahkan sampai membawanya mati, itu karena Patrick tidak sanggup menyatakan cinta padanya, yang ku tahu lagi juga, karena dia punya sepupu, yang mamanya terluka karena cinta, Patrick tidak ingin mengalami seperti dirinya, dia hanya mau kalau mencintai adalah yang tulus, karena itu tidak mudah baginya mengatakan jatuh cinta pada seorang gadis manapun" dia bercerita panjang lebar, dan air mata Natalie menangis mendengarnya. "Alina gadis yang Patrick gantungi selama ini sampai dia meninggal itu aku" Natalie berkata dari hatinya yang paling dalam. "Je dentk kao jou"? Alina bertanya, dan Natalie hanya diam murung, bibirnya terasa membeku. "Apa hubungannya kamu dengan Henry"? Suaranya tiba - tiba meninggi, perasaanya mulai kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, Alina mulutnya terasa dikunci rapat. "APA HUBUNGANNYA KAMU DENGAN HENRYYY"? emosinya semakin tidak terkontrol, Alina hanya bisa bengong menatap sikap Natalie yang begitu emosional mendengar nama Patrick disebut, dan Alina merunduk merasa bersalah, telah menceritakan sesuatu yang menjadikannya masalah besar. "Berapa nomor whatsapp Henry aku mau bicara"!! Suara Natalie terdengar serak parau, air matanya tidak dapat ditampung lagi olehnya. "Aku adalah teman masa kecil Henry, sebelum aku pindah ke negara ini" Alina menjelaskan padanya. "Sebenarnya selama ini dia banyak bercerita tentang kelemahan Patrick dan sesuatu yang mungkin kamu belum tahu" Alina berkata pelan - pelan. "Aku tahu semua tentang Patrick dia temanku dari umur dua belas tahun, Alinaaaa" Natalie memekik melengking "Jangan sebut Patrick sahabat atau teman, kalau kenyataannya yang di hatimu dengannya sama"!! Tegas Alina memotong perkataan Natalie dengan cepat. Pada saat itu Alina yang mengenggam Hpnya menyambungkan teleponnya ke Henry kemudian setelah tersambung dia memberikannya pada Natalie. "Halo Henry apa kabar ini aku Natalie"? Dia menangis sambil menaruh Hp di telinga. "Bisakah kamu hubungi ke nomorku, biar Alina yang nanti memberikannya" dia langsung mengakhiri teleponnya dan rasanya butuh waktu untuk menenangkan diri dulu, tidak lama Henry mengirim whatsapp pada Alina. "Alina, berapa nomor whatsapp Natalie"? Dan Alina langsung menulis nomornya di balasan pesan kemudian mengirimnya. "Kamu memang butuh bicara pada Henry tentang Patrick" Alina mengangguk tegas, dan Natalie yang masih belum mampu mengontrol emosinya dia langsung jatuh di pelukkan Alina rasanya sangat menderita juga, menahan perasan cinta yang semakin malam menjadi siksa hatinya karena hanya tertahan dengan hampa. "Natalie sabar yahhh" Alina mengelus rambutnya sambil memeluknya. Malam hari itu.... Dirumah Hans, Marion datang kerumahnya, dia meneguk minuman yang berada diatas meja dan menaruh gelasnya kembali, tatapan matanya terasa tajam dan dingin, peragainya seperti gadis yang kejam, dia menyimpulkan senyuman kaku pada Hans. "Belakangan kamu dekat dengan mahasiswi bernama Natalie"? Dia memulai pembicaraan "Biasa saja" dia hanya menanggapi dengan santai. "Bukankah kamu anti dengan orang kaya selama ini"? Perkataannya membuat wajah Hans berubah kepadanya dengan ekpreksi tidak senang. "Kalau maksud kamu hanya bertujuan cari masalah keluar dari rumahku sekarang"! Tangannya menunjuk kearah pintu rumahnya. "Selama ini bukankah itu kelakuanmu, hingga aku justru aku yang jengah terhadap dirimu, kamu membully orang yang lemah darimu dan, kamu membenci orang kaya, kamu tukang pembuat masalah di kampus. Karena itu kuliahmu terlambat selesai, bagus kalau mereka masih memberimu kesempatan tapi sekarang kamu berubah seperti bukan diri kamu" perkataan Marion seakan memojokkan dirinya. "Je beb e jelouser Natalie"? Tatapan mata Hans tidak berkedip padanya. "Kamu tahu sendiri nanti" Marion seakan mengancam dirinya. "Apa rasanya jika cinta ditolak hingga puluhan kali, harus ada yang dibayar" dia keluar rumah dengan perasaan yang begitu marah, dan sikapnya tidak biasanya. Selama ini laki - laki itu memang sudah acap kali, menolak Marion pada saat memberikan perasaannya padanya, meskipun dia juga punya sifat buruk tapi dia tetap masih bisa untuk berpikir jernih soal cinta, sebagai laki - laki tetaplah wanita terbaik yang dipilihnya, memiliki sifat lemah lembut dan tidak agresif berlebihan. Marion yang dibakar cemburu terdalam, berjalan kearah halte untuk menunggu bis dan dia kemudian masuk ke dalamnya, selama dalam perjalanan, dia telah menyusun suatu rencana agar Hans bisa jadi miliknya. Cemburu berlebihan telah membutakan mata dan pikirannya, ketika dia sampai dirumahnya Marion berjalan masuk ke dalam kamar, dan dengan tanpa sadar bagai orang setengah gila dia membanting barang di dalam kamar dengan mengamuk, kemudian menjerit sambil menangis dengan histeris, Natalie harus menjadi orang paling menderita sedunia baginya. Namun dia butuh waktu lama untuk memikirkan rencana itu dengan matang, setelah memasukki semester baru, enam bulan kemudian, dia baru menyusun rencana itu, sepertinya Marion menawarkan bekerja di restoran milik orang tuanya, namun sayangnya cara itu tidak berhasil dan akhirnya mencari siasat cara lain yang lebih cerdas. Marion dengan sengaja, mencari tahu apa yang disembunyikan olehnya dan di ketahui oleh semua mahasiswi dan mahasiswa di kampus. Senja diatas mentari, berwarna oranye, tanpa sadar Hans telah akrab dengan Natalie, bahkan ada rasa yang tersimpan, di hatinya, sepulang dari kampus, mereka jalan berdua menelusuri lorong keluar gedung fakultas, dan Hans melambaikan tangan dari anak tangga, Natalie tetaplah diam dan tak bergeming. Siapapun dia, tetaplah bukan Patrick, dan Natalie tetap menjaga kesetiaannya meskipun hanya hampa belum juga terjawab, bertahun lamanya dan semakin mengikis perih hatinya Rasanya kenapa tidak menyudahinya saja tapi Patrick adalah yang pertama dan terakhir untuk Natalie. Gadis itu, duduk di anak tangga sambil menghela nafas. "Tuhan, aku tidak akan mengizinkan siapapun masuk ke dalamnya, tidak semudah itu membuka pintu jiwaku, aku tidak akan biarkan ada yang mencintaiku yang lain selain Patrick, kalaupun ada mungkin aku akan memilih jalan agar yang lain tidak bisa menyentuhku. Abadi bersama cinta pertama dan terakhirku. Tahukah kamu, selama ini, apa yang aku rasa itu, tolong dengarkan hatiku" dia berkata lirih dari dalam hatinya paling dalam. Lorong rumah sakit, terdengar berdebum lantainya oleh langkah Hans disana, dirinya tak menyadari jika ada yang akan memanfaatkan keadaan semuanya. Marion sudah mengikutinya dari mulai di bis, kamar pasien dibukanya, sudah berapa bulan dia tidak kesana, karena sedang mencari uang untuk tagihannya yang semakin besar biayanya dengan menanggung hidup Patrick, dia semakin seperti orang gila, keadannya tidak terurus sama sekali, air matanya meleleh tidak tahan untuk keluar, tanpa sadar ada yang mendengar semua pembicaraannya dari luar. Marion tersenyum kejam mendengarnya. "Aku tahu, apa yang harus aku lakukan terhadap Natalie" dia berpikir jahat. Marion tersentak, ketika laki - laki di dalam sana, mulai membalikkan badan, sebelum dirinya terlihat dia cepat - cepat bersembunyi tapi akalnya kini sekarang sudah seperti kelinci. Di kampus, dia menyebarkan berita kalau Hans punya sepupu sakit mental, dan dia mengatakannya kalau berita itu dia dapat dari Natalie. Natalie yang tidak tahu apa - apa, dia berjalan masuk ke dalam kelas, ada hal yang janggal dalam dirinya, semua mata tertuju kepadanya dengan penuh kebencian, seolah Natalie adalah orang yang sangat jahat bahkan Alina juga melakukan yang sama, menuduh dirinya, mereka semua membenci Natalie, bahkan ada yang tidak menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah di lakukannya, padahal dia tidak melakukan apapun sama sekali, Marion tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan kali ini dengan akal yang lebih cerdik dari sebelumnya, kenapa tidak dia melakukan hal itu sebelumnya, berpikir matang. Dia tertawa perlahan, baginya dengan cara ini dia akan mendapatkan segala hal yang diinginkannya terutama orang yang saat ini dekat dengan Natalie akan menjauhinya kemudisn bertekuk lutut di hadapannya. Selesai perkuliahan pertama, langkah kaki Natalie menuju kearah cafetaria, Hans menghampirinya jantungnya berdegup kencang, tidak percaya jika dia menyimpan rasa cinta pada gadis yang salah, dia berdiri di samping Natalie, dengan terdiam mulutnya terkunci rapat menahan rasa kecewa. "Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya, jika hanya melukai" dia berkata dari dalam hatinya. "Kamu teryata gila Natalie" suaranya tidak terdengar biasanya ekpreksinya penuh kebencian. "Apa maksud kamu"? Natalie masih tidak paham. "Apa yang kamu lakukan terhadap sepupu aku Patrick, jadi selama ini yang kamu lakukan tanpa memikirkan perasaan dia, yahhh dia memang sekarang gilaaaa karena keluarganya semua meninggal tapi juga karena kamuuu"!!!!! Kebencian yang tersorot di mata Hans adalah yang paling menyakitkan, dibandingkan saling bencinya mereka waktu saling mengenal, dan kini juga Natalie mendengarnya sendiri kalau Patrick masih hidup tapi dia menjadi gangguan mental. Air matanya menetes tidak karuan, dia menangis meraung tidak tahu harus apa, tanpa ada yang melerainya, rasanya penderitaan itu belumlah cukup. "Dimanaaaaa Patrickkkkk sekarangggg"? Natalie berteriak histeris "Aku ingin bertemu dengannya, aku mencintainya sudah lama aku memendam rasa ini"!!!!!! "Kamu mencintainya tapi kamu menyakitinyaaaaaaaa, untuk apa kalau begitu lebih baik lupakannnnn diaaaaa"!!! Hans membentaknya keras. "Apa maksud kamu menghina aku dan dia ke seluruh kampus, begini saja kita berjauhan saja dan jangan pernah temui Patrick"!!! "Aku tetap akan menemuinyaaaa, dan aku tidak melakukan semua itu, percayalahhh" Natalie membantah sambil menangis, dia meremas pundak Hans tapi tiba - tiba saja. "Prakkkkkk" sebuah tamparan melesat di pipi Natalie, dan itu sungguh menyakitkan dirinya, tanpa sadar tangannya laki - laki itu menjadi melayang, dengan amarah besar dia memandang tajam. "Ni" dia memperingatkan kemudian meninggalkannya di tempat itu, Natalie benar - benar tidak menyangka juga kalau tetangganya yang di Amerika itu, mengatakan hal yang salah tentang Patrick teryata itu adalah keluarga Johnson yang lain dan Patrick bukan kecelakaan di pesawat melainkan di bis. Part 10 Terlambat Untuk Cinta Natalie, melangkah dengan gontai kearah rumahnya, apa yang di dengarnya benar - benar membuatnya tidak mampu lagi menahan kelemahan tubuhnya atas apa yang di derita oleh hatinya, dan semakin memuncak betapa rasanya perih menyayat hati mendengar perkataan Hans mengatakan hal itu, sejuta kali rasa berkecamuk dalam dirinya, Natalie meneteskan air matanya di dalam bis, sambil melayangkan mata, kearah jendela sambil menyandarkan kepalanya sambil bersedekap, bayangan Patrick dengan sangat jelas hinggap di matanya, rasanya hatinya lelah untuk terus berharap akan semu, dan ingin segala berakhir, masih teringat jelas di mata Natalie juga pada saat Hans menyelamatkan hidupnya Mungkinkah Tuhan memberikan jalan lain untuk jatuh cinta, tapi Natalie mengabaikannya hanya karena Patrick yang selalu abadi di hatinya, rasanya perih Hans menyakiti dirinya di akhir kisahnya, bahkan tidak mau memberi tahukannya keberadaan Patrick, wajahnya penuh benci, amarah dan dendam seolah Natalie gadis tidak punya hati. Air mata itu terus menetes, dia mencoba menghubungi Hans tapi terdengar dengan sengaja telepon tidak diangkat, dia benar - benar sudah menganggapnya musuh. Ada satu kalimat yang sengaja juga di kirim olehnya. "Teryata memang benar kalau gadis kaya itu hanya bisa mempermainkan orang lain, jangan tanya soal Patrick lagi, anggap saja dia sudah mati dan aku juga sudah mati"! Bunyi whatsappnya lebih menyakitkan daripada sifatnya dulu, dan ini adalah puncak rasa benci yang lebih melukai tubuh Natalie, daripada rasa benci sebelumnya. Untung saja dia sama sekali tidak berpaling ke hati lainnya tapi, ada rasa yang menusuknya sikapnya selama ini baik padanya, dan membuatnya sempat bimbang. Natalie tidak membalasnya, tapi hanya bisa tersedu, sepulang dari kampusnya Natalie berlari kecil ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarnya dia menjatuhkan dirinya di seprai menangis tanpa henti, hingga tenaganya terkuras oleh air matanya. Sedangkan dalam tempat yang berbeda, Hans sedang di rumah sakit, gadis itu mulai menghasutnya perlahan, dia duduk sambil menyuapi Patrick makan. "Biaya untuk bulan ini, sudah aku yang bantu menanggungnya" dia bersikap pura - pura manis untuk menutupi iblis di jiwanya gadis itu. "Thank" tidak biasanya Hans bersikap ramah padanya, hatinya sudah berhenti mempercayai Natalie padanya, apalagi Marion berusaha terlihat bersikap baik di depannya, bahkan dia membantu biaya rehabilitasi Patrick. Hatinya laki - laki itu, sudah tertipu dengan kelicikkan Marion yang bagai lebih dari kelinci. Bahkan berhasil membuat Hans jatuh hati padanya dan semakin membenci Natalie. "Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu"? Dia bertanya lembut. "Ja yang orang tidak tahu saja, seperti dapur restoran" dia menjawab. "Karena kamu tahu akibatnya aku bisa gagal maju sidang skripsiku tahun depan" dia meneruskan kalimatnya. "Yah okey" Marion mengangguk. Lambat laun mereka semakin, akrab dia sudah buta mata hatinya pada Natalie karena Marion bahkan berpikir kalau semestinya dulu tidak usah mengenal Natalie, agar diapun tidak tahu tentang Patrick yang sebenarnya bahkan tidak berhak tahu, jadi Natalie itukah yang kerap disebut namanya oleh Patrick. Dan kalau saja Patrick sembuh, dia akan berlari mengejar Natalie, rasanya Hans lama - kelamaan bagi cinta mereka, karena sesuatu yang salah dalam dirinya, menilai Natalie dan mendengar berita yang salah, tanpa dia sadari Marion di balik semua rencana itu. Rasanya untuk apa juga memberikan hati pada gadis semacam Natalie, bahkan Patrickpun tidak boleh, dia tidak akan juga merebut Natalie dari tangan Patrick untuk dicintai melainkan disakiti adalah lebih pantas untuknya. Siang hari di kampus, Natalie sedang membuka Hpnya, Hans sudah menghapus pertemanannya di Facebook, tapi ada yang lupa dia lakukan, adalah memblokir Facebooknya dan disana tercantum alamat lengkapnya di bio pengguna, Natalie langsung mencatatnya dan malam harinya dia kerumahnya. Pintu di ketuk dua kali, Natalie berdiri di anak tangga, dan seorang wanita membukakan pintunya, matanya menatap Natalie dengan tajam. "Excause me madame, i just want meet Hans"? Natalie bertanya dengan nada suara menenangkan diri. "How do you know about this andress"? Dia bertanya lagi. "From his Facebook" Natalie menjawab dengan perasaan cemas, dia menunduk dalam. "I'm his mother" dia menyebut dirinya sendiri. Dan saat itu ada seorang laki - laki dari dalam rumah keluar ke arah pintu dan menatap Natalie dengan marah. "Mau apa kamu kesini"? Dia membentak dengan kasar, air mata Natalie tumpah begitu saja. "Aku mohon Hans, please tell about Patrick" dia terisak. "Aku adalah teman dari usianya waktu dua belas tahun, di Amerika dan ada hal yang Patrick juga harus tahu tentang aku, aku tidak melakukan semua itu. Bahkan selama ini aku mengira aku sudah kehilangan dia" Natalie menangis sejadinya. "Jangan pikir aku tertipu oleh air mata palsu kamu"!! Hans membentak dengan suara lebih keras, kemudian mendorong Natalie untuk menjauhi dirinya dari pintu rumah, namun Natalie bersikeras untuk tetap bisa menemuinya, pintu ditutup dengan keras, gadis itu terus menggedornya dengan sekuat tenaga, dan wanita yang barusan pertama kali menemuinya membukakannya lagi. "Pergi atau saya panggilkan polisi setempat" dia mengusir Natalie, penderitaan rasanya datang semakin membuat perasaannya remuk redam, air matanya menetes tidak karuan. "Patrick andai kamu bisa mendengarnya, kamu bisa jelaskan semuanya dengan mereka, aku mohon.., aku tidak sanggup hidup seperti ini atau lebih baik memang kamu mati saja agar aku juga bisa mati bersamamu, dan tidak ada lagi yang menghalangi kita" dia berjalan dengan gontai menuju pulang ke rumahnya. Tetapi hatinya tidak akan pernah menyerah, untuk bisa mencari keberadaan Patrick, mungkin Natalie harus melakukan sesuatu yang tanpa diketahui oleh Hans, ini adalah jalur resiko terbesar yang akan ditempuhnya tapi harus di lakukan demi cinta. "Jika saja aku mampu mengembalikan waktu, maka aku tidak akan membuang waktuku dengan sesuatu yang menyakitkan begini, Tuhannn, jika saja aku tidak pernah bertemu Hans mungkin aku juga tidak pernah akan tahu tentang Patrick, tetapi tolong aku tidak ingin dipisahkan olehnya kecuali Tuhan.., aku tidak ingin kehilangan Patrick lagi" Dia berkata dari dalam hatinya, sambil duduk di bis air matanya tidak pernah kering sampai akhirnya dia bisa bertemu oleh Patrick, rasa yang terlalu menekan jiwanya tidak pernah akan pudar. Di dalam tempat yang berbeda, Hans menghela nafas sambil sedekap, rasa benci semakin tidak berujung pada hatinya. "Aku ingin menghubungi Marion, ada yang harus aku bicarakan padanya" dia berkata perlahan. Kemudian dia menekan nomor telepon Marion di kontaknya, sambil menunggu telepon tersambung Elena mengajaknya bicara. "Mama, pikir gadis itu hanya membawa sial saja pada Patrick" dia memberikan pendapatnya. "Ja" dia hanya menyahut singkat, pada saat sudah tersambung dengan Marion barulah dia berbicara di telepon. "Marion, aku ingin bicara ini tentang Natalie" dia berkata pelan. "Gadis itu hanya perusak kehidupan orang kann.., aku sudah bilang" Marion berusaha mempengaruhinya lebih jauh lagi. "I know" dia berkata perlahan. "Tapi rasanya...., jika memang dia benar - benar mencintai Patrick" laki - laki itu berpikir. "Halangi dia, jangan sampai dia bertemu Patrick"! Tegas Marion. "Untuk apa, kamu memberikan hati dengan gadis yang jelas hanya pembawa sial, dia hanya menghancurkan kehidupanmu, dan juga Patrick" Pada saat di rumah sakit, terlihat Marion juga membantu Hans mengurus Patrick, wajahnya nampak tertegun, dia semakin tertipu oleh kepalsuan sikap Marion yang hanya ingin menyakiti Natalie karena cemburu. "Hi" dia menyapa ramah sambil masuk ke dalam kamar pasien, dan entah kenapa seolah dengan mudahnya hatinya berpaling pada Marion, namun apa gunanya pula karena Natalie tidak akan juga berpaling dengan yang lainnya, tetapi apa rasanya sakit dikecewakan oleh seorang gadis. "Mulai besok kamu sudah mulai bisa membantu di restoran milik papaku" Marion bersikap lembut padanya "Thanks teryata kamu gadis yang sangat baik, aku salah menilaimu selama ini" mendengar kalimat itu, Marion menyembunyikan senyuman liciknya. "Kamu nanti di bagian mencuci piring saja..." dia menambahkan lagi. "Oke" Hans mengangguk. Sejak saat itu Hans mulai melakukan pekerjaannya di restoran, dan siang ini Natalie tertegun memikirkan dirinya sendiri, dalam perpustakaan, dia membayangkan jika sebelumnya pernah melakukannya pada Emily, dan itu karena cemburunya pada kedekatan Emily dengan Patrick saat itu, Natalie membuka ransel dan mencari nomor kontak Henry, dia teringat dengan apa yang harus di lakukannya, Natalie mengirim whatsapp padanya. "Henry tolong jelaskan padaku tentang Patrick dan Emily waktu itu" tidak lama Henry membalasnya. "Natalie, Patrick itu tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan cintanya pada gadis manapun tidak juga Emily atau kamu, dia merasa tidak berani untuk katakan cinta, dan saat itu Emily sebenarnya mengalami yang sama denganmu, dia hanya mendekatinya saja tapi tidak mengungkapkannya" hatinya seperti benar - benar tidak percaya, kata - kata Henry rasanya bagaikan mimpi yang nyata, Natalie masih tertegun, Hp di tangannya di remas dengan kuat. "Aku tidak bisa hanya diam saja begini" dia berkata dari dalam hatinya, dengan sengaja akhirnya memutuskan untuk mengikuti Hans kemana dia pergi, diam - diam Natalie mengikuti gerakan langkah kakinya saat keluar dari gedung fakultasnya, dia bersembunyi dari jauh agar tidak ketahuan. Degup jantungnya terasa berdetak keras, dan telapak tangan berkeringat dingin, Hans belakangan juga sejak kedekatannya dengan Natalie, dia sudah jarang berdekatan dengan dua orang temannya itu, Hans baru menyadarinya jika selama ini dia hanya memanfaatkannya saja untuk membully orang biar terlihat jagoan, tapi kini dia justru dekat dengan Mario gadis berhati iblis itu. Natalie memelankan suara langkah kakinya, agar tidak terdengar oleh Hans, yang melangkah di depannya keluar gedung kampus, dan berjalan kearah halte, lalu duduk dengan membungkukkan badan. Ada seseorang pria melintasi Natalie yang tengah berdiri mengamati gerak - gerik Hans dari jauh, Natalie merasa resah, kegelisahan menerpa pria itu terlihat bingung dan hendak bertanya pada Natalie. "Sorry Miss, kamu tahu kendaraan ke arah Volendam"? Dia bertanya. "Bisa naik tramp yang nomornya sebentar lagi mungkin akan lewat..." Natalie menjawab dengan tergesa - gesa, dan dia langsung masuk ke dalam bis yang baru saja melintasi, untung saja juga tidak kehilangan jejak Hans karena pria tersebut. Natalie duduk di kursi paling belakang, dan Hans di depannya, sama sekali dirinya tidak menyadari kalau ada yang mengikutinya dari belakang, Hans melayangkan pandangan dengan mata birunya, dan rambut pirangnya sekarang terlihat belahan rambutnya lebih gondrong dari sebelumnya. Wajah laki - laki berkesan dalam ekpreksinya tidak tega untuk melakukan hal itu terhadap Natalie tetapi rasa sayangnya pada Patrick yang membuatnya berkorban untuk apa saja, dan dia ingin satu orangpun menyentuh Patrick, karena itu penyebabnya Hans terpengaruh oleh hasutan Mario. Kelemahannya adalah Patrick. Bis itu berhenti di stasiun berikutnya dan Hans turun ke bawah untuk berjalan di pejalan kaki, Natalie tidak ingin kehilangan jejak Hans lagi, sekelebat dia teringat awal pertemuannya dengan Hans dulu bagaikan dalam sekejap terbawa oleh angin begitu saja, dan menghilang menjadi awan hitam. Langkah Hans masuk ke dalam rumah sakit pusat rehabilitasi, dan Nataliepun bertanya dari dalam hatinya, rasa gelisah mulai menguasai dirinya, ada sesuatu yang amat di takutinya tetapi cinta tetap akan bertahan walau apapun yang terjadi saat ini dan sekarang, Natalie terus mengikuti diam - diam gerakannya sampai ke arah kamar pasien rehabilitasi, disana banyak mereka yang terkena gangguan kejiwaan, ada yang parah dan ada yang tidak. Perasaan yang mengguncang diri Natalie sangat memukulnya, melihat pemandangan itu semua, dia ingin menangis, namun di tahannnya, inikah ujian terbesar bagi cinta Natalie kepada Patrick atau terlambatkah sudah bagi cinta, untuk menyatakannya, karena Patrick tidak akan pernah bisa menjawabnya, meskipun hatinya tahu. Hans masuk ke dalam satu kamar pasien, dan disana wajah Natalie tercengang, dari jendela kamar dia melihat Patrick, air matanya sudah tidak tertahankan olehnya, teryata Hans banyak mengetahui tentang Patrick, daripada orang lain, bahkan dia menyembunyikan kondisi Patrick dari siapapun termasuk Natalie, jadi inikah yang membuat Hans membenci Natalie bahkan menuduhnya pembawa sial, dia berkorban untuk apa saja demi Patrick, bahkan di matanya saat ini Natalie sudah seperti terdakwa. "Ya Tuhannn..., kalau saja aku tahu semuanya dari awal, mungkin aku tidak akan pernah menunggu kamu untuk menyatakannya lebih dulu tapi lebih baik aku yang ungkapkannya. Patrick, apapun keadaan kamu saat ini, aku tetap mencintaimu" dia berkata dari dalam hati. Saat kamar itu kosong, Natalie langsung menghambur masuk dan memeluk Patrick sambil menangis, tetapi Patrick hanya diam dengan tatapan kosong duduk di ranjangnya, dia sudah tidak seperti dulu lagi, segalanya telah berubah, dia tidak lagi bisa membalas pelukkan Natalie kepadanya, tetapi Natalie tahu dia bisa merasakannya. "Jangan katakan semuanya sudah terlambat" Natalie berbisik padanya, tanpa sadar Hans berdiri di belakangnya dari jauh, dan Natalie menengok ke belakang tersadar kalau dirinya terpegok olehnya, dia menatap dengan mata memperingatkan. "Keluar dari sini, atau aku panggil petugas"!! Dia berteriak keras. "Apa yang terjadi padanya"? Natalie menangis. "Dia trauma karena keluarganya tewas di bis dalam kecelakaan, tapi juga kamu pembawa sial Natalie, kamu menggantungkan perasaannya" dia berkata ketus. "Mulai sekarang menjauhlah darinya"!!!! Dia berteriak keras. Natalie hanya bisa menangis tersedu, keluar dari kamar pasien, dia ingin menyatakan cintanya agar dunia tahu, tapi Patrick sudah tidak ada respon apapun, dia bagai mayat hidup disana. Part 11 Jangan Pisahkan Natalie Dan Patrick Peringatan yang keluar dari mulut Hans, kali ini lebih menyiksa dirinya, tubuh laki - laki itu bersimpuh di hadapan Patrick, rupanya dia masih menyimpan sedikit kesadarannya, jiwa normalnya, Patrick mengetahui kalau Hans menghalangi hubungannya dengan Natalie. "Aku cinta Natalie" suaranya terdengar lemah, dan air mata jatuh dengan deras, rupanya kekuatan cinta dalam tubuh Patrick sangat kuat, namun Hans hanya tidak ingin dia di lukai oleh siapapun, maka lapun mengambil inisiatif untuk membawa Patrick lebih baik dirumahnya saja daripada kalau bertemu Natalie harus menderita, tapi justru itu yang membuatnya semaki menderita, karena telah dipisahkan secara paksa begitu saja. "Jangannn sebut namaaa dia lagi, sudah cukupkah dia menyakitiku, juga kamu. Natalie itu hanya tukang cari masalah diantara kita dan kamu Patrick..."!!! Hans berteriak keras, sambil mengguncang tubuhnya, dan entah bagaimana Patrick memekik menjerit, kemudian beranjak dari ranjangnya, kemudian mendorong sepupunya dengan keras, lalu Patrick berlari kearah jendela seakan tanpa sadar hendak loncat dari sana, namun Hans menangkap bahunya dari belakang, ingatannya tiba - tiba saja kembali pada kejadian yang sama dengan Natalie. Patrick mencoba bunuh diri seperti Natalie juga saat itu, dia tertegun, sejenak berpikir tentang sikapnya sendiri. Di tempat yang berbeda, Natalie rasanya sudah remuk redam jika harus menahan rasa ini, sebegitu pelik cinta yang harus di hadapinya, Patrick rasanya terlalu sulit untuk digapai lamban laun namun dia tidak akan menyerah. Natalie tetap akan mencari cara bertemu Patrick, dunia bukan penghalang bagi cinta kecuali Tuhan, meski tembok yang susah untuk dihancurkan sekalipun, meskipun harus perih tapi dia akan bertemu Patrick, dan Patrickpun harus menyadari jika semua itu tidak mungkin, Natalie masih seperti yang dulu, bahkan menunggu kesempatan untuk bisa menyatukan cinta mereka dan Natalie sudah tahu kalau dari dulu sebenarnya hati Patrick hanya untuknya bukan yang lain. Suatu hari di sore hari, Natalie duduk sendiri, dan Alina melihatnya dari jauh, dia berjalan mendekati temannya itu dari belakang, menuju ke taman kampus tempat Natalie duduk, air mata Natalie jatuh tidak tertahankan. "Apa salah dan kurangku selama ini"? Dia berguman menyalahkan dirinya. "Natalie" Alina mulai menegur dirinya dan Natalie menengok kearahnya. "Apa benar kamu melakukan semuanya"? Dia bertanya dengan lembut. "Itu tidak benar Alina, itu semua fitnahhh, pasti ada yang merencanakan semua ini" Natalie berbicara dengan cepat. "Lamban laun aku berpikir begitu, dan aku curiga pada satu orang" mata Alina menatap ke sekelilingnya. "Siapa maksud kamu"? Pertanyaan Natalie terdengar mendesak, dan Alina menghela nafas. "Aku sudah berbicara dengan Henry tentang Patrick, dan aku sedikitnya sudah tahu semuanya" air mata Natalie meleleh. "Kamu benar - benar memang mencintai Patrick, Natalie" Alina memegang tangan dirinya untuk menguatkannya. "Aku tidak pernah bohong dengan hatiku sendiri, walau sering kali aku lakukan" Natalie terisak. "Aku memang anak orang berkecukupan, dan sangat beruntung tapi aku bukan orang yang meremehkan soal hati" air mata Natalie terus mengalir di pipi. "Natalie aku minta maaf atas sikapku yang selama ini, justru ikut - ikutan mereka, seharusnya aku lebih percaya padamu" Alina memeluknya kemudian mengusap rambutnya. "Henry bilang kalau Patrick juga menggantungkan cinta pada Emily, karena Patrick sulit mengungkapkan rasa cinta pada seorang gadis" Natalie bercerita sedikit tentang Patrick. Malam hari itu... Natalie kembali menyelinap, masuk ke dalam rumah sakit, dan wajahnya tercengang memandang tempat tidur Patrick yang kosong, air matanya menetes sudah pasti Hans membawanya pergi, dia menangis tersedu dan seorang suster baru saja melintasi kamar itu mendapatkan Natalie duduk berjongkok disana. "Sorry, dimana pasien di kamar ini"? Natalie terengah perlahan. "Seseorang yang merawatnya membawanya pergi, atas nama Hans" dia menjawab datar "Tapi kemana"??? Natalie mendesak dengan keras. "Aku tidak akan berbuat sesuatu apapun dengan Patrick, percayalah aku hanya ingin menemuinya, aku adalah teman Patrick waktu di Amerika, dan dulu aku malah mengira Patrick meninggal" Natalie menjelaskan panjang lebar. "Tolong beri tahu aku"??? Natalie semakin mendesak. "Aku tidak bisa" dia hanya menggeleng dan meninggalkan Natalie sendiri, tangisannya semakin memecah ruangannya, mungkinkah memang sebaiknya di akhiri saja kisah ini dan tidak akan pernah berharap pada Patrick memulai sesuatu yang baru, Tuhan semakin mempersulit untuk Natalie bisa bersatu dengan Patrick, seakan benar - benar memang bukan jodohnya, air matanya tidak tahan untuk mengalir di pipinya. Dan tiba - tiba saja dia teringat akan sesuatu, barangkali Hans membawanya kerumah, mudah - mudahan bukan menghilangkan Patrick dalam hidup Natalie, karena cukup sekali saja Natalie merasakan itu. Setelah dari rumah sakit, Natalie menggedor rumah Hans, dan dia sendiri kali ini yang membukakan pintunya, matanya melotot tajam. "Jadi kamu masih nekat"!! Suaranya terdengar membentak hingga ada seseorang gadis dari dalam ikut keluar, matanya melihat Natalie penuh kebencian. "Marion" Natalie berguman pelan, tubuhnya terasa kaku di depannya. "Kamu itu punya otak atau tidak sudah di peringatkan masih saja, dasar tidak tahu diriiii"!!! Dia menghina Natalie habis - habisan. "Mungkin kamu tidak laku makanya mengejar - ngejar laki - laki sampai seperti itu, yah bisa juga tadinya ibu kamu orang seperti kamu" mendengar Marion menghina mama Natalie, membuat hatinya pedih tersayat. "TUTUP MULUT KAMUUUU, DASARR WANITA IBLISSSS"!!!! Natalie berteriak keras. "Lalu kamu apa, tidak tahu diri dan pembawa sialll"!!!!!! Marion tidak mau kalah dengan Natalie dan satu tamparan keras melesat di pipinya, namun betapa melukai hati seperti ditusuk berkali - kali bukan hanya dengan pisau tapi pedang yang membuat lukanya tidak pernah sembuh. "Natalieee jaga mulut kamuuu, dengan Marion" Hans malah membelanya. "Kalau kamu bertemu Patrick, kamu justru akan membunuhnyaaaaa"!!!! Dia berteriak lebih keras dengan suara melengking. "Berhentilah berharap" dengan suara pintu ditutup keras, dia membantingnya, dan Natalie menangis duduk sambil menyandarkan kepalanya di pintu, air matanya tidak tertahankan lagi sekarang dirinya bagai seorang pengemis cinta yang hampa. Patrick, kalau saja dia sembuh dari gangguan mentalnya, dia akan berbicara panjang lebar tapi semua hanyalah angan, seharian Natalie duduk di anak tangga rumah itu, tidak peduli hawa dingin yang menerpa tubuhnya dan membuatnya mengigil, baginya lebih baik mati karena cinta daripada hidup harus terluka. Tiba - tiba saja, Alina datang dan melihatnya berada disana, kemudian memeluknya, sambil menangis. "Lebih baik kita pulang saja" dia terisak. "Aku tahu, kalau Patrick ada di dalam" Natalie menyahut lemah, dan Patrick yang memang ada di dalam rumah itu, dari jendela kamarnya dia melihat Natalie disana, kemudian bergegas untuk keluar dari kamarnya, namun Elena dan Hans mencegahnya, dia hanya bisa menyebut namanya tapi kali ini lamban laun dia sudah mulai bisa bicara agak sedikit banyak. "Aku mencintaiiii Natalieeeeeee...., tolong aku mau ketemu" dia terisak "Aku mencintainya, dia tidak menyakitiku sama sekali" Patrick menangis sejadinya, namun mereka masih juga tidak mau mendengar, dan malah saling berhadapan. "Patrick lupakan Natalieee, dia hanya bisa membuatku tersiksa" Hans mengulangi kalimatnya dan keluar sambil mengunci kamarnya. Dan pada saat di luar, Elena menemui Marion, sepertinya ada yang ingin dibicarakan olehnya. "Marion, kapan kalian akan sidang skripsi"? Dia bertanya. "Awal tahun madame" dia menjawab. "Kalau begitu, kita harus mempersiapkan pertemuan dua keluarga, dan setelah kalian bertunangan dan menikah kita tinggalkan kota ini, sambil membawa Patrick" Marion tersenyum kejam dan otaknya liciknya berputar. "Bagus, semakin itulah Hans akan membenci Natalie, aku tahu kalau dia memendam rasa yang sama sebenarnya dengan Patrick, dan aku harus mendapatkan cinta Hans dengan cara apapun" otak kejam Marion dan licik, semakin meluas dalam tubuhnya, seakan tidak berperasaan lagi. Baginya Hans adalah lelaki yang tidak boleh disia - siakan, kemapanan sifatnya adalah hasrat bagi tiap gadis yang ingin jadi calon istrinya kelak, dan sifat tanggung jawab besarnya serta ketampanan wajahnya. Selama ini sebenarnya Marion tahu sifat tidak baik Hans, namun dia menyimpan cinta yang dalam dan itu harus dimiliki, apalagi Marion juga tahu kalau itu bukan diri yang sebenarnya. Ada orang yang memang memiliki sifat tidak baik karena latar belakang kehidupannya tetapi ada orang yang justru benar - benar jahat dan kejam, tega menyakiti siapapun asalkan impiannya bisa terpenuhi, dan itu yang justru menyakitkan daripada hanya sifat sok jagoan orang di depan umum. Satu hal bagi laki - laki semacam dirinya, laki - laki tipikal Hans adalah jangan pernah menyentuh wanita yang dicintainya, yang tidak lain mamanya, keluarganya maka diapun sekalipun kekasih akan mengorbankannya untuk tersakiti, dan itu lebih baik, namun dia tidak sadar jika Marion bukanlah gadis baik - baik, hanya karena melindungi Patrick setengah mati mata hatinya tertutup dan terpengaruh oleh gadis semacam dia, yang sebenarnya justru dialah penghancur segalanya bukan Natalie, dia hanya ingin bisa ambisinya terpenuhi saja. Natalie, berbicara dengan Emily malam itu di telepon, sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir semester namun, guncangan hebat dirinya membuatnya betapa tidak tenang untuk bisa menghadapinya, mudah - mudahan saja, dia tidak ada yang gagal dalam mata kuliahnya semester ini. Universitas yang banyak orang mengadang - gadangkan ini tidak sembarangan orang bisa masuk, pada saat dulu mengikuti test masuk ke kampus inipun, hal biasa Natalie mendengarnya kalau ada yang menangis kecewa harus kembali ke asalnya, dan yang menyakitkannya dia sudah dari jauh - jauh, dari negaranya harus kembali dengan tangan kosong, tetapi ada yang lebih mengalami kegagalan lebih berat, yaitu Patrick, belum sempat menyentuh kampus yang terletak di kota Den Haag ini, sudah mengalami musibah besar hingga kini. Impian hancur berantakan begitu saja, andai saja Natalie saja, bisa mendaftar barsamanya saat itu mungkin semua tidak akan terjadi, sayang kala itu dia sudah meninggalkan Amerika lebih dulu. Harapan memang akan bertemu dengan Patrick disini, dan merajut hari itu lagi tapi kenyataannya sudah tidak bisa lagi. "Emily, aku ingin mengatakan sesuatu tentang Patrick, dia masih hidup dan berita itu salah" kata - kata Natalie terasa getir pada saat di telepon. "Tapi dia gangguan jiwa" Natalie tidak sanggup bicara apa - apa lagi, dia mematikan teleponnya dan menangis diatas meja dengan tersedu, haruskah memang melupakan Patrick mungkin memang bisa untuk sementara waktu ini, hanya karena mau fokus menghadapi ujian akhir semester. Part 12 Semester Baru Dengan Duka Seakan hanya Patrick yang tahu isi hatinya meskipun dia membisu, daripada orang lain, adakah dunia yang hanya bisa membuat Natalie hanya hidup bersama Patrick berdua, sekarang sudah memasukki semester yang baru, untung saja tidak ada yang mengulang dan remidial, cerita lain Hans skripsinya sudah selesai, tinggal persiapannya untuk sidang, dan selama Marion masih bersanding dengannya, tidak akan pernah membukakan mata hati Hans dan tetap bersikukuh menuduh Natalie pembawa sial atas Patrick, namun tanpa disadari oleh Hans jika Patrick mulai mengalami kemajuan sejak bertemu dengan Natalie, dia tetap bersikeras menjauhkan cinta mereka, tapi perlu disadari, kelak dia akan kembali seperti Patrick yang dulu. Desas - desus rencana pertunangan Marion dengan Hans, sayup terdengar di telinga Natalie, Natalie tersentak, mendengar itu, pikirannya tertuju pada Patrick, dan hatinya sangat tidak menentu, hatinya resah tidak karuan, maka Natalie memberanikan diri menghampiri Hans dia sedang berada di perpustakaan, Natalie melihatnya dari jauh. "Sepertinya kita harus bicara" dia berkata tegas. "Natalie" Hans menggeleng dengan kesal, kemudian menghampirinya keluar pintu dan menarik tangannya kearah balik tembok pintu. "Aku sudah bilang cukup, kamu ini mengerti tidak perasaan orang lain, kalau kamu benar - benar mencintai Patrick, mestinya kamu mengerti keadaannya, bukan menuruti ego kamu sendiri begini..., aku sudah hilang kesabaran denganmu sebenarnya selama ini, dan jangan buat aku bertindak lebih dari ini"! Tegas Hans. "Kamu salah menilai aku selama ini tentang Patrick" Natalie menyahutnya, dan air matanya jatuh tak tertahankan. "Seharusnya buka pintu hati kamu, kamu berubah sejak kamu berdekatan dengan Marion, apa yang dikatakannya tentang aku itu bohong"!!! Natalie memekik melengking. "Terserah kamu mau apa, kamu mau bertunangan dengannya juga tidak apa bagiku, asalkan jangan pisahkan aku dengan Patrick"!! Natalie tidak sanggup lagi menahan rasa yang menyiksanya dan diam hanya diam saja. Kali ini Hans, hanya diam saja, entah apa yang dipikirkannya, wajahnya menunduk ke bawah kemudian melihat ke lorong tanpa arah "Jika kamu percaya Tuhan, maka kamupun tahu jika Tuhan yang hanya berkuasa termasuk rasa cinta, dulu kamu tidak begitu, bahkan akupun sempat merasakannya.., kalau ada yang kamu rasakan padaku..." entah bagaimana mulut Hans hanya terkunci rapat, dia tidak bisa berkata apapun kecuali berpikir "Dan kamu tahu, aku baru saja bertemu orang yang ku kira selama ini meninggalkanku tapj justru kamu membuatnya jauh dariku, dan sekarang bagaimana kalau itu kamu..."!! Tegas Natalie keras sambil menangis. "Bewitjs of he, enhctn lifede is" Hans berkata lebih tegas ( buktikan kalau itu benar - benar cinta yang tulus ) "Aku sudah membuktikannya di depan mata kamu, tapi mata kamu saja yang selama ini sedang buta karena Marionnn"!! Natalie berteriak keras, tangannya menunjuk kearah wajahnya. Ini adalah sikap seorang gadis yang sudah tidak sabar dengan luka hatinya, yang sangat menusuk dirinya, Natalie menangis meninggalkan dirinya, dan kata hatinya terus berkata. "Ya Tuhan, mungkin itu memang benar, dia pula dulu sempat memberi rasa, tapi aku lebih baik memilih setia, dan ku bunuh orang yang menghalangi kesetiaanku karena cinta, namun aku masih takut pada dosa" Dalam tempat yang berbeda, Hanspun berpikir yang serupa, namun Marion memecahkan keheningannya. "Aku mau bicara dengan keluargaku nanti malam, tentang rencana pertunangan kita, bulan depan setelah wisuda" dia berkata panjang lebar. "Lalu kita akan membawa Patrick pergi dari Natalie dan semakin menjauhinya itu maksud kamu" Hans menanggapinya dengan cepat. "Yah" dia menjawab dengan rasa haus keinginan, untuk semakin Hans membencinya dan benar - benar tidak ada rasa lagi pada Natalie, kalau perlu membunuh gadis itu, Patrick semakin dijadikan kunci utama bagi siasat Marion, untuk membuat Natalie teraniaya. "Rasanya rencana kamu terlalu terburu - buru" dia menggeleng, dan entah bagaimana dia menjadi orang yang hanya ingin sendiri dulu memikirkan segalanya. Natalie baru saja sampai di rumahnya, dan melihat keadaan Jessica dan Bram yang semakin tua, hatinya semakin gelisah, apalagi usia Natalie sebentar lagi akan dua puluh satu tahun, belum juga dia menemukan pasangan yang tepat dan hanya memikirkan rasa cinta tak bertuan dengan Patrick. Apakah mungkin sebaiknya di lupakan saja, tidak ada Patrick, dan tidak peduli lagi pada kehidupannya, termasuk sikap Hans padanya, dan mulai merajut hari baru dengan melupakan semuanya, bangkit ke masa depan. Namun rasanya sulit melakukannya karena cinta kekuatannya seperti karang yang kokoh kalau sudah ditanamnya puluhan tahun, namun di usia yang semakin bertambah sudah seharusnya memikirkan seorang calon suami yang menemani sepanjang hidupnya bukan cinta yang begini. Apa jadinya, jika belum saja menikah dan tidak punya suami. Malam hari itu Hans membuka sedikit pintu kamar Patrick, dan berjalan perlahan masuk ke dalam saat dia tertidur, kemudian membuka laci disamping tempat tidur, ada terdapat buku harian yang terus melekat di tasnya, dia membuka lembaran demi lembaran, dan memulainya pada halaman pertama. Hari ini, aku bertemu seorang gadis yang kelak akan mengubah Jalan hidupku, namanya Natalie dia satu sekolah denganku Meskipun kami berbeda usia, tapi aku percaya akan sebuah kejaiban Kata orang mengubah jalan hidup seseorang, namun entahlah bagiku Perasaan itu bersemayam dalam jiwaku yang paling dalam dan tak Bisa keluar begitu saja. Sudah cukup bagi kakakku, Gray yang tersakiti oleh cinta Pertunangan yang batal, kandas begitu saja diterpa oleh badai Yang menghantamnya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Yang aku kenal Natalie, adalah gadis yang ceria, polos dan lugu Tak pantas untuknya bersanding dengan aku yang hidupnya rumit Tapi rasa ini pertama kalinya aku rasakan di usiaku kini yang 13 tahun Patrick Johnson. Natalie adalah sahabat setiaku, aku mengenalnya dia Bukan orang yang sembarangan orang mudah menyentuhnya Walau itu duri teratai sekalipun, dan yah persahabatan itu Mendapat dukungan dari semuanya. Aku bahagia karena bisa mengenal Natalie Namun sayang yang ku lakukan hanyalah diam seribu bahasa Seperti yang ku lakukan pada Emily. Dua lembar itu, sudah membuat perasaan sepupu tersayang ini, menyayat pilu membaca air mata tidak dapat dibendung lagi, dia meremas lembaran itu dan tetesan air matanya tumpah terkena kertasnya. Dirumahnya Natalie baru saja mengobrol dengan Rina dan Hendra di telepon membicarakan tentang kuliah Natalie lalu Jessica dan Bram, tanpa terasa sudah tiga tahun Natalie tinggal di rumah oma dan opanya di Den Haag selama dia kuliah disana, rasanya rindu pada Amerika, namun rasanya jika kembali kinipun hanya menyisakan kenangan yang berubah pahit dengan Patrick. "Ya maa.., aku slalu jaga oma dan opa disini, tapi tahun depan aku sudah skripsi mungkin lebih baik aku bekerja di Amerika saja nanti, tapi bagaimana dengan Oma dan Opa"? Dia berbicara panjang lebar dan melihat Jessica yang sedang membuatkan minum untuk Bram di meja makan. "Kami tidak apa - apa sendiri disini, asalkan kamu rajin menengok kami" Jessica ikut menimpali pembicaraan Natalie di telepon. "Tapi oma...." Natalie nampak khawatir kepada mereka semua. "Kalau disana izin cutinya bisa mudah setiap weekend mungkin aku bisa sering" Natalie terlihat sedang berpikir. Pada saat yang bersamaan,
5 notes · View notes