Tumgik
blanksehari · 6 years
Text
Penunjuk Jalan
Sekitar lima ratus meter dari sini
Kau akan jumpai dua bangunan megah:
Bernasib sama, berumur sama,
Dan menyimpan ceritanya masing – masing.
Dua ratus meter di depan bangunan itu
Kau akan jumpai sebuah patung:
Seorang laki-laki yang melamun,
Dengan hidung yang hilang,
Dan beberapa ekor merpati
Yang bercokol di kepalanya.
Lalu tepat di bawahnya
Ada sebuah bangku berwarna cokelat tua:
Dingin dan kesepian.
2 notes · View notes
blanksehari · 6 years
Text
Bola
Yang terlempar akan berbalik,
Kata yang menjadi bara
Keluar dari kerongkongan
Lalu menghanguskan segala
Beberapa menjadi abu
Nama dan wajah yang hangus
Oleh angin tersapu.
0 notes
blanksehari · 6 years
Text
Kamar
“Jangan lupa menutup pintu.”
“Angin malam bisa bikin masuk angin.”
“Jangan merokok di dalam.”
“Aku butuh film horor.”
“Aku benci kuliah pagi.”
“Aku malu, tulisanku jelek.”
Setelahnya,
Sepotong wajah
Selalu mengganjal di bawah bantal.
Saban pagi
1 note · View note
blanksehari · 6 years
Text
Pada Pukul Tiga
Cinta tercerabut meninggalkan anak
Kasih mengalir dari duri sampai punggung kaki
Dada ibu merah oleh pedang sebilah
Hatinya tanggal di palang yang lelah
Air mengalir menuju lembah:
Pasrah, marah dan kalah
Pada waktu itu,
Kira – kira pukul tiga.
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio
“Orang – orang baik melakukan hal jahat dan beralasan apa yang dia lakukan demi kebaikan. Kita akan selalu menemukan pembenaran terhadap apapun..” – 24 Jam Bersama Gaspar, hal 139
Membaca buku ini ibarat melunasi hutang, entah pada diri sendiri atau pada Gaspar, penjahat yang berhasil memberi saya sudut pandang baru untuk menegakan kebenaran dengan cara yang tidak biasa. Sejak kali pertama kemunculannya di tahun 2017, saya merasakan sebuah kekuatan jahat yang mulai merasuki saya dan terus memengaruhi saya untuk mengenalnya lebih dekat. Semakin lama saya semakin tak berdaya dan mulai kehilangan kendali atas kehendak saya sendiri. Alhasil, Gaspar mendarat di kos saya pada 12 Februari, tepat 2 hari sebelum orang – orang merayakan hari kasih cokelat yang menurut golongan tertentu penuh kontroversi itu.
Cerita dibuka oleh sebuah pengantar dari seorang sepertinya pria bernama Arthur Harahap yang mewanti – wanti saya agar menanggalkan seluruh keyakinan saya tentang hal – hal baik yang selalu menang dari hal – hal buruk; Kalau kita menyimpulkannya dari cerita – cerita masa kecil yang sering kita dengar dari mulut orang tua kita, tentu hal ini adalah keniscayaan, namun kalau bicara realita, ya lupakan saja. Awalnya tentu saya menolak, karena sejak kecil saya selalu dicekoki cerita – cerita macam itu oleh sebuah tabung berbentuk kubus yang sering menyita waktu masa kecil saya. Tapi saya sadar bahwa segala penolakan saya akan berahir sia – sia, apalagi kalau koka1 sudah ditodongkan ke kepala. Lagi pula, kalau dipikir – pikir, sejak kecil saya juga lebih terobsesi untuk menjadi seorang supervillain ketimbang superhero. Gaspar adalah supervillain, dan dia berhasil membangkitkan obsesi masa kecil saya.
Coba anda bayangkan seekor kelabang, lalu bayangkan jika kelabang itu merayap dan masuk ke dalam lubang telinga anda. Rasakan tiap gerakan dari langkah – langkah kecilnya di sekitar gendang telinga anda2. Jika hal itu sudah membuat anda terganggu, maka hal itu juga yang saya rasakan ketika mengenalnya. Gaspar, bisa jadi adalah orang yang paling anda benci di antara banyak orang yang pernah anda temui. Dan di antara banyak sifat lain yang dimilikinya, sikap usilnya yang selalu ingin mengorek sisi tergelap dalam diri setiap orang adalah yang paling mengganggu. Bagaimana tidak, ia mampu membuat anda menertawakan diri sendiri sekaligus merasakan kengerian yang juga berasal dari diri anda sendiri. Ia selalu berhasil memaksa anda untuk membuka wajah buruk anda sendiri.
Hadirnya Gaspar membawa sebuah kesegaran baru di tengah situasi yang sedang kacau balau akhir - akhir ini. Saat kejenuhan mulai mengelus kepalamu dan minta terus diperhatikan, tentu yang di butuhkan adalah senjata baru untuk mengusirnya jauh – jauh, entah dengan alat semprot nyamuk atau pemukul kasur milik ibumu. Gaspar hadir membawa senjata yang lebih keren tentunya. Salah satu senjata paling menonjol di antara banyak senjatanya yang lain adalah obsesinya untuk menegakan kebenaran melalui cara – cara yang bisa kita anggap tidak bajik, jauh berbeda dari cerita - cerita orang tua pada waktu kecil. Terkadang cara - cara kasar jauh lebih berguna untuk menyadarkan orang – orang yang berperilaku buruk. Kita butuh kejahatan untuk membongkar kejahatan. Gaspar berhasil membuktikannya.
Tepat pukul 3 dinihari, percakapan kami tutup. Gaspar undur diri untuk beristirahat, katanya ia lelah dan butuh rehat. Saya pikir ia sedang ingin sendiri untuk merencanakan kejahatan – kejahatan lain, di tempat lain.
 Catatan:
Sebuah     senjata yang menyerupai handgun     tetapi dibuat dari alat – alat seadanya; 24 Jam Bersama Gaspar, hal 116
Sebuah     kesaksian deskriptif mengenai Gaspar, menurut Arthur Harahap.
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Radio
Gelombang yang sama masih kita putar
Diaturnya kabar - kabar 
Mengantre dari kamar ke kamar
Sore tadi agak berbeda
Waktu knob kuputar
Yang keluar cuma samar,
Suara yang memar
Parau - parau kasar:
“Kita sudah tak perlu berkabar,
Sebentar lagi radio patah jadi dua
Dan bakal asing di pojok kamar.”
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Payung Yang Tetap Meneduhkan
Tumblr media
Pada pertengahan 2017 lalu, Payung Teduh melepas single anyar yang berjudul Akad. Di single barunya, Payung Teduh menyuguhkan komposisi lagu yang lebih meriah dan memutuskan untuk keluar dari kebiasaan mereka selama ini. Beat yang cepat disisipi beragam instrumen orkestra menggantikan alunan akustik mendayu nan lirih yang ada di dua album mereka sebelumnya, tampak sekali bahwa mereka ingin mempertebal nafas jazz dan fusion di album ini. Meski begitu, mereka tetap tidak kehilangan jiwa folk dan keroncong yang selama ini mereka usung. Tak lama setelahnya, beragam komentar beterbangan, ada yang mendukung, ada pula yang merundung. Tetapi di luar itu semua, sekali lagi mereka mempertontokan sebuah idealisme bermusik yang enggan tunduk pada pasar. Mereka berani berjudi.
Sebenarnya jika kita sedikit mundur ke belakang, mereka sempat mengeluarkan format album live yang berkolaborasi dengan Yamaha. Di acara yang berjudul Yamaha Live and Lound ini mereka membawakan 11 materi lagu yang ditukil dari 2 album mereka sebelumnya. Yang menarik dari format album ini adalah kehadiran grup orkestra yang turut di dalamnya. Kalau anda sudah mendengarkan format album live ini, saya yakin anda tidak akan kaget dan norak dengan mengkritisi keputusan mereka yang memberi perubahan di album barunya.
Ruang Tunggu
Di penghujung Desember 2017, mereka merilis album baru yang mereka namai Ruang Tunggu. Album ini berisi 9 lagu, termasuk 2 lagu yang notabene sudah sering mereka bawakan sebelumnya, yaitu Akad dan Mari Bercerita.
Layaknya ketika berada di ruang tunggu, apa yang bisa kita harapkan selain perasaan yang campur aduk ? senang, sedih, gugup dan lain macamnya. Suasana inilah yang saya tangkap saat pertama kali mendengarkan Ruang Tunggu. Awalnya saya belum melihat adanya benang merah yang terjalin antara satu lagu dan lagu lainnya di dalam album ini.
Di awali dengan Akad yang menggebu dan berhasil membuatnya laris manis di acara pernikahan, track berlanjut ke lagu kedua yang berjudul Di Atas Meja, yang tampak seperti pesan dari orang yang sedang memberi pengayem – ayem untuk orang yang akan ditinggalkannya. Jika memang mencampur aduk beberapa momen adalah tujuan dari Ruang Tunggu, maka Payung Teduh berhasil mengejawantahkannya dengan baik.
Berlanjut ke lagu ke 3 dan ke 4, ada satu kejutan lain yang disiapkan mereka lewat suara dara muda yang berduet dengan Is. Seperti tertulis di lagu Mari Bercerita dan Sisa Kebahagiaan, dara itu bernama Ichamalia. Kehadiran Icha seperti menjawab Resah dan Rahasia yang melantun selama ini.  Di penghujung Ruang Tunggu, baru saya menyadari bahwa ada kenangan dan momen – momen ‘akhir’ yang coba dinikmati sebelum pergi.
Rasa penasaran saya akan kejutan di album ini terjawab. Is dan Comi juga berhasil membungkus kado perpisahan yang manis. Dan sekali lagi mereka menang berjudi, mereka tetap payung yang meneduhkan.
(sumber gambar: payungteduh.net)
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Ada Kita
Ada beberapa hal yang tak habis dibicarakan dalam semalam,
Misalnya bunga - bunga.
Kenapa ia sering dijadikan inisial pada kasus kriminal yang binal dan banal?
Ada beberapa hal yang tak habis dibicarakan dalam satu abad,
Misalnya Tuhan.
Kenapa ia layaknya hantu?
Terus diburu
Pakai terburu - buru
Ada beberapa hal yang tak habis dibicarakan dalam satu putaran usia,
Misalnya kita, manusia:
Selalu mengada - ada.
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer
Pertama-tama saya ingin bilang bahwa nasiblah yang membawa saya berkenalan dengan buku ini. Singkatnya, pada waktu itu saya benar-benar kehabisan bacaan, alasannya jelas: Saya tidak punya budget yang cukup untuk beli buku baru, hehe. Terjebak dalam kondisi ini membuat saya melipir ke kamar teman-teman kos dan berharap bisa menjarah beberapa buku untuk saya baca. Alhasil, dipertemukanlah saya dengan buku ini.
Pasar Malam. Sudah barang tentu kita akan segera membayangkan segala hal yang menyenangkan jika mendengar kata ini. Suasana meriah yang menawarkan segala macam wahana yang siap menghibur diri dengan biaya yang murah meriah. Tapi, pernahkan kita memperhatikan aktivitas orang-orang yang pergi ke pasar malam? tidakkah kita cermati bahwa orang-orang selalu pergi begerombol untuk kemudian pulang dengan bergerombol pula? Jarang sekali kita temui ada orang yang datang dan pergi seorang diri. Bagaimana seandainya hidup berjalan seperti pasar malam? Kita lahir beramai-ramai untuk kemudian mati beramai-ramai pula? Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh novel ini. Jujur, Bukan Pasar Malam sebenarnya bukanlah perjumpaan pertama saya dengan karya milik Pramoedya Ananta Toer, tapi ini adalah buku pertama beliau yang tunai saya baca. Sebelumnya saya pernah membaca salah satu karyanya yang termasuk dalam tetralogi buru yang berjudul Bumi Manusia. Tapi apa mau dikata, buku itu keburu lenyap bersamaan dengan orang yang meminjamnya.
Cerita tentang hidup dan mati, hubungan antara ayah dan anak, dan belenggu kemiskinan pasca kemerdekaan adalah tiga kerangka utama yang coba diangkat dalam novel ini. Sepintas, saya teringat novel milik Elie Wiesel yang berjudul Night. Bedanya, Bukan Pasar Malam adalah novel roman, sedangkan Night adalah novel memoar yang menggambarkan kesaksian Eliiezer (Elie Wiesel) pada masa Holocaust di kamp konsentrasi Auschwitz. Kedua-duanya menggambarkan kekuatan hubungan yang terjalin antara seorang ayah dan anak; menjalani hidup yang biasa-biasa saja, mengalami penderitaan yang serupa, hingga akhirnya ia (sang anak) harus menyaksikan kematian ayahnya dengan tragis.
Kehadiran tokoh aku sebagai lakon utama dan anak sulung dalam cerita ini membuatnya merasa paling berdosa atas segala kesialan yang menimpa keluarganya, utamanya dengan penyakit yang diderita ayahnya. Entah sudah berapa kali ia mencoba mengakali semua kesialan hidup yang menimpa keluarganya, mulai dari mencari pinjaman untuk berobat sang ayah sekaligus ongkos pulang kampung, melewati perdebatan dengan istrinya yang cerewet, hingga pergi ke dukun untuk mengakali maut yang terus menguntit ayahnya. Kegamangan yang dirasakan aku dalam cerita ini mengisyaratkan hidup yang pelik dan hanya harus diterima sebagaimana adanya.  
Membaca karya ini membuat kita mengamini bahwa hidup bukanlah pasar malam, yang bisa kita datangi beramai-ramai, lalu pulang beramai-ramai pula. Kita datang ke dunia seorang demi seorang lalu pulang seorang demi seorang.
“Seperti mendiang kawan kita itu misalnya, mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.” – Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer
2 notes · View notes
blanksehari · 7 years
Text
Catatan
Pada hari-hari terakhir menjelang ajalnya, ia sempat menulis beberapa pesan pada kertas yang ia tempel pada botol obat di atas meja, di sebelah ranjangnya:
“Kalau aku mati hari ini, tolong sampaikan pesan yang aku tempel pada botol obat di atas meja, di sebelah ranjangku.”
“Kalau aku mati besok, tolong sampaikan pesan yang aku tempel pada botol obat di atas meja, di sebelah ranjangku.”
“Kalau aku keburu mati dan tidak sempat menulis satu pesan pun, tolong ceritakan hari-hari terakhirku. Denganmu.”
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Botol Terakhir
Mataku mulai berkaca Beberapa bayangan muncul: Wajah yang berlipat-lipat Mengecil, membengkak
Lalu jatuh bersama bulir air
Pada botol-botol bir dingin
Muntahan buih meluap Melaknat semua Dengan putus asa dan sebal 
aku berucap: “Mantap”
Botol terakhir datang: “Cukup untuk malam ini!” “Ah tahi.”
0 notes
blanksehari · 7 years
Quote
Kita sangat suka menanam meski sering lupa menuai.
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Wejangan
Ingatan-ingatan yang lapuk: Wajah yang ringkih Pesan-pesan ganjil Dan hidup yang kelewat biasa
Lembar-lembar kertas masih berserakan Butiran nasi tetap liat pada kaki kursi: Saksi kucing tadi pagi.
Asap rokok mengepul lalu disusul sekali batuk kering:
“Kamu mau jadi apa?” “Cari kerja sana, malu dilihat tetangga.” Selepas aku tersipu, bapak berlalu.
0 notes
blanksehari · 7 years
Quote
Waktu adalah wahana paling menyenangkan saat kau masih ingusan. Nanti, akan ada saatnya di mana ia bisa membuatmu terjengkang dalam keadaan paling celaka.
1 note · View note
blanksehari · 7 years
Text
Asah Otak
Sebuah siang yang terik di dalam warung kucingan:
Dua gelas es teh dan dua orang pria berwajah kaku: A dan B. A adalah tukang becak yang biasa mangkal di depan warung B, dan dikenal sebagai jawara catur di antara teman-temannya, dan B adalah si pemilik warung yang berinisiatif menantang A untuk beradu pintar bermain catur dalam sebuah sayembara kecil-kecilan di warungnya.
“Segelas es teh, semangkuk soto dan beberapa mendoan akan secara cuma-cuma menjadi milikmu kalau kamu bisa kalahkan saya.”
“Berapa ronde bang?”
“Satu saja, hitung-hitung asah otak, daripada kamu cuma tidur-tiduran.”
“Abang yakin menang?”
“Saya akan buat kamu mampus dalam lima langkah.”
15 menit berlalu
“Skakmat! apa saya bilang, saya hanya butuh lima langkah, kamu terlalu jemawa.”
“Oke, saya kalah. Lalu siapa yang akan kita potong?”
Sore datang, si B bengong dan si A pulang.
1 note · View note
blanksehari · 7 years
Text
Resleting: Sebuah Trilogi
Jun
Dia tampan, rapi dan berakal, tapi selalu lupa menutup resleting celananya. Namanya Jun, anak bungsu dari tiga bersaudara, mereka bertiga adalah laki-laki. Kakaknya yang pertama sudah bekerja tapi belum menikah. Kakaknya yang kedua sudah menikah tapi belum bekerja. Lalu Jun, mahasiswa manajemen tingkat akhir: belum bekerja, belum menikah, dan selalu lupa menutup resleting celananya. Jun benci dengan kakaknya yang kedua sama seperti ia membenci resleting, karena mereka sama bebal dan keras kepala, lebih lagi karena teguran-teguran yang sering ia terima akibat dua hal brengsek itu. Sungguh, bagi Jun, tingkat kenyamanan sebuah tempat sangat dipengaruhi oleh sikap masa bodoh orang-orang di dalamnya. Dan salah dua hal paling masa bodoh yang Jun sukai hanyalah Guguk dan kakaknya yang pertama. Guguk adalah anjing kampung yang sudah Jun adopsi bahkan sejak ia belum bisa melek. Guguk bukanlah anjing yang menarik secara tampang, pun begitu dengan aktifitasnya sehari-hari. Guguk, layaknya anjing kampung di manapun, selalu tidak paham cara menempatkan diri. Guguk selalu meninggalkan kotorannya di manapun dia suka: di halaman, di dapur, bahkan di kamar kakak kedua Jun. Demi apapun, untuk alasan yang terakhir, Jun menjadi makhluk yang paling berbahagia dibuatnya. Jun suka Guguk dan Guguk suka Guguk.
Kakak pertama
Kalau anda bertanya bagaimana Jun bisa menyukai kakaknya yang pertama ketimbang kakaknya yang kedua, jawabannya sepele: Celana dan Guguk. Celana, tak peduli baru atau bekas, yang ia terima dari kakaknya adalah celana tanpa resleting. Ya, pembaca yang budiman tentu paham alasannya, dan saya tidak mau repot menjelaskan. Celana tanpa resleting, di manapun keberadaanya akan selalu dipuja. Selain tak perlu takut lupa, ia juga memudahkan para lelaki kesepian untuk mengisi waktu dengan merancap. Kakak pertama Jun paham betul segala hal yang dibenci dan disukai oleh adik lelakinya dan adik lelaki manapun.
Ia juga menyukai Guguk meski tidak membenci adiknya yang kedua, yang bebal dan keras kepala. Kakak pertama Jun menyukai Guguk karena kelakuannya yang suka mengencingi pohon mangga milik tetangganya di depan rumah. Wajar saja, sewaktu kecil ia pernah dihukum menghadap tembok selama 5 menit selama satu minggu karena didapati mencuri mangga milik tetangga di depan rumahnya itu. Sejak kehadiran Guguk, ia tidak perlu repot membayar dendamnya. Mereka suka Guguk dan Guguk suka mengencingi pohon mangga.
Kakak kedua
Pukul 12.35 menjelang subuh, di dalam kamar. Seorang pria duduk dengan setengah membungkuk, di atas kursi kayu yang lebih berumur darinya. Tangan kanannya menjuntai ke bawah dan jarinya sedang mengapit rokok yang barangkali tinggal dua atau tiga kali hisap. Tangan kanannya terlipat dan menyangga kepalanya, yang sedang mengarah pada sebuah teks kumal yang ia pungut dari lantai seusai terlempar dari saku kantung kemeja istrinya. Matanya merah sepijar lampu baca yang menyala. Perlahan ia buka teks itu, beserta kecurigaan-kecurigaan di dalamnya: surat cinta, perselingkuhan, surat hutang, surat cerai, dan semua hal brengsek mencuat di kepalanya. Terdesak oleh penasaran, dengan mata merah dan menyala beserta curiga-curiga:
Resleting: Sebuah trilogi
“Dia tampan, rapi dan berakal, tapi selalu lupa menutup resleting celananya. Namanya Jun, anak bungsu dari tiga bersaudara, mereka bertiga adalah laki-laki. Kakaknya yang pertama sudah bekerja tapi belum menikah. Kakaknya yang kedua sudah menikah tapi belum bekerja. Lalu Jun, mahasiswa manajemen tingkat akhir: belum bekerja, belum menikah, dan selalu lupa menutup resleting celananya. Jun benci dengan kakaknya yang kedua sama seperti ia membenci resleting, karena mereka sama bebal dan keras kepala, lebih lagi karena teguran-teguran yang sering ia terima akibat dua hal brengsek itu. Sungguh, bagi Jun, tingkat kenyamanan sebuah tempat sangat dipengaruhi oleh sikap masa bodoh orang-orang di dalamnya.”
 “ah, aneh sekali.”
 “Dan salah dua hal paling masa bodoh yang Jun sukai hanyalah Guguk dan kakaknya yang pertama. Guguk adalah anjing kampung yang sudah Jun adopsi bahkan sejak ia belum bisa melek. Guguk bukanlah anjing yang menarik secara tampang, pun begitu dengan aktifitasnya sehari-hari. Guguk, layaknya anjing kampung di manapun, selalu tidak paham cara menempatkan diri. Guguk selalu meninggalkan kotorannya di manapun dia suka: di halaman, di dapur, bahkan di kamar kakak kedua Jun. Demi apapun, untuk alasan yang terakhir, Jun menjadi makhluk yang paling berbahagia dibuatnya. Jun suka Guguk dan Guguk suka Guguk.”
“kukira apa.”
Seminggu kemudian, usut punya usut, ternyata teks kumal itu adalah penggalan cerpen yang dibuat oleh istrinya. Seminggu yang lalu.
 *Cerpen ini saya buat sebagai penghargaan atas buku Bakat Menggonggong, karya Dea Anugrah.
0 notes
blanksehari · 7 years
Text
Duamei
Aku mengenal Budi di papan tulis Budi mengenalku di meja dan buku-buku Kami tumbuh bersama dalam kurun waktu yang kalis. Budi terbiasa membantu ibu saban pagi: pergi ke pasar, menyapu halaman lalu pergi ke sekolah. Aku terbiasa bernyanyi saban pagi: "bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi." Kami suka membaca dan menulis: Kami sangat menyukai kisah si kancil yang nakal itu, atau menulis tentang sawah dan Pak tani. Semua kami lakukan dengan senang hati. Kini, duamei?
0 notes