Tumgik
ayutzahara · 4 years
Text
Pukul enam sore
Waktu jalanan sedang sibuk-sibuknya
Pukul enam sore
Waktu lampu jalan sedang cantik-cantiknya
Pukul enam sore
Waktu langit mulai terjaga
Pukul enam sore
Waktu saat pikiranku mati
Pukul enam sore
Waktu saat penglihatanku tiba-tiba buram
Pukul enam sore
Ku kira turun hujan,
ternyata bukan.
3 notes · View notes
ayutzahara · 4 years
Text
Malam, ingatan lamaku
Aku kembali mampir
Untuk sebentar
Untuk bersandar
Terlalu tergesa lariku
Terburu-buru langkahku
Masih tak berani
Masih tak cukup kuat
Tergesa lariku
Terburu-buru langkahku
Terlalu pelan melupa rupa
Terlalu pelan menghapus luka
Malam, ingatan lamaku
Aku ingin berhenti
Entah dimana
Asal bukan disini
0 notes
ayutzahara · 4 years
Text
Pagi tadi ku ingat kembali,
“Kamu ahlinya”, katanya
“Kamu terbaik”, katanya
“Kamu akan baik-baik saja”, katanya
Tapi puan, ia bohong
Dengan diriku, pun dengan tentangku
Dengan diriku, pun dengan masa itu
Dengan diriku, dengan waktu
Bertahun berganti, ada rasa yang tak kunjung henti
Sudah ku coba segala arah
Sudah ku ucap segala pinta
Ia tetap pergi, tetap tak kembali
Sore ini ku dengar lagi,
“Maju”, kata mereka
“Lupakan”, kata mereka
“Sudahi”, kata mereka
Maka puan, ajari aku cara berdamai
Dengan diriku, pun dengan tentangnya
Dengan diriku, pun dengan masa itu
Dengan diriku, dengan waktu
Aku tetap bukan ahlinya, bersorak ramai
Aku tetap bukan ahlinya, berkawan damai
Aku tetap bukan ahlinya, melihatnya tak lagi tergapai
0 notes
ayutzahara · 5 years
Text
11 Mei
Saya selalu ingat tanggal di hari ini,
pun pada apa yang pernah ada di hari ini.
Pada apa-apa yang pernah terjadi,
saya sangat bersyukur—
tidak selalu bahagia, juga pernah ada emosi lain di tanggal hari ini—
tapi benar, saya bersyukur.
Pada apa-apa yang akan terjadi,
saya turut bahagia—
walau saya tidak akan ada lagi di tanggal hari ini—
tapi jujur, saya turut bahagia.
Untuk tanggal di hari ini,
terima kasih masih tetap hadir
Untuk siapa-siapa yang lahir di tanggal hari ini,
terima kasih sudah bersedia ada.
Untuk kamu di tanggal hari ini,
untuk kamu yang selalu saya ingat di tanggal hari ini,
untuk kamu yang membuat saya selalu ingat tanggal di hari ini,
untuk kamu yang membuat saya selalu ingin bertemu tanggal di hari ini.
Untuk kamu di hari ini,
di tahun depan,
di dua tahun berikutnya,
di lima sampai sepuluh tahun selanjutnya,
selamat ulang tahun.
Dari saya,
yang tidak akan ada lagi di dua, lima, sampai sepuluh tahun seterusnya.
11 Mei 2019,
Bandung
0 notes
ayutzahara · 5 years
Text
Malam, kamu masih jadi kesukaan saya
Saya mohon izin untuk tinggal lebih lama
Saya mohon izin untuk kamu jangan dulu terang
Saya mohon izin untuk kamu tetap disini.
Saya tahu betul betapa memalukannya permintaan saya
Saya kembali datang kala kacau saja
Tapi maki saja, asal kamu beri izin.
Kamu tidak perlu melakukan apapun, cukup tetap malam, tetap gelap.
Saya hanya ingin bersandar —kalau memungkinkan— agar tersadar.
Kamu pernah patah hati, sepatah demi sepatah sampai parah?
6 April 2019,
Bandung
0 notes
ayutzahara · 8 years
Text
31 Oktober 2016
Malam adalah pertunjukkan. Untuk yang tak pernah diperlihat ketika pagi. Tentang hal-hal yang ingin lebih tampak atau yang ingin disembunyikan.
Oktober adalah masa. Untuk yang sering terjadi atau yang tidak pernah sama sekali. Tentang hal-hal bersejarah atau yang berlalu begitu saja.
Maka bagiku malam-malam di Oktober adalah masa pertunjukkan yang mengejutkan.
Tentang bagaimana malam dengan baiknya menyediakan langit luas untuk ku tiduri.
Tentang bagaimana Oktober dengan sedianya menyediakan waktu panjang untuk ku jajaki. Malam yang berganti malam, kemudian malam kembali —di Oktober kali ini— seperti amat banyak.
Malam yang membuatku jadi selalu menginginkan pagi. Malam yang membuatku buru-buru ingin terpejam. Malam yang membuatku, takut.
Lalu haruskah aku berterimakasih atau memaki?
Oktober tidak pernah tinggal dalam ingatanku sebelumnya. Tidak sama sekali.
Tapi kali ini, kurasa akan.
31 Oktober 2016
Bandung
6 notes · View notes
ayutzahara · 9 years
Text
Ingat?
Kepada, Miko.
Saya pernah bilang ke kamu, kalimat dari orang terkenal, “Bertemulah dengan perempuan yang cinta menulis.” dan, “Jika kau dicintai seorang penulis, maka cintanya tak akan mati.”, kamu ingat? Kamu telah banyak bertemu perempuan, kamu ingat? Kamu (telah) bertemu denganku, kamu ingat? Aku seorang perempuan, kamu ingat? Dan aku, suka menulis, kamu ingat?
Seberapa jauh ingatanmu jika aku minta kamu untuk menceritakannya? Ah tidak-tidak, jangan terlalu jauh mengingat. Aku tidak ingin momen ini tiba-tiba rusak hanya karena kamu harus lari ke warung untuk membeli sebuah obat pusing. Santailah, jangan seperti akan mengikuti sebuah tes masuk perguruan tinggi.
Apapun yang kini terlintas dalam ingatanmu, biarlah sebagaimana ia pernah hidup. Tidak perlu kamu ceritakan. Bukan, bukannya itu tidak penting. Tapi…bagaimana aku mengatakannya ya, aku malu. Atau tepatnya, aku takut. Aku takut kalau ingatanmu tidak sampai pada apa yang kuharapkan.
Kalau kamu tidak mengerti pada apa yang kamu baca sekarang, tidak apa. Bukan suatu keharusan.
Sudah ya, jangan lupa minum cokelat panas, sebentar lagi pukul tujuh malam (kalau surat ini sampai tepat waktu). Kamu masih menyukainya, kan? Aku harap kamu ingat soal yang satu ini.
Selamat beristirahat, Mik.
Dari, Rora.
Kamu ingat?
0 notes
ayutzahara · 9 years
Text
Untuk Kau, Selagi Bisa; Bacalah.
Kepada kau, di tempat.
Aku tidak akan menanyakan kabar atau kondisimu saat ini. Aku sudah pernah hampir gila dibuatmu, dan aku tidak mau memperparah. Bagaimana kau sekarang, ya terima sajalah. Nikmati selagi bisa atau perbaiki selagi kau masih waras. Lakukanlah apa yang terlintas dipikiranmu. Bukankah kau selalu bisa melakukan hal-hal konyol terlampau gila setiap harinya? Ya, aku hapal betul itu.
Kau tahu, aku sudah tidak diperbolahkan belanja di minimarket di depan gang rumahku itu. Menginjak halaman depan minimarket itupun aku tak boleh. Kau pikir karena siapa? Karena kau. Karena akalku tertutup oleh rasa sayang yang meluap-luap padamu saat itu, kau suruh aku untuk mengutil roti dan susu pun, aku turuti.
Akupun sudah tidak boleh lagi mengutang ketoprak Bu Imah. Ketoprak terenak di sepanjang gang rumahku. Lalu kau pikir yang ini karena siapa? Karena kau juga. Jangankan mengutang, aku lewat saja ia enggan melihatku. Sekali lagi, karena rasa sayang yang mengudara padamu saat itu, setiap hari kau minta aku bawakan ketoprak — dengan mengutang — pun, aku iyakan.
Hari ini adalah hari terakhir yang diberikan oleh Mak Roro. Iya, Mak Roro. Jangan terlalu banyak kilahmu, aku yakin kau ingat siapa dia. Pemilik rumah kontrakan tersukses di sekitar rumahku. Aku sudah menunggak selama tiga bulan. Aku tidak tahu harus mendapatkan uang darimana. Bagaimana? Dari kau? Tolong jangan buat aku mempercayai itu. Rokok sebatang saja kau mengutang — atas namaku — di warung Pak Tohar sampai tunggakannya senilai dengan rokok satu slop.
Dari sekian banyak masalah yang kau buat dan kau limpahkan sepihak padaku begitu saja, aku bersyukur masih ada orang sepeduli Nek Jati. Tadi pagi ia datang dengan membawa roti kukus, seperti biasa. Katanya, kemarin sore ada seorang pria jangkung berambut gondrong dengan jaket dan celana jins yang sudah robek di bagian lutut, terlihat seperti berusaha melihat kedalam rumahku melalui jendela depan. Ah, roti kukus yang awalnya ku lahap dengan buas tiba-tiba saja menjadi hambar rasanya. Kau lagi, kau lagi. Untuk apa lagi kau datang kemari? Masih ada bagian hidupku yang lupa untuk kau acak?
Jika benar, maka kau sudah terlambat, tampan. Sore ini aku akan pergi sebelum Mak Roro meneriakiku, yang akan menyebabkan rumah kontrakanku ini lima menit kemudian bak selebritis baru yang langsung naik daun. Maka jika sore nanti kau temukan surat ini tepat di lipatan jendela yang biasa kau gunakan untuk mengintip, aku harap kau paham benar dengan apa yang kau baca. Aku tahu kau pasti akan mencariku. Carilah. Aku pastikan selambat-lambatnya dua kali dua puluh empat jam, kau temui namaku di halaman utama surat kabar. Itu kemungkinan terbaik.
Sudah ya, jagalah sisa-sisa hidupmu itu. Dijaga saja, tidak dengan baik juga tidak apa. Apa peduliku.
Ah ya, satu lagi. Atau dua kali dua puluh empat jam, kau akan didatangi oleh polisi. Itu kemungkinan terburuk.
2 notes · View notes
ayutzahara · 9 years
Text
Batang Terakhir
Halo, Dan.
Aku datang untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja. Semuanya baik, bukan? Sepenglihatanku begitu.
Oh ya, bagaimana keadaan paru-parumu? Kuharap sudah jauh lebih baik. Kau harus banyak istirahat jika ingin cepat pulih. Jangan membantah atau obat-obatmu terus bertambah.
Kau tidak rindu menemaniku berkeliling mall? Atau baiklah, demi kau kali ini aku berjanji akan menemanimu berjam-jam di bengkel. Nanti ku minta Mama untuk membuat tempe pedas kesukaanmu. Ah ya, hampir saja lupa, Mama titip salam untukmu. Lekas pulih, Mama rindu melihat kau mengantar anaknya setiap pulang sekolah. Padahal sudah kukatakan bahwa aku bisa pulang sendiri, tapi tetap saja dia ingin kau yang mengantarku pulang.
Aku tidak ingat pasti, hari ini entah sudah hari keberapa kau tidak mengantarku pulang. Yang aku ingat pada hari terakhir itu, aku menunggumu di depan gerbang sekolah. 10 menit, 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, kau tak kunjung datang. Ponselku berdering, tidak, ternyata bukan dari kau. Dari Mama, menanyakan keberadaanku. Aku tetap menunggumu, takut-takut kalau ponselmu kehabisan baterai dan kau sudah dijalan menjemputku, pikirku saat itu. Tapi hingga petang, aku masih di depan gerbang.
Dan, kapan kau datang lagi dengan senyummu? Kapan kau menepuk-nepuk jok belakang motormu seolah tidak mau rok seragamku kotor? Kapan kau mengantarkanku pulang lagi? Kapan aku melihat wajah sumringahmu kalau Mama memintamu untuk makan siang dengan lauk kesukaanmu? Cepatlah.
Aku..baiklah aku mengaku, aku rindu.
Disini tidak ada asap, kan? Pastinya. Karena paru-parumu harus benar-benar istirahat. Kau juga pasti akan memarahiku dan langsung menyuruhku pulang kalau disini tercemar asap.
Kenapa kau melindungiku lebih dari kau melindungi dirimu sendiri? Kenapa kau mati-matian menyuruhku jauh dari asap sedangkan kau begitu dekat dengannya? Kenapa kau tidak mau menuruti permintaanku untuk menjauhi batang-batang tembakau yang kau hisap setiap hari? Bahkan kau rela sembunyi-sembunyi hanya untuknya. Kau ini, Dan!
Terakhir waktu aku menemukanmu, batang tembakau itu tersisa satu di kantong celanamu. Maaf, aku lancang mengambilnya. Aku tidak membuangnya kok, ia masih terus ku simpan. Sampai tadi malam, entah bagaimana mataku tau-tau sudah basah.
Kau pernah bilang, bahwa kau menghisap batang-batang itu untuk menghilangkan bosanmu, sedihmu, amarahmu karena kau tak ingin aku mengetahuinya.
Maka malam tadi, kuputuskan untuk menyalakan batang rokok terakhirmu. Ku paksakan ditengah batuk-batuk untuk terus mengisapnya.
Ternyata kau bohong. Aku sama sekali tidak merasakan sedihku hilang sampai batang itu habis. Tidak sama sekali.
Hari sudah petang, sebentar lagi pasti aku ditegur karena jam besuk sudah lewat. Baiklah, masih ada waktu sebentar.
Dan, dengarkan aku baik-baik. Istirahat dengan nyaman ya, nafasmu sudah bisa diatur dengan jauh lebih baik sekarang, jangan pikirkan aku, aku bisa pulang sendiri dengan selamat kok. Minggu depan aku akan datang lagi. Tenang saja, itu tidak akan lama, iya aku paham kau merindukanku, kan?
Oh baiklah, Dan. Kurasa aku harus pergi. Penjaga makam baru saja menyarankanku untuk pulang. Sebentar lagi Adzan Magrib.
Ah, satu lagi. Kupastikan batang itu adalah yang pertama dan terakhir untukku.
Dan batang terakhir, untukmu.
Aku janji.
1 note · View note
ayutzahara · 9 years
Text
Surat Pertama untuk Bulan Kedua
Apa kabar, hai bulan kedua pada setiap tahun-tahunku?
Kita kembali bertemu setelah cukup lama tidak. Aku masih tidak mengerti kenapa kau yang menjadi tujuan suratku kali ini.
Kau datang terlalu cepat, ya? Atau aku yang terlalu terlena oleh waktu? Tidak, tidak ada masalah. Aku bisa menerima kedatanganmu. Tidak, tidak terburu-buru. Aku bisa menyesuaikan dengan waktu.
Sebelumnya aku tidak pernah menunggumu, atau memberikan harap berlebih akan kedatanganmu. Kau datang, ya aku sadar kau telah datang. Lalu kau pergi, ya tidak apa-apa. Biasa saja.
Tumblr media
Namun pada tahun ini, aku berharap lebih padamu. Kedatanganmu kali ini..entahlah, seperti sesuatu yang menamparku. Kau seperti alarm yang tidak pernah aku atur sebelumnya. Lalu kau berdering, sangat nyaring, tanpa ku minta.
Hai bulan kedua, boleh aku minta sesuatu? Buatlah apapun yang mau kau buat. Tunjukkanlah. Gebrakanlah. Aku ingin ikut serta didalamnya. Aku ingin untuk sekalinya, aku mengingatmu pada akhir tahunku nanti. Ajak aku, untuk apapun, untuk siapapun, untuk kemanapun, untuk kapanpun. Ya? Berbuatlah. Aku tunggu.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Text
Titik..Titik..
Kita mengetahui bahwa ada titik-titik yang terpisah, yang tersebar.
Tugasmu, tugasku; menemukannya, menyambungkannya.
Aku maupun kau, tidak pernah bisa menebak apa wujud dari titik-titik tersebut.
Tugasmu, tugasku; mewujudkannya.
Yang bisa kita lakukan hanya menjalani satu titik demi titik. Menghadapinya, setiap hari. Melewatinya, setiap hari.
Kepadamu titik, untuk hal apapun yang nantinya akan terjadi, untuk wujud apapun yang nantinya akan terbentuk, untuk emosi apapun yang nantinya akan meledak; sampai bertemu. Titik.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Text
Sepi Ada
Hening, yang ada.
Kemudian tangis dari kedua matamu.
Kau menggigit, menggigit bibirmu.
Agar tetap sepi, tetap sunyi.
Kemudian bantal itu kau cengkram.
Agar kuat, kau kira.
Lalu kau mulai berucap, mengenai pertanyaan yang masih sama.
Dengan hasil yang tetap sama, tidak ada jawaban.
Kemudian kembali, hening.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Quote
Saya percaya pada setiap butir air yang jatuh lalu mengering dipipi, setiap itu pula tangan Tuhan telah bekerja menghapusnya.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Text
Lelaki kecilku satu-satunya sudah dewasa, sebelum umurnya. Jauh sebelum umurnya. Ia terlampau mengerti kalau rumah ternyamannya dulu; tempat pertama ia bisa merebahkan badan setelah selesai bermain hujan, tidak peduli badan basah penuh percikan air hitam.
Tempat pertama ia bisa makan setelah perut lapar seharian bermain. Tempat pertama ia bisa mengeluh menangis kalau-kalau terjatuh dari sepeda atau dijahili temannya. Tempat pertama ia temui saat pagi membuka mata. Tempat pertama ia bisa tahu bagaimana rasa cinta yang kata orang dewasa, indah dan bahagia. Kini, tidak nyaman lagi.
Rumah itu, bukan rumahnya lagi.
Maka Tuhan, tolong jawab pertanyaan yang seharunya Kau berikan jawabannya. Rumahnya atau penghuninya yang tertukar?
Ada hal-hal yang sekiranya Kau rahasiakan. Tidak untuk diketahui langsung saat itu juga. Mungkin satu jam kemudian, besok, lusa, bulan depan, tahun depan, dua tahun lagi, lima tahun lagi, atau sepuluh tahun kemudian.
Aku sering lupa bahwa hal itu adalah harapan. Harapan karena aku masih ingin tahu jawabannya.
Pada harapan itu juga maka tulang masih tetap kokoh terjaga. Ada hati yang masih tetap punya rasa iba. Ada lidah yang masih bisa menjaga lisan. Dan ada orang-orang yang kebahagiaannya harus diperjuangkan.
Kemudian Tuhan, jika belum bisa Kau berikan jawabannya padaku sekarang, bisa kita bernegosiasi untuk hal lain?
Tolong aku, bahagiakan lelaki kecilku. Bahagiakan ia sebagaimana anak-anak lainnya. Jaga ia, selagi tanganku belum mampu menjangkaunya secara langsung. Temani ia, selagi ragaku belum mampu berdampingan dengannya langsung.
Aku mohon, itu saja.
Cukup.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Photo
Tumblr media
Pada hari dimana kau hadir untuk pertama kalinya di bumi, aku, yang bahkan belum menjadi calon jabang bayi, mengucap syukur pada Sang Pencipta. Pada hari dimana kau menangis untuk pertama kalinya di bumi, aku, yang bahkan belum mendengar tangisanmu, sama bahagianya dengan orang sekelilingmu. Pada hari dimana kau menggunakan matamu melihat dunia untuk pertama kalinya, aku, yang bahkan belum tau bagaimana bentuk dunia, sama takjubnya denganmu. Pada hari dimana kau berhasil menggerakkan jari-jari mungilmu, aku, yang bahkan belum punya jari, sama senangnya denganmu. Aku tidak ingat kapan hari itu, tapi aku yakin aku sudah. 
Kau sudah mengecap bahagia sejak pertama kali badanmu meliuk. Dan aku, berterimakasih atas itu. Atas badan yang berhasil melahirkan keturunanmu. Atas badan yang berhasil mengasih dan mengasuh anak-anak yang kau sebut peri kecilmu. Atas badan yang berusaha mendidik malaikat kecil menjadi pemimpin. 
Maka tetaplah merasa bahagia seperti pertama kali yang kau rasakan. Teruslah berbahagia disamping duka yang tak mungkin tak pernah datang. Teruslah menebar suka walau tidak semua orang akan suka. Teruslah menjadi ratu bagi pangeran yang sudah melingkarkan cincin di jari manismu. Teruslah menjadi bidadari bagi peri-peri kecilmu. 
Dan kusebut namamu, Puan, jika nanti badanmu sudah tidak kuat untuk sekedar memelukku, tak apa. Jika nanti tangan lembutmu sudah tidak kuat untuk sekedar mengusap rambut kepalaku, tak apa. 
Jika nanti bibir indahmu sudah sulit untuk sekedar membacakan dongeng atau menasehatiku, tak apa. Jika nanti mata indahmu sudah tidak jelas melihatku, tak apa. Biarkan giliranku melakukan itu semua untukmu. 
Puan, kini selamat menjemput bahagia lebih banyak. Selamat mengucap syukur lebih khusyuk. Selamat mendapat doa lebih bermakna. Selamat mendapat peluk lebih hangat. Selamat mendapat kecup lebih mesra. Selamat mendapat tangis dalam suka. Selamat ulang tahun Puanku, Mama. Bandung, 21.36 WIB.
11 Agustus 2015.
0 notes
ayutzahara · 9 years
Text
Pada penghujung malam setiap hari, aku tidak pernah menyangka kalau hidup memang sekiranya membenarkan sendiri.
Aku kira, ini semua akan berjalan baik-baik saja seperti tidak ada yang berbeda. Awalnya aku kira, aku sudah terbiasa jauh dari sekedar ocehanmu. Ternyata, sekali lagi, hidup membenarkan dengan sendirinya; perkiraanku salah.
Puan, hidup tidak mengenal berbohong demi kebaikan. Tidak menimangku dengan nyanyian merdu. Tidak menyuapiku dengan sesuatu yang istimewa. Tidak memperlakukanku dengan manja. Tidak membekaliku dengan rupiah yang cukup. Tidak mengiyakan semua permintaanku.
Puan, aku rindu. Melihatmu sudah berpakaian rapi lengkap dengan pewangi badan yang menyeruak kamar, menunggumu pulang, membangunkanmu kalau saat kau terlalu lelah bepergian, mendengar tawa sekaligus ocehan numpang lewat darimu, atau sekedar mencium aroma telur goreng buatanmu.
Hidup memang tidak memberikan apa yang kau berikan secara gamblang. Tapi aku sadar aku hidup karena kau hidup, Puan. Dan aku yakin hidup sebaik Yang Maha Baik. Kita akan dipertemukan, secepatnya. Akan ada ribuan juta detik yang telah Ia persiapkan.
Puan, aku segera pulang pada rumahmu yang pasrah. Segera.
Bandung, 23:39 WIB.
23 Mei 2015.
1 note · View note
ayutzahara · 9 years
Photo
Tumblr media
Semoga kamu menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi anak yang membuat Ayah dan Ibumu bisa menangis luap bahagia, menjadi sosok yang lingkunganmu pun enggan jika kamu tak ada, menjadi tokoh pada apa yang kamu idamkan, menjadi pemuda yang tidak sekedar muda mengikuti angka, menjadi pria yang lisan dan perilakunya memang mencerminkan seorang pria, menjadi imam untuk perempuan yang kelak mendampingimu tepat.
Segala Maha Aamiin untuk semua doa baik yang menyertaimu di hari baik, sebaik Tuhan yang mengabulkannya satu persatu. Tersenyumlah untuk segala turut yang menghinggapimu. Bersyukurlah untuk segala berkah yang kamu dapati. Tertawalah untuk setiap kejutan yang berdatangan.
Aku menulis ini karena lisan tak bisa sampai pada telinga yang dimaksud. Sekiranya tangan yang menulis ini bisa sampai terasa terjabat pada tangan yang dituju. Doa dan ucapan ini kuhantarkan lengkap dengan rindu yang kususun rapi. Tepat saat kamu selesai meminta harapan dan lilin padam terhembus, saat itu juga aku sama tersenyum menutup mata mengamini apa yang kamu amini, dari sini.
Aku bahagia, dihari bahagiamu. Aku tersenyum, saat kamu tersenyum. Aku tertawa, saat kamu dan yang lain tertawa. Aku menangis, menulis bahagia.
Kamu, selamat menelusuri jalan dengan kelokan baru. Selamat menjalani hidup dengan teman angka baru. Selamat menjemput bahagia, dan berbahagialah sampai pada tujuanmu nanti.
Dengan peluk dari ribuan kilometer, Selamat Ulang Tahun, Kasih.
11 Mei 2015 Bandung, 23:40 WIB.
0 notes