Antara Prinsip dan Keinginan
Pada hari Jumat sekitar jam 2 siang, aku sedang duduk melamun memikirkan kegiatan yang akan kulakukan akhir pekan nanti. Tiba-tiba Mas Andi masuk ke dalam ruangan dan mengagetkanku.
"Mila, dipanggil bos tuh," ucapnya sambil duduk di sampingku.
"Pak Aris?" tanyaku kebingungan.
"Iya, Pak Aris. Emang bos lo siapa lagi?!" jawabnya retoris.
"Oh, oke deh," balasku sambil beranjak dari kursi untuk bergegas ke ruangan Pak Aris.
Saat berada di depan ruangan Pak Aris, aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu.
"Tok tok tok...!"
Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam ruangan, "Masuk."
Aku segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
"Bapak memanggil saya?" tanyaku kepada Pak Aris.
"Iya, tolong scan dokumen ini. Sekalian ubah masa berlakunya yang sudah habis," jawabnya sambil memberikan dokumen yang berisi fotokopi SIM orang-orang yang akan dimasukkan ke dalam dokumen tender.
"Buat kapan, Pak?" tanyaku sambil mengambil dokumen yang diberikan Pak Aris.
"Sore ini jam 5. Minta tolong Andi juga biar cepat selesai. Nanti kalau sudah selesai, taruh di atas meja saya saja," jawabnya.
"Oke, Pak," balasku singkat.
Aku segera membawa dokumen itu ke ruanganku dan minta tolong Mas Andi untuk membantuku.
"Mas, ada kerjaan nih dari bos," ucapku sambil menyiapkan mesin scanner.
"Ngedit SIM lagi?" tanyanya sambil melihat dokumen yang aku bawa.
"Iya, Mas. Nanti hasil scan-nya gue simpan di folder biasa yah," jawabku sambil meletakkan fotokopi SIM ke mesin scanner.
"Oke siap! Tapi nanti lo beliin gue kopi yah," balasnya.
"Oke, americano kan?" tanyaku sambil mengecek hasil scan.
"Iya, hehehe," jawabnya sambil terkekeh.
Kejadian itu sudah sering terjadi selama hampir setahun ini, sejak aku ditempatkan di bagian yang mengurus hal-hal teknis terkait proses tender. Pada awalnya aku mau saja mengubah masa berlaku SIM itu. Tapi beberapa bulan terakhir ini aku sudah tidak mau melakukannya lagi, karena bertentangan dengan prinsipku. Aku takut gaji yang selama ini aku dapatkan diperoleh dengan cara yang tidak halal. Aku tidak mau gelar Ahli Madya yang sudah kudapatkan berubah menjadi Ahli Manipulasi Data.
***
Akhirnya hari Sabtu tiba. Ini saatnya aku melakukan kegiatan yang aku senangi. Kegiatan yang akan mengalihkan pikiran-pikiran negatif yang aku pikirkan beberapa hari terakhir ini. Aku akan mencoba kegiatan yang belum pernah aku ikuti sebelumnya, yaitu pottery class.
"Mil, sorry yah gw ga bisa nemenin lo soalnya cowo gw mau ke rumah."
"Maaf Mil. Aku disuruh nemenin ibu belanja kebutuhan bulanan."
"Duh gue udah ada janji nonton sama temen kantor nih. Next time yah Mil."
Itu adalah balasan pesan singkat teman-temanku semalam ketika aku mengajak mereka untuk ikut pottery class. Sepertinya aku harus mencoba kegiatan ini sendirian.
"Halo, mau ikut kelas apa?" tanya petugas pendaftaran.
"Pottery class untuk satu orang yah," jawabku sambil mengeluarkan dompet.
"Sendirian aja?" tanya petugas pendaftaran sambil menyiapkan tiket pottery class untukku.
"Iya," jawabku dengan senyum getir.
"Ini tiketnya. Harganya seratus ribu rupiah," ucap petugas pendaftaran sambil memberikan tiket pottery class.
"Waktunya berapa lama yah?" tanyaku sambil mengambil tiket dan memberikan uang seratus ribu rupiah.
"Waktunya satu jam. Silahkan langsung masuk ke dalam," jawabnya sambil menunjuk sebuah pintu di belakangnya.
Selama satu jam aku mencoba membuat mangkok dari tanah liat. Tapi aku tidak terlalu fokus mengerjakannya karena aku memperhatikan peserta yang lain. Para peserta yang ikut kelas ini sebagian besar datang dengan pasangan atau teman mereka. Sepertinya hanya aku yang datang sendirian. Ingin rasanya aku bercanda dan tertawa bersama teman-temanku.
Aku berprinsip bahwa aku tidak mau terlalu bergantung kepada orang lain. Tapi terkadang ada saatnya aku membutuhkan orang lain, di saat aku sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini. Aku tidak ingin sendiri. Padahal aku mengikuti kegiatan ini untuk dapat mengalihkan pikiranku dari rutinitas yang tidak kusukai di kantor. Namun yang terjadi malah menambah beban pikiranku saat ini.
***
Sendirian di rumah saat malam minggu rasanya tidak menyenangkan. Apalagi ketika aku sedang banyak pikiran seperti ini. Kedua orang tuaku sedang pergi menghadiri pernikahan anaknya teman ibuku di luar kota. Sehingga sepertinya mereka akan pulang larut malam. Sedangkan kakakku menginap di rumah temannya.
"Drtttt drtttt drttt...!" Suara ponsel yang menandakan ada pesan masuk menghentikan lamunanku.
Aku pun segera meraih ponselku. Terlihat notifikasi pesan singkat dari ibuku.
"De, malam minggu macet banyak yg keluar. Nanti sampe rumah sekitar jam 11an ya."
"Iya bu. Ati2 di jalan yah." Balasku.
Ternyata benar dugaanku bahwa orang tuaku akan pulang larut malam.
Kini aku sibuk scrolling akun sosial mediaku untuk mengusir rasa bosan. Jariku berhenti di foto cincin emas putih model solitaire yang dihiasi dengan satu buah berlian di tengahnya, yang melingkar di jari manis tangan seorang perempuan. Di bawah foto itu terdapat tulisan, "Thanks for accepting me further into your life. I love you." Ternyata temanku sudah dilamar oleh pacarnya. Sedangkan aku tidak pernah punya pacar.
Kulanjutkan scrolling hingga berhenti di foto sebuah surat dengan tulisan, "Congratulations, we are delighted to inform you that your application for admission to University College London has been successful and we are very pleased to offer you a place." Ternyata temanku sudah diterima oleh kampus impiannya untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana. Sedangkan aku bahkan masih belum melanjutkan pendidikan sarjana.
Selanjutnya aku melihat video temanku bersama dengan teman-temannya yang tidak aku kenal. Di video itu mereka asyik bercanda dan tertawa lepas. Tiba-tiba aku teringat kenangan bersama teman-temanku yang seperti itu dulu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bermain bersama mereka. Tanpa sadar air mata menetes dari ujung mataku.
Aku ikut senang melihat teman-temanku bahagia. Aku tidak mau iri kepada teman-temanku, karena itu bertentangan dengan prinsipku. Tapi aku takut tertinggal dari teman-temanku. Aku merasa tidak memiliki pencapaian apapun dalam hidupku ini.
***
Cuaca mendung sepanjang hari disertai dengan hujan rintik-rintik di hari Minggu, membuatku mengurung diri di kamar seharian. Aku mencoba mengalihkan pikiranku yang ruwet ini dengan melakukan berbagai hal di dalam kamarku. Dimulai dari membersihkan kamar dan memindahkan beberapa posisi barang-barang hingga aku lelah. Tapi setelah itu aku kembali dengan pikiranku lagi. Kemudian aku nonton drama Korea di laptopku. Tapi ternyata jalan ceritanya mirip dengan kisah hidupku, sehingga membuat pikiranku semakin ruwet. Dan akhirnya aku melakukan journaling untuk membantu melampiaskan emosiku melalui tulisan.
"Kreeek..." Tiba-tiba pintu kamarku dibuka.
Ternyata kakakku yang membuka pintu.
"Ketok dulu sih, Kak!" seruku sambil menutup jurnal.
"Sorry, hehehe," jawabnya sambil terkekeh.
"Emang lagi ngapain sih? Serius banget," sambungnya sambil berjalan ke arahku.
"Lagi nulis jurnal," jawabku sambil melihat kotak yang dipegang kakakku.
"Ada kue nih," ucapnya sambil memberikan kotak berisi kue.
"Makasih Kak," balasku datar sambil mengambil kotak kue.
"Kenapa, De?" tanya kakakku kebingungan melihat sikapku yang tidak biasa.
"Lagi banyak pikiran, Kak. Kayaknya mau dapet juga deh," jawabku.
“Coba cerita sama kakak. Kali aja kakak bisa bantu,” ucap kakakku sambil duduk di tempat tidurku.
Akhirnya aku menceritakan semua yang aku rasakan beberapa hari ini kepada kakakku dengan perasaan yang campur aduk.
"De, bersikap idealis itu boleh. Tapi kita juga harus bisa bersikap realistis. Nggak semua jawaban harus ada saat ini. Nggak semua hikmah harus diketahui saat ini juga. Hal-hal baik butuh waktu. Sabar, nanti ada waktunya. Nggak semua balasan harus ada di dunia ini. Nanti ada kehidupan akhirat yang lebih kekal. Mungkin balasan baiknya ada di sana," kakakku menjelaskan pendapatnya.
Setelah mendengar kata-kata kakakku, mataku mulai mendung seperti cuaca di luar. Tak lama kemudian air mata menetes di jari-jariku, terasa hangat. Aku langsung memeluk kakakku dengan erat. Aku bersyukur memilikinya. Dia adalah support system terbaikku. Tiba-tiba aku memikirkan apa yang harus aku lakukan di kantor esok hari.
***
Hari Senin pun tiba. Akhir pekan kemarin cukup melelahkan untukku, karena banyak hal yang aku pikirkan saat itu. Bahkan saat ini pun masih ada hal yang mengganjal. Aku ingin bersikap idealis, tapi aku juga harus bersikap realistis. Sepertinya aku harus bertahan dulu sambil mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Dicariin bos tuh, Mil," ucapan Mas Andi membuyarkan lamunanku.
"Pak Aris ya?" tanyaku memastikan.
"Iya, kayaknya ada yang penting deh," jawabnya sambil berjalan memasuki ruangan.
"Oke, makasih Mas," balasku sambil bergegas menuju ruangan Pak Aris.
"Ah, paling disuruh ngedit SIM lagi," pikirku.
Pak Aris langsung bertanya kepadaku setelah aku duduk di hadapannya.
"Background pendidikan kamu IT kan?"
"Iya, Pak," jawabku kebingungan.
"Jadi rencananya divisi Marketing and Business Development mau dipecah menjadi dua subdivisi, yaitu subdivisi Marketing dan subdivisi Business Development. Keduanya berada di bawah pimpinan saya." Jelas Pak Aris.
"Proses tender akan berada dalam subdivisi Marketing. Sedangkan subdivisi Business Development akan berfokus kepada pengembangan lini bisnis baru. Rencananya saya ingin mengembangkan bisnis yang berhubungan dengan IT," lanjut Pak Aris.
Aku masih bingung dengan arah pembicaraan Pak Aris. Melihat wajahku yang kebingungan, Pak Aris melanjutkan penjelasannya.
"Jadi saya butuh orang berpengalaman yang mengerti IT. Saya ingin meminta kamu untuk bergabung dalam subdivisi Business Development. Apakah kamu bersedia?" tanya Pak Aris.
Aku hanya bisa terdiam sambil berusaha memproses perkataan Pak Aris.
"Kamu pikirkan dulu permintaan saya ini. Kalau sudah ada keputusannya segera kabarin saya ya," lanjut Pak Aris.
"Oke, baik Pak. Saya akan berikan kabar secepatnya. Terima kasih atas tawaran Bapak," balasku setelah mengerti maksud dari penjelasannya.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Ingin rasanya balik ke ruangan Pak Aris untuk langsung menerima tawarannya. Namun kuurungkan niatku karena ingin menyampaikan kabar ini kepada kakakku terlebih dahulu. Akhirnya aku mendapatkan jalan keluar dari pekerjaan yang mengganjal hatiku beberapa bulan ini.
8 notes
·
View notes