Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gema Dari Hari Yang Hilang
Dulu, ada dua bayang yang tak pernah berjarak, menempel di aspal waktu seperti embun yang tak ingin menguap. Tak perlu panggilan nama, tak perlu aba-aba; satu langkah diiringi langkah lain, seolah dunia disusun dari kesepahaman.
Dinding-dinding percakapan kala itu bersuara hangat, memantulkan gelak, bisik-bisik gila, dan cita-cita yang bahkan langit pun belum bisa bayangkan. Ada hari-hari yang seperti ruang tunggu, menanti satu sama lain datang—bukan karena perlu, tapi karena ingin.
Tapi waktu, seperti hujan yang menetesi atap tak merata, mulai merembes diam-diam. Goresan pada kayu tua, tak terdengar, tapi terasa. Satu per satu jendela ditutup, bukan karena malam, tapi karena cahaya tak lagi diharap singgah.
Kini, dua bayang itu masih ada. Namun satu menoleh ke kanan, satu ke kiri. Keduanya berjalan—bukan menjauh, tapi tak lagi menuju titik yang sama.
Di trotoar pagi yang pernah jadi saksi, langkah terasa lebih ringan tapi kosong. Nama yang dulu menggema seperti lonceng di dada, kini jadi gema yang tersesat di lembah lupa.
Bukan permusuhan yang tinggal, hanya sunyi yang terlalu betah. Seperti buku yang pernah dibaca berkali-kali, kini tersimpan rapi di rak—tak dibuang, tapi tak lagi dibuka.
Dan jika kelak bersua di perempatan hari, mungkin hanya senyum tipis yang ditukar. Tanpa sapa. Tanpa tanya. Seperti dua bintang yang pernah bersinar di langit yang sama, tapi kini terpisah oleh kabut waktu dan jarak yang tak terlihat.
Sebab yang paling menyakitkan bukan perpisahan, melainkan menjadi asing bagi yang pernah tahu segalanya.
1 note
·
View note