Text
#BirthStory Part 2 : Mengaku Lelah
Aku sudah cukup sering mendengar atau membaca dari cuitan para ibu di linimasa, katanya "lebih baik langsung operasi daripada harus diinduksi" karena katanya banyak kejadian persalinan yang akhirnya mengharuskan tindakan operasi setelah berjuang melewati serangkaian kontraksi yang diinduksi. Sakitnya tentu jadi bertambah berkali lipat.
Namun, agaknya aku akan jadi ibu yang keras kepala. Saat itu aku tetap ingin melahirkan normal untuk mengupayakan fitrah, walaupun telah diberi pertimbangan beberapa kali terkait riwayat kehamilanku, kami bersikeras. Toh bayinya sehat, aku tidak memiliki resiko, dan ini persalinan pertama kali yang akan menentukan untuk persalinan berikutnya (jika Allah menghendaki). Selain itu, aku merasa sepertinya aku memiliki trauma dengan operasi kuretase di dua kehamilan sebelumnya, walaupun sebenarnya aku tidak merasakan apa-apa karena dibius total.
Kembali ke hari persalinan, aku mendatangi informed consent persetujuan melakukan IMD; inisiasi menyusui dini. Aku bersyukur ternyata RS-nya mendukung ASI Eksklusif. Beberapa saat sebelum dipindahkan ke ruang bersalin untuk mulai proses induksi, aku berujar kepada suami "kayaknya pain tolerance-ku cukup tinggi" entah aku terlalu percaya diri atau aku mencoba menguatkan diri haha bismillah saja.
Pukul 10.00 pagi proses induksi dimulai, dari pembukaan tiga. Sejak semalam aku menghitung durasi dan frekuensi kontraksi yang datang dan alhamdulillah masih terkendali. Aku mencoba mengatur nafas tiap kali gelombang cinta itu datang. Aku masih bisa menikmati snack dan makanan yang disediakan di setiap jam makan. Sholat dzuhur juga masih bisa disempatkan walau hanya dilakukan di ranjang. Tapi ternyata saat kupelajari lagi, ada pendapat ulama yang mengatakan itu sudah masuk masa nifas ya karena sudah ada darah yang keluar saat proses persalinan (?)
Menjelang waktu ashar kontraksi semakin intens, badan rasanya semakin susah digerakkan, hal yang paling menyusahkan adalah ketika aku harus buang air, tidak nyaman sekali memposisikan diri dengan pispot. Badanku semakin terasa sulit digerakkan, miring kanan miring kiri bahkan terlentang pun tidak nyaman. Infusan induksi beberapa kali tertahan karena aku terlalu menarik badan terlalu jauh. Pada pembukaan tujuh terdengar suara seperti gelembung pecah, kurasa itu air ketubanku.
Nafasku yang awalnya terkendali inhale-exhale mulai tak beraturan, aku sudah kehilangan hitungan, aku mencoba menahan nyeri, sesekali bergumam dan merintih kepada suami sembari berdzikir untuk menguatkan diri. Ia membimbingku untuk bernafas, aku sudah semakin tidak tahan, mata melotot dan mencengkram lengannya. Aku tidak berteriak tapi mungkin seperti mengerang, dan kurasa suaraku semakin keras terdengar di satu ruangan. Aku ingat yang ada dalam pikiranku saat itu adalah "Hah gila! apaan apaan ini? gini banget induksi?!" sempat terlintas di pikiranku bagaimana jika aku memilih operasi saja, namun aku masih "penasaran" ingin menyelesaikan proses yang telah kumulai.
Entah di kontraksi ke-seratus-berapa, aku mulai merasa lelah dan ingin memejamkan mata sebentar saja, walaupun aku tahu itu tidak boleh. Suamiku sampai menggoyang-goyangkan tubuh, khawatir aku hilang kesadaran. Saat itu menjelang pembukaan lengkap, sudah masuk waktu maghrib. Ibuku baru datang pulang kerja dan masuk ke ruang bersalin, walaupun sebenarnya pasien hanya boleh didampingi satu orang, ibuku menggunakan privilese-nya sebagai sesama nakes. Love you, ibyu <3
Saat pembukaan lengkap, aku sudah lelah sekali seharian menahan kontraksi. Bidan telah bersiap, ibuku mendampingi, suamiku beberapa kali bolak-bolak keluar masuk. Aku sempat bergumam lirih "Capek.." dan itu terdengar oleh seorang bidan senior, "Lah udah capek? Katanya mau lahiran normal, udah waktunya ngejan ini" omongannya mungkin wajar jika menyakitkan, tapi saat itu aku juga tidak sempat baper dan malah bersyukur, karena walaupun bidan itu nyinyir dia juga mendukung, membuatkan teh manis agar aku kembali mendapat energi.
Ternyata butuh waktu lama untuk mengeran dan mengeluarkan bayi di dalam perutku yang katanya sudah terlihat kepalanya. Aku sudah kelelahan dan berulang kali disalahkan karena tidak bisa mengeran. Waktu terus berjalan, ibu menguatkanku untuk terus merapal doa. Mungkin ia khawatir karena aku tidak terlihat berdoa, tapi sejujurnya aku sudah tidak sanggup banyak berkata-kata, jadi kulakukan dalam hati saja.
Satu jam terlewati, satu jam setengah, para bidan sudah menawarkan untuk lanjut operasi jika tidak keluar juga. Namun kami, kali ini aku, suami, dan ibuku meminta waktu untuk mencoba lagi, bahkan belakangan kutahu suamiku sudah menandatangani surat persetujuan penundaan tindakan. Kuyakin mereka kesal karena kami pasien yang keras kepala. Namun syukurnya mereka tetap mendukung apa yang kami pilih. Kini yang berdoa tidak hanya kami bertiga, ketiga bidan yang menangani pun turut berdoa sembari menguatkanku untuk mengeran, sampai kami diberi waktu 10 menit terakhir, kalau belum berhasil juga aku harus operasi. Sejujurnya aku memang sudah kelelahan, namun aku yakin Allah akan bantu, entah berapa menit lagi aku yakin Allah yang akan mengeluarkan bayi ini, walau tenagaku sudah tersisa-sisa seadanya. Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi wa laa fis samaa' wa huwas sami'un 'alim.
Pukul 20.19 bayi dalam perutku berhasil keluar setelah tindakan episiotomi. Selang berapa detik, aku belum mendengar suara tangisannya. Aku mencoba menghitung 1,2,3 kemudian terdengar suara tangis yang agak lirih. Alhamdulillah, anakku sudah lahir. Entah bagaimana bentukanku saat itu, aku hanya bisa terkulai di ranjang bersalin sambil berharap akan segera melakukan IMD. Namun bidan membawa bayiku dan katanya ia masih harus diobservasi karena terlalu lama berada di jalan lahir.
Ya Allah, fisikku sudah lelah namun pikiranku jadi bertambah, "apa yang terjadi dengan bayiku? apa dia baik-baik saja? Aku ingin melakukan IMD". Katanya rasa sakit yang luar biasa itu akan hilang saat melihat sang bayi, tapi ini aku belum bisa melihatnya..
2 notes
·
View notes
Text
5 Pesan yang Jadi Bekal Saya Memulai Awal 2025
@edgarhamas
Saya suka dengan pepatah ini, "In the beginning there is meaning, in the end there is feeling." Di permulaan ada pemaknaan, dan di akhir biasanya ada rasa.
Orang memulai harinya dengan membuat pengalaman, lalu senja harinya ia pulang membawa pengalaman, dan malamnya ia merenungi kenangan dari sebuah pengalaman. Dan, itulah yang membuat hidup jadi dinamis. Kita, memaknainya, setiap pergantiannya. Ada zikir pagi, ada pula wirid sorenya.
Bagi kita yang hidup di zaman ini, rasa-rasanya kita yang terbiasa menggunakan kalender Masehi jadi perlu membuat pemberhentian sejenak. Bukan, bukan kita merayakan akhir tahun gregorian. Kita sudah punya kalender sendiri. Namun terbiasanya kita menggunakan tahun-tahun gregorian ini akhirnya membuat kita jadi butuh juga memuhasabahi: akhir tahun 2024 aku sudah jalan sejauh apa, dan bagaimana aku memulai hari-hari setelahnya?
Maka, "in the end, there is feeling."
Alih-alih fokus membeli bahan bakar-bakaran, makin dewasa ini, saatnya diam sejenak bersama Allah dan diri kita sendiri. Hadiri kajian jika ada, mabit jika memang ada agendanya. Kalau saya sendiri, saya biasanya diam saja sambil merenung.
Saya selalu menanyakan dua hal: tentang apa yang telah saya lakukan, dan apa yang kelak akan saya azamkan. Saya akan lihat 100 target 5 tahunan, dan mulai memindai mana yang masih relevan, mana yang telah terjadi, dan mana yang masih mimpi.
Dan, pesan-pesan ini membantu saya —dan semoga kamu— untuk kembali menyegarkan sudut pandang menjalani hari-hari ke depan.
1. "Allow yourself to be a beginner"
Izinkan diri kita untuk menjadi pemula pada hal yang baru. Pada potensi yang kita baru asah, pada pekerjaan yang baru kita jalani. Sebab banyak orang menuntut dirinya harus langsung ahli, dan itu mustahil. Banyak guru bilang pada saya bahwa setiap hal butuh "Husnul Bidayah", awal yang baik.
Dan salah satu makna awal yang baik itu adalah: berikan hak pada dirimu untuk berproses.
2. "Some years you win, some years you build characters."
Hendaknya kita memahami bahwa tahun-tahun yang berjalan, tak selalunya berakhir memuaskan. Kadang ada masa dimana kita menang. Tapi, jangan overthinking kalau memang tahun ini kita "rasanya" tak menghasilkan banyak hal berarti. Kamu salah jika berpikir begitu.
Sebab pada akhirnya kita bertumbuh: kadang berakhir dengan momentum, kadang berubah menjadi pelajaran berharga. Baca surat Ali Imran 140, dan kita akan memahami siklus ini.
3. "I'rif qadraka..."
Seseorang pernah datang pada Imam Ibnu Mubarak, lalu dia meminta nasihat. Dan, jawaban Ibnu Mubarak singkat padat jelas namun sangat dalam, "i'rif qadraka", ketahuilah kapasitasmu. Dalam jalan panjang hidup ini, kita sering mengenal orang, tapi kenapa kita jarang duduk mengenal diri kita sendiri?
Mengetahui kapasitas kita, itu artinya memetakan apa yang bisa persembahan buat Islam dan umat ini.
Sebab generasi pembebas Al Aqsha bukanlah hanya dari orang-orang militer, tapi oleh siapapun yang memenangkan potensinya di bidangnya masing-masing. Dan itu hanya bisa benar-benar terjadi jika setiap orang mengetahui kapasitasnya, sehingga ia mampu menentukan posisinya.
4. "Maa kaana Lillahi yabqaa"
"Apapun yang dilakukan karena Allah, maka akan bertahan", itulah yang dikatakan Imam Malik bin Anas ketika menulis Kitab hadits Al Muwattha. Saat itu, buku-buku hadits sudah banyak. Namun Imam Malik tetap menulis dan bahkan karyanya bertahan sampai kini. Apa rahasianya?
Ya, beliau melakukannya tulus karena Allah, maka Allah menjadikan karya itu "abadi" menginspirasi umat melintasi ruang dan zaman.
Mirip-mirip dengan quote Maximus, "What we do in life echoes in eternity"
5. Terhubung dengan misi para kesatria: Al Aqsha
Dan ini yang pamungkas. Saya terkesan dengan salah satu quote demonstran pro Palestina di Amerika, "bukan dunia yang telah membantu Gaza, tapi Gaza lah yang membangunkan dunia." Clear. Jernih.
Permasalahan Al Aqsha dan Palestina adalah milik pendekar hati nurani. Selama kita masih bertaut dengan Al Aqsha, maka kita akan sadar: beban kita belum ada apa-apanya, dan visi kita bertaut dengan mereka; yang terabadikan dalam lisan seorang ibu di pengungsian Gaza, "Al Aqsha, jika tidak dibebaskan oleh aku, maka oleh anak-anakku. Jika bukan oleh anak-anakku, maka oleh cucuku!"
263 notes
·
View notes
Text
#BirthStory Part 1: Berteman dengan Rasa Sakit
G3P0A2 - kode yang tertulis di riwayat kehamilanku pada buku KIA; tiga kali gravid (hamil), belum pernah partus (melahirkan), dua kali abortus (keguguran). Hal ini yang membuatku didiagnosis Bad Obstetric History dan orang awam akan mengklaim kandunganku lemah. Namun aku percaya setiap kehamilan memiliki perjuangannya masing-masing, tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya.
Aku ingat sekali dokter kandungan yang pertama kali menanganiku di kehamilan pertama pernah berujar bahwa tidak ada kandungan yang lemah, karena rahim itu tempat yang sangat kokoh.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (Q.S. Al-Mu’minuun : 13)
Lalu apa yang menyebabkanku mengalami keguguran berulang? Wallahu'alam bisshowab. Tulisan ini akan sangat panjang jadinya kalau aku harus mengurai kembali pengalaman di dua kehamilan pertama. Yang pasti, rezeki anak akan hadir di waktu yang tepat saat kami sudah Allah anggap siap untuk menerima amanah-Nya.
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (Q.S. Ar-Ra’d : 8)
Sampai tepat minggu ke 40; di hari perkiraan lahir, dokter kandungan memberikan waktu tiga hari jika kami ingin melahirkan normal, jika lebih dari itu disarankan untuk operasi saja; mengingat riwayat kehamilanku sebelumnya. Aku mencoba tenang dan menerima saran dokter, di sepanjang perjalanan pulang suami menguatkan dan mengingatkan komitmen kami.
Lewat satu hari, aku semakin merasa diuji untuk tawakkal kepada Sang Pemilik Waktu, jangan sampai mendahului Allah dalam menentukan waktu yang tepat. Kalau begitu aku meminta tanda dulu ya Allah..
Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". (Q.S Maryam : 10)
Masya Allah tak lama dari rintihan doaku setelah itu Allah kabulkan, Allah memberikan tandaNya. Rasanya senang, khawatir, walau tak yakin. Inikah waktunya?
"Melahirkan itu berarti yang dicari rasa sakitnya" ujar seorang bidan saat aku menyampaikan keinginanku untuk lahir normal pervaginam. Pernyataan itu hampir sama dengan apa yang kukatakan pada suamiku di minggu-minggu terakhir kehamilan, saat kami masih menanti gelombang cinta yang tak kunjung terasa. Masya Allah ya demi jadi ibu, justru mengharapkan rasa sakit untuk dirinya, sembari mengupayakan untuk bisa menikmati setiap kontraksi yang datang.

Di Ruang Kala I, beberapa bidan mendatangiku pagi itu setelah semalam aku datang ke IGD karena air ketuban sudah rembes, salah satu bidan senior memberikan tawaran dan pertimbangan terkait tindakan selanjutnya. Mengingatkan kembali riwayat keguguran berulang dan bilang bahwa "ini anak mahal". Aku dan suami diberi waktu untuk berdiskusi, walaupun sebenarnya kami sudah tahu apa yang kami pilih, bismillah kami memilih induksi dibanding operasi.
2 notes
·
View notes
Text
#MinorityStory : Memaknai Doa
Tadi siang selesai pelayanan di Posyandu, kami dijamu makan oleh kader desa. Kadang sebelum makan ada doa bersama terlebih dahulu. Tidak selalu karena kadang kalau sudah lelah biasanya masing-masing langsung mengantri dalam barisan prasmanan hihi.
Kali ini karena kondisinya lebih kondusif jadilah kami berdoa bersama dulu. Biasanya yang memimpin adalah rekan-rekan Kristen dengan cara mereka yang dimulai dengan "Kami satu dalam doa".
Namun kali ini aku yang ditunjuk untuk memimpin doa. Minggu lalu pun aku juga yang "terkena" untuk pemimpin doa dalam apel KORPRI di Puskesmas. Kagok sebenarnya karena harus memimpin doa di depan rekan-rekan yang mayoritas Protestan dengan doa dalam bahasa Arab.
Akhirnya aku membaca doa makan seperti biasa dan menambahkan sedikit doa dalam Bahasa Indonesia. Sebentar saja kemudian aamiin. Dan rekan-rekan lain berkomentar kalau doa tadi cepat tidak se-lama kalau mereka berdoa😂
Namun aku jadi terpikir kembali untuk melafalkan arti dari setiap doa dengan lebih baik. Lumayan kan bisa jadi syi'ar dan biar mereka bisa paham dengan doa-doa harian muslim. Semoga nanti lagi jika aku dipilih memimpin doa bisa melafalkannya dengan baik.
Disclaimer : makanan yang kami makan insya Allah aman kehalalannya, karena sajiannya ikan, tahu, dsb dimasak oleh perawat desa, seorang Advent yang notabene pantangan makannya lebih banyak dibanding muslim✨️

13 notes
·
View notes
Text
#StoryPasutri : Belajar Memaafkan Setiap Hari
Selain bahasa cinta yang berbeda, aku dan suami juga memiliki bahasa permintaan maaf yang tak sama. Makanya menjalani tahun kedua pernikahan ini makin terasa gejolaknya 🫶 alhamdulillah kami terus saling menyayangi dan memaafkan setiap hari🤭
Suami termasuk tipe yang kalau kita udah bilang maaf pasti langsung dibales “Iya..dimaafin” trus tinggal lanjut ke resolusi dari permasalahan semula.
Sedangkan aku baru bisa maafin orang kalau dia sudah mengekspresikan penyesalan, jadi dia harus tau salahnya dimana gak sekedar bilang maaf aja.
Jadi sering kali ketika situasinya lagi agak dingin, aku tiba-tiba minta maaf dan suami bilang udah dimaafin padahal aku belum bilang apa apa lagi pfft kan bingung (?)
Atau berlaku sebaliknya, ketika suami minta maaf tapi dia tidak banyak memberi penjelasan atas maafnya aku jadi meragukan permintaan maafnya haha astaghfirullah🙏
Akhirnya kami belajar untuk terus berkompromi dengan perbedaan yang ada. Jika ada emosi yang masih tertahan maka luapkan, jika ada hal yang perlu diutarakan maka sampaikan jangan biarkan hanya bersarang di pikiran saja karena jika didiamkan terlalu lama jadi tak sehat untuk keduanya.
Semakin kesini semakin menyadari betapa nikmat dan ujian menikah selalu beriringan. Masyaa Allah. Semoga kita selalu menjadi orang yang pemaaf, karena Allah saja Maha Pemaaf atas kesalahan hamba-hambaNya jangan sampai kita malah mengingat kesalahan orang lain tanpa menyadari kesalahan pribadi.
3 notes
·
View notes
Text
Dengan Nama Allah
The Prophet Muhammad ﷺ told us that, "Any important work that does not begin with 'bismillāh' is imperfect" — Ibn Ḥibbān
Di penghujung tahun 2022, alhamdulillah saya berhasil selesai membaca buku Reflecting on the Names of Allah karya Jinan Yousef. Pada bagian terakhir buku ini, saya kembali diingatkan untuk selalu mengingat Allah ketika memulai segala aktivitas atau urusan. Sesederhana dengan menyebut بِسْمِ اللهِ (dengan nama Allah).
Saya mengawali tahun 2023 dengan mengikuti kelas 30 Hari Hidupkan Hati (30HHH). Di grand opening, pada sesi penjelasan cara menggunakan Notion untuk jurnal 30HHH, narasumber mengingatkan setiap peserta agar mengucap بِسْمِ اللهِ ketika membuka jurnal. Dengan harapan, setiap membuka jurnal akan Allah catat sebagai ibadah dan upaya membenahi diri.
Tidak lama berselang, saya membaca postingan instagram dari Greget Kalla Buana yang diawali dengan "Mindfulness: Bismillah is a sign you are mindful". Secara singkat, tulisan ini mengingatkan, jika kita sudah mengucapkan بِسْمِ اللهِ maka kita telah meniatkan segala hal yang kita lakukan semata-mata hanya karena Allah.
By remembering that Allah is sustaining this world at every moment, we realize how fragile we are, and how much we need Him, and thus we ask Him not to leave us alone for a second. [Reflecting on the Names of Allah, halaman 506]
بِسْمِ اللهِ , mari mulai petualangan di tahun ini!
2 notes
·
View notes
Text
Thank you to everyone who got me to 1000 likes!
0 notes
Text
Kesediaan Merantau
Satu hal yang baru kusadari belakangan adalah "merantau merupakan sebuah privilege yang tak semua orang bisa mendapatkannya dan mau melakukannya."
Tak jarang banyak yang terhalang keinginannya karena tak mendapat restu orang tua untuk pergi jauh dari rumah; entah untuk kuliah, kerja, bahkan menikah pun disarankan dengan yang dekat-dekat saja.
Aku pun sempat menanyakan kenapa orang tuaku sama sekali tidak keberatan ketika tahu aku akan ikut suami merantau ke pulau seberang? Tentu mereka tak masalah, karena kami sekeluarga pun sudah merantau dari kampung halaman sejak aku masih bayi.
Seorang teman pun pernah menyampaikan, kalau ia jadi aku mungkin ia tidak mau jika harus diajak tinggal di tempat jauh yang sebelumnya tidak ia ketahui. Hal yang kupikir bukan suatu kendala ternyata bisa jadi pantangan bagi orang lain.
Kita mungkin sering mendengar nasihat Imam Syafi'i;
"Merantaulah,
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Merantaulah,
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)."
Tulisan ini tentu bukan untuk berbangga diri dan merasa menjadi "si paling merantau" haha karena merantau pun belum tentu mendapatkan hidup yang lebih baik, akan selalu ada tantangan dimanapun kita berada.
Saat ini aku merantau ke daerah yang jauh berbeda dari tempat tinggalku sebelumnya. Tidak banyak teman, tidak banyak pilihan kegiatan, bahkan makanan untuk sekedar memenuhi keinginan. Pekerjaan yang kadang terasa menjemukan, tidak banyak hal baru yang kudapatkan. Hm terasa membosankan ya?
Namun, jika ditanya apakah aku betah tinggal di sini? Ya, betah betah saja, kurasa aku cukup baik dalam beradaptasi. Hanya saja lama-lama aku merasa telah membangun zona nyaman yang rawan melalaikan. Tak banyak hal baru yang kudapati karena aku melewati rute yang sama dengan kegiatan serupa tiap hari.
Lantas bukan hanya kesediaan merantau saja yang diperlukan, namun semangat untuk terus belajar, merasa kurang dalam ilmu, miskin dalam pengalaman jadi modal utama agar terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri dimanapun kita berada. Terakhir, selamat merawat semangat :)

ANS | Manado, 12 Oktober 2022
26 notes
·
View notes
Text
Ada saatnya aku ingin terlihat, namun tak lama kemudian rasanya lebih baik bersembunyi saja. "Toh takkan ada yang mencari" begitu pikirku berulang.
9 notes
·
View notes
Text
Riuh Reda Isi Kepala
Lagi lagi aku merasakan gejolak perasaan yang tidak mengenakkan, mungkin hampir setiap bulan ketika siklus keperempuanan-ku datang menjelang.
Perubahan suasana hati sebab hormon yang naik turun ini tak jarang membuatku berefleksi diri. Kadang menemukan titik terang dari pergumulan, namun lebih sering lagi justru tenggelam dalam pikiran tak karuan. "Tenang, kuasai" seperti yang biasa suamiku ajarkan.
Kumenarik dan menghembuskan napas mencoba mengaturnya agar pikiranku pun ikut mereda. Ada masa dimana aku merasa harus berupaya lebih kuat untuk melawan emosi-emosi negatif yang menghantui.
Mungkin aku harus lebih jujur pada diri sendiri, agar segala emosi yang kurasakan dapat terdefinisikan dan solusinya pun bisa kutemukan.
Selamat merawat kewarasan⚘️
Manado, 26 Juni 2022 | ANS
2 notes
·
View notes
Text
Pertemanan Pascakampus
Sebagai sarjana jalur pandemi rasanya kisah semasa di kampus seolah terpaksa dibuat berakhir, seperti satu bab dalam buku yang sengaja dilompati tidak dibaca sampai habis, atau seperti episode terakhir dalam series yang sengaja dibuat menggantung dengan open ending lalu berlanjut ke season berikutnya.
Dua tahun terakhir terasa begitu bukan? Aku baru sadar kini aku bukan fresh graduate lagi, tapi 'sudah hampir basi-graduate'. Aku mungkin sudah tidak mempermasalahkan wisuda daring/luring, bahkan sampai sekarang aku tidak punya foto keluarga dengan toga, tidak seperti orang-orang yang foto wisudanya biasa dipajang di dinding ruang tamu keluarga. Jadi teringat seorang teman yang punya mimpi ingin membawa keluarganya ke kampus, namun hal itu bahkan tak terwujud sampai hari ini.
Kita; aku dan teman-teman yang juga mengalaminya, kemudian menanggalkan atribut mahasiswa dan melanjutkan hidup, meninggalkan kisah lama, berjuang sendiri menjalani kisah baru bahkan tanpa sempat berpamitan satu sama lain.
Dan kini kita berada di tempat masing-masing dengan peran dan lingkungan baru. Setiap kita kini menulis cerita di buku yang berbeda. Lantas bertukar dan menyambung cerita jadi hal yang perlu diupayakan walau nyatanya tak semudah kelihatannya.
Menemukan waktu dan kondisi yang tepat untuk saling menghubungi tanpa khawatir mengganggu atau tertolak dan terabaikan jadi permasalahan. Saling merasa sibuk masing-masing hingga sungkan jika menghubungi tanpa tujuan yang jelas. Seolah setiap ada yang menghubungi sebatas untuk keperluan dan minta tolong saja. Interaksinya jadi terasa transaksional dan bermotif. Beruntunglah orang-orang yang dengan mudah saling bertukar kabar tanpa rasa sungkan.
Sebab yang lainnya hanya melakukannya melalui media sosial, tempat setiap orang mengumumkan kehidupan terkininya. Mungkin terkadang tercipta interaksi, namun tak jarang hanya berlangsung searah.
Dan tak semua melakukannya, apa kabar teman-teman lain yang tak ramai di media sosial, sudahkah kita tahu kabarnya?
Menjaga hubungan tak semudah itu kan, perlu kedua belah pihak saling mengupayakan. Mungkin bahasannya sudah berbeda, namun bukannya kita bisa saling belajar dari cerita masing-masing?
Padahal silaturahmi banyak pahalanya, namun tak semua melakukannya. Semoga kita bisa saling menjaga pertemanan dan hubungan baik lainnya dengan orang-orang yang berjasa dalam hidup kita dan berjuang bersama entah dulu, kini, dan nanti. Mungkin hari ini susah rasanya untuk bisa berkumpul kembali, tapi semoga nanti kita bisa reuni di tempat terbaik berkat doa satu sama lain.

Sederas apa pun arus di hidupmu Genggam terus kenangan tentang kita Seberapa pun dewasa mengujimu Takkan lebih dari yang engkau bisa Dan kisah kita abadi untuk s'lama-lamanya
🎵Tulus - Tujuh Belas
18 notes
·
View notes
Text
Tak ada yang salah dengan merencanakan masa depan; hanya saja jangan lupa sisakan ruang untuk menerima kejutan dari Tuhan; yang mendengar, mencatat, dan mewujudkan mimpi-mimpimu jauh lebih rinci dibanding dirimu sendiri.
4 notes
·
View notes
Text
Menceritakan Kesedihan: Kuretase
Layaknya kebahagiaan yang sering kali kita rayakan dalam euforia, maka wajar jika kesedihan pun kita hargai sebagai upaya penerimaan dalam sabar dan penemuan bentuk syukur yang selalu beriringan dalam setiap peristiwa di hidup kita.
Kuretase, yang biasa disebut kuret adalah prosedur mengeluarkan jaringan dari dalam rahim, entah janin yang meninggal akibat keguguran atau plasenta yang masih menempel di dalam rahim setelah persalinan.
Tujuannya untuk membersihkan agar tidak ada jaringan endometrium yang tersisa dalam rahim sehingga tidak beresiko infeksi di kemudian hari, kurang lebih itu juga yang disampaikan dokter kepadaku dan suami di Sabtu pagi, 4 Desember 2021.
Usia kandunganku 10 minggu hari itu, kami datang ke IGD setelah aku mengalami pendarahan cukup banyak dan kram perut layaknya hari pertama haid. Ini bukan kali pertama pendarahan terjadi, Rabu lalu kami pun mengunjungi dokter obgyn untuk konsul dan melakukan USG. Hari itu kami melihat janin di dalam perutku untuk yang pertama dan terakhir kali.
Ya, ini jadi pelajaran bagi kami agar ke depannya tidak menunda pemeriksaan kehamilan terutama USG. Karena tentu kita sering kali butuh validasi agar lebih mengerti kondisi yang dialami sehingga lebih hati-hati dalam memperlakukan jabang bayi yang sedang bertumbuh dalam diri kita, calon ibu.
Kembali ke Sabtu pagi, setelah melakukan beberapa observasi terhadap kondisiku saat itu, selanjutnya dilakukan pengecekan mulut rahim oleh dua orang bidan, untuk mengetahui pendarahan yang terjadi dan memastikan apakah ada jaringan yang keluar. Ah ngilu sekali dan berat rasanya ketika mendengar kalau ternyata jaringannya sudah keluar setengahnya di mulut rahim. Artinya, janin sudah tidak bisa dipertahankan.
Darah masih mengucur dan mengotori pakaianku, apalagi aku tidak membawa pembalut ganti, jadi meskipun sudah memakai under pad dan mengganti baju dengan baju operasi tetap saja darahnya kemana-mana.
Syukurlah aku tidak pingsan karena beberapa kali pengalamanku melihat tetesan darah selalu begitu. Sambil menunggu tindakan selanjutnya dan persiapan sebelum operasi, aku menyempatkan mengabari teman-teman terdekat. Mungkin kabar ini cukup mengagetkan mereka, karena sebelumnya aku bahkan tidak mengabari kalau sedang hamil. Namun saat itu rasanya aku butuh doa dari banyak orang untuk dikuatkan.
Operasi kuretase katanya berlangsung sebentar, sekitar 15-20 menit. Namun karena dibius total, aku baru sadar 2 jam setelahnya saat sudah di Recovery Room. Ingatan terakhirku hanya sampai para dokter menyiapkan alat bedah di ruang operasi. Ini pertama kalinya aku menjalani operasi, rasanya banyak sekali hal pertama yang terjadi dalam waktu singkat ini.
Aku siuman sudah cukup lama namun sepertinya perawat penjaga telat menyadarinya sehingga suamiku baru dipersilahkan masuk beberapa waktu setelahnya. Padahal aku sudah banyak bergerak karena kedinginan, mungkin seharusnya aku langsung bertanya saja pfft.
Kami harus menunggu giliran untuk pindah ke ruang rawat. Aku dibawa dengan kursi roda oleh perawat dan aku diperlihatkan kantong plastik berisi jaringan penuh darah hasil kuret. Ternyata kantung itu diletakkan di atas ranjangku dan aku baru menyadarinya. Sang perawat menanyakan apakah aku ingin membawanya atau dibuang saja sembari ingin meletakkannya di pangkuanku. Dengan kondisi fisik dan psikis belum stabil rasanya ngilu melihat darah dari janin sendiri, akhirnya aku jawab sekenanya saja dan memilih tidak membawanya. Aku dan suami sempat berpandangan kikuk kala itu, kemudian jadi kepikiran sebenarnya apakah itu harus dikubur? Untungnya setelah membaca beberapa referensi yang mengatakan kalau janin yang keguguran tidak perlu dikubur jika belum memiliki ruh, sehingga belum dikenakan hak untuk dimakamkan dan diberi nama.
Di ruang rawat aku membersihkan diri secukupnya, setidaknya menyingkirkan kain kain yang terkena darah. Lebih tepatnya suamiku yang membersihkan semua, termasuk menyiapkan kebutuhanku. Bersyukur aku punya suami siaga yang cepat tanggap, luv you my man <3
Kejadian kemarin rasanya memang berlalu sangat cepat dan banyak menguras tenaga juga pikiran. Kami belajar banyak dan berproses menerima semua yang terjadi, bahkan dalam pillow talk sebelum tidur malam ini kami coba uraikan hikmah-hikmah yang kami dapatkan. Masih banyak yang bisa kami syukuri di tengah ujian yang meminta kami untuk bersabar. Doa dan dukungan teman, kerabat, dan keluarga yang peduli rasanya sangat berarti bagi kami yang merantau jauh dari rumah. Alhamdulillah bi ni'mati tatimmussholihat :)
Manado, 6 Desember 2021 | 00:55 WITA

21 notes
·
View notes
Text
Bisa jadi sebenarnya tiap orang senang jika ada yang menanyakan kabar dirinya. Sayangnya tak semua yakin ia akan benar-benar didengarkan.
-orang yang dulu paling males ditanya kabar-
4 notes
·
View notes
Text
Me after speaking up some thought: *kayanya aku ngomong gak kedengeran
Also me: *eh kayanya tadi ngomongnya di dalem hati
Pfft sering terjadi #selftalk #monolog ✌
0 notes
Text
Human Diary
Human diary atau diari berjalan, biasa nemuin kata ini di postingan apresiasi seseorang buat sahabatnya, kayaknya jadi titel khusus buat nunjukin tingkatan persahabatan.
Sejujurnya titel ini ngebuatku nanya ke diri sendiri "Gue punya human diary gak ya?" "Kok orang-orang bisa sih curhat semua hal ke temennya?"
Apa aku iri karena ngerasa gak punya human diary? Bisa jadi, karena pikiran ini udah ada dari tahun-tahun lalu tapi baru sekarang aja ditulisin karena kemarin lusa sempet ngobrolin ini.
Pada akhirnya aku berkesimpulan "Kan tipe orang cerita beda-beda, aku kalo cerita setengah-setengah, jadi gak banyak yang tau ceritaku utuh. Entar orang yang bakal jadi human diary-ku ya yang tinggal bareng aku" 🤔
Kayanya ini ngaruh dari gue yang introvert nanggung deh, atau karena ada trust issue? Haha bisa jadi juga, takut curhat ke orang yang salah atau malah ngerepotin orang. Belum lagi pikiran "ah ini receh banget buat dicurhatin" akhirnya dipendem aja. Am I too hard to myself?
Soalnya ini lumayan stressful asli, pas lagi butuh interaksi sosial tapi bingung mau ke siapa. Like sending SOS but nobody can see the sign. Padahal temen-temenku banyak aja sih yang bisa dihubungin wkwk akunya aja yang ga nyamper. Pfft mereka kan bukan cenayang, Al. Mana tau kalo kamu gak ngasih tau.

Kemarin nemu ini dari postingan @kertasnasi dan relate sih. Apalagi masa-masa sekarang, emang gak mesti ngasih kabar tiap hari sama temen kalo gak ada urusan. Jadi kayanya wajar gak punya human diary, kaya aku biasa curhat sama temen direkap sebulan dua bulan sampe setengah tahun wk.
Kalo kata temenku yang lain, ya temen emang ada kalo butuh, jadi ga masalah kalo dateng pas butuh aja wkwk.
Okedeh sekian curhatan malam ini, kenapa ini aku post soalnya pengen ngumpulin ada yang relate gak ya? Atau mungkin ada tips biar gak overthink masalah ginian. Let's simplify 👌
p.s: ini kayanya aku lagi di state "bodo amat", soalnya kalo lagi overthink ga mungkin ngepos ginian wk selamat istirahat guys!
41 notes
·
View notes
Text
Mungkin hujan lebih sering turun agar kita lebih banyak berdoa dan meminta;
juga sebagai peramai dan penenang deras hujan di sepinya kamarmu.
16 notes
·
View notes