danielpradina
danielpradina
ad maiorem dei gloriam
20 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
danielpradina · 4 years ago
Text
Rasisme : Mau Sampai Kapan?
telah dimuat di Opini.id
Sedang hangat-hangatnya media sosial dikejutkan viralnya video kekerasan yang dilakukan dua oknum TNI AL kepada seorang asli Papua yang kabarnya terjadi di Merauke, 26 Juli 2021. Entah apa yang terjadi sebelumnya, kedua tentara tersebut tampak mengunci gerak tubuh korban dengan meletakkan lutut di punggung dan seorang lain meletakkan kakinya di kepala korban.
Meskipun institusi TNI AL telah meminta maaf, pelaku harus tetap diusut tuntas. Kita tentu masih ingat aksi yang tak jauh berbeda dilakukan oleh Derek Chauvin terhadap George Floyd yang terjadi di Minneapolis, Amerika Serikat. Aksi tersebut menyita perhatian dunia lantaran dilakukan oleh seorang polisi dan membuat Floyd meninggal dunia.
Dua aksi tersebut erat kaitannya dengan isu rasial sebab masih adanya sentimen antar ras yang terjadi. Jika di Minneapolis antara orang kulit hitam dan orang kulit putih. Di Merauke, bahkan di Papua secara luas, isu politik terhadap orang asli Papua belum terkelola dengan baik.
Tagar #BlackLivesMatter pun membanjiri media sosial sebab kebetulan yang menjadi korban adalah saudara kita, kulit hitam. Tagar ini tak hanya kali ini menjadi simbol perlawanan. Ketika kasus Floyd mendunia, tagar tersebut menjadi sangat populer sebagai ungkapan protes dan penuntutan kesetaraan perlakuan.
Di Tanah Air, bukan kali ini saja aksi rasisme terhadap orang Papua dilakukan. Beberapa waktu lalu, adanya penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh gabungan kelompok aparat dan masyarakat dengan berbagai makian kasar. Di Jogja, kasus Obby Kogoya yang kepalanya diinjak dan hidungnya ditarik paksa adalah cerminan lainnya.
Lalu, mengapa Papua lekat menjadi korban rasisme?
Rasisme dalam tulisan ini hendak saya definisikan sebagai tindakan diskriminatif berbasis ras atau etnis tertentu. Tindakan tersebut menyebabkan ketidaksetaraan dan mencederai prinsip-prinsip kemanusiaan. Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyebut dalam pasal 1 bahwa tiap manusia dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak yang sama.
Sayangnya, dalam praktik, seringkali tidak sejalan dengan prinsip UDHR. Bahkan, praktik-praktik tersebut dinilai sistemik yang terkoordinasi dan terpelihara. Misalnya saja diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada masa Orde Baru yang membuat keterbatasan dalam berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya dalam praktik sosial, sistem politik juga menjauhkan warga Tionghoa dari kebebasan dan kesetaraan.
Jika saya boleh menyimpulkan dari berbagai kasus yang pernah terjadi, diskriminasi terjadi dalam ukuran tertentu. Misalnya, selalu terjadi berulang, memiliki target atau objek diskriminasi, dan adanya niat untuk menyakiti dari pelaku diskriminasi. Ketiga hal ini menggambarkan adanya aktivitas yang dengan sadar dilakukan. Sedihnya, seringkali terjadi ketika adanya peningkatan kesadaran mengenai HAM.
Merujuk pada riset Herdi Sahasad, diskriminasi etnis terjadi bukan semata-mata masalah antaretnis saja, melainkan adanya kebijakan pemerintah yang diskriminatif, kekuatan ekonomi-politik, dan adanya kepentingan penguasaan politik. Ketiga membentuk tatanan tak sehat yang selalu memelihara lingkaran setan diskriminasi ras.
Frans Magnis Suseno mengungkapkan perlu penciptaan prakondisi tertentu melalui kekuatan hukum yang harus diciptakan pemerintah terhadap segenap pelanggaran. Artinya salah satu fokus yang penting adalah menindak pelaku diskriminasi dengan tegas untuk menciptakan keadaan yang lebih menjamin perlindungan dan rasa aman. Jika tidak dilakukan, pelaku akan terus berkeliaran dan menebar kejahatan yang sama.
Potret diskriminasi ras terhadap orang asli Papua menggambarkan lingkaran setan yang tak berujung. Proses politik dengan pengiriman angkatan bersenjata menciptakan stigma tertentu bahwa Papua bukanlah wilayah yang aman, begitupun orang-orangnya. Meskipun pengiriman tersebut dilakukan karena adanya peningkatan status keamanan negara. Namun, karena telah berlangsung begitu lama, stigma itu terbentuk.
Proses politik itu mempengaruhi persepsi publik di luar wilayah Papua. Maka, tak jarang kita melihat berbagai penolakan dan tindakan diskriminasi dirasakan oleh orang asli Papua di daerah perantauan. Penggambaran tak berhenti di situ saja, keterbelakangan secara ekonomi dan pendidikan juga menjadi imaji lain yang dilekatkan.
Dalam negara multikultur sekelas Indonesia, harus diakui sulit untuk menihilkan segregasi antaretnis. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Negara sebetulnya sudah berinsiatif menunjukkan komitmen menghapus diskriminasi yang tercermin dalam RPJMN demi membentuk Indonesia yang adil dan demokratis. Sayangnya, itu saja terbukti tak cukup.
Mengelola ribuan etnis bukanlah perkara top to down yang harus dilakukan Pemerintah sendirian. Perlu upaya-upaya kolaboratif berupa non-diskriminatif yang diinisiasi berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut hanya dapat lahir jika diciptakan dan dirawat dalam situasi politik yang mendukung, dan itu harus diciptakan Pemerintah.
Salah satu upaya yang jelas harus dilakukan jika merujuk kasus Merauke adalah reformasi birokrasi, terutama angkatan bersenjata. Masih adanya tindakan yang terpelihara yang jelas-jelas melecehkan dan menganggap sebelah mata orang asli Papua. Meskipun dilakukan oleh oknum, perlu ditelusuri apakah itu disebabkan pemikiran yang memang sudah diskriminatif.
Selain itu, upaya melestarikan kearifan lokal yang harusnya menjadi modal kita dalam memelihara persaudaraan. Misalnya saja Pela Gandong, tradisi daerah Maluku, yang mencoba merawat hubungan antarkepercayaan Islam dengan Kristen. Terbukti, tradisi ini ampuh dalam upaya rekonsiliasi konflik beberapa waktu silam.
Jika memang ada political will yang baik dari Pemerintah, bukan tidak mungkin kita tak lagi mendengar diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua dan etnis/ras lainnya. Atas nama kemanunsiaan, tindakan diskriminatif terhadap hal apapun memang sudah seharusnya dihapuskan. Jika memang memerlukan waktu, hal ini jauh lebih memerlukan niat Pemerintah.
     Referensi :
Hesti Armiwulan (Diskriminasi Rasial dan Etnis Sebagai Persoalan Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Heri Sahrasad ( Polarisasi Sosial dan Kekerasan Politik : Studi Tentang Kesenjangan Pribumi Muslim dan Etnis Tionghoa di Indonesia Era Orde Baru 1966-1998)
The Indonesian Legal Resources Center (Memahami Diskriminasi)
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Solidaritas Rakyat Miskin Kota
telah dimuat di Opini.id dengan judul “Melihat Gotong Royong Rakyat di Tengah Pandemi”
Sudah lebih dari 16 bulan Indonesia berada dalam masa pandemi Covid-19. Selama itulah berbagai aspek kehidupan kita sebagai kesatuan bangsa diuji dan dijungkirbalikkan. Kesehatan, ekonomi, sosial, politik, bahkan nilai-nilai luhur kebangsaan, seperti gotong royong, ditelanjangi dan diolok-olok tidak karuan. Lalu, apakah hasilnya kita seburuk itu?
Merefleksikan kembali makna identitas sebagai suatu bangsa rasanya tak lepas dari satu tradisi yang hidup sebagai warisan luhur, yaitu gotong-royong. Gotong-royong secara sederhana kita artikan sebagai aksi tolong menolong atau bantu membantu. Biasanya kita temui dalam bentuk pembangunan fisik fasilitas umum ataupun kepemilikian pribadi.
Desa menjadi wilayah dengan konsepsi gotong royong yang dikenal kuat baik dalam level individu maupun kolektif. Kita tentu tak sulit jika diminta menyebutkan bentuk gotong royong yang ada di masyarakat desa ataupun masyarakat adat. Namun, bagaimana jika kita diminta menyebutkan bentuk gotong royong ala masyarakat miskin kota?
Tentu sulit untuk membayangkan dalam keadaan sama-sama susah untuk saling membantu. Terlebih, masa pandemi, memaksa tiap individu untuk kerja keras memikirkan kehidupannya sendiri dan keluarga. Bisa saja, dalam prosesnya saling acuh tak acuh atau bahkan sikut menyikut. Plautus menyebut dengan tegas, manusia sebagai Homo homini lupus atau serigala bagi manusia lain.
Kita bisa bisa melihat jelas bentuk manusia seperti yang dijelaskan Plautus di masa pandemi ini ; penimbun masker, penimbun hand sanitizer, penimbun obat-obatan, penimbun oksigen, koruptor bantuan sosial, penganut dan penyebar hoaks, dan segala upaya lain untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan merugikan orang lain.
Lalu, dimana gotong royongnya? Filsuf Stoik, Seneca, menyebut bahwa lawan dari homo homini lupus adalah homo homini socius, yang berarti manusia adalah teman bagi sesamanya. Ungkapan ini menjadi insipirasi banyak proses sejarah yang akhirnya membentuk dan menentukan kerja sama sosial menjadi identitas banyak kelompok, termasuk kelompok bangsa Indonesia.
Presiden Soekarno, dalam upayanya “memeras” Pancasila, ia menemukan satu sila yang dapat menggambarkan lima sila, yaitu gotong royong. Ia meyakini bahwa penghayatan Pancasila jika dilakukan dengan benar, secara praksisnya, nyata dalam bentuk gotong-royong. Dalam pendidikan P4 ala Presiden Soeharto, gotong-royong masuk dalam pengamalan Demokrasi Pancasila sebagai modal utama pembangunan.
Masyarakat miskin kota adalah gambaran kelompok dilematis yang sebagian diantaranya merupakan pendatang dari desa yang hidup di tengah hiruk pikuk moderintas. Moderintas lekat dengan hal yang bersifat individual. Maka, egoisme pribadi lebih mendominasi ketimbang adanya inisiatif yang bersifat kolektif. Terlebih, himpitan kehidupan tetap memaksa mereka mempertahankan hidupnya.
  Namun apa yang terjadi? Perasaan senasib dalam menghadapi pandemi menghidupkan sel inti gotong royong yang terwariskan dalam sanubari. Secara sadar, berinisiatif untuk bersama-sama mempertahankan hidup. Bukan lagi urusan hidupmu dan hidupku, melainkan kehidupan kita bersama. Ini adalah modal turunan yang sangat berharga yang seharusnya terus dirawat dan disemai.
Kita bisa melihat contoh kelompok rekan-rekan transgender yang kehilangan mata pencaharian lalu bahu membahu belajar resep masakan, berbagi tugas, lalu menjualnya. Keuntungannya demi menyambung hidup, setidaknya selama pandemi. Lalu, banyak juga yang membantu dengan menggantungkan bahan makanan di sudut-sudut jalan agar dapat diambil dan dimanfaatkan yang sedang kesulitan di jalanan.
Ketika ada teman senasibnya yang harus menjalani isoman pun, banyak yang sukarela memberikan ruang tinggal sementara. Ada juga kisah viral pedagang bubur ayam yang membagikan ribuan bungkus bubur untuk warga yang isoman. Ada juga warga yang memiliki usaha pengisian oksigen, memberikan pengisian oksigen gratis bagi masyarakat.
Upaya-upaya ini justru lahir dari berbagai kekurangan yang dimiliki masing-masing orang atau kelompok. Sebagai warisan luhur, gotong-royong berperan mereduksi kepentingan pribadi dan mengkonversinya menjadi kepentingan bersama. Hal ini tampak jarang dilakukan di wilayah perkotaan sebelum pandemi berlangsung. Dengan demikian, kita bisa saja sebut pandemi adalah “alarm kebakaran”.
Koentjoroningrat (1985) menyebut timbulnya gotong-royong dirangkai dari nasib, kesaling-terikatan, kesaling-ketergantungan, dan hubungan baik manusia. Keempatnya memaksa setiap orang yang terlibat melakukan penyesuaian diri. Dalam tahap inilah reduksi egoisme terjadi. Sebab, selain ikatan nasib dan budaya, masyarakat sadar jika masa depan makin tak bisa ditentukan oleh pribadi masing-masing.
Kehidupan agraria sangat mempengaruhi bangsa Indonesia memiliki kecakapan yang cukup mengenai hal ini. Kita hanya perlu merawat ruang proses dan warisan nilai itu sendiri. Sayangnya, kita justru semakin dekat dengan egosentrisme. Alhasil, akan selalu perlu “alarm kebakaran” semacam pandemi untuk menguji kekuatan gotong-royong tersebut.
Kita, selama masih butuh untuk dijaga tetangga, layak nya kita juga menjaga tetangga. Gotong-royong perlu terus untuk dirawat, bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tapi juga generasi yang akan datang. Mereka juga berhak menerima dan menikmati warisan sosial yang sama berkualitasnya dengan apa yang kita terima.
Semoga bumi lekas sembuh!
  Referensi :
Koentjaraningrat. Sistem Gotong-Royong dan Jiwa Gotong-Royong (1987)
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Hilangnya Tan Malaka
telah dimuat di Opini.id
Jika mengingat kembali materi belajar selama sekolah, saya hampir tidak menemukan nama Tan Malaka. Namanya justru sering muncul di sudut-sudut poster, baliho, bahkan grafiti yang biasanya digunakan massa aksi demonstrasi. Kata-katanya tampak gagah perkasa dalam melawan sistem penjajahan yang jahat dan menindas.
Lalu, mengapa ia tidak muncul dalam sejarah?
Lahir dalam keluarga priyayi yang agamis, membuat sosok Tan Malaka besar dengan kebutuhan dan bimbingan moral yang tercukupi. Tanah Minang membentuk dirinya sebagai seorang yang cakap dan pembelajar. Ia bahkan dianggap sebagai penerus banyak tokoh intelektual yang memiliki peran penting dalam kemerdekaan.
Gelar “datuk” melekat pada namanya. Gelar itu membawa beberapa keistimewaan baginya, salah satunya tawaran untuk menikahi seorang gadis. Namun, Tan tak mengambilnya. Padahal, tradisi Minang memegang prinsip matrilineal dimana pihak perempuan yang dianggap layak mewarisi harta kekayaan.
Ibrahim, begitu nama kecilnya, memilih melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Di sanalah ia mulai terbuka dengan berbagai ilmu, salah satunya ilmu filsafat. Ia belajar banyak kisah dan teori terutama mengenai sosialisme dan pergerakan massa. Suatu waktu ia terinspirasi kisah Revolusi Bolshevik, dimana perjuangan kaum tertindas berhasil mengalahkan pemilik modal.
Tan tak begitu saja melewatkan kisah itu. Ia mengadopsinya dengan apa yang ia selalu lihat di Tanah Air. Modal belajar teori Karl Marx, Tan lantas menimba banyak pikiran agar dapat ia adaptasi. Pasalnya, revolusi Marx dikenal mengesampingkan agama. Padahal, Tan sangat patuh dalam beragama. Ia pun memandang, tanpa pertentangan, seharusnya keduanya bisa selaras.
Bertemu dengan banyak sahabatnya, Tan tidak berjuang sendirian. Namun, ia banyak terganjal banyak pihak yang tak suka kehadirannya, bahkan pemikirannya. Misalnya saja keterlibatannya dalam pergerakan Sarekat Islam (SI) yang tidak dikehendaki Busro, tokoh SI saat itu.
Tak lama setelah dinobatkan sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), Tan mendapat tugas memimpin gerakan pemogokan kaum buruh pegadaian. Gerakan itu pula yang membuat ia ditangkap dan harus menyingkir dari Hindia Belanda. Ia memilih mengasingkan dirinya kembali ke Belanda. Di sinilah ia mulai dikenal dunia internasional.
Pidatonya di acara Partai Komunis Sindikalis membuat ia sempat diusulkan menjadi anggota parlemen Belanda. Namun, terganjal masalah usia yang belum 30 tahun. Tak lama kemudian ia mewakili PKI dalam sidang Komunis Internasional (Komitern) IV di Moskow. Di sinilah ia menyampaikan bahwa pergerakan melawan perkembangan Islam tidak bisa diterapkan di Hindia Belanda.
Pemikiran itu ia sampaikan terkait adanya dualisme ideologi yang memecah pergerakan di Tanah Air. Ia memandang bahwa justru Islam menjadi modal ideologi yang baik bagi pergerakan revolusionis. Ia dengan jernih menempatkan diri pada dua kutub yang berseberangan mengenai konsensus agama dalam pergerakan.
Akibat banyak tidak diterima dan banyak aksi revolusi yang gagal, ia kemudian sering berpindah haluan mendirikan organisasi politik. Misalnya saja PARI di Bangkok. Ia menilai, ideologi PARI sangat cocok dengan kebutuhan rakyat banyak. Sejak itu, Tan menjadi sosok penting dalam jaringan organisasi yang melakukan perjuangan kemerdekaan.
Meskipun sering berpindah-pindah tempat, Tan tak lupa untuk menulis. Ia selalu menyempatkan diri menulis mengenai pemikiran dan sikapnya terhadap suatu aksi atau penindasan secara luas. Ia melahirkan banyak tulisan dan buku meskipun ada catatannya yang tak sempat terbit karena kekurangan duit.
Pergerakan yang dilakoni Tan memang tak pernah mulus. Alih-alih mendapat banyak dukungan penuh, ada saja yang menjadi benalu dalam kisah perjuangannya. Banyak yang sabar dengan dirinya akibat banyaknya pertimbangan yang harus diambil Tan.
Maklum, sebagai seorang yang juga membaca Aristoteles, penggunaan rasionalitas sangat kuat di dalam pikirannya. Ia bahkan sempat dengan keras menentang masuknya ajaran-ajaran mistik yang seringkali membuat masyarakat Indonesia malas berpikir logis. Menurutnya, hal ini juga yang membuat masyarakat terjebak dalam kaki feodalisme.
Tan Malaka sempat menyesalkan ketiadaannya dalam proses Proklamasi Kemerdekaan. Ia terganjal relasi yang membuatnya berhenti tak bisa ambil bagian. Meskipun begitu, ia tak menyesal terlalu lama. Saat pemerintahan telah berada di tangan Soekarno, ia sempat bersitegang dengan Perdana Menteri Syahrir mengenai pergerakan revolusi.
Ia kemudian ditangkap dan diasingkan. Kedatangan tokoh PKI, Musso, dari Moskow, membuat situasi politik panas. Soekarno tak tinggal diam dengan membentuk kelompok tandingan. Bersaaman dengan itu, Tan dibebaskan. Ia langsung memimpin kekuatan massa dengan menyebar propaganda persatuan. Sayangnya, ia mati di tangan tentara. Ada dugaan, kematiannya adalah hasil sebuah persekongkolan jahat pemerintah.
Tentu bukan hal yang mudah bagi Tan menjalani jiwa revolusionernya. Ia layaknya karang yang terus menerus dihantam ombak. Keteguhannya terhadap kemerdekaan, membuat ia tetap setia dalam jalannya. Tan kecil yang banyak teinspirasi dari banyak tokoh Minang yang menjadi tokoh nasional, harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk dikenang.
Stigma buruk mengenai komunisme yang seolah-olah bertentangan dan melawan agama membuat seolah perjuangannya tak dilirik sedikitpun. Padahal, komunisme yang ia perjuangkan dengan jelas merangkul tradisi dan ajaran Islam. Keputusan Komitern yang terus melawan perkembangan politik Islam membuat stigma itu menguat.
Seorang yang cakap, yang mampu memadukan teori dan realitas, seperti Tan Malaka tak banyak dimiliki bangsa ini, bahkan sampai sekarang. Hanya karena memilih jalan yang tak biasa, bahkan oleh kalangannya sendiri, Tan diasingkan, dibunuh, dan dihilangkan. Kini, Tan hanya tersedia bagi mereka yang mau membaca kisahnya.Tentu itu dilakukan di luar institusi pendidikan formal.
Muatan politis yang sarat kepentingan membuat banyak yang hilang dari sejarah yang harusnya diketahui masyarakat Indonesia. Bukan hanya untuk mengenang jasanya, melainkan merawat daya kritis dari berbagai kisah yang seharusnya kita dapat kita terima secara percuma. Namun, apa daya, Tan mungkin memang sudah dan akan selalu hilang.
Sumber :
Tan Malaka dan Sosiologi Generatif (A Zahid, 2021)
Madilog (Tan Malaka, 1948)
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Wajarkah Tidak Percaya Covid-19?
telah dimuat di Opini.id
Saat menulis tulisan ini, tercatat di laman covid19.go.id, sudah ada 2,8 juta lebih orang di Indonesia yang terkonfirmasi tertular Covid-19. Sebanyak 2,2 juta orang diantaranya dinyatakan sembuh, sedangkan lebih dari 73 ribu orang telah meninggal dunia.
Berdasarkan catatan tersebut, mungkin saja ada nama Anda, keluarga Anda, teman Anda, atau siapapun yang Anda sayangi. Sedihnya, angka-angka tersebut terus bertambah, walaupun kita semua berharap ini segera selesai.
Flashback saat pandemi dimulai, tentu kita ingat kejadian yang seolah menegasi betapa ngerinya Covid-19. Mantan Menteri Kesehatan Terawan misalnya, sempat meminta kita tak ambil pusing dengan virus ini. “Menterinya aja confident kok.” celotehnya. Menteri Perhubungan Budi Karya, juga sesumbar orang Indonesia kebal virus corona karena doyan nasi kucing.
Lain lagi, mengenai berbagai prediksi soal akhir dari pandemi. Sempat dengan percaya diri ditargetkan bahwa pandemi akan selesai sebelum Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 2020. Hal ini sekaligus digadang-gadang menjadi kado manis ulang tahun bangsa Indonesia.
Itu adalah contoh kejadian dari Pemerintah. Beda lagi di level masyarakat. Misalnya saja ada pasien positif Covid-19 malah kabur dari rumah sakit, karena merasa di-Covid-kan. Dengan alasan yang sama, ada beberapa keluarga yang mengambil paksa jenazah keluarga mereka yang meninggal di rumah sakit.
Kejadian-kejadian di atas menggambarkan betapa kesangsian terhadap Covid-19 terjadi di level atas hingga ke bawah. Hal ini seolah berbanding terbalik dengan berbagai riset dan analisis ilmiah mengenai pandemi dari berbagai pakar kesehatan.
Tentu kita tahu tokoh seperti Jrinx dan dr Louis yang viral dalam aksinya meragukan pandemi Covid-19. Jrinx menganggap bahwa pandemi adalah skenario elit global, sedangkan dr Louis mempercayai kematian yang ada selama pandemi bukan disebabkan oleh virus corona.
Meskipun begitu, keduanya tidak bisa memberi bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan pakar kesehatan yang lain. Namun, daya pengaruh mereka terlanjur besar. Banyak orang yang tadinya percaya menjadi ikut meragukan, dan yang tidak percaya makin pede dengan pendapatnya.
Di lain sisi, sejalan dengan para pakar, banyak yang mengambil bagian untuk berbagai aksi kemanusiaan selama pandemi. Jelas tenaga kesehatan berperan penting di garda terdepan. Kita juga tidak bisa melupakan peran pihak-pihak lain yang memberi andil selama pandemi ini, misalnya saja relawan di rumah sakit dan tenaga pemakaman.
Anda tentu tak asing dengan dr. Tirta, seorang dokter yang terkenal nyentrik dalam mengedukasi masyarakat mengenai virus corona. Ada juga relawan yang setiap hari berusaha menginformasikan segala hal mengenai pandemi kepada masyarakat, misalnya saja pandemictalks dan kawalcovid. Dan masih banyak lagi pihak-pihak yang bekerja serupa dengan mereka.
 Tom Nichlos, dalam bukunya berjudul “The Death of Expertise” menjelaskan dalam era kemajuan ini, banyak orang terobsesi dengan informasi. Semua berlomba mendapatkan informasi tanpa merasa perlu memahami informasi tersebut. Ia mencontohkan tentang dua aktor yang menjadi pejuang antivaksin, Jim Carrey dan Jenny McCarthy yang menyebarkan isu miring mengenai vaksin.
Peter Duesberg, seorang dosen di University of California, tergabung dalam sebuah kelompok yang menentang konsensus bahwa virus HIV adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS. Ini membuktikan bahwa, adanya penolakan terhadap ilmu yang sudah mapan juga terjadi di belahan dunia lain, bahkan oleh seorang akademisi.
Menyambung hal tersebut, Isaac Asimov mengungkapkan “Ketegangan anti-intelektualisme selalu menjadi benang melilit melalui kehidupan budaya dan politik yang dipelihara dengan gagasan yang salah bahwa : ketidaktahuan sama berharganya dengan pengetahuan” sangat-sangat relevan. Tapi ini sungguh membahayakan.
Inilah dampak dari era Pasca-Kebenaran (post-truth) yang menempatkan kebenaran bukan sebagai tujuan utama. Kegilaan mencari informasi, membuat orang bukan hanya ingin menikmati informasi, tetapi juga memproduksi informasi. Padahal, bisa saja, tak ada kompetensi sedikitpun mengenai informasi tersebut.
Situasi ini mirip, seperti yang digambarkan Thukydides, dengan adanya sekumpulan orang yang kecandunan inovasi pada masa abad ke-5 SM di Yunani. Mereka terus menerus berbicara soal gagasan baru dengan menunjukkan kekolotan atas dasar kebebasan berbicara dalam demokrasi.
Banyak orang cenderung merasa ingin secepat-cepatnya menjadi sumber informasi. Pada titik ini, bias konfirmasi sangat mungkin terjadi. Bias konfirmasi merupakan kesalahan pemahaman terhadap suatu informasi karena adanya keterbatasan dalam pengolahannya. Internet dianggap sebagai biang keladi kekacauan pikiran banyak orang.
Harari mengungkapkan kepincangan perkembangan antara science dengan arts membuat tumbuhnya rasa saling curiga karena pesatnya ilmu pengatahuan tak dibarengi perkembangan karsa dalam diri manusia. Karsa inilah yang berperan penting dalam pengolahan informasi. Sebab, empati dan logika menjadi unsur pentingnya.
Lalu, kita harus apa? Karl Taro Greenfield menggambarkan kita “pura-pura melek budaya”. Kita seolah terus menerus ingin tahu agar tidak terkesan ketinggalan perkembangan terkini. Dengan cara itulah kita mendengarkan banyak suara yang mungkin seharusnya sebagian diantaranya tidak perlu kita dengarkan.
Akhirnya, ketika pendapat pakar diabaikan, semua terjebak dalam banyak “informasi palsu” Kita harus mau dengan rendah hati mengaku bahwa kita tidak tahu atau pendapat kita bisa saja salah. Bukan hanya akan menghindarkan kita dari kesesatan, melainkan juga menghindarkan lebih banyak orang dalam resiko tak terselamatkan.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Menggapai Tuhan dengan Pikiran
Sebagian dari kita, mungkin memiliki rekan atau keluarga yang saking berserahnya kepada Tuhan, menolak banyak hal keduniawian. Misalnya saja soal kesembuhan dari penyakit yang dipercaya adalah wewenang penuh dari Tuhan. Maka, manusia tak boleh mendahului atau menyangkalnya sedikitpun. Bahkan, perawatan medispun dihindari.
Kita juga mungkin punya kolega yang terus menerus mempertanyakan keberadaan Tuhan atau bahkan menentang pemahaman mengenai Tuhan. Padahal, kalau lihat KTPnya, ia beragama tertentu. “Agama KTP” istilahnya. Mereka mengklaim harus ada bukti logis yang membuktikan keberadaan Tuhan, baru mereka percaya.
Kelompok pertama biasanya ditemui pada orang yang tinggal atau terdidik di lingkungan yang konservatif dalam beragama. Sedangkan, kelompok kedua sering kita jumpai di perkumpulan edgy generasi milenial yang hobi ngobrol ngalor ngidul membicarakan mengenai kehidupan yang dinilai fana.
Kita yang mendengarkan mereka mungkin sering terjebak. Larut dalam pembicaraan dan mendadak no comment ketika dimintai tanggapan. Seolah tak mau menyalahkan dan juga membenarkan. Alasan klasik kita, semua orang berhak punya pandangan. Padahal, bisa saja, ada yang perlu kita luruskan.
Jika membaca kisah antara Plato dan muridnya, Aristoteles, kita mungkin sedikit tercerahkan mengenai perbedaan pandangan di atas. Awal mula segala pengetahuan dan kepercayaan juga diawali adanya perbedaan. Plato yang berlandaskan ide-ide dan Aristoteles yang lebih percaya hal-hal yang konkret.
Filsuf Jermal, Friedrich Hegel, terkenal dengan teori dialektikanya. Secara sederhana, teori ini menggambarkan proses saling mengingkari, melawan, ataupun berkompromi untuk menciptakan pengetahuan baru ataupun menguatkan yang sudah ada. Hegel menggambarkan ini sebagai sebuah benturan (kontradiksi) yang menjadi bagian dari proses berlogika.
Tan Malaka mengungkapkan adanya potensi kelumpuhan akal dalam apa yang disebutnya sebagai logika mystika. Konteks ini ditempakan seiring perkembangan paham Ketuhanan yang menurutnya tidak berdasar dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Ini bertentangan dengan logika yang diajarkan Aristoteles yang mengedepankan rasionalitas.
Meskipun begitu, Tan Malaka bukanlah seorang yang menentang ajaran agama. Ia justru mempercayai bahwa ajaran agama dapat dicapai dengan logika. Langkah penyatuan antara manusia dengan Tuhan sangat mungkin dicapai jika manusia menggunakan jembatan rasionalitas.
Sedangkan, dalam upaya mendamaikan pemikiran Plato dan Aristoteles, Plotinos mengungkapkan tentang permulaan segala sesuatu yang disebut arkhe. Secara hirarki, arkhe disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Taraf tertinggi, ia menggambarkan adanya “Yang Satu” yaitu sesuatu yang emanasi atau meluap-luap dari kepenuhannya. Kepada “Yang Satu” itulah kita melangkah dari taraf terbawah yaitu materi.
 Jika kita merujuk pada contoh kejadian di awal tulisan ini, tentu tidak serta merta kita melabeli pendapat atau pengetahuan mereka tidak didasarkan kepada logika. Namun, kita juga perlu dengan logis memahami bahwa pendapat mereka adalah sebuah dialektika seperti yang diungkapkan Hegel.
Tesis, antitesis, dan sintesis adalah tiga unsur yang saling berkontradiksi dalam teori dialektika Hegel. Pendapat yang ada saat ini bisa kita sebut tesis, lawan dari tesis adalah antitesis, lalu sintesis adalah proses peleburan tesis dan antitesis untuk menjadikan tesis yang baru. Begitu seterusnya.
Melalui pemahaman itu, tentu tidak ada pemahaman yang mandeg atau absolut. Semua terus berkembang dan memang harus berkembang. Begitu juga pemahaman mengenai kepercayaan akan Tuhan dan pemahaman mengenai kesangsian akan Tuhan. Nyatanya, saat ini itu hanyalah tesis.
Orang hanya perlu terbuka dan mengaku bahwa dirinya terus belajar. Ini demi kelancaran proses berlogika yang akan dipenuhi dengan kontradiksi atau benturan. Tidak ada pendapat yang menjamin kepastian sekalipun sahih. Sekalipun berupa antitesis, proses dialektika juga harus dipenuhi untuk dalam pembentukannya. Maka, diperlukan pengetahuan dan kecapakan yang cukup.
Dengan begitu, kita akan menjadi manusia bermartabat tanpa menyalahkan pemikiran lain, lebih-lebih mengafirmasi kebenaran pemikiran pribadi secara berlebihan. Hal tersebut bukan hanya menghilangkan akal budi, tetapi juga empati. Hilangnya empati akan memunculkan masalah kemanusiaan.
1 note · View note
danielpradina · 4 years ago
Text
PROBLEMATIKA “MOHON IJIN”
Untuk kalian yang bekerja atau sehari-hari ada di sekitar lingkup pemerintahan, pasti gak asing dengan frasa “mohon ijin”. Buat kalian yang tidak, emang kalian siapa kalau bukan rakyat miskin biasa? Heuheu… Kabar baiknya, tulisan ini buat kalian yang belum pernah mendengarnya.
“Mohon ijin menyampaikan pendapat……”
“Mohon ijin menyanggah…….”
“Mohon ijin menjawab…..”
“Mohon ijin tidur sebentar….”
Tentu yang terakhir gak ada ya… gak ada yang kaya gitu. Ngapain harus meminta ijin? Langsung aja kali!
Nah, itu adalah contoh-contoh kecil bagaimana frasa “mohon ijin” diucapkan. Biasanya memang sering diucapkan oleh pejabat atau golongan yang lebih rendah kepada pejabat atau golongan yang lebih tinggi. “Mohon ijin” digunakan untuk mengawali kalimat yang akan diucapkan, yang terntunya diucapkan setelah salam pembuka seperti assalamualaikum atau shalom atau om swvastiastu atau nammo buddhaya atau salam kebajikan agar terkesan mencintai keberagaman
Kebiasaan ini sudah jadi turun temurun di lingkungan birokrat tanah air. Rasanya kurang lengkap dan kurang sopan kalau tidak menggunakan dua kata itu. Bisa-bisa atasan kita sensi kan merasa bawahannya gak sopan sama dia. Atau, kalau saja lupa, bawahan bakal merasa berdosa tujuh hari tujuh malam karena takut pangkatnya gak jadi naik wkwkwkw. Yang jelas, “mohon ijin” sudah jadi kebiasaan mendarah daging di antara para pemakai seragam coklat-coklat bahkan sampai ke level eksekutif.
Menurut analisis saya, ini pakai analisis saya karena susah nyari referensinya, kebiasaan ini lahir karena kita punya budaya menghormati yang dituakan atau yang lebih tinggi. Dalam konsep budaya Jawa, dalam sosial misalnya, kita sering mendengar kata “Nuwun sewu”. Persis dua kata inilah juga yang dipakai untuk mengawali kalimat agar lebih terkesan sopan walau banyak kata-kata tusukan mengikutinya heuheu. Bukan, bukan, saya bercanda. Itulah mengapa dalam konsep formal di tata birokrasi, tercetus kata “mohon ijin”.
“Mohon ijin” bukan lah sekadar kata-kata lalu yang digunakan hanya untuk memunculkan kesan sopan santun. Tapi mampu menggambarkan hal yang lebih besar dibaliknya. Kita tahu bersama adanya budaya feodalisme, yang menganggap orang dengan previlej tertentu layak untuk lebih dihormati daripada yang lain. Jika merujuk kepada sejarah Yunani, feodalisme adalah paham yang memberikan keleluasaan atau bahasa susahnya mendelegasikan kekuasaan secara sosial dan politik terhadap kaum tertentu, yang dalam konteks Yunani saat itu adalah kaum bangsawan.
Indonesia memiliki sejarah panjang bagaimana penghormatan kepada kaun elit dan pejabat kolonial. Penghormatan itu dulu adalah penghormatan yang dipaksakan. Bagaimana tidak, hidup para pendahulu kita memang dalam situasi keterpaksaan, kalau melenceng sedikit ya disiksa. Kebiasaan ini memunculkan ruang yang makin luas terhadap para penguasa, bahkan ke penguasa-penguasa pribumi. Bukan hanya secara struktur menjadi pemimpin, tapi lebih kepada mempercayai bahwa pemikiran, perkataan, dan perbuatan sang penguasa adalah salah satu jalan hidup yang dipercaya memiliki kebenaran. Para penguasa lama kelamaan makin merasa luas kekuasaan dan pengaruhnya, sedangkan rakyat makin tunduk dan rasa sungkannya tinggi. Ini memunculkan jarak yang makin lebar.
Memangnya kenapa kalau seperti ini? Fenomena ini bisa dibilang ada baiknya dan ada buruknya. Baiknya, seperti yang saya ceritakan, akan memberikan rasa hormat untuk penguasa dan kelegaan bagi masyarakat yang mengucapkannya. Sisi buruknya, “mohon ijin” mampu membuat perkataan yang harusnya sarat dengan isi, tapi menjadi berkurang karena perasaan sungkan. Hal ini seringkali terjadi di rapat-rapat yang isinya penyampaian pendapat. Bawahan yang memiliki banyak kritik mengenai ide sang atasan seringkali harus menata bahkan mengurangi apa yang hendak dikatakannya karena feodalisme masih jelas terbawa. Akibatnya, tidak semua kritik atau aspirasi tersampaikan. Jikalau tersampaikan, mungkin sudah banyak tereduksi karena penataan bahasa yang dubuat-buat. Tidak to the point.
Kalau kalian pernah mendengar istilah “Asal Bapak Senang” alias ABS, inilah yang dimaksud ABS tersebut. Ketidakmauan bawahan untuk menyampaikan hal yang buruk kepada atasan agar atasan taunya dibawah ya baik-baik saja. Atau bisa saja atasan memang tak mau ada berita buruk. Intinya kan bawahan mengurangi atau malah tidak menyampaikan sesuatu yang harusnya bisa disampaikan. “Mohon ijin” dianggap memberi efek kepada orang untuk secara langsung tanpa komando menghormati dengan amat sungguh atasan atau lawan bicaranya. Lalu, yang tadinya mungkin mau misuh-misuh malah jadi sealus krama inggil, ini contoh saja.
Itu aja sih. Mungkin kalau kalian ada pengalaman ya!
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
FUNDAMENTALISME
Kadang kala kita dihadapkan dalam persoalan sulit, yaitu membandingkan dan menghubungkan pemahaman agama yang kuat dengan terorisme. Sebagian dari kita menganggap bahwa terorisme, suka tidak suka, harus diakui sebagai bagian panjang dari mengakarnya paham agama. Sedangkan narasi lain menyebutkan bahwa harus ada kejelian untuk merelasikan keduanya dengan memahami perbedaan-perbedaan yang ada. Kegamangan ini seringkali membuat banyak dari kita sulit menentukan sikap, bahkan untuk berpendapat. Takut salah? Pasti. Apalagi ini soal sensitif di Indonesia.
Fenomena “artis hijrah” tampak lazim akhir-akhir ini. Artis-artis yang semula berasal dari dunia penuh gemerlap yang cenderung sekular, bergeser menuju dunia yang dianggap lebih amanah dan penuh rahmat Allah. Mereka seolah menunjukkan bahwa gemerlap yang mereka nikmati selama ini bukanlah yang dikehendaki Tuhan, bahwa pilihan mereka sekaranglah yang patut dicontoh dan diikuti khalayak lain. Di satu sisi, pemahaman yang sama membawa orang kepada tindakan-tindakan yang brutal tapi dipercaya sebagai jalan Allah, ya, dengan meneror.
Sebetulnya, banyak juga peristiwa serupa yang terjadi di golongan kelompok lain yang mencoba menarik diri dari hiruk pikuk dunia modern untuk kembali ke nilai-nilai yang sudah dipercaya dan bersifat mendasar, misalnya nilai-nilai kebudayaan. Misalnya saja kelompok suku Baduy Luar yang tetap menjada jarak dengan modernitas dengan menempatkan nilai-nilai leluhur sebagai pijakan kaki. Lain lagi kelompok yang melakukan pengasingan diri dengan menganut paham-paham tertentu, misalnya bertapa atau bermeditasi.
Titik-titik fenomena ini bisa dibaca dalam kerangka fundementalisme. Maksudnya, adalah menganut paham bahwa nilai-nilai dasar dalam agama, sosial, ataupun budaya patut untuk dipegang teguh dalam hal melindungi diri dari hujan ajaran-ajaran kebebasan yang dianut dunia. Kita yang makin hari makin lelah dengan pola-pola hedonisme, kebebasan pergaulan, atau individualisme, makin cenderung mencari orientasi tertentu yang dianggap dapat menjadi pelindung, atau setidaknya tempat yang nyaman. Ajaran-ajaran luhur yang penuh dengan nilai kehidupan dalam agama, sosial, dan budaya seringkali menjadi pilihan seksi untuk dipelajari kembali. Maka, orang cenderung menarik diri dan pikirannya, bahkan lama-kelamaan cenderung menolak paham lain di luarnya.
Saya sendiri sedikit demi sedikit masuk pada pemikiran fundamentalis dengan mempelajari nilai-nilai agama dan budaya-budaya lokal. Kelelahan saya pada ramainya standar-standar kehidupan yang luas dan tak terukut membuat saya perlu membawa diri kepada “kedamaian yang sederhana”. Anda para pembaca mungkin saja ada yang sama dengan saya. Atau mungkin punya pengalaman lain. Jika tidak mengalami, mungkin saja belum. Bagi saya, saya percaya bahwa kehidupan seperti spiral yang bermakna terus bergerak walaupun naik dan turun. Saat ini, mungkin saat yang tepat bagi saya untuk menarik diri dari hal-hal yang saya anggap sebagai sekularisme.
Menarik memahami bahwa pemahaman ini bisa jadi erat atau bahkan tidak ada hubungannya dengan aksi terorisme. Seringkali publik dengan gampang menarik kesimpulan bahwa para penganut paham fundamentalisme, misalnya di agama, rawan menjadi seorang kombatan teroris. Atau fundamentalis budaya dianggap tidak mampu berkembang di tengah gempuran zaman yang seharusnya kita juga menyesuaikan. Saya menganggap pandangan-pandangan ini sebagai pandangan yang mencerminkan kemalasan berpikir. Misalnya saja ajaran atau paham khilafah yang dianut sebagian orang sering disalahartikan sebagai bibit terorisme. Padahal, khilafah merupakan kepercayaan politik biasa, sama seperti demokrasi, monarki, otoriterianisme, dan lain-lain. Contoh lain seperti upaya masyarakat suku Asmat yang mendewakan pohon sagu dianggap sebagai musrik, terbelakang, dan sulit berpikir maju. Bahwa setiap konsep berpikir memiliki landasan yang logis soal apa, mengapa, dan bagaimana konsep berpikir itu harus bekerja. Sulit mengukur pemahaman yang masih dalam batas pemikiran, apalagi memberi penilaian. Rasanya tak pantas.
Hal berbeda jika diaktualisasikan dalam tindakan yang bersifat desduktrif seperti membom, menusuk, menghasut, dan lain-lain. Konsep menarik diri (detachment) pada mulanya adalah dimulai dari kesadaran diri tanpa ada agresi-agresi tertentu. Tindakan-tindakan yang berhubungan dengan agresi tersebut tentu tidak bisa dibenarkan sekalipun kebebasan berpikir dan aktualisasinya dijamin negara. Namun dalam praktiknya merugikan hak orang lain dan berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban, negara perlu tegas hadir dalam batasan-batasan tertentu. Keterbatasan pelaku agresi dipengaruhi oleh pengetahuan dan rasa emosional yang tak terkendali. Ini patut menjadi perhatian bersama terkait dengan kontra narasi pada ajaran-ajaran fundamental yang berisiko negatif.
Intinya, pemahaman yang mendasar mengenai suatu konsep adalah sah-sah saja dianut dan diikuti siapapun. Kehadiran negara haruslah pada ruang yang tepat agar makna kebebasan berekspresi dapat tetap tumbuh dan terjamin. Negara harus menjamin kepastian perlindungannya sekaligus melindungi hak warga sipil.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENCEGAHAN RADIKALISME
Bukan hal baru rasanya jika ada aksi teror yang tiba-tiba terjadi di Indonesia. Entah berupa pengancaman, perusakan, penusukan, pembunuhan, atau bahkan pemboman. Hampir semua peristiwa teror dengan jelas memperlihatkan niat untuk menghancurkan manusia. Namun, kita sepakat bahwa yang ingin dihasilkan oleh para pelaku teror adalah rasa takut yang kolektif. Sedikit saja flashback ke beberapa masa dimana aksi teror benar-benar membuat khalayak terhenyak. Bom Bali I pada tahun 2002 yang merenggut 202 korban jiwa dan ratusan lain terluka. Baru sempat menyembuhkan luka, Bali diguncang bom kembali pada tahun 2005 dengan 23 korban tewas (Sumber : Kompas). Melompati mendekati tahun 2020, ada peristiwa bom Gereja di Samarinda tahun 2016, bom Gereja di Surabaya tahun 2018, beberapa aksi teror di markas kepolisian, dan tahun 2021 ini bom bunuh diri menimpa Gereja Katedral Makassar di hari Minggu (28/3).
Serentetan pengalaman traumatis di atas membawa kita pada refleksi bahwa aksi teror belum selesai. Kelompok teroris seperti kelompok Ali Kalora di hutan Poso, Sulawesi Tengah juga masih terus diburu aparat gabungan sampai sekarang. Kelompok Ali Kalora bukanlah satu-satunya jaringan yang masih hidup di Indonesia. Buktinya, rentetan peristiwa teror dilakukan oleh beberapa kelompok yang berbeda. Bahkan terakhir, peristiwa masuknya seorang wanita yang melakukan penembakan di Markas Kepolisian Besar Republik Indonesia justru dilakukan dengan metode seorang diri (lone wolf) yang dengan jelas terpapar ajaran ISIS berdasarkan keterangan kepolisian.
Kita memahami bahwa ideologi yang cukup ekstrem ini masih terus ada dan disebarkan. Menurut Sydney Jones, jaringan yang bertambah luas dan sporadis membuat persoalan ini serasa benang kusut yang susah diurai. Sudah lebih dari dua dekade kita hidup dengan adanya aksi teror tiap tahunnya. Rasanya, selalu ada penangkapan terduga teroris yang dilakukan oleh satuan Densus 88 ataupun satuan bersenjata lain, tapi masih saja ada aksi teror yang sulit dilakukan deteksi dini. Sungguh ini sangat memperihatinkan. Pemerintah Indonesia sendiri sebetulnya sudah melakukan banyak sekali upaya dalam rangka mencegah paham radikalisme ini berkembang. Mulai dari hard approach dengan melibatkan kepolisian dan tentara, menggandeng berbagai kelompok agama dan masyarakat (togamas), serta melakukan sinergitas kementerian dan lembaga terkait. Namun, ini ternyata tak cukup. Sebagai produk dari ideologi, radikalisme sulit sekali untuk dikontrol.
Peran Pemerintah
Pemerintah Pusat selama ini selalu ketanggungan beban mengenai persoalan radikalisme yang bermuara kepada aksi teror. Ibaratnya, benar tak dipuji, salah dicaci maki. Padahal, persoalan radikalisme ini bukanlah semata-mata persoalan ancaman disintegrasi negara yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Melainkan, juga bagian dari gangguan Kantibmas yang menjadi kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Banyak riset membuktikan bahwa persoalan radikalisme ini merupakan persoalan fundamental yang akar masalahnya lekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosio-kultur. Kedua hal ini harus dipandang sebagai persoalan struktural yang tak bisa hanya diselesaikan oleh satu atau dua pihak saja. Sinergitas dan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi kunci.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah sebetulnya membuka ruang bahwa ada pembagian beban antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui otonomi, Pemerintah Daerah  menerima berbagai kewenangan yang diberikan Pemerintah Pusat dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah, seperti peningkatan kesejahteraan umum, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Hal ini memungkinkan Pemerintah Daerah membuka ruang seluas-luasnya terhadap partisipasi masyarakat daerah dalam membangun daerahnya, termasuk menyangkut persoalan keamanan dan ketertiban.
Peran Lembaga Daerah
Upaya untuk menyentuh dua pokok persoalan radikalisme perlu didorong melalui kelembagaan daerah. Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) memiliki peran sentral dalam melakukan pembangunan tingkat daerah terutama dalam berbagai aspek, terutama ekonomi. Perlunya memperluas perspektif bahwa kesenjangan bukan hanya persoalan realitas adanya si kaya dan si miskin, tetapi kondisi-kondisi yang menjadi faktor penyebab terjadinya hal ini. Rendah dan tidak meratanya upah, buruknya pengendalian harga pokok, rendahnya kesempatan kerja, hilangnya pekerjaan sektor informal, buruknya akses pendidikan dan kesehatan, dan masih banyak lagi menjadi pendukung faktor kesenjangan ekonomi.
Selain itu, Pemerintah Daerah juga telah didukung oleh Permendagri Nomor 11 Tahun 2019 tentang pembentukan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan dan pemberdayaan umat beragama. Kesbangpol memiliki tugas membantu gubernur dalam melaksanakan tugas bidang kesatuan bangsa dan politik yang didalamnya memiliki unsur fungsi pembinaan ideologi pancasila. Sedangkan PBM memungkinkan daerah untuk membentuk Forum Kerukuan Umat Bearagama (FKUB) yang memiliki 6 tugas pokok yang dikelompokkan menjadi promosi, advokasi, konsultasi, dan arbitrasi. Promosi berari sebagai pengembangan toleransi beragama, advokasi berarti pendampingan hukum toleransi beragama, konsultasi berarti pembimbing toleransi beragama, dan arbitrasi yaitu sebagai penengah yang adil di tengah-tengah masyarakat.
Beberapa suprastruktur lembaga tersebut sebetulnya sangatlah cukup untuk membantu Pemerinta Daerah dalam menjaga kerukunan di dalam masyarakat. Saat ini, peran nyata lembaga-lembaga tersebut dinilai tak lebih dari cukup untuk menyentuh akar masalah yang ada. Tataran persoalan hanya selesai pada tingkat kelembagaan dan bersifat normatif. Seringkali dalam berbagai konflik masyarakat, persoalan yang dilihat hanya sesempit konfliknya saja, bukan secara konsisten melebarkan jalur untuk mencari celah persoalan lain. Mengambil contoh persoalan konflik di Papua yang selalu disederhanakan dengan persoalan ekonomi. Padahal, berbagai pakar mengatakan akar masalah yang cukup kompleks bukan hanya bersumber dari faktor ekonomi, melainkan problem sejarah, budaya, dan politik yang tak pernah tertangani. Ada juga Jamaah Ahmadiyah yang selalu menjadi bahan persekusi kelompok agama tertentu. Mereka hidup dalam rasa takut dan tertekan bahkan hanya untuk beribadah. Sebab sudah seringkali ibadah mereka dibubarkan dengan cara-cara tak manusiawi. Kedua contoh ini membuktikan masih dangkalnya pemahaman mengenai konflik bahkan di tingkat pemerintah sendiri. Narasi yang disajikan seolah menjadi narasi tunggal tak bisa dikritisi. Dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah justru seringkali tak berdaya menghalau kelompok-kelompok yang hendak membubarkan peribadahan.
Toleransi sebetulnya bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari nilai-nilai luhur Pancasila, toleransi telah lama menjadi landasan bagi kita dalam hidup bersosial di antara beragaman etnis, agama, dan budaya. Pancasila mampu menjadi jembatan berbagai prasangka (preduce) yang hidup di antara masyarakat yang tumbuh akibat minimnya pengetahuan antarmanusia, antaragama, dan antarkelompok. Seperti yang terjadi dalam serangkaian peristiwa teror, konflik di Papua, dan persekusi Jemaah Ahmadiyah juga timbul dari prasangka yang tak mampu dikendalikan. Melihat perkembangan yang terjadi, rasanya perlu kembali mempertanyakan eksistensi toleransi dalam kerangka kebhinnekaan.
Pendidikan dalam Ruang Pancasila
Pemerintah Pusat sendiri kini telah memiliki sebuah lembaga yang secara khusus memiliki tugas dan wewenang membumikan ideologi Pancasila, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP menjadi harapan baru dalam sinergitas pendidikan ideologi Pancasila. Namun, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu harmonisasi terhadap tugas dan wewenang lembaga daerah seperti Kesbangpol dan FKUB mengingat undang-undang tentang BPIP baru masuk prolegnas tahun ini. BPIP dan lembaga daerah memiliki PR besar dalam upaya membumikan nilai-nilai Pancasila yang kian hari memiliki tantangan yang semakin besar. BPIP diharapkan mampu menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah dalam menjamin pembangunan berlandaskan Pancasila.. Pendidikan ideologi Pancasila tak hanya terbatas kepada pendidikan formal ataupun nonformal, melainkan menjadi pembelajaran seluruh komponen bangsa.
Kerja sama sinergis memerlukan blue print yang jelas, terperinci, dan terukur. Langkah demi langkah dalam sebuah proses panjang perlu disusun dalam sebuah roadmap yang jelas. Pemerintah Daerah sebagai pemegang kendali di daerah menjadi komando pelaksanaan program yang berkelanjutan. Maka, perlu visi dan misi yang tegas agar ketika berganti kepemimpinan, pemimpin daerah yang baru memiliki semangat yang sama. Proses pendidikan ini perlu membuka ruang bagi partisipasi pihak-pihak lain dalam rangka penguatan dan pemberdayaan. Misalnya saja pelibatan lembaga negara seperti BNPT dalam upaya deteksi dini dan deradikalisasi yang dijalankan. BNPT mampu memberikan sumbang pikir pendidikan seperti apa yang patutnya disusun berdasarkan temuan dan analisis BNPT. Selain itu, pelibatan kelompok masyarakat harus juga diperluas agar pendidikan yang dilakukan sungguh kontekstual dan mampu menjawab persoalan sehari-hari masyarakat. Kelompok masyarakat dapat memberikan koreksi, aspirasi, dan tuntutan dalam memperkaya upaya pendidikan ideologi Pancasila. Kasus penembakan di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang wanita muda menjadi pelajaran bersama bahwa generasi muda sangat mudah terpapar paham ekstrem. Kerja sama ini juga penting dalam memetakan pendekatan-pendekatan pendidikan yang cocok bagi tiap level usia maupun tiap-tiap kelompok masyarakat.
Terakhir, partisipasi dan penguatan diperlukan dalam hal memperkaya dan memperdalam cita-cita luhur bangsa yang terus berhadapan dengan paham ekstrem radikalisme. Pemerintah Daerah dan lembaga yang ada menjadi ujung tombak meskipun sinergitas dan koordinasi dengan Pemerintah Pusat sangat diperlukan. Hal ini menjadi fundamental terkait upaya Pemerintah Daerah mewujudkan tujuan otonomi daerah yaitu kesejahteraan umum, pelayanan publik, dan daya saing daerah.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Bukan Asal Mengutuk, Tapi Soal Memahami Peristiwa Bom Katedral Makassar
Rasanya kita cukup kaget dengan kejadian bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Minggu pagi, 28 Maret 2021. Saya pribadi mengira, di masa pandemi seperti ini tak ada lagi yang berpikiran sejahat itu. Tapi saya ternyata salah. Memang, sebetulnya saya juga gak kaget-kaget amat mendengar ada peristiwa bom bunuh diri lagi. Kita sebagai bangsa Indonesia rasanya akrab dengan aksi keji dan biadab ini. Hampir 2 tahun sekali kita merasakannya. Tahun 2016 peledakan bom Gereja terjadi di Samarinda dan Mapolresta Surakarta. Tahun 2018 terjadi di Surabaya, lalu di tahun 2019 peledakan di Pos Polisi Kertasura. Tahun 2020, ada aksi terror bukan bom yang tak kalah keji, pemenggalan jemaat di Poso oleh kelompok teroris yang selama ini diburu di Hutan Poso.
Sebentar, saya menghela nafas.
Berat rasanya melihat rentetan aksi keji yang bertujuan menghancurkan fisik orang lain. Banyak pertanyaan muncul, seperti, ngapain sih mereka? Apa untungnya menghancurkan orang lain? Sampai-sampai berpikir bahwa mereka kurang pendidikan lah, udah terlanjur didoktrin lah, dan macam-macam lainnya.
Perasaan dan pertanyaan itu selalu muncul tiap ada peristiwa serupa. Seringkali saya juga merasa bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya, seperti gak ada gunanya kepedulian dan empati saya.
Ada kala ketika saya dipertemukan dengan seorang kenalan yang telah banyak berkecimpung di dunia konflik sosial di Indonesia. Kami bertukar pikiran, tentu saya yang banyak tanya. Saking saya penasarannya, saya memulai bertanya, apakah ada kaitan konflik sosial dengan aksi-aksi terorisme? Jawaban dia, ada. Wow, ini sangat mengejutkan saya karena saya pikir ini Cuma urusan agama saja.
Ia mulai menjelaskan dengan pengalamannya menangani konflik di Ambon. Ternyata konflik di Ambon juga tak serta merta urusan agama saja. Padahal, yang kita tahu selama ini, itu adalah konflik antar dua agama. Konflik Ambon adalah satu konflik sosial yang sangat kompleks. Tak ada yang tahu pasti faktor pangkal yang menyebabkan rentetan peristiwa berdarah itu terjadi. Ada yang bilang dari urusan tanah, ada yang bilang dari konflik keluarga, ada juga yang bilang berawal dari saling ejek. Sangat tidak pasti dan tidak ada yang berani memastikan kebenaran setiap cerita. Yang jelas, polarisasi atau pengelompokan berdasarkan agama menjadi lebih kuat di ujung cerita.
Pendekatan damai yang dilakukan pun bermacam-macam, tergantung kepada analisis masalah yang ada. Bukan hal yang mudah mengurai benang kusut konflik Ambon. Budaya menjadi titik kunci berbagai pendekatan damai yang dilakukan. Ini untuk menyentuh sisi afkesi dari tiap individu. Bahwa kebutuhan tiap individu untuk diakui, dijamin, dilindungi, dan dibebaskan harus mulai dari sisi budaya. Tradisi Pela Gadong, yaitu tradisi budaya yang meyakini adanya pertalian saudara antara Islam dan Kristen yang dirayakan dalam bentuk upacara adat sebagai bentuk wujud kasih saudara kakak beradik. Tradisi ini diperkuat dan dibumikan kembali agar menjadi jalan bagi terciptanya rekonsiliasi konflik. Dan itu masih berlangsung sampai detik ini.
Kaitannya dengan aksi teror, saya jadi meyakini bahwa para “pengantin” teror tersebut tak hanya dilatarbelakangi oleh pemahaman agama yang ekstrem, melainkan juga adanya faktor sosio-kultural yang kuat. Banyak pengalaman yang menjadi pengalaman traumatis dapat membentuk seseorang memiliki karakter tertentu, termasuk keinginan untuk selalu membunuh. Hal ini memaksa setiap rekonsiliator mampu melakukan pemetaan level dalam menyelesaikan konflik. Level individu menjadi kunci titik tolak melihat gambaran yang lebih luas daripada level kelompok, walaupun dalam praktiknya, kedua sama pentingnya.
Untuk itu, kita perlu melihat bagaimana seseorang tersebut berinteraksi secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik dengan orang lain. Apakah ia memiliki keyakinan tertentu, apakah ia memiliki kecenderungan perilaku tertentu, dan apa saja catatan histori yang dimiliki. Setelah itu, barulah melihat pada level kelompok yang tentu lebih kompleks. Bagaimana sejarah pembentukan kelompok tersebut, apa yang menjadi keyakinan kelompok, apa tujuan kelompok, bagaimana kelompok itu berinteraksi dengan kelompok lain, bagaimana kelompok itu mencapai tujuannya, apakah ada jaminan sosial, budaya, dan politik terhadasp eksistensi kelompok tersebut. Itu menjadi modal dasar untuk kita memahami secara utuh rentetan peristiwa demi peristiwa yang bermuara kepada aksi teror.
Saya tau, tak semua memiliki kecakapan, keterampilan, fasilitas, dan niat yang sama untuk memahami sebegitu luasnya analisis masalah. Namun, itu bukan berarti membenarkan penyederhanaan yang kita lakukan dalam menilai suatu masalah. Perlu cakrawala berpikir yang lebih luas agar kita makin bijak memutuskan sikap kita melihat suatu peristiwa teror. Kita jangan menjadi barisan mainstream yang hanya percaya pada satu-dua kanal tertentu, seperti media massa atau pemerintah saja.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
MEMAKNAI KUNJUNGAN PAUS FRANSISCUS KE IRAQ
Pada awal Maret tahun 2021, secara agak mengejutkan Paus Fansiscus melakukan kunjungan ke Iraq. Kunjungan ini dilakukan di tengah-tengah masa pandemic covid-19. Mengingat usia yang tak lagi muda, tentu perjalanan ini sangat riskan ia lakukan. Terlebih, negara yang dikunjungi adalah negara yang telah lama luluh lantah akibat perang besar-besaran dengan serangan teroris yang masif. Namun, ia tetap memberanikan diri dengan mengunjunginya.
Sebetulnya, kunjungan Paus bukanlah hal yang tidak bisa diprediksi. Ia justru hadir karena undangan khusus dari presiden Iraq sekitar pertengah 2019. Paus-paus sebelumnya juga pernah memiliki rencana untuk mengunjungi Iraq. Tapi, alasan keamanan menjadi faktor penentu batalnya kunjungan mereka. Kali ini, benar-benar dilakukan oleh Paus dari ordo Serikat Yesus ini.
Sungguh, ini adalah kunjungan yang historis. Kunjungan yang menghimpun banyak momentum dan mencatatkan sejarah. Tak lepas dari keyakinan Paus yang progresif, ia dengan sederhana tidak mau mengecewakan umat Katolik di Iraq. Kunjungan ini juga melibatkan pertemuan dengan Ketua Majelis Syiah Iraq yang dikenal seorang penyendiri dan jarang mau berkomunikasi. Sebagai Paus pertama yang mengunjungi Iraq, tentu umat Katolik Iraq diharapkan memiliki harapan baru yang sangat besar dalam kerangka perdamaian.
Paus sendiri memang memiliki misi sebagai musafir perdamaian. Hal itu ia sampaikan ketika berada dalam perjalanan menuju Baghdad, Iraq. Ia seolah tak mau kunjungannya diartikan sebagai kedatangan yang luar biasa seperti malaikat yang mendatangi dunia. Ia menyebut dirinya musafir perdamaian dalam konteks agar dimaknai sebagai seorang yang datang dengan penuh harapan dan ketulusan mengenai kedamaian. Ia memiliki harapan besar agar dunia berdamai, dan itu juga ia perjuangkan di Iraq.
Paus juga terlibat diskusi dengan beberapa tetua kelompok agama dan aliran-aliran tertentu, salah satunya yang fenomenal seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Paus mendobrak pandangan dunia bahwa kaum yang selama ini dianggap berbeda atau menyimpang menjadi teman seperjalanan dalam hal spiritual. Bahkan, dalam beberapa kesempatan ibadah yang ia pimpin, aliran umat Katolik lain yang memiliki keyakinan iman berbeda dengan Katolik Roma, dibolehkan mengikuti ekaristi yang dipimpin Paus. Aliran ini banyak dianggap menyimpang, tetapi sejatinya mereka mengakui hirarki Gereja Katolik Roma sebagai hirarki dalam Katolik yang sah.
Paus juga berkesempatan memberkati patung Bunda Maria yang sempat rusak akibat serangan teroris di sebuah gereja tua beberapa waktu silam. Patung itu telah disusun utuh kembali dan diletakkan dalam kotak kaca transparan. Tindakan Paus ini justru menjadi cermin bagi kita yang sering mengsalahartikan patung sebagai sarana. Bahwa tidak ada masalah atau bahkan kutukan ketika patung yang menjadi sarana rusak atau sengaja dirusak orang. Dengan belas kasih, Paus memberkatinya kembali.
Momentum kedatangan Paus juga menjadi momentum dunia dalam hal perdamaian. Paus nampak sungguh-sungguh mengajak dunia berdamai dengan melenyapkan konflik yang terjadi. Melalui beberapa penyataan dan kunjungannya, Paus selalu mengajak dan mendorong untuk tiap pihak yang bertikai menahan diri dan memiliki welas asih. Perang, menurutnya, hanya akan melahirkan dendam baru selain menghilangkan ratusan bahkan jutaan nyawa yang mati sia-sia, manusia yang kehilangan martabatnya, dan manusia yang kehilangan harapan. Bagi Paus, kekerasan yang tersturktur ini harus dilawan melalui gerakan bersama seluruh dunia. Ia bukan hanya menginginkan ini melalui pernyataan yang berupa ajakan. Tapi sungguh, ia hadir sebagai simbol perdamaian itu sendiri. Paus Fransiskus sungguh progresif.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Suster Ann Nu Thawng, Angel, dan Teologi Pembebasan
Perhatian dunia sedang tertuju kepada Myanmar. Kali ini, kisruh politiknya membuat negara ini kembali dalam status darurat. Junta militer merebut kekuasaan dari Ang Suu Kyi dengan paksa, ya, dengan kudeta. Cara represif ini dipilih militer dengan alasan penyelamatan negara yang dalam keadaan darurat. Ang Suu Kyi pun ditendang dan para loyalisnya di kekuasaan disingkirkan. Myanmar pecah, konflik dimana-mana. Masyarakat sipil ramai-ramai menentang kudeta ini. Mereka turun ke jalan, melakukan demonstrasi besar-besaran. Polisi dikerahkan untuk mengamankan situasi. Sayangnya, diikuti dengan aksi penangkapan, penyiksaan, bahkan penembakan.
Dalam riuh konflik tersebut, muncul dua sosok wanita yang menjadi pahlawan. Mereka adalah Ann Nu Thawng dan Kyal Sin (Angle). Ann Nu Thawng adalah seorang biarawati. Ia mendadak popular karena aksinya menghadang polisi menangkapi sekitar 100 warga sipil viral. Ia tampak menangis dan berlutut memohon polisi tidak menangkap demonstran. Biarawati ini masih mengenakan jubah kesusterannya secara lengkap saat itu. Sedangkan Kyal Sin, pemudi berusia 19 tahun tewas diterjang peluru tajam tepat di kepala bagian belakang. Berdasarkan foto-foto yang beredar, ia tampak aktif dalam aksi demonstrasi. Sepertinya ia tahu risiko ikut berdemo adalah mati tertembak. Ia sudah menuliskan wasiat di secarik kertas yang ia sematkan di kalungnya yang berisi agar organnya didonorkan untuk yang membutuhkan jika ia mati.
Sebagai seorang biarawati, Ann Nu Thawng tentu cukup mengejutkan untuk berani turun ke jalan. Ia tak peduli lagi tembok biara yang menghalanginya, bahkan mungkin tak ingat lagi soal jubahnya. Lebih parah, mungkin ia tak ingat lagi kalau ia seorang biarawati. Yang ia tahu hanya mengikuti naluri hatinya untuk menghentikan kekejian yang ia lihat di depan mata. Ia tak ingin ada penangkapan atau bahkan pertumpahan darah. Dengan menangis dan berlutut, menjadi “senjata” untuknya memohon belas kasih kepolisian.
Kyal Sin atau juga dikenal bernama Angel, ia tak sendiri. Bersama ratusan demonstran lain, mereka melawan aparat kepolisian secara represif. Ia terbilang cukup muda untuk melakukan ini. Usianya 19 tahun. Apalagi, ia dengan gagah berani melakukan aksi yang didominasi oleh laki-laki. Ia tampak keras dalam aksi-aksinya yang banyak diabadikan. Sayangnya, ia harus tewas mengenaskan ditembak polisi di kepalanya. Ia tersungkur dan tewas.
Dua orang ini menjadi gambaran bagaimana kemarahan rakyat Myanmar mengenai kondisi yang sedang terjadi. Mereka tak tinggal diam dan memilih beraksi melawan segala risiko besar yang mungkin dialami. Perkara ini bukanlah sesederhana perkara kudeta yang berlangsung. Persoalan Myanmar adalah persoalan yang rumit. Mulai dari sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Konflik bukan hanya berlangsung satu atau dua kali. Kelompok-kelompok minoritas banyak yang disingkirkan. Kemiskinan yang meluas menjadikan rakyat tak betah lagi hidup dalam naungan otoriterianisme.
Hal ini mengingatkan saya kepada Gustavo Gutierres. Seorang pastor yang lahir di Lima, Peru. Ia menangkap betul kemiskinan dan penindasan yang terjadi secara struktural dan masif. Di Amerika bagian selatan, masalah ini semakin meluas. Gustavo yang meyakini bahwa iman haruslah nyata dalam tindakan dan bahkan membebaskan (libertarism praxis). Gustavo terus menerus mendorong dan mendesak Gereja Katolik untuk melihat kaum miskin yang tertindas karena sistem. Ia juga membenci perselingkuhan-perselingkuhan Gereja Katolik dengan para penguasa-penguasa kaya. Menurutnya, penguasa-penguasa itulah yang membuat rakyat semakin miskin.
Tak berjalan mulus, perjuangannya justru sering mendapat resistensi hirarki. Ia bahkan menerima peringatan keras dari Paus saat itu. Banyak pastor juga menaganggap idenya gila dan tidak relevan. Tapi, atas dasar keyakinanya, Gustavo selalu berjuang agar Gereja dan umat mau melihat masalah ini. Ia menulis Teologi Pembebasan tahun 1971. Teologi ini memiliki makna bahwa iman bukanlah hal-hal teoritis saja, tapi juga adalah praktis. Iman dengan perbuatannya harus mampu membebaskan, membebaskan orang dari belenggu yang memasungnya. Kegigihannya membuahkan hasil bahwa Gereja menyatakan berpihak kepada si miskin, dan bertekad untuk memperjuangkannya.
Menjadi sebuah refleksi, menarik untuk memutar-mutar tiga kisah heroik tersebut. Ini saya pandang dari kacamata muda awam Katolik. Mengapa begitu? Karena dua tokoh dari kisah di atas adalah seorang relijius, sedangkan Angle adalah seorang muda awam.
Sebagai seorang awam Katolik, saya tentu memberi hormat kepada para relijius yang dengan kesetiaannya terlibat aktif dalam realitas yang dihadapi awam, termasuk kepada Suster Ann dan Pastor Gustavo. Saya meyakini bahwa Gereja masih berjalan bersama umat. Beginilah seperti Tuhan sendiri yang turun kedunia mendudukan dirinya setara dengan manusia. Namun, ada sebuah perbedaan yang tertarik untuk saya buka sedikit. Sedikit saja. Mungkin Anda, kapapun membaca ini, dapat memberi lebih atau justru menguranginya.
Aksi Suster Ann dan Pastor Gustavo terbilang adalah aksi yang jarang kita lihat dilakukan relijius saat ini. Mungkin saya terbatas pengetahuan pada relijius Katolik Indonesia. Pembedanya adalah keberanian. Bukan, saya tidak hendak mengatakan ada yang tidak berani. Namun, tidak lebih berani. Secara nyata, di Indonesia, terpampang banyak hal yang timpang seperti kemiskinan dan penindasan. Ambil contoh saja penggusuran paksa yang terjadi dimana-mana dengan alasan tata kota, kemiskinan yang sistemik di wilayah Papua selama bertahun-tahun, pemenggalan kelompok gereja di Sigi Sulawesi Tengah, pelarangan pembangunan Gereja Katolik di Tanjung Balai Karimun, dan masih banyak lagi.
Krisis teladan membuat umat Katolik juga krisis sikap. Kedua krisis ini bukan berdiri secara tunggal, tapi saling memberi pengaruh. Besar kecilnya ditentukan dari bagaimana krisis itu dimaknai. Seorang relijius Katolik, katakanlah seorang Pastor, tentu hidup ditengah-tengah masyarakat yang banyak menjadikan dia setris dari sumber teologi Gereja. Teologi Gereja, bagi umat, menjadi salah satu landasan berpikir sampai bersikap dalam hidup di tengah-tengah dunia. Maka, tak heran, seorang biarawan atau biarawati sangat dihormati dan disegani, terutama ketika berbicara. Disposisi ini menjadi strategis manakala dalam berbagai hal-hal yang sungguh penting. Sikap dan pendapat seorang relijius menjadi salah satu dasar pertimbangan utama yang diyakini berdasarkan kebijaksanaan.
Melihat mengenai apa yang dilakukan oleh Suster Ann dan Pastor Gustavo, tentu kita haqul yakin apa yang mereka perbuat adalah atas dasar kebijaksanaan. Mereka tak mungkin membuat sebuah tindakan tanpa rasionalitas iman yang selama ini mereka pelajari dan latih. Sosok mereka sekaligus menjadi simbol kehadiran Gereja langsung di tengah-tengah masalah dunia. Masalahnya, mereka hanya segelintir. Kalau bisa, saya katakan hanya oknum. Seringkali Gereja banyak memilih untuk ambil bagian dalam realitas awam dalam koridor-koridor yang tidak terlihat. Saya mengistilahkannya level hulu. Mengapa? Karena banyak yang memiliki karya di bidang-bidang seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, dan tentunya pelayanan iman. Bidang-bidang ini tentu juga bidang yang amatlah penting. Tidak ada orang yang mampu hidup tanpa pendidikan layak, tanpa kesehatan yang baik, tanpa punya lingkungan sosial, atau bahkan punya keyakinan iman yang kuat.
Kita tidak akan punya Angel kalau saja Angel tidak memiliki pengetahuan yang cukup, atau dia sakit-sakitan, atau dia tak punya teman sekitar. Gerakan level hulu yang dilakukan para relijius sepatutnya juga banyak dikaryakan di garda-garda terdepan persoalan yang dihadapi awam. Kami sebagai awam menjadi punya teladan dan punya contoh untuk menyatakan sikap dan daya kritis. Misalnya saja langsung ke contoh. Kasus penolakan pembangunan Gereja di Tanjung Balai Karimun atau kasus pencabutan patok salib di Yogyakarta beberapa waktu silam. Gereja memang dengan tegas menyatakan mengutuk tindakan-tindakan radikal tersebut dan meminta dengan tulus umat untuk menahan diri. Tentu ini ajakan yang baik. Tapi tak cukup. Lebih baik juga Gereja mengajak melihat persoalan ini secara detail. Apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa tersebut? Bagaimana sejarah radikalisme di lingkungan tersebut? Apa yang umat bisa lakukan setelahnya? Hal ini akan membuat Gereja sungguh nyata hadir bagi umat secara luas karena kita diajak betul untuk memaknai sebuah kejadian secara kritis bukan hanya melulu soal iman.
Susten Ann menjadi contoh bagaimana umat Katolik Myanmar harus menyikapi represifisme junta militer. Angel menjadi teladan bagimana anak muda sudah layak dan mampu untuk ambil bagian melawan penindasan. Pastor Gustavo menjadi sosok yang bersejarah karena ia berani memperjuangkan persoalan awam untuk dijawab oleh hirarki Gereja. Ketiga orang ini melakukan peran secara nyata dalam kapasitasnya masing-masing. Poin pentingnya adalah mereka hadir di depan masalah, bukan hanya mendorong dari belakang atau sekadar teman perajalanan. Tapi menarik dan mengarahkan umat dan banyak orang untuk melihat perspektif yang lebih luas dan kritis.
Dalam mengakhiri tulisan ini, saya berdoa untuk arwah Kyal Sin (Angel) agar bahagia bersama Bapa serta Tuhan menganugerahi rahmat bagi keberanian Suster Ann Nu Thawng.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
Aku Tunggu di Belakang Syantikara
Kata orang perpisahan itu menyedihkan
Bagiku, tidak
Perpisahan pertama kita, adalah awal pertemuan kita
Pertemuan yang lebih panjang
 Gadis kurus berambut apik
Mata sipit kulit putih
Hanya berawal dari brosur
Ah, andai tak ada niatku kala itu
 Belakang syantikara menjadi tempat favorit
Bukan, bukan untuk mencari penumpang
Tapi menunggumu keluar
Entah dengan seragam sekolah
Atau pakaian bebas
 Rindu aku rasanya mengucapkan
“Udah sampe” melalui pesan whatsapp
Dengan buru-buru kamu menjawab “bentar”
Ah, memang sungguh rindu
 Melepas penat, bebanku
Untuk sekadar melihat lampu jalanan sampai ke alun-alun selatan
Sampai akhirnya aku harus mengantarmu pulang
 Tapi, seperti judul puisi ini
Aku tunggu di belakang Syantikara, lagi…
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
SETELAH KULIAH, MAU NGAPAIN?
PASSION VS REALITA
 Sebagai Sarjana Ekonomi, saya memang sepatutnya bekerja atau berkarya di bidang yang saya pelajari. Bukan soal apa-apa, tapi aneh saja kalau teori tidak dimanfaatkan dengan praktik. Apalagi biaya kuliah mahal, maklum dari lulusan kampus yang sering disindir dengan sebutan universitas anak jutawan Yogyakarta. Ya, selain itu apalagi kalau bukan karena desakan bacotan orang lain.
Tak mudah menjalani perkuliahan dengan teori-teori yang seringkali di luar keminatan personal. Duh, apalagi kalau diminta menjalani pekerjaannya. Ampun! Setahun udah cukup buat saya bekerja di korporasi marketing. Semua berjalan seperti tak bernyawa. Saya seperti mayat hidup. Padahal takehome income bisa ampir selalu dua digit. Alias diatas 10 juta bos. Logikanya, ini pekerjaan yang menyenangkan. Apapun bisa saya beli dalam waktu singkat. Memang sih pekerjaannya keras minta ampun. Tapi kata para pemuda idealis kana da duit ada kerja keras. Liat dulu, mbokan. Gak perlu sok filosofis tanpa tau realitas.
Hidup seperti mayat hidup sungguh tak hidup. Ya iyalah ya. Gak ada nyawa, gak ada semangat. Kalo kata Ahok, gak ada JOY atau kebahagiaan. Bener, bener banget. Gaji memang besar, isi rekening gausah ditanya deh, saya malu. Malu kalo yang lain malu. Tapi saya gak punya kebahagiaan. Saya bukan disitu. Saya tidak bisa memanfaatkan uang saya untuk keperluan sendiri. Justru, uang itu saya habiskan untuk hal-hal yang aneh. Misal “beli temen”. Apa itu beli temen? Karena gak ada temen, saya terpaksa cari temen yang mau main tapi saya bayarin apapun yang dia makan. Di situlah saya habisin duit saya. ya selain untuk pacar. Waktu itu.
Buat saya bekerja sesuai passion itu perlu. Sangat malah. Saya sendiri mengalami ketidaknyamanan kalau bekerja bukan kehendak hati. Bisa jadi waktu memilih pekerjaan dulu, saya cenderung plin-plan, jirih kalo kata orang jawa. Artinya, penakut. Ya memang, keadaan yang membuat saya waktu itu mau tidak mau memilih pekerjaan yang ada. Apapun. Eh kebetulan gajinya gede. Kebetulan juga saya gak nyaman. Saya memilih apa? Resign.
Gak peduli lagi soal duit yang besar. Gak peduli lagi bisa beli apapun. Gak ada artinya kalau saya gak pakai hati menjalaninya. Pembaca mungkin udah menemukan titik masalahnya. Tapi kalian salah. Bukan apa yang kalian pikirkan. Masalahnya adalah, gimana caranya pakai hati kalau kerja? Tanpa tedheng aling-aling memikirikan itu, saya sudah keburu resign.
Silahkan pembaca merenung. Gimana caranya hati mau bekerja dimanapun kita berkarya atau bekerja. Mungkinkah? Saya kira mungkin. Saya terjebak dalam hal eksternal yang subjektif. Saya menilai pekerjaan adalah kunci. Tapi lebih dari itu, kunci sesungguhnya adalah bagaimana memanfaatkan hati sebaik mungkin. Kalau itu bisa ditemukan, niscaya semua pekerjaan akan terasa seperti passion. Lihat saja orang serabutan. Kerjaan apapun dilakukan. Asal apa?? Asal dapet uang! Itulah yang membuat dia senang hati menjalankan pekerjaannya.
Tapi inget. Jika memilih satu keuntungan atau benefit, tentu kita akan kehilangan benefit atau keuntungan yang lain. Entah satu juga atau dua atau lebih. Itulah hidup. Seperti saya yang memutuskan keluar, saya siap kehilangan potensi pendapatan belasan juta tiap bulan. Demi apa? Demi hal subjektif yang dinilai hati, bernama pekerjaan.
Sekarang saya jauh lebih bahagia, walau duit ga banyak-banyak amat. Tapi saya sudah senang. Soal masa depan, itu urusan lain. Saya Cuma berpikir alam akan mencukupkan, tapi kita selalu berbuat rakus. Ketimbang saya mendahului alam, mending saya percayakan aja semua ke alam. Alam akan mengatur semua. Sekalipun kamu berlimpah harta, ada maksud alam untuk itu. Pun jika kamu pandai, alam akan mendorong lewat caranya yang khas untuk memberi dirimu ke kesempatan lain.
Buat para fresh graduate, susah kalau memilih passion saja tanpa realitas. Tapi jusah juga memilh realitas tanpa passion. Emang kudu jeli melihat itu. Dan itu perlu waktu. Gak mungkin cuma 5 menit. Perlu wawancara hati agar siap menerima konsekuensi.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
LEBIH HINA DARI ANJING HITAM
by Daniel Pradina Oktavian
Anak kecil bermekar hati
Menjajaki masa remaja
Gadis mungil murah senyum
Surat sepucuk menjadi tanda cinta
 Selustrum lebih sedetik merajut
Tak semua memang berakhir harum
Anak kecil selalu meratapi
Antara realitas dan idealisme
 Semua terlanjur busuk
Wanginya tak selembut seperti sedetik sebelum layu
Anak kecil meratap
Gadis kecil sudah menata harap
 Anak kecil itu terkapar
Di tengah taman yang membiru kaku
Di tengah-tengah anjing hitam penuh koreng
Ia mati dalam penyesalan
Lebih hinanya, dari anjing hitam
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
QUO VADIS KADERISASI KATOLIK?
by Daniel Pradina Oktavian
Kaderisasi mungkin tidak asing di telinga banyak orang. Terutama yang hidupnya tak jauh-jauh dari alam organisasi. Kaderisasi adalah istilah mudah untuk menyebut perekrutan dan pengembangan potensi yang lazim berada dalam sebuah kelompok. Lewat kaderisasi, diharapkan mendapatkan penerus yang mampu membawa cita-cita, nilai, dan semangat yang sama sampai beberapa generasi yang akan datang.
Dalam dunia Katolik Indonesia, kaderisasi sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Berbagai organisasi formal seperti WKRI, PUKAT, ISKA, dan organisasi kepemudaan seperti PMKRI pun memiliki proses kaderisasinya masing-masing. Pengkonteksan kaderisasi sendiri bergantung kebutuhan dan prioritas kelompok. Ada yang bertujuan menjaring level manajemen kelompok, ada yang menjadi syarat untuk seluruh anggota masuk (rekrutmen), ada juga yang dipersiapkan untuk hal-hal khusus.
Konsep kaderisasi pada umumnya memang ditujukan untuk pemuda. Hal ini guna mempersiapkan mereka saat ini untuk masa depan. Katolik sendiri memiliki sejarah dengan pernah andil melahirkan banyak tokoh nasional dalam satu kaderisasi sejak era pra orde baru, yaitu bernama Kaderisasi Sebulan (Kasebul). Terlepas dari berbagai kontroversinya, Kasebul memang menghasilkan banyak tokoh Katolik kondang seperti Cosmas Batubara. Tak ayal, peran politisi Katolik sangatlah kental dalam Kasebul. Kader-kader muda dipersiapkan secara militan untuk masuk ke panggung politik mewarnai kancah politik yang saat ini terombang-ambing karena tarik menarik kepentingan identitas-identitas lain.
Kadersisasi Masa Kini
Kaderisasi saat ini banyak dimaknai bukan sebagai kegiatan yang kekinian, yang selalu dianggap membawa semangat patriotik ala kaderisasi-kaderisasi lama, bahkan kaderisasi Katolik seperti Kasebul. Kaderisasi identik dengan gerakan senyap-senyap, semi militer, penuh doktrinasi, dan selalu didorong untuk masuk ke dunia politik. Memang, kaderisasi model seperti Kasebul sudah sulit ditemui. Hanya sedikit yang mau meluangkan waktu untuk mengikuti pelatihan selama sebulan. Namun, kaderisasi menjelma menjadi pelatihan-pelatihan yang berdurasi pendek, sekitar tiga hari sampai satu minggu. Itupun tak mengurangi persepsi atas kaderisasi itu sendiri. Tak heran, banyak anak muda beranggapan bahwa kaderisasi Katolik sangat tak menarik. Alih-alih orang ingin bergabung, banyak justru yang menaruh sinis dan tak peduli dengan kaderisasi. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengenai relevansi di dunia sekarang serba terbuka, terkoneksi, dan makin lebar. Apakah karakteristik yang melekat masih merepresentasikan kebutuhan kaderisasi masa kini?
Saat ini, kalangan usia produktif didominasi gen Z dan generasi milenial. Generasi yang juga digadang-gadang meneruskan masa depan bangsa dan Gereja. Dua generasi ini, memiliki karakteristik berbeda dari generasi-generasi pendahulunya, yang juga menjadi generasi pembentuk Kasebul. Karakteristik yang berbeda membawa gen Z dan generasi milenial memiliki kebutuhan dan gayanya tersendiri. Dalam era digitalisasi yang makin maju, dua generasi ini memiliki kebutuhan pokok yaitu saling terkoneksi. Entah dengan siapapun, apapun, kapanpun, dan dimanapun. Mereka pun memiliki cara atau gaya tersendiri dalam memenuhi kebutuhan tersebut dengan berbagai keahlian, dari keahlian teknologi informasi sederhana, sampai ahli robot, ahli AI/IU, dan lain-lain. Pengaplikasiannya, bisa masuk ke berbagai bidang seperti seni, budaya, olahraga, akademik,  politik, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan penjabaran tersebut, rasanya kurang pas jika secara utuh, kaderisasi yang masih lekat dihadirkan kembali ke masa kini. Frasa “kurang pas” bukan berarti salah untuk seluruhnya. Tapi lebih-lebih politik seharusnya bukan lagi dipandang sebagai satu-satunya corong orang muda katolik menduduki masa depannya. Namun, juga masih banyak bidang-bidang lain yang tentu orang muda Katolik harus memiliki peran.
Kaderisasi harus menjadi ruang bebas untuk orang muda menumbuhkan minat dan bakat masing-masing dengan dibarengi nilai dan semangat kekatolikan yang ditanamkan. Mereka diyakinkan dan meyakinkan diri bahwa ia bertumbuhkembang bukan sebagai seorang pribadi secara personal, melainkan juga berkembang menjadi seorang alter Kristus. Seperti kata Mgr Soegijapranoto, orang Katolik Indonesia haruslah 100% Katolik dan 100% Indonesia. Nah, ajaran yang dapat menjadi fundamen kaderisasi inilah yang harus adaptif, misalnya saja ajaran keteladan dan ketaatan Yesus Kristus dan ajaran spiritualitas Para Kudus yang dikonversi ke berbagai bentuk kegiatan dalam kaderisasi. Butuh ketepatan dan partisipasi dalam menentukan titik temu ini. Terlebih hal ini menjadi esensial mengingat krisis spiritual dan eksistensial yang makin meluas yang dialami orang muda dewasa ini.
Titik temu tersebut penting dikelola secara cermat dan kolaboratif antara hirarki Gereja, masyarakat, praktisi/ahli, dan sukarelawan yang bahu-membahu menghadirkan kaderisasi yang mampu menampung semua peran generasi sekarang. Pihak-pihak tersebut haruslah mampu untuk melihat sejauh mana kaderisasi harus berkembang di kalangan orang muda Katolik. Dengan begitu, diharapkan banyak lahir pemuda Katolik yang punya andil besar di bidang masing-masing dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Katolik. Ini bukanlah gerakan seperti ISIS atau gerakan radikal lain yang berusaha menyusup ke berbagai bidang menyebarkan dan memaksakan ajaran agamanya menjadi corak utama dengan tujuan politik jahat. Melainkan, memberi warna dalam kesatuan keberagaman yang ada.
Ini tidak dapat dilakukan sendirian, atau hanya kelompok kecil. Gerakan ini perlu menjadi perhatian dan aksi umat Katolik membuat jejaring yang luar biasa besar dengan berbagai pihak yang berniat baik. Bahwa semua perubahan yang dilakukan hendaknya memegang teguh tujuan demi kemuliaan Allah.
0 notes
danielpradina · 4 years ago
Text
BANJIR, GEMPA, DAN TANAH LONSOR DI AWAL TAHUN : KITA TAK PUNYA TANGGUNG JAWAB MORAL?
BANJIR, GEMPA, DAN TANAH LONSOR DI AWAL TAHUN : KITA TAK PUNYA TANGGUNG JAWAB MORAL?
by Daniel Pradina Oktavian
 Awal tahun 2021 kiranya jadi tahun yang penuh ujian untuk kita, bangsa Indonesia. Masih di tengah-tengah status pandemi, kita dihadapkan kembali dengan berbagai kejadian yang menyita emosi. Pesawat Sriwijaya Air yang terjatuh, banjir besar di Kalimantan Selatan, gempa Bumi di Sulwesi Barat, longsor di Jawa Barat, dan beraneka ragam kejadian alam di seluruh wilayah Indonesia. Rasa-rasanya mereka (kejadian-kejadian) itu seperti berkompromi untuk datang bersamaan. Sungguh, kita hampir kehabisan daya untuk mereka.
Berbagai kejadian tersebut membawa kita kepada situasi-situasi yang tak menentu. Baik dari segi ekonomi, seperti hilangnya lapangan pekerjaan, kenaikan harga, kelangkaan bahan pangan, inflasi, naik turunnya bursa saham, dan lain-lain. Atau juga dari sisi sosial, seperti terbelahnya masyarakat karena pandemi covid-19, kehilangan tetangga karena kejadian alam, sampai kembali ke serba-serbi politik yang membuat kita campur aduk sampai tak menghiraukan lagi pendapat dan eksistensi orang lain.
Ini memang tak bisa kita hindari sebagai bagian dari realitas yang terus bergerak. Mau tidak mau memang kita (bisa jadi) harus mengalaminya. Toh, kata orang tua, pengalaman-pengalaman yang kita hadapi membuat kita semakin bijak. Apakah selalu begitu? Kalau memang iya, seharusnya kita bisa belajar mencegahnya agar kejadian tidak terulang kembali dan merugikan kita. Kenapa masih terjadi? Apakah kita tidak punya pengetahuan untuk itu? Bukankah itu bagian dari kebajikan? Bagaimana kita menilai diri kita bijak?
Di era pasca kebenaran, atau bekennya disebut post-truth era ini, distrubsi informasi bertubi-tubi memenuhi isi otak semua orang. Akses informasi yang makin mudah dicapai sebagai dampak dari perkembangan yang terus ada. Berbagai cerita dan narasi terus ada dan berkembang. Sampai-sampai kita tak bisa membedakan mana benar mana palsu, mana fakta mana fiksi, mana yang berguna dan mana yang tidak bermafaat. Ini tak hanya dialami oleh generasi yang dikatakan boomers yang cukup senior untuk menelaah berbagai informasi, tetapi juga generasi yang disebut milenial yang baru belajar informasi . Lalu, apakah pengalaman menghadapi berbagai kejadian dengan era post-truth memiliki hubungan? Atau apakah dengan kekayaan informasi, semua generasi punya tanggung jawab yang sama?
Manusia terus berkembang dari masa ke masa, dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Pergerakan tersebut, membuat perkembangan manusia terus menemui berbagai titik temu yang sifatnya personal dan komunal. Personal berarti titik temu tersebut hanya dimiliki oleh masing-masing orang. Sedangkan komunal, secara kelompok, manusia mencapai titik temu dan bergerak bersama-sama.  Ini membuat perkembangan manusia tidak linear, tapi multidimensi. Hal ini dibarengi dengan perkembangan moral yang melekat di setiap individu manusia. Sebagai warisan yang khas, Ia (moral) juga terus berkembang baik secara personal maupun komunal sebagai alat ukur dan lat kontrol. Dalam tingkat personal, moral terbentuk dari berbagai peristiwa yang memunculkan berbagai titik temu dalam ruang batin manusia. Moral itu bisa menjadi matang (fixed morality) atau masih bisa untuk terus berkembang. Begitu pun secara kelompok, berbagai titik temu yang ada membuat adanya konsensus atau kesepakatan bersama mengenai bentuk-bentuk moral, tetapi juga masih ada yang terus mengalami perkembangan.
Era post-truth membawa manusia kepada dimensi peradaban yang baru. Peradaban yang serba dinamis, serba cepat, dan serba terkoneksi. Manusia dihadapkan kepada banjirnya inovasi teknologi yang mengalami percepatan luar biasa. Dari sisi produksi, manusia tak payah lagi harus bekerja ekstra keras seperti dulu untuk membuat suatu ciptaan produk. Manusia tak harus berkuda, mengirim merpati, atau bersurat fisik untuk memberikan pesan kepada orang lain. Manusia tak perlu lagi menulis di batu, menulis di daun, menulis di kertas, atau menggunakan mesin ketik hanya untuk mencatatkan tulisan tertentu. Manusia tak harus bergunjing lagi untuk sekadar tahu aktivitas dan kehidupan orang lain. Semua kini serba bisa dilakukan dengan teknologi yang terus berkembang pesat.
Situasi ini menempatkan moral dalam ruang peradaban yang baru. Sebagai alat ukur dan alat kontrol, moral digunakan dengan cara yang beragam, bergantung kepada sang pengguna, yaitu manusia itu sendiri. Di tengah situasi yang serba tak menentu karena berbagai kejadian yang kita alami, moral seringkali menjadi barang langka. Kelangkaan ini tentu sulit dipahami ditengah-tengah informasi yang serba ada dan teknologi yang serba membantu manusia. Nampaknya moral bertransformasi menjadi berbagai bentuk yang sulit dilihat dan dipahami eksistensinya. Sejatinya, makin mudahnya kita mendapat informasi dan teknologi, semakin membuat kita mudah untuk mematangkan moral.
Di titik ini, Harari membantu kita untuk menelaahnya. Harari mengatakan bahwa moral dengan berbagai bentuknya, termasuk tanggung jawab, harus dilihat sesuai konteksnya. Harari cermat mengamati keadaan era ini untuk membantu kita mengamati dengan jernih disposisi diri. Dalam banyak hal, moral dianggap menemukan titik temu yang matang yang kemungkinan tak lagi berubah (fixed morality) apapun keadaanya. Di sisi lain, ada yang terus terbuka dengan perubahan.
Harari mengajak kita untuk melihat dunia sebagai dua ruang, global dan inividual. Pertama, dunia sebagai tatanan global. Global diartikan dunia yang maha luas dan saling terkoneksi. Disini manusia bisa dekat dengan manusia lain di belahan yang berbeda sekalipun tak pernah kenal dan tak pernah bertemu. Kedekatan ini membuat manusia memiliki akses informasi yang beririsan mengenai sebuah kejadian. Tentu, perkembangan teknologi informasi membuat semua serba mudah diakses. Namun, manusia dapat memiliki respon yang berbeda untuk menanggapi kejadian tersebut. Disinilah titik pandang moral yang beraneka ragam. Misalnya saja melihat kejadian banjir di Kalimantan Selatan. Apakah setiap orang punya rasa yang sama mengenai empati dan tanggung jawab? Tentu tidak. Hal ini menurut Harari sebagai imbas dari ketidakteraturan moral yang dimiliki masyarakat global. Manusia merasa tak bisa langsung disalahkan mengenai kejadian tersebut ataupun juga tak merasa punya tanggung jawab langsung mengenai kejadian tersebut. Manusia bisa saja menunjuk manusia lain yang punya tanggung jawab langsung atau karena melihat orang lain sudah bertanggung jawab, ia tak lagi merasa punya tanggung jawab (bystander effect). Ini mengapa tak semua orang punya empati bahkan kecepatan tanggap yang sama terhadap fenomena global.
Lain halnya dengan melihat moral dalam ruang individual. Ruang individu juga memiliki arti ruang manusia itu sendiri. Moral tidak lagi ditelaah keluar, tetapi lewat pergumulan batin pribadi. Dalam ruang ini, moral didudukan sebagai perkembangan personal sebagai manusia. Banyak titik temu yang telah dimatangkan dan relatif tidak terganggu dengan distraksi eksternal. Secara konkrit dalam sebuah kejadian yang berkonotasi negatif, banjir misalnya, orang akan melihat kejadian tersebut sebagai manusia dan melihat adanya manusia lain yang berkesusahan. Ketika keadaan tersebut diperkecil skalanya, manusia cenderung memiliki kesepakatan yang sama bahwa sebagai individu ia punya tanggung jawab terhadap individu lain. Inilah yang mendorong banyak orang untuk menjadi sukarelawan, abdi, pelayan, dan lainnya dalam berbaga situasi dan keadaan.
Harari mengajak kita untuk dengan cermat melihat ruang mana yang akan kita gunakan untuk menggunakan moral. Menggunakan istilah St Ignatius Loyola, kita diajak untuk dengan jernih mencecap-cecap dengan rasionalitas dan batin. Ini tentu perlu latihan (askesis) yang panjang dan tak kunjung usai selama peradaban terus bergerak. Maka, merawat titik temu yang sudah matang sangatlah penting sebagai landasan pacu kita. Secara global, kita perlu terus mengadakan kampanye komunal untuk menggugah moral individu sembari mematangkan berbagai titik temu lainnya.
0 notes
danielpradina · 5 years ago
Text
Mengapa Banyak Orang Diam saat Melihat Kejadian Darurat?
Pernahkah ketika kamu berpergian menaiki motor, mobil, atau mungkin jalan kaki menyusuri jalanan yang ramai lalu melihat sebuah kecelakaan di depanmu? Atau mungkin ketika sedang bermain bersama teman-teman di teras rumah, kamu melihat api membumbung tinggi dari rumah tetangga? Hal pertama apa yang akan kamu lakukan setelah melihatnya?
Atau mungkin kamu sendiri pernah mengalami kejadian darurat di tempat umum? Misalnya terjatuh dari motor, panik karena kecopetan, atau histeris karena tiba-tiba diputus pacarmu? Dalam keadaan tersebut sempatkah kamu mengamati reaksi orang-orang yang melihatmu?
Jika kamu memilih untuk menolong orang kecelakaan dan membantu memadamkan api rumah tetanggamu, selamat! Kamu termasuk orang yang langka pada zaman ini. Lalu, bagaimana ketika kamu yang mengalami musibah? Apakah orang-orang banyak yang menonton saja atau mereka datang dan menawarkan bantuan?
Pemilihan respon seseorang saat melihat sebuah kejadian darurat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah keberadaan orang lain di sekitarnya. Orang akan cenderung menahan diri untuk melakukan sesuatu bahkan orang lebih memilih untuk mengamati saja. Fenomena yang digolongkan dalam psikologi sosial ini dikenal dengan bystander effect atau efek pengamat. Hal ini dapat mudah dijumpai dalam sebuah kejadian yang disaksikan oleh banyak orang secara langsung.
Dilansir dari laman Trans7 Official di Youtube tertanggal 15 Februari 2018, sebuah acara televisi bernama Hitam Putih, yang dipandu oleh Deddy Corbuzier, kedatangan bintang tamu bernama Karmila. Karmila adalah salah satu korban selamat dari sebuah kecelakaan bus maut di daerah Subang, Jawa Barat tanggal 10 Februari 2018. Karmila berkisah, persis setelah kecelakaan nahas itu terjadi, ia berusaha keras keluar dari bus yang ia tumpangi. Ia lalu mencari pertolongan dari kerumunan orang dengan meminjam telepon genggam untuk menelpon keluarga. Tapi, dari begitu banyak orang yang menonton, tak satupun yang mau meminjamkan telepon genggamnya. Beberapa warga yang secara langsung dimintai tolong oleh Karmila, berdalih ia kehabisan pulsa. Mereka lebih memilih untuk menonton sembari merekam peristiwa tersebut. Karmila pun akhirnya dibantu oleh rombongan lain yang ada di bus lain untuk menelpon keluarga.
Bibb Latane dan John Darney adalah dua psikolog sosial yang mempopulerkan fenomena bystander effect. Mereka mengembangkan konsep bystander effect bermula dari penelitian kasus pembunuhan terhadap seorang wanita bernama Catherine Genoverse tahun 1964. Catherine dibunuh dengan sadis oleh seorang laki-laki di luar apartemennya. Ironisnya, kejadian itu disaksikan oleh 38 orang yang merupakan tetangga apartemen Catherine, 18 diantaranya melihat peristiwa itu secara utuh. Dilaporkan hanya ada satu saksi mata yang berinisiatif menelpon polisi setengah jam kemudian. Terlambat, Catherine sudah tewas.
Mengapa Bystander Effect Bisa Terjadi?
Latane dan Darley mengungkapkan ada beberapa hal yang menyebabkan adanya bystander effect. Pertama, adanya difusi tanggung jawab. Keberadaan orang lain dalam suatu peristiwa akan membuat niatan untuk menolong dan bertanggung jawab menjadi berkurang. Keadaan ini juga kerap disebut kelumpuhan sosial. Rasa tanggung jawab untuk menolong merupakan tanggungan bersama, sehingga orang-orang akan saling menunggu. Kedua, adanya kebutuhan untuk bertindak secara benar yang dapat diterima bersama. Orang akan melihat reaksi dari sesama pengamat dulu untuk menentukan waktu dan bentuk pertolongan. Malah, jika dirasa jumlah orang yang menolong cukup, orang memilih untuk tidak berbuat apapun.
Dalam contoh kasus kecelakaan maut Karmila dan pembunuhan Catherine Genoverse, memenuhi dua sebab yang diutarakan Latane dan Darley. Pertama, adanya difusi tanggung jawab. Kemalasan untuk merasa diri bertanggung jawab melihat kejadian darurat tersebut tampak dari sikap orang-orang yang menonton. Bahkan, ketika Karmila dengan terang-terangan meminta tolong, orang enggan untuk menanggapi permintaan tersebut. Permintaan itu justru ditolak dengan dalih tertentu. Merujuk teori Latane dan Darley, orang tersebut merasa masih ada orang lain yang bisa diminta tolong oleh Karmila. Sedangkan, dalam kasus Catherine, orang-orang melihat dan mendengar teriakan Catherine minta tolong. Tak secara spesifik seperti Karmila yang menunjuk orang tertentu, Catherine berteriak untuk memanggil siapa saja yang mendengarnya. Difusi tanggung jawab pun menjadi semakin besar, karena tak jelas siapa yang harus bertindak menolong.
Kedua, kebutuhan untuk melakukan yang benar dan diterima bersama. Orang yang secara langsung ditunjuk Karmila untuk dimintai tolong memilih menolaknya. Orang tersebut bisa saja dalam keadaan bingung karena tidak tau harus melakukan apa. Ia takut salah, alih-alih membantu, ia justru takut menrepotkan. Apalagi kejadian kecelakaan itu cukup besar dari jumlah korban dan jumlah kendaraan yang terlibat. Hal ini tentu dirasakan oleh tetangga apartemen Catherine. Perkelahian tersebut dianggap sebagai masalah privasi, sekalipun Catherine sudah berteriak minta tolong. Orang juga takut melihat adanya tindak kekerasan dengan senjata tajam. Mereka berpikiran daripada terkena sasaran juga, lebih baik untuk menahan diri.
Bagaimana Bystander Effect Bekerja?
Latane dan Darley juga mengembangkan eksperimen penelitian mengenai bystander effect. Dalam eksperimen ini, mahasiswa menjadi partisipannya. Mereka ditempatkan dalam sebuah bilik dengan alat komunikasi untuk sepasang mahasiswa. Satu mahasiswa telah disiapkan untuk berperan menjadi seseorang yang sedang tersedak dan kejang, sehingga memerlukan pertolongan darurat. Eksperimen pertama ini menunjukkan 85 persen orang segera keluar untuk menolong sang pemeran. Bagi mereka, merekalah yang satu-satunya dapat menolong orang tersebut. Hasil ini berbeda ketika dilakukan dengan pengelompokan tiga dan enam orang. Ketika dikelompokkan menjadi tiga orang, persentase penolong berkurang menjadi 62 persen dan jika dikelompokkan menjadi enam orang, persentasenya hanya sekitar 31 persen. Hal ini menunjukkan, semakin tingginya kerumunan atau jumlah orang dalam satu tempat, meningkatkan difusi sosial dan saling menunggu untuk melakukan pertolongan pertama yang benar. Makin besar jumlah kerumunan, potensi orang untuk tanggap mengenai kejadian darurat akan semakin kecil. Sayangnya, Latane dan Darley tidak menyertakan bagaimana faktor empati bekerja dalam fenomena bystander effect ini.
Lalu Bagaimana Mengatasi Bystander Effect?
Ketika Kita Dalam Kerumunan
Seorang Psikolog bernama Jennifer., MPsi mengatakan ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh kita dalam menghindari bystander effect. Pertama, menumbuhkan simpati dan empati. Kedua, segera menghubungi pihak yang memungkinkan membantu. Ketiga, segera menolong atau tanggap. Reaksi ini memungkinkan orang lain untuk ikut membantu. Keempat, edukasi orang lain untuk tidak apatis.
Ketika Kita Menjadi Korban
Ketika kita menjadi korban, kita sebaiknya sesegera mungkin –jika memungkinkan-- meminta bantuan ke orang dengan jarak terdekat. Permintaan itu harus diucapkan sespesifik mungkin baik bentuk pertolongannya atau kepada siapa permintaan itu dituju. Permintaan yang spesifik akan memudahkan orang di sekitar kita tidak kebingungan melakukan sesuatu. Ingat, bystander effect diakibatkan karena orang menunggu orang lain melakukan sesuatu yang benar, mereka takut untuk salah. Selain itu, orang yang secara spesifik ditunjuk akan segan dan tidak enak untuk tidak melakukan pertolongan yang diminta. Jika sempat, pilihlah orang paling besar kemungkinannya dapat menolong kita.
    https://bacapikiran.com/bystander-effect-sikap-pasif-dan-apatis-untuk-menolong/
https://tirto.id/mengenal-bystander-effect-sikap-apatis-saat-keadaan-darurat-ekce
https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/apa-itu-bystander-effect/
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/bystander-effect-adalah/
https://pijarpsikologi.org/bystander-effect-menolong-tidak-harus-memilih-situasi-dan-kondisi/
https://www.youtube.com/watch?v=TNcfIEFZfbI
Bystander Effect. Artikel. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/basics/bystander-effect
0 notes