caesarakbar
caesarakbar
Coretan Acak-Ku
199 posts
Merekam hal-hal yang terkadang terlintas dalam pikiran ketika merenung, sekelebat terilhami, atau memang sedang ingin berbagi || media lainnya dapat dilihat di instagram: caesarrakbar || kontak: [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
caesarakbar · 1 month ago
Text
Agar Periode Itu Kekal
Cinta, kadang tinggal
dalam playlist yang tidak pernah kita hapus:
pada suara lembut Chet Baker,
yang bergumam, "it's always you..."
atau
pada folder-folder musik bajakan di harddisk
yang tetap kita simpan
meski sudah ada Spotify,
dengan nama folder yang tidak pernah berubah.
-------------
Agar periode itu kekal.
Jakarta, 2025
2 notes · View notes
caesarakbar · 2 months ago
Text
Rilisan Lama
Dan selera berhenti pada rilisan
zaman sekolah menengah
Bukannya lengah
Hanya jengah menghadapi tren yang cepat berubah
Juga lelah pada dunia yang semakin tak terarah
Palmerah, 2025
1 note · View note
caesarakbar · 7 months ago
Text
Soto
Pada semangkuk soto di dekat Asia Afrika
aku berbagi cerita
Tentang kertas dalam buku sketsa ku
yang kosong karena tak ada kisah untuk dilukis
Tentang kamera
yang terlalu lama ku gantung
karena tak ada lukisan untuk kutangkap
Tentang larik yang tak pernah usai
karena ceritanya hilang
Pada semangkuk soto aku mengenang kisah
yang pernah ada
di pojok Asia Afrika
***
3 notes · View notes
caesarakbar · 8 months ago
Text
Romcom
Kalau dipikir-pikir, saya ini dulu adalah pencinta film romantic comedy. Kalau diminta menyebut lima film paling saya suka. Hampir pasti sebagian besar romcom. Itu sebelum saya menikah.
Belakangan, setiap saya lihat genre romcom, rasanya kok malah malas nontonnya. Tapi kalau sudah ditonton, saya hampir pasti suka. Mungkin, itu karena romcom selalu mengingatkan saya pada kenangan di era tertentu.
Mungkin begitu lah manusia, berpindah dari satu fase ke fase lain. Dari satu era ke era lain. Begitu pula saya. Romcom menjadi salah satu totem, pengingat di masa-masa itu. Masa remaja hingga akhir masa kuliah. Ketika hidup penuh romantika dan komedi.
Nyatanya hidup kita ini adalah romantika dan komedi terbaik.
0 notes
caesarakbar · 8 months ago
Text
Asap
Pria itu berpayung asap Menembus badai dengan sepedanya “Aku tak bisa berpikir tanpa asap” Pikirnya sambil terus melaju
Jakarta, November 2024
4 notes · View notes
caesarakbar · 8 months ago
Text
Mungkin Saja
Mungkin saja kita adalah elegi
yang dibuat seorang penyair
untuk hidupnya yang melankoli
Kisah kita
mengapung seperti asap
yang dihambur perokok
lalu menyebar mencemari
hidup yang getir
Jakarta, 2024
4 notes · View notes
caesarakbar · 8 months ago
Text
Untuk Bapak
Tahun ini genap tiga tahun Bapak pergi. Kadang-kadang saya rindu berbincang dengan Bapak. Anggap saja ini adalah surat untuk Bapak. November ini, musim hujan mulai tiba. Di Bandung, hampir setiap siang sampai malam hujan mengguyur. Bahkan pada Ahad kemarin, hujan sampai deras-derasnya. Bahkan petir menggelegar.
Di Jakarta, hujan juga sudah mulai rutin, meski kadang hanya rintik-rintik. Saya tiba-tiba teringat rumah Bapak yang baru: makam Bapak di kampung. Saya khawatir banjir menyapu pemakaman itu jika hujan deras tiba. Tapi sudah lewat enam bulan saya tak juga sempat mengunjungi Bapak. Kadang, akhir pekan saya hanya ingin diisi dengan istirahat. Saya terlalu egois memang. Padahal di satu sisi, saya juga rindu berkunjung ke makam Bapak.
Meski begitu, percayalah, Pak, Bapak selalu ada di hati saya. Ajaran Bapak: hidup sederhana dan menjadi orang baik, tidak pernah saya lupa. Itu sudah jadi kredo kehidupan saya. Saya tahu, saya tak pernah bisa menjadi anak yang sempurna buat Bapak. Tak banyak permintaan Bapak yang bisa saya penuhi. Tapi saya selalu ingin Bapak bangga bahwa saya selalu mengikuti nasihat Bapak.
Bapak tahu, mendengar musik jazz jadi tak sama lagi setelah Bapak pergi. Apalagi jika saya memutarnya sambil menyetir di Bandung. Rasanya saya ingin sekali mengulang peristiwa rutin kita dulu, Pak. Berkendara sambil berbincang, di belakangnya latar musik-musik bagus kesukaan Bapak. Khususnya musik-musik jazz dan pop lawas.
Saya tak tahu kalau Bapak masih hidup bagaimana komentar dia pada situasi saat ini. Presiden yang dia dukung di dua pemilu, terpilih. Kalau Bapak masih ada, kira-kira pilihannya berubah enggak ya. Karena pilihan saya berubah. Belum lagi kalau berbincang Pilkada yang tak kalah lucunya.
Bapak, tiga tahun sudah Bapak pergi, saya tahu hidup harus terus berjalan. Saya pasti bakal segera menengok Bapak lagi. Alfatihah.
0 notes
caesarakbar · 8 months ago
Text
Merdeka Itu?
Merdeka itu bebas menulis tanpa takut dikomentari
Merdeka itu bangun tak terlalu pagi, lalu sruput kopi sambil putar musik dari piringan hitam
Merdeka itu gonta-ganti moda transportasi setiap hari sesuai kehendak
Merdeka itu tak pusing pilih baju setiap hari Merdeka itu ....
hanya dicapai dengan cara yang tidak merdeka.
Utan Kayu, November 2024
6 notes · View notes
caesarakbar · 2 years ago
Text
Pagi tadi, saya melihat ratusan orang berhimpun mendoakan hal yang sama: kemerdekaan Palestina. Jauh-jauh mereka berkumpul di depan Kedutaan Besar Amerika untuk menuntut itu. Mereka menyuarakan boikot. Sementara berita-berita sehari sebelumnya ramai calon presiden menyatakan: aku suka Burger King.
Tak ada yang salah dari pernyataan itu kecuali ketidak-pekaan manusia ini kepada kondisi manusia lain di belahan dunia lain. Orang ini kemungkinan besar akan jadi pemimpin baru kami, yang tentu saya tidak suka. Tapi dunia tak selalu berjalan seperti yang kita suka kan?
Saya selalu percaya bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, semua individu. Kecuali kemerdekaan itu dilepas atas kehendaknya sendiri, atau nilai-nilainya. Tapi berilah setiap manusia kesempatan, pilihan. Di Gaza, Palestina, tak ada pilihan: mati atau tinggalkan wilayah. Maka tak akan ada lagi Gaza kalau begitu. Bahkan tak akan ada lagi Palestina jika semua ini tak dihentikan.
Sejarah memang menunjukkan peperangan mengikuti peristiwa wabah. Seperti awal 1900. Tak saya sangka peristiwa itu berulang. Setidaknya di beberapa belahan dunia. Sementara sebagian orang Indonesia masih sibuk berperang dengan orang-orang sekitarnya, membela calon pemimpin yang didukungnya. Demikian lah dinamika dunia. Denyut dunia.
Saya, pun tak lepas dengan peperangan saya sendiri. Peperangan dengan ego. Peperangan soal idealisme. Tapi tak semua harus berujung perang, bukan? We deserve peace, at least in ourself.
Jakarta, 13 Januari 2024
1 note · View note
caesarakbar · 4 years ago
Text
Gulana
Kami berada di tepi jurang
di dalam hutan rimbun
Bekal menipis
Resah menggumpal di dada
Satu per satu membuka suara
Tentang kapan akan menyerah
Kami terjebak
Keluar pun untuk apa?
Dunia ini kompleks
Setiap tempat nyatanya hanya menyajikan
satu hal yang pasti:
tantangan
Dan aku membatin:
Apakah itu tujuan hidup manusia---
Menyelesaikan tantangan
demi tantangan?
Utan Kayu, Januari 2021
0 notes
caesarakbar · 5 years ago
Text
The Train Will Not Stop
Pekan depan peringatan 40 hari kematian Bapak. Keluarga kami mempercayai sebelum hari itu, jiwa Bapak masih ada di dunia, meski jasadnya sudah masuk liang lahat. Kematian belakangan menjadi begitu nyata buat saya. Memang sudah banyak sanak keluarga yang meninggal sebelum Bapak, mulai dari Kakek, Nenek, Uwak, Mbah. Namun, baru kematian Bapak yang membuat saya sesak.
Sepekan, dua pekan, hingga sebulan kematian Bapak, saya merasa dia masih hidup. Selama ini, kami memang tidak tinggal satu rumah, sebab Bapak dan Ibu sudah lama berpisah. Ketiadaan Bapak di rumah menjadi sesuatu yang biasa saja. Tapi, di luar rumah, Bapak buat saya sudah seperti kawan nongkrong, teman diskusi, dan orang yang paling bisa diandalkan--selain Ibu--kalau saya ada masalah.
Bapak terkadang memang kawan ngobrol yang asik, walau belakangan juga menjemukan dan kadang menjengkelkan. Kami punya banyak kesamaan selera, khususnya dalam hal musik dan gaya hidup. Dalam hal politik, kadang kami satu suara, kadang pula tidak. Tapi, kami sepakat pemimpin saat ini kurang keren.
Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu selalu menempatkan diri menjadi kawan untuk saya dan Adik. Meski tak jarang pula mereka menempatkan diri sebagai orang tua yang memanifestasikan keinginannya pada anak-anaknya. Tapi saya akui mereka bisa menjadi sangat demokratis. Salah satu kehendak Bapak yang akhirnya saya turuti adalah berkuliah di jurusan teknik. Itu saya selalu klaim sebagai kehendak Bapak, bukan saya. Namun, untuk profesi selepas lulus, saya tidak mau menurut dengan Bapak, saya pilih menjadi jurnalis. Bapak sempat menentangnya.
Di samping soal pendidikan, Bapak cukup sering menemani saya di luar rumah dan sekolah. Misalnya saat saya menggeluti Pramuka, dia adalah salah satu yang paling mendukung. Begitu pula saat saya sering nonton Persib di stadion, dia juga sering ikut nonton. Padahal, saya tahu Bapak sebelumnya jarang sekali nonton bola. Ibu juga akhirnya begitu. Tapi kalau Ibu, dia lebih memilih mengajak saya dan adik nonton bola di kafe, ketimbang di stadion.
Selain nonton bola, kami juga sering nonton film di bioskop. Banyak film-film box office kami libas bersama, sebelum eranya Netflix. Sebelum saya hijrah ke Jakarta, sebuah klab jazz juga sering jadi tempat kami nongkrong dan ngopi. Setiap ngopi itu kami sering berdiskusi soal banyak hal, termasuk soal musik. Di klab itu, Bapak paling suka nonton musisi bergenre jazz fussion, blues, serta musisi cover The Beatles.
Setiap mendengar musik, kata Bapak, dia selalu merasa lebih muda dari usianya. Dia teringat dengan masa-masa kuliah. Lalu, kisah yang hampir selalu sama pun mengalir kembali. Dia bercerita soal demam Phill Collins dan tren musik di klab-klab Bandung. Bapak selalu tahu musik-musik yang keren dan enak di telinga. Dari Bapak juga, saya kenal musisi-musisi lawas Indonesia seperti The Favourite Group, D'Lloyd, Broery Marantika, dan tentunya Koes Plus.
Untuk musik luar negeri, spektrum musisi Bapak cukup luas. Hampir tiap pekan dia mampir ke toko musik bootleg di Bandung. Kata dia, meskipun bootleg, kualitasnya bagus bagus (ha... ha... ha...). Dari Bapak juga, saya akhirnya mendengar John Mayer, dulu. Kala itu, kalau tak salah pada era SMP, kawan-kawan sekolah saya sedang demam musik Emo versus Rock N Roll. Sementara, saya baru berkenalan dengan band-band Visual Kei Jepang. Prinsip Bapak yang cukup melekat di diri saya adalah menjadi orang hemat, tapi tetap jajan musik dan buku. Apa enaknya hidup tanpa musik, kata dia.
Selain musik, impian Bapak adalah berpetualang. Saya ingat dia beberapa kali bilang ingin beli motor untuk dipakai perjalanan ke Bali setelah pensiun. Impian ini tidak tercapai. Apa mau dikata, selepas pensiun Agustus tahun lalu, pandemi melanda. Bapak kemudian jatuh sakit dan meninggal tepat sebulan lalu, November 2020. Tapi, jauh sebelum itu, kalau tak salah 2010 silam, kami sempat melakukan perjalanan cukup jauh, berdua mengendarai mobil Taft kami.
Kala itu, Bapak tiba-tiba mengajak saya pulang kampung ke Pandeglang, Banten. Namun, kali itu, kami memutuskan tidak lewat jalur yang biasa kami tempuh. Kami memutuskan berjalan lewat jalur Sukabumi, mampir ke Ujung Kulon, untuk selanjutnya ke Pandeglang dan pulang. Kami sempat menginap di antah berantah, yang saya juga sudah lupa nama wilayahnya. Namun, saya ingat kala itu warga berkumpul di depan penginapan kami untuk menonton pertandingan bola Piala Dunia 2010 di layar tancap.
Setelah itu, kami juga sempat melakukan perjalanan ke selatan Bandung, sampai menembus ke Ranca Buaya, Garut; dan terus ke Pangandaran. Dari sana, kami menginap sehari dan kembali melalui jalur Pangalengan. Bapak sangat suka petualangan. Meski, pada perjalanan kali itu, tubuhnya sudah mudah sakit. Sepulangnya dari perjalanan itu, Bapak langsung sakit, kalau tak salah masuk angin. Rasanya itu terakhir kalinya kami melakukan perjalanan jauh bersama. Mengingat-ingat masa itu, rasanya saya kangen sekali.
Waktu yang saya habiskan bersama Bapak lama kelamaan terus berkurang. Terutama saat saya akhirnya memutuskan bekerja di Jakarta, 2017 lalu. Apalagi, saya bukan orang yang sering menelpon. Hanya sesekali saja saya telepon ke Bandung. Saya tahu sekali Bapak mulai kehilangan teman di Bandung. Meski begitu, setiap saya pulang, kami sering santap malam bersama sembari bertukar cerita. Warung Sop Kaki Sapi di Soekarno-Hatta dan Banceuy kerap jadi pilihan kami bersantap.
Saya selalu membayangkan apa yang akan terjadi kalau Bapak meninggal. Sebab, Bapak selalu bilang ke saya, ia berharap tidak diberi umur yang terlalu panjang. Setidaknya, ia ingin lihat saya dan adik saya selesai kuliah dan dia menyelesaikan masa baktinya sebagai PNS. Saya tak menyangka juga kalau doa Bapak benar-benar dikabulkan. Selepas saya di Jakarta, Bapak mulai lebih dekat dengan Adik. Hubungan Bapak dengan Adik memang tak begitu dekat. Semenjak Ibu dan Bapak bercerai, Adik saya memang lebih dekat dengan Ibu.
Ketika Pandemi menerjang awal tahun 2020, praktis saya sama sekali tidak bisa pulang ke Bandung. Apalagi, di awal Maret, saya juga masuk rumah sakit. Kala itu pula Bapak dikabarkan sakit di Bandung. Untungnya Adik saya. Dia sangat bisa diandalkan. Saya tahu itu. Bapak juga masuk rumah sakit di bulan Maret itu. Sekeluarnya dari rumah sakit, Bapak diajak tinggal dengan adiknya, tante saya, di Bekasi. Kondisi Bapak ternyata tidak begitu membaik di sana. Pertengahan tahun, Bapak pulang lagi ke Bandung. Berat badannya turun drastis, hampir 30 kilogram rasanya.
Saya akhirnya bisa pulang ke Bandung lagi menjelang Idul Adha. Kala itu, saya akhirnya bertemu lagi dengan Bapak, yang kini menjadi sangat kurus. Dia minta saya antar beli pakaian, karena pakaian yang dia punya sudah kebesaran. Kami belanja, dan kemudian, kami bersantap di warung sop langganan kami. Semenjak sakit, atau setidaknya setahun terakhir, Bapak menceritakan ketakutannya akan kematian. Padahal, sebelumnya Bapak selalu menantang kematian. Dia merasa bekalnya belum cukup. Kami lalu membicarakan banyak hal soal hidup.
Bapak yang awalnya sempat menentang profesi saya sebagai seorang jurnalis, belakangan melunak. Saya dan Bapak selalu sepakat soal prinsip anti-korupsi. Buat saya, ini lah jalannya saya bisa hidup sesuai prinsip itu. Bapak setuju. Bapak hanya khawatir saya tidak bisa hidup layak dari gaji seorang wartawan. Saya selalu bilang rezeki sudah diatur, tidak akan tertukar. Bapak di setiap perbincangan selalu berpesan: hidup sederhana dan jadi orang baik. Kami bersepakat soal itu.
Setelah pertemuan kami kembali di Bandung, saya lalu banyak menghabiskan waktu kembali di Jakarta. Begitu pula Adik dan Ibu. Adik hanya sering mengirim makanan untuk Bapak. Hingga, suatu saat, saya dapat kabar dari sepupu bahwa tubuh Bapak sangat kuning. Mereka berjumpa di pemakaman Uwak--Kakak Bapak. Ia khawatir Bapak sakit hepatitis atau sirosis, yang sebelumnya menyebabkan meninggalnya Kakak Bapak yang pertama, November 2019.
Singkat cerita, Bapak masuk rumah sakit lagi. Saya akhirnya memutuskan kembali ke Bandung, untuk sesekali menemani Bapak di rumah sakit, bergantian dengan Adik yang setiap hari menjaga Bapak. Hampir dua pekan di rumah sakit, penyebab kulit kuning Bapak tak kunjung diketahui. Setelah MRI, baru diketahui Bapak terkena kanker pankreas. Masa hidup Bapak divonis tidak lagi lama. Meski demikian, hingga meninggal, dia tidak tahu soal penyakit itu. Saya, Adik, dan Ibu, sepakat tidak bilang, untuk menjaga semangat hidup Bapak.
Sekeluarnya dari rumah sakit, kami memutuskan untuk menyewa kos untuk Bapak dekat rumah kami. Semenjak itu, kami terus memantau perkembangan kesehatan Bapak. Setelah beberapa kali bolak balik ke dokter, Bapak dirujuk untuk masuk ke meja operasi. Bapak setuju. Entah kenapa, kali itu saya merasa Bapak tidak akan kembali lagi ke kamar itu dari rumah sakit. Hari-hari saya menjadi melankolis kala itu.
Selepas dioperasi, kondisi Bapak sempat tampak membaik. Namun kemudian, lama kelamaan kondisinya melemah lagi. Banyak hal yang masih dipikirkan Bapak kala itu. Perbincangan saya dengan Bapak, atau Adik dengan Bapak selalu berujung perdebatan. Dua hari sebelum meninggal, Bapak dan saya berbincang soal ini itu. Namun, kala itu, saya merasa kesadaran bapak mulai menurun, dia banyak meracau. Tiba-tiba saja, dia minta saya membantunya gosok gigi dan sisiran.
Malam hari, kami sepakat tidak menjaga Bapak di rumah sakit. Karena biasanya Bapak akan baik-baik saja di malam hari. Namun kami salah. Pagi-pagi, Adik saya ditelpon Bapak. Katanya dia mau pulang. Dia bilang infus dan alat-alat akan dicabut. Adik saya bilang perbincangan pagi itu aneh, dia pun langsung ke rumah sakit. Di sana, ternyata situasi kacau. Bapak katanya mengamuk pada dinihari. Selang-selang infus dicabut dan kondisi kamar berantakan. Saya tidak bisa menggambarkannya secara akurat karena tidak lihat langsung.
Sore harinya, saya ke sana. Kesadaran Bapak sudah benar-benar berkurang dan hilang timbul. Dia tak tidak mengenali lingkungan. Namun sesekali dia bicara cukup gamblang. Kepada saya, yang saya ingat, dia berpesan agar saya mencari pekerjaan yang tidak menghabiskan waktu, entah kenapa. Kalimat yang juga saya ingat adalah: "Caesar Akbar, aku minta maaf, terima kasih banyak." Mata saya berkaca-kaca kala itu. Saya semakin yakin waktu Bapak tidak lama lagi. Bapak sempat bilang juga, "Aku bahagia."
Jumat sore, 13 November 2020, kondisi Bapak terus memburuk. Cairan dan darah keluar dari lambungnya lewat selang. Saya tinggalkan Bapak sejenak untuk salat Ashar. Sekembalinya dari salat, Bapak sudah tidak ada. Bapak meninggal. Itu adalah pertama kalinya saya menangis kembali, entah kapan terakhir kali saya menangis. Sedih tentunya, tapi ini semua sesuai dengan keinginan Bapak. Saya tahu ini yang terbaik. Sesuai permintaanya, Bapak dikuburkan di kampungnya, Pandeglang.
Melihat Bapak terbujur kaku, kematian ternyata begitu nyata. Waktu begitu nyata. Saya lantas ingat sebait lagu John Mayer, "John, honestly we'll never stop this train". Ya, waktu ibarat kereta yang tidak akan pernah berhenti. Kematian adalah fase selanjutnya dari kehidupan. Selamat jalan Bapak.
Bandung, 13 Desember 2020
4 notes · View notes
caesarakbar · 5 years ago
Text
Ramadan Kali Ini
Tak ada hiruk pikuk biasa di masjid di lingkungan rumah saya pada awal Ramadan ini. Padahal, awal bulan puasa biasanya adalah momentum jemaah mengerubungi masjid layaknya semut ke toples gula. Aktivitas di rumah ibadah sudah lebih dari sebulan agak lumpuh lantaran adanya imbauan beribadah di rumah selama musim pagebluk Corona sejak Maret lalu.
Saya ingat sekali pada awalnya kebijakan itu tidak sepenuhnya dilaksanakan warga. Masih ada masjid yang menggelar Salat Jumat. Saya adalah satu dari jamaah yang hadir kala itu. Penularan COVID-19 semakin gencar, masjid pun perlahan mengurangi aktivitasnya. Kini mungkin tinggal azan yang masih rutin dilaksanakan, di samping kegiatan lain yang tidak mengundang keramaian.
Di awal Ramadan ini pun tidak ada tarawih berjamaah di masjid, tidak ada kuliah subuh, tidak ada tadarus bersama, tidak ada santap buka bersama di luar rumah, maupun kegiatan laun yang biasanya ada selama bulan suci. Penjaja takjil di sekitar rumah tidak seramai biasanya. Sebagian dari mereka sudah pulang kampung duluan ketika kebijakan physical distancing dicanangkan. Sudah sepi yang jajan,katanya. Apalagi memasuki periode puasa dan ada larangan mudik. Mungkin pilihan pulang kampung duluan jadi keputusan yang tepat.
Bulan Ramadan yang sepi mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Saya bahkan masih memesan tanggal libur ke kantor di awal bulan puasa ini dengan harapan bisa pulang ke Bandung dan memulai Ramadan di kampung halaman. Tapi nyatanya saya terjebak di Ibu Kota hingga waktu yang saya tidak tahu berapa lama lagi.
Maret lalu, ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Corona pertama di Indonesia, optimisme masih menyala: bulan Ramadan kelar, Lebaran masih bisa mudik. Diam-diam saya masih berharap begitu lho. Membayangkan Lebaran tanpa bersama orang tua dan adik saya, nampaknya tidak asyik sekali. Lebaran ini mungkin bakal sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena dua hal. Pertama, mudik dilarang pemerintah. Kedua, nenek wafat pada Februari lalu. Ya, selama ini nenek adalah sentrum keluarga besar kami pada hari Lebaran.
Soal ibadah, saya sudah sejak jauh hari misuh-misuh, berkeluh kesah ke ibu. Sejak Salat Jumat dilarang, saya bilang ada yang hilang dari hidup saya, serasa kurang afdal saja gitu. Bukan saya mau berkata kebijakan tersebut tidak tepat, maupun tidak percaya bahwa Allah SWT maha mengetahui dan maha memaafkan. Tapi ya ingin saja mengeluh dengan situasi saat ini. Waktu itu pun saya sudah khawatir ibadah selama Ramadan akan tersendat karena kegiatan dibatasi. Bahkan Salat Ied bisa saja tidak dihelat pada Idul Fitri tahun ini. Sungguh aneh rasanya membayangkan tidak melaksanakan kegiatan yang lebih 20 tahun sudah saya lakukan.
Ibu menanggapi tenang. "Selama ini salat sudah tepat waktu, kak? Kalau belum, itu dulu diusahakan sekarang ini, kondisinya memang berbahaya kalau dipaksain salat berjamaah di masjid, daripada penyakitnya menular," kata ibu. Jleb. Ibu benar, selama ini salat wajib pun masih tak tepat waktu, dan parahnya kalau kerap bolong-bolong, sementara saya malah mempersoalkan ini itu. Berbicara dengan ibu memang kerap menjadi momen eureka. Saya akhirnya merenung kembali dan meresapi kata-kata ibu. Memang, saya sadari saya semakin tidak disiplin beribadah sejak merantau ke Ibu Kota setelah lulus kuliah. Mungkin ini titik balik saya.
Saya ingat beberapa tahun lalu menyampaikan kepada kelompok mentor saya tentang sebuah cerita di buku Paulo Coelho. Ceritanya soal pendeta dan jemaahnya, tapi saya rasa relevan untuk agama lain. Intisarinya adalah kegiatan berkumpul, misalnya liqo rutin, adalah momen yang penting untuk memastikan bara keimanan tetap menyala, meski tidak besar apinya. Seperti halnya bara pada kayu bakar yang tetap menyala ketika kita kemping. Nyala bara tersebut bisa kembali menyala api bila ditiup kembali. Akan lebih sulit menyalakan lagi api di kayu yang baranya sudah padam total apalagi lembap. Saya kehilangan kelompok liqo saya semenjak lulus kuliah.
Momentum sendiri di kamar selama masa pandemi ini membuat saya kembali mengingat berbagai hal yang sudah lewat. Termasuk seberapa jauh saya berubah di setiap waktunya. Saya rasa ini penyebab selalu ada yang hampa dari hidup saya selama ini. Selama wabah, saya tidak punya kemewahan untuk menepi di sudut kota atau ke alam bebas untuk diam dan berbicara pada diri sendiri. Ini lah saat yang tepat.
Selama Ramadan ini saya putuskan untuk kembali memperbaiki kualitas ibadah saya. Janji yang pada tahun sebelumnya mungkin cuma pada taraf keinginan. Jalan hari ketiga, alhamdulillah semuanya masih sesuai rencana. Salat wajib diupayakan tepat waktu, salat sunah dilakukan, hingga tadarus Quran diupayakan kembali, serta beberapa hal lainnya. Tarawih yang sebelumnya kerap terlewat, entah karena beradu dengan deadline menulis setelah liputan, bahkan sering tak dilakukan karena tubuh terlalu lelah saat tiba di rumah, sejauh ini masih lancar. Mudah-mudahan ke depannya pun tidak berhenti. Memang benar selalu ada hikmah di balik bencana, di balik cobaan Allah SWT.
Utan Kayu, April 2020.
2 notes · View notes
caesarakbar · 6 years ago
Text
Creep
"But I'm a creep, I'm a weirdo. What the hell am I doing here? I don't belong here."
Suara parau Thom Yorke menggema di kedai tempat saya menikmati kopi siang hari ini. Lagu Creep dari Radiohead jadi favorit saya sejak pertama kali mendengar. Bahkan, kini lagu itu sudah mungkin sudah menjadi bagian dari hidup saya. Musiknya sederhana, tapi magis. 
Saya paling suka transisi menjelang reff, ketika tiba-tiba suara gitar berubah distorsi. Nada nyanyian Yorke meninggi setelah memulai lagu dengan datar diiringi petikan gitar dan hentakan drum yang bernuansa monoton. 
Kalau saya mengibaratkan lagu sebagai permukaan air, maka setiap menjelang reff, permukaan air itu mulai beriak. Riak-riak itu semakin kencang. Puncaknya adalah ketika Yorke teriak lepas pada bait, "She's running out again, She's running out, She's run run run run." Saya langsung merasakan betapa depresinya Yorke mengejar seorang gadis.
Saya mengasosiasikan cerita hidup saya dengan lagu Creep. Bertahun-tahun tidak percaya diri. Saya merasa teralienasi atau mengalienasikan diri, saya juga tak benar-benar paham. Keterasingan itu saya rasakan dan memuncak pada era Sekolah Menengah Atas. Khususnya saat saya menyukai seorang gadis dan tak bisa menyatakan apa-apa, tidak berani.
Saya mestinya belajar dari kisah Thom Yorke kala menciptakan lagu Creep ini. Tapi saat itu rasa ingin tahu saya akan kisah di balik sebuah lagu memang belum begitu besar. Ternyata itu adalah kisah Yorke yang mengagumi seorang gadis namun tak pernah menyatakannya. Yang tidak terduga, gadis itu ternyata datang ke salah satu konser Radiohead!
Bayangan ketidakpercayaan diri itu terus menghantui saya. Saya terus tidak merasa kapabel untuk melakukan apapun. Belum lagi dengan berbagai penolakan dan kegagalan yang saya alami. Setiap ketakutan terus menjadi-jadi dan menggerogoti nyali.
Tapi ternyata berulangkali pula ketakutan saya tidak menjadi kenyataan. Ketakutan hanya ketakutan. Beberapa hal saya capai, mulai dari berkuliah di kampus yang Bapak saya sangat idam-idamkan tapi tak pernah tercapai, sampai memenangkan sayembara fotografi yang dihelat majalah favorit saya, National Geographic. Saya akhirnya menyadari ketakutan itu tidak pernah nyata. Tapi ketakutan tetap ketakutan.
Krekot, Februari 2019.
0 notes
caesarakbar · 6 years ago
Text
Remboelan
Dirimu rembulan
yang tak setiap waktu benderang
Kalanya engkau lenyap,
tinggal kelam malam
Apakah waktu selalu menghantarkan manusia 
kepada kesendirian?
Dirimu purnama
sesekali muncul dengan cemerlang
Dan aku adalah pasang lautan,
berupaya menggapai dalam kesia-siaan
Lantas engkau hilang 
tinggal gelap malam
Apakah waktu selalu menghantarkan manusia
kepada kesendirian?
Jakarta, Februari 2019
0 notes
caesarakbar · 6 years ago
Text
Giant Step
Pernahkah anda bangun tidur dan terpikir ingin melakukan sesuatu yang benar-benar tidak pernah terbayang sebelumnya? Saya pernah. Dan langkah itu ternyata membuat saya benar-benar keluar dari jalur yang lazim. 
Kembali ke akhir masa studi saya di Institut Teknologi Bandung, saya adalah seorang mahasiswa Teknik Kelautan dengan nihil mata kuliah yang diambil, selain Tugas Akhir. Hidup saya lebih banyak dihabiskan untuk organisasi, khususnya Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB. 
Saya tidak bakal berbicara soal kaderisasi atau gerakan bawah tanah yang saya lakukan untuk menggulingkan presiden kala itu. Tidak mengambil mata kuliah apa pun ternyata membuat saya mulai meraba-raba aktivitas apa yang bisa saya lakukan, di luar perkuliahan. 
Sebagai mahasiswa yang bergelut dengan pelbagai mata kuliah pembangunan di daerah pantai dan laut, impian saya kala itu tidak begitu muluk-muluk. Saya ingin lulus kuliah dan kalau bisa lanjut lagi ke S2 dengan memperdalam ilmu geoteknik kelautan. Kalau tidak bisa, ya bekerja dulu sebagai pegawai negeri sipil. Itu saja. 
Minat saya pada lingkungan laut dan hasrat saya mencari aktivitas lain lantaran bosan ternyata mengantarkan saya ke berbagai hal baru. Saya mulai getol membaca majalah-majalah terkini, entah itu Majalah Tempo atau National Geographic. 
Kegiatan itu hanya berupa selingan, hasrat saya menjadi seorang peneliti lingkungan laut masih tak terbendung. Menggaet kawan-kawan sejurusan, saya mencoba ikut lomba atau konferensi. Walau belum pernah menang. Maklum saja, pemikiran saya masih terlalu mengawang ketimbang lawan-lawan yang tampak lebih kongkret.
Selain membaca dan berorganisasi, saya mulai menggeluti fotografi. Bidang yang sebelumnya tidak saya tekuni. Fotografi memang relik dari kenangan saya berupaya mendekati seorang gadis dulu, ha ha ha. Ternyata mengasyikkan. 
Mengejutkan adalah ketika ternyata fotografi pula yang menyeret saya keluar dari impian menjadi peneliti kelautan. Alkisah seorang kawan mengajak saya melancong ke Belitung. Untuk melihat gerhana matahari total, katanya. Lantaran menganggur, dan gairah untuk lulus belum kembali membuncah, saya terima saja ajakan itu. Hasilnya, tentu saja saya telat lulus, April 2016 lewat sudah. 
Yang di luar dugaan, foto yang saya iseng-iseng daftarkan untuk sebuah lomba helatan National Geographic di media sosial dipilih sebagai jawara. 'Gempita Gerhana Matahari Total', tajuknya. Beginner's luck, kalau kata teman-teman saya. Ya tak apa-apa toh. Ternyata dampak peristiwa itu berkelanjutan, saya jadi gemar menyelami cerita demi cerita para pengembara di majalah NatGeo bulanan itu. 
Lebih seru lagi adalah ketika saya datang sejumlah worksop yang digelar majalah berbasis di Amerika Serikat itu. Dunia ternyata luas dan unik. Keinginan saya waktu itu akhirnya tidak beda jauh dengan Christoper Johnson Mccandless, kepengin mengembara.
Namun, tetap saja, saya membayangkan keahlian saya sebagai sarjana teknik kelautan dengan fokus lingkungan laut lah yang bakal bikin saya melanglang buana. Saya sangat ingin lulus dan jadi PNS. Normal and simple life. Setidaknya saya pikir demikian. 
Sebab, saya juga teringat wejangan sesorang yang saya temui ketika ikut konferensi dulu, modal manusia untuk menjelajah bukan cuma uang, tapi otak dan fisik. "Kalau kamu punya dua dari tiga modal itu, harusnya sudah bisa bergerak," kata dia.
Periode itu bisa saya bilang adalah periode pencarian jati diri saya yang sesungguhnya. Memahami apa yang saya mau ternyata tidak mudah. Ingin kerjaan yang normal, tapi keren dan dampaknya terasa bagi orang lain ternyata tidak sederhana.
Pada waktu itu, saya sempat memilih untuk tidak memikirkan itu sama sekali. Saya lupakan. Saya abaikan saja. Fokus saya: bagaimana menyelesaikan tugas akhir dan tamat. Mestinya bisa kelar Oktober 2015, saya malah terlalu banyak mengulur-ulur. Periode Wisuda April 2016 lewat, begitu pula dengan Juli 2016. 
Sesekali di sela-sela perampungan tugas (tiada) akhir itu saya masih memilih keluar rumah memotret jalanan dan ikut workshop, yang lagi-lagi digelar National Geographic. Tugas akhir saya rampung dan saya diwisuda pada Oktober 2016. Tidak banyak selebrasi, sudah telat. Namun di hari yang sama, ada sebuah pesan penting. Saya kembali menang sayembara dari National Geographic. Kali ini hadiahnya adalah seperangkat gawai terkini dan kesempatan merasakan penugasan. Penugasan!
Penugasan itu dijadwalkan selama hampir sepekan pada November 2016. Ternyata hidup begitu dinamis bagi saya. Saya diterima bekerja di sebuah perusahaan manufaktur pada bulan yang sama. 
Tentu anda mempertanyakan bukan, bagaimana saya yang mulanya ingin menjadi ilmuwan ini malah menyasar ke dua pilihan yang juntrungannya begitu jauh? Ya, saya diterima bekerja di perusahaan manufaktur itu karena secara iseng saya memasukkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan saat acara job fair di kampus. Di periode yang sama, saya juga sudah menyurati seorang relasi di BPPT untuk bisa magang di sana tetapi tidak berbalas. Padahal, langkah yang terakhir saya sebut ada prioritas saya.
Saat itu pikiran saya di job fair sederhana: paling-paling enggak diterima. Kalau pun diterima, mungkin enggak buru-buru harus masuk juga. Pemikiran terakhir yang paling mendasar adalah saya pasrah, seperti seorang pemain roulette, menang enggak menang tak apa-apa. Ternyata saya menang, saya diterima bekerja. Saya tidak senang, cenderung setengah hati.
Meski begitu, bukan berarti saya memasrahkan kesempatan saya melakukan penugasan bersama National Geographic. Saya kasih penawaran: saya boleh izin pada periode penugasan, atau pekerjaan itu tidak saya ambil sama sekali. Ternyata diberi juga. Semesta memang lucu.
Penugasan NatGeo begitu membekas di kepala saya. Tapi itu seperti mimpi saja. Bbeberapa waktu ke depan, saya bekerja di korporasi. Ternyata begitu membosankan. Satu bulan saya bekerja hingga pada suatu pagi saya berpikir: saya harus berhenti. Ke mana berikutnya, secara ajaib, saya kepikiran sesuatu yang selama puluhan tahun sebelumnya tidak pernah saya mimpikan. Saya mau jadi jurnalis saja!
Ternyata itu adalah langkah pertama yang mengubah kehidupan saya begitu jauh. Sekarang, sudah dua tahun sejak saya memikiran giant step itu dan saya benar-benar menjadi wartawan.
Mengutip seorang kawan, "semesta memang membingungkan."
Cikini, Februari 2019
0 notes
caesarakbar · 6 years ago
Text
Rasa dari Masa Muda (I)
Masa lalu adalah sejarah, bukan untuk dihidupi kembali. Saya selalu yakin manusia memang tidak didesain untuk melupakan secara sempurna. Sedikit saja rangsangan bisa mereaktivasi kembali semua memori masa lalu. 
Bagaimana masa lalu selalu merasuk manusia digambarkan secara manis oleh film animasi asal Jepang, Flavors of Youth. Antologi kenangan secara sederhana membuat saya mengingat-ingat kembali kehidupan saya sepuluh bahkan dua puluh tahun ke belakang. 
Pada bagian pertama, sedikit aksi yang dirasakan tokoh utama adalah rasa. Saya selalu yakin makanan tidak hanya mengandung rasa, namun juga mengandung sekian persen kenangan. 
Fenomena ini adalah yang paling lazim saya alami belakangan ini. Menyambangi tempat makan atau membeli jajanan masa kecil tiba-tiba membuat saya teringat seseorang atau lokasi atau peristiwa yang sebelumnya sama sekali tidak saya ingat. Mungkin itu yang namanya aktivasi implikasi rasa.
Film dibuka dengan narasi Xiao Ming, sang protagonis, soal makanan favoritnya, mi San Xiang. Ia teringat masa kecilnya di Hunan, Cina. Kala itu, ia sering menyantap mi khas daerahnya itu bersama sang nenek. 
Rutinitas itu mesti berakhir lantaran kedai makan mi di desanya akhirnya mesti angkat kaki lantaran alasan yang tidak jelas. Meski begitu, mi San Xiang ternyata adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan Ming. Ia masih getol makan mi khas Zongshan, Guandong, itu di warung dekat sekolahnya. 
Walau, mi San Xiang di kedai dekat sekolahnya itu memang sedikit berbeda model ketimbang yang ia sering santap dulu. Kenangan di sana pun lebih kaya lantaran Ming kerap melihat gebetannya, seorang kakak kelas di sekolah, bersepeda menggunakan seragam sekolahnya. Adegan itu mungkin adalah kilas yang selalu terpatri. 
Pada suatu ketika, kedai mi langganan Ming akhirnya mesti tutup setelah suami pemilik warung tiba-tiba kepikiran untuk berjualan peranti mancing. Memang, tidak pernah ada yang abadi dalam dunia. Begitu juga warung makan favorit. 
Namun, bukan berarti tidak mungkin sesuatu yang sudah pergi tidak kembali lagi. Bukan begitu semesta bergerak. Insiden demi insiden mengantar sejoli pengelola kios pancingan kembali ke bisnis lama, berdagang mi. 
Waktu berlalu begitu jauh, Ming kini tinggal di Ibu Kota Cina, Beijing. Di kota metropolitan itu ia kembali menemukan mi San Xiang dijajakan. Tapi, ia mesti kecewa lantaran tampilan mi itu lebih cemplang alias minim toping dan harganya jauh lebih mahal dari mi di daerah asalnya dulu. Tapi sebagai pelipur lara, mi San Xiang tetap mi San Xiang.
Semua cerita kilas itu dibungkus dengan tutup usianya seseorang yang mengenalkan Ming pada mi San Xiang, sang nenek. Pada momen menyedihkan itu setiap kenangan disedot kembali ke masa kini. Mencapai kesimpulan bahwa ia tidak bisa makan mi legendaris itu bersama sang nenek. 
Pasca peristiwa itu, Ming kembali menyantap mi San Xiang dari kedai dekat sekolahnya dulu. Mesin waktu menghantarnya datang dan pergi sekejap ke ingatan masa kecilnya. 
Namun, kenangan tetap kenangan. Yang terekam bukan berarti masa kini. And live must go on.
Cikini, Januari 2019.
0 notes
caesarakbar · 6 years ago
Text
The Waltz
Asap mengepul dari air teh yang saya tuang ke sebuah cangkir tembikar. Dua balok kecil gula batu saya cemplungkan. Aromanya saya hidu. Semua kenangan kembali bersamaan dengan turunnya suhu di sebuah rumah baca di Hegarmanah. 
Tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Buku-buku terpajang rapi di rak-rak, dikelompokkan berdasarkan topiknya. Begitu pula dengan kaset-kaset dan pelbagai dagangan lain. Aroma buku lawas merebak bila membuka koleksi-koleksi lama. 
Di halaman belakang sekurangnya sepuluh meja dan kursi yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak tertata. Manusia-manusia dengan segala macam kesibukannya larut. Ada yang tenggelam dalam buku bacaannya, ada yang sibuk menulis dengan pulpen dan buku catatannya, ada pula yang matanya terus tertambat pada monitor laptopnya. Beberapa saling melempar celoteh dan berdiskusi.
Dunia hidup dalam semua kesibukan manusia, meski minim interaksi antara satu dan lainnya. Diam adalah sebuah kegiatan yang ingin saya lakukan hari ini. Mendengar desau angin yang mengalun ringan di sekitar telinga. Merasa dingin yang menusuk kuduk. Meresapi setiap helaan nafas dan menyaksikan dunia yang terus bergerak.
Kalau bosan, saya putar musik-musik yang padu dengan dinginnya Bandung. Sebut saja The Last Waltz dari Toru Takemitsu. Seketika lingkungan saya berubah. Saya membayangkan kamu ada di tengah halaman yang hijau rerumputan. Masih dengan rambutmu yang modern bob itu.
Cahaya matahari menerobos membias menyinari tubuhmu yang berkulit pualam. Ingat terakhir kita duduk bertatapan dulu? Bicara segala macam topik, dan membahas masalah yang tiada ujung. Waktu membeku sejak saat itu. Denting gitar Takemitsu membawa adegan itu kembali. Tapi di bayangan saya tidak ada akhir.
Saya dan kamu berdiri dengan tangan yang saling menggenggam. Membiarkan tubuh bergerak sesuka hati semesta. Tangan kiri di pinggangmu, tangan kanan menggenggam tangan mu. Kita berdansa waltz. Berputar seiring dengan musik. Bertatapan. Sampai rintik hujan januari menjatuhi kepala kita. Dan kita berpandangan nanar. Tahu semua itu tidak pernah terjadi.
Faktanya, saya sendirian. Dengan mendung menggelayuti langit di utara Kota Bandung. Dan nuansa sendu menjadi hagemoni. Teh di dalam cangkir mulai dingin. Segera saja saya sesap. Saya kecap kecut pahit dan segelintir manisnya. Seperti masa lalu. Masa lalu bukan untuk dihidupi kembali.
Hegarmanah, Januari 2019.
0 notes