Text
since the cycle will end,
how wholehearted,
how sincere,
how unwavering,
how solemn,
how faithful do you fight for it
?
0 notes
Text
Lose Myself
I used to grow my own evergreens.
not the prettiest kind but the hearts are moving.
I nurtured them.
breaking all the walls
shutting all the doubts
I used to grow my own evergreens.
not the grandest kind but the deeds were sprouting.
I nurtured them.
sailing isle to isle,
walking mile to mile.
and now
blurred mirrors, dirty shoe-rack and a shattered temple.
I lose track of mine
I lose my self
but who's fault
?
0 notes
Text
Bakung Lelabah Merah Prolog
Aku mengernyitkan mataku, setengah sadar. Kepalaku terasa berat bahkan leherku tak mampu menahanya untuk tetap tegak. Telingaku mulai dapat menangkap suara. Derik jangkrik dan serangga lainnya bersahutan. Mataku serasa menempel satu sama lain. Pipiku terasa pegal. Ada sesuatu yang mengganjal di mulutku. Saat aku akan memeriksa benda tersebut, tanganku tertahan oleh sesuatu, tak mau bergerak. Perasaan tertahan tersebut mulai munculdi sekujur dada juga tulang keringku. Semuanya terasa kaku. Aku mencoba untuk meregangkan badanku. Namun kembali, tangan, badan dan kakiku tertahan lagi. Aku berusaha keras membuka mataku sekarang. Cahaya remang ruangan masuk ke sela-sela kelopak mataku. Siluet kemerahan terlihat buram di depanku. Bunga. Lukisan setangkai bunga berwarana merah mekar dilatari dengan warna hitam legam.
"Dimana aku?" tanyaku lemas dalam hati.
Aku segera menunduk kebawah. Jiwaku teguncang. Kesadaranku pulih sepenuhnya.Aku menemukan alasan kenapa badanku kaku dan tertahan. Beberapa lilit tambang membebat tangan, badan dan kakiku. Baru aku sadari juga seikat kain melilit dimulutku. Aku semakin panik.
"HMMRRGGHH HMMMRHHGHHHH!!!"
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Namun hanya erangan tak jelas yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku seketika kering berbanding terbalik dengan mataku yang sudah berlinang air mata ketakutan.Nafasku cepat memburu namun sedikit tersendat oleh kain lusuh dimulutku. Aku melihat sekitar dengan panik. Aku berada di tengah tengah ruangan kosong. Lantainya kotor dan temnboknya penuh jamur. Tidak ada satupun barang di ruangan ini selain lukisan bunga didepanku. Ada jendela tertutup rapat di sisi kananku dihiasi oleh tirai penuh debu. Tak ada cahaya yang masuk dari jendela tersebut menandakan hari sudah malam.
"APA INI MASIH HARI SENIN? APA YANG SEBENARNYA TERJADI?! APA INI HANYA MIMPI SEMATA?!" jeritku dalam hati penuh tanya. Aku mulai terisak —putus asa.
Pundakku bergetar naik turun. Kepalaku mulai pening. Tiba-tiba, terdengar suara motor tua mendekat. Suaranya makin kencang terasa dekat lalu mesinnya mati. Aku muai berteriak lagi tak karuan.
"TOLONGGG!! TOLONGGG!!" Suaraku masih teredam mau seberapa kencang pun aku berteriak.
Suara klik kunci terbuka dari kejauhan. Aku berteriak makin kencang. Serak sudah suaraku. Namun aku tak memeikirkan hal itu yang penting aku bisa selamat! Langkah berat menaiki tangga kayu terdengar. Suaranya semakin lama semakin dekat. Aku terus berteriak. Suara klik kunci terdengar di belakangku diikuti dengan bunyi derit pintu yang terbuka. Aku mencoba menoleh kebelakang namun nihil. Aku hanya bisa membolak-balik leherku ke kiri dan kanan.
"TOLONG AKUUUU SIAPAPUN ITUUU!! AKU MOHOONN!!" Aku yakin orang itu tidak tahu apa yang kukatakan. Akan tetapi rasa panikku sudah pasti tersampaikan.
Aku berharap penuh orang yang masuk keruangan tempat aku disekap dapat menolongku. Tapi keputusasaan ini mengaburkan nalarku. Bahwa orang yang baru saja tiba ini, bisa saja menolongku keluar dari sini atau dia lah yang menaruhku di posisi ini.
Bersambung
0 notes
Text
Separuh Indraloka 006
Aku masih dikolong mobil.
Aku terbangun oleh adzan Subuh yang berkumandang. Aku menunggu hujan reda begitu lama sampai aku ketiduran. Aku masih merinding mengingat petir yang saling sambar kemarin. Apalagi kejadian sebelumnya. Aku tak sanggup membayangkannya kembali. Hidungku gatal. Tak lama aku bersin dengan cepat beberapa kali. Lendir keluar dari hidungku. Aku mengusapnya dengan asal. Karena semalaman hujan, suhu subuh ini begitu menusuk dinginnya. Sepertinya percuma aku mempunyai bulu di sekujur tubuhku tapi masih merasa dingin seperti ini. Atau mungkin karena semalam badanku tidak kering jadi aku menggigil saat ini. Aku jadi ingin membawa tubuh Owi ke Indraloka milik Mama supaya bisa diperiksa.
Aku jadi ingat, ada tempat yang harus aku tuju. Aku keluar dari rumah tempatku berteduh semalam. Aku sudah bisa melihat gedung apartemenku. Aku memindahkan pandanganku ke arah rumah Si Gadis Riang. Aku jadi teringat Udug. Aku harus segera sampa ke apartemen sebelum Udug melihatku. Aku ingin berlari tapi badanku benar-benar lemas. Apa kucing bisa masuk angin juga yah? Pikirku dalam hari.
Aku sampai di apartemenku 10 menit kemudian. setelah mengendap-endap dan menaiki tangga darurat melewati basement, aku sampai di depan pintu kamarku. Namun aku menemukan masalah lain. Bagamaina aku bisa masuk kedalam bila pintunya dikunci.
//
Aku sudah menunggu dua jam di depan pintu bergelung seperti keong. Namun tidak ada tanda-tanda dari diriku sudah bangun. Atau mungkin dari kemarin aku tidak bangun sama sekali yah? Aku sudah merasa putus asa. Padahal hanya tinggal sedikiti sja aku bisa melihat tubuhku. Meski aku tak yakin apa yang harus aku lakukan setelah aku melihat diriku sendiri di dalam sana.
Tiba-tiba telingaku menangkap suara dari arah tangga darurat. Telingaku mengacung. Apakah ini Rio? Semoga ini Rio! Ujarku dalam hati. Seseorang keluar dari lorong pintu darurat. Pak Beni! Ia baru pulang Jogging melihat dari pakaiannya. Dia tetangga sebelahku. Aku memanfaatkan kesempatan emas ini untuk menarik perhatiannya.
Aku duduk tegak untuk mengambil perhatiannya lalu aku mencakar-cakar pintu dana menyundul pintu tersebut seolah-olah aku ingin masuk ke dalam. Padahal memang iya aku harus masuk ke dalam. Pandangan Pak Beni berjalan tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Ia pun membuka pintu apartemennya dan memanggilku.
"Sini kamu masuk lewat balkon aja, dari lusa belum dia tutup itu jendela di balkonnya, aku jadi agak cemas" Aku melesat dan benar saja dari Balkon Pak Beni, aku dapat melihat balkon apartemenku dan aku langsung memasukinya.
Aku melihat tubuhku tergelepak di kasur. Dari bau badannya, aku bisa tahu bahwa ia tidak bangun dari lusa. Aku menatap tubuhku.
Aku masih bingung kenapa sebenarnya aku dapat masuk ke tubuh Owi. Aku pun tidak tahu bagaimana untuk dapat Kembali ke tubuhku ini. Aku memandangi wajahku yang terlihat Lelah. Wajah yang Lelah sudah mengikuti apa yang Papa inginkan selama bertahun-tahun. Saat aku Kembali aku berjanji untuk bisa mengikuti apa yang aku inginkan yaitu mengejar separuh Indralokaku. Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipiku. Saat tanganku menyentuh kulitku, semuanya menjadi gelap.
//
Aku sedang berjalan di jalan pemukiman warga yang sering kulewati.
Aku menatap rumah putih dengan halaman yang luas di depannya. Aku sudah memasuki halaman tersebut dan berada tepat di depan pintunya. Di jendelanya, terdapat stiker sensus penduduk dengan tiga nama.
Bambang Rahardjo.
Risma Sumartini.
Azka Khoirunnisa Rahardjo.
Oh jadi nama si Gadis Riang adalah Azka.
Aku mengetuk pintu rumah tersebut. Tak lama keluar Si Gadis Riang dengan mata yang sembap. Rambut dan auranya terlihat berantakan.
“Hi, namaku Rio, aku ingin mengembalikan kucingmu, Owi. Di hilangkan sejak kemarin?”
Aku memperlihatkan tas ransel kucing transparan milikku. Muka Azka terlihat senang. Ia menangis sambil menggendong Owi. Mengharukan. Ia memeluk Owi begitu kencang sampai Owi mengeong kesakitan dan melompat dari pelukan Azka.
“Aduh makasih ya Rio” ucap Azka sambil mengusap air matanya. “Ada yang bisa aku lakukan untuk membalas jasamu?” Pertanyaan tepat.
Aku menghela nafas. Lalu membalas. “Mau bikin Indraloka bareng aku ga ?”
0 notes
Text
Separuh Indraloka 005
Aku sedang berada di jalan pemukiman warga yang sering kulewati.
Ternyata Si Gadis Riang tinggal disini. Yang berarti aku melewatinya hampir setiap hari. Mindblowing. Aku pun mulai melangkah berlawanan dengan arah yang Si Gadis Riang tuju.
Oke biasanya aku berjalan pelan menghabiskan 15- 20 menit untuk sampai ke apartemenku. Bila aku berlari, pasti akan lebih cepat.
Aku pun mulai berlari dengan gesit. Sore ini cukup cerah dan matahari sore bersinar hangat. Banyak warga yang beraktivitas. Tubuhku sedikit memberikan sinyal untuk melambat. Aku jadi berjalan lebih perlahan dan lebih was-was. Sepertinya ini insting alaminya Owi. Aku pun mengikutinya. Aku berjalan dengan tubuh lebih rendah seperti mengendap-endap. Aku sedang melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain bola. Aku berjalan menyusuri tembok tembok pagar rumah —khawatir terkena bola atau tertendang anak-anak. Telingaku tegak menjadi rada dan mataku awas. Setiap teriakan anak-anak membuat badanku bergidik. Sungguh beberapa meter yang menegangkan. Setelah melewati anak terakhir, aku memilih berlari-lari kecil saja. Cukup melelahkan ternyata.
Setelah melewati gerombolan anak-anak tadi, aku menyadari sesuatu. Karena mata dan telingaku yang fokus, aku tidak begitu memperhatikan bau-bau dis ekitarku. Aku baru sadar kalau jalan ini memiliki bau pesing yang pekat. Selama aku melewati jalan ini dengan badan manusiaku, aku tak pernah menciumnya. Namun, sekarang aku menciumnya dan membuatku cukup mual.
Aku hampir sampai di ujung jalan. Gedungnya sudah terlihat makin besar. Biasanya di bagian jalan ini aku pasti berhenti untuk memberi makan....
... Aku baru ingat sekarang dari mana asal bau yang pekat ini. Di situlah mata kita beradu. Udug menatapku di tempat yang sama kemarin kita bertemu. Dia masih terduduk hikmat menikmati senja di atas singgasananya. Namun kali ini tatapannya berbeda dengan kemarin. Daerahnya baru saja dimasuki kucing asing. Tuan mana yang tidak marah bila kekuasaannya disusupi tanpa izin. Aku bergidik. Telingaku bergerak saling menjauh. Bulu-bulu ekorku mencuat bermekaran. Udug turun dari atas pagar menghampiriku perlahan dari arah depan. Aku tetap berjalan mencoba menghindarinya. Udug semakin mendekat. Ia mencegatku lalu mengendusku. Secara refleks, aku mengayunkan cakarku dan berdesis padanya. Udug pun mundur beberapa langkah. Anehnya Dia malah mengambil jalan memutar ke arah sampingku. Dia terlihat tak peduli denganku dan terus berjalan ke arah belakang.
Apa ini tandanya dia takut padaku? Apa aku artinya bisa masuk dan melewati teritorinya?
Aku memutuskan melanjutkan langkahku. Akan tetapi aku lengah. Udug menerkam tanpa suara di belakangku dan langsung melompat menimpakan badannya dipunggungku. Tengkukku pun digigitnya. Aku langsung kehilangan tenaga. Aku mencoba membalikkan badan, namun berat badan Udug jauh lebih besar dariku. Belum lagi Udug adalah Preman kucing-kucing disini, sudah pasti tenaganya tidak main main kuatnya. Memang dari awal tujuan Udug mencegatku bukan karena aku yang memasuki daerahnya.
Aku mengeong dengan kencang meminta tolong.
RUAAAAWWW RUAAAAWW. Sepertinya percuma aku meronta-ronta pun.
Udug masih menggigit tengkukku dan mulai menggoyangkan pinggulnya untuk menari posisi yang pas. Aku sudah ingin menangis. Di situlah harapan muncul. Si Poni berlari ke arah kami yang menjalani ritual sepihak ini. Setelah Ia mendekat, sama, Iya mengendus tubuhku dan menonton menunggu di sampingku menunggu gilirannya. Sialan. Bukannya membantu malah ingin melakukan hal yang sama, tak tahu malu emang! Aku jadi sebal mengingat mereka adalah dua dari belas-belas kucing yang kuanggap sebagai kawan. Aku mencoba menurunkan pinggulku ke bawah dan menggoyangkan-goyangkan ekorku untuk menghalangi jalan Udug. Udug melawan balik dengan menggertak menakutiku dan memperkeras intensitas gigitanya.
Aku memikirkan Si Gadis Riang. Aku harap Ia datang menolongku.
Di saat aku pasrah akan apa yang terjadi, tetes hujan turun satu persatu, hitungan detik hujannya sudah deras. Udug melepaskan gigitan di tengkukku. Dia dan Si Poni sudah berlari tunggang langgang segera mencari tempat untuk berteduh. Aku masih lemas. Hujan sudah banyak mengenaiku. Aku tidak suka pulang dengan keadaan kuyup
//
Aku menemukan sebuah toko kelontong yang cukup hangat untuk berteduh.
Aku terduduk dengan badan yang sedikit kuyup. Dingin. Meskipun bulu-bulu ini menghangatkan, tapi apabila bulunya basah, sepertinya fungsinya jadi terbalik. Aku menjilati badanku yang masih sedikit basah. Beberapa orang masih datang ke kelontong meskipun hujannya cukup deras. Mereka melewatiku karena aku berada tepat di lorong masuk yang tidak begitu besar. Lebarnya selebar lorong di pasar swalayan kecil namun ada beberapa rak berisi jajanan anak-anak ditaruh di lorong tersebut. Aku duduk sedikit ke pinggir supaya tidak menghalangi jalan orang orang yang melintas.
Aku selesai mengeringkan tubuhku. Meski masih sedikit lembap tapi setidaknya lebih baik. Waktu sudah memasuki maghrib, hampir Isya. Aku masih mengingat kejadian sore tadi. Aku tidak tahu bagaimana perasaan kucing betina biasa bila hal itu terjadi pada mereka, tapi seorang laki-laki yang terjebak ditubuh kucing betina, kejadian tersebut membuatku merinding. Seorang ibu dan anak perempuannya datang menerjang hujan deras menggunakan payung datang ke toko kelontong. Seketika, si anak menjerit "BU ADA KUCING! TAKUTTT!" Si anak merapat ketakutan ke badan ibunya dan maju terseret pelan-pelan. Mereka pun masuk toko kelontong.
Tak lama, sebuah sapu melayang di sampingku. Tak mengenaku namun cukup membuatku kaget. Pemilik toko berada di belakangku sambil mencoba mengusirku dengan gagang sapunya. Aku hanya berdiri karena kalau pergi aku bingung harus kemana. Si pemilik toko pun masih mendorongku menggunakan sapunya terus menerus. Aku masih bertahan sambil menengok ke hujan yang masih deras. Lalu si pemilik toko berusaha lebih keras. Ia menghunuskan ayunan sapu yang cukup keras ke badanku dan mengenai perutku. Aku agak mual dibuatnya. Aku pun mengalah dan berlari menuju hujan. Selang 2 rumah dari toko kelontong aku menemukan rumah dengan mobil di halaman rumahnya. Aku pun berlindung di kolong mobil. Tubuhku sudah basah sepenuhnya. Aku menggoyang-goyang badanku dengan cepat untuk melunturkan endapan air di bulu-buluku.
Aku harus menjilati sekujur tubuhku lagi.
Baru aku mulai menjilat tubuhku, sekilat petir menyambar dengan kencang. Aku melompat lalu badanku menggulung seperti keong. Telingaku layu. Mataku membulat dan berair. Hujan making menjadi diikuti petir-petir yang saling bersahutan.
Kapan ini akan berakhir? Gumamku. Aku takut petir dan badan Owi pun mengamplifikasi rasa takutnya. Sepertinya Owi benci hujan petir juga.
0 notes
Text
Separuh Indraloka 004
Aku masih berada di rumah Si Gadis Riang, berdiam diri di tempat yang belum pernah kudiami sebelumnya baik sebagai manusia atau sebagai kucing. Di atas lemari.
Sejak pagi, Aku merasakan menjadi majikan yang seutuhnya. Aku sudah dua kali tidur siang hari ini. Disela-sela itu aku hanya makan, makan dan makan. Sesekali Si Gadis riang mengajak bermain sebentar, mengusapi kepala dan perutku. Sebenarnya aku ingin mencari cara untuk bisa kembali ke tubuhku. Akan tetapi, pertama, aku tidak tahu caranya. Kedua, setelah makan, aku selalu mengantuk. Rasa kantuknya tak tertahankan. Seolah-olah aku sudah bekerja seharian. AH IYA! Pekerjaanku! Bagaimana dengan pekerjaanku. Apakah aku tidak dicari oleh orang-orang di kantor. Aku kira setelah menjadi kucing aku tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu. Nyatanya, aku masih tidak bisa menyingkirkannya.
Aku memutuskan untuk turun dari lemari ini, Aku harus menggerakkan tubuhku supaya tidak mengantuk lagi. Aku turun melompat ke lantai dan mendarat dengan mulus. Aku menggeliat mencoba meluruskan punggungku yang pegal. Aku merentangkan tanganku —atau kaki depanku ke depan dengan pinggul yang masih menungging. Bentuk tubuhku sudah seperti perosotan anak-anak di taman bermain. Kemudian aku mendekatkan ke empat kakiku dan berjinjit ke atas. Sekarang badanku seperti huruf 'n' tinggi. Aku senang badanku bisa selentur ini.
Aku pun berjalan berkeliling. Rumah SI Gadis Riang tidak begitu besar. Namun terasa luas karena tidak memiliki sekat antar ruangannya. Tidak banyak perabot dan barang barang lainnya, jadi aku memiliki banyak ruang untuk bergerak. Satu lagi yang khas dari rumah ini, wanginya seperti vanilla. Aku tak menemukan sumber wangi vanilanya, tetapi wangi tersebut memenuhi seluruh ruangan.
Aku melenggok masuk ke dalam kamar Si Gadis riang. Ekorku tegak lurus ke atas, sesekali kugoyangkan ujungnya. Ruangannya sengaja digelapkan. Tirai-tirai di jendela tertutup. Lampu dimatikan. Aku memasuki ruangannya dengan pupil mata membulat dan tanpa suara —tenang. Kulihat SI Gadis Riang sedang bermain laptop dengan penyuara telinga tanpa kabel di telinganya. Sepertinya ia tidak sadar kalau aku sudah masuk teritorinya. Akan aku kagetkan dia hehe. Kau berjalan mendekatinya tanpa suara sedikit pun. Aku berancang-ancang untuk melompat ke meja belajarnya dan hap. Aku muncul di pinggir laptopnya.
"Astagfirullahaladzim!" Si Gadis terlonjak di kursinya lalu mengusap-usap dadanya.
"Owi! Kamu kok tengil banget! Huuuu" Si Gadis protes
Aku terkekeh dalam hati. Lalu insting Owi menuntunku untuk berlabuh di atas laptop Si Gadis Riang. Aku menekuk tapak tanganku ke dalam dadaku. Ekorku kulilitkan ke badan. Hangat. Pantas saja banyak kucing yang melakukan ini saat 'pembantu'nya sedang bekerja. Sebuah notifikasi pesan masuk di laptop. Si Gadis memangkuku di pahanya. Namun, selang beberapa saat, Ia menurunkanku. Lampu kamar dinyalakan. Ia bergerak panik mengumpulkan barang-barang.
"Owi, kamu tunggu dirumah duluyah, aku ini diminta kekantor sebentar, aduh kenapa sih hari Sabtu gini masiiiih aja... Mana sore gini orang orang pasti malam mingguan...." Si Gadis terus mendumel sambil mondar-mandir mencari ini dan itu. Aku sibuk menjilati lenganku yang kurasa sedikit kotor. Aku bisa mengerti apa yang Ia rasakan. Di waktu seharusnya kita istirahat namun masih saja harus bekerja. Si Gadis berlari keluar. Aku sekarang sedang menjilati bagian perutku yang kurasa sedikit kotor juga. Aku baru tahu ternyata menyamankan saat aku menjilati tubuh seperti ini.
Di luar, Si Gadis masih terdengar sibuk. Begitu pula aku. Sepertinya sekujur tubuhku perlu dijilat atau lebih manusiawinya dibersihkan. Aku mulai menjilati makin bawah menuju area selangkanganku. Namun, sedikit susah menjangkaunya dengan posisiku sekarang. Aku yang tadinya jongkok, sekarang duduk dan mengangkat satu kakiku ke atas —tegak lurus. Kubersihkan bagian selangkanganku. Aku sedikit takjub dengan begitu lenturnya tubuh ini. Sepertinya bila ada balet kucing aku akan mendaftar. Eh tunggu sebentar. Aku menyadari ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang kurang di area selangkanganku. Aku memandangi dengan seksama.
ASTAGA! OWI ITU BETINA?!
Aku yang masih termenung, dikagetkan dengan suara heboh diluar kamar.
DUK!
CRANG!
AWWW!
Gadis Riang!
Aku belari-lari keluar ruangan dengan tubuh kucing betinaku ini.
//
Aku berlari melompat-lompat keluar ruangan dan mendapati Si Gadis Riang sedang terduduk dengan muka meringis. Ia memegangi kakinya.
Miauw miauw? Tanyaku memastikan ia baik baik saja sambil mengadukan kepala dan badanku di pinggangnya.
"Aku gapapa, Wi. Tadi kakiku kepentok meja terus gelas minumku jatuh deh kelantai, tuh sebelah situ. Kamu jangan kesitu dulu ya." ujar Si Gadis Riang sambil mengusapi kakinya.
"Dan kamu tau bagian mana yang kepentok, Wi? Kelingking kakiku. UUUUH sakit banget tau, Wi. Kamu pasti belum pernah ngerasain kelingking kaki terpentok. Jangan deh jangan sampe"
Sayangnya, aku sudah sering merasakannya. Si Gadis Riang kemudian bangun dan membereskan serpihan kaca di lantai. Aku berjongkok di sampingnya. Tunggu sebentar. Aku memfokuskan pandangan pada kalung tanda pengenal kantor Si Gadis Riang di lehernya.
Warnanya sama! Modelnya serupa! Dan itu logo yang digunakan kantorku. Ternyata aku dan Si Gadis Riang satu kantor!
Tunggu sebentar.... Kalau begitu, aku bisa mengikuti ia ke kantor lalu aku pergi ke apartemenku dan bertemu dengan tubuhku kembali! Aku pun berlari-lari kecil ke arah pintu. Menunggu pintunya dibuka oleh Si Gadis Riang. Sesampainya di depan pintu. Aku duduk berjongkok memandangi pintunya.
Tak lama Si Gadis Riang muncul.
"Eh Owi, kamu ngapain nunggu disini? Kamu mau keluar yah? Nanti yaaa aku sebentar kok ke kantornya, nanti setelah aku pulang, kita jalan-jalan bareng, okay?"
Ia membuka pintunya sedikit demi sedikit sambil menahanku untuk tidak keluar. Aku mencoba menerobos sambil bercericau.
Miaawn Miaaaw miaaaw. Aku hanya ingin ikut ke kantor sebentar.
Aku melihat ada celah sempit di antara daun pintu dan kaki Si Gadis Riang. Aku menyeruduk ke depan tetapi satu kaki Si Gadis Riang lebih cepat menutup celahnya. Aku tersontak mundur ke belakang. Si Gadis Riang sigap menutup pintu lalu menguncinya. Tertutup sudah kesempatanku.
Aku tak menyerah. Aku membalikkan badan. Telingaku bergerak-gerak seakan mencari sesuatu. Pupil mataku menjadi tipis segaris. Aku mencoba mencari jalan lain untuk keluar. Oh di kamar Si Gadis Riang ada jendela. Aku baru akan berlari, namun telingaku menangkap suara langkah mendekat. Benar saja. Tak lama terdengar suara kunci dimasukkan. Aku berjalan mundur ke sudut pintu bagian dalam. Pintu pun dibuka sedikit dan Si Gadis Riang menyelinap dari celah sempit.
"Dompet, dompet, dompet dimana yaaa" bisik Si Gadis Riang pada dirinya sendiri sambil melengos. Dasar ceroboh. Ia tak menyadari bahwa aku bersembunyi dibalik pintu. Aku melesat secepat mungkin. Aku pun keluar. Halaman rumah Si Gadis Riang cukup luas. Ada taman kecil dihiasi rumput-rumput yang dipangkas rapi dan banyak tanaman di dalam pot pot besar. Ada pohon jambu air yang rimbun menjulang tinggi. Aku berlari-lari kecil ke arah pohon tersebut dan bersembunyi dibaliknya. Saat Si Gadis Riang keluar nanti aku akan mengikutinya dari belakang. Rencanaku dalam hati. Si Gadis Riang mengunci pintu kembali. Sepertinya ia tak repot-repot mencariku. Ia berjalan tergesa-gesa, membuka pagar dan menutupnya lagi. Aku berlari mengejarnya. Aku menyelinap di sela-sela pagar. Aku lalu melihat ke arah Si Gadis Riang berjalan.
Eh ini kan.......
Aku melihat Si Gadis Riang berjalan hampir berlari. Namun aku tak mengejarnya. Aku terkesiap melihat pemandangan jalan di luar rumah Si Gadis Riang. Aku tahu jalan ini. Aku membalikkan badan ke arah sebaliknya dari Si Gadis Riang. Mataku membelalak. Pupilku memenuhi mata. Di ujung jalan, aku dapat melihat apartemenku menjulang tinggi.
Bersambung ke 005
0 notes
Text
Separuh Indraloka 003
Aku sedang menggesek-gesekan badan di kaki-kaki meja.
"Owiiii, kamu pasti belum makan yah?" Gadis riang ini menaruh belanjaannya asal di samping pintu.
"Tadi aku sebelum ke pasar, aku lihat kamu masih tidur. Nyenyaaaak banget! Mimpi apa siih Owiiii tuuh?" Ia berjongkok di depanku dan menelungkupkan kedua tangannya di pipiku. Begitu ia menggerakkan jemarinya, badanku dilanda gelombang rasa nyaman yang membuncah. Ia mengusap, atau mungkin menggaruk dengan lembut, seluruh bagian kepalaku. Mulai dari leher, dagu, rahang bawah bahkan hingga belakang telingaku tak luput dari sentuhan magis ini. Aku terpejam dengan syahdu. Keempat tungkaiku mulai lemas dibuatnya. Purrrrrrrrrr. Dengkuran panjang keluar dari tenggorokan. Aku menjatuhkan badanku ke sebelah kiri dan berguling membalikkan badan beberapa kali. Gadis itu berhenti mengusapiku.
Aku membuka mata. Hei! Mau kemana? Ayo lanjutkan. pleasee?
"Kamu pasti lapar, Owi. Sini, aku kasih kamu menu istimewa hari ini"
Begitu Gadis itu melihat isi rumahnya, ia kaget karena rumahnya berantakan. Karpetnya sedikit miring dan terlipat, Bantal di sofa berjatuhan. Tumpahan sereal berhamburan di lantai. "Aduuuh Owiiii! Ini kenapa berantakan semua. Kamu habis dikejar setan?" Aku dikejar-kejar fakta bahwa aku berubah menjadi kucing putih, jawabku dalam hati. Ia kemudian merapikan karpet, memunguti bantal-bantal sofa dan menyapu sereal di lantai. Aku tak mengindahkan. Aku memilih mencuci mukaku. Aku menjilati dan membasahi ujung tanganku —atau kaki depanku lalu aku mengusapkannya ke muka. Aku melakukannya beberapa kali. Bila aku melihat kucing melakukan hal ini dulu, akan muncul rasa gemas. Tapi sekarang aku mencoba hal tersebut. Aku sedikit mual karena bau mulutku yang sedikit anyir. Huweeek.
Gadis itu melenggang ke dapur dan anehnya badanku otomatis mengikutinya. Ia lalu mengeluarkan sekaleng makanan yang tidak asing dari rak di atas kepalanya. Kalengnya berwarna putih. Badanku merespons senang. Tiba tiba ada sesuatu yang ingin keluar dari tenggorokanku.
"Miaaaaw, Miaaaaaw, Miaaauw" Eh, padahal aku tak ada niatan untuk berbicara. Ini sepertinya respons kebiasaan badan Owi yang asli. Dia mungkin sangat menyukai makanan ini. Aku tak berhenti mengeong. Sesuatu bergetar diperutku.
Si Gadis terkekeh "Kamu tuh selalu ya, berisik tiap kali aku menyiapkan makanan ini. Tenang saja, Wi" Ia kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan hp. Aku masih mengeong ria sembari menyunduli betis gadis itu seolah berkata Cepat. Cepat. Perutku sudah lapar. Aku pun mendongak ke atas —masih cerewet bermiaw-miaw. Kulihat Si Gadis sedang mengarahkan kamera handphonenya padaku. Eh apa aku direkam? Aku mengeong lebih kencang kesal. Ia akhirnya menaruh handphonenya di meja makan. Sebenarnya, aku masih syok. Nafsu makanku hilang. Namun, badan ini meronta-ronta minta makan.
"Nih habisin yaaa Owiiii gembuul. Aku mau mandi dulu. " Ia menepuk lembut kepalaku sekali. Aku memandangi mangkuk makanku yang berisi bubur ikan berwarna keabuan berbau amis ini. Aku menarik kepalaku ke belakang, mataku mengernyit dan menatap sinis pada makanan itu. Menjijikkan. Aku menahan dorongan untuk makan dari tubuh ini. Aku berjongkok dan menatap ke bibir meja —mengukur-ngukur. Aku berancang-ancang untuk lompat. Entah mengapa pinggulku ikut bergoyang dan hap. Whoa keren. Aku takjub karena berhasil melompat ke atas meja yang tingginya dua kali badanku.
Aku melihat layar handphone si Gadis masih menyala. Aku mengintip. Pupilku seketika menipis karena cahaya dari layar. Aku mendapati halaman Instagram yang masih terbuka. Owi_Snowy. Oalah ia memiliki akun Instagram untuk Owi. Aku mencoba menggeser layarnya untuk melihat foto-foto di akun tersebut. Tanganku —atau kaki depanku mengulur ke layar dengan kaku. Aku tak bisa menggeser layar tersebut. Aku malah berakhir menepuki handphonenya. Aku menyerah dan turun untuk menyantap sarapanku dengan enggan.
//
Ternyata tak seburuk baunya. Rasanya seperti memakan bubur namun berbahan dasar ikan. Sedikit keasinan tapi aku santap habis semuanya. Si Gadis riang baru keluar dari kamar mandi. Ia kemudian membuka kulkas, tangannya menjulur masuk lalu keluar dengan satu karton susu Almond. Ia menuangkan sereal lalu susu yang tadi ia bawa ke dalam mangkok. Aku memerhatikannya, masih dari bawah meja makan. Agak aneh sebenarnya, aku belum terbiasa melihat semuanya dari perspektif yang lebih rendah. Aku jadi harus banyak mendongak. Perhatianku teralihkan ke kayu di sebelah rak televisi yang dililit tali rami. Tiang garukan! Aku berjalan menghampirinya. Dengan cepat, aku mencakar-cakarkan tanganku —atau kaki depanku ke tiang tersebut. Uuuuu satisfying. Tak lama Si Gadis duduk di sofa di belakangku. Ia menaruh mangkuk serealnya di meja dan menghampiriku. Ia menggendongku. Ia pun duduk bersila di sofa dan mendudukanku di pangkuannya.
Nyaman. Aku mulai bergelung membulat. Si Gadis mengambil remote televisi sambil melahap sarapannya. Televisinya sangat besar seperti layar bioskop. Setidaknya di sudut pandangku. Huruf N besar berwarna merah muncul di layar. Selanjutnya, seri drama Korea muncul. Aku memilih untuk tidak menonton film tersebut. Aku menaruh dagu di tanganku—atau kaki depanku dan bersiap untuk tidur.
Belum ada 5 menit, Si Gadis menaruh mangkuk serealnya dan mulai mengusapi atas kepalaku. Menenangkan.
"Owi. Tadi di pasar aku lihat kucing, anak kucing lebih tepatnya. Ada tiga bersaudara. Badan mereka kering. Sepertinya belum makan berhari-hari. Kasihan" Aku tidak dapat melihat wajahnya tapi sentuhannya terasa sendu.
Kenapa tidak dibawa kerumah saja? Ucapku dalam hati.
"Tapi kalau di bawa pulang nanti Ayah dan Ibu pasti ngomel. Buat ngizinin punya kamu aja, mintanya setengah mati. Aku bingung juga kasihan."
Oh aku kira tinggal sendiri disini. Terus mereka dimana?
"Apa aku bawa saja yah sekarang, lalu aku izin nanti saat Ayah dan Ibu pulang dari Umrah?"
Oh umrah. Lebih baik sih jangan agar tidak memicu masalah.
"Sepertinya, bisa dilakukan." elusannya terasa bersemangat sekarang.
"Kalau nanti dimarahi yasudah tidak apa-apa. Yang penting aku sudah berusaha. Daripada aku kepikiran terus dan menyesal. Oke! sudah kuputuskan, besok akan kubawa pulang tiga anak kucing itu, tapi sepertinya harus aku rawat di luar saja deh. Nanti berantem lagi sama kamu, Owi. Owi seneng ngga, akan punya adik tiga ekor?"
Aku tidak iri dengan adanya kucing lain. Aku iri dengan keberaniannya. Andai saja aku bisa seperti itu. Usapannya semakin mendamaikan. Aku yang masih terpejam seperti di nina-bobokan.
"Coba yah, Wi. Ada semacam tempat penampungan kucing yang nyaman dan bisa jadi tempat mereka bermain, tidur, makan, kan seru yah. Aku jadi ingin membuatnya deh. Jadi nanti Owi juga ga kesepian Haha Nanti aku coba obrolin deh sama Ibu. Siapa tau Ibu bisa bantu. Meski tidak mungkin di izinkan sih. Paling aku disebut gila. HAhahaha"
Aku langsung terbangun. Kepalaku mendongak terkejut dengan apa yang kudengar. Mata membuka lebar dan pupil yang membulat penuh. Indraloka! Itu Indraloka! Mendengar orang lain mempunyai mimpi yang sama membuatku bersemangat.
Miauw, Miauw, Miauw.
"Owi kenapa? Kok kayak yang kaget, bangun bangun langsumg cerewet gitu. Lucu deh kamutuh"
Ah sial! Aku baru ingat aku tidak bisa bicara. Aku terus mengeong sambil berjalan memutar tak tentu di pangkuan Si Gadis. Ia sepertinya bingung.
"Aduh mau apaa siiih Owii? Ga biasanya secerewet ini. Gih bobo lagi. Aku mau beres-beres dulu"
Ia menurunkanku dan beranjak pergi ke dapur. Aku tadinya ingin mengejarnya dan mencoba menyampaikan bahwa kita punya mimpi yang sama, bahwa kita berbagi mimpi yang serupa tapi percuma. Suaraku tak akan terdengar.
Aku tahu.
Aku harus kembali ke tubuhku terlebih dahulu.
0 notes
Text
Separuh Indraloka 002
Aku sedang berada diruangan gelap.
"PAPA BILANG JANGAN!"
"PAPA KAN UDAH SERING BILANG KAMU JANGAN JADI KAYAK MAMAMU!"
Setelah amukan langit dengan petir juga angin, amukan Papa adalah hal yang paling aku takuti. Muka Papa merah menyala. Suaranya menggelegar seangkasa —murka. Aku hanya terdiam tak berani menyelesihi meski hati kecil ini masih mendambakan berada di Indraloka.
Iya, Pa. Aku akan tetap bekerja di kan…..
Tunggu mengapa suaraku tak keluar? Suaraku tercekat di pangkal lidahku. Aku meraba-raba leherku mencari sesuatu yang janggal. Nihil. Tetap suaraku tak mau keluar. Aku panik. Peluh mulai menyeruak di dahiku. Belum selesai dengan kepanikan ini, Papa lanjut menyecarku.
"KALAU KAMU MASIH GAMAU NURUT RIO, PAPA GAPEDULI RIO!"
"IKUTI APA YANG MAMAMU LAKUKAN!"
"KAMU SENDIRI YANG AKAN TANGGUNG AKIBATNYA!"
Suara Papa menggelegar bergema di telingaku —memekakkan .
//
Aku terbangun dari mimpiku dengan tidak menyenangkan. What a nightmare. Aku langsung menguap yang entah mengapa mulutku serasa merentang lebih lebar. Mulutku anyir. Rasanya seperti tuna. Padahal seingatku aku tidak memakan ikan semalam. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan tetap masih buram. Aku mengucek mataku sambil terpejam. Tanganku terasa lembut. Saat kubuka mataku masih agak buram. Aku memicingkan mataku dan ruangan pun terlihat lebi….
EEHH DIMANA AKU?! INI BUKAN KAMARKU?!
RUMAH SIAPA INIIII?! APAKAH AKU…..
Aku tercenung. Apa aku diculik? Aku memerhatikan sekeliling. Semalam aku pulang dengan selamat bahkan mandi dengan hikmat juga. Aku bahkan sudah berada dalam selimut. Aku mengusap-usap daguku—mencoba berpikir. Tanganku terasa lembut kembali. Aku memandangi tanganku yang penuh dengan bulu-bulu lembut berwarna putih.
Pantas saja lembut soaln…
HAAHH BULU APA INI?!!! Badanku melenting keatas kaku saking kagetnya. Aku mendarat dengan ke empat kakiku.
ASTAGA SEJAK KAPAN AKU PUNYA EMPAT KAKI?!?! Aku menendang-nendang lantai dengan berontak berancang-ancang untuk berlari. Aku pun melesat dengan kencang entah mencoba melarikan diri dari apa. Sekitarku menjadi kabur saking cepatnya. Aku melompat ke sofa, berlari berkeliling di karpet, menabrak mangkuk plastik di lantai hingga menendang tumpah kotak sereal di atas meja makan. Aku terus berlari tak terkendali. Begitu pun pikiranku. Seisi ruangan jadi berantakan. Begitu pula pikiranku.
DIMANA AKU?!
MENGAPA BADANKU PENUH BULU?!
KENAPA KAKIKU ADA EMPAT?!
ARRRRGG! SEKUJUR TUBUHKU GATAL!
INI APA TERASA GELI DIUJUNG PUNGGUNGKU?!
HAAH SEJAK KAPAN AKU PUNYA EKOR?!!!!
Tunggu sebentar…
Tanpa aku sadari aku memanjat tirai jendela yang cukup tinggi—sekitar dua meter dari lantai. Aku sudah berada di atasnya. Cakar keluar dari ujung jari buntetku menancap di kain tebal ini. Aku menggantung. Kacau! Aku takut ketinggian. Lengan dan kakiku mulai pegal. Aku melepaskan cakarannya dan terjun bebas ke lantai. Aku pasrah. Tanpa kusadari, badanku memutar. Aku mendarat dengan halus dengan ke empat kakiku lagi. Perasaanku bercampur aduk. Takut. Bingung. Panik.
Aku berubah menjadi kucing.
//
Aku masih berada di rumah orang asing.
Aku mencoba menenangkan diriku meskipun tidak bisa. Aku terduduk sembari memperhatikan buluku berwarna putih salju. Aku menggerakan telingaku kanan kiri atas bawah. Aku mulai membiasakan diri dengan memicingkan mata atau tidak untuk menyesuaikan pandanganku yang buram. Penciumanku terasa lebih kuat dari biasanya. Aku mengibas-kibaskan ekor layaknya kemoceng. Begitu banyak yang musti dicerna dengan perubahan ini. Namun satu hal yang paling ku pikirkan.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Apa ini semacam mimpi lainnya? Atau mimpi di dalam mimpi seperti di Inception ? OH! Apa ini kutukan dari Papa padaku? Soalnya di mimpi Papa terlihat sangat marah. Aku tahu Papa memang tidak sesempurna itu tapi aku yakin Papa jauh dari hal-hal berbau klenik seperti pergi ke dukun. Apalagi sampai mengutuk anaknya sampai menjadi kucing.
Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Apa alasannya?
Perutku terasa gatal. Aku duduk berjongkok lalu leherku menekuk ke arah perut dan kujulurkan lidahku lalu menjilati badanku. Aku sedikit kaget karena bisa selentur ini. Pada awalnya terasa aneh menjilati badan sendiri. Namun setelah dicoba rasanya seperti menyisiri rambut yang tersebar di sekujur tubuh.
Aku meratapi tanganku. Di telapakku terdapat lima gumpalan daging berwarna merah muda. Telapak tangan kucing. Sebenarnya ini melebihi mimpiku untuk hidup bersama kucing. Aku malah menjadi kucingnya. Siapa yang tidak senang bisa menjadi apa yang diinginkan.
Aku mencoba membiasakan diri berjalan dengan empat kaki. Aku melenggok kesana-kemari. Aku melihat foto dipajang di dinding. Namun aku tidak bisa melihatnya begitu jelas. Foto itu di gantung cukup tinggi. Aku baru menyadarinya. Semuanya terasa lebih tinggi atau aku saja yang jauh lebih pendek dari biasanya. Yang terlihat dari fotonya adalah bayang-bayang foto keluarga. Pandanganku terasa kurang jelas seperti orang dengan rabun jauh.
Sekarang giliran leherku yang gatal. Di pikiranku, aku ingin menggaruknya menggunakan tanganku. Namun kakiku refleks naik menjangkau leher sampingku dan langsung menendang-nendang cepat bagian yang gatal. Aaaaaaah enak betul.
Seketika, telingaku berdiri. Leherku mendongak. Mataku menjadi awas. Suara kunci diputar terdengar dari pintu. Tak lama, seorang gadis muncul dari daun pintunya membawa tas belanja besar.
"Owiiii, aku pulang!" teriak si gadis. Owi? Siapa Owi? Awalnya aku berlari dan bersembunyi di bawah meja karena tak tahu itu siapa, tapi entah kenapa ada dorongan dari badanku untuk menghampiri gadis itu.
"Owii, pus puss puss." panggil gadis itu dengan riang. Aku menyerah terhadap dorongan tersebut dan membiarkan badanku berlari pelan menghampiri sumber suara.
Oh, Sepertinya ini babuku.
//
Bersambung ke 003
1 note
·
View note
Text
Separuh Indraloka // 001
Aku sedang di pasar swalayan kecil.
Sudah hampir 5 menit aku menelanjangi etalase mie siap saji didepanku naik dan turun . Tepekur sambil kuusapi daguku. Aku masih bingung rasa apa yang harus aku makan malam ini.
Rasa Mie goreng Rendang ? Di cuaca mendung seperti ini, mie dengan kuah lebih nendang.
Rasa kari ayam? Aku baru memakannya semalam.
Rasa Ayam Bawang dari merk tandingan? Kuahnya sih oke tapi tekstur mie nya terlalu tipis. Tidak mengenyangkan.
Rasa Soto Lamongan ? Terlalu asin. Aku tak mau dapat stroke ringan.
Rasa kuah Jalapeno ? Pedasnya membakar lidah. Esensi kuah mie siap saji yang gurih pun hilang. It is a big no.
Rasa lada hitam ? …..
Aku berfikir sejenak.
…. Aku tak menemukan alasan untuk tak membelinya malam ini.
Aku segera mengambil dua bungkus mie dengan kuah lada hitam itu. Cocok untuk menghangatkan tenggorokan juga. Aku bergegas berjalan ke kasir melewati koridor-koridor sempit khas swalayan kecil yang minim ruang gerak. Diluar sudah mendung. Awan gelap sudah menggulung siap menyemburkan muatannya. Aku benci bila harus pulang dengan keadaan kuyup.
//
Aku sedang berjalan di pemukiman warga.
"Aku sendiri disini menunggu~"
"Aku sendiri disini menanti~"
"Aku tak terbiasa untuk berharap~"
Lagu band tahun 2009 berdendang cukup keras di penyuara jemalaku. Selera musikku terjebak tak bergerak di 2014. Lagu-lagu yang dirilis setelah tahun tersebut aku anggap tak ada. Mungkin, lagu-lagu tersebut sesekali seliweran menjadi latar belakang suara di video-video di sosial mediaku. Namun Mereka hanya melintas tak menetap di daftar putar favoritku. Lagu-lagu dari masa kecil hingga remajaku dengan segala kedigdayaanya masih bertengger di telingaku tak tergantikan.
Langkahku lebih lebar dari biasanya. Angin-angin sudah berhembus membawa hawa basah pertanda hujan akan datang beberapa saat lagi. Beberapa anak-anak berlarian menuju masjid untuk pengajian ba'da magrib. Oh iya, ini Juma't malam. Aku terus melenggang sambil terus menoleh ke kanan dan ke kiri. Sebenarnya jarak kantor dan gedung apartemenku hanya 10 menit berjalan lurus tak perlu belok sana sini di jalan utama kota ini. Akan tetapi setiap pulang kerja, aku memilih jalan sedikit memutar melewati pemukiman warga. Aku rela berjalan 20 menit lebih lama untuk menemui mereka yang belum kulihat batang ekornya.
Kepalaku masih celingak-celinguk. Mataku menyapu setiap sudut jalan remang selebar satu mobil ini. Di ujung jalan, aku sudah bisa melihat gedung apartemenku menjulang tinggi kentara diantara rumah rumah warga di sekelilingnya.
"Aduh, mereka kemana sih" Aku sudah mulai risau.
Mataku kemudian terpaku pada gumpalan bulu berwarna abu gelap dengan dua runcing telinga siaga diatas bulat kepalanya. Kedua kaki depannya menekuk ke dalam dadanya tak terlihat. Matanya tertutup menikmati syahdunya permulaan malam ini.
"Udug! Pus pus pus puss!" Aku memanggil Udug yang sedang terduduk hikmat di atas tembok pagar rumah salah satu warga. Udug menoleh dan mengerjapkan matanya. Aku mengeluarkan wadah berisi makanan kering dari dalam tas selempangku dan kugoyang-goyang. Udug yang mendengar suaranya melompat lalu berjalan cepat menghampiriku.
"Aduh kamu kok makin dekil aja sih Dug? Berantem sama siapa lagi kamu hari ini?" Udug berjalan bergelung di betisku. Aku menepuk jalanan sedikit untuk mengibaskan debu-debu. Kutumpahkan seraup makanan keringnya disitu. Udug menyantapnya lahap tanpa mengeong sedikitpun.
"Dug, Si Poni mana? Kok ga ada sih?" Aku memutar badan mencari kucing putih dengan corak kehitaman di dahinya. Tak ada dimanapun. "Dug kamu ini aku lebihin yah makanannya, sisain yaa buat Si Poni. Awas jangan kamu habisin sendiri lho!" Udug tak bergeming sibuk menghabiskan makan malamnya.
Aku kembali melanjutkan jalanku. Biasanya aku akan berbincang dulu dengan Udug atau Poni tapi aku masih cemas bila saat tetes hujan pertama turun, aku masih belum sampai ke apartemenku. Mereka adalah dua dari belas-belas kucing yang kujadikan kawan. Mereka tersebar di beberapa tempat yang sering kukunjungi di kota yang baru kutinggali ini. Aku belum banyak menjelajah di kota ini. Hanya jalur apartemen-kantor, taman kota dan toko buku. Bila aku sudah menjelajahi lebih banyak tempat mungkin aku akan bisa membuat puluh-puluh atau bahkan ratus-ratus kawan baru.
"Jangan pernah berubah~ Ingat janjimu~"
Sejak kecil, aku selalu dikelilingi oleh hewan terutama kucing. Mama seorang dokter hewan. Hampir setiap minggu, selalu ada kucing yang dibuang didepan klinik mama. Ada yang sehat, namun lebih banyak yang sakit. Dengan beberapa kucing yang menjalani rawat inap, mungkin ada puluh-puluh kucing yang di tampung oleh Mama. Setiap pulang sekolah, bukannya bermain bola dengan teman-temanku yang lainnya, aku lebih memilih membantu mama merawat kucing-kucing di Felis Indraloka, nama klinik milik Mama. Mungkin itu juga alasanya, sekarang aku tak punya banyak teman manusia. Aku selalu membantu Mama memberi makan, mengisi wadah air minum dan yang paling seru adalah bermain dan berbincang dengan kucing-kucing disana.
"Ma, kenapa sih kucing kucing yang ada disini kebanyakan sakit-sakit?" tanyaku polos.
"Karena orang orang tahu, Kalau Mama bisa menyembuhkan mereka. Bukannya kamupun senang saat melihat mereka sudah sembuh dan berlari-lari lagi?" balas mama tanpa menoleh dari laporannya.
"Tapi kan aku juga ingin bermain dengan mereka disaat mereka sehat juga Maa. Sekarang kalau mereka sudah sehat, yang punyanya akan membawa mereka lagi atau kalau tak ada yang punyanya, Mama lepasin. Kalau aku bawa satu kerumah boleh tidak Ma?" aku memohon.
"Jangan dong, kan Papa ga suka kucing" tambah mama masih sibuk dengan pulpennya. Aku cemberut. Tapi sebersit ide muncul dikepalaku.
"Gimana kalau mama bikin tempat ini jadi rumah sehat kucing ? Jangan rumah sakit kucing. Jadi aku bisa bermain dengan kucing-kucing sehat. Gimana gimana Ma?" Aku menyahut bersemangat.
Mama terkekeh dan menaruh pulpennya. Ia melepas lalu menyelipkan kacamatanya disaku jas dokternya. Ia membalikkan badannya lalu mendekatiku. Ditatapnya mataku dalam-dalam.
"Rio anakku. Mama punya ide yang lebih bagus. Gimana .. Kalau Rio yang membuatnya saja kalau sudah besar? Jadi mama yang menyembuhkan, Rio yang membuat taman bermain untuk mereka jika sudah sehat? Bagaimana? Setuju? " Mama menjelaskanya dengan lembut dan sabar hingga kata-kata tesebut menelusup ke dalam diriku.
Mataku berubah penuh binar. "Aku suka idenya mama! Beneran boleh yah ma? Janji yah?"
Mama tersenyum lembut padaku. Menghangatkan. Mama menyodorkan kelingkingnya padaku. Aku mengaitkan kelingking mungilku mengiyakan.
Namun di umur 12, janji itu dikubur ke tanah selamanya bersama Mama. Mama meninggal. Papa menyalahkan hal yang sepatutnya tidak disalahkan. Pekerjaan, Indraloka dan segala isinya. Menurutnya, pekerjaan Mama yang membuat Mama terlalu banyak aktivitas, beban dan pikiran sehingga kesehatannya memburuk. Padahal aku yang melihat seberapa hidupnya Mama selama berada di Indraloka. Aku dijauhkan dari segala hal yang berhubungan dengan itu semua. Papa membuat rel kehidupanku agar tak bersinggungan dengan rel yang mengarah ke Stasiun Janji Mama. Baik dari sekolah, jurusan kuliah, hingga tempatku bekerja sekarang.
"Semoga, kau kan tetap~"
"Jadi apa yang kuinginkan~"
I wish, Ma.
//
Aku sampai di apartemenku.
Aku baru saja melangkahkan kaki masuk ke apartemen dan membuka sepatuku. Notifikasi whatsapp-ku berbunyi. Aku membuka aplikasinya. Oh grup whatsapp departemen di kantorku. Aku melihat sisi kanannya dan aku pun mengeryit. Ada logo '@' disisi kanan kolom pesannya. Pertanda isi pesannya untukku.
"Rio, laporan yang tadi sore belum beres gue pingin minta sekarang yah, gue mau pake datanya. Do it ASAP." 6.05
"I hope I can get it before 8." 6.13
Aku menghela nafas panjang. Aku melirik jam dinding di atas sofa, 6.35. ini bukan kali pertama aku harus melakukan pekerjaan dirumah cuma-cuma. Terhitung ini sudah ke tujuh kalinya padahal belum genap sebulan aku menjadi pegawai di kantor itu. Aku nyalakan laptop dengan enggan. Bila harus memilih, aku tak ingin bekerja disini kalau bukan Papa yang menyuruh. Pemilik perusahaan ini adalah sahabat Papa saat SMA. Bagaimana bisa aku keluar secepat itu tanpa membuat Papa marah? Tetapi menjalani hidup seperti ini mengikis kewarasanku.
7.43. Aku sudah menyelesaikan permintaan supervisorku. Tak menunggu lama, aku segera kirimkan melalui surel. Aku ingin segera mengenyahkan laporan ini secepatnya. Selepas pemberitahuan pesan terkirim memudar dari layar, aku mengenyakkan punggungku ke kursi. Energi terkuras tak bersisa. Tadinya sisa energi hari ini akan ku gunakan untuk melanjutkan kisah di novel fantasi yang sedang di ujung klimaks ceritanya. Harus kuurungkan. Bahkan untuk makan malam pun ku sudah tak berselera.
Tak sampai 5 menit, aku memilih untuk beranjak dari kursi sebelum rasa nyaman membalut tubuhku dan membuatku terlelap disitu. Kuseret paksa kedua kakiku menuju kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku perlahan. Entah mengapa melepas pakaian bisa seberat ini untuk dilakukan akhir-akhir ini. Aku mengenggam kran pancuran sambil ku tengadahkan tanganku yang lain untuk mencari derajat kehangatan yang pas. Nah ini. Aku segera melompat kebawah pancurannya dan merasakan kehangatan menjalar dari ubun-ubun hingga ke tumitku secara perlahan. Aku biarkan airnya membilas juga keletihan ini. Kucoba untuk membawa kehangatan tersebut kedalam relung jiwaku untuk memantik kembali bara mimpiku di masa lalu. Janji kelingkingku bersama Mama. Separuh Indralokaku. Namun, hari ini pun belum berhasil.
//
Aku sudah berada di kasur. 10.46.
Lampu kamar sudah kuredupkan. Selimut sudah kutambatkan. Namun mata ini masih belum kuizinkan untuk terpejam. Meski sudah mendeklarasikan bahwa keletihan tubuh ini tidak luntur setelah keluar dari kamar mandi, tapi nyatanya aku masih membuka Instagram selarut ini.
Masih ku jelajahi kolom explore Instagramku yang penuh dengan kucing di setiap barisnya. Mataku sudah cukup berat tapi masih kupaksakan membuka unggahan orang yang tak kukenal lagi dan lagi. Jempolku meng-klik satu video dengan keluku seekor kucing oranye menggemaskan.
"A day in my life with Oren"
Videonya menunjukkan kegiatan sang pemilik denga kucing oranyenya dari pagi hingga malam yang dilatar belakangi oleh lagu kekinian yang tak ada korelasinya sama sekali. Dari mulai kucing tersebut bangun, makan, bermain, pergi ke salon kucing, berjalan-jalan keluar, makan lagi.
Enak yah jadi kucing. Pikirku.
Jadi majikan. Hidup tanpa beban, makanan dikasih, kalau dekil dimandiin, dikasih tempat tidur nyaman tanpa harus bekerja. Ah enaknya. Mataku tiba-tiba terasa berat sekali. Aku terkantuk-kantuk dibuatnya.
Andai aku bisa merasakan menjadi kucing sehari saja. Aku mungkin akan......
Aku sudah jatuh terlelap. Tanpa kusadari bahwa esok aku akan tebangun dengan keadaan yang benar-benar berbeda.
Bersambung ke 002.
1 note
·
View note
Text
Lejar // Epilogue
"Assalamua'alaikum"
Tak ada yang menyaut. Sepertinya masih Hana belum pulang. Dinda membuka sepatu musim dinginnya. Ini pertama kalinya bagi Dinda merasakan musim dingin. Begitu pula pertama kalinya bagi Dinda jauh dari keluarganya dalam waktu yang cukup lama. Di sebulan pertama Dinda merantau, Ia menangis rindu hampir setiap hari. Kalau bukan bersama Hana, mungkin Dinda sudah terbang kembali ke Indonesia. Mereka saling menguatkan selama mereka berkuliah di New Zealand.
Dinda langsung menaruh tas ransel bunga-bunga favoritnya di meja belajarnya. Ia kemudian memandangi foto-foto yang gantung di dinding di atas meja belajarnya. Foto-foto bersama dengan Hana dan empat teman lainnya dari Indonesia. Mereka sering mengunjungi tempat-tempat indah atau hanya sekedar berkumpul dan makan-makan bersama. Berada di negara asing dengan mereka, sedikit mengobati kerinduan Dinda terhadap kampung halamannya. Setidaknya ia tidak merasa sendiri disini. Ia lalu memandangi foto di dalam bingkai kecil berwarna putih.
Didalamnya ada potret Dinda bersama Bapak, Ibu dan Alif di pagi hari sebelum Dinda pergi merantau. Bapak dan Ibu sedan memeluk Dinda sedangkan Alif berpose girang didepan mereka sambil berjongkok. Dinda tersenyum. Ia tidak menyangka sebelum bisa sedekat ini terdapat kejadian dimana momen tersebut menjadi titik balik bagi hubungan Dinda dan orang tuanya. Dinda jadi merasa sendu karena rindu keluarganya terutama Ibu.
Drrrtt drrrrttt
Dinda segera mencari handphone di dalam ranselnya.
Incoming video calls: Ibu
Panjang Umur! Baru saja aku memikirkannya lalu Ibu menelpon. Muka Dinda seketika sumringah. Dinda menggeser tombol hijau dilayarnya. Dinda tekejut. Layar handphonenya dipenuhi separuh wajah Bapak dari dahi hingga kumisnya. Dinda terkekeh melihat tingkah bapak yang selalu menelpon dengan handphone Ibu dan selalu menaruh handphonenya sedekat itu dengan wajahnya.
"Assalamu'alaikum Din. Lagi sibuk tidak?" tanya bapa. Lucunya, di layar hanya kumis bapa yang bergerak naik turun.
"Wa'alaikumussalam pak. Ngga nih, baru aja sampe apartemen. Kenapa bapak lagi kangen aku yah?" tanya Dinda jahil.
Bapak hanya tersenyum. Dinda anggap itu sebagai jawaban iya. "Gimana kuliahmu?" balas bapak mencoba mengalihkan pertanyaan barusan.
"Alhamdulillah lancar pak. Bapak udah makan siang? Disana baru saja Zuhr kan?"
Jika hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu, Dinda tidak bisa berbicara sesantai itu dengan Bapak. Momen Dinda pingsan di depan ruang tv merubah semuanya.
//
Tepat setelah badan Dinda menggelepar di lantai Ibu berteriak histeris. Ia mulai menangis sambil memanggil Bapa. Alif tiba terlebih dahulu.
"Bu! Kak Dinda kenapa bu!" Alif membalik badan Dinda supaya bisa memeriksa keadaannya. Tidak ada luka benturan atau yang lainnya. Alif mengecek nadi dan nafas Dinda. Ibu masih menangis kebingungan. Tak lama bapak datang tak kalah paniknya. Bapak bertanya pada Alif dan Alif menjawab
"kayaknya Kakak pingsan pak."
"Lif, carikan kunci mobil, kita bawa kakak ke klinik didepan komplek. Ibu tenang dulu yah bu kita ke klinik dulu bareng-bareng." Bapak terlihat tenang namun air mukanya mengguratkan kepanikan. Bapak kemudian membopong Dinda ke mobil untuk dibawa ke klinik.
Tak lama kemudian Dinda tersadar. Ibu, Bapak dan Alif bernafas lega. Menurut keterangan dokter, benar Dinda hanya pingsan dan mengalami dehidrasi. Dokternya pun bertanya apakah Dinda terlihat lelah, banyak pikiran atau stress akhir akhir ini. Ketiganya saling tatap dan menggeleng tidak tahu. Alif hanya memberitahu Dinda akhir akhir ini sering lembur di pekerjaanya.
Dinda diperbolehkan pulang malam itu juga. Dinda masih lemas. Ibu menawarkan Dinda makan atau sekedar minum teh hangat. Namun, Dinda meminta untuk langsung istirahat. Ibu mengiyakan dan menemaninya sampai Dinda benar-benar terlelap. Malam itu tidak ada yang membicarakan tentang pingsannya Dinda.
Keesokan harinya, Dinda yang harus istirahat dirumah, mendadak menjadi permaisuri. Ibu langsung membuat bubur kacang hijau untuk Dinda. Bapak menawarkan Dinda bila ingin memesan makanan via aplikasi daring. Alif yang biasanya tidak pernah keluar kamar, kini berdiam di kamar Dinda meski hanya sekedar menjadi teman mengobrol kakaknya.
Selepas sholat maghrib, Dinda sudah merasa enakan. Bapak yang sigap bila aku membutuhkan sesuatu, Ibu yang dengan cekatan menyiapkan makanan dan minuman yang membuat Dinda lebih bertenaga juga Alif yang menghibur Dinda dengan guyonannya. Dinda sudah lama tidak merasakan kehangatan itu dirumahnya. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Pikirannya tak sepenat kemarin. Ia merasa ini saat yang tepat untuk mengurai kekusutan ini.
"Mau kemana kak?" tanya alif yang sedang membaca novel dikamar Dinda.
"Keluar aja, bosen liat kamu terus. Ayo ikut sini Kakak mau ngomong sama Ibu sama Bapak juga"
Bapa dan Ibu sedang asyik menonton talkshow kesukaan mereka. Bapak melihat Dinda keluar dari kamar.
"Udah enakan Din? Mau makan sesuatu?" Bapak menoleh dan bertanya pada Dinda.
"Udah, Pak. Masih kenyang juga aku. Mau duduk disini saja sama Ibu sama Bapak." balas Dinda.
Akhirnya mereka berempat berkumpul di ruangan yang sama.
"Dinda mau ngomong sesuatu, Pak, Bu, Lif" Ibu segera mencari remote tv dan mematikan televisinya. "Maaf ya Dinda kemarin bikin heboh sekeluarga padahal cuma pingsan doang. Jadi sebenernyaa kemarin tuh...."
"Ibu yang minta maaf ya Dinda." Ibu memotong Dinda yang belum selesai berbicara. Suaranya sudah bergetar menahan sedih. "Ibu sudah denger semuanya dari Alif. Maafin Ibu menuduh Dinda ini itu..." tangisan Ibu pecah. Dinda bergeser mendekati Ibu sambil merangkul dan mengusap-usap pundak Ibu.
"Nggapapa Bu. Udah Ibu gaperlu sedih. Dinda kan sudah ngga kenapa-napa sekarang." Dinda mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis.
"Kak Dinda, aku juga minta maaf yah, pasti karena kakak memberikan tabunganya untuk kelas desain kemarin, Kakak pasti jadi pusing." Air mata Dinda akhirnya menerobos keluar melihat Alif yang ikut menangis. Suasananya jadi haru. Dinda pun bertukar pandang dengan Bapak
"Bapak juga ingin minta maaf Din soalnya Bapak..... soalnyaa bapak sering.... sering.."
"Iya pak, Dinda ngerti kok." Dinda tersenyum sedikit melihat Bapak yang terbata-bata. Dinda mengerti juga maksud Bapak. "Udah yuk sedih sedihnya." Dinda mencoba menepikan keharuan di ruangan tv ini. "Tuh liat aku juga tersenyumkan" Dinda tersenyum dengan lebar namun air matanya masih keluar. Tanpa Dinda sadari juga, ingusnya pun ikut keluar menggantung di lubang hidungnya. Ia sontak mengusap ingus dari hidungnya. Namun terlambat. Bapak , Ibu dan Alif yang melihatnya sudah tertawa melihat hal tersebut. Dinda pun ikut tertawa malu.
Setelah mereka agak tenang, Dinda membuka pembicaraan kembali
"Harusnya aku yang meminta maaf. Aku tau bapak, Ibu dan Alif begitu khawatir, sayang dan peduli sama aku. Bapak ingin pekerjaan terbaik untukku, Ibu ingin aku segera menemukan pasangan dan Alif pun mencoba membantu ku mencari pasangan. Tetapi aku tidak bisa mewujudkan atau mengiyakan itu semua. Aku sudah memutuskan untuk mengejar mimpiku Pak, Bu, Lif."
Dinda menarik nafas panjang terlebih dulu.
"Aku ingin melanjutkan kuliahku ke luar negeri."
//
"Ini Bapak sedang menunggu Ibu, kita akan pergi ke rumah makan favorit Alif. Untuk merayakan ulang tahun Alif." Dinda masih tersenyum heran mengapa Bapak masih saja merapatkan layar handphonenya pada mukanya.
Terdengar bisikan suara Alif dari belakang bapak. Namin Dinda tak dapat mendengar suaranya dengan begitu jelas.
"Itu ada Alif, Pak? Mana aku ingin ngobrol sebentar." sahut Dinda.
"Ah.... emm.. oh itu bukan... bukan Alif kok Din. Kan dia masih di tempat kerjanya. Nanti kita bertemu di.... dimana sih.. di rumah makan langsung!" Bapak pun tiba tiba mematikan kameranya.
Dinda padahal yakin tadi itu suara Alif.
KRING KRING
Bel apartemen Dinda berbunyi. "Sepertinya itu Hana." pikir Hana.
"Ibu belum selesai pak dandan nya?" tanya Dinda.
KRING KRING
Belnya berbunyi lagi. Dinda heran kenapa Hana tidak langsung masuk. Padahal Hana juga mempunyai kunci apartemennya.
"Belum Din, kamu kayak yang tidak tahu saja ibumu kalau dandan bagaimana" balas Bapak. Dinda terawa mengingat Ibu. Ia pun bergegas membukakan pintu untuk Hana.
"Pak sebentar yah..... Hana kamu kan punya kunci juga. Kenapa harus aku yang..."
Dinda membuka pintunya namun bukan Hana yang ada di baliknya.
Bapak sedang memegang handphone, Ibu sedang tersenyum lembut dan Alif tertawa sambil melambaikan tangannya.
"Eh kok ada disini!?"
_________
Selesai
0 notes
Text
Lejar Episode 4 // Dinda
Bruk!
"Aw!"
NOOOOOOOT
Supir bis menekan klakson dalam-dalam. Aku yang masih sedikit pusing mengintip ke depan sambil mengusap-usap dahiku. Supir bis itu sedang merutuk supir angkot yang berhenti tiba-tiba dan membuat bis berhenti mendadak. Aku yang sedang tidur ayam tentu saja tak dapat menahan kepala dan badanku dari menubruk kursi di depanku.
Tidur di bis biasanya dapat menyegarkanku sebelum pulang ke rumah. Namun, beberapa hari terakhir aku merasa begitu lelah. Tetapi bukannya segar, aku malah merasa makin terkuras. Bis sudah melaju kembali dan aku baru saja melewati toko donat favoritku pertanda halte pemberhentianku sudah dekat. Aku segera bersiap-siap untuk turun.
Aku pun tiba di halte 5 menit kemudian. Dari halte ini, aku masih harus berjalan selama 10 sampai 15 menit tergantung kecepatan jalanku. Kalau sedang kebelet untuk buang air besar bisa 8 menit, tapi untuk sekarang mungkin aku sudah kehabisan tenaga untuk berjalan cepat. Aku memeriksa handphoneku untuk melihat jam dan pemberitahuan.
19.41
2 panggilan tak terjawab: Farhana
Farhana: Din, elu jadi daftar beasiswa S2 yang kemarin?
Ayo daftar! Gue baru daftar ini.
Deadlinenya 4 hari lagi. Awas lu ya kalau ga daftar!
Bapak : membagikan tautan "Pembukaan Pendaftaran Calon
Pegawai Negeri…."
Aku menutup handphoneku dan menaruhnya kembali ke dalam tasku. Aku memijit pelan kedua sisi dahiku. Bukan karena sakit karena benturan di bis tadi, tapi karena pusing dengan pesan dari Hana dan Bapak. Aku harus bersiap-siap mungkin sampai rumah akan mendengar wejangan seputar PNS kembali dari Bapak yang akan disampaikan melalui Ibu. Untuk pesan dari Hana, memang beberapa hari yang lalu, kita membahas beasiswa S2 ke New Zealand yang merupakan mimpiku sejak kuliah. Akan tetapi, aku sekarang malah bekerja di perusahaan yang tidak sesuai dengan kemampuanku.
Aku perlambat langkahku karena jujur aku belum siap untuk masuk ke rumah. Ragaku lelah dan pikiranku lejar. Aku tak siap bertemu Bapak yang kerap memaksaku dengan keinginannya. Aku tidak siap bertemu Ibu yang sudah bulak-balik bertanya seputar menimang cucu. Mungkin Alif satu-satunya yang ingin kutemui di rumah karena aku sudah menyiapkan sesuatu untuk adikku. Astaga! Aku jadi teringat sesuatu. Alif baru saja mengirimkan CV ta'aruf dari salah satu seniornya. Aku belum sempat membukanya.
Kalau boleh jujur, aku masih belum ingin menikah. Aku masih berkutat dengan pikiran "Apakah ini saat yang tepat bagiku untuk menikah?" secara umur memang aku baru masuk kepala tiga tahun ini. Tapi aku masih merasa perlu menyelesaikan segala keruwetan yang sedang aku alami akhir-akhir ini. Aku tak mau masuk ke jenjang pernikahan dengan membawa masalah yang belum kuselesaikan. Alif sebenarnya mencoba membantu karena ia merasa kasihan denganku yang selalu di tanyai perihal pernikahan oleh Ibu.
"Bagaimana aku harus melangkah ke fase hidup yang baru bila aku pun masih ragu jalan yang mana yang harus kupilih?" ucapku dalam hati.
Tanpa sadar aku sudah berada di depan pagar rumahku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku harus terlihat biasa saja saat memasuki pagar rumahku.
Aku disambut oleh Bapa dengan hal yang sudah bisa kutebak. Aku langsung buru-buru saja masuk ke dalam rumah. Aku mencoba menghindari Ibu, jadi aku langsung pergi ke kamar Alif namun belum sampai pintu kamar Alif, Ibu memanggilku.
"Din, nanti kalau udah beres dari kamar Alif, kesini dulu yah sebentar Ibu mau ngobrol." pinta Ibu.
"Oke bu." sebenarnya aku enggan. Tapi aku tak bisa menghindar bila ibu meminta langsung seperti itu.
Aku masuk kamar Alif dengan pikiran yang tak karuan. Alif sepertinya sadar kalau sedang lelah, aku pun mencoba untuk menutupinya.
"Jangan tanya soal ta'aruf. Jangan tanya soal ta'aruf" aku terus memikirkan hal tersebut hingga akhirnya pertanyaan tentang ini keluar dari mulut Alif .
"Eh kak aku lupa nanya, gimana CV ta'aruf Kak Adi kemarin.udah dilihat belum kak?" DUARRR. Aku seperti disambar petir. Aku terpaksa berbohong telah melihat CV-nya dan meminta waktu untuk berpikir terlebih dahulu. Padahal aku tidak mau. Namun aku tidak enak bila harus menolak mentah-mentah permintaan dari Alif. Aku segera mengalihkan topik ke hadiah yang telah aku siapkan. Beberapa bulan yang lalu Alif bercerita ingin mengikut kelas desain namun harganya cukup mahal. Jadi aku memberikan separuh dari tabunganku untuknya karena aku tak mau Alif berada di posisiku sekarang. Hilang arah dan lalu diarahkan ke arah yang tidak aku inginkan.
Alif terlihat sangat senang. Aku dipeluknya dengan erat. Aku pun segera pergi menemui Ibu agar semua ini segera selesai untuk hari ini dan aku bisa beristirahat. Aku sudah menyiapkan kupingku untuk menerima ceramah ibu tentang bekerja sebagai PNS seperti Bapak ataupun umurku yang sudah kelewat tua menurutnya untuk menikah.
"Iya jadi gini, Din. Kamu kan tahu, tabungan bapak makin tipis. Daripada habis, jadi Ibu ada rencana mau bikin toko grosir. Untuk tempat nya sudah ada. Cuma yaa.. Kayaknya masih kurang untuk modalnya. Dinda masih ada uang kan di tabungan?" aku terkejut. Ibu belum pernah membahas ini sebelumnya. Aku sebenarnya ingin membantu tapi uangku sudah kupakai. Aku pun menjelaskan seadanya tanpa menyebut nama Alif.
"Dinda pake untuk apa sampai sedikit lagi tabungannya? Mau kamu pake liburan lagi yah?" tuduh Ibu padaku.
Aku terheran dan tak bisa berkata-kata. Aku memberikan uangku dengan ikhlas untuk kebaikan Alif namun ibu menuduhku yang tidak-tidak. Aku benar-benar tak habis pikir dengan pikiran Ibu. Kepalaku mulai berdenyut pusing
"Sudahlah Din, tabung saja uangnya, bisa kamu pake bantu Ibu sama Bapa atau bisa kamu pake untuk tambah-tambah kamu nikah. Umur kamu lho udah ga muda lagi nak." Ibu menambahi.
Here we go again. Ibu kembali memainkan kartu favoritnya. Intensitas pusing di kepalaku semakin terasa. Mataku mulai memanas. Air mataku bahkan sudah hampir keluar. Aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Aku seperti ingin meledak dan mengeluarkan semuanya didepan ibu. Ingin rasanya kuluapkan bahwa jiwa dan ragaku sudah bekerja keras dan sangat lelah hanya untuk menjalani kehidupan yang jauh dari mimpiku dan apa jadinya bila Ibu dan Bapak kerap mencecarku dengan hal yang belum atau bahkan tidak ingin aku kejar?!
Aku segera berdiri dan meminta izin untuk mandi terlebih dahulu sebelum emosiku tak terkontrol. Baru dua langkah aku berjalan, tembok ruangan serasa berputar di sekitarku. Aku mencoba meraih apa pun sebagai pegangan. Belum sempat kutemukan pegangannya, aku merasa seperti terjatuh dan tidak punya tenaga untuk menahan tubuhku. Lalu seketika semuanya gelap.
Bersambung.
2 notes
·
View notes
Text
Lejar
Episode 3 // Ibu
Pembaca berita di televisi membacakan sebuah kejadian pembegalan di sebuah jalan protokol di tengah kota. Hal tersebut terjadi bahkan di jam yang belum begitu larut. Aku melihat jam dinding di atas tv menunjukkan pukul 8 tepat dan Dinda belum pulang.
"Dinda kemana sih bu? Masa jam segini belum pulang?" ucap Bapak yang berdiri di belakangku.
Aku sebenarnya malas menjawab pertanyaan suamiku. Karena Bapak pasti sudah tahu kalau Dinda sedang lembur. Aku menjawab sekenanya. Aku pun tahu, setelah pertanyaan ini Bapak akan membahas tentang pekerjaan Dinda dan menyuruhku menasihati Dinda untuk menjadi PNS seperti bapak dulu.
Benar saja, Bapak kembali menyinggung topik tersebut sesuai dugaanku. Aku hanya mengangguk pelan saat Bapa memintaku untuk kembali berbicara dengan Dinda. Ia pun pergi ke teras untuk merokok.
Sejak Dinda dan Alif remaja, Bapak jadi tidak pandai berkomunikasi dengan kedua anaknya. Padahal saat mereka masih SD, keduanya tak bisa lepas dari Bapak. Sekarang, aku sudah bagaikan merpati penyampai pesan sebagai penyambung antara Bapak dan anak-anak. Dinda dan Alif jadi segan bila harus mengobrol dengan Bapak yang sedikit-sedikit sudah mengomel.
"Assalamu'alaikum" suara Dinda terdengar dari pintu rumah dan sudah cukup untuk menyingkirkan cemas dihatiku.
"Wa'alaikumussalam, habis lembur, Din?" tanyaku.
"Iya bu. Lumayan lagi banyak kerjaan. Untung Ibu ngasih aku bekal bergizi jadi aku kuat untuk lembur 2 hari 2 malam juga. " Jawab Dinda sambil mencium tanganku. Matanya terlihat lelah tapi Ia masih punya energi di penghujung hari seperti ini. Ia pun langsung beranjak dan berjalan ke kamar Alif.
"Din, nanti kalau udah beres dari kamar Alif, kesini dulu yah sebentar Ibu mau ngobrol."
"Oke bu." sahut Dinda sebelum mengetuk pintu kamar Alif.
Aku tidak berniat mengulang topik yang bapak pinta untuk aku diskusikan lagi dengan Dinda. Ada hal lain yang ingin aku bahas dengan Dinda. Semenjak, Bapak pensiun setahun yang lalu, penghasilannya menjadi tidak sebesar dulu. Aku yang mengatur tabungan bapak sejak dahulu dan sekarang jumlahnya kian menipis. Aku berniat untuk memutar uang tabungan bapak dengan sedikit bantuan Dinda.
Suara pintu kamar Alif terbuka dan mengusir lamunanku. Dinda pun keluar dan duduk di sebelahku.
"Iya ada apa Bu?"
"Iya jadi begini, Din. Kamu kan tahu, tabungan bapak makin tipis. Daripada habis, jadi Ibu ada rencana mau bikin toko grosir. Untuk tempatnya sudah ada. Cuma yaa.. Kayaknya masih kurang untuk modalnya. Dinda masih ada uang kan di tabungan?"
Dinda sedikit berpikir "Oh gitu. Dinda kira ada apa. Kalau tabungan masih ada kok, Bu. Cuma emang ga banyak, soalnya baru Dinda pake juga."
"Dinda pake untuk apa sampai sedikit lagi? Mau kamu pake liburan lagi yah?"
Aku melihat Dinda hanya diam. Ah benar sepertinya benar dia akan liburan lagi.
"Aduh Din, kamu kan baru tahun lalu liburan sama temen-temen kamu. Masa Udah mau liburan lagi. Mau pergi kemana lagi sekarang? " Aku jadi agak kesal. Dinda masih terdiam.
"Sudahlah Din, tabung saja uangnya, bisa kamu pake bantu Ibu sama Bapa atau bisa kamu pake untuk tambah-tambah kamu nikah. Umur kamu lho udah ga muda lagi nak."
Dinda lalu berdiri dengan cepat. "Aku mau mandi dulu Bu."
Dinda lalu beranjak dari sofa. Aku baru akan menahannya, namun langkahnya goyah. Badannya seperti kehilangan keseimbangan dan terjatuh bebas ke lantai dengan bunyi gedebuk yang cukup keras. Aku pun mendekati badan Dinda yang terbujur dilantai sembari berteriak.
"BAPAK, TOLONG PAK!"
1 note
·
View note
Text
Lejar
Episode 2 // Alif
"Whoaaa sudah ada dua juta, alhamdulillah"
Aku melihat saldo paypalku hasil dari icon pack yang ku unggah di aplikasi desain. Alhamdulillah banyak orang yang menggunakannya, jadi ada persentase uang yang masuk padaku sebagai kontributor. Aku lalu membuka laman instagram yang sudah cukup sering kubuka dan telah aku idam-idamakan sejak beberapa bulan kemarin. Sebuah kelas desain dengan nominal yang cukup besar untukku. Namun menurut rekomendasi Kak Adi, mentor dan sekaligus seniorku, program tersebut sangat bagus. Pengajar dari kelas tersebut merupakan profesional di bidangnya. Belum lagi jejaring yang aku dapat disanapun akan sangat banyak.
"Tinggal 18 juta lagi. Insya Allah bisa, ayo semangat Alif." ucapku pada diri ini. Mencoba memperpanjang nafas konsistensiku.
Mungkin masih panjang untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Sebenarnya aku bisa saja minta tolong ke Bapak, tapi Bapak kan sudah pensiun, aku tak mau membuat kepalanya makin pening. Ditambah lagi, Bapak mana setuju aku ikut kelas desain intensif seperti ini. Lebih baik aku menabung sendiri. Aku yakin dengan ikhtiarku juga dengan doa-doa yang kupanjatkan, Insya Allah, Allah akan beri jalan.
Aku melihat jam disudut kanan bawah layar laptopku. 20.05. perutku sedikit lapar, aku berniat untuk mencari cemilan di kulkas, namun baru saja aku merentangkan punggungku yang cukup pegal, lalu pintu kamarku diketuk.
"Lif, Kakak boleh masuk?" Oh Kak Dinda.
"Masuk aja kak" Kak Dinda masih memakai pakaian kerjanya dengan tas ransel motif bunga-bunga kesukaanya. "Suntuk banget sih Kak mukanya. Habis lembur yah?" tanyaku.
"Ah masa sih? Segini masih glowing masa dibilang suntuk?" Jawabnya sambil duduk di pinggiran kasurku.
"Idih kepedean banget, eh kak aku lupa nanya, gimana CV ta'aruf Kak Adi kemarin, udah dilihat belum kak?" Aku teringat dua hari yang lalu Kak Adi meminta izin padaku untuk memberikan CV ta'aruf kepada kakakku.
"Udah sih, tapi nanti kakak pikirin dulu ya. Masih agak mumet nih, lagi banyak kerjaan. Ngomong ngomong, rekening kamu masih samakan?"
Aku jadi tidak enak pada Kak Dinda. Sepertinya momenya kurang pas untuk membahas ini.
"Masih sama kok. Kenapa? Mau kasih uang jajan yaa" aku segera mengecek handphoneku yang sedari tadi aku diamkan. Mataku terbelalak melihat pemberitahuan dilayar handphoneku.
"Kak Dinda! Ini banyak banget 15 juta buat apa?" Aku masih sedikit syok.
"Buat kamu bisnis Pecel Lele, beli gerobaknya dulu gih"
Aku terheran. Sejak kapan aku menceritakan ide tentang memulai bisnis pecel lele? Atau lebih tepatnya sejak kapan aku punya ide bisnis pecel lele.
"Ya nggalah, Lif" Kak Dinda terkekeh pelan "Kamu kan katanya mau ikutan kelas desain itu dari beberapa bulan yang lalu. Uang itu cukup kan buat bayar uang mukanya dulu"
Aku langsung memeluk Kak Dinda dengan erat. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku pun melepaskan pelukanku setelah beberapa saat.
"Makasih yah kak, nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan aku traktir kakak makan pecel lele setiap hari!"
Kak dinda tertawa "Awas yah kalau bohong!"
Dari jarak yang cukup dekat, Aku dapat melihat wajah Kak dinda yang sangat lelah. Kepenatan tergurat jelas dimatanya. Kantung matanya pun sudah mulai terlihat. Baru saja aku mau bertanya pad Kakak, Ia berdiri dan beranjak keluar. "Kakak mau mandi dulu ah"
"Sekali lagi terima kasih yah kak." aku memberi bentuk hati kecil dengan jariku pada Kak Dinda. Ia tersenyum dan keluar dari kamarku.
Aku masih tak percaya dengan pemberian Kakak. Dari dulu kakak memang orang yang baik dan paling mengerti aku, mungkin karena kami hanya 2 bersaudara. Tapi, tetap saja aku masih tidak percaya kakak memberikan uang sebanyak ini untukku. Aku mengurungkan niat untuk mencari cemilan, perutku tiba-tiba terasa kenyang karena terlalu bersemangat untuk kembali membuka laman Instagram kelas desain.
“Lebih baik aku daftar kelasnya sekarang saja.”
Tak sampai 5 menit, aku sudah menyelesaikan proses pendaftarannya. Sepertinya kak Dinda pun sudah selesai mandi, aku bergegas akan menemuinya untuk bilang kalau aku sudah daftar kelas desain itu. Belum sempat kubuka pintu kamarku, aku mendengar suara gedebuk cukup kencang. Kukira itu barang yang jatuh, sampai aku mendengar jeritan ibu yang histeris.
"BAPAK, TOLONG PAK!"
Bersambung.
2 notes
·
View notes
Text
Lejar episode 1// Bapak
"Dinda kemana sih bu? Masa jam segini belum pulang?" Aku sedari tadi gelisah. Memang baru jam 8 malam dan belum begitu larut. Namun mengingat sedang banyak kasus kekerasan dan pembegalan di kota ini, wajar saja sebagai ayah aku cemas. "Tenang pak. Mungkin Dinda sehabis lembur. Biasanya juga kalau jam segini belum pulang kan dia lembur." "Haduuh itu anak kerjaan nya lembuuur terus. Kan bapak udah sering bilang daripada kerja dari pagi sampai malam gaji segitu-gitu aja, mending jadi PNS. Penghasilan enak, pekerjaan normal, pensiunan dapat. Kasih tau lah Dinda itu Bu. Jangan terus bikin pening kepala bapak" Ibu hanya mengangguk pelan sambil terus menonton tv. Aku yang makin pening memutuskan untuk merokok dulu sambil duduk di teras. Baru saja kunyalakan rokokku, Dinda pun tiba membuka pagar dengan muka lesu. Kasihan anak gadisku. "Kamu lembur lagi?" "Iya, pak" Dinda mencium tanganku dengan lemas. Menyentuhkan tanganku ke dahinya lebih tepatnya. "Buka WA-mu. Bapak kirim info tes PNS barusan" Dinda hanya mengangguk tak tertarik. Aku kembali menghisap rokokku. Percikan api berdecak saat kuhisap rokoknya dalam dalam. Kupejamkan mataku. "Kenapa Dinda gamau ikutin jejak bapaknya jadi PNS? Apa susahnya sih nurut sama orang tua." tanyaku dalam hati sambil kuhembuskan gumpalan asap abu tipis perlahan-lahan. Aku terus memikirkan alasannya dengan keras lagi dan lagi. Isapan demi isapan. Hembusan demi hembusan. Sampai tak sadar rokokku sudah mau habis. Aku menancapkan puntungnya dalam-dalam di asbak kayuku. Saat aku baru saja akan menyalakan batang rokok kedua, aku mendengar suara gedebuk keras dari dalam rumah. "BAPAK, TOLONG PAK!" Bersambung.
2 notes
·
View notes
Text
Beban
Raina sedang merasakan hembusan angin sore yang jauh dari kata syahdu. Biasanya angin sore di hari yang cerah akan berhembus dengan lembut dan menyejukkan. Angin sore kali ini berhembus begitu kencang hingga membuat Ammar kesulitan menyeimbangkan laju motornya. Langit berwarna abu gelap. Menyeramkan.
"Kayaknya bakal hujan deres deh" ucap Ammar.
Ucapan Ammar seperti langsung diaminkan. Hujan mulai turun tanpa satu dua tetes air sebagai pembukanya namun langsung dengan rinai yang begitu deras tanpa ampun. Raina dan Ammar terpaksa menepi di sebuah halte bis terbengkalai. Baju mereka seketika kuyup. Sebenarnya mereka membawa dua pasang jas hujan namun berkendara di hujan yang begitu rapat bukan ide yang bagus.
"Kamu ngga kenapa-napa, Mas? Pusing ngga?" tanya Raina cemas. Sebelum hujan, Ammar berkata kalau ia sedikit tidak enak badan. Namun Ia tetap ingin menjemput Raina yang baru selesai berkegiatan di kampus. Muncul sebongkah rasa bersalah di hati Raina.
"I am okay. Basah segini doang cepet keringnya kok." Meski senyumnya masih begitu manis, Raina dapat melihat kelelahan di mata Ammar. Jawaban Ammar membuat bongkahan di hati Raina makin besar.
Sendu diam-diam menelusuk ke dalam benak Raina. Akhir-akhir ini sepertinya ia banyak membebani suaminya. Beberapa bulan yang lalu, Raina meminta izin untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah didiskusikan baik-baik, Ammar meridhoi keingininan Raina. Namun, melihat Ammar seperti ini Raina jadi tidak tega. Bukan hanya biaya kuliah yang tidak sedikit, tapi Ammar juga harus mengorbankan beberapa waktunya untuk membantu Raina di rumah, atau bahkan mengantar jemput Raina. Padahal Ammar sudah cukup lelah dengan tugasnya sebagai kepala keluarga.
Belum berhenti disitu, Informasi tentang Ammar yang lebih muda tiga tahun dari Raina mendadak terlintas.
"Seharusnya di umur Mas Ammar, Ia masih bisa menikmati waktunya seperti teman-teman lainnya. Bukannya dibebani olehku seperti ini." rutuk Raina pada dirinya sendiri dalam hati.
Raina memalingkan wajahnya untuk mengusap air mata di pipinya. Ammar sudah mengenal Raina lebih dari 8 tahun, jadi ia tahu perubahan suasana hati Raina tanpa meilhat wajahnya.
"Raina, Are you okay?" sekarang giliran Ammar yang cemas.
Satu pertanyaan itu seperti membobol bendungan air mata Raina. Ammar pun mendekap Raina dan membiarkan Raina menangis beberapa saat.
____________________________________________
Hujan sudah mulai mereda. Raina sedang menjelaskan isi hatinya meski dengan sedikit tersedu-sedu. Ammar mendengarkan dengan seksama sambil mengusap-usap punggung Raina.
"Kamu inget ngga? Di awal pernikahan saat aku masih bingung dengan karierku sendiri, kamu menyarankanku untuk ikut banyak program, menemui orang-orang baru dan juga mengembangkan potensi yang aku miliki. Kita juga pake dulu tabungan liburan kita, bahkan kadang akhir pekan kita pun harus dikorbankan. Kamu mendukung aku."
Raina mengangguk pelan.
"Sekarang waktunya, Aku yang mendukung kamu untuk mengejar mimpimu. Tidak ada kata terbebani. Karena memang sudah bagian dari tugas aku sebagai suamimu. Konsekuensi dari pilihan-pilihanku pun sudah aku pikirkan matang-matang dan memang harus aku hadapi. Kita jalani sama sama ya. Insya Allah, Allah akan mudahkan"
Raina pun tersenyum. Hujan pun tak sederas sebelumnya.
"Kita beli Ronde Jahe Alkateri yuk!"
0 notes
Text
Kugeser pagar besi rumahku. Agak berat. Sepertinya aku perlu memberikan sedikit pelumas di bagian rodanya esok pagi. Sebenarnya bisa saja sekarang kusemprotkan cairan pelumasnya. Namun aku malas dan perutku sedikit begah setelah memakan seporsi sushi untuk makan malam. Rekan kerjaku mendadak mengajakku makan dan mentraktirku karena dia baru saja berulang tahun. Sebenarnya ia dan beberapa orang lainnya masih mengajakku untuk nongkrong sambil minum kopi, tetapi pinggangku memberi sinyal untuk pulang.
Suasana rumah sepi saat aku memasuki ruang tamu. Suara dengkuran Alma menggelegar dari kamar tidur padahal baru jam setengah 9.
"Mungkin istriku banyak aktivitas hari ini" ujarku dalam hati.
Kunyalakan televisi dengan suara yang tidak sampai membangunkan Alma namun cukup kencang untuk memecah keheningan di dalam rumah. Tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku pun berlari ke kamar mandi. Saat melewati meja makan aku melihat semangkuk tumis kangkung dari ujung mataku. Aku memasuki kamar mandi dan menyalakan kran air. Kembali, aku tak suka keheningan di dalam rumah.
Setelah menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku agak terkaget. Aku melihat Alma sedang memasak sesuatu.
"Eh Ayah, ngga mandi sekalian? Ini aku gorengin ayam. Terus tadi sore aku masak tumis kangkung nih, mau aku angetin juga?"
Aku bingung harus menjawab apa. Wajah Alma ceria dan menyenangkan seperti biasanya. Aku sedikit terheran melihat bagaimana Alma bisa seceria itu padahal beberapa menit lalu Ia sudah terlelap dalam mimpi.
"Kok diem? Kamu belum makan kan?" tanya Alma.
Aku tersadar dari lamunanku. "Oh belum kok belum. Mana bisa aku menolak makanan terenak se-kelurahan ini." sahutku penuh semangat.
0 notes
Text
Terdiam
"Assalamu'alaikum. Bu, aku pulang."
"Bu?"
"Wa'alaikumussalam. Ibu di dapur lagi masak."
Giska langsung beranjak ke dapur menghampiri ibunya. Baru saja ia mengantar kotak bekal milik kakaknya ke kantornya. Jaraknya tak jauh tapi ini sudah ke-4 kalinya dalam sebulan Giska harus mengorbankan waktu di pagi harinya. Sebenarnya tidak ada yang ia harus lakukan di pagi hari. Masih belum ada balasan dari belasan lamaran pekerjaan yang ia kirimkan. Namun ia tak berkecil hati. Ia jadi punya banyak waktu bersama ibunya setelah kuliah di seberang pulau selama 5 tahun.
"Hari ini kamu ketemu temennya kakak yang ganteng itu tidak?"
"Ada bu! Tadi aku lihat." sahut Giska penuh semangat
"Kok bisa yah bu teman-temannya Kakak ganteng-ganteng sedangkan Kakak ngga?"
Mereka tertawa
"iya juga yah? Kok bisa? Heran Ibu juga" tambah Ibu membuat Giska tertawa lebih kencang.
"Oh iya, karena sudah aku antarkan, Kakak besok mau mentraktir beli ikan bakar bu."
"Oh begitu? Tapi besok kan Ayah masih harus lembur. Begitupun hari minggu ini."
Muka Giska sedikit menekuk. Giska sedikit geram dengan keadaan ini dan ini bukan pertama kali ayahnya sibuk di akhir pekan.
"Memangnya tidak bisa libur dulu lemburnya? Lagian Ayah kok kerjanya sampai setiap hari gitu, bu? Terus sekalinya ayah di rumah kerjaannya benerin ini benerin itu. Kadang bisa seharian, bu. Jangankan pergi liburan bersama, waktu untuk mengobrol saja tidak ada. Emang ga ada niatan buat benerin hubungan sama anaknya?"
Ibu mendengarkan dengan seksama apa yang Giska utarakan.
"Ayahkan memang karakternya seperti itu, Gis. Jarang bicara. Tapi lihat bagaimana ayah bekerja begitu keras. Itu menunjukkan betapa bertanggung jawabnya Ayah. Ibu mengerti kok perasaan kamu. Nanti Insya Allah akan ada masanya Ayah tidak sesibuk ini dan bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama kita." Ibu membalas dengan lembah lembut. Tidak ada sedikit pun nada yang mengindikasikan rasa marah. Giska pun mengerti maksud Ibu.
"Mungkin itu pun alasan ibu bisa terus bersama ayah ya?" tanya Giska
"Benar, namanya juga pernikahan, Nak. Banyak hal yang ibu pelajari setelah lama menikah dengan ayah. Ada beberapa kekurangan Ayah yang harus Ibu hadapi tapi ada begitu banyak kebaikan Ayah yang Ibu rasakan Alhamdulillah. Ibu harap kamu bisa melihat seperti itu pada Ayah. Lagian nanti kalau ibu udah ngga ada, kan kamu nanti sama...."
"SHHH.... Ibu kok ngomongnya gitu" potong Giska dengan cepat
"Ya kan umur tidak ada yang tau, Gis"
"Iya sih, tapi kalau bisa jangan dulu, ya Allah. Kasian ibu belum lihat aku nikah"
"Emang kamu mau nikah sama apa? Memang nya ada yang mau?"
"ih ibu! Sama siapa dong! Masa sama apa, memangnya ibu mau aku nikah sama mentimun?"
---------------
Siang itu, Giska sedang mengikuti salah satu wawancara pekerjaan di pusat kota. Ia baru saja menyelesaikan tes ujian tulis yang begitu melelahkan. Sekarang, Ia sedang menunggu gilirannya untuk dipanggil wawancara. Ia sudah berlatih bersama ibu dan Kakak berkali kali sejak 2 hari kemarin. Ia merasa optimis.
Belum sampai Giska masuk ruang wawancara, ponsel di dalam tasnya bergetar. Ia mengabaikannya karena ingin fokus pada wawancaranya. Namun getarannya tak kunjung hilang, Ia pun penasaran siapa yang meneleponnya. "Kakak". Karena khawatir, Giska langsung menjauh dari kerumunan dan menjawab telpon dari Kakak.
"halo Kak. Ada apa?"
"De…" Kakaknya sedikit tersengguk. Perasaan Giska tak enak. "Cepat kesini ke rumah sakit. Soalnya….."Air mata Giska sudah berhamburan duluan. Ia mematikan telepon dari Kakaknya. Giska sudah bisa menebak apa yang terjadi. Ia bergegas meminta izin dan langsung melesat ke rumah sakit. Sepanjang jalan Giska membayangkan sesuatu terjadi pada Ibu. Ibu mempunyai riwayat serangan jantung sebelumnya. Ini sudah kali ketiga berarti Ibunya terkena serangan jantung dan masuk rumah sakit.
"Semoga ibu tidak kenapa-napa, Ya Allah" ucap Giska berulang-ulang sepanjang jalan.
Ia sudah tiba di rumah sakit. Ia melihat Kakak sedang memeluk seseorang diujung koridor. Giska berlari sekuat tenaga. Saat sudah semakin dekat, Ia bisa mendengar suara tangisan wanita. Ia pun melihat Ibu dalam pelukan Kakak meringkuk terisak-isak. Giska terdiam. Suara tangisan Ibu semakin kencang dan Kakak mencoba menenangkan meskipun Ia sendiri tak dapat menahan tangisannya. Giska berdiri diam terpaku. Air matanya mulai menetes kembali. Iya teringat seseorang yang tidak ada di hadapannya.
"Ayah?"
0 notes