Photo

I’m lovin’ it.
4 notes
·
View notes
Photo

6 notes
·
View notes
Photo

"I love The Smiths."
4 notes
·
View notes
Photo



Can you guess who they are?
#artwork#stranger things#steve harrington#nancy wheeler#améliepoulain#audrey tautou#isabelle#the dreamers
2 notes
·
View notes
Photo

Hibiscus annuus (ヒマワリ)
2 notes
·
View notes
Photo




Old MacDonald had a farm, e-i-e-i-o!
Farmhouse Lembang (2017)
0 notes
Text
Kebangkitan Pengabdi Setan
“Setelah sakit aneh selama tiga tahun, Ibu akhirnya meninggal dunia. Bapak lalu memutuskan untuk kerja di luar kota meninggalkan anak-anak. Tak lama kemudian anak-anak merasa bahwa Ibu kembali berada di rumah. Situasi semakin menyeramkan ketika mereka mengetahui bahwa Ibu datang lagi tidak sekedar untuk menjenguk, tapi untuk menjemput mereka.”

Salah satu adegan dalam film Pengabdi Setan 2017 (Foto: instagram.com/tarabasro)
Pada April 2017, berhembus kabar mengenai remake film Pengabdi Setan, film horor legendaris Indonesia yang rilis tiga puluh lima tahun silam. Pengabdi Setan versi remake ini disutradarai dan ditulis oleh Joko Anwar, sutradara yang sudah malang melintang dalam perfilman Indonesia. Tak hanya berada dalam tangan sutradara yang mumpuni, film ini pun diproduksi oleh Rapi Films, yakni rumah produksi film Pengabdi Setan versi orisinal. Joko Anwar pun kembali menggandeng aktor-aktor yang sebelumnya pernah bekerja sama dengannya, antara lain Tara Basro dan Fachri Albar.
Cuplikan sinopsis film ini sukses menggidikkan bulu roma. Adegan pertama dalam film yang menampilkan seorang wanita terbaring lemah di tempat tidur sembari membisikkan kalimat tak jelas pun sudah menggambarkan kesan horor. Kisah film berlatar tahun 1980-an tersebut, dimulai dengan menyorot kondisi finansial sebuah keluarga yang kehabisan uang untuk biaya berobat sang Ibu yang tengah sakit parah selama bertahun-tahun. Keluarga tersebut terdiri dari Ibu (Ayu Laksmi), Bapak (Bront Palarae), Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), Ian (M. Adhiyat), dan Nenek (Elly D. Luthan). Mereka tinggal di sebuah desa yang letaknya dekat dengan areal pemakaman. Anggota keluarga tersebut bersusah payah mencari uang tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup. Rini Si Sulung menyambangi kantor label rekaman untuk meminta royalti hasil karya sang Ibu yang merupakan seorang penyanyi hits pada masanya. Sedangkan anak kedua keluarga tersebut, Tony, berkenan menjual sepeda motor beserta barang pribadinya. Namun tak lama kemudian, sang Ibu menghembuskan nafas terakhirnya dan dimulailah teror dalam rumah tua yang dihuni keluarga tersebut. Kemunculan sesosok mirip Ibu, kematian orang-orang terdekat, dan berbagai hal menakutkan yang terjadi di dalam rumah membuat mereka resah. Hingga akhirnya puzzle demi puzzle mulai terangkai ketika Rini bertemu dengan Budiman, sahabat lama sang Nenek.
Berkaca pada film terdahulunya, Pengabdi Setan versi remake ini memiliki konflik yang sangat berbeda. Film ini memfokuskan latar belakang sang Ibu sebagai dalang dibalik teror yang melanda keluarga tersebut. Sedangkan Pengabdi Setan versi orisinal memiliki jalan cerita sederhana dan sangat dekat dengan agama Islam. Beberapa tokoh dari Pengabdi Setan versi orisinal turut hadir dalam film ini walaupun memiliki peran yang berbeda. Adegan kunci dari film terdahulu kembali ditampilkan oleh Joko Anwar, seperti sesi pemakaman sang Ibu, meninggalnya orang-orang terdekat dari keluarga tersebut, dan adegan beribadah menurut kepercayaan umat muslim. Namun sangat disayangkan, pesan moral yang terkandung dalam versi remake tidak seaplikatif versi orisinal. Film besutan Sisworo Gautama Putra, sutradara spesialis film horor kala itu yang turut mensutradarai film-film Ratu Horor Suzanna, secara gamblang menunjukkan bahwa berkawan dengan ilmu hitam hanya akan mendatangkan marabahaya dan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah satu-satunya jalan untuk memeranginya. Sebaliknya, versi remake mengangkat isu yang terbilang sangat jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan tokoh pemuka agama pun tidak begitu berdaya dalam melawan setan. Kekompakan dan keharusan untuk saling menyayangi dalam keluarga menjadi satu-satunya pesan moral yang sama dari kedua film tersebut. Dilihat dari aspek kemunculan hantu, Pengabdi Setan versi orisinal lebih frontal dan sering, seperti tiba-tiba menampakkan hantu Ibu sedang mengetuk jendela kamar si bungsu pada menit awal film diputar. Sementara Joko Anwar cenderung menyimpan kemunculan para hantu untuk bagian klimaks.
Terlepas dari kekurangan tersebut, Joko Anwar patut diacungi jempol dikarenakan kesuksesannya dalam mengembangkan cerita Pengabdi Setan versi orisinal. Cerita yang segar, tidak mudah ditebak namun tetap masuk akal, membuat film ini tidak hanya sekedar menakut-nakuti penonton. Sinematografi yang disajikan pun luar biasa. Color grading dalam film ini mampu memanjakan mata, juga dapat memperkuat setting cerita. Penggunaan cahaya minim yang tepat semakin memperkuat kesan mistis dan pengambilan sudut pandang kamera yang tidak biasa pun sering mengecoh penonton terkait dengan kemunculan hantu. Scoring yang digunakan tidak seperti film horor Indonesia pada umumnya yang kerap menggunakan suara-suara piano bernada minor. Pengabdi Setan versi remake lebih mengedepankan suara-suara yang mencekam, seperti suara-suara psychoacoustic, alat musik gesek yang dimainkan secara asal, nada piano rendah, deritan pintu, suara berdenging, dan sayup-sayup percakapan manusia. Pada halaman Facebook Bemby Gusti, salah satu komposer musik film ini, yang diunggah pada Rabu (27/9), menjelaskan bahwa musik dalam Pengabdi Setan mempunyai satu layer yang berisi infrasound, yaitu gelombang suara dengan frekuensi rendah di bawah 20 hertz. Dengan tata suara yang sangat matang, berhasil mempengaruhi kondisi psikologis penonton. Secara keseluruhan, gaya dari film ini akan mengingatkan penonton kepada beberapa film horor barat mainstream, khususnya milik James Wan. Meskipun terasa sangat mengadaptasi film horor barat, ciri khas Joko Anwar yang acapkali menyajikan adegan sadis dalam film-film thriller-nya pun tetap tersaji walau hanya sekali.
Selain itu, sutradara yang telah beberapa kali menyabet penghargaan film terbaik atas karyanya, mampu menggali karakter tokoh-tokoh yang ada. Sosok si sulung yang gemar ajojing pada Pengabdi Setan versi orisinal diganti dengan Rini yang tangguh, keibuan, dan pengayom. Tomy yang berganti nama menjadi Tony dalam versi remake, tetap menjadi adik yang pemberani. Namun, Joko Anwar menambahkan tiga anggota keluarga yang sebelumnya tidak ada dalam versi orisinal, yaitu anak ketiga bernama Bondi, si bungsu Ian yang tunarungu, dan Nenek yang sehari-harinya perlu bantuan kursi roda. Kemudian dihadirkan pula sosok Herman, teman dekat si sulung, dimana dalam versi remake menjadi Hendra (Dimas Aditya) anak Pak Ustaz yang juga tinggal di desa tersebut. Kehadiran Bondi dan Ian mampu membuat penonton tergelak. Dengan dialog-dialog yang ringan, penonton dapat sedikit bernafas lega dan sejenak lupa bahwa sedang menonton film horor. Ian yang polos dan jenaka, mengingatkan saya pada Billy Hodgson dari The Conjuring 2: The Enfield Poltergeist. Dengan kemampuan akting yang di atas rata-rata, Muhammad Adhiyat mampu membuat penonton gemas. Diselipkannya unsur-unsur komedi dari tingkah laku keempat bersaudara tersebut, dapat menyeimbangi cerita yang ada. Joko Anwar pun tetap mempertahankan sosok Darminah yang misterius walaupun peran yang dimainkannya berbeda.
Film berdurasi 107 menit ini sangat layak dijuluki film horor terbaik Indonesia saat ini, terbukti dengan keberhasilannya menguasai tiga belas nominasi dalam Piala Citra, Festival Film Indonesia 2017. Atmosfer film horor barat bukanlah suatu hal yang buruk, mengingat Pengabdi Setan versi remake merupakan film horor pertama Indonesia di masa kini yang dapat menyejajarkan diri dengan film-film horor yang menembus box office dunia. Jadi, masih yakin mau melewatkan Pengabdi Setan?
Dimuat (dengan banyak penyuntingan yang sembrono) dalam: http://generapersma.com/2017/10/kebangkitan-pengabdi-setan/
0 notes
Photo




Taman Sari Water Castle & Candi Ratu Boko, Yogyakarta (2017)
0 notes
Text
Pulang Kampung 2016: Tondano
Kota Manado pasti sudah nggak asing lagi di telinga teman-teman, tapi kalau Kota Tondano? Pada postingan yang masih edisi mudik ini, saya akan membahas sekilas tentang Tondano dan salah satu kebudayaan yang ada dalam kota kecil ini.
Tondano merupakan ibu kota dari Kabupaten Minahasa yang terletak sejauh 35 km ke arah selatan dari Kota Manado. Nama kota ini berasal dari Bahasa Minahasa, yaitu toulour yang secara harfiah memiliki arti “orang air” (tou berarti orang, lour berarti hamparan air). Tondano dikenal memiliki danau yang legendaris seluas 4.278 ha dan merupakan danau terluas di Sulawesi Utara.
Keluarga ayah saya berasal dari Tondano, tepatnya suatu daerah yang diberi nama Kampung Jaton. Jaton sendiri merupakan akronim dari Jawa-Tondano. Sehingga tidak afdol rasanya bila mudik ke Manado namun nggak berkunjung ke kampung ini. Mengapa diberi nama Kampung Jawa Tondano? Selanjutnya akan saya bahas ketika tiba di Kampung Jaton.

Danau Linow: Danau Tiga Warna
Untuk mencapai Kota Tondano, kami harus melewati Kota Tomohon alias Kota Seribu Bunga (jika teman-teman pernah mendengar suatu pasar di Sulut yang menjual daging tikus, kelelawar atau anjing, di kota inilah tempatnya!). Salah satu destinasi wisata yang terkenal di Tomohon adalah Taman Wisata Danau Linow. Danau ini dapat ditempuh 3 km ke arah barat dari Kota Tomohon, tepatnya di Desa Lahedong, Kecamatan Tomohon Selatan. Pemandangan yang disajikan selama perjalanan serupa dengan perjalanan menuju Lembang: pemandangan hijau dari perbukitan dengan berbagai pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Suhu udara di Tomohon tergolong dingin karena topografi kota yang diapit oleh dua gunung, yaitu Gunung Mahawu dan Gunung Lokon (gunung ini masih aktif, lho!).
Berdasarkan informasi dari www.indonesiakaya.com, kata Linow diambil dari bahasa Minahasa, yaitu lilinowan yang berarti tempat berkumpulnya air. Danau ini merupakan kawah alam hasil dari letusan Gunung Mahawu 500 tahun silam sehingga bau belerang yang semerbak tercium di sekitar danau. Terdapat keunikan dari Danau Linow, yaitu warna airnya dapat berubah warna menjadi biru laut, hijau tosca, dan kuning kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh adanya unsur belerang di dalam danau serta pembiasan dan pantulan sinar mentari. Namun sayangnya sewaktu saya berkunjung ke danau ini, cuaca sedang mendung dan berujung gerimis, jadi belum kesampaian deh untuk melihat langsung keindahan tiga warna dari Danau Linow.

Jalan setapak untuk mengeksplorasi keindahan Taman Wisata Danau Linow
Nggak lengkap rasanya menikmati keindahan alam tanpa ada sesuatu yang bisa dicemil. Dekat dengan pintu masuk, terdapat cafe yang menghadap langsung ke danau. Cafe ini memiliki ruangan indoor dan outdoor. Oh iya, tiket masuk ke destinasi wisata ini hanya Rp.25.000 saja ditambah dengan bonus makanan ringan dan minuman hangat berupa teh atau kopi. Namun memang dibutuhkan kocek yang lebih untuk mencicipi berbagai hidangan khas Sulawesi Utara di cafe ini, seperti tinutuan, pisang goroho, sambal roa, dsb. Hidangan yang recommended banget adalah es brenebon! (sempat difoto tapi lupa disimpan dimana, nanti akan saya update secepatnya kalau udah nemu!). Taman Wisata ini cukup luas, tetapi sayang karena hujan, saya tidak dapat menyambangi setiap sudut dari tempat ini.









Cafe D’Linow dan pemandangan yang disuguhkan
-
Kampung Jawa Tondano
Setelah kehujanan di Danau Linow, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke destinasi utama yang sempat saya singgung pada intermezzo tulisan kali ini, Kampung Jawa Tondano (Jaton). Kurang lebih sekitar 30 menit kami telah tiba di Kampung Jaton. Ciri khas dari kampung ini adalah rumah-rumahnya saling berdekatan dan masih mempertahankan wujud fisik rumah adat Minahasa. Masyarakat yang tinggal di kampung ini merupakan campuran keturunan darah Jawa dan Minahasa sehingga terdapat suatu ciri khas daerah ini yang berbeda dengan daerah lain di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu 100% masyarakat yang bermukim di kampung ini memeluk agama Islam.
Mengutip dari regional.liputan6.com, Kampung Jaton punya latar belakang sejarah yang terkait erat dengan pembuangan Kyai Modjo yang merupakan penasehat agama sekaligus panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830). Pada 1828, Kyai Modjo ditangkap Belanda dan kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara. Kyai Modjo tiba di Tondano pada 1829 hingga meninggal di sana pada 20 Desember 1848 dalam usia 84 tahun. Kecuali Kyai Mojo, semua pengikutnya (semuanya pria Jawa) menikahi perempuan Minahasa asli Tondano. Keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano.
Selain pendatang dari tanah Jawa, Kampung Jaton pun didatangi oleh orang-orang dari Palembang dan Gorontalo. Informasi lebih lanjut mengenai kronologi dan silsilah keturunan keluarga di Jaton bisa diakses di Sejarah Lengkap Jaton. Oh iya, saya sempat baca sumber yang lebih lengkap dan terpercaya tapi lupa webnya :(
Nah, dikarenakan terjadi akulturasi kebudayaan Minahasa dan Jawa, terdapat salah satu tradisi Jawa yang masih dilestarikan di kampung ini, yaitu Lebaran Ketupat. Lebaran ketupat diadakan pada 8 Syawal, tepat seminggu setelah Idul Fitri. Sehari sebelumnya, masyarakat Jaton akan membuat ketupat baik ketupat ketan maupun nasi, dengan jumlah yang sangat banyak. Bisa mencapai 500 buah :’) Saat lebaran ketupat, hampir semua rumah ramai dan membuka pintunya lebar-lebar atau biasa dikenal dengan istilah open house (berasa presiden). Nantinya para tetangga, sanak saudara dan kerabat akan mengunjungi rumah-rumah yang mengadakan open house untuk bersilaturahmi dan makan ketupat sampai begah.

Rumah Nenek yang masih mempertahankan Rumah Adat Minahasa

Sekian edisi mudik 2016, semoga saya bisa secepatnya kembali ke Sulawesi Utara dan mengeksplor lebih banyak lagi keindahan alam yang dimilikinya. Sampai jumpa di Mlaku-mlaku nang Yogyakarta Ala Koper dan Ransel!
0 notes
Photo

Langit Bandung di awal tahun 2016 dijepret menggunakan hengpong jadul
01/01/2016 10:28
0 notes