Text
Random Thought: Men.
All men are the same. It’s a classic sentence, but not entirely wrong. What are they seeking? Affection? That’s kind of bullshit. Because, in the end, all they want is sex. Instead fixing their personal issues, men vent their ego and lust towards women. They may be cute in bed, pretending like you’re his most precious person in the world. It didn’t last outside the bed. Thanks to their sweet words they bombed to women. Even if we know it’s all meaningless, even if we know it’s all lies, but still, some women blinded by it.
I am not. I know my self-value, what to do and what not to do. I agreed because I was curious: is he only sees me as a person he likes or a lust grater? The answer is the second one. I may look innocent, but I’m not dumb, honey. The one who is stupid is men—they’re easy to read like an open book. They don’t have deep thoughts when it comes to love or women. In conclusion, most of men are just stupid, using their dickheads to fix their personal matters.
Just because a woman takes off her clothes in a man’s bed, doesn’t mean she’ll go down for him. Women takes control too, some of them just didn’t show it because we know how fragile a man’s ego is. Men blinded by their ego; women blinded by men’s sugar-coated words. On the bed, everything are just bullshits.
So, I reconcile with a best friend who I’ve been ghosted for the past a year. Things happened between us a year ago that made me stepped away when I knew the fact that he got himself a girlfriend. Jealousy filled my rage; I was angry at him. I thought we’re special—more than a friends. And now I knew it’s nothing but lust.
Lust and men. Two things that can’t be separated. While I seek for eyes that look into me in an affectionate way.
3 notes
·
View notes
Text
Magang Pertama
Dari mana aku harus mulai?
Sekira awal bulan Mei, tepatnya hari Senin tanggal 3 Mei 2021, aku memulai kegiatan magang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Kegiatan magang pertamaku dimulai ketika aku berproses di semester 4.
Oke, biar kuceritakan. Jauh sebelum tanggal 3 Mei, di bulan Maret yang aku telah lupa tanggal berapa pastinya, aku menyerahkan berkas dokumen untuk kegiatan magang di Kejari Jaksel. Saat itu, kupikir aku dapat langsung masuk begitu saja, tapi ternyata ada 15 orang lain yang namanya ada di antrian sebelum namaku! Fakta ini baru kuketahui di bulan April, ketika tanggal yang dijanjikan tiada seorang dari Kejari Jaksel yang menghubungiku. Jadi saat itu kuputuskan untuk bertanya langsung.
Kala itu, asaku untuk magang di Kejari Jaksel telah pupus. Aku tidak ingin mempercayai instansi pemerintah yang selalu php. Jadi, aku mencari tempat lain sebagai tujuan magang, yaitu Interpol yang beralamat di Blok M. Permohonan surat pengantar sudah diajukan ke pihak kampus, proposal sudah disunting, dan segala tetek bengek lain. Lalu, aku juga menargetkan Mahkamah Agung karena ajakan salah satu teman dekatku, Andrea.
Tadinya, aku tidak ada niat untuk mendaftar ke MA, tapiii satu-satunya faktor yang membuatku tertarik adalah: tiktok salah satu teman angkatan yang katanya dapat vaksin covid-19 ketika magang di MA. Tanpa babibu lagi, aku mengumpulkan beberapa temanku yang tertarik.
Di bulan April, tepatnya tanggal 26, Diaz dan aku menyerahkan berkas dokumen yang diperlukan untuk pengajuan magang di MA. Dengan rencana dadakan, Joshua ikut bersama kami memberikan berkas dokumen terkait. Kami dijadwalkan melakukan kegiatan magang pada bulan agustus (setidaknya ada jeda dari jadwal magang di kejari ups, spoiler).
Tanggal 14 April, sebelum pergi ke MA, di siang hari yang biasa-biasa aja, ada sebuah pesan masuk di whatsapp. Awalnya kupikir kontak ini hanya scam gak jelas atau orang aneh yang mau kenalan. Tadinya aku mau membalas pesan tersebut dengan lebih jutek lagi dari sekadar "ini siapa ya?", taapi kuurungkan niat itu. Ternyata, yang menghubungiku adalah pihak Kejari Jaksel wkwkwk. Beliau mengabari kalau aku sudah bisa masuk sebagai anak magang di hari Senin depan. Dengan perasaan sedikit lega, aku berterima kasih dan mengabarkan kehadiranku.
Minggu pertama kegiatan magangku berjalan oke. Tiap minggunya sudah dibuat jadwal mengenai kegiatan yang akan dilakukan. Jadwalnya sebagai berikut:
5 hari pertama belajar administrasi dan registeer;
5 hari kedua belajar arsip;
5 hari ketiga belajar proses bisnis perkara korupsi;
10 hari keempat belajar berkas;
5 hari kelima membuat laporan magang dan evaluasi.
Karena tidak ada perkara yang masuk, jadi kami (anak magang) langsung belajar arsip. Tugasnya memberikan lidah (post it) angka sesuai urutan surat dan membuat daftar isi. Cukup membosankan, memang.
Di sela-sela kegiatan, kadang ada jaksa yang meminta tolong untuk dibuatkan dokumen seperti p-24, p-29, dan lainnya. Misalnya, seperti Pak Hendi, Kasubsi Penyidikan yang memberikan berkas narkoba dan berkas penipuan. Kami diminta untuk membuat check list dari resume penyidik, membuat p-24, dan p-29. Atau Pak Dicky yang meminta tolong untuk dibuatkan p-37, p-41, p-41, dan p-44 dengan jumlah perkara 4 (masing-masing dapat satu).
Aku lumayan suka diminta untuk membuat dokumen seperti itu. Walaupun sedikit membuat pusing, setidaknya lebih baik untuk belajar langsung dari kasus yang sedang ditangani.
Oh ya, di hari jumat minggu pertama, kepala divisi TP Khusus, Pak Sabrul memberikan kami masing-masing uang sejumlah seratus lima puluh ribu. Ini membuatku benar-benar senang karena malamnya aku ada buka bersama dengan geng SMA (lol).
Di minggu kedua setelah idul fitri, Bu Andi selalu memberikan kami, anak magang, makanan. Hari senin diberikan ketoprak, hari selasa diberikan ketupat sayur, hari rabu diberikan nasi padang kotak. Walaupun aku selalu bawa bekal dan sudah makan siang, tentu saja tidak pernah kutolak semua pemberian itu! HEHE.
Overall, kegiatan magang di Kejari Jaksel cukup menyenangkan. Dengan jaksa-jaksa yang baik dan teman-teman baru dari UPNVJ, aku cukup menikmati kegiatan magang pertamaku ini. Yah, walaupun agak lelah karena jam kerja dari pukul delapan pagi hingga empat sore, sih.
(19 Mei 2021)
2 notes
·
View notes
Text
Eskapisme
Seringkali aku memiliki pikiran untuk pergi dari kota ini. Hampir duapuluh tahun hidup di kota yang kini sudah terlalu sesak untuk ditinggali. Aku muak. Kota kecil ini sudah terlalu padat. Panas membakar kulit di siang bolong, di musim hujan jalanan beton dibanjiri air kotor. Penataan kota ini juga kacau.
Seringkali aku memiliki pikiran untuk berlibur di kota-kota damai yang bukan merupakan tujuan wisata orang banyak. Ingin kujadikan beberapa kota sebagai eskapisme dari hidup yang melelahkan. Tidak tahu kapan akan direalisasikan, tapi suatu saat aku akan melakukannya.
Kalau suatu saat nanti aku sudah bekerja, aku rela saja dimutasi ke kota-kota di Jawa Tengah seperti di Wonosobo, Purworejo, atau Salatiga. Hampir duapuluh tahun hidup, tidak pernah sekalipun pernah merasakan “pulang kampung”. Kehidupan di ibukota begitu melelahkan, mental sepertiku tidak akan kuat. Aku hanya ingin hidup dengan damai, menjalankan pekerjaanku dan membangun keluarga kecil.
Aku butuh eskapisme dari realita.
Segalanya terlalu membebani diri; tanggung jawab, tuntutan, dan proyek-proyek. Perasaan ganjal ini selalu muncul ketika aku memikirkan pekerjaan. Overthinking, anxiety, nafsu makan menurun — segalanya membuatku menderita. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup.
Aku ingin melarikan diri dari segala hal yang membebani pikiran… ke tempat di mana aku belum pernah menginjakan kakiku di sana.
(14 Maret 2021)
2 notes
·
View notes
Text
Hellish Week
Selama kurang lebih seminggu terakhir ini, setiap malamnya aku selalu tidur larut malam. Di malam hari, ada saja hal yang kukerjakan; terduduk di depan layar laptop selama berjam-jam. Sejak memasuki awal minggu ini, jadwalku menjadi semakin padat. Sebelumnya, aku mengerjakan esai untuk entri constitutional drafting yang diadakan salah satu bso di fakultas — tapi entahlah, lolos menjadi delegasi aku bersyukur, kalau tidak lolos, setidaknya aku telah mencoba ‘kan? Daripada menyesal di kemudian hari tidak pernah mencobanya.
Hari Sabtu minggu sebelumnya, Gathering Day Lawper berlangsung. Acaranya dimulai dari pukul setengah delapan malam sampai sekitar pukul sembilan. Walaupun keseluruhan anggota Lawper terbilang sedikit, acara kali ini sukses dan berjalan menyenangkan! Sepanjang acara aku sering sekali tertawa, games-nya juga tidak membosankan, partisipasi anggota juga cukup ramai. Aku sangat berterima kasih kepada divisi manajemen—khususnya poppy — yang telah memberikan warna baru bagi acara Lawper. Minggu selanjutnya di hari Senin mengejar esai yang buru-buru kutulis, deadlinenya pukul 23.59. Hari Selasa, temanku mengajak berdiskusi untuk pembagian tugas entri lomba contract drafting — yang mana kami bahkan tidak lolos seleksi esai! Beberapa hari terakhir sejak hari rabu kucurahkan malam-malamku demi mengerjakan esai itu. Tetapi tak apa, aku tidak begitu berekspetasi tinggi sebab minimnya pengalaman kami di bidang ini (pertambangan minerba? ini pertama kalinya buatku) dan tidak ada anggota BLS aktif di kelompok belajar kami. Sungguh, aku tidak kecewa sama sekali; kegiatan ini malah menyenangkan. Aku jadi banyak belajar tentag topik ini dan dari teman-teman. Hari Kamis kami mengejar deadline pengumpulan esai untuk entri contract drafting. Kupikir deadlinenya besok, ternyata malam hari kamis! Besok adalah deadline pemberitahuan kepada narahubung yang terkait. Dua jam sebelum pergantian hari, kami benar-benar mengerjakannya dengan kecepatan penuh, bahkan ada pertanyaan yang belum sempat terjawab (mungkin karena sebab ini juga kelompok kami tiddak lolos seleksi). Hari Jumat berjalan dengan damai. Aku bolos kelas hansek; rasa kantuk tidak dapat kulawan lagi, jadi kuputuskan untuk tidur hehe. Malamnya aku mengadakan rapat dengan diisi humas dan medkre Lawper, membahas proker di bulan April nanti. Hari Sabtu, aku tidak melakukan apa-apa. Entah ya, setiap weekend, rasa malasku lebih tinggi dari hari-hari biasa. Kerjaanku hanya main hp, tiduran di kamar, dan tidak melakukan apapun yang produktif. Oleh karena itu, malamnya kuputuskan untuk belajar hansek yang sempat tertinggal kemarin. Tapi malam ini aku tidak dapat menyelesaikan satu bab full, hanya setengahnya. Lagi-lagi rasa kantuk mengusik waktu-waktu produktifku.
Jadi malam ini setelah belajar, aku menulis tulisan ini agar (terlihat) sedikit produktif. Kuakui, semester ini menjadi semester paling sibuk dibandingkan semester sebelum-sebelumnya. Namun, aku begitu menikmati kesibukan ini, enatah apa yang merasukiku (padahal aku lebih suka rebahan daripada menjadi orang sibuk). Aku suka saat aku punya hal yang bisa kukerjakan — walaupun tetap menunda-nunda pekerjaan, sih. Tinggal beberapa hal yang harus kuurus: pergi ke kejari jaksel untuk mengkonfirmasi perihal magang (hhhh aku benci ketidak pastian birokrasi Indonesia). Lalu untuk minggu besok, aku berencana mencicil materi hansek karena minggu depan uts hansek diadakan. Oh, kelupaan, aku juga harus menyelesaikan tugas kelompok agraria yang tidak kumengerti sama sekali.
Semoga minggu esok bisa lebih baik lagi dari minggu ini! Aku berharap urusan perkuliahanku diberikan kelancaran dan kemudahan hingga akhir. This week is a hellish one, but i could pass through this!
Celestia H. (28 Maret 2021)
0 notes
Photo
There were once two landlocked boys Who always said they would visit the sea They put it off until it was too late It was too late for so much by then The two boys were quite in love Not enough time to be satisfied Not enough time to grow mild Not even enough time to be bored again. The ocean welcomed them, her last guests And at last they were free.
hope you all enjoyed the 10 part series!
497 notes
·
View notes
Photo
“I looked and looked at her, and I knew, as clearly as I know that I will die, that I loved her more than anything I had ever seen or imagined on earth. She was only the dead-leaf echo of the nymphet from long ago - but I loved her, this Lolita, pale and polluted and big with another man’s child. She could fade and wither - I didn’t care. I would still go mad with tenderness at the mere sight of her face.” -Humbert
3K notes
·
View notes
Photo
Omg finally another art of christopher and nadine!

Christopher C. Locket & Nadine A. Harper from Lucid Dream
I found so many representations in this particular pic… E.g. If it seems like you’re about to hug them, they’ll never know you: [are holding them back] [are strangling them] [are about to stab them in the back]. Spoiler much.
[It Takes Two #1]
10 notes
·
View notes
Note
Liu Bei is a fraud and we need to cancel him.
He has large ears.
46 notes
·
View notes
Text
Juni dan Agustus
Agustus Wajendra—atau yang lebih suka dipanggil “Gus” menyalakan rokoknya, meraih earphone dari kantung celananya, lalu berbaring santai di bangku taman kota. Sesekali, ia menyundutkan rokoknya di ujung bangku yang digunakannya untuk berbaring. Di pemutar musiknya terpampang beberapa lagu pilihan yang selalu ia putarkan. Total dua belas lagu dari beberapa aliran musik—pop, punk rock, ballad, jazz, dan country. Irama music yang mengalir ke gendang telinga Gus mengiringi tidur siangnya yang sunyi. Ia telah tertidur lelap pada saat lagu ketiga mulai berputar. Rokok pertama yang ia isap sudah habis; menyisakan puntung rokok yang dibuangnya sembarangan di bawah bangku taman. Hari itu hari Minggu di bulan Agustus yang terik. Angin muson timur membawa sepoi-sepoi kering, membuat Gus nyaris berbugil di taman kota. Namun, ia masih memegang teguh norma kesusilaan, membuatnya mengurungkan niat untuk melakukan hal konyol tersebut.
Tiga puluh menit, Gus masih terlelap—jatuh dalam mimpi indah tak berujung yang membuatnya terlena untuk bangun dari tidur. Meskipun keringat mengucur dari pelipis kepalanya, Gus tetap menolak untuk bangun. Lagu yang berputar di telinganya adalah yang terakhir. Sebelum lagu terakhir selesai berputar, Gus dikagetkan dengan sekaleng minuman dingin yang menampar pipi tirusnya. Gus yang saat itu sedang berbaring seketika langsung lompat dari bangku, dan tanpa basa-basi merebut kaleng minuman dingin sambal berteriak kaget.
“AH!” sekelibat senyum menyambar pandangan Gus. Ia bergidik ngeri. “Juni!”
Seorang perempuan muda yang melempar senyum kepada Gus duduk di sampingnya. Perawakannya tidak terlalu tinggi, surainya memantulkan hitam legam, dan senyumnya benar-benar cerah—seperti padang bunga matahari yang baru merekah di bulan Juni, persis seperti namanya: Juni Kaluna.
“Gus! Pemalas sekali, tidur siang di taman kota siang-siang begini,” Juni masih dengan senyum cerahnya, pandangannya lurus ke arah gus dengan tatapan mengejek.
Gus yang tengah berusaha membuka minuman kaleng menyembur Juni dengan intonasinya yang memuakkan. “Apa kau tidak bisa berhenti menggangguku?! Kau menyebalkan sekali, Juni.”
Juni tidak menghiraukan perkataan Gus, ia malah terdistraksi oleh punting rokok yang tergeletak berantakan di dekat sepatu Gus. Wajahnya langsung berubah muram. Sedangkan Gus yang meperhatikannya bersiap-siap jikalau Juni akan meledak lagi.
“GUS! Tidak—Agustus Wajendra Jayabaya, sekali lagi aku menangkap basah kau sedang merokok, aku tidak segan-segan melaporkanmu pada Khasa!” Juni setengah berteriak mengancam Gus. Wajahnya memerah; ia betul-betul marah.
Gus, bergeming sekian detik sebab terlalu takut menatap Juni yang marah dan sedikit kecewa dengannya. Tak lama kemudian, ia mulai membuka mulutnya, “Baiklah, Juni, dengarkan aku dulu: itu bukan bekas rokok yang kupakai, sejak tadi memang ada di situ.”
Tapi Juni tidak percaya. Alih-alih mendengar kebohongan yang tentu saja, sangat tolol, ia menjejalkan tangannya ke dalam saku celana pendek hawaii milik Gus. Tangannya yang kuru situ menggenggam sekotak rokok bermerek gudang yang selalu dipakai oleh Gus. Habis riwayatnya saat itu: Gus tertangkap basah!
“Aku tidak ingin marah-marah kepadamu. Aku akan telepon Khasa.”
Gus mendadak berkeringat dingin. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi. Khasa adalah mimpi buruk untuk Gus. Lelaki jangkung dengan wajah galak itu selalu mendisiplinkan Gus dengan cara militernya yang kejam. Khasa—Angkhasa Maheswara—adalah “kakak”-nya Gus. Mereka memang tidak sedarah, namun sepanjang dua puluh satu tahun , Gus dan Khasa selalu hidup bersama. Mereka terpaut tiga tahun perbedaan usia. Secara singkatnya, Gus dan Khasa adalah sepupu.
0 notes
Text
summer 1979.
tuesday night, i remember we sneaked out from your bedroom on the second floor. We stole your dad's pickup jeep, rode it straight to downtown at 2 am. It was summer 1979, you wore halter neck top and cutbray jeans, and your shoes matched with me—an old fashioned converse.
you smiled brightly as the stars that shines that night. That lips didn't say a single word but i felt shady. I couldn't relinquish my gaze at your beautiful looks, and it made me blushing all the way to downtown. You'd never notice it because i was embarrassed.
jeep parked on the edge of a hill behind downtown. I brought a liter of coke and chips. We laid down on the back of jeep, enjoying the night while laughing over stupid things we did back then. This atmosphere reminds me of Patti Smith Group's Because of Night, you told me so. Then why don't we attend their concert sometime?, i asked you spontaneously. You just smiled while chewing chips.
almost dawn, we went home with endless laughter. The Rolling Stones' Miss You was playing on the radio. We sang along like an uncontrolled teens. You were so happy that you shouted out the window. Unfortunately, you ran out of energy and ended up sleeping. It was a night with a lot of fun.
summer 1979, and i was so in love with you, and still do.
1 note
·
View note
Text
The time that Ryan Ross was catfished by a fan pretending to be Brendon Urie (Masterpost)
In 2012, an obsessive Panic! at the Disco fan named Chelsey Lynn used the powers of the internet to forcibly insert herself into the lives of her favorite band members—most notably catfishing Ryan Ross for about nine months under the guise of being Brendon Urie. Yes, this really happened.
Chelsey was particularly obsessed with Brendon and Sarah, and she didn’t even like Ryan all that much. She ran several fan blogs about the Uries, which would often release pictures never before seen by the public. All the fans were loving it. After all, who doesn’t love new pictures? What they didn’t know is that Chelsey had gotten the pictures through deception, and it would soon get a lot worse.
She had hacked several accounts of people close to Brendon and Sarah Urie, and even made puppet accounts purporting to be their family members. She made spreadsheets and long documents on her computer listing their relatives, addresses, their relatives’ addresses, and other highly personal information. Many of their private photos ended up on Chelsey’s blogs. And sometime around September 2012, she hacked Shane Valdez’s Facebook account, which kept him locked out of it for over a month.
And through Shane’s account, Chelsey messaged none other than Ryan Ross and got his actual phone number. (For her part, Chelsey claims that she got Ryan’s phone number through one of his friends.)
She pretended to be Brendon, wanting to be rekindle their friendship (which had officially fractured sometime around 2010). Ryan was naively receptive to the idea, and began texting who he thought was his former best friend.
Chelsey was so obsessed with Brendon that she could mimic his speech patterns, to the point that Ryan was completely fooled. Of course, Ryan had no reason to doubt “Brendon’s” authenticity, and either way, he was going through a tough time in his life and needed emotional support wherever he could find it. Chelsey/”Brendon” also made a convincing fake Instagram account, which Ryan followed and regularly left comments on.
After about nine months (Chelsey claims it was six) of catfishing Ryan, which brings us to early August 2013, Chelsey began to regret her decisions and became depressed and suicidal. Several Tumblr users, most notably @dallonsmiles (AKA Hannah Bear), figured out what was going on with the Facebook accounts and got her to confess over Skype.
But in addition to owning up to her crimes, Chelsey also admitted to being in contact with Ryan, which no one knew about yet. She bragged about all the information she’d gotten from Ryan. She had fished for details and gotten him to open up about Panic’s split, his family issues, his relationship issues with Z, his broken friendship with Brendon, and more.
The screenshots are highly personal and disturbing, because she’s bragging about information that Ryan shared in confidence. I am not going to post everything (someone has to respect Ryan’s privacy, after all!), but this is a brief taste of the conversations:
Hannah Bear may have played along to get in Chelsey’s good books, but she immediately messaged Ryan’s then-manager Shane Morris about it, and thankfully Shane actually took her seriously. Shane broke the news to Ryan, who was embarrassed and horrified (as you can imagine), and then he got back to the worried fans—thus confirming that this actually happened.
Chelsey was not done, however, and released screenshots of several of her actual text conversations with Ryan. Again, I am not going to post them (or links to them) out of respect for Ryan. If you really want to see them, Google exists.
Chelsey also released an apology letter on Tumblr:
I’d like to apologize to Brendon Urie, for deliberately impersonating him to friends, fans and affiliates, I’d like to apologize to Ryan Ross for impersonating a long time friend and convincing him of consolation with said friend, obtaining information from him about events involving his life, music, and past. Information was shared with a few people online regarding the situation of Ryan’s friendship with Brendon Urie.
I would like to apologize to Sarah Urie for impersonating her, and her husband, and taking up her time regarding the situations involving me.
I’d like to apologize to Hannah Brown, Ronnie Morgan and any other fans I have spoken to as Brendon or about the situations involving Brendon, family members, or Ryan Ross.
I’d like to apologize to Shane Morris for involving him in this situation, and that the situation had to turn out like this.
I would also like to thank Shane Morris for not taking any legal action as long as I am to never contact Ryan Ross or any of the other band members again.
I’d like to apologize to the fanbase, for making a complete falsification of what a true fan really is, I am aware also that I am in need of therapy and medication to continue my life and move on in a healthy manner. I am sorry for lying to all of them about where I obtained certain information and where I obtained private photo’s. All private photo’s and information have been removed from my computer, all accounts have been deleted and all phone numbers or addresses have been removed as well. I severely hope there is never anything like this in the fandom again, and that it continues on healthier and stronger without fabrication and drama.
I am aware that Shane Morris has taken my contact information, and will use it in regards of me ever contacting his artist again.
I am aware that what I did was wrong, immoral, obsessive, compulsive and unhealthy. I am also aware that anyone I have wronged or convinced of my personification as Brendon Urie can take legal action against me, though I severely hope they do not.
Shane has given me a list of therapists in my city, so I can choose and speak to them, Before Shane gave me the link to said therapists I was already looking into admitting myself into a mental ward for 2 weeks. I will be keeping Shane posted on my situation regarding therapy and moving on with my life without my Monomania, Depression and Personality Disorders. I am fully aware now that what I have done is wrong, and everything that I obtained was illegal, private, and immoral. This experience has made me want to be a better person, a person that doesn’t keep up a facade, because they don’t like who they really are. I have learned that people aren’t just toys you can take out of the box and play with and put back in, they are people with feelings, lives, and goals. I am sorry for mistreating every person I’ve spoken to. I am looking forward to changing my future in the best way possible. In a way this was a good thing for me, I finally got the karma I deserved and probably needed.
I’m sorry for being a huge waste of everyone’s time, I will get better. I want to.
-C.K.
As you can imagine, this experience left Ryan worse for wear. His life began to spiral out of control throughout 2013, and he was clearly unwell. Shane Morris even unhelpfully spread rumors that Ryan needed to be checked into rehab.
These are his first two Instagram posts after finding out the truth in late August 2013. And, um, they’re pretty disturbing in context.
His first post-catfish selfie also showed some signs of distress:
As you can imagine, this experience may have ruined whatever chance Ryan and Brendon had of ever rekindling their friendship. It is very telling that Ryan thought he could be friends with Brendon again specifically because the person texting back was not, in fact, Brendon. This horrible betrayal of Ryan’s confidence probably gave him a chance to reevaluate whether he’d want to be friends with Brendon again.
So, when they actually ran into each other in real life at Adam Levine’s Halloween party in 2015, Brendon decided to try to be friends again.
And Ryan did not text the real Brendon back.
~Mod C
SOURCES: (x) (x) (x)
P.S. Basically, this is a large part of why we here at Pathetic! at the Disco are asking everyone to Leave Ryan Alone! He has suffered more than enough already, especially from his fans. Please Leave Ryan Alone!
P.P.S. Chelsey is still VERY ACTIVE in the Panic! fandom and is still up to her old tricks. She has immensely popular accounts on Instagram and YouTube, under the name of brendonurievines. Please spread the word about her misdeeds so everyone won’t accidentally support such a cruel individual.
5K notes
·
View notes
Text







Selasa, 24 September 2019.
Cepat sembuh, Indonesiaku.
1 note
·
View note
Text
Reformasi Dikorupsi: Cerita Tentang Tanggal 24/09/19
Selasa, 24 September 2019.
Katanya, hari ini akan ada demo besar-besaran oleh mahasiswa. Di mana-mana orang-orang ribut membicarakan klimaks dari demo mahasiswa hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya. Tak satu pun siaran stasiun televisi yang tidak memberitakan tentang kemelutan dan ketegangan yang sudah berlangsung di Senayan sejak awal september.
Kuingat hari sebelumnya, pemimpin kami meraungi massa di depan gedung perwakilan rakyat. Janjinya begini:
“besok, kami akan menjanjikan massa yang lebih banyak dari hari ini!”
Maka, pada hari ini, tanggal duapuluh empat September, kupijakkan kaki di gedung fakultas dan melihat seruan-seruan yang dipilok di atas kain putih dengan tulisan-tulisan:
“TURUN KE JALAN, ABSEN DI SENAYAN 24.9.19”
“KANTAS TUTUP, BUKA DI SENAYAN”
“DEMOKRASI DIKORUPSI, KOSONGKAN KELAS”
Seruan-seruan itu membuat hatiku terguncang. Ada rasa yang menyeruak dalam diri, mengatakan bahwa aku harus mengikuti aksi hari ini (sebab aksi-aksi sebelumnya tak pernah ikut). Dengan memantapkan hati, kuputuskan bahwa hari ini aku akan menjalankan demokrasi secara langsung; menuntut para perwakilan rakyat yang tuli untuk mendengarkan aspirasi kami, para mahasiswa.
Sayangnya, hari itu aku tidak bisa mengosongkan kelas. Ada jadwal pagi yang menuntut untuk diikuti terlebih dahulu. Maka pada siang harinya, aku baru bisa turun ke jalan bersama kawan-kawanku yang lain.
Hari itu Jakarta terlihat muram. Panas dan terik menjadi peluh yang membasahi jaket kuning yang kukenakan. Tapi tak apa, demi kepentingan rakyat banyak, aku rela panas-panasan mengikuti aksi untuk mewakili suara mereka. Serta, mendesak agar RUU-PKS segera disahkan.
Stasiun-stasiun disesaki oleh mahasiswa-mahasiswa ddengan jaket almamater yang berbeda-beda. Kami berdesak-desakan dalam gerbong yang sempit dengan satu tujuan yang sama: Stasiun Palmerah, tempat mobilisasi mahasiswa.
Di Stasiun Palmerah, kulihat banyak mahasiswa dari kampus berbeda terkonsentrasi di sini, untuk dimobilisasi ke Senayan. Sejak turun dari stasiun, para mahasiswa berdendang lagu-lagu nasional sembari berpindah peron. Aku begitu takjub melihat pemandangan langka tersebut. Ketika menunggu di Stasiu palmerah, beberapa kelompok mahasiswa terkadang menyanyikan yel-yel mereka, bahkan menyanyikan Indonesia Raya. Saat Indonesia Raya tersiar nyanyiannya oleh para mahasiswa di stasiun, ada rasa merinding dan bangga yang merebak dalam diriku. Perasaan yang membuat rasa nasionalisku meronta-ronta. Aku begitu bangga mengikuti aksi hari ini.
Menjelang sore, kami baru dimobilisasikan dari Stasiun Palmerah, berjalan membuat barikade menuju Senayan agar barisan tidak terpecah-pecah. Masih segar diingatanku tentang hari itu; hari di mana aku membuka mata dan pandanganku tentang keadaan di jalan. Kuberi tahu saja, dahulu aku membenci mahasiswa yang demo. Tapi lihatlah sekarang, aku adalah seorang demonstran! Di tahun pertamaku menjalani kuliah, aku mendapatkan kesempatan langka yang barangkali hanya terjadi duapuluh tahun sekali.
Kami disambut dan diberi jalan oleh para demonstran lain. Dengan sesak menyusuri Jalan Lapangan Tembak yang dipenuhi lautan demonstran. Mereka meneriaki berbagai macam hal, ada pula yang berorasi, sebagian menyanyikan lagu dan yel-yel. Saat itu aku berjalan tergesa-gesa sembari takjub. Berpikir begini: kapan lagi dapat kusaksikan secara langsung solidaritas mahasiswa generasi Z yang dianggap “apatis” ini? Mereka telah terbangun dari tidur! Tersadar dari internet yang menggerakkan mereka untuk berdemokrasi di jalanan.
Hari itu, aku bertemu dengan beberapa teman semasa sekolah menengahku. Aku senang sebab mereka menjadi bagian dari sejarah ini. Begitu pula denganku. Aku menjadi bagian dari sejarah yang kelak akan dituliskan di buku-buku sejarah di sekolah.
Namun hal yang disayangkan adalah, kloterku tidak dapat longmarch sampai depan gedung perwakilan rakyat. Katanya, di sana keadaannya sudah kacau dan tidak aman. Aku sangat menyayangkan hal tersebut. Kami tertahan di depan Hotel Mulia Senayan.
Hari sudah mulai sore. Koordinator lapangan menyuruh kami untuk bergerak sebab di belakang ada gas air mata. aku sempat terkena sisa-sisa gas air mata, walaupun hanya sedikit ternyata lumayan perih. Dengan cepat, kami bergerak memutar menuju Plaza Senayan. Hari sudah menjelang maghrib. Pukul enam sore, aksi telah seleai dan kami dipulangkan.
Tak menyesal aku mengikuti aksi hari ini, mengikuti kelas tambahan di jalanan Senayan. Tentang hari ini, kelak akan aku ceitakan kepada anak cucuku bagaimana demokrasi berjalan.
Panjang umur perjuangan! Hidup Mahasiswa!
1 note
·
View note
Text
Selamat Kembali ke Rumah
hari ini aku kembali bertemu
dengan dia, pujangga kesayanganku
setahun sembilan bulan melanglang buana
mencari, mencari,
entah apa yang dicari
mendapatkan, mendapatkan
entah apa yang didapatkan
wajah mungilnya yang sayu, serta senyumnya yang merekah—
masih segar di ingatanku betapa aku jatuh hati kepadanya
peluk yang didamba masih bersisa hangat,
air mata yang pernah jatuh masih terasa basah,
dan ucapan selamat tinggal seperti baru kemarin diucapkan
kini tubuhnya membawanya kemari,
ke tempatku,
ke rumah
hari ini aku kembali bertemu
dengan dia, belahan hidupku
aku tak pernah berubah ketika dia kembali
hanya untuknya,
kupersembahkan raga ini sebagai rumah
untuknya disinggahi,
untuk kembali ke pelukan
sebab yang dirindukan hanya dua:
kehangatan dan;
kebahagiaan
untukmu, pujanggaku
selamat kembali ke rumah
senantiasa kudoakan agar
engkau nyaman di rumah
semoga engkau menemukan kebahagiaan
di rumah.
0 notes
Text
Melaut.
Pagi tadi, seorang anak pamit kepada Bapaknya,
“Bapak, aku hendak melaut membela negeri; sementara kau carikan sepotong ikan untuk malam nanti, aku kail masa depan yang dijanji.”
Bapaknya mengangguk dan mereka bersalaman; mencium tangan; menepuk bahu Anaknya memakai jas, Bapaknya memakai topi sama-sama lusuh;
Laut mereka tak sama; satunya nelayan ikan satunya nelayan masa depan
Arkian keduanya sama-sama pelaut dibesarkan dengan ombak dididik dengan mentari
Semua telah biasa, jadi mereka tak takut
Siang tadi, seorang anak teringat kepada Bapaknya
“Bapak, hari ini lautku warnanya merah; tidak biru seperti milikmu dan aku tak mengenalinya, namun aku tidak takut.”
Bapaknya mengangguk dan mereka sempat ingat; masa lalu; tawa; nestapa Bapaknya baru melempar kail ketika mata pancingnya tersangkut di nyawa masa depan
Jatuh tersungkur tenggelam terhanyut tak kenal deru angin yang mengipasi kepala tak kenal usap riak yang menyanyi nina bobo tak kenal sengat mentari yang menuntun jalan
tak kenal tak kenal tak kenal tak kenal
Dia masih muda, jadi dia tak takut
yang dikenalnya hanya dendang Bapak di tengah samudera sana; bahagia (semoga dia selalu bahagia) Nafasnya tersengal-sengal dan yang dilihatnya bukan lagi bayang-bayang lima tahun ke depan dimana dia membikinkan rumah untuk Bapak Tapi dia ingat Bapaknya, jadi dia tak takut
Malam tadi, seorang Bapak meraungi anaknya
“Anakku, laut apa yang kau terjang; badai apa yang kauhempas, masa apa yang kauhidupi?”
Anaknya tak bisa mengangguk dan Bapaknya menangis; tersendat-sendat; jatuh duduk bersimpuh menyalahkan dunia, menanyai semesta kurang baikkah dia menempa seorang nelayan hingga laut lepas tak bisa ditaklukkan? atau kurang baikkah dia dalam mendoakan laut yang terhampar di depan mata?
Ikan-ikan sekarat yang di perahu kecilnya memperhatikan Siapa yang duduk bersama mereka hendak melaut bersama bersenandung bahagia;
dia mati muda
peluru bersarang di dada, gentar tak ada di kedua netra
(Tribut untuk Randi. September 2019.)
5 notes
·
View notes
Text
Hotel California
On the dark desert highway
Cool wind in my hair
Warm smell of colitas
Rising up through the air.
0 notes