Tumblr ini khusus untuk kumpulan fanfictions maupun fanmix milik @ddeathberry dan @summercupcakes
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Always.
"Kiyomi-chan mau cincin yang mana?"
Pandangan mata si gadis cukup berbinar ketika melihat sederetan cincin berkilau untuk sepasang kekasih. Mereka bukan berada di toko perhiasan yang mahal harganya. Tapi mereka berada di sebuah toko aksesoris untuk perempuan di pusat kota Hakodate di sini. Mereka menjual berbagai macam aksesoris dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki anak perempuan. Semuanya lengkap. Terutama bagi yang suka memakai barang yang sama dengan kekasihnya.
Bagi Kiyomi ini hal yang baru untuknya, karena dia sendiri belum pernah memakai barang yang serupa dengan Kuroki Shinya.
"Kalau yang itu, menurutmu gimana Shin-kun?" tunjuknya pada sepasang cincin emas putih imitasi dengan lima mata berlian di sekeliling cincin wanita yang tipis. Berbeda dengan cincin pria yang cukup tebal ukurannya.
"Bagus? Atau terlalu mencolok?"
"Bagaimana kalau yang ini?" Shinya menunjuk ke cincin sebelahnya yang bermata satu berlian saja. Sederhana, tapi manis. Beda dengan pilihan sang gadis tadi.
"I-Itu bagus juga," gumamnya jelas sambil membayangkan cincin tersebut melingkar di jari manis tangan kirinya.
"Aku mau ikut pilihan kamu saja kalau begitu," senyumnya terukir malu di wajah pucatnya yang sedikit merona. Karena dia mau tahu bagaimana pilihan dari seorang laki-laki untuk perempuan. Apalagi cincin. Yang sudah dijanjikan oleh Shinya suatu saat nanti jika mereka sudah dewasa. Mereka mesti puas dulu dengan cincin emas putih imitasi yang akan mereka pakai nanti.
"Baiklah, aku bayar dulu kalau begitu," pemuda itu tersenyum lebar dan meminta salah satu pelayan toko untuk mengurusi pesanannya.
. . .
"Duduk di sini saja yuk," gadis Izumi menunjuk salah satu pohon di taman kota yang cukup sepi dari keberadaan lalu lalang di waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Mereka pun duduk di bawah pohon rindang, melepas lelah sejenak setelah seharian ini mereka berada di luar rumah sejak pagi. Mereka bukan pergi beliburan, tapi mengurus pekerjaan sang gadis menjadi model majalah bertemakan pengantin oleh kakak sepupunya. Ditemani oleh Shinya yang memang sengaja diajak oleh Kiyomi untuk menemaninya selama pemotretan berlangsung sampai sore hari.
Hingga ada cerita kenapa mereka membeli cincin ini. Bukan untuk main-main saja, tapi untuk mengikat kuat hubungan mereka yang semakin dalam. Dengan saling berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain sampai waktu yang tepat. Waktu itu adalah ketika Shinya sudah siap meminangnya dan Kiyomi juga sudah siap untuk menerima pemuda itu menjadi suaminya nanti.
Kalau orang dewasa mendengarnya pasti ini cuma lelucon yang dibuat-buat. Bahwa tidak ada yang abadi, mau itu hidupmu atau janjimu kepada pasangan. Tapi kedua anak remaja ini cuma mau percaya saja kepada semesta dan sang gadis akan menerima saja kalau ada takdir akan memisahkan mereka. Shinya dan Kiyomi bukan sepasang kekasih yang suka main-main dan tidak serius menjalani hubungan mereka. Mereka serius dan selamanya akan selalu bersama.
"Kubuka ya kotak cincinnya," dan kotak cincin berwarna merah itu dibuka oleh si pemuda. Warna kilauan emas putih itu berpendar oleh cahaya bulan yang cerah di musim panas ini. Sang gadis cuma menahan napasnya, sementara itu tangan kirinya sudah diraih oleh pemudanya. Jemarinya diusap-usap sejenak, dan pandangan si gadis tidak lepas dari wajah Shinya yang menyengir lebar seperti mau tertawa keras.
"HAHAHA kayak benaran saja sampai kamu diam begitu," dan memang benar-benar tergelak cukup keras karena lucu melihat wajah gadisnya merona.
"A-apaan sih? Kan wajar k-kalau kayak benaran di depan gereja tadi!"
"Iya iya wajar HAHAHA," masih saja iseng untuk melakukan yang serius begini. Bertukar cincin seperti sepasang pengantin yang telah mengucapkan sumpah janji pernikahan mereka.
"Aku juga merasa kayak begitu kok, Kiyomi-chan," suara Shinya tenang kembali, sambil memasangkan cincin emas putih itu ke dalam jari manis gadisnya. Pemuda itu tersenyum melihat perhiasan mungil itu di jari kekasihnya.
"Aku nggak salah kan? Huh," sekarang gantian Kiyomi meraih tangan kirinya si pemuda Kuroki dan memasangkan ke jari manisnya. Di dekatkan kedua tangan tersebut, digenggamnya sekaligus.
"B-bagus ya yang imitasi juga," takjubnya melihat sepasang cincin tersebut di tangan mereka masing-masing. Kiyomi bukannya sombong karena tidak pernah memakai perhiasan imitasi, tapi yang ini dia memang harus bersyukur banyak-banyak. Walaupun harganya murah, tapi terlihat asli di jemari mereka. Dan yang terpenting adalah hati mereka yang tulus untuk terus melanjutkan hubungan kekasih ini.
"Suka?"
"Suka sekali, Shin-kun. Terima kasih ya," senyumnya cukup lebar pada pemudanya yang menatap sang gadis dengan wajah yang semakin mendekat.
Refleks sang gadis menutupi kedua kelopak matanya, tahu apa yang terjadi karena setelah pasangan pengantin memasang cincin, mereka akan...
...berciuman.
Kedua bibir remaja ini sudah menempel, gadis Izumi ini semakin merapatkan matanya dan juga genggaman mereka yang berada di pangkuannya. Sesekali dia membalas tautan bibir tersebut hingga memberikan Shinya untuk mendominasinya kembali. Cukup lama untuk sebuah ciuman selama mereka berpacaran sejak musim dingin kelas tiga SMP. Mungkin karena terbawa suasana yang sudah dibuat sejak dari gereja Motomachi tersebut.
"HAHAHA kayak menikah benaran ya," Bukannya diam sejenak, Shinya malah tertawa lagi setelah ciuman mereka terlepas. Pasti karena gugup, si gadis sadar kalau itu sikap salah tingkah dari Kuroki Shinya yang biasa muncul ketika hati lagi senang begini.
"Sudah tertawanya, malah bikin malu tahu! Kamu juga yang tiba-tiba menciumku tadi!" mencubit gemas pipi kanan si pemuda yang mengaduh kesakitan. Kiyomi malah tergelak kecil.
"M-maaf, habisnya memang terbawa suasana sih!" Tidak salah kalau memang begitu. Kiyomi juga tidak akan menolak kalau dia memang suka juga seperti tadi.
"Nee, Kiyomi-chan. Janji samaku untuk tidak melepaskan cincin ini sampai cincin ini terganti dengan emas putih yang harganya lebih mahal. Sampai kamu bilang siap untuk menjadi istriku suatu hari nanti."
"Biar semua orang tahu juga kalau kamu sudah ada yang punya saat kita sudah sibuk lulus sekolah nanti."
"Ya?"
Gadis ini mengangguk kuat.
"J-janji. Aku tidak akan melepas cincin ini sampai kapan pun. Kamu juga, ya?"
Pemuda itu mengangguk juga. Dia tersenyum lebar yang tulus.
"Janji. Aku tidak akan mengingkari yang satu ini. Begitu juga dengan janji-janjiku yang lainnya dengan kamu, Kiyomi-chan."
Mungkin terdengar sangat norak, tapi itulah yang cuma diharapkan bagi sepasang kekasih untuk mempertahankan hubungan yang sudah terjalin cukup lama.
. . .
"Aku sayang kamu, Kiyomi-chan."
"Aku juga sayang kamu, Shin-kun."
“Selalu?”
“Selalu.”
Dan kecupan singkat mengakhiri pembicaraan kedua anak manusia ini, Shinya dan Kiyomi melanjutkan perjalanan mereka. Membawa perasaan yang tenang sekaligus lega karena tahu masing-masih dari mereka saling menunggu. Untuk saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau pun keraguan pada hubungan mereka.
Sekali mereka mengingkar, akibatnya adalah mereka akan susah untuk saling percaya lagi. Semua orang juga sudah tahu akan hal tersebut.
1 note
·
View note
Photo
It’s only for you just wanna be for you You just need to stay by my side just as you are right now
(All for You, Seo In Guk & Eunji)
2 notes
·
View notes
Photo
I am still lingering her
As you know i'm stil remember
I can't forget, can't erase, not even for a moment
(Stay, MBLAQ)
2 notes
·
View notes
Text
Chapter 02
6:00. Kuroki Shinya tidak sedang memikirkan pekerjaan rumahnya yang masih kosong setengah setelah ditinggal tidur semalam.
"Ohayou, Kiyomi-chan! Sarapan apa pagi ini? PR-mu sudah selesai?"
Tidak juga sedang gila karena berlatih bicara sendiri.
"Sore ini ada kegiatan klub lagi? Sampai pukul lima? H-hai, aku juga selesai jam segitu. ...m-mau pulang bareng (lagi)?"
Tidak juga sebegitunya berharap bahwa Izumi Kiyomi masih mau bicara dengannya setelah kejadian di antara mereka semalam.
.
.
Shinya mendengus agak gusar, punggungnya disandarkan di tembok kamar. Sambil setengah merapikan helai rambutnya yang berantakan dia mencoba mengembalikan keping ingatannya yang tersisa dari dua belas jam lalu. Bukan sesuatu yang ingin diingatnya, jelas. Tapi orang bijak bilang kalau orang sukses adalah orang yang belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Jadi Shinya di sini sekarang, untuk mereka ulang apa yang bisa dianggap sebagai kesalahannya.
"H-hei, Kiyomi-chan."
Klasik. Cara Shinya memulai pembicaraan, di tengah-tengah langkah dari perjalanan mereka menuju rumah.
Kenapa harus saat itu? Kenapa nggak menunggu mereka sampai ke rumah? B-bukannya Shinya sepenasaran itu, hanya saja dia ingin percakapan ini berlangsung dengan suasana yang santai. Tak perlu lah diawali 'aku mau bicara' dulu segala, padahal selama ini dia kalau mau bicara juga langsung asal ceplos.
"J-jangan ketawa, ya? Janji?"
Tapi intermezzo itu memang perlu, sih.
.
"...aku suka kamu, Kiyomi-chan."
"Aku suka sama kamu. K-kamu gimana?"
"Gimana perasaanmu kepadaku? Sama kayak aku?"
Tapi kalau setelah intermezzo langsung bilang begitu...
.
.
.
"Aaaaah..." Ya. Sadarlah Shinya pada kesalahannya sekarang. "SHINYAAAAA! MAU BANGUN JAM BERAPAAAAA?!" _______________________________________________________________________ "Makasih PR-nya, Rin." Sepuluh menit sebelum bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Shinya melipat kedua lengan di atas meja, membungkuk rendah sekali sampai dagunya menyentuh permukaan meja. Kalau bisa menyembunyikan wajahnya di bawah meja, akan disembunyikannya. Jangankan itu. Kalau bisa nggak usah datang ke sekolah hari ini, akan dilakukannya juga. Tapi tidak bisa begitu, kan? Dia masih mau melihat Kiyomi, mau memastikan bahwa gadis itu pulang dengan selamat kemarin sore setelah ia meninggalkannya di tengah-tengah perjalanan. Masih mau Kiyomi bisa melihat Shinya, mengetahui bahwa anak laki-laki itu sama sekali nggak terluka. Dia masih bisa berdiri dengan tegak datang ke sekolah, masih mengikuti pelajaran dan kegiatan klub dengan baik, masih bisa cengar-cengir, sok akrab, cengengesan-- (sesosok gadis mungil masuk ke dalam kelas mereka dan mengambil tempat duduknya) --yang pada akhirnya, masih lah Kuroki Shinya yang sama dengan sebelum jam lima sore di hari sebelumnya. "O-ohayou, Kiyomi-chan!" Shinya tinggal menjalankan skenarionya. Semudah itu. Ditambah sebuah senyum juga. _______________________________________________________________________ Keran menyala, air mengucur dari keran di halaman sekolah, mengiringi dia yang menunggu datangnya jam lima sore. Shinya bohong kalau bilang kegiatan klubnya selesai pukul itu. Nyatanya dia selalu selesai setengah jam lebih awal. Dia selalu menyibukkan diri dulu entah dengan membereskan ruang klub, atau menyeka wajahnya berulang kali sampai keriput seperti ini, supaya punya alasan bahwa "ya, urusanku di klub sepakbola baru selesai jam segini. Sama denganmu terus, ya? Haha mungkin masih jodoh". Dia tidak mungkin bilang "Hei, aku nggak mau pulang sendiri. Habisnya sepi, sih. Pulang bareng, yuk?" Atau "Aku mau pulang bareng dengan Kiyomi-chan saja. Kamu mau pulang bareng denganku juga?" Atau "Aku suka kamu. Aku suka Kiyomi-chan saja. Aku cuma mau pulang bareng dan menghabiskan waktu sama Kiyomi-chan saja. Kamu mau melakukan itu untukku juga?" . . . Demi kebaikan yang lebih besar, Shinya menekan egonya. Dia tidak menyatakan keinginannya. Dia tidak memaksakan keinginannya. Dia berperan sesuai yang Kiyomi mau. Baiklah, kalau mereka cuma bisa jadi teman sekelas. Baiklah, kalau mereka cuma bisa jadi teman pulang bareng. Baiklah, kalau Izumi Kiyomi tidak mau jadi lebih-dari-teman dengannya, atau tidak mau menganggap ada pernyataan dan pertanyaan Shinya semalam, atau juga cuma mau mereka jadi seperti mereka yang selama ini. Maka Shinya tetap bisa kembali menenteng ranselnya dengan gaya serampangannya sehari-hari, menyeka wajahnya kering sambil dia berjalan ke arah klub musik, lalu memastikan cengiran normalnya sudah terpasang sebelum ia membuka pintu dan menjumpai sang gadis sendirian di dekat jendela sana sambil bilang,
"Kiyomi-chan, pulang, yuk!" Dia toh bisa pura-pura lupa bahwa dia tidak ingin Izumi Kiyomi hanya jadi sebatas teman dekat baginya; sambil tetap tidak lupa bahwa dia ingin pulang bareng dan menghabiskan waktu bersama Izumi Kiyomi saja. . . . Mungkin memang Kuroki Shinya, tidak peduli setidak egois apapun tindak tanduk luarnya demi kepentingan sang gadis, tetap manusia yang sangat egois juga di dalam.
0 notes
Photo
But I'm feeling alive and with every breathe that I take, I feel like I've won—you're my key to survival
(Awake, Secondhand Serenade)
0 notes
Text
Chapter 01
"Izumi-senpai, buku musiknya ditaruh di lemari yang mana?"
"Yang itu simpan di lemari paling pojok saja. Di sana khusus buat buku-buku musiknya." jempolnya menunjuk ke sebuah lemari kayu bercat putih di sudut ruangan ini. Anak perempuan yang tadi bertanya kepadanya mengangguk cepat. Lalu Izumi Kiyomi melanjutkan kembali untuk membereskan semua berkas buku tulis yang berada di meja klub musiknya.
"Semuanya sudah beres, senpai! Aku pulang duluan, ya. Jya ne!"
"Hai~ Makasih ya. Hati-hati di jalan." lambaian ringan dari tangannya mengantar kepergian seorang adik kelasnya yang mau membantunya setelah klub musik ini berakhir lima belas menit yang lalu. Sebenarnya tidak cuma mereka berdua, yang lain sudah duluan karena ada yang melanjutkan dengan kegiatan bimbingan belajar, seperti kakak kelasnya. Nah, Kiyomi sendiri masih kelas dua dan baru ini juga dia menjabat sebagai ketua klub musik karena ditunjuk oleh kakak kelasnya yang sudah lulus dari Midori pada perpisahan tahun lalu.
"Kiyomi-chan..."
"Y-ya?" ditolehnya cepat ke arah pintu masuk setelah memasukkan tumpukan buku tadi ke dalam laci lemari.
Tampak sosok pemuda berkacamata yang menyengir lebar dan melangkah masuk ke ruang klub.
"Ke ruang guru dulu buat kasih berkas klub ke Fujiyama-sensei?"
Gadis itu mengangguk samar, "...kamu sudah hapal ya kita harus ke mana dulu sebelum pulang."
"Iya dong! Kuroki Shinya!" tawa pemuda itu, si gadis cuma memalingkan pandang dengan mengangkat berkas klub itu dari mejanya. Shinya sudah sering pulang sekolah bersama dengan Kiyomi sejak kelas satu. Dan kali ini pemuda ini sudah hapal apa yang harus dilakukan oleh gadis ini sebelum mereka melangkah keluar dari gerbang sekolah menuju rumah. Sang gadis tidak berkutik, tepatnya dia tidak bisa menolak kebaikkan orang yang sudah anggap ia teman terdekatnya.
"Sini yang aku bawa saja."
"Ng-nggak usah! Aku sudah sering merepotkanmu!"
"Santai saja, Kiyomi-chan. Aku kasihan perhatikanmu dari awal membereskan klub tadi. Hahahah!" si pemuda sudah berhasil menggantikan si gadis untuk membawa tumpukan berkas klub tersebut.
"He? Jadi dari tadi kamu sudah menungguku dong?"
"Setiap klub kamu berakhir tepat jam empat sore, aku sudah nunggu kamu di koridor depan ruang klub kamu tahu."
"O-oh. Sampai segitunya..."
"Hehe. Kenapa memangnya? Kamu baru sadar?"
"...hng, a-agak kaget juga. Iya. Aku baru sadar."
Gadis ini memang tidak pernah sekalipun pandangannya ke luar jendela klub. Dia ini terlalu fokus, hingga suka tidak sadar apa yang dilakukan Shinya kepadanya selama ini. Sudah hampir enam bulan dia memegang jabatan sebagai ketua klub musik, jadi sudah selama ini juga Shinya menunggunya.
Apa ini cuma persahabatan murni saja atau ada maksud lain yang membuat status pertemanan ini akan meningkat?
_______________________________________________________________________
"H-hei, Kiyomi-chan."
"Ada apa, Shin-kun?"
Langkah mereka yang sudah setengah jalan dari sekolah menuju rumah ini jadi terhenti. Tepat berada di tengah-tengah jembatan yang mereka lalui. Di bawah aliran sungai sedang cukup deras, pertanda musim kemarau ini akan berganti ke musim dingin. Cuaca pun semakin buruk karena sering kali hujan angin turun setiap harinya. Tapi beruntunglah bagi kedua murid Midori ini, tidak perlu membuka payung mereka. Cukup mengeratkan syal sekolah di leher masing-masing.
"Ada apa sih, Shin-kun? Kok jadi diam?"
"Nggak. Ano..."
Diperhatikan gerak-gerik si pemuda yang mulai salah tingkah. Menggaruk kepala belakangnya yang sebenarnya tidak gatal, begitu juga pandangan matanya yang susah fokus pada gadis mungil yang sudah berdiri di hadapannya.
"J-jangan ketawa, ya? Janji?"
"Iya janji. Ada hal yang lucu memangnya?"
"Hehe. Nggak ada hal yang lucu kok. C-cuma... aku suka kamu, Kiyomi-chan."
"..."
"Hahah, jangan ketawa. Aku suka sama kamu. K-kamu gimana?"
"G-gimana apanya?"
"Ya gimana perasaanmu kepadaku? Sama kayak aku?"
Gadis Izumi ini tidak tahu harus membalas dengan ucapan apa. Pertama kalinya dia dinyatakan perasaan oleh seorang lawan jenisnya. Dan yang ia lihat bukan sebuah keseriusan yang terpampang di wajah Shinya. Kiyomi juga takut karena satu hal yang ia lihat di samping pemuda itu.
Dia ini mempunyai teman khayalannya. Namanya Shinya juga. Sudah menemaninya sejak kelas lima sekolah dasar sampai sekarang. Yang sekarang ia lihat adalah kalau Shinya teman khayalannya ini menyuruhnya untuk langsung lari meninggalkan pemuda yang telah menyatakannya perasaan suka kepadanya.
"G-gomen, Shin-kun."
Tanpa ada jawaban yang pasti, langkah kecil si gadis mengiringinya untuk berbalik arah dan berlari meninggalkan pemuda Kuroki itu yang terkejut apa yang ia dapatkan dari gadis berponi tersebut.
Perasaan si gadis campur aduk. Malu karena Shinya berterus terang kepadanya, dan sedih karena dia tidak tahu harus menjawab apa selain menurut pada suruhan dari teman khayalannya.
Rasanya ingin sampai di rumah saja, masuk ke dalam kamarnya dan menuangkan rasa sedihnya ke bantal dengan menangisi kebodohannya yang meninggalkan si pemuda sendirian.
Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana besok di sekolah.
0 notes
Text
Let's Hold Hands
Tidak semua orang yang telah tiada di muka bumi ini, arwahnya akan tenang di sisi Pencipta. Berlaku juga bagi arwah yang memiliki sifat yang merugikan diri sendiri dan orang lain akan kekal di tempat siksaannya. Seperti aku, Izumi Kiyomi yang telah meninggalkan semua orang yang kusayangi di akhir bulan Juli kemarin. Aku sempat merasakan nikmatnya surga, tapi aku diberi kesempatan untuk tinggal di dunia ini lagi karena khawatir pada satu pemuda yang telah mewarnai kehidupanku sebelumnya. Kuroki Shinya. Dia kekasihku, hng--tepatnya dia mantan kekasihku setelah kepergianku, tapi lebih enak kalau aku masih menganggap dia kekasihku karena kami tidak putus. Shinya itu pemuda yang baik dan penyabar. Dan jelas saja dia memiliki sifat penyayang kepadaku. Dia salah satu sumber kekuatanku untuk menghadapi cobaan yang pernah kurasakan. Dia penyemangatku ketika semangatku kembali jatuh. Dia adalah orang yang tepat untuk menemaniku hingga hembusan napas terakhirku. Aku bangga memiliki kekasih seperti dia, aku tidak menyesal sama sekali apa yang pernah kita lakukan waktu dulu, dan sampai saat ini juga rasa sayang dan cintaku tidak pernah luntur kepadanya. Aneh memang, mungkin ini alasanku juga kenapa aku mau meninggalkan kenikmatan surga Tuhan. Aku ingin menjaganya, karena setiap kuperhatikan Shinya dari sana, aku tahu kalau pemuda itu belum bisa melupakanku dan terus dilanda rasa duka maupun sedih. Padahal, Shinya memiliki banyak teman, mereka suka sekali mengajaknya untuk bermain, memberikan semangat hingga saling memberikan candaan dengan mengejek kekasihku dengan gadis lain. Aku sebenarnya sedih ketika teman-teman Shinya bercanda seperti itu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Shinya tidak akan pernah merasakan sentuhanku lagi. Aku tidak ada hak lagi untuk mengatur kisah cintanya. Punggungnya. Jemari tangannya. Kedua lengannya. Bidang dadanya. Itu semua adiksi setiap aku melihat Shinya. Rasa-rasanya aku ingin menampakkan diri. Memperlihatkan sosokku dengan bentuk arwah kepadanya. Tapi aku tidak mau membuatnya tambah sedih lagi. Karena kehadiranku akan selalu membuat dia teringat bagaimana senyuman terakhir yang kuperlihatkan di ruang rawat inap rumah sakit. Aku pun lebih memilih masuk ke dalam mimpi setiap tidurnya. Merekam ulang kejadian di saat aku masih hidup. Perkenalan pertama waktu di sekolah. Pergi dan pulang sekolah selalu bersama-sama. Pernyataan perasaan pemuda itu sewaktu sekolah dan cuma kudiamkan saja berkali-kali tanpa jawaban. Hingga akhirnya Shinya tahu penyakitku berikut alasanku kenapa tidak mau membalas perasaannya. Aku pun akhirnya membalas perasaannya, membuat hidupku berwarna setelah menjalaninya. Hubungan kekasih tidak pernah ada yang mulus. Aku dan Shinya sempat bertengkar, sampai-sampai aku memilih menenangkan diri ke Hokkaido selama enam bulan. Dan selama itu juga aku berusaha mencoba melupakannya. Sayangnya, tidak pernah berhasil dan puncaknya aku pernah memanggil Shinya di dalam tidurku. Dan seminggu setelahnya, dia menjemputku, membawaku pulang ke Tokyo untuk menjalani kehidupan lagi tanpa ada pertengkaran seperti dulu. Ya selama aku hidup, tentu saja ada pengalaman yang tidak bisa kulupakan sampai sekarang. Liburan berdua pertama kami, dan di sana kami saling berbagi rasa yang dalam. Dan di sana juga aku tahu rasa bahagiaku sebagai gadis yang dimiliki oleh Kuroki Shinya. Hari ini aku telah mengikuti keseharian Shinya di kampusnya. Pemuda itu lagi-lagi menolak ajakan main dari teman-temannya. Aku cuma pasrah dan diam saja memperhatikan kekasihku yang kembali membereskan buku-bukunya. Selanjutnya aku kembali mengikutinya, berjalan di sampingnya sambil memperhatikan wajahnya yang tidak seceria sebelum aku pergi. Dulu Shinya cerewet, tapi sekarang dia menjadi lebih pendiam dan lebih banyak berpikir. Terlebih lagi dia sering menjaga rumah sakit setelah sidangnya telah dinyatakan lulus. Aku bangga padanya, karena yang sempat kukhawatirkan ini bisa membuat Shinya kembali sadar pada akademiknya yang sempat terjatuh setahun yang lalu. _______________________________________________________________________
Aku baru sadar kalau langkahku mengikutinya sedari tadi adalah ke sebuah pemakaman. Dia sudah berjongkok di depan nisanku dengan meletakkan bunga kesukaanku. Di sana aku bersemayam, tidur nyenyak selama setahun lebih ini di sini. Kata manusia yang hidup, pemakaman itu seram. Tapi kataku, di sini adalah tempat yang nyaman untukku. Banyak orang yang datang untuk berziarah. Terkadang aku suka mengaminkan doa-doa mereka pada pemilik nisan di sana. Tapi sekarang aku cuma mau fokus pada Shinya yang tengah berbicara sendiri pada nisanku. Aku terdiam saja. Sesekali tersenyum mendengarnya dia bercerita akan lulus dua bulan lagi. Padahal tanpa pemuda itu bercerita pada nisanku, aku sudah tahu apa yang terjadi dengannya, semuanya. Berikut pada intonasi suara si pemuda yang semakin mengecil. Aku tahu kalau dia kembali sedih dan aku cuma bisa mengusap kepalanya seperti yang sedang kulakukan sekarang. Tidak peduli pemuda itu akan merasakan kedinginan atau merinding. Aku cuma mau menenangkannya saja dengan sikapku yang impulsif seperti ini.
_______________________________________________________________________
Aku jadi membayangkan kalau aku masih hidup dengan dinyatakan penyakitku berhasil disembuhkan. Aku pasti sedang di kamar untuk melepas lelah setelah seharian di kampus, membalas setiap e-mail dari Shinya yang masuk lewat telepon genggamku. Atau aku sedang sama-sama sibuk karena aku mempunyai banyak anak-anak kecil yang sibuk belajar musik di tempat les seni musik yang aku miliki. Tapi apapun itu, menemani Shinya seharian ini adalah hal yang menyenangkan untukku yang cuma meninggalkan nama saja di dunia. Aku tidak merasa lelah, perasaanku sangat ringan ketika manusia merasa capek setelah melakukan kegiatan sampai malam. Kuperhatikan Shinya di sampingku lagi. Langkah pemuda itu gontai. Keningnya berkerut dan sesekali ia memijatnya. Aku kembali khawatir kalau ada apa-apa di pinggir jalan umum seperti ini. Orang-orang masih banyak yang berlalu lalang, begitu juga kendaraan. Tapi perasaanku tidak enak, aku tahu akan ada hal buruk pada pemuda Kuroki tersebut. Pandanganku was-was, pendengaranku semakin menajam saat kuikuti Shinya yang menyebrang. Dan baru kusadari kalau ada cahaya yang menyilaukan mendekat cepat ke arah Shinya. Sebuah motor berkecepatan tinggi akan menabraknya. “AAAH!” “AWAS!”
(CIIIIIT) DHUAK! Teriakan seorang gadis di seberang jalan membuat refleks tanganku mendorong punggung pemuda itu agar terhindar bahaya. Tapi apa yang kudapatkan? Aku tidak berhasil menjaga Shinya untuk menjauh dari motor itu. Mataku terbelak, teriakanku tertahan di ujung kerongkongan, menatap tidak percaya pada tubuh kekasihku yang terlempar cukup jauh. Sekitar lampu penyeberangan semua orang panik, semuanya berusaha menolong kekasihku. Pengendara motor itu langsung ditahan oleh beberapa orang yang lewat di sana. Salah satu gadis yang berteriak tadi langsung menelepon rumah sakit. Aku cuma bisa menatap sosok Shinya yang tengah kesakitan. Tubuhnya penuh dengan luka, napasnya tersengal-sengal karena sulitnya dia menghirup oksigen. Kuberanikan mendekat padanya, kuusap kepalanya, kuberikan senyuman terbaik kepadanya dan aku menangis tersedu dalam keheninganku sambil memeluk tubuhnya yang sakit. Sekarang aku tahu bagaimana rasa sakitnya melihat orang yang kusayangi menderita seperti ini. Dan aku tahu, Shinya tidak akan selamat dari penderitaannya.
_______________________________________________________________________
Dulu Shinya pernah berjanji pada masa hidupku kalau dia akan mengajakku untuk menikah di saat waktu yang tepat nantinya. Dan hari ini, adalah hari terbahagiaku sepanjang aku telah tiada. Tidak ada yang bisa menebak umur manusia sampai kapan dan ajalnya kapan tibanya. Dan tidak ada yang menyangka juga kalau aku bisa bertemu dengan Shinya lagi. Dia bisa menatapku yang sedang tersenyum malu, dia tahu kehadiranku, dia bisa merasakan genggaman tanganku kembali, dia yang wajahnya kembali ceria seperti sedia kala. Kini aku berdiri kembali di sampingnya, kali ini Shinya adalah calon suamiku. Dengan aku yang sudah mengenakan gaun pengantin yang cantik, tudung transparan yang menutup wajahku yang bersemu merah. Dan seorang pendeta yang tengah membacakan ikrar pengantin kepada kami. "Aku bersedia." jawab Kuroki Shinya. Aku menahan napas mendengarnya, hampir saja membuatku tidak fokus. Buru-buru aku pun membalasnya dengan suara yang penuh yakin setelah pendeta selesai membacakan ikrar kepadaku. "Aku bersedia." Kemudian kami bertukar cincin dan merasakan kembali hangatnya bibir masing-masing yang telah lama tidak kurasakan. Aku tersenyum lebar, wajahku tidak menampakkan sedih lagi ataupun rasa sakit yang pernah kuderita saat aku masih hidup. Kami kembali bersatu seperti dulu. Tuhan memang punya jalan cerita lain untukku dan juga Shinya. Aku sama sekali tidak menyesali kegagalanku menyelamatkan Shinya saat kecelakaan kalau berakhir sebahagia ini yang kita rasakan.
0 notes
Text
Coming to You
"Shin! Goukon yuk, nanti sore!" "Eh? Ng-nggak, aku nggak ikut, kalian saja." "Hee kenapa? Kamu jaga malam? Kalau karaoke? Yakitori? Nggak mau juga?" "B-benaran, nggak u—" "Shin ada urusan, Kou. Kita aja yang pergi, lagian kamu juga nggak suka kan, kalau incaranmu yang anak seni itu diambil dia?" Lalu berlalu seperti itu saja, Kazuki menyeret Kojima supaya pergi tanpa banyak tanya. Aku cuma tertawa kecil, lalu berhenti tepat sedetik setelah mereka berdua berbalik punggung dan pergi. Kazuki itu orang yang sudah jadi teman terdekatku sejak masuk kuliah, yang berarti dia sudah mengenal aku dan sejarah jatuh bangunku selama hampir empat tahun. Bukan waktu yang lama, tapi cukup berarti karena di tahun-tahun itu terjadi peristiwa yang berdampak penting karena cukup untuk mengubah hidupku. Aku kembali membereskan kertas-kertas dan buku di meja dengan paksa masuk ke tas, buru-buru meninggalkan ruang kuliah ketika menyadari sekeliling sudah sepi. Tidak ada yang menungguiku lagi. Jelas saja. Dibandingkan mereka, aku nggak cukup asik. Aku nggak pernah minum, nggak merokok, dan kali aku main-main lebih dahulu sebelum pulang dalam dua bulan terakhir bisa dihitung jari, yang berarti aku hampir jarang ikut dalam kegiatan teman-temanku. Apalagi kencan kelompok. Na ah, itu sih nggak pernah. Tepatnya itu memang cuma permainanku saat SMP dan tahun pertama SMA sebelum... Sebelum punya pacar untuk pertama kalinya. Mereka menganggapku belum bisa melupakan Kiyomi sampai sekarang, tapi kenyataannya memang aku saja yang nggak berminat lagi dengan hal-hal semacam itu. Tapi aku memang juga belum melupakan Kiyomi. Yah... Harusnya kalau begitu nggak usah mengelak dari awal. _________________________________ “Hei.” Langkahku berhenti tepat di hadapannya, lalu berjongkok hingga sejajar. “…s-sudah lama, ya? Maaf.” Angin di senja musim gugur menerpa tengkuk jenjangku, wangi rumput dan bunga, wangi tanah basah setelah disiram, suara orang tua dan anak-anak memanjatkan doa—mengiringiku meletakkan seikat lily putih di depan nisannya. Itu milik Izumi Kiyomi. Kalau masih hidup, dia berusia dua puluh dua tahun, sama sepertiku. Dia gadis mungil yang selama hidupnya kukenal dengan pipi tembamnya yang merah muda pucat dan rambut gelap berponi tebal sepunggungnya, tidak seperti dia ketika kulihat terakhir kali sebelum kuantar dia ke tempat kremasinya. Dia gadis yang sama dengan gadis yang kuincar dan kusukai sejak SMA, cinta pertamaku, dan sempat lima tahun menjadi kekasihku sebelum dia berpulang lebih dulu. Hela napas lebih dulu. “…a-aku sibuk sekali sejak terakhir kali ke sini. ..sibuk jaga, sibuk pekerjaan klinik juga. Sibuk skripsi. A-ah ngomong-ngomong, aku baru selesai sidang. Kemarin. Aku bakal lulus dua bulan lagi.” Senyumku lebar, khas seseorang yang antusias bercerita tentang kabar masing-masing kepada seorang teman yang lama tidak berjumpa. “Nggak kerasa. Rasanya kayak baru kemarin kamu ngeliatin pengumuman ujianku di Todai karena aku nggak berani lihat sendiri.” Khas seseorang yang lagi nostalgia, bersyukur dia sempat punya kehidupan yang menyenangkan sebelumnya. “Tinggal dua tahun lagi, kamu bakal liat aku berjas putih. Masih penasaran, nggak? Dulu aku nggak bisa ngebayangin itu bakal kayak bagaimana, tapi cuma kamu yang bilang kalau aku bakal kelihatan pantas pakai itu.” Aku dari dulu nggak bisa menebak akan seperti apa respon Kiyomi. Kadang gadis itu bakal pura-pura nggak suka sambil mencela halus, atau terang-terangan memuji. Kalau ada satu hal yang pasti, dia nggak pernah sekalipun merendahkan, meragukanku, atau bilang aku nggak akan bisa. “…i-iya. Akhirnya.” Aku menghela napas. Ingat saat satu setengah tahun lalu kuliahku sempat nyaris keteteran karena aku kehilangan semangat. Tepatnya kehilangan orang yang biasa memberiku semangat. Tapi aku memaksa bergerak supaya tidak mengecewakan orangtuaku atau dikhawatirkan teman-temanku. Bukan berarti hidup bakal berakhir, kan? Nggak, Shinya, dia cuma bagian dari hidupmu. Kamu melupakannya, menggantikannya, maka selesai— “B-betul, kan? Aku bisa. Kehidupanku kembali seperti biasa, aku udah belajar membiasakan diri, jadi sekarang aku kembali jadi kayak waktu kamu masih di sini. N-nggak ada masalah, pikiran, penyesalan—“ Tenggorokanku tercekat sendiri. Aku menangkupkan kedua telapak tangan di wajah, malu karena aku nggak benar-benar bisa seperti yang kubilang sebelumnya. _________________________________ Waktu masih tujuh belas tahun, aku nggak menduga Izumi Kiyomi akan mengubah hidupku ke depan jadi seperti ini. Waktu tahu gadis yang kusukai menderita kanker otak stadium dua, aku sendiri yang memutuskan untuk tidak mundur dan menunjukkan bahwa aku bisa melindunginya. Waktu itu, ‘suka’ berubah jadi ‘cinta’. Makin waktu, keadaan si gadis tetap tidak menentu. Pernah kami nonton bioskop atau makan di kafe seperti kekasih sehat pada umumnya. Kadang kami cuma bisa ‘kencan’ di sisi tempat tidur ruang opname. Kadang kami bisa jalan-jalan dengan teman-teman yang lain atau saling mengunjungi rumah masing-masing. Pernah aku membawa gadis itu pergi ke luar kota, melihat gunung, sambil mendorong gadis itu duduk di kursi rodanya. ‘Cinta’ itu nggak lagi berubah ke mana-mana. ‘Suka’ jadi ‘sayang’. ‘Sayang’ jadi ‘setia’. Lalu ‘setia’nya tetap, tapi ditambah ‘ingin.’ Butuh’. ‘Tergantung’. Persis. Ibaratnya tubuh, Kiyomi itu otakku. Aku bisa hidup tanpa dia berfungsi, tapi tanpa berpikir, tanpa akal sehat, tanpa bisa merasakan apa-apa. Dia nggak bisa diganti yang baru. Dia yang mengendalikan aku. Kalau aku nggak kenal dia dan mengenalnya sampai sejauh ini, aku mungkin nggak akan berakhir di sini; jadi dokter karena beranggapan kemampuanku dapat membantu kesembuhan Kiyomi nantinya. Kalau begitu, aku juga nggak perlu merasakan pengalaman ini. Yang awalnya suka cita berakhir remuk redam. Ng-nggak, aku nggak menyesal karena semua itu. Hanya kadang aku berpikir—bagaimana rasanya kalau dia masih ada di sini? _________________________________ Kalau Kiyomi masih ada, mungkin dia sekarang sedang menemaniku ada di tempat itu—tidak jauh dari trotoar tempatku berjalan, di kafe baru pusat kota yang dipadati pasangan-pasangan muda itu. Mungkin dia sedang membantuku mencari pakaian untuk upacara kelulusan sampai lupa mencari gaunnya sendiri. Mungkin dia sudah lulus dari sekolah musiknya sekarang dan sudah punya murid-murid les yang lucu-lucu. Mungkin aku nggak perlu berjalan sendiri sekarang. Sangat larut, hampir tengah malam. Aku baru selesai mendoa selewat petang tadi dan ditambah beberapa urusan di rumah sakit. Lampu jalanan yang biasanya silau terasa buram di mataku sekarang. Aku tidak mengantuk, hanya kepalaku saja yang terasa berat sekali. Tanpa sadar satu tanganku menyangganya sambil berjalan. Aku melewati halte yang biasanya kuhampiri kalau mau pergi ke rumahnya Kiyomi. Jadi ingat aku sudah tidak pernah ke sana lagi; bukannya tidak mau, tapi sengaja menghindar karena tahu orang tuanya akan teringat dengan gadis bungsunya lagi kalau melihat aku. Dan sebaliknya. Sampai kapan mau begini terus? Kalau lima tahun lagi, apa aku sudah tidak ingat lagi? Kalau sepuluh tahun lagi, aku sudah bekerja sebagai dokter dengan spesialisasi ilmu kanker dan punya anak dari istriku yaitu wanita lain, mungkin aku sudah lupa? Haha. Pernah juga kepikiran bahwa berusaha untuk melupakan itu capek. Kalau aku hidup seperti sekarang saja juga bisa. Tapi sama. Capek. C a p e k. Lelah. Dari pada bertanya ‘sampai kapan’, lebih baik ‘kenapa’. Kenapa mau begini terus? ‘Bagaimana’ supaya tidak harus begini terus. Lampu penyebrangan baru saja berubah jadi hijau. Aku melangkah cepat-cepat. Suara deru dua, tiga motor terdengar dari kejauhan jalan yang kusebrangi. Suara yang sebuah terasa semakin mendekat sampai derunya seperti sudah di samping telinga. Percepatannya mengerikan. Kalau bukan karena heroin, pemotor itu tengah mabuk. “AAAH!” Bukan aku yang menjerit, tapi seorang gadis SMA yang menyebrang di hadapanku. “AWAS!” (CIIIIIT) DHUAK! _________________________________ Kepalaku seperti mau pecah. Sakit. Sakit sekali. Kecuali napas dinginku yang tinggal sepotong-sepotong, aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Sejak tertabrak keras dan terseret jauh dalam kecepatan tinggi tadi, tangankan tangan dan kaki, melihat ada di mana saja aku tidak bisa. Aku cuma bisa mengetahui hangat rumah sakit. Bunyian alat bantuan hidup. Suara dokter menyebutkan ‘pendarahan otak’, ‘shok’, dan ‘gagal fungsi tubuh’. Aku ingin ini cepat-cepat berakhir, tapi setelah ini berakhir—apa? Untuk pertama kalinya sejak setahun ini, aku bisa merasakan suara kekasihku dekat, dekat sekali di sebelahku. Aku mau meraihnya dengan tanganku, mau bicara, mau menangis, mau melakukan apa saja demi bisa mencapainya. "...K-Kiyomi..." Mungkin sebentar lagi. Mungkin aku tidak perlu lagi melakukan semua itu. _________________________________ Kelopak merah muda sakura bertebaran di sekitar lokasi gereja ini. Aku melirik ke sebelahku. Seorang wanita muda, cantik. Wajahnya berseri di balik tudung gaun putih transparannya. Salah satu tangannya menggenggam tanganku, aku merasakannya dingin, gemetaran, meskipun wajahnya mengulum senyum malu. Aku memasang ekspresi yang sama. Pendeta membacakan ikrar yang kusimak dengan baik. “Aku bersedia.” Jawabku mantap. Pendeta mengulang ikrar yang sama namun ditujukan bagi pihak pengantin. “Aku bersedia,” Jawab pengantinku. Lalu kami bertukar cincin. Aku merasakan hangat bibir Izumi Kiyomi yang sudah lama tak kukecup. _________________________________ Tepat sebelum napas terakhirku terhembus, aku merasa mungkin untuk mati tidaklah seburuk itu.
0 notes
Text
Cause the hardest part of this is leaving you.
"Aku mau ikut Kiyomi-chan! Jangan pergi!" "Ng-nggak bisa Shin... Aku mau pergi sendiri." "Kenapa? Aku mau! Kamu kan udah janji nggak akan ninggalin aku juga?" "P-pokoknya nggak bisa. ...kamu nggak bisa ngikutin aku.” “…” “Aku mau pergi ke tempat yang jauh." _________________________________________________ Bukan sekali dalam beberapa minggu terakhir Kuroki Shinya mimpi itu. Dia sudah dan selalu sikat gigi, cuci tangan-kaki, dan berdoa sebelum tidur, tapi tetap dia tidak bisa mencegah mimpi itu muncul dan membangunkannya tiap dini hari dengan wajah serta tangan sembab karena keringat. Selanjutnya pemuda dua puluh dua tahun itu butuh waktu lama untuk bisa tidur lagi, bangun di pagi hari dengan kuyu, lalu pusing seharian di waktu kuliah. Jenis perasaan yang tidak disukainya. Kuroki Shinya adalah pemeran utama di mimpi itu, yang tidak lain adalah aku sendiri. Dan aku tidak suka bagaimana aku sendiri tidak bisa menganggap mimpi itu bukan apa-apa. Bertahun-tahun aku memegang keyakinan bahwa Kiyomi akan bisa sembuh, tapi bunga tidur itu muncul berkali-kali seperti firasat dan menggoyahkan kepercayaanku lagi. Apa itu takhayul atau insting bawah sadar, aku tidak bisa membedakannya. Apa aku salah karena berpikir seperti itu? _________________________________________________ Aku merasa payah. Gimana bisa aku menghadapi Kiyomi setiap hari dengan wajah sok kelihatan biasa-biasa, mengangguk dan menyuruhnya optimis setiap kali Kiyomi tanya "Menurutmu aku akan bisa sembuh kan, Shin?", sambil sementara aku sendiri berpikir 'Kiyomi akan mati. Entah kapan, cepat atau lama, tapi tetap kemungkinan dia berumur panjang lebih kecil’? Rasanya mau menggeplaki diri sendiri, mencegah pikiran-pikiran itu muncul, lalu kembali seperti Kuroki Shinya waktu SMA dulu. Yang positif, optimis, naïf, sok jago—karena waktu itu memang belum tahu apa-apa. Dubia ad malam. Artinya tingkat kesembuhan meragukan, ke arah yang lebih buruk. Semakin banyak tahu, malah aku semakin takut. Buku-buku kedokteran yang kusantap setiap hari sejauh ini tidak ada yang berhasil menenangkanku—dalam beberapa hal aku memang belajar supaya punya bukti untuk bisa men-denial ketakutan itu. Bukan motivasi murni, tapi toh dari awal memang gadis itu yang menjadi pendorong terbesarku menginjakkan fakultas itu. Sel kanker itu sudah menyebar ke seluruh bagian otak Izumi Kiyomi. Dalam status stadium empat, sel penyakit yang merambahinya lebih banyak daripada sel sehat itu sendiri. Dalam kasus Kiyomi, penyakit itu mulai merambah ke organ lain di sekitar otaknya. Tidak usah paham perasaanku juga tidak apa, malah lebih bagus. Karena sekeras apapun aku ingin mencoba optimis, langsung gagal karena aku langsung ditampar lagi dengan kenyataan bahwa hidup-matinya gadisku bukan cuma doa dan semangat yang menentukan. _________________________________________________ "Barusan Kiyomi setuju untuk operasi." Aku mengangguk kecil, menanggapi kabar dari ayah kekasihku. "Mmm." "Besok." "...b-bagus lah." Makin cepat makin baik, apalagi kalau memang operasi tersebut berhasil mengurangi sel kanker yang bersarang di otak Kiyomi—supaya Kiyomi tidak perlu menahan sakit sampai menangis seperti selama ini lagi, dan aku tidak perlu menahan diri untuk tidak membalikkan badan agar tidak perlu melihat Kiyomi yang seperti itu. Kiyomi tidak perlu tahu kalau pada saat yang sama aku sama tersiksanya seperti dia. “Memang sudah seharusnya kita melakukan semua hal yang bisa dilakukan, kalau itu untuk kesembuhannya Kiyomi," lanjutku. Pria setengah baya kurang itu mengangguk hormat, pergi menyerahkan jam jaga pasien selanjutnya kepadaku sambil menepuk pelan punggung tanganku, ekspresinya yang biasa untuk bilang 'temani Kiyomi, ya' tanpa kata-kata. Aku harus menghela napas panjang berkali-kali dulu sebelum masuk ke dalam ruang rawat itu. Perasaanku gugup tidak karuan, tapi kupikir karena ingat besok akan ada hari besar, operasi besar yang akan dijalani kekasihku itu. _________________________________________________ "Aku sudah kenyang, Shin-kun. C-cukup." Dalam beberapa waktu terakhir, cuma rutinitas seperti ini yang bisa menghiburku. Duduk di samping tempat tidur Kiyomi, menemaninya berbicara, menyuapinya, memegang tangannya dan mengelusnya sampai ia tertidur. Cuma itu yang membuatku senang karena satu-satunya Izumi Kiyomi yang kuinginkan masih ada di sampingku sampai saat ini. Apalagi yang harus kulakukan kecuali bersyukur? Satu tambahan hari untuk umur sang gadis adalah hal yang paling berharga; aku selalu bilang itu kemarin, hari ini, esok, setiap hari, sampai akhirnya aku adar bahwa selama apapun waktu yang kami miliki bersama tidak akan pernah terasa cukup. Membuatku ingat untuk menjadi seperti Shinya yang masih SMA dulu, yang memlih tidak memikirkan apa yang akan terjadi ke depan namun hanya fokus menjalani dan memanfaatkan apa yang ada saat ini. "Jadi tidak sabar. K-kalau aku sembuh nanti, aku mau gula kapas yang banyak ya, Shin-kun. Kamu tahu kan, a-aku sudah dilarang makan begituan setahun yang lalu." Mengangguk, walaupun belum tahu kapan kemungkinan itu ada, Shinya yang ada di sini cuma seharusnya berperan untuk mengiyakan kata Kiyomi. Dukungan psikologi, katanya, yang penting niatnya sekalipun Kiyomi mungkin tahu apa yang terjadi sebenarnya di baliknya. "Hahah, iya. Nanti kubelikan bersama dengan mesin pembuatnya." "Benar, ya? Sama si kakek penjualnya sekalian. Nanti siapa yang buat gula kapas seenak itu kalau bukan si kakek itu?" Tawa kecil terlontar dari bibirku yang menyunggingkan senyum sejak tadi. Tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawil gemas pipi Kiyomi, akhirnya aku melakukannya juga, ditutup dengan menyerahkan minum dan obat untuk gadis ini. Makanan terakhirnya untuk siang ini, tinggal diikuti obat beberapa jam setelah gadis itu bangun, dan berikutnya setelah makan malam sebelum tidur. Aku tidak usah diingatkan lagi kalau hanya untuk urusan jadwal seperti itu. Aku menghembuskan napas lega setelah obat itu masuk dengan mulus melalui kerongkongan Kiyomi, karena tahu Kiyomi tidak perlu merasakan sakit lagi setidaknya sampai beberapa waktu ke depan. Aku menyambut gapaian salah satu tangan si gadis sebelum diminta, menautkan jariku di sela-sela jemarinya. Kiyomi tersenyum, entah untuk apa, tapi aku membalasnya, semata karena aku senang melihat senyumannya. Yang tidak pernah berhenti kusukai sejak delapan tahun yang lalu. Karena dengan Kiyomi tersenyum, seolah-olah kami tidak ada bedanya dengan semua pasangan kekasih lainnya di negeri ini. Tanpa masalah berarti di hidup, tanpa sebuah ‘beban’ menggantung berat di antara mereka. "Aku boleh takut nggak? Aku takut datangnya besok, tapi aku juga nggak mau pesimis." Aku refleks menghela napas atas pertanyaan yang datangnya mendadak itu. Diam untuk beberapa saat, sekaligus juga karena kesulitan menjawab dengan agak setengah mati menahan napas agar suaraku tidak terdengar bergetar. Terlambat aku bicara, karena Kiyomi terlanjur bertanya lagi. "K-kalau misalnya kankerku berhasil diangkat tapi aku cacat—kamu m-masih mau bersamaku, Shin-kun?" … "Mau. Aku sudah janji dari dulu kan tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun? Kamu ingat?" Karena itu menjelaskan kenapa aku masih ada bersama Kiyomi sampai sekarang, kenapa aku masih setia mengikutinya di proses perawatannya yang panjang, atau kenapa aku berjuang untuk jadi kuat demi. Semua itu, untuk Izumi Kiyomi saja aku rela melakukannya. Aku kembali berusaha supaya mataku bisa kering sendiri sebelum sempat terlihat bagaimanapun caranya, sambil mengusap wajah kekasihku yang basah lebih dahulu. Tidak cukup. Aku ingin mendekapnya erat dengan kedua lenganku, mengecupnya lama sambil mengelusi rambutnya, tapi sadar bagaimana ringkihnya tubuh gadis itu sekarang dan betapa satu usapan pelan di kepala Kiyomi cukup untuk merontokkan rambutnya yang tinggal tersisa sangat tipis sekarang itu. Aku menahan diri, meyakinkan masih ada kesempatan lain untuk melakukannya. Mungkin nanti, itu akan jadi kecupan pertama yang diterima Kiyomi setelah kesuksesan operasinya— "Arigatou, Shin-kun." “…mmm.” Gantinya aku hanya mengecup keningnya pelan, menunggunya tertidur tidak lama setelahnya dan meninggalkan ruangan dengan perasaan sesak yang membuatku frustasi karena sendirinya tidak tahu sebabnya. _________________________________________________ Haya selang beberapa jam berikutnya, aku sudah terduduk di kursi tunggu samping lorong, pucat pasi, berusaha bersabar, dengan kedua tangan yang terasa tidak bertulang dan susah payah untuk memangku dagu saja. Ruangan ICU di dalam yang kutunggui dipenuhi alat-alat penopang hidup dengan sejumlah staf kesehatan lebih banyak daripada yang sebelum-sebelumnya pernah hadir juga di sana. Semuanya cuma demi usaha menyelamatkan satu nyawa milik seorang gadis penghuninya. Di dalam sana, tekanan darah Kiyomi semakin rendah, denyut nadinya hampir tidak teraba, suhu tubuh dan segala istilah medis lainnya juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama buruknya dan mengantarkannya ke kondisi kritis. Aku cuma memikirkan apa yang dirasakan Kiyomi sekarang. Bagaimana rasanya ketika tubuhnya dikenai alat kejut berkali-kali. Bagaimana rasa sakit yang sekarang dirasakannya, mungkin tertahan oleh obatnya, mungkin sakit yang tidak bisa ditahannya lagi sampai tidak bisa dirasakannya. Bagaimana rasanya kalau ingat makan siangnya tadi mungkin akan jadi makanan terakhirnya. Bagaimana rasanya membayangkan kalau siang tadi adalah kali terakhirnya melihat keluarganya dan temannya. Dan aku. Aku memilih tidak membayangkan bagaimana rasanya kalau yang tadi benar-benar kali terakhirku melihat senyumnya dan mendengar tawanya. Aku belum sempat membelikan gula kapasnya, membawanya ke kuil, merayakan ulang tahunnya yang berikutnya, mengajaknya berlibur ke pantai, nonton, dan kencan di pusat kota, menjawil pipi tembam dan memainkan rambut tebalnya, memamerkan ijazah kelulusanku, menjadikannya pengantinku, dan memberitahunya, buat dia dengar seberapa besar aku mencintainya Kutangkupkan kedua tangan, memejamkan mata erat. Tuhan… Kalau ada hal yang paling kuinginkan sekarang bukan lagi mukjizat, bukan lagi akhir yang bahagia untuk kita, tapi untuk lebih dahulu hilangkan semua penderitaan ini dari Kiyomi. Cukup jadikan dia bahagia, berikan imbalan untuk hati lapangnya, untuk usahanya selama ini Boleh kah? Muluk kah? Pintu dibuka oleh dokter Naoto. Kaa-chan menjerit. Beliau menangis. _________________________________________________ Aku menunduk di sebelah ranjang Kiyomi, mendekatkan bibir ke telinganya. “…Kiyomi?” Bisikku lembut. Sekali, dua kali. Tak lupa kugenggam tangannya erat. Dia yang paling kuinginkan kesembuhannya, yang kudoakan, yang kuberikan hatiku yang tertulus. Rasanya lebih dari sedih. Hancur. Remuk redam. Rasanya seperti— …seperti kehilangan sesuatu yang sudah diperjuangankan selama bertahun-tahun. Kalah. Kehilangan tujuan. Mati rasa. Putus asa. Kutumpahkan semua air mata yang sudah kutahan selama ini, menyusul genggaman tangan yang tidak tersambut lagi. _________________________________________________ Semalam aku bermimpi tentang Kiyomi lagi. Gadis itu mendekatiku, ujung gaun terusannya manis melambai, dan dia cantik, sangat cantik, melebihi ketika terakhir kali aku melihatnya. Sepasang mata coklatnya berbinar penuh. Pipi putih tembamnya merona merah muda. Rambutnya tebal sepunggung. Gerakannya lincah dan ringan. Hanya senyumannya yang sudah kusukai sejak dulu yang tidak berubah. Melihat Kiyomi sehat tanpa tanda-tanda kesakitannya selama ini, adalah mimpiku yang terindah sejak beberapa waktu terakhir. _________________________________________________ Pagi itu matahari musim panas bersinar hangat. Aku mengenakan setelan terbaikku. Langkahku masuk ke dalam gereja tidak mulus, tapi aku tetap melanjutkannya hingga terhenti. Buket bunga lily putih tergenggam di salah satu tangan tangan, untuk kuserahkan pada gadis yang tercinta— Kuletakkan di antara kedua tangannya yang bertaut di depan dada. Kupandangi bunga itu serasi dengan pemiliknya, dengan mata berkaca-kaca. “Mimpi indah, cantik.” Untuk dia yang telah mengajarkanku ketulusan, kekuatan, dan kerelaan selama bertahun-tahun aku mengenalnya. “…aishiteru.” Kecupan terakhirnya di bibir dingin Izumi Kiyomi.
0 notes
Text
It's Hard To Say Goodbye.
Katanya kematian itu pasti akan dirasakan semua makhluk hidup. Harus dilewati. Entah bagaimana caranya masing-masing manusia merasakan kematiannya. Ada yang tenang dan berakhir wajahnya tersenyum. Ada juga dengan merasakan kesakitan, membuat orang terdekatnya sangat khawatir. Lalu adapun yang tidak merasakan apapun hingga hembusan napas terakhirnya. Semua itu hanya sebagian rasa kematian sebagai manusia. Tinggal takdir yang menentukannya. Aku sendiri... ingin merasakan kematian dengan tenang. Meninggalkan rasa sakit yang sudah tidak bisa kutahan lagi. _______________________________________________________________________
"Dokter! Kiyomi-san kambuh lagi! Dadanya terasa sakit sekali, begitu juga kepalanya!" seru seorang perawat lewat sambungan telepon di kamar rawat inap ini. Aku berteriak kesakitan, dengan kedua tanganku yang memegang kuat kepalaku ini. Napasku berat, mataku perih dan basah, mengeluarkan air mata kesakitan karena kepalaku berdenyut kencang, rasanya mau pecah. Penglihatanku mulai kabur. Buram, tidak bisa melihat terlalu jelas siapa yang ada di sini. Aku cuma mengenali suara yang sudah familiar di pendengaranku, termasuk suara berat kekasihku, yang selalu memberi dukungan dan kesabaran pada rasa sakit yang menjalar beberapa menit yang lalu. "Kiyomi-chan... Bertahanlah, dokter Naoto akan ke sini." _______________________________________________________________________
Sudah lima hari ini aku dirawat, tepat sehari setelah kenaikan tingkat tahun ketiga kuliahku. Nilaiku tidak buruk, perjuangan keras dariku untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan kondisiku yang seperti ini. Aku tidak mau membuat orang tuaku sedih karena penyakitku yang tidak kunjung sembuh ini, akhirnya aku menggunakan otakku yang masih bisa diajak berpikir untuk belajar dan belajar. Ya, itu semua juga untukku. Aku ingin menjadi ahli musik dan ingin membuka kursus kesenian musik jika aku lulus kuliah nanti. Semua cita-citaku nanti, akankah bisa tercapai? Sungguh, kesembuhan total adalah salah satu cita-citaku juga. Aku capek menderita seperti ini. Aku capek bersandiwara dengan memberikan senyuman dibalik kesakitan ini. Aku tidak mau merepotkan lagi ke semua orang terdekatku yang sudah berkorban waktu dan tenaga demiku. Tuhan... Kalau ini tidak ada akhirnya, bisakah kau kabulkan untuk mengakhiri ini dengan segera saja? Akhiri penderitaanku. Aku pasrah yang engkau berikan. Tapi aku akan sangat bersyukur kalau engkau memberikanku kesembuhan. Tapi kalau itu kematian... Apa aku harus bersyukur juga apa yang engkau kehendaki tersebut? _______________________________________________________________________
Napasku mulai tenang. Obat penghilang rasa sakit dan obat utamanya sudah bereaksi di dalam tubuhku. Aku pun bisa berbaring cukup nyaman, dengan salah satu pergelangan tanganku yang kembali dipasang infus setelah kucabut paksa sebelumnya. Kepalaku tertoleh pada wajah ibuku di samping. Raut wajah wanita paruh baya itu masih menampakkan rasa cemas dan takut. Dengan penglihatan mataku yang buram, aku masih bisa membaca raut wajah seseorang dengan jelas. "Kiyomi-chan... Dokter sudah menyarankan kamu untuk operasi lusa. Kamu sudah siap, nak? Untuk kesembuhanmu." Satu alasanku menghindari operasi kanker otak ini adalah karena tidak semua bisa berhasil. Kalaupun berhasil, ada saja efek yang timbul pasca operasi. Bisa jadi salah satu syaraf di otak harus terpaksa mengenai syaraf panca indera. Tapi kalau begitu, masih lebih baik daripada harus merasakan nyeri yang sangat hebat tiap kambuh. Aku menghela napas, memejamkan mata sejenak untuk menghindari air mataku keluar. "K-kalau itu memang yang terbaik untukku, aku siap, Kaa-san." Tidak mau memberatkan hati ibu begitu juga ayahku, aku cuma bisa pasrah menerima keadaan. Ibu seorang dokter spesialis anak, pasti akan tahu juga apa saja risiko yang ditimbulkan dari operasi kanker otak yang sudah mencapai stadium empat, ya, menaik dari awal aku dirawat inap ini. Haha, yang seharusnya mereda dengan efek kemoterapi yang sudah kujalani empat tahun ini, kenapa Tuhan memberiku cobaan lagi? Aku ragu, apa benar Tuhan sayang umatnya ketika diberikan cobaan tiada hentinya? Tuhan, jawab dong. Engkau sayang padaku atau tidak? Benarkah hidupku tidak akan lama lagi kalau tidak sesegera di operasi? Apa aku harus percaya hidup dan matiku pada tangan dokter? _______________________________________________________________________
"Aku sudah kenyang, Shin-kun. C-cukup." Kukatup cepat mulutku agar bubur itu tidak dipaksa lagi untuk kutelan. Pagi ini aku sama sekali tidak ada nafsu untuk makan. Mungkin karena besok adalah hari operasiku. Hari besar dan penantianku selama ini untuk merasakan kesembuhan total yang kudambakan dari dulu. Tapi tetap saja, perasaan was-was bagaimana hasilnya, sedikit membuatku ini menciut. Harus optimis, semangat, pasti Tuhan memberikan yang terbaik. "Jadi tidak sabar. K-kalau aku sembuh nanti, aku mau gula kapas yang banyak ya, Shin-kun. Kamu tahu kan, a-aku sudah dilarang makan begituan setahun yang lalu." Permintaan yang sangat sederhana. Gula kapas di sebuah toko kecil yang berada dekat dengan SMA-ku dulu. Selama sekolah, aku tidak pernah absen untuk ke sana. Lalu semenjak aku kuliah, jadi jarang lagi untuk ke sana dan tepat saat itu juga dokter melarangku memakan makanan yang tidak sehat. "Hahah, iya. Nanti kubelikan bersama dengan mesin pembuatnya." Tahu itu cuma sebuah candaan, aku cuma tertawa kecil. "Benar, ya? Sama si kakek penjualnya sekalian. Nanti siapa yang buat gula kapas seenak itu kalau bukan si kakek itu?" Ya, tidak usah ditanggapi, pemuda itu cuma mencubit pelan pipiku sambil menyodorkan minuman. Aku menerimanya dan tanpa perlu disuruh lagi, aku menelan beberapa butir obat. Selalu ada perasaan lega ketika obat itu sudahku minum, karena tidak ada rasa sakit untuk beberapa jam ke depan nantinya. Aku merebahkan badan lagi. Tangan kananku meraih tangan Shin di dekat sisi tubuhku. Mengeratkan dengan lemah, aku melengkungkan sebuah senyuman tipis. Dengan penampilanku yang sudah botak dan berat badanku yang semakin mengecil saja, Kuroki Shinya masih menepati janjinya untuk selalu menemaniku, sudah selama ini. "Aku boleh takut nggak? Aku takut datangnya besok, tapi aku juga nggak mau pesimis." Bibirku yang pucat menarik napas. Terdiam untuk beberapa detik sebelum Shin menyahut ucapanku. Suaraku mulai terdengar serak karena berusaha menahan tangisanku. "K-kalau misalnya kankerku berhasil diangkat tapi aku cacat--kamu m-masih mau bersamaku, Shin-kun?" Kalau jawabannya tidak, aku rela ditinggal. Mana ada pemuda sekeren Kuroki Shinya, mahasiswa kedokteran Universitas Tokyo masih mau menjalin kasih dengan gadis sepertiku yang masa depannya saja belum jelas. Bisa jadi aku akan buta permanen, mengingat penglihatanku saja sudah buram. Atau lumpuh, cuma bisa terduduk tidak berdaya di sebuah kursi roda. "Mau. Aku sudah janji dari dulu kan tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun? Kamu ingat?" Shinya mengusap pipiku yang mulai basah karena air mata, aku pun cuma menangis tersedu dengan sekali anggukan kepala kalau ingat pada janji tersebut yang pernah terucap di ruangan sama di bulan November tahun 2012 lalu. "Kalau b-begitu, nanti aku mau ke kuil dekat rumahku. Mau mengucapkan rasa syukurku. Antarkan aku ya, Shin-kun." Sebuah permintaan yang lain jika aku sembuh nanti. Ke kuil, aku akan membunyikan lonceng dan menepuk kedua telapak tanganku sambil memanjatkan doa dan rasa syukurku sedalam-dalamnya. Pasti. Beberapa hari ke depan nanti aku pasti akan melakukan yang sedang terbayang kini. "Arigatou, Shin-kun." Aku tersenyum tipis dengan tangisanku yang sudah berhenti, keningku dikecup, mengantarkanku untuk tertidur tenang karena rasa kantuk yang menyerang pengaruh obat tadi. Akupun tidak tahu dengan selanjutnya, pada sinar matahari petang yang tergantikan cahaya bulan di langit malam hari ini. _____________________________________________________________________
Gelap. Apa rumah sakit ini sedang mati listrik? Tapi, tampaknya mustahil kalau rumah sakit dengan peralatan canggih untuk para pasien bisa padam? Aku penasaran, menyusuri lorong gelap gedung wangi khas yang tercampur obat ini. Setengah berlari karena perasaanku sangat ringan, tidak seperti biasanya. Aku pun baru sadar ketika melewati sebuah pintu kaca, kalau rambutku yang panjang itu sudah tumbuh. Cepat sekali. Wajahku juga tidak terlihat pucat. Dan penglihatanku kembali normal. Apa... aku sudah sembuh? Atau ini cuma bagian mimpiku saja? Semoga tidak. Aku berlari lagi di lorong sepi dan gelap gulita ini, hingga berhasil menemukan sebuah cahaya lampu dari sebuah kamar rawat inap. Itu kamarku. Pasti di sana ada Kaa-san, Tou-san, Makoto-nii dan Satoshi-nii. Naoko-san juga. Ada Shin-kun dan Aya-chan! Mereka pasti sedang menunggu kedatanganku. Langkah kedua kakiku semakin tidak sabar, begitu juga dengan senyumanku yang terkembang di wajah meronaku. Hingga terpaksa berhenti di ambang pintu kamar yang terbuka setelah mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi di kamar rawat inapku. Jarum jam di dinding berdetak dalam keadaan sunyi. Seakan sedang saling berbisik membagikan cerita pada sebuah kejadian, kalau baru saja seorang penghuni rumah sakit ini meninggal. Tenang. Meninggalkan rasa sakit yang dideritanya lagi. Sebaliknya, rasa sakit dan sedih bagi orang terdekat yang ditinggalnya. Izumi Kiyomi, aku sendiri, melihat langsung tubuhku yang sudah terbaring kaku di kasur. Tidak percaya, aku mendekati tubuhku itu, melihat selang infus yang sudah terlepas di pergelangan tanganku. Kutatap satu persatu keluargaku. Kaa-san menangis dipelukan Tou-san. Satoshi-nii cuma menunduk sedih mengeluarkan air mata melihatku. Makoto-nii yang sedang menahan air matanya keluar untuk berusaha berbicara dengan dokter Naoto. Aya-chan yang menangis mengguncang tubuhku agar bangun, tetapi ditahan oleh Naoko-san yang menangis pelan. Terakhir, Shin-kun, menggenggam erat tanganku dan menangis di bahuku. "Shin-kun. A-aku di sini. Aku masih ada. J-jangan menangis." Aku memegang pundaknya, tapi nihil. Rasa hangat dari tubuh kekasihku tidak bisa kurasakan lagi kalau aku sendiri sudah tidak ada dan sedang berwujud seperti ini. ...dan aku mulai percaya. Tuhan, apakah ini jalan yang terbaik untuk mengakhiri penderitaanku? Haruskah aku mengucapkan syukur untuk keadaan ini? "Ng-nggak.. Nggak mungkin! Seharusnya besok aku akan operasi! Aku bakal sembuh! Aku nggak mau matiiii!" Tangisanku pecah. Keras. Tidak bisa menerima kenyataan terpahit dalam kehidupanku. Kupinta dokter Naoto untuk menjelaskan semuanya, tapi tidak ditanggapi. Kucoba peluk Kaa-san dan Tou-san secara bersamaan, tapi yang ada aku tidak bisa memeluk mereka. Kucoba tarik tangan kedua tangan kakakku, tapi yang ada mereka tidak merasakan apa-apa. Dengan masih rasa penasaran, kucoba guncang Aya-chan dan Naoko-san, memanggil nama mereka tapi yang kuterima mereka juga tidak merasa kehadiranku saat ini. Terakhir. Kuseret langkah kakiku mendekati Shin-kun, kuhentikan tangisanku sendiri. Aku bertekuk lutut di sampingnya, menatap wajah kekasihku yang masih menangis. Kusentuh lagi bahunya, tidak bisa. Berulang-ulang kali hingga aku berdoa di dalam hati agar pemuda itu sadar kalau aku ada disisinya. Tidak masalah kalau dia tidak melihat, setidaknya merasakan kehadiranku, aku cukup senang. Dan.. Itu terkabul. Pemuda Kuroki menoleh ke arahku. Wajahnya tampak bingung dengan matanya yang masih basah. Yang pasti dia tidak akan bisa melihat apa yang dihadapannya. Dan aku segera membisikkan sesuatu karena tahu waktuku tidak banyak lagi. "Shin-kun, sudah. Jangan menangis lagi. Dengan begini, aku tidak merasakan sakit lagi, loh. Rambut panjangku juga sudah tumbuh seperti dulu. Berat badanku normal. Aku merasa sangat ringan." Aku kembali menitikkan air mata. Tangisan yang tenang dengan tanganku yang mengusap pipi si pemuda yang tidak pernah menyadari kehadiranku ini. "Jaga kesehatanmu, sukses dengan impianmu menjadi dokter, jaga terus tali silahturahmi dengan keluargaku ya." Tatap sebentar pada seorang perawat yang mulai menutupi wajahku dengan selimut putih. "Terima kasih banyak, Shin-kun. Kamu sudah mewarni kehidupanku. Makasih sudah menepati janjimu untuk selalu menemaniku. Aku sangat bahagia bersamamu." "Sampaikan salamku pada orang tuaku dan kedua kakakku. Begitu juga Aya-chan dan Naoko-san." Diam sejenak, perlahan aku mendekati wajahku, memberikan satu kecupan lembut di bibir Shin-kun. "Kiyomi-chan?" Aku terkesiap setelah memberi jarak pada wajahku, tapi dengan waktu yang semakin menipis ini, aku hanya melemparkan senyuman lebar pada Shin-kun yang akhirnya bisa melihatku. "Semoga kita bisa bertemu lagi di suatu tempat, Shin-kun." Karena mengucapkan selamat tinggal sama saja melupakan semua kenanganku bersamanya selama hidupku. Delapan tahun aku mengenal Shinya, delapan tahun itu juga aku mengenal duniaku sebagai gadis yang memiliki kekasih yang hebat seperti Kuroki Shinya. "Shin-kun, daisuki." Dan aku menghilang tepat setelah mengucapkan kalimat terakhir tadi.
_______________________________________________________________________
Izumi Kiyomi. Lahir di Tokyo, bertepatan tahun baru tahun 1995 pukul tujuh pagi. Telah beristirahat tenang di usianya yang ke dua puluh dua pada malam musim panas pukul sebelas malam, tanggal 31 Juli tahun 2017. Meninggalkan banyak kenangan yang terbaik bersama orang-orang terdekatnya di masa hidupnya dulu.
0 notes
Text
This One
“Yang itu bagus. Kamu mau yang itu saja? Sedikit mirip dengan Sugar.” Aku, delapan belas tahun, sedang berada di dalam sebuah toko mainan yang khusus menjual boneka porselen di tengah kota London yang cukup padat untuk hari ini. Ah ya, masih musim panas, masih banyak anak sekolah yang masih menikmati terik matahari sebelum mereka kembali untuk ke sekolah di dalam sebuah bangunan dingin semacam kastil tua, Hogwarts. Aku, baru saja lulus dari Hogwarts, baru saja menikmati suasana liburan tanpa harus memikirkan ujian yang akan dihadapi nanti. Dan aku, baru saja kehilangan sesuatu. Boneka wujud anak perempuan dengan rambut pirang bergelombang sepunggung, bermata biru sewarna dengan mataku, kulit pucat dengan bibir merah yang sedikit menghiasi polesan di wajah bonekaku itu. Namanya Sugar, tidak ada nama belakangnya. Kalau mau ditambahkan, Sugar Bastianich. Tapi tidak wajar juga, ya? Toh itu hanya boneka. Bukan makhluk hidup sepertiku. “Tidak ada yang mirip dengan Sugar, ma? Aku maunya yang sangat mirip dengan Sugar. Yang tadi itu warna rambutnya emas kecoklatan dengan warna mata biru gelap, hampir hitam.” Terdengar hela napas berat dari wanita yang sudah berusia kepala empat itu pada anak semata wayangnya. Dia pasti tahu kalau aku akan bertanya seperti itu. Warna matanya yang mirip denganku ini segera menilik satu persatu boneka yang terpajang di depan mereka. “Kamu bawa lembaran foto Sugar?” Aku sebenarnya tidak mau boneka selain Sugar. Bukannya aku menganaktirikan koleksi bonekaku yang lainnya, tetapi Sugar tetap Sugar. Sugar bisa hidup di setiap malam kalau aku ingin menceritakan sesuatu. Sugar itu sudah seperti buku harianku. Semua rahasia dari keluh kesahku, rasa bahagiaku, rasa amarahku ada di tubuh Sugar. Aku pun mengambil foto yang ditanyakan oleh ibuku tadi, sebelum memberikannya aku memikirkan hatiku sebagai pemilik boneka. Teganya kalau aku membeli boneka baru sebagai pengganti Sugar. “Tidak usah, ma. Aku tidak berniat lagi mencari pengganti Sugar.” _______________________________________________________________________
Awal kejadiannya adalah di saat kepulanganku dari Hogwarts. Aku yang tengah mendorong troli yang berisikan dua tumpukan koperku menuju keluar dari stasiun King’s Cross. Saat itu banyak orang yang berlalu lalang, termasuk murid Hogwarts yang sedikit aku kenal dari wajah mereka dan kopernya. Di tengah perjalanan menuju lahan parkir stasiun, aku dipanggil oleh teman-temanku. Mengajakku untuk berlibur musim panas ke Irlandia di minggu ketiga bulan Juli saat itu. Kami berbicara tidak lama, tapi kami yang tengah mengobrol ini sedang tidak mengawasi keberadaan troli masing-masing. Setelah sepuluh menit berlalu, aku dan kedua temanku menyadari ada yang kurang dari isi troli kita. Anne kehilangan tas tangannya, Marie kehilangan kotak sepatunya. Dan aku sendiri… aku kehilangan Sugar di tempat. Kami bertiga sama sekali tidak membayangkan kalau bisa kehilangan barang di tengah keramaian stasiun. Padahal troli tersebut berada di belakang kami. _______________________________________________________________________ Sudah dua bulan. Awal Agustus tanpa ada Sugar di samping tidur malamku itu rasa-rasanya seperti aku menelan ramuan pahit selama dua bulan. Tidak peduli dengan anggapan para sepupuku yang sama sekali tidak tahu rasanya kehilangan barang yang teramat penting, yang sudah menemaniku sejak usiaku lima tahun. Hadiah dari mendiang kakekku dari ayahku. Karena kakekku juga Sugar bisa hidup. Alasan kakekku memberikan boneka pertama itu karena melihatku yang selalu sendirian di rumah. Tanpa ada keberadaan orang lain terkecuali peri rumah yang mengurusi rumah. Kedua orangtuaku sibuk, mengurusi perkerjaan mereka yang termasuk bisnis keluarga Bastianich. Mempunyai restoran itu tidak mudah. Apalagi kalau restorannya sudah cukup dikenal banyak orang di dua negara. Inggris dan juga Italia, tanah kelahiran ayahku. Dan aku adalah anak perempuan yang dulunya dilarang keras untuk bermain di luar rumah. Sebabnya adalah karena aku anak satu-satunya. Kedua orangtuaku tahu titik kelemahanku. Bukan penyakit, melainkan sifatku yang terkadang susah untuk mengatakan ‘tidak’ kepada orang lain, termasuk orang baru. Ya, pikiran orangtua terlalu kolot dan terlalu paranoid dengan lingkungan di luar rumah yang bisa membahayakan anak mereka nanti. Karena itu, aku lebih dekat dengan Sugar, piano dan macam makanan manis yang selalu menemaniku di dalam kamar semasa itu. Sudah dibilang dari awal, Sugar adalah buku harianku. Kalau orang awam yang tidak dekat denganku pasti akan menertawakan tingkahku yang setiap kali berbicara dengan suara perutku. Ya. Aku juga seorang Puppet Mistress, Ventriloquist untuk Sugar dan beberapa koleksi bonekaku. _______________________________________________________________________
“Sugar ke mana ya? Lama tidak lihat dia.” Boneka porselen bertampang ramah dengan pakaian seperti pelayan rumah dengan kemeja rapi dan rompi hitam yang mengkilat bersuara seperti anak laki-laki. Aku baru saja mengeluarkan suara perut untuk si boneka porselen pertama. “Iya.. Sugar mana ya? Aku kangen.” Dilanjutkan dengan boneka porselen perempuan yang memakai jubah lengkap dengan tudungnya, layaknya penyihir, berwajah ramah. Suaranya tidak beda jauh dengan Sugar, yang ini agak lembut dan rendah. “Semoga dia baik-baik saja, Ronda. Mungkin saja dia lagi pergi berliburan. Atau….” Dengan pakaian detektif dan sebuah kaca pembesar ada di tangan boneka yang ketiga. Suara anak lelaki juga, sedikit bernada sok tahu. “…atau apa, Jake?” “Hilang. Bisa jadi, kan? Soalnya kata nona Candy saja dia tidak tahu keberadaannya.” “Jangan bercanda ah, Jake.” “Tapi aku mencium dugaan seperti itu, Ronda. Bagaimana kalau kita memecahkan kasus kehilangan Sugar ini, kawan?” “Maksudmu bagaimana, Jake? Kita menjadi detektif?” “Benar sekali, Hans! Seperti aku. Kamu mau ikut? Ronda?” “Boleh, deh! Sepertinya bakal—.” —seru. Diriku yang sedang berada di dalam kamar berlatih untuk pentas nanti jam makan siang di restoran keluargaku, aku menghentikan tiba-tiba dialog tiga bonekaku ini. Setelah dipikir-pikir lebih matang, aku merasa kalau dialog cerita barusan sangat tidak pantas untuk kutampilkan. Seharusnya bukan isi hati sang Puppet Mistress seperti aku yang diceritakan, melainkan isi cerita yang lebih ceria dengan ending yang bahagia. Sugar belum ada, belum bisa diperagakan sebagai korban hilang yang ditemukan. Kalau Sugar belum ada, jalan cerita ini bakal sad ending dengan berakhir Sugar tidak ada, tidak bisa ditemukan dengan cara apapun. Dalam seminggu ini aku susah sekali untuk memikirkan ide cerita yang layak untuk ditampilkan. Ayahku sudah memberikanku absen tiga kali agar tidak tampil dulu. Aku tidak mau membuat ayahku kecewa kalau hari ini aku tidak tampil lagi. Aku juga tidak mau mengecewakan penontonku terutama bocah-bocah dengan orangtua mereka yang selalu menyediakan waktu untuk makan siang di restoran keluargaku. Hela napas berat, mataku kembali menatap ketiga bonekaku secara bergilir, tanganku menepuk kepala mereka dengan berat hati. Dibalas dengan senyuman miris dari mereka. Ya, itu hanya ilusi saja, aku sebagai majikan mereka seperti mempunyai sebuah hubungan komunikasi yang tidak tampak seperti tadi. Hanya aku yang bisa melihat mereka sedang bahagia atau tidak. Dan hanya aku yang satu-satunya pemilik Sugar. _______________________________________________________________________ Aku sama sekali tidak ada ide untuk hari ini. Melihat ke arah jam tanganku, waktu tinggal lima belas menit. Biasanya aku mulai pentas saat jam dua belas siang, tepat jam makan siang yang sibuk. Perasaanku belum tenang, tentu saja karena ide cerita yang kemarin kuperagakan di kamarku itu tidak selesai. Aku sama sekali tidak berani untuk berbicara pada ayahku. Satu-satunya orang yang masih bisa mengerti keadaanku sedang tidak ada di London. Ibuku sedang berada di Irlandia, membantu keperluan pernikahan sepupuku yang akan berlangsung minggu depan. Dengan langkah yang tidak optimis, aku masuk ke dalam dapur restoran, mendapatkan ayahku yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa botol anggur dari lemari kayu penyimpanan. Beberapa juru masak menyapaku, aku hanya tersenyum tipis kepada mereka, hingga akhirnya tubuhku sudah mendekat pada jarak ayahku yang berada di lemari penyimpanan. “Papa…” Ayahku menghentikan kegiatannya sejenak, wajahnya yang keras itu menatapku. Dengan melihat saja, hatiku sedikit menciut. “Kenapa Candy? Kau belum siap di panggungmu?” “Belum. Eng, maksudku…” menahan napas sambil memikirkan kalimat yang pantas dan bisa diterima oleh ayahku, aku membantu beliau untuk meletakkan botol-botol anggur itu ke atas meja. Ayahku bukan tipe yang banyak bicara, dia pun cuma menungguku untuk melanjutkan ucapanku. “…eng, aku memang belum siap. Siap untuk ceritanya…” “Mau izin absen lagi? Kau sudah tiga kali tidak tampil.” Kedua tangan ayahku memegang pundakku, aku menatap mata hijau terang di wajahnya. Warna zaitun yang tegas dan keras. Namun ada sisi ramah yang tersembunyi di balik mata tersebut. “Kemarin Agatha, bocah perempuan langganan restoran kita dan pentasmu menanyakan keberadaanmu. Dia kangen denganmu, kangen dengan suara perutmu dan wajah ceriamu saat sedang bercerita. Dia menitipkan salamnya untukmu.” Aku terdiam lama, menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar cerita dari ayahku kalau ada yang kangen dengan aksi pentasku dengan boneka-boneka porselenku. “Tapi dia pasti akan kecewa kalau Sugar tidak ada di pentasku, pa. Penonton yang lain juga pasti akan merasakan yang sama kalau ada yang kurang dari acaraku nanti.” “Kau masih bisa menceritakan yang kemarin kau peragakan di kamarmu, kan? Kamu bisa membuat cerita itu bersambung. Dilanjutkan saat hari acaramu selanjutnya.” Ah, ternyata kemarin malam ayah mendengar. “Kalau tidak dicoba, kau tidak akan mulai-mulai, Candy.” “T-tapi aku mau Sugar…” Suaraku mulai tercekat, pandangku kabur karena butir air mata bening mulai menumpuk di kedua bola mataku. Tinggal menunggu beberapa detik saja air mataku akan tumpah dan membasahi kedua pipiku yang sudah memerah karena emosiku yang sedang keluar. Aku tidak malu menumpahkan emosiku di dapur ini, aku tahu kalau juru masak di sini ada yang menatap ke arahku. Ayahku sama-sama diam, dia tidak biasa menghadapi anak semata wayangnya ini jika menangis. Biasanya ibuku yang sering menenangkan diriku. Karena tidak ada jalan pilihan yang lain, pria dewasa itu pun akhirnya memilih menghapus air mataku dan memelukku. Dengan kesadaran yang ada, aku kembali menumpahkan tangisanku, lebih kencang. Tidak peduli dengan beberapa pertanyaan yang terlontar pada ayahku dari bawahannya. Aku benci diriku yang terlalu sensitif. Aku benci menjadi anak perempuan yang mudah untuk mengeluarkan air mata.
_______________________________________________________________________
Aku sadar kalau aku telah mengecewakan banyak orang. Termasuk ayahku dan pelanggan restoran keluargaku. Termasuk Agatha, Dough dan beberapa anak kecil yang telah mengikuti acaraku cukup lama. Acaraku tadi berjalan sangat tidak lancar. Keheningan lama sukses terjadi saat aku kembali menangis di tengah-tengah saat aku bercerita, kali ini di depan pelanggan restoran, tentu saja. Aku tidak bisa menahannya dan akhirnya aku membukakan diri untuk menceritakan kenapa aku tidak pentas selama tiga kali itu dan kehilangan Sugar yang membuatku sedikit frustasi memikirkan keadaan bonekaku setiap harinya. Wajar kalau aku memikirkan seperti itu, aku cukup ketakutan kalau sang pemilik setelahku ini tidak merawat Sugar dengan baik. Aku juga ketakutan kalau ada cacat tubuh dari bonekaku itu. Dan aku… —GEDEBUK! Aku mengaduh kesakitan. Tubuh mungilku langsung terduduk di pinggir jalan yang bersebelahan dengan restoran keluargaku. Aku sempat mengeluarkan decakan sambil mengelus sikutku yang sempat menahan tubuhku. Seorang pemuda berambut pirang terang baru saja menabrakku. Mata kami saling menangkap wajah masing-masing. Aku yang cuek hanya berusaha untuk berdiri kembali, tidak ada ucapan permintaan maaf dariku karena bukan aku yang salah. Tapi nyatanya.. pandangangku terhenti pada sebuah benda yang dipegang oleh pemuda yang mengenakan baju pasien sebuah rumah sakit di kota London ini. Berbentuk manusia. Benda mati. Mempunyai wajah lengkap dan masih terawat. Rambut pirang bergelombang itu masih rapi. Tanpa ada satu cacat pun yang berada di kulit dingin boneka porselen itu. “Sugar….?”
0 notes
Text
Fiksi
Aku pertama kali berkenalan denganmu waktu usiaku masih sebelas tahun. Aku, Sidney Iona Quince, yang ketika itu masih bocah laki-laki ingusan, ingat bagaimana sinar matahari musim panas mengenai kulitku hari itu. Juga waktu sinar matahari yang sama mengenai kepalamu dari jendela kedai. Rupanya rambutmu sewarna kenari, kukira kopi. Waktu itu kamu memangku sebuah boneka porselen, membuatnya pura-pura bicara dengan suara perutmu. Kalau seandainya nona pemiliknya (yaitu kamu) dijadikan versi boneka, bentuknya akan sangat serupa dengan mainan itu. Karena kalian tidak jauh berbeda, aku memutuskan untuk lebih tertarik pada boneka itu saja. Awalnya begitu. Dia lebih baik dan manis daripada majikannya. Ketika si anak perempuan tidak mau memandangku, cuma dia yang melakukannya. Ketika si anak perempuan tidak mau bicara padaku, dia mau bicara padaku sebagai perantaramu. Ketika kamu malu-malu padaku, dia yang menggantikanmu untuk menciumku. Kamu bilangnya sih cuma untuk membekapku supaya tidak berisik, tapi aku tidak mau percaya, hahah. Nama boneka itu Sugar, dan dia yang untuk pertama kalinya memperkenalkanku pada kamu: Candy Bastianich. Waktu itu mungkin aku suka pada Sugar. Aku suka ketika suara khas anak-anaknya menanggapiku, aku suka bicara sambil menatap matanya yang tidak berkedip, aku suka kulitnya yang sedingin porselen—karena dia memang terbuat dari porselen. Tapi itu sebelum mata kita saling bertemu pandang. _______________________________________________________________________ "…kesadaran anak anda sudah kembali." "Puji Tuhan!" "Tapi seperti yang saya katakan dulu, ia kemungkinan tidak dapat sembuh secara total. Saya mengkhawatirkan akan adanya gangguan pada otaknya, hingga berpengaruh ke kondisi psikologisnya." _______________________________________________________________________ Butuh waktu supaya aku menyadari bahwa matamu persis milik Sugar. Bulat, besar, warnanya biru berkilau. Mungkin tidak berkilau sungguhan, cuma karena aku kebetulan membandingkannya dengan milik si boneka yang tidak asli. Yang ini bisa melihatku balik, bisa memalingkan diri, bisa berkedip, bisa mengeluarkan air mata. Mereka hidup. Aku bisa merasakan kalau mereka sungguhan hidup karena aku merasa seperti ditarik ke dalamnya setiap melihatmu lama-lama. Padahal mentang-mentang berwarna sama, bukan berarti dia juga laut benaran. Aku juga jadi tahu kalau rambutmu berbeda dengan milik Sugar. Rambut Sugar pirang pucat (aku jadi makin sering membandingkannya dengan warna rambutku), berombak sepanjang punggung, dan kasar seperti ijuk. Rambutmu seperti yang sudah pernah kudeskripsikan sebelumnya; warnanya lebih menyala dan sehat. Ia lurus hingga panjangnya mencapai pinggang, juga halus. Saat itu kamu mungkin belum menduga kalau beberapa tahun setelah itu hobiku akan berubah menjadi ‘memainkan rambutmu, menyelipkan sela-sela jariku di rambutmu, dan menciumi rambutmu’. Freak sekali ya, hahah! Aku juga suka wangi tubuhmu; aku sempat bertanya-tanya apakah kamu diberi nama Candy karena kamu beraroma manis, atau kamu beraroma manis karena kamu diberi nama Candy. Aku suka setiap kali pipimu merona merah karena emosi. Aku suka gestur malu-malumu. Tidak seperti Sugar, kamu nyata. Aku selalu bisa merasakan napas kehidupan itu. Mungkin kamu akan bosan karena aku mengulang kata ‘hidup’ terus, tapi itu sebetulnya karena aku memang bersyukur atas kehidupanmu. Aku akan bersyukur kalau kau hidup. _______________________________________________________________________ "Tujuh tahun? Dia sempat koma selama itu? "Iya." "Memang apa kejadiannya?" "Waktu itu dia baru genap berumur sebelas tahun, lalu beberapa saat setelah ia menerima surat penerimaan dari sekolah ia pergi keluar bersama suamiku—ayahnya. Kemudian—" "—?" "—ada ledakan. Semacam itu. Kecelakaan masal di kota. Ayahnya meninggal di tempat. Dia sendiri sempat sangat shock, sebelum akhirnya ikut tidak sadarkan diri—" "—dan sejak tidak pernah sadar lagi sampai sekarang?" _______________________________________________________________________ Butuh beberapa tahun sampai aku benar-benar melihatmu sebagai Candy Bastianich dan bukan sekadar sebagai “nona pemilik Sugar yang begitu sombong hingga selalu menggunakan suara perutnya untuk bicara dan menggunakan bonekanya sebagai perantara komunikasi karena dia tidak mau berhubungan langsung, seperti yang dilakukannya ketika pertama kali bertemu”. Aku sangat ingat ketika aku pertama kali menyentuh wajahmu, waktu usiaku lima belas tahun, menghapus air matamu yang keluar gara-gara kesalahanku waktu itu. Sejak saat itu aku menyesalinya dan berjanji tidak akan mengulanginya. “Aku tidak akan mengecewakanmu lagi dan aku yang akan membuatmu senang mulai saat ini”, begitu. Aku juga ingat ketika pertama kali memelukmu, beberapa bulan setelahnya, waktu itu kita baru saling berbincang lagi setelah beberapa bulan sebelumnya saling sunyi. Sejak saat itu aku bertekad akan jadi orang yang bisa kamu sukai dan percaya. Aku ingat sekali ketika aku pertama kali menyatakan perasaan padamu. Taman ria, genap lima tahun setelah kita berkenalan, kamu ingat? Waktu kamu membalas dan bilang bahwa kamu juga sayang padaku, rasanya aku gemetaran sampai rasanya hampir mati, berdebar sampai hampir mati, bahagia sampai nyaris mati—ya hiperbolisnya kurang lebih begitu. Aku ingat tentang kencan pertama kita. Aku ingat tentang tentang ciuman pertama kita setahun setelahnya. Aku ingat ketika pertama kali mendengar suara asli milikmu, yang menurutku paling bening dari semua suara orang yang pernah kudengar. Aku akan selalu ingat tentang anak perempuan yang menemaniku bicara hampir setiap malam sebelum tidur di ruang rekreasi, tentang gadis yang menepuk dan menghiburku setiap selesai kegagalanku sebagai kapten di pertandingan, tentang seseorang yang mendoakanku setiap berulang tahun. Aku akan selalu ingat bahwa orang yang menemaniku setiap saat-saat itu selalu orang yang sama. Aku akan selamanya ingat tentang seorang Candy Alecia Bastianich. Aku tidak akan lupa tentang semua itu. Karena satu-satunya kekasihku seumur hidup hanya dia. Hanya kamu. Hanya Candy Bastianich. Karena aku— _______________________________________________________________________ "Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" "Aku tidak tahu apakah yang seperti ini lebih baik atau tidak." "Kenapa—" "Ia kehilangan kemampuan berpikirnya. Kemarin aku sudah mendatangkan psikiater untuk Sidney. Ia bilang anakku menderita ketidakstabilan mental akibat kecelakaan dulu." "…" "Dia akan sering berhalusinasi dan bermimpi di siang hari. Dia punya teman khayalan di usianya yang delapan belas tahun ini. Kamu lihat dia sekarang, Jean?" "Kenapa dengan boneka porselen pirang yang dipegang Sid itu?" "Matanya kosong, tapi dia kelihatan seperti sedang bicara sendiri pada boneka itu." _______________________________________________________________________ —mencintaimu. Candy, pernah tidak sesekali kamu berpikir bagaimana kalau seandainya kamu tidak nyata? _______________________________________________________________________ Aku memperhatikan gambaran yang muncul di cermin dinding, di suatu tempat yang disebut orang sebagai ‘kamar inap rumah sakit’ ini. Ada seorang pemuda, memperlihatkan wajah polos tanpa kacamatanya. Warna kulitnya super pias, rautnya kuyu, rambutnya yang sewarna jerami menuruni dahi tidak terurus. Sekilas melihat, tidak akan ada yang menyangka bahwa usianya baru delapan belas tahun menurut sertifikat kelahirannya. Mungkin aku tidak tahu bahwa mungkin saja aku sudah hidup lebih lama dari itu. …umm, atau aku cuma kebetulan baru tahu bahwa aku sudah tumbuh melebihi apa yang aku duga. Aku menatap matanya, dan matanya menatapku balik. Sepasang mata almond terbelalak. Irisnya sewarna madu, semestinya indah… Kalau saja keseluruhan wajahnya tidak menunjukkan kesan menyedihkan yang membuatnya pantas untuk dikasihani. Candy, kalau kamu ada di sini kamu juga akan kasihan padaku, tidak? Paling tidak ada bagusnya juga karena kamu tidak betulan ada. Kamu tidak perlu melihatku dalam keadaan seperti ini. Kamu tidak perlu disalahkan karena membuatku menjadi seperti ini. Tidak ada yang bisa disalahkan, memang. Semuanya terjadi karena kecelakaan, dan kamu hanya kebetulan berada dalam mimpiku, membuat keadaanku jadi terasa semakin serba salah. Aku tidak pernah mengenalmu. Kamu tidak dengar ya, apa yang ibuku bicarakan tadi? Kamu tidak ada. …maksudku kamu ada, kamu hidup, tapi hanya di dalam imajinasi otakku yang gila. Aku terdiam di tempat, tidak melakukan adegan terdramatisasi seperti meninju cermin atau menyiletkannya ke pergelangan tanganku. Memikirkan kemungkinan bahwa kamu tidak pernah sungguhan bernapas di dunia ini sudah paling sakit melebihi apapun. Aku kembali mencoba meyakinkan diriku, tapi memang sulit untuk memberi tahu seseorang bahwa yang selama ini diyakini sebagai nyata sebetulnya cuma mimpi. Aku memutuskan menyerah. Menyerah untuk menanyakan diriku sendiri untuk lebih mempercayai yang mana: ilusi atau kenyataan. Atau mimpi. Atau tidak nyata. …dan pada akhirnya sama saja semua pilihan seolah memojokkanku. Aku yang harus terima kenyataan bahwa perasaanku selama ini yang salah. Aku memandang lagi bayangan orang yang ada di cermin, mencari determinasi yang mungkin masih tersisa di matanya. Tidak ada. Dia—aku—lebih mirip orang mati daripada orang yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Lagipula ‘hidupku’ selama ini juga cuma kebohongan, jadi hidup juga tidak ada artinya, kan? Rupanya Sidney Quince yang ceria, penuh energi, dan sehat selama delapan belas tahun terakhir itu tidak pernah ada. Rupanya Sidney Quince dengan Candy Bastianich-nya itu juga tidak pernah ada. Sedikit bagian di isi dadaku masih terasa bergelora, entah untuk alasan yang mana. Tidak perlu ada yang tahu, diam saja. Di mana-mana orang mau kabur itu diam, bukannya berkoar-koar. Aku bergegas pergi meninggalkan tempatku. Aku ingin membuktikan pada ibuku bahwa aku sebenarnya normal, tidak gila, dan ibuku tidak pernah bercerita yang seperti itu. Aku akan mencari ayahku dan menemui beliau yang masih dalam keadaan hidup. Aku akan bergegas ke sebuah restoran keluarga Italia daerah pusat kota London, mencari seorang gadis yang saat ini mungkin sedang berpentas dengan boneka kesayangannya. . . . Tapi aku tahu itu cuma alasan yang dibuat-buat olehku saja. Aku tidak sungguhan akan melakukannya, kan? Aku, Sidney Quince, sudah mati. Oke, akan. Berbalik ke tempat tidurku, merampas boneka berbentuk anak perempuan yang ada di sana. Boleh saja sebelumnya benda ini milik salah satu pengunjung pasien yang tertinggal, tapi sekarang dia milikku. Dia Sugar, dia hartaku, dia tidak boleh ada jika tanpa aku, pemiliknya yang posesif. Untuk bisa mengambilnya aku bahkan lebih memilih untuk berlari keluar telanjang kaki, karena aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum ada yang melihat, sehingga tidak sempat mencari alas kaki. Baru beberapa menit staminaku sudah turun ke titik terendah, aku sudah terengah-engah, sampai rasanya sulit untuk percaya bahwa aku adalah anggota tim Quidditch asrama di ‘kehidupanku yang sebelumnya’. Tapi aku kembali membuatku berpikir untuk menganggap kamarku yang di belakang sebagai masa lalu yang ingin kutinggalkan jauh-jauh, dan para petugas rumah sakit sebagai mimpi buruk yang mencoba mengejarku lagi, dan barulah setelah itu aku mendapat sumber kekuatanku sekali lagi. Aku tidak mau berbalik, tidak mau ingat, tidak mau kenal. Tapi semakin aku mencoba melupakannya, bayangan-bayangan itu terkenang semakin jelas di benakku, membuat dadaku semakin sesak. Juga mataku. Sesak dengan air. "AAAAAAAAAAKH!" Menghirup udara di luar bangunan rumah sakit membuatku seketika lebih mudah bernapas. Aku menepi, tetap memeluk Sugar di satu tangan, menyeka kasar mataku dengan punggung tangan sambil tidak mempedulikan tatapan orang-orang lain yang memandangku aneh sekarang. Persetan. Persetan semuanya. Aku cuma ingin pergi jauh-jauh. Setelah menangis dulu, sebelumnya. Kupikir karena aku sudah gila, aku tidak akan merasakan apa-apa lagi sekarang. Setelah kupikirkan sekarang, aku sadar bahwa sebenarnya aku masih sangat waras. Karena seluruh tubuhku terasa sakit lagi seketika setelah aku menyadari jalan yang sedang kulewati sekarang. Belok ke arah sudut gang di sebelah kiri, adalah tempat ketika Candy Bastianich pernah menangis di hadapanku dan aku menghapus air mata yang jatuh di wajahmu. Iya, aku ingat. Itu di…. Mimpiku. Fragmen ke sekian-puluh. Ahah. Tapi tanganku kembali berkeringat dingin. Aku waras, aku normal, aku seharusnya tahu saat-saat seperti itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Aku cuma kaget karena sesaat tadi tanganku seperti ingat rabaan halus di kulit pipimu waktu itu. . . . Ah, sudahlah. Tanpa itu juga aku tetap ingat kamu. Walaupun kamu tidak kenal aku dan aku mengenalmu sebagai fiksi, aku juga tetap ingat. Walaupun kamu tidak nyata, kamu akan tetap kuingat sebagai nyata. Aku akan selalu ingat wangi rambutmu, lembut suaramu, rasa masakanmu, semua tentang kamu. Kamu. Iya, kamu. Mimpi terindahku. Terima kasih. Pergilah. Selamat ting— —GEDEBUK! _______________________________________________________________________ Hening lama. Aku melihat balik ke arah orang yang menabrakku—tepatnya aku yang melamun terlalu lama, lalu tidak sadar malah menabraknya—hingga kami sama-sama jatuh terjerembab. Fokusku terlanjur dicuri hingga aku lupa keinginan untuk mengerang sakit. Seorang gadis seumuranku, rambutnya sepinggang sewarna kenari. Matanya yang bulat itu menatapku, lalu seolah berkilau, seperti kelereng berwarna biru laut.
0 notes