Dengan menulis, aku bersyukur. A wife, a Mom, and a Midwife
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Metafora #1
Sebuah cerita bersambung tentang #quarterlifecrisis
#1 Banting Tulang
Rupanya senja sudah menyapaku, sinarnya menyirami sepeda motorku yang sedari tadi terparkir di sana. Kukira hari ini bumi lambat berputar, hingga hariku berjalan lebih lama. Harusnya aku sudah tiba di kostku sejak tadi. Meski sebenarnya aku hanya menjalani hari seperti biasa, ditambah melamun di sepanjang jalan, pun mengobrol dengan beberapa teman. Ditambah lagi salah arah jalan, kaukira lampu merah ini cuma satu dan menuntunku ke arah yang hanya itu? Hingga aku harus putar balik sambil meracau hingga lupa diri.
Bagiku menyenangkan sekali bisa meracau sendiri sambil berkendara di jalanan kota besar ini. Tapi ampun, aku masih kalah dengan panas yang disajikannya. Jaket yang kukenakan sepertinya tidak mampu lagi menahan sinar UV yang sepertinya bukan hanya A dan B, tapi sudah sampai Z. Ini panas, bukan hanya dari atas, juga dari bawah! Pun bukan hanya gerah, tapi aku ingin marah.
Kuberhentikan motorku di depan warung makan sederhana ini. Seperti biasa, aku lupa makan. Bukan hanya karena banyak pikiran, tapi selera makanku juga berantakan. Belum lagi berat badan yang mengalami penurunan, bukan mau kurus— ini aku saja yang tidak bisa menggendut! Selalu itu alasanku ketika teman-teman bertanya pola diet yang kujalani. Mungkin salah satu penyebabnya adalah ini yang hampir maghrib aku baru ingat mengisi perut, ini makan siang tau buka puasa?
“Bu, bebek gorengnya satu ya!” Pintaku pada Bu Yanti, langganan makan siangku oh maaf ini sudah sore.
“Oke, mbak.” Tangan bu Yanti langsung cekatan mempersiapkan menu untukku. “Tumben baru datang jam segini mbak? Puasa toh?” Bu Yanti sangat perhatian sampai hapal jadwal makanku.
“Kebetulan lembur bu, sambil tersesat tadi.” Jawabku.
“Bisa tersesat juga ya mbak, kan udah 5 tahun di sini.” Ujarnya lagi.
“Lampu merah bu! Aku salah arah, belum lagi aku sambil melamun.” Tambahku.
“Waduh, mikirin apa mbak? Jodoh?” Tanyanya penasaran.
“Sedikit sih Bu. Banyakan mikirin hari ini aku hidupnya gini-gini aja. Bosen bu.” Akhirnya sepiring bebek sudah di depanku.
“Iya ya mbak. Aku sih juga kadang gitu. Bosen. Tapi kalau mau dituruti bosennya, aku ya nggak bisa hidup juga mbak. Jadi ingat anak di rumah, biar semangat banting tulangnya, biar nggak bosen.” Ujarnya lagi sambil terus menerus menggoreng. Ya, aku hampir tidak pernah menyapanya dalam kegiatan lain, selain menggoreng.
Sambil mencerna bebek di hadapanku, kata-kata bu Yanti pun tercerna dengan perlahan. Jadi, harus punya alasan agar tidak bosan? Harus ada semangat agar kuat banting tulang? Bagaimana jika aku tidak memiliki keduanya?
Dan… sejak kapan bosan bisa membunuh seseorang? Aku tercekat. Jangan-jangan aku sedang di fase ini.
Bersambung.....
9 notes
·
View notes
Text
Benarkah?
Apakah itu benar seperti yang disebut?
Apakah itu benar?
Atau dari tadi aku hanya mendengar opinimu saja mengenai kata bahagia. Persepsi yang kau bentuk sendiri, tentang apa itu bahagia.. atau mungkin apa itu bahagia(mu)?
Aku hanya terpaku menyaksikan segala ambisi manusia demi kata cinta. Menghalalkan segala cara untuk sekadar mendekap rasa sayang. Menghabiskan segala cara untuk bisa merasa dianggap ada. Hingga menjelajah semesta demi mendapat balasan yang sama.
Apa itu benar?
Hingga aku tidak percaya lagi dengan semua kebenaran yang kau ungkap. Sebab sedari tadi aku hanya melihat bara ambisi untuk memiliki. Tak beda dengan anak kecil meminta sebuah boneka. Iya, boneka untuk dimilikinya, diaturnya, dan dikontrol sesukanya.
Benarkah?
Apakah rasa sayang yang dimaksud harus dengan memiliki penuh makhluk itu? Hingga mengatur segala dunia dan semestanya? Atau jangan-jangan hak asasi manusianya juga sudah direnggut?
Benarkah? Benarkah kau bisa bahagia dengan segala cara itu?
***
Please, don't be toxic.
4 notes
·
View notes
Text
Baru Melangkah
Fase baru dalam hidup terkadang membawa kita dilanda kebingungan. Padahal sebelumnya sudah yakin dengan segala persiapan. Tapi apa daya, tak jarang kita mengalami jetlag dalam memulai langkah baru.
Terlebih ketika sadar bagaimana beda menimpa setiap sama. Perempuan yang seringkali menjadikan sebuah hal terlihat rumit. Dimana bagi laki-laki itu bukan hal yang perlu dirunyamkan. Perdebatan sudah menjadi bumbu, mungkin agar rasa ini tidak hanya tentang bahagia tapi juga menjelma menjadi lebih banyak cinta.
Fase awal juga menjadi babak untuk menyelaraskan banyak hal. Langkah yang perlahan, meski mungkin di depan akan lebih banyak tersandungnya. Menyelaraskan langkah tidak akan membuat semua menjadi mudah, setidaknya kita menjadi tahu bagaimana langkah yang harus kita lalui sama-sama. Sedangkan sebelum itu, penerimaan juga menjadi modal awal. Ya, dengan tidak berekspetasi jauh tentang ketidaksempurnaan manusia.
Kini, kita adalah dua orang yang berbeda dalam banyak hal. Pun kita adalah dua sosok yang mencoba menyelaraskan segala beda dan memperjuangkan segala sama.
Kita tahu bahwa di depan akan lebih banyak hal yang menguji kesungguhan, akan banyak berkah yang menyertai dan akan banyak cerita yang bisa kita tuliskan. Bagaimanapun itu, terpenting sekarang, aku menujuNya bersamamu.
1 note
·
View note
Text
RTM: Kebaikan di Atas Segala Ke(kurang) baikan
Tulisan ini disarikan dari kajian Rumah Tangga bersama Ust. Afri Andiarto dengan topik “Wa’asyiruhunna bil ma’ruf: Dan pergaulilah istrimu dengan ma’ruf”. Kajian yang jika tidak salah sudah berlangsung bulan lalu. Entah mengapa waktu itu isinya begitu menancap, sehingga saya ingin sharing di sini. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya.
Ada sebuah redaksi yang menarik saat Allah mendiskripsikan dalam QuranNya Surat An-Nisa ayat 19 mengenai bagaimana kewajiban suami dalam mempergauli istrinya. Dari pemahaman saya yang masih sangat awam di sini, dalam bahasa arab, terdapat beberapa kata yang bermakna “baik”. Selain kata ma’ruf, terdapat kata hasan / ihsan , ada juga kata khoir. Namun, mengapa di sini Allah memilih menggunakan kata “Ma’ruf?
Bahkan tidak hanya satu kali. Di dalam QS. At-Thalaq ayat 6, disebutkan “Wa tamiru bainakum bil ma’ruf”, dan musyawarahkanlah di antara kalian suami istri tentang segala sesuatu dengan cara yang baik”. Lagi-lagi redaksi kata ma’ruf dipergunakan untuk mendeskripsikan tentang hubungan keluarga. Lagi-lagi tentu kita bertanya, mengapa kata ini yang dipilih oleh Allah untuk menjelaskan perihal rumah tangga?
Sebelum kita berpikir lebih jauh terkait maknanya, barangkali kita tarik terlebih dahulu ke sebuah nasihat yang sering disampaikan guru dan ustadz kita saat pernikahan:
“Sebaik-baik laki laki adalah yang paling sabar terhadap istrinya, sementara sebaik baik perempuan adalah yang paling taat pada suaminya”
Mengapa kesabaran yang begitu ditekankan? Sebab seorang laki laki nantinya akan membersamai makhluk yang penuh dengan perasaan dan emosi. Sudah cukup banyak kisah sahabat, salafush shalih yang kena semprot dan omelan istrinya, bahkan tak terkecuali Rasulullah SAW. Maka dari itulah sabar dan sabar adalah kunci dari kesuksesan seorang laki laki dalam menjaga rumah tangganya.
Kembali lagi ke ayat di atas, jika didefinisikan dan ditafsirkan, kata Ma'ruf bahkan jauh lebih tinggi daripada khair dan Ihsan. Dalam QS Ar-Rahman, kita mengetahui sebuah ayat yang artinya, “Kebaikan dibalas dengan Kebaikan”. Nah, peran suami di sini kelak bahkan harus lebih dari itu. Segala perlakuan istrinya, saat mengomel, saat marah, maka sang suami tidak cukup hanya sabar, namun membalasnya dengan senyuman, kesabaran, canda dan tawa, membantu mengerjakan urusan rumah tangga, serta kebaikan kebaikan yang lainnya. Jadi, makna Ma'ruf di sini adalah melakukan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang diperbuat pasangannya. Membalas segala perlakuan pasangannya dengan kebaikan. Hal yang teramat luar biasa, mengingat seperti inilah akhlak Rasulullah terhadap para penghinanya, yang betapa tinggi kemuliaan seseorang jika mampu mencapai derajat seperti ini.
Namun apakah dengan begini istri bisa semena-mena dengan emosinya? Tentu saja tidak. Sebaik baik istri pun juga adalah yang paling perlakuan dan pelayanannya pada suaminya. Maka di sinilah asal muasal kenapa surganya istri ada di ketaatannya pada suami. Sebab tanggung jawab suami begitu besar terhadap keluarganya. Pun walaupun demikian bukan berarti suami berbuat semena-mena terhadap istrinya. Ia harus tetap bersikap baik, menyuruh ya menaati sesuai dengan koridor ajaran agama.
Bayangkan saat seorang lelaki menggenggam tangan ayah atau wali dari istrinya, melakukan ijab qabul yang dikenal dengan mitsaqan Ghalidza, maka berpindahlah tanggung jawab dari ayahnya ke dirinya. Maka dia pula yang akan menanggung dosa dosa istrinya, dia yang akan menjadi nahkoda dalam membawa keluarganya ke surgaNya kelak, dia yang akan dimintai pertanggungjawaban pertama olehNya kelak di akhirat. Dia juga yang akhirnya bertanggungjawab penuh terhadap nafkah keluarganya, pendidikan anak-anaknya, memastikan bahwa apa yang ia berikan adalah hal yang halal dan thoyyib.
Tersebab tanggungjawab yang begitu berat itulah maka barangkali karena inilah Surganya seorang istri berada pada ridho suaminya. Dia yang taat pada suaminya, dia yang tidak menolak ketika suaminya meminta hak-nya selama tidak ada udzur syar'i seperti haid, nifas, dan sakit, dia yang selalu berhias utk suaminya, menjaga diri, rumah, dan harta selagi suaminya bekerja, serta dia yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dia yang bahkan dalam banyak kisah salafush-shalih, menawarkan diri di depan suaminya sekalipun mungkin mood nya sedang tidak baik atau bahkan lelah, namun dalam rangka ingin meraih pahala surgaNya, ia kesampingkan segala perasaannya. Dan inilah seringkali yang justru tidak mudah bagi seorang wanita karena dia harus berurusan dengan perasaan dan emosinya, sementara soal kesabaran pun barangkali tak mudah bagi seorang laki-laki karena dia harus berurusan dengan ego pribadi dan sifat ke-lelakiannya.
Maka demikianlah Allah menciptakan laki laki dan perempuan. Dilahirkan dengan penuh perbedaan yang sudah seyogianya bukan untuk diperselisihkan, namun melengkapi satu sama lain, memaklumi kekurangan satu sama lain, serta saling melayani satu sama lain.
Jika kelak seorang laki-laki menjumpai perlakuan yang kurang baik dari pasangannya, maka sudah menjadi tugasnya untuk menjadi yang pertama tersenyum dan sabar untuk pasangannya. Ia harus menjadi orang yang pertama yang menawarkan bantuan kepadanya apapun reaksinya, memeluknya untuk meredam segala amarah ya, mencium keningnya karena ketenangan seorang suami ada dalam kening istrinya.
Pun demikian jika kelak seorang istri menjumpai suaminya yang lelah selepas menafkahi dirinya, maka sudah tugasnya untuk menawarkan dirinya kepadanya. Taat pada perintahnya, mengesampingkan ego dan perasaannya walau dia barangkali sebrnarnya lelah, berusaha mengontrol emosinya walau memang tidak mudah. Sebab surga seorang istri ada pada tangan dan ridho suaminya, sebagai tanda ketawadhuannya.
Surabaya, 1 April 2021
03.50
191 notes
·
View notes
Text
dan kadang keyakinan perlu dipertahankan dengan bukti, bukan hanya rencana tanpa realisasi.
Aku memercayaimu, seperti aku percaya ulat bisa berubah jadi kupu-kupu. Maka, selesaikan yang harus dan ingin kamu selesaikan, aku takbilang akan menunggu, hanya sampai sejauh ini, aku masih di sini.
664 notes
·
View notes
Text
Hingga Nanti
Entah kenapa, pagi ini hanya ingin berpesan pada diri sendiri.
Hingga Nanti, Jangan Pernah Nyerah
Iya, sebuah semangat untuk diriku di masa depan yang mungkin sedang menghadapi masa-masa ingin menyerah dan merasa tidak berdaya. Mengeluh tentang ujian hidup, kurang bersyukur dan pelit dalam bersabar.
Padahal, proses kehidupan memang tidak pernah mudah ya? Selalu menuntut untuk terus bergerak dengan tangguh. Tidak apa, meski masih tertatih, masih meraba, masih mencoba trial-error untuk menjadi yang terbaik. Tidak apa, yang penting terus berusaha.
Lalu, bagaimana nanti, apabila sudah menjadi orang tua ya?
Sementara selama ini hanya menjadi pengamat, belajar teori, dan hal-hal lain yang masih jauh dari aplikasi. Masih sibuk membenahi diri sendiri. Masih sibuk menyakinkan bahwa bila nanti akan ada keluarga kecil penyejuk hati yang sekaligus menguji diri. But, It’s Okay.
Asal hingga nanti, jangan pernah menyerah. Jangan pernah lelah untuk belajar jadi ibu dan istri yang baik. Pertanggung jawabannya tidak pernah main-main. Dampak pengasuhan juga bukan hal yang bercanda. Harus belajar, tidak boleh tanggung. Harus bisa berikan yang terbaik dengan mengusahakan yang terbaik.
Karena untuk menjadi seorang ibu atau ayah, tidak ada remedialnya kan?
Mungkin akan lelah, tapi.. semoga tetap lillah.
Anak-anak itu suci, bersih dan dengan rela untuk dihiasi, bukan untuk dicemari. Semoga nanti bisa menghiasi dengan hal-hal baik, sesuai fitrahnya untuk menjadi sosok yang berarti. Meski di depan, kertas itu akan terus bergulir dan menjalani takdirnya. Semoga lembaran awal kehidupan anak-anak nantinya diisi dengan kebaikan yang banyak. Semoga, hal-hal baik selalu melingkupinya dalam susah dan suka. Semoga syukur dan sabar menyertai, tumbuh menjadi insan yang membumi dan membuat iri penduduk langit.
Untuk penyejuk hati yang masih belum mewarnai hari, maaf ya Nak, jika terlalu banyak semoga dalam setiap harapan. Maaf ya Nak, jika terlalu banyak do’a di angkasa. Biarkan ini menjadi salah satu cara untuk menjaga kalian sebab kalian adalah sosok yang berarti, sosok yang membuat diri ini terus berusaha memperbaiki diri. Terimakasih ya.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:7)
Sementara ini, jangan pernah menyerah melatunkan doa ini. Pun hingga nanti, jangan pernah menyerah untuk berusaha mewujudkan banyak kebaikan di muka bumi. Kita harus berjuang ya!
11 notes
·
View notes
Text
Bersabar dengan Sadar
Mungkin benar, aku yang kurang sabar
Menimbang semesta agar sesuai takar
Menyakiti jiwa agar semua berjalan dengan sadar
dan berjalan seperti tanpa kesalahan besar..
Tapi, sayangnya, juga masih kurang sadar
Lupa jika aku hanyalah setitik noda yang terus menyebar
dan sekumpulan rasa yang terlalu menggelegar
Semua butuh waktu, tapi tetap saja kurang sabar
Barangkali memang, aku harus latihan banyak bersabar. Melatih diri sendiri agar menerima semua kisah rumit ini. Menyemangati diri sendiri agar terus melangkahkan kaki. Terus bersabar dengan sadar untuk menuju titik itu.
Tapi tetap saja sepertinya aku masih kurang sabar, kurang sadar.
Yuk, sabar. Bukannya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar?
Yuk, sadar. Bukannya kita selalu butuh Allah?
:”
4 notes
·
View notes
Text
"Tidak mengapa jika memang harus semakin berat. Hanya, semoga saya juga semakin kuat."
Katakan itu sebagai permintaan. Yaitu sebuah tafsiran dari kemampuan yang terbatas, sekaligus meyakini ada kekuatan lebih besar yang mengatur; melindungi dengan cara yang rahasia namun tidak meninggalkan kita nelangsa sendirian. Sebab itu mendekat, maka Dia akan lebih dekat. Meminta, maka Dia akan memberikannya.
342 notes
·
View notes
Text
Sekadar Berarti
Pernah nggak terlintas, sesuatu yang kita lakukan dan hanya sekadarnya itu ternyata adalah hal yang berarti?
Misal, ketika membantu sesama. Kita hanya mengira uang atau benda yang kita beri itu sekadar diberi, karena kita merasa memang ingin sekadar membantu. Tidak berharap dibalas lebih, pun diganti hal yang sama. Hanya berbagi, hanya ingin menunaikan hak yang lain dalam rizki kita.
Ternyata, sekadarnya, begitu kita anggap, dapat menjadi berarti bagi yang lain. Sekadarnya, begitu kita merasa, ternyata menjadi pertolongan tanpa henti.
Pasti sering kita terbersit. “Ini hanya sekadarnya kok..”
Tapi, di sisi lain seseorang mungkin akan menjawab “Ini sangat berarti..”
Rasanya seperti menang lotre nggak sih? Tapi lotre untung-untungan, sedangkan ini untung sebenarnya. Ya, hal-hal yang kita rasa kecil, bukan berarti menjadi kecil juga bagi orang lain.
***
Jadi, teruslah berbagi. Apapun itu.
entah sebuah kata atau sebuah cerita
entah sebuah benda atau kumpulan harta
entah sebuah suka atau ramuan bahagia
karena kita tidak pernah tahu sebesar apa manfaat yang bisa kita berikan.
Sebab, bahagia bukan hanya soal bagaimana menemukannya, tapi bagaimana itu juga dapat bekerja di hati-hati lainnya.
1 note
·
View note
Text
Are U Okay?
Terkadang menanyakan hal ini terkesan peduli sekali. Pertanyaan yang akan meringankan beban seakan hey, ada yang peduli loh sama kamu. Aku salah satunya.
Pertanyaan yang seakan memberikan ruang, “Sini.. sini kamu bisa cerita apa saja yang menyesakkan di hatimu..” Aku selalu mendengarkan, aku selalu ada loh buat kamu.
Pertanyaan yang seakan punya solusi, “It,s okay, hidup nggak akan selalu baik-baik saja. Manusia itu ujian untuk satu dan lainnya, kamu pasti bisa melalui hal sulit ini. Aku mendoakanmu, selalu.”
Terimakasih sudah mau bercerita kisah rumit tak menyenangkan, sudah mau berbagi tekanan yang sedari tadi menyesakkan. Hidup itu memang sulit, tapi Allah akan selalu ada buat kamu, dan aku.. aku akan mendoakan setiap langkah kamu.
Terimakasih sudah tumbuh dengan baik, terimakasih sudah mau bersabar.
suatu hari, suatu hari entah kapan, kamu berhak atas bahagia lain dari dunia ini. Sekarang sabar dulu ya.
Sabar.
***
Peluk dari jauh.
dari : Aku, dirimu.
14 notes
·
View notes
Text
Mencerna Rasa
Terlalu banyak duka, katamu.
Rasanya air mata ini tak perlu usaha lagi untuk menampakkan diri. Alirannya tak perlu dikontrol lagi. Mungkin ia sudah otomatis, sudah terlatih berkali-kali.
Katamu, dunia ini akan selalu penuh suka duka. Ya, kedua hal yang saling bersahut-sahutan. Kedua hal yang saling beriringan. Rasanya baru saja tertawa lepas, tapi setelahnya kita menjadi bungkam menahan napas. Kita harus pintar memilah rasa, katamu.
Kau tahu kan, kita memang sedang diuji.
Kau tahu kan, ini adalah ujian-ujian itu.
Ujian kesedihan, yang rasanya bergejolak.
Ujian kesenangan, yang rasanya sama--bergejolak.
Rasa yang hadir, bukan lagi nano-nano. Ya, rasa yang hadir akhir-akhir ini bukan lagi tidak punya nama, tapi ia sudah punya kelompok. Bulan kesedihan, atau jangan-jangan hingga akhir tahun kita akan terus kedatangan anggota baru?
Ah, aku tak pandai menghitungnya. Aku pun tak pandai mencerna rasanya. Aku hanya pandai menerimanya.
Kau bilang, kesedihan hanya akan menghabiskan energi. Sudah. Tutup semua rasa sedih ini. Hingga aku pun menatapmu sedih. Bagiku, menikmati kesedihan adalah salah satu proses. Mencerna semua rasa yang masuk ke sukma adalah proses. Aku tidak bisa membuangnya, meski aku benar-benar ingin. Aku tak bisa memusnahkannya, meski aku ingin sekali hidup ini berjalan dengan damai.
Tak apa, kita berbeda kali ini. Tak apa kita berbeda dalam mencerna rasa yang hadir kali ini. Kau mungkin akan menghindari kesedihan, mencoba melapangkan dada agar semua yang menimpamu adalah hal-hal indah. Kau tak salah, mungkin begitu caramu dalam belajar menerima, memilah rasa.
Dan bagiku mencerna rasa bukan hanya tentang memilah rasa yang harus kuterima. Tapi juga mencoba menikmati rasa yang tak ingin kuterima. Menikmati--menikmati hingga tak payah lagi jika aku dihadapkan dengan semua jenis rasa sedih--pun suka.
Bagiku, sedih itu syukur. Bagiku di dalam kesedihan itu banyak sekali hikmah.
Tak apa ya, bahwa aku hanya ingin menangis di pundakmu meski kau sebal kali melihat air mata yang jatuh itu. Tak apa ya, biar kita sama-sama belajar menerima tentang hal sulit. Tak apa ya, biar kita sama-sama tahu tentang bagaimana mencerna rasa dengan bijak dan hati yang luas.
Iya, katamu. Tak apa. Asal setelah sedih ini, aku harus bisa mewarnai semua kelabu yang terukir. Timpa saja warnanya, tidak masalah jika agak redup. Setidaknya dengan itu warna-warna hidup akan tetap indah. Ku tersenyum. Bagaimana bisa, seseorang yang sangat membenci itu akhirnya bisa menerima.
Sejak saat itu, aku tahu bahwa manusia yang hampir tidak pernah merasa sedih itu tidak pernah lagi protes jika tiba-tiba aku menumpahkan semua air mata tanpa ijin di pundaknya.
Bisiknya, ijinkan saja rasa sedih singgah, mungkin ia hanya sekadar mampir, tak berniat menetap.
***
Sebuah Cerita.
Tidak apa jika ingin sedih. Cerna saja semua rasa sedihmu. Semua hikmah dibungkus dan semua kesal ditinggal.
**Juli. Masih dalam pandemi, masih belajar adaptasi.
1 note
·
View note
Text
Kalau begitu, apakah kamu masih bersedia?
***
Lagi belajar buat instablog.
Lagi belajar lettering.
Lagi belajar menulis lebih banyak.
Lagi belajar untuk adaptasi segala hal, pun perasaan.
2 notes
·
View notes
Text
Bermata Bening
Begitu kau dipanggil olehnya. Sebab katanya dari matamu cahaya surga itu tampak. Bening kilau terpancar darinya begitu meneduhkan. Katanya, kau seperti hadiah dari kumpulan keindahan.
Ia mencoba menyakinkanmu dan menyanggupi untuk menjadi sosok terbaik buatmu. Memuliakanmu, mencintaimu dan melakukan hal-hal yang tentu akan kau ridhoi.
Tapi, bening matamu menyimpan ragu. Dari pantulan keduanya terlihat ada ketakutan yang terpancar. Seolah kebaikan yang dimilikinya tak cukup utuh untuk membuatmu yakin. Padahal bukan sebab itu kau ragu. Ini bukan tentangnya, bukan karena ia yang terlalu baik untukmu. Tapi, apakah kau cukup baik untuknya.
Kau bertanya pada cermin kala itu. Dari pantulan matamu kau melihat sendiri sinar keraguan yang acap kali terlihat ketika kau mengingatnya. Seakan dia hanya bisa menempuh batas mimpimu. Dia, hanya bisa merengkuh jarak khayalanmu. Dia yang terlalu jauh dalam jarak realitamu.
Padahal, sejak dulu baginya kau adalah hadiah yang dikirim dari langit sana. Bening matamu adalah pancaran surga. Shalihah dirimu itulah harapan jiwa. Sejuk wajahmu selalu siratkan ketenangan. Baginya di dunia ini,kau tak ada yang menandingi.
Lantas, apa kau mau percaya jika kata-kata bukan gombal itu tertuju untukmu?
Kau menggeleng. Katamu, "aku tidak sebaik itu."
...
Mereka benar, kau akan tetap begitu. Lupa bahwasanya kau begitu berharga. Hanya saja jangan terlalu lama menyimpan cahaya sendirian, kau perlu teman dalam perjalanan agar cahayamu tetap berpijar dalam kebaikan.
Kadang ragumu itu perlu dituntaskan dengan jawaban. Ya, jawaban yang konkrit mungkin, bukan hal abstrak yang kadang menyerang ragumu.
***
Aku berpesan padamu, semua bidadari bermata bening di seluruh penjuru, jadikanlah dirimu hadiah terbaik untuk siapapun yang mengenalmu. Bagikan cahayamu, tapi jangan bakar dirimu. Jika kau merasa belum menjadi baik, maka itulah saatnya kau harus terus berada dalam kebaikan. Rengkuhlah sebanyak mungkin kebaikan, teruslah berada di sana.
Yakinlah, orang-orang baik, akan selalu berusaha dalam kebaikan dan akan membersamai orang baik pula.
...
Terinspirasi dari Ayna, bidadari tangguh seperti Ummu Khadijah. diceritakan di novel Bidadari bermata Bening-nya Habiburrahman.
3 notes
·
View notes
Text
Je-da?
Mungkin langkah kita terlalu cepat. Kita menjadi sosok yang tergesa-gesa. Memburu waktu.
Mungkin kita khawatir, hari-hari esok bukan hak kita lagi. Sehingga apapun langkah seakan menemukan pembenaran. Kita, produktif tanpa kenal waktu. Tanpa sadar mungkin kita sedang mendzalimi banyak hal.
Bumi kian penuh, polusi saling memaki sambil menumpuk. Sementara di langit, mentari dan kabut saling beradu siapa yang muncul lebih dulu. Mungkin kita sama-sama tahu bahwa alam berubah, karena manusia.
Kini, kita diberi jeda. Mengambil langkah untuk berhenti sejenak.
Barangkali kita marah, sebal, dan sulit berdamai. Menerka dengan nalar yang runyam dengan dalih tanpa henti. Membuat keadaan diri sendiri menjadi begitu berjuang dalam adaptasi.
Sekarang, coba kita beri je-da pada setiap pemikiran yang mengada-ada. Lihat lagi betapa banyak hal baik yang kita lewatkan, betapa banyak hal buruk yang terhindarkan. Memang, hidup selalu penuh konsekuensi. Tapi, bisakah saat ini kita berpikir hal baik?
Mungkin je-da yang datang ini menghalangi kita dari milestone yang harus kita capai tahun ini. Penundaan dimana-mana, bersabar bukan lagi pilihan tapi sudah menjadi keharusan.
Seperti kala kita sedang terburu-buru, lalu dicekat je-da, terhenti dan mengaduh.
Tapi je-da bukan berarti kita pause, waktu tetap berjalan. Tujuan di depan tetap harus dijalankan. Hanya saja mungkin kita berubah arah, arah yang terkesan kebut-kebutan, sekarang menjadi santai dan lebih tenang. Bisa? butuh adaptasi. Tidak semua orang terbiasa dengan keadaan yang berjalan lebih lambat. Tapi bukan berarti menjadi biasa tidak melakukan apa-apa dalam keadaan je-da seperti ini. Selalu banyak hal baik, selalu ada hikmah.
Berhenti sejenak, bukan berarti kita tak bisa berbuat apa-apa kan?
4 notes
·
View notes
Text
Membersamai
Kita butuh seseorang yang tepat untuk membersamai setiap langkah.
Seseorang yang dengan hadirnya mengingatkan kita pada Allah.
Seseorang yang dengannya menambah cinta kita kepadaNya
Seseorang yang teduh matanya menjadikan tenang dunia
Seseorang yang kata-katanya mampu menguatkan kita kala hati sedang patah
Seseorang yang semangatnya membuat kita mau berjuang tanpa menyerah
Seseorang yang bersama pikirannya membuat kita menjadi tahu bahwa lebih banyak hikmah dibanding keluh
Seseorang yang mungkin tidak sempurna, namun bersamanya kita selalu belajar untuk memperbaiki diri
Seseorang yang dengannya kita tumbuh menjadi diri kita versi terbaik
Seseorang yang hadirnya dirindu, senyumnya ditunggu, dan bersamanya kita menuju
Jika belum menemukan seseorang itu, maka coba sekarang lihatlah ke cermin di depanmu. Katakan pada seseorang di depan sana,
Mari kita saling membersamai. Menjadi seseorang yang lebih baik lagi,
Sebab sebelum menemukan seseorang yang tepat, terlebih dahulu jadilah seseorang yang tepat itu.
:)
3 notes
·
View notes
Text
Rasa #9 : Menyendiri
Rasa #9 : Menyendiri

Sendirian kadang begitu nikmatnya.
Berdiam bersama hening, membiarkan hembusan angin mengenal tiap sisi kuduk yang dihembusnya. Apalagi jika di sepertiga malam yang lengang, kita segera berwudhu dan shalat dengan khusyuk. Menengadahkan tangan, memohon ampun sebanyak mungkin. Menangisi dosa yang kian hari makin mengisi catatan. Mengingat semua pemberian-Nya dengan syukur yang tak terukur.…
View On WordPress
2 notes
·
View notes
Photo

Rasa #8 : Mengenang Batu-batu kenangan yang sudah kian meninggi dan mulai terasa menyesakkan ruang di sekitarnya, maukah kamu merelakannya untuk pergi?
1 note
·
View note