dloopsthings
dloopsthings
Chin up!
24 posts
A selenophile.
Don't wanna be here? Send us removal request.
dloopsthings · 4 months ago
Text
Arjuna Wisesa Namaskara.
Tumblr media
Dingin. Cuma itu yang ada di kepala gue setiap kali gue datang ke tempat ini. Tempat yang setahun belakangan jadi 'rumah kedua' untuk gue. Aroma woody-nya, lantai parkitnya, ruang tunggu yang dihiasi semburat sinar matahari yang masuk lewat jendela besar, denting jam analog yang biasa menemaninya saat menunggu, suara air yang keluar dari dispenser saat dipencet oleh pasien lain.. Semuanya sekarang sangat familiar. Gue ingat dulu saat pertama kali diajak kesini, gue nggak mau melabeli diri gue sebagai 'pasien' karena gue nggak merasa sakit. Gue bisa melakukan aktivitas kayak biasa walaupun emang lebih sering nggak 'berfungsi'-nya, sih.
Seringkali gue liat beberapa orang yang tidak terlihat 'sakit' datang ke tempat ini. Wajahnya tenang, tutur bicaranya jelas, dan terlihat bisa berfungsi normal. Ah... mungkin gue dulu juga terlihat kayak gitu di mata orang lain. Arjuna si sombong ini merasa baik-baik aja. Setelah pertemuan pertama dengan dr. Jiemmy, gue baru sadar ternyata gue sangat butuh bantuan. Gue berduka dengan cara yang 'berbeda' dan hal itu malah melukai gue.
Kalau dulu Mas Satria — kakak sepupu gue — nggak ajak gue kesini, kayaknya sekarang gue bakal berakhir di bangsal penyakit jiwa atau lebih buruknya, kuburan.
Sekarang sudah hampir 30 menit sejak Mas Satria masuk kedalam ruangan dr. Jiemmy. Tadi setelah gue keluar, Mas Satria diminta masuk oleh dr. Jiemmy. Nggak tahu apa yang diomongin di dalam sana, mungkin dr. Jiemmy mau kasih tau ke Mas gue, kalo gue udah nggak perlu minum obat. Iya, gue udah bisa hidup normal tanpa obat sekarang. Gua juga nggak nyangka akhirnya bisa balik kayak semula. Ya... kayaknya nggak sepenuhnya 'kayak semula' tapi seenggaknya, gue sekarang jauh lebih baik.
Tiba-tiba pintu ruangan dr. Jiemmy terbuka dan Mas Satria keluar dengan mata sedikit bengkak dan hidung merah. Kayak habis nangis. Mas Satria menghampiri gue yang lagi bersandar di tembok ruang tunggu dan langsung memeluk gue sangat kencang.
"Ajuy... makasih banyak udah mau nolong diri sendiri. Makasih banyak udah mau sembuh." katanya. Gue cuma bisa tersenyum dan membalas pelukannya.
"Satu tahun yang berat ya, Juy? Makasih banyak udah sampe sini, Juy. Makasih."
"Makasih ya, Mas, udah nemenin Ajuy satu tahun ini." gue menjawab Mas Satria yang masih memeluk gue dengan kencang. Iya, ini pasti berat juga untuk Mas Satria. Dia salah satu orang yang nggak pernah berhenti untuk support gue dan nemenin gue dari awal.
"Abis ini kita boleh makan Wing Lok nggak, mas? Daritadi Ajuy mikirin hakaunya.." kata gue. Mas Satria melepas pelukan gue dan ketawa kecil.
"Boleh. Mau makan apa aja terserah Ajuy. Mas beliin semua yang Ajuy mau." Jawab Mas Satria sambil ngacak-ngacak rambut gondrong gue.
Ternyata butuh waktu satu tahun untuk gue bisa berdamai dan keluar dari ruang gelap yang selama ini jadi tempat sembunyi gue. Tempat yang gue kira bakal selamanya gue tempatin. Sekarang gue bisa meninggalkan semua yang gue bawa satu tahun kemarin di ruangan itu dan menutupnya dengan damai.
Jihan, sekarang langkahku lebih ringan. Napasku lebih mudah. Dadaku sudah tidak sesak. Tawaku lebih kencang. Air mataku enggan turun.
Jihan, aku hebat kan?
0 notes
dloopsthings · 5 months ago
Text
Intro.
Tumblr media
Sabrina meregangkan lehernya setelah akhirnya menyelesaikan pekerjaannya yang sudah dikerjakannya sejak pagi. Matanya melirik ke arah jam dinding di ruangan dan helaan napas langsung keluar setelah ia melihat bahwa jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Ting! Sabrina mengambil ponselnya dan mulai membaca pesan yang diterimanya. Sabrina langsung beranjak dan berjalan ke luar ruangannya sambil tersenyum kecil.
Pesan dari Wisnu – fotografer yang juga rekan kerjanya seketika membuat Sabrina merasa masih memiliki energi untuk bekerja. Sabrina tidak tahu sejak kapan pesan-pesan kecil itu mulai membuatnya senang masuk kantor. Yang ia tahu, sekarang ia punya tempat untuk melepaskan sedikit lelahnya. Datang ke set photo dan tetap bekerja namun rasanya tidak semelelahkan duduk di ruangan dan menatap layar laptopnya seharian. Sabrina tahu bahwa ternyata dia sangat mencintai pekerjaannya sekarang. Yang mungkin ia tidak tahu adalah bahwa yang dicintainya bukan pekerjaannya tapi orang yang membuat pekerjaannya terasa menyenangkan.
---------------------------------------------------------------
“Makan dulu ya, Mbak. Mau apa?” tanya Wisnu setelah melihat Sabrina datang ke lokasi photoshoot dengan wajah sedikit pucat. Ah.. mendengar pertanyaan Wisnu, ia baru sadar bahwa perutnya belum terisi apapun sejak pagi tadi karena sibuk mengerjakan pekerjaan untuk edisi bulan ini.
Sabrina mengangguk, “Ketoprak enak kali, ya..”
“Kalau nggak ketoprak mau nggak, Mbak? Lo kan belom makan dari pagi, kalo diisi bumbu kacang semedok itu yang ada lo malah asam lambung. Boleh pilih makanan yang nggak bikin lambung lo meledak nggak?” tanya Wisnu. Sabrina tertawa kecil sambil pura-pura berpikir.
“Hmmmm… apa ya, Nu?”
“Kalo ricebox aja gimana?” tanya Wisnu lagi sambil men-scroll aplikasi Go-Food di HP-nya. Sabrina tidak menjawab dan hanya menatap laki-laki di hadapannya yang masih berpusat pada list makanan di ponselnya. Rambut depannya yang sedikit gondrong menutupi matanya yang terbingkai rapi dibalik kacamata. He is cute.. batinnya. “Mbak?” panggil Wisnu yang langsung menyadarkan Sabrina dari aktivitasnya.
“Boleh, Nu. Yang isinya ayam aja, ya.” Jawab Sabrina yang diikuti dengan anggukan dari Wisnu.
“Lo sadar ya gue potong rambut?” tanya Wisnu tiba-tiba.
“Oh iya? Enggak lagi.”
“Oh.. kirain tadi ngeliatin gue karena sadar gue potong rambut.” Jawab Wisnu sambil merapikan rambutnya. Sabrina yang merasa kepergok menatapnya tadi langsung sedikit salah tingkah.
“ah.. pantesan kayak ada yang beda. Ternyata rambut lo.”
“Bagus nggak? Kalo enggak, gue mau cukur lagi.” Tanyanya lagi.
“lo merasa bagus nggak?” tanya Sabrina balik.
“Gua mau tau pendapat lo. Kalo lo bilang bagus, I’ll go with it. Kalo enggak, gua cari potongan yang lebih oke.” Jawab Wisnu sambil mendekatkan wajahnya ke arah Sabrina yang membuatnya reflek memundurkan wajahnya.
“You look good. It suits you better dibanding gondrong kayak kemarin. Yang ini lebih… lucu?” jawab Sabrina berusaha setenang mungkin.
“Lucu as in kocak? Atau?” Tanyanya lagi tanpa menjauhkan wajahnya dari hadapan Sabrina.
“Lucu…” belum sempat Sabrina meneruskan kalimatnya, Mahesa – fashion stylist untuk photo shoot hari ini datang sambil membawa beberapa pakaian. Diikuti Dion dan Sadam di belakangnya yang membawa perlengkapan shoot hari ini.
Wisnu memundurkan wajahnya dari hadapan Sabrina dan langsung membantu rekan-rekannya membawa masuk barang-barang dan ikut merapikan set. Sabrina menarik napas Panjang seolah baru terlepas dari sebuah ancaman. Jantungnya saat ini berdegup kencang. Asam lambung strikes again, pikirnya.
-------------------------------------------------------------------
Hari itu karena shoot delay 2 jam dari yang seharusnya, membuat beberapa orang harus lembur termasuk Wisnu salah satunya. Wisnu melangkahkan kakinya di koridor kantor saat melihat ruangan Sabrina masih menyala. Wisnu melongok ke arah ruangan dan melihat Sabrina masih bekerja sendirian dengan rambut yang sudah dicepol keatas, bibir mungilnya yang sedikit manyun dan dahinya yang berkerut karena sedang serius mengkurasi foto. Wisnu tersenyum. Entah ada setan apa, Wisnu membelokkan langkahnya ke ruangan Sabrina dan menghampirinya yang tidak sadar akan kehadiran Wisnu.
10 menit berlalu dan Wisnu masih berdiri dengan menyandarkan badannya ke tembok sambil memperhatikan Sabrina yang masih belum sadar juga akan kehadirannya.
“Kalo ada setan juga kayaknya setannya males deh mbak gangguin lo.” Ujar Wisnu tiba-tiba yang membuat Sabrina tersentak kaget saat menyadari ada orang lain di ruangan itu.
“Ngagetin aja lo. Sejak kapan lo disitu?” tanya Sabrina masih shock.
“15 menit yang lalu lah kira-kira.” Jawab Wisnu santai. “Mau sampe jam berapa, mbak?” tanya Wisnu sambil melihat jam tangannya.
“Sekelarnya deh, Nu. Biar besok nggak numpuk. Meeting juga kan besok.” Jawab Sabrina sambil Kembali melakukan pekerjaannya.
“Oke.” Kata Wisnu sambil menarik bangku di meja depan Sabrina.
Sabrina menatap Wisnu yang saat ini sudah duduk di hadapannya sambil bermain handphone.
“Lo nggak pulang?” tanyanya.
“Enggak.”
“Kenapa? Belom kelar juga kerjaan lo?”
“Enggak juga."
"Terus?" tanya Sabrina lagi.
"Karena kerjaan lo belom kelar.” Jawab Wisnu santai tanpa menatap Sabrina.
“Jadi mau bantuin kerjaan gue atau lo nungguin gue?”
“Nemenin dong. Disini ada setan katanya. Tuh diatas mesin fotokopi. Katanya suka ada yang mainin mesinnya.” Jawab Wisnu sambil menunjuk mesin foto kopi di belakang Nina dengan dagunya. “Nanti pulangnya sama gue aja ya, Mbak. Udah malam. Gapapa kan?” tanya Wisnu. Sabrina terdiam sambil menatap Wisnu lalu kemudian mengangguk.
“Makasih ya.” Jawab Sabrina. “Tapi, Nu….” Sabrina menghentikan ucapannya.
“Apa?” tanya Wisnu menunggu lanjutan kalimat Sabrina.
“Ini lo beneran kan? Bukan setan..?” lanjut Sabrina dengan wajah serius. Wisnu tidak kuasa menahan senyumnya melihat wajah serius dan sedikit waswas dari Sabrina. Wisnu memajukkan badannya kedepan Sabrina sampai wajahnya saat ini hanya berjarak beberapa centi saja.
“Buktiin sendiri.” Jawab Wisnu. Sabrina kemudian reflek memencet-mencet wajah Wisnu dengan telunjuknya untuk memastikan bahwa benar orang didepannya adalah Wisnu. Tiba-tiba ia tersenyum lebar yang sontak membuat Wisnu memundurkan badan dan wajahnya.
“ternyata beneran.” Jawab Sabrina senang dengan masih tersenyum. Wisnu yang saat ini sudah Kembali ke bangkunya sedang berusaha setenang mungkin agar detak jantungnya tidak terdengar oleh Sabrina. Wisnu yakin saat ini wajahnya sudah merah.
“Gue ke toilet dulu, Mbak.” Ujar Wisnu sambil beranjak dan berjalan menuju toilet untuk mengontrol dirinya yang saat ini sedang salah tingkah tidak karuan.
“Jangan lama-lama, ya.” Balas Sabrina. Wisnu yang sudah berjalan memunggunginya hanya melambaikan tangan dan sambil tersenyum senang mendengarnya.
Sabrina menatap punggung lebar Wisnu yang hanya mengenakan kaos putih polos berjalan menjauh kearah toilet. Jantungnya saat ini tidak karuan karena tiba-tiba Wisnu langsung mendekatkan wajahnya kedepan Sabrina dan anehnya, Ia tidak berpikir Panjang untuk memegang wajah Wisnu. Sebuah senyuman langsung terlihat di wajah Sabrina mengingat wajah Wisnu yang memerah Ketika dia memegang wajahnya. Senyumnya makin lebar karena malam ini, ia tidak lembur sendirian.
---------------------------------------------------------------
“Halo sayang.. kamu baru sampe apart? How was your day?” tanya Sagara yang saat ini masih berada di kantor.
“Iya nih.. hari ini lumayan hectic soalnya kejar deadline. Talentnya agak ngaret tadi jadi photo shootnya juga jadi ikut ngaret.” Jawab Sabrina sambil Kembali meregangkan lehernya. Sagara tersenyum sambil menatap kekasihnya yang saat ini hanya bisa dilihatnya lewat video call saja. Perbedaan jarak dan waktu sebenarnya tidak membuat komunikasi mereka terhambat karena Sagara yang saat ini bekerja di London selalu menyempatkan waktunya untuk menghubungi Sabrina. Sudah 2 tahun mereka menjalani Long Distance Relationship dan Sagara ingin memastikan bahwa Sabrina tetap mendapatkan yang ia butuhkan.
“I miss you, Bina. Sekitar 2 minggu lagi kalo nggak ada halangan aku pulang ke Jakarta.”
Sabrina tersenyum, “yeaay cant wait!” jawab Sabrina.
“Yaudah kamu istirahat ya. Aku ada meeting dikit lagi. Good night, Bina. I love you.”
“Okay. Selamat bekerja lagi yaaa. Love you.” Balas Sabrina yang disambut dengan senyum Sagara di Seberang sana.
Sabrina mematikan video callnya dan langsung menutup laptopnya. Ia berjalan menuju tempat tidurnya sambil meregangkan badannya yang memang hari ini terasa sangat Lelah. Setelah merebahkan dirinya di Kasur, Sabrina mengecek handphonenya dan melihat ada chat masuk dari Wisnu 45 menit yang lalu.
Tumblr media Tumblr media
Balas sabrina. Ia menatap lagi balasan terakhirnya. See you tomorrow.. tanpa sadar senyum tipis Kembali tersungging di wajah Sabrina.
------------------------------------------------------------------
Wisnu meletakkan handphonenya Kembali di meja kerjanya setelah membaca balasan dari Sabrina. Matanya Kembali menatap foto Sabrina di layar laptopnya yang sedari tadi hanya ditatapnya. Rambut panjangnya yang dikuncir dan senyum lebarnya saat memegang bunga. Walaupun hanya siluet, Sabrina terlihat sangat cantik yang membuat Wisnu reflek mengambil kameranya dan memotret Sabrina.
Sekarang ia masih sibuk menatap foto Perempuan yang langsung membuatnya jatuh hati saat pertama kali bertemu 1 tahun yang lalu. Sabrina adalah editor di kantor Wisnu saat ini. Wisnu masuk 5 bulan lebih awal dari Sabrina yang masuk untuk menggantikan posisi editor sebelumnya.
Pertemuan pertamanya adalah di lift kantor yang saat itu hanya berisi mereka berdua. Wisnu yang naik dari lift basement bertemu dengan Sabrina yang naik dari lantai 1. Wisnu ingat saat itu Sabrina mengenakan celana jeans biru, kaos putih, dan blazer hitam. Rambutnya dicepol asal dan dia masuk sambil memakan sandwich tuna -- iya, Wisnu masih ingat betul aromanya. Lalu mata mereka bertemu di pantulan pintu lift yang membuat Sabrina sedikit tersedak. Wisnu yang saat itu menggunakan masker tersenyum tipis dibalik maskernya melihat Sabrina yang seperti salah tingkah karena ditatap olehnya. Sabrina menoleh sedikit sambil menundukkan kepalanya untuk menyapa Wisnu. Lagi-lagi Wisnu tersenyum dibalik maskernya.
Lift berhenti di lantai 8 dan Sabrina segera keluar dari lift meninggalkan Wisnu yang masih tersenyum dibalik maskernya. Wisnu tidak menyangka bahwa akan bertemu lagi dengan Sabrina di sore hari saat dirinya sedang bertugas untuk melakukan photo shoot. Sabrina masuk ke set ditemani dengan salah seorang editor junior yang mengajaknya office tour. Rambutnya saat ini sudah tidak dicepol asal lagi namun sudah terurai rapi. Wajahnya pun sudah tidak pucat lagi karena sudah berdandan. She is beautiful. Ujar Wisnu dalam hati. Lagi-lagi ia tersenyum saat mengingat berarti tadi pagi Sabrina turun di lantai yang salah.
Sabrina mulai memperkenalkan dirinya dan menyapa orang-orang di set satu persatu. Saat berjabat tangan dengan Wisnu, Sabrina sedikit kaget karena tidak menyangka akan satu kantor dengan orang yang berada di lift tadi pagi bersamanya. “Halo, Sabrina..” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Wisnu.” Jawab Wisnu sambil membalas jabatan tangan Sabrina. “Besok semoga nggak salah turun lantai lagi ya, Mbak.” Ujar Wisnu yang dibalas dengan senyum malu dan anggukan oleh Sabrina. Saat itu, Wisnu tau bahwa besok dan seterusnya akan menjadi hari yang menyenangkan untuknya.
-----------------------------------------------------------------
“So, udah okay, ya? Semuanya udah set di sana, kita tinggal berangkat aja. Jangan lupa urusin passport lo, Dion. Wisnu, Sabrina all set. Minggu depan kita berangkat.” Ucap Reyhan – chief editor menutup meeting sore ini. Sabrina dan Wisnu tanpa sengaja bertatapan saat beranjak dari kursi masing-masing. Saat ini entah kenapa ada perasaan excited pada keduanya saat mendengar bahwa mereka akan pergi ke Singapore untuk business trip selama 5 hari. Walaupun tidak berdua, namun saat ini jantung Sabrina berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Mbak..” panggil Wisnu. Sabrina menoleh, “ya?”
“ketinggalan.” Ujar Wisnu sambil menyodorkan ponsel milik Sabrina.
“Oh astaga! Thank you loh.” Jawab Sabrina sambil mengambil ponselnya dari tangan Wisnu. Tepat saat itu, sebuah chat dari Sagara masuk yang langsung membuat Wisnu reflek melihat layar ponselnya yang menyala. 'Sayang..' sekilas Wisnu melihat isi pesan yang masuk dan langsung mengalihkan matanya ke arah lain. Sabrina yang melihat isi chat tersebut pun langsung segera menarik ponselnya dari tangan Wisnu dan melihat Wisnu dengan tatapan tidak enak.
“Sorry, Mbak..”
“Its okay.” Jawab Sabrina sambil tersenyum. “Thank you ya.” Jawabnya lagi sambil berbalik dan meninggalkan Wisnu di depan ruang meeting. Wisnu hanya menaikkan alisnya dan menghela napas sebelum akhirnya ikut berjalan pergi meninggalkan ruangan meeting.
---------------------------------------------------------------------
Sabrina membaca pesan dari Sagara sesampainya di ruangan.
Sagara Kembali ke Jakarta minggu depan. Lebih cepat dari yang direncanakan. Sabrina langsung menelepon Sagara setelah memastikan bahwa waktu teleponnya tidak mengganggu Sagara saat ini.
“Hey…” ujar Sagara di Seberang sana.
“Kok bisa maju seminggu lebih awal?” tanya Sabrina.
“Iya nih. Seneng aku. Ternyata urusannya udah beres semua faster than I expected jadi bisa lebih cepet juga pulangnya.” Jawab Sagara dengan excited.
“aku minggu depan ke Singapore buat business trip, Ga. For 5 days. I guess we will not see each other sampe aku pulang.”
“its okay, Sayang. I’ll be home for a month. We have time.” Sabrina tersenyum mendengar jawaban Sagara. “Babe, I should get going. I’m in the middle of meeting actually. I’m sorry.”
“Oh its okay! Sorry for interrupting.”
“I love you.” Balas Sagara yang segera menutup teleponnya. Sabrina menghela napas yang cukup Panjang. Saat ini ia merasakan perasaan aneh di hatinya Ketika mengingat Wisnu membaca isi chat Sagara. Sabrina merasa… tidak enak? Ia tidak tahu pasti apa yang dirasakannya namun saat ini, yang pasti Sabrina merasa ada sedikit rasa bersalah yang ia tidak tahu mengapa.
---------------------------------------------------------------------
Hari keberangkatan tiba. Sabrina, Wisnu, Dion, dan Reyhan sudah berada di dalam pesawat. Entah keberuntungan atau kesialan, keberangkatan hari ini Sabrina dan Wisnu duduk bersebelahan. Sudah hampir seminggu ini, Wisnu dan Sabrina seperti sedang ‘perang dingin’. Mereka tidak saling sapa seperti biasanya. Jika Sabrina datang ke set Lokasi, Wisnu tidak lagi menyapanya dengan hangat seperti dulu. Dia hanya menyapa dengan menaikkan alisnya dan Kembali bekerja. Wisnu pun hanya menjawab seadanya jika Sabrina bertanya. Awalnya Sabrina merasa mungkin hanya perasaannya saja namun ternyata hari-hari berikutnya Wisnu tetap sama. Bahkan sampai saat ini, Ketika mereka bersebelahan di kursi pesawat, Wisnu masih tidak mengajaknya bicara. Wisnu langsung mengenakan headphone dan memejamkan matanya sesampainya di pesawat.
“lembur..” ujar Dion dengan Gerakan bibir sambil menunjuk Wisnu yang sudah memejamkan matanya untuk menjelaskan kepada Sabrina seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya. Sabrina hanya mengangguk sambil tersenyum pada Dion yang duduk di sebelah Wisnu.
Sabrina lagi-lagi merasakan perasaan aneh. Kali ini rasanya ada sedikit rasa dongkol jika mengingat sikap Wisnu padanya seminggu terakhir. Namun Sabrina masih tidak tahu kenapa dia harus merasa kesal. Mungkin Sabrina hanya bereaksi terlalu berlebihan hanya karena Wisnu ‘dingin’ kepadanya. Mungkin juga karena PMS, jadi rasanya dia lebih sensitive. Sabrina memainkan semua scenario di kepalanya untuk menjustifikasi sikap Wisnu dan ia tersadar bahwa sudah seminggu ini, sikap Wisnu benar-benar mengganggunya. Sabrina menatap Wisnu yang masih tertidur. Ternyata, Ia tidak suka Wisnu yang dingin. Ia tidak suka tidak berbicara dengan Wisnu.
---------------------------------------------------------------------
Wisnu langsung melangkahkan kakinya ke toilet untuk membasuh wajahnya yang saat ini tidak karuan karena belum tidur sama sekali sesampainya menginjakkan kaki di Bandara Changi. Perjalanan selama 2 jam di sebelah Sabrina membuatnya tidak bisa tidur.
Walaupun sudah berusaha memejamkan mata sambil mendengarkan lagu-lagu classic, ternyata tetap membuat Wisnu terjaga. Wisnu menatap wajahnya yang masih basah di kaca sambil menghela napas. Wajahnya benar-benar tidak karuan saat ini karena belum tidur ditambah flight pagi dan duduk disebelah Sabrina yang belakangan ini mengganggu pikirannya.
Sejak Wisnu tidak sengaja melihat isi pesan dari orang Bernama Sagara di ponsel Sabrina, hatinya jadi tidak karuan. Kata sayang yang dilihat Wisnu sekilas itu sudah menunjukkan bahwa hati Sabrina telah dimiliki oleh orang lain. Seminggu penuh Wisnu berusahan menghindari Sabrina karena tidak mau teringat bahwa Perempuan yang diinginkannya saat ini adalah milik orang lain. Namun, pekerjaan mereka yang saling berkaitan tidak akan bisa meloloskan Wisnu untuk tidak bertemu Sabrina. Sabrina yang setiap hari pasti datang ke set foto untuk memantau proses photo shoot akan selalu menyapa Wisnu yang berusaha mati-matian untuk terlihat biasa saja dan melupakan apa yang dilihatnya tempo hari.
Memang harusnya Wisnu sadar, kalau Perempuan seperti Sabrina tidak mungkin single. Siapapun yang melihatnya pasti akan berlomba untuk jadi nomor 1 di hatinya. Wisnu, laki-laki 29 tahun yang belum pernah berpacaran sama sekali dihidupnya tidak menyangka bahwa patah hati kecil pertamanya adalah karena pacar orang. Dia kira business trip kali ini akan menyenangkan karena bisa Bersama Sabrina. Namun ternyata ini adalah business trip terberatnya. Wisnu menghela napas Panjang dan menyemangati dirinya dalam hati untuk 5 hari kedepan yang sepertinya akan terasa lebih Panjang.
--------------------------------------------------------------------
Lagi-lagi, entah kesialan atau keberuntungan, kamar Wisnu dan Sabrina berhadapan. Sabrina dan Reyhan dipesankan kamar masing-masing sementara Wisnu sekamar dengan Dion.
“Yon, langsung ke set ya. Gua nanti tunggu lobby. Lo berdua istirahat dulu aja gapapa. Biar gua sama Dion yang handle dulu. Lo jangan lupa tidur, Nu.” Ujar Reyhan yang diikuti anggukan oleh Dion.
“Oke mas, nanti sorean gue nyusul ya.” Jawab Wisnu. Setelah Reyhan dan Dion pergi, Wisnu segera masuk ke dalam kamarnya dan mengacuhkan Sabrina yang masih berdiam didepan kamarnya sendiri. Sabrina menatap pintu kamar Wisnu yang sudah tertutup rapat. Hatinya saat ini benar-benar aneh. Wisnu benar-benar tidak seperti Wisnu yang dikenalnya. Sabrina sadar, sejak tadi pagi sampai saat ini, Wisnu bahkan tidak pernah melihat ke arahnya. Sabrina hanya menghela napas dan masuk ke dalam kamarnya juga.
---------------------------------------------------------------------
“Halo, yon?” jawab Sabrina sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
“Halo mbak, sorry. Boleh mampir ke kamar mas Wisnu bentar nggak, ya? Gua telponin nggak diangkat. Curiga masih tidur sih orangnya.” Pinta Dion diujung telepon. Sabrina terdiam sebentar sebelum mengiyakan permintaan Dion.
“Okay. Nanti gue cek ya.”
“Thank you mbak.” Balas Dion. Sabrina menghela napas. Dia kira dia bisa dengan tenang berangkat ke Lokasi sore ini tapi ternyata tidak semudah itu. Sabrina melangkah keluar kamar dan langsung menuju kamar Wisnu. Ditatapnya pintu kamar itu cukup lama. Sabrina tidak tau apa yang terjadi diantara mereka sampai untuk mengetuk pintu kamar Wisnu pun ia ragu. Tok! Tok! Sabrina akhirnya mengetuk. Tidak ada balasan. Diketuknya lagi pintu kamar kali ini dengan cukup keras. Masih tidak ada balasan. Ketika Sabrina ingin mengetuk lagi, pintu sudah terbuka. Sabrina dan Wisnu saling bertatapan.
“Lo sakit?” Sabrina langsung bertanya saat melihat wajah Wisnu yang pucat dan matanya yang cekung. Wisnu hanya menggeleng dan berjalan masuk ke kamarnya. Sabrina mengikuti dari belakang dan menarik tangan Wisnu lalu berjalan ke hadapan Wisnu. Dilihatnya Wisnu dari dekat dan reflek tangannya memegang dahi Wisnu dan dahinya bergantian untuk membandingkan suhu. Wisnu hanya terdiam membiarkan Sabrina melakukannya. Matanya tidak lepas memandangi Sabrina yang saat ini masih mengecek suhu tubuhnya.
“Lo demam deh, Nu.” Ujar Sabrina. “badan lo panas.” Lanjutnya lagi.
Wisnu tidak menjawab dan hanya diam menatap Sabrina.
“Gue bilang Dion dulu ya. Bilang lo nggak bisa kesana.” Belum sempat Sabrina mengeluarkan handphone dari tasnya, Wisnu mendorong Sabrina pelan ke tembok di belakangnya. Sabrina yang saat ini posisinya terpojok hanya bisa menatap Wisnu yang saat ini berjarak sangat dekat dengan wajahnya sampai Sabrina bisa merasakan napas Wisnu yang sedikit hangat. Dia hanya berharap Wisnu tidak mendengar detak jantungnya yang saat ini berdetak jauh lebih cepat. Wisnu tidak berkata apa-apa, ia hanya menatap dan memandangi wajah Sabrina dari dekat. Tatapannya mulai dari mata Sabrina yang berawarna sedikit hazel, bulu mata lentiknya, hidung mancungnya dan bibir mungilnya. Wisnu memejamkan matanya dan langsung menjauhi badannya sendiri dari Sabrina sebelum jantungnya meledak karena deg-degan tidak karuan.
“Sorry, mbak. 10 menit lagi. Gue siap-siap dulu.” Ujar Wisnu sambil memegang kepalanya sendiri tanpa menatap Sabrina.
Sabrina yang masih belum bisa mengontrol detak jantungnya saat ini hanya bisa menatap punggung Wisnu yang Sekarang sudah membelakanginya.
“okay. Gue tunggu di lobby ya.” Jawab Sabrina sambil berjalan keluar kamarnya. Diluar kamar Wisnu, Sabrina masih terdiam sambil meletakkan kedua tangannya di dada kiri. Jantungnya masih berdetak sangat kencang. Sabrina mulai mencoba untuk mengontrol napasnya. Get yourself together, Bin… batin Sabrina sambil berjalan pelan meninggalkan kamar Wisnu.
She knows. She knows where this will go and she doesn't like it.
0 notes
dloopsthings · 5 months ago
Text
Selamat Ulang Tahun, Satria.
Tumblr media
16 Januari, 22:34.
Satria masih berdiam di mobilnya sesampainya di rumah. Ia memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya kebelakang. Kalau orang bilang hari buruk tidak ada di kalendar, menurut Satria ada. Hari buruk selalu ada di kalendarnya dan selalu hari yang sama. 16 Januari. Untuk orang lain mungkin bukan hari buruk namun bagi Satria, 16 Januari bukan hari untuk dirayakan. Selain karena umurnya yang sudah bukan remaja, juga karena hari itu bukan hari bahagia untuknya. Setidaknya sampai 19 tahun lalu.
---------
Tok! Tok! Tok!
Satria mengabaikan ketukan pintu yang entah sudah keberapa kali.
"Adek Ia... sudah ditunggu Bapak dan Mas Sastra dibawah. Kata Bapak sarapan dulu.." ujar Mbak Nur -- ART-nya dari balik pintu kamar Satria.
Tidak ada jawaban.
"Adek Ia..." panggil Mbak Nur.
"Iya.. nanti aku turun." jawab Satria pelan. Satria tetap terduduk di pinggir kasurnya. Memperhatikan dirinya sendiri dari atas sampai bawah. Kemeja dan celana hitam yang selalui dikenakannya setiap tahun. Satria melirik kearah nakas di sebelah tempat tidurnya. Sebuah kue kecil bertuliskan Happy Birthday Anakku dengan sebuah lilin yang sudah mati diatasnya masih terlihat rapi. Belum disentuhnya sama sekali. Satria memandangi kue itu cukup lama sampai ia merasa matanya saat ini sudah memanas dan air mata sudah mulai mengembang. Hari ini adalah hari ulangtahunnya namun hari ini juga hari dimana Ibunya pergi meninggalkan dunia karena melahirkannya.
Satria ingat betul saat kecil, Papanya tidak pernah ada di rumah. Memang pekerjaannya yang seorang Pilot mengharuskan Papanya untuk jarang ada di rumah. Namun saat sedang off board, Papanya lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di ruang kerjanya. Satria juga ingat, Papanya tidak pernah lama menatap matanya jika bicara. Satria tidak merasa dibenci, ia hanya merasa... dihindari? Bukan hanya oleh Papanya namun oleh kakak satu-satunya yang ia miliki -- Sastra. Perbedaan umur yang hanya 3 tahun seharusnya bisa membuat kedua bersaudara ini akrab. Namun tidak pada Sastra dan Satria. Satria kecil selalu berusaha untuk mengakrabkan diri dengan Sastra namun tidak pernah disambut dengan baik olehnya.
Apalagi saat keluarganya memutuskan untuk meninggalkan rumah lama mereka dan pindah kerumah baru. Satria ingat saat menunggu barang-barang diturunkan, ia melihat Sastra sedang asyik bermain dengan mobil remote controlnya. Satria kecil yang lugu berjalan menghampiri Sastra untuk bermain bersamanya namun seolah kesenangannya diganggu, Sastra berhenti tertawa dan bermain. Dia menatap Satria cukup lama lalu melempar remote controlnya kedepan Satria dan langsung pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan Satria sendiri.
Satria juga ingat pernah mendengar Sastra menangis di kamar sambil mengatakan pada Papanya bahwa ia merindukan Ibunya dan meminta Ibunya dikembalikan. Satria kecil mengerti dan berpikir, walaupun tidak mengatakannya secara langsung, Papa dan Kakaknya tidak mengharapkan kehadirannya. Sejak saat itu, Satria tidak pernah menyukai hari ulangtahunnya karena menurutnya, yang harusnya ada di dunia bukan dia tapi Ibunya.
Satria selalu merasa iri pada teman-temannya yang sering ditemani atau dijemput Ibunya ke sekolah. Ia berpikir bahwa kakaknya pasti juga merasakan hal yang sama dan ialah penyebabnya.
Satria tidak merasa dibenci oleh Ayah dan Kakaknya. Ia hanya merasa tidak diharapkan.
"Nak.." panggil Danu dari balik pintu yang langsung menyadarkan lamunan Satria. "Papa masuk, ya." lanjutnya. Satria langsung menyeka air mata yang sebentar lagi akan jatuh. Air mata yang harus selalu ia sembunyikan.
Danu membuka pintu dan melihat anak bungsunya yang masih duduk di pinggir kasur, tersenyum menatapnya.
"Ia baru mau turun.." ujar Satria. Danu berjalan menghampiri Satria yang masih terduduk dan ikut duduk di sebelahnya. Mata Danu menyadari kue diatas nakas masih terlihat sangat rapi. Begitupun Satria. Ia masih mengenakan setelan kemeja dan celana hitam yang bagian bawahnya terkena tanah merah basah dari pemakaman.
Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Danu atau Satria. Keduanya menatap kosong keluar jendela kamar. Ayah dan anak ini sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing yang mereka tahu, karena satu alasan yang sama.
"Sudah 13 tahun, Nak, ternyata." ujar Danu memecah keheningan. Satria masih terdiam. Mengerti maksud ayahnya. "Waktu Mama meninggal, dunia Papa kacau." lanjutnya. Satria mengepalkan tangannya berusaha menahan tangis yang saat ini ia rasa akan pecah.
"Semua yang Papa rasakan, rasa cinta Papa, ikut kekubur sama Mama.." terdengar suara Danu tercekat. Berusaha untuk tidak menangis didepan anaknya.
"Awalnya Papa kira begitu. Tapi saat itu... waktu Papa gendong kamu pertama kali.. Papa tau Papa salah. Rasa cinta yang Papa pikir udah nggak ada, justru semakin besar." lanjut Danu. Satria yang saat ini sudah tidak bisa menahan tangisnya langsung terisak. Danu menyeka air mata anaknya lembut.
"Papa kira, Papa nggak bisa. Tapi waktu Papa liat mata kamu.." Danu terdiam. Air matanya menetes perlahan. Ia menatap mata Satria dalam. "Ini mata Mamamu." lanjutnya sambil mengusap kepala anak bungsunya. "Kekuatan Papa disana, Nak." lanjutnya lagi.
"Ia dan Mas Ata adalah anugerah terbaik Papa. Kaki Papa masih terus melangkah karena kalian. Terimakasih sudah lahir dan jadi anak Papa. Maafkan Papa, ya, Nak.." lanjut Danu sambil menarik Satria ke pelukannya. Satria tidak bisa menahan tangisnya lagi. Dibiarkannya tangisnya pecah dipelukan ayahnya yang Ia kira selama ini juga menyalahkannya karena kematian Ibunya saat itu. "Terimakasih sudah lahir.." lanjut Danu yang sekarang juga ikut menangis.
"Maafin aku juga, Ia..." Sastra yang sedari tadi mendengar diluar kamarnya akhirnya memutuskan masuk ke kamar adiknya. "Bukan salah kamu. Mama pasti juga sedih kalo kamu menyalahkan diri sendiri. Aku minta maaf, Ia, kalau selama ini nggak baik sama kamu." lanjut Sastra yang juga sudah menangis. Satria semakin terisak karena ini pertama kalinya Sastra berbicara panjang dengannya. Sastra berjalan kesebelah adiknya dan ikut memeluknya.
"Papa cuma punya kalian. Terimakasih sudah memilih Papa untuk jadi orangtua kalian, ya." Ucap Danu sambil memeluk erat kedua anaknya yang saat ini sudah terisak dipelukannya. Ditengah-tengah suasana haru tersebut, tiba-tiba terdengar isak tangis lain dari arah pintu. Danu, Sastra, dan Satria kompak melihat kearah pintu dan mendapati seorang gadis dengan rambutnya yang panjang sedang ikut menangis sambil membawa kue ulangtahun dengan lilin diatasnya.
"Selamat.. ulangta..hun... Satria..." ujarnya sambil terisak.
"Hanna.. sini, Nak." jawab Danu sambil memanggil gadis itu. Hanna berjalan menghampiri Danu, Sastra, dan Satria.
"Kenapa nangis?" tanya Satria yang masih bercucuran air mata.
"Karena semuanya nangis... aku jadi ikutan sedih.." jawabnya lugu. "Tiup dulu..." lanjutnya sambil menyodorkan kue ke hadapan Satria. Ketiga orang tersebut tertawa kecil. "Jangan sedih-sedih lagi ya, Sat." lanjut Hanna setelah Satria meniup lilinnya. Satria tersenyum.
"Iya. Janji." balas Satria. Ini mungkin adalah ulangtahun paling indah yang akhirnya Satria rasakan. Semua kesedihan yang ada di hatinya secara ajaib langsung terhapus. Mungkin memang selama ini yang Satria butuh hanya validasi dari Ayah dan Kakaknya bahwa ini bukan salahnya dan kehadirannya di dunia, bukanlah kesalahan.
-----
Satria berjalan menuju rumahnya. Dibukanya pintu rumahnya yang terkunci. Gelap gulita dan kosong. Satria menghela napasnya kecil sambil memasuki rumahnya. Dibiarkannya lampu-lampu rumahnya tetap mati sementara Ia berjalan ke arah dapur untuk minum. Satria duduk di meja makan dan hanya ditemani cahaya dari lampu cooker hood.
Ada rasa sedikit kecewa dalam hatinya saat tahu hari ini Ayah dan Kakaknya tidak di rumah. Ayahnya masih melakukan business trip di luar kota sementara Sastra -- kakaknya yang berprofesi sebagai pilot juga tidak bisa cuti. Hanna yang tidak pernah absen saat ulangtahunnya hari ini hanya mengucapkan selamat ulangtahun lewat video call saja karena sedang berada di luar kota.
Tidak mau berlama-lama terlarut dalam rasa sedihnya, Satria memutuskan untuk beristirahat saja. Ia beranjak dari kursi dan meregangkan badannya sebentar lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai 2.
Baru saja sampai di lantai 2, Satria dikejutkan oleh lampu ruang tengah yang tiba-tiba menyala dan suara terompet konfetti.
"Happy birthdaaayyy to you... Happy birthday to you....!" seru semua orang yang berada di lantai 2. Satria yang masih terkejut dengan posisi siap meninju penyusup dirumahnya hanya terdiam. Dilihatnya satu-satu 'penyusup' dihadapannya. Satria tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Udah ajuy duga, mas pasti mau ninju kita. Mana gocap gua?" kata Ajuy sambil menodongkan tangan ke arah Doni yang hanya dibalas Doni dengan tepukan.
"Tiup lilinnya dulu kali yaaaa." ujar Hanna sambil memberikan kue pada Satria diikuti Brian yang menyalakan lilin diatas kuenya.
"Kapan baliknya? Kok gue nggak tau?" Tanya Satria pada Hanna.
"Sssst! Ngomelnya nanti aja, tiup dulu ini." Jawab Hanna sambil menyodorkan kue ulangtahun. Satria memejamkan matanya untuk make a wish lalu kemudian meniup lilinnya.
"Yeeeeayyyy.." seru Hanna diikuti tepuk tangan dari yang lain. "Selamat ulangtahun, Satria." lanjut Hanna. Satria tersenyum sambil mengacak-ngacak rambut Hanna.
"Selamat ulang tahun ya, Nak. Maaf Papa bohongin." ujar Danu sambil memeluk anaknya.
"Selamat ulang tahun, Ia. Maaf aku juga bohong nggak dapet cuti."
"Makasih, Pah, Mas.. hampir aja bikin aku sedih." jawab Satria bercanda sambil memeluk ayah dan kakaknya.
"Selamat ulangtahun ya, Sat." ujar Jenna -- pacar Sastra.
"Makasih, Kak.."
"Satria, peluk om dong! Nggak kangen emang??" seru Om Dewa -- adik Danu sekaligus ayah Ajuy. Satria tertawa sambil berjalan kearah Dewa dan memeluknya. "Selamat ulangtahun ya, Satria. Terimakasih, Nak." ujar Om Dewa lembut pada Satria. Matanya berair sedikit. Tidak dipungkiri, ia memang cukup dekat dengan Om Dewa karena Om Dewa lah yang selalu berada disamping Satria jika Danu tidak ada.
"Makasih, Om." jawab Satria.
"Selamat ulangtahun ye, Mas Satria. Tante bawain puding susu kesukaan Mas Satria." ucap Tante Liza -- Istri Om Dewa sambil mengusap punggung Satria.
"Makasih banyak, Tante.."
"Sekarang Ajuy kali ya? Peluk juga dong, Mas." kata Ajuy yang sudah membentangkan tangannya sambil memainkan alisnya. Satria terkekeh dan langsung memeluk adik sepupunya itu. "Makasih ya, Juy, udah jadi adek Mas." ujar Satria.
"Lah kudunya ajuy kagak sih yang ngomong gitu, Mas? Tapi yaudeh sama-sama. Makasih juga, Mas, udah mau ajuy intilin terus."
Satria tertawa kecil sambil melepas pelukan Ajuy untuk menghampiri Brian yang juga sudah membentangkan tangannya juga.
"Brother....... wishing you all the good things in life. I really do." ucap Brian tulus sambil menepuk punggung Satria.
"Thankyou, Bri." jawab Satria. Ia kemudian berjalan ke arah Pilar dan Doni. "Sehat-sehat, Mas.." ucap Doni diikuti pelukan dari Pilar.
"Makasih banyak semuanya... udah kepala 3 masih disuprise-in gini, ternyata seneng juga."
"Justru karena udah kepala 3, harusnya dirayakan. Selamat karena udah hidup sampai saat ini, Nak." lanjut Danu.
"Dah sekarang udah boleh makan belom nih, Mas? Laper banget nih ajuy."
"Hush! Mulutnye kayak kagak pernah kita kasih makan aje lu juy." sahut Tante Liza.
"Boleh-boleh... silakan makan aja. Yang banyak, Juy, biar gemukan." jawab Satria sambil memencet-mencet lengan kurus Ajuy.
"Ekhem.. mumpung semuanya disini, Ata juga sekalian mau kasih tau sesuatu.." kata Sastra ditengah-tengah kesibukan yang lain menyantap makanannya. "Jadi aku sama Jena kalau nggak ada halangan, bulan depan akan lamaran di Jakarta."
"Wiiiiih congrats, Mas!" seru yang lain.
"Nahhhhh gitu dong, Mas Ata. Tante baru aja semalem mikir 'ah udeh lama nih kagak kondangan' nah langsung dijawab nih."
"Hahaha... iya nunggu waktu yang tepat, Tan. Papa sama Ia udah tau rencana ini jadi sekarang aku officially ngundang semua yang ada disini untuk datang termasuk Enam Hari juga." jawab Sastra yang langsung disanggupi dengan cepat oleh Brian, Pilar, dan Doni.
"Semoga lancar ya, Mas. Nah, Mas Ia sama Neng Hanna kapan nyusul nih?" tanya Tante Liza tiba-tiba.
"Mami..." panggil Ajuy pelan sambil menyikut Ibunya.
"Aku sama Satria sahabatan doang, Tanteee." Jawab Hanna tersenyum.
"Lah? Tante kira selama ini pacaran. Kenapa nggak dipacarin, Mas Ia?? Cakep begini nengnya." Tanya Tante Liza pada Satria yang hanya dijawab senyuman lebar dari Satria.
"Haha... Haha... Ha... kayaknya kalo udah nggak ada orang lain di muka bumi ini baru pacaran deh mereka... Haha... hahaha..." seru Doni tiba-tiba dengan sedikit canggung sambil memberi kode pada Pilar dan Brian.
"Ahahaha iya.... kalo udah nggak ada pilihan lain..." jawab Pilar dengan canggung.
"Pokoknya kalo mentooookkk banget, nah baru mereka pacaran tuh, Tan." sahut Brian.
"Ah kelamaan itu mah. Keburu diambil orang."
"Denger tuh, Ia." kata Sastra sambil tersenyum.
"Ah, Don. Lu sama Aca dulu aja." Sahut Ajuy mengalihkan pembicaraan.
"Tau lu, Don. Acanya terlanjur diambil orang kan tuh." Ledek Hanna.
"Lah jadi gua ini?? Bantuin gua abang-abang." kata Doni kepada tiga abangnya. Brian, Pilar, dan Satria kompak mengangkat tangannya tidak mau membantu Doni yang saat ini jadi diberondong pertanyaan dan wejangan oleh Tante Liza.
Malam itu dilanjutkan dengan obrolan seputar lamaran Sastra dan meledek Doni. Tidak lupa diisi dengan suara Pilar yang menyanyikan lagu Batak.
Satria tersenyum memandangi orang-orang disekitarnya saat ini sedang bercanda dan tertawa. Ulangtahunnya kali ini terasa sangat membahagiakan karena ia habiskan bersama orang-orang terdekatnya. Hatinya hangat dan penuh. Masih memandangi orang-orang dihadapannya saat ini, matanya berhenti pada Hanna yang sedang tertawa bersama Jenna dan Sastra. Seakan tahu sedang ditatap oleh Satria, Hanna menoleh dan bertemu mata dengannya. Hanna menatap Satria dan tersenyum sebelum kembali bercengkrama dengan yang lain.
Satria tersenyum dan membatin, 'Terimakasih sudah melahirkan aku, Ma. Aku akan hidup dengan baik. Sampai jumpa nanti, ya. Aku punya banyak cerita.'
0 notes
dloopsthings · 6 months ago
Text
Grand Mint.
Tumblr media
Suasana ruang tunggu untuk Enam Hari hari ini cukup tenang. Hanna yang sedang menunggu Enam Hari selesai rehearsal sampai menguap karena ketenangan yang tidak biasa ini. Hanna mengeluarkan HP-nya dan mulai membuka Candy Crush untuk membunuh rasa bosannya.
"Terus gimana??" Hanna sedikit tersentak mendengar seruan Bembi yang baru saja memasuki ruangan sambil menelpon seseorang. Bembi terlihat sangat frustrasi. Tangan kirinya sudah sibuk mengacak-acak rambut sementara tangan kanannya memegang HP di telinga. "Okay gini, lo kesini dulu aja nanti biar gua coba telpon Panji buat ngecek Shani. Yang penting lo kesini dulu aja." lanjut Bembi.
"Ada apaan, sih?" tanya Brian sambil memasuki ruang tunggu diikuti dengan Pilar, Doni, dan Satria di belakangnya.
"Aduh kacau, Bang. Shani kecelakaan katanya." Jawab Bembi panik saat memberitahu yang lain keadaan Shani -- make up artist mereka.
"HAH??" Hanna dan ke-4 member Enam Hari kompak terkejut.
"Dimana? Kok bisa?" tanya Pilar yang juga tidak kalah panik.
"Nggak jauh dari rumahnya kata Putri. Gue lagi mau telpon Panji buat ngecek sih, Bang. Biar nanti gapapa lo berempat dihandle Putri. Anaknya dikit lagi sampe." Lanjut Bembi.
"Putri kewalahan lah, Bem, kalo harus handle kita berempat." ujar Satria. "Make sure dulu aja Shani gak apa-apa, Bem. Kabarin kita kondisinya Shani gimana. Urusan make up dipikirin nanti."
"Ya nggak bisa lah, Bang. Lo udah kudu naik jam delapan kan."
"Kalo Putri urus kita berempat nggak akan keburu sih, Bem.." lanjut Brian sambil melihat jamnya.
"Gue minta panitia buat tuker jam naik lo pada deh. Biar Putri ada spare waktu lumayan buat kelarin make up lo semua."
"Boleh sih, tapi kayaknya kalo make up udah beres. Kan ada Hanna." ceplos Doni tiba-tiba. Ke-5 orang di ruang tunggu langsung kompak menoleh kearah Hanna yang saat ini juga sedang terkejut karena diberi tanggung jawab dadakan ini.
"Gue...?" tanya Hanna sambil menunjuk dirinya sendiri. Ke-5 orang tersebut mengangguk.
"Bisa lah, Han. Aku yakin tanganmu bisa merias kami." Lanjut Pilar.
"Yaaa... bisa aja sih... tapi nggak apa-apa?" tanya Hanna berusaha meyakinkan diri. "maksudnya juga kayaknya butuh orang lagi nggak sih kalo udah mepet gini? Kasian Putri.." lanjutnya.
"Siapa lagi, ya? Masa gue minjem MUA band sebelah?" tanya Bembi.
"Oh nggak usah, Bem. Biar gue minta tolong Aca sama temen gue satu orang. Emang mau kesini juga rencananya." Jawab Hanna. "Aca luang kan, Don?" tanya Hanna pada Doni yang hanya dijawab Doni dengan menaikkan bahu.
"Okay. Kalo gitu beres, ya? Gue tetep minta undur jam naik lo pada deh biar nggak terburu-buru." ucap Bembi yang di-iyakan oleh member lainnya. Bembi langsung bergegas keluar ruangan setelah mendapatkan approval dari ke-4 membernya.
Sementara itu Hanna sibuk menelepon Aca dan Nadine -- sahabat baiknya -- untuk meminta bantuan mereka.
-----
"Kak Hanna, aku pegang bang pilar duluan ya. Kakak bisa handle yang lain sambil nunggu Aca dan temen kakak dateng." Ucap Putri sambil bersiap merias Pilar yang sudah duduk di meja riasnya. Hanna mengangguk.
"Ayok siapa yang mau duluan?" tanya Hanna. Doni, Brian, dan Satria bergeming. "Kok diem? Siapa ini yang mau gue make up duluan?" tanyanya lagi sambil berkacak pinggang melihat respon mereka.
"Duluan, Bang.." jawab Doni sambil mencolek lengan Satria yang langsung dibalas dengan tatapan membunuh dari Satria.
"Udah deh ayok, nggak ada waktu lagi." kata Hanna sambil menarik lengan Satria dan mendudukannya di meja rias. "Lo nggak percaya sama gue, ya??" Tanya Hanna pada Satria. Gue yang nggak percaya sama diri gue sendiri, Na.. Batin Satria.
"Percaya, Na..." Jawab Satria pelan. Di belakangnya, terlihat Brian dan Doni yang sedang senyum-senyum melihat tingkah Satria. Satria langsung memberikan tatapan mematikan pada kedua temannya dari pantulan kaca di hadapannya.
"Rambut belakangan ya, Sat. Muka dulu deh." lanjut Hanna sambil mulai mengaplikasikan primer ke wajah Satria.
"Isn't she lovely.. isn't she wonderful.." lantun Brian sambil memetik gitarnya untuk meledek Satria yang saat ini terlihat sangat salah tingkah.
"Bri, kalo temen gue belom dateng, lo sama gue ya. Biar Doni sama Aca." ujar Hanna pada Brian yang masih senyum-senyum jahil sambil bernyanyi.
"Gue sama Putri aja. Ntar temen lo naksir gue lagi." jawab Brian dengan percaya diri.
"Idih PD lo. Yang ada lo yang naksir dia." balas Hanna. "Sat, jangan mundur-mundur kepalanya bisa nggak, ya? Kan gue jadi susah." lanjut Hanna bicara pada Satria sambil memajukan kepala Satria pelan karena sedari tadi Satria selalu memundurkan kepalanya seolah menghindari Hanna.
"Agak jauhan, Na...." ujar Satria pelan. Berusaha menjauhkan Hanna agar tidak mendengar detak jantungnya yang tidak karuan saat ini.
"Bang, yang namanya di make upin itu MUA-nya harus liat muka kita. Mana bisa jauh-jauh." Ledek Pilar.
"Put, bagi lipbalm, ya." Hanna mengabaikan ucapan Pilar dan langsung mengambil lipbalm dari tas make up Putri.
"Gue pake sendiri aja, Na." kata Satria.
"Ssssst! Let me." jawab Hanna sambil mengaplikasikan lip balm dengan kuas pada bibir Satria. Sudah bersahabat sejak SD, namun Ini pertama kali Hanna melihat wajah Satria dari sangat dekat. Hanna baru menyadari bahwa ada sedikit bekas luka di kelopak mata kirinya. Ia juga baru menyadari bahwa Satria memiliki mata yang sangat indah. Mata Satria bersinar seolah-olah ada rasi bintang disana. Tiba-tiba detak jantung Hanna berdetak kencang yang membuatnya menyadari bahwa dia terlalu fokus memandangi wajah Satria.
"Udah, Na?" tanya Satria.
"Hm? Oh.. udah." jawab Hanna. "Muka gue lanjut nanti deh. Sekarang rambut, ya." Lanjut Hanna berusaha menghindari melihat wajah Satria lebih lama sambil menyisir pelan rambut Satria dengan jemarinya. Hanna dan Satria mencoba mengontrol yang mereka rasakan saat ini.
'Get yourself together, Na..' batin Hanna sambil mencoba mengontrol dirinya.
Bagi Hanna, ini adalah perasaan yang tidak asing. Hanna mengenali perasaan ini. Perasaan yang susah payah dibuangnya sejak dulu dan berusaha dihindarinya. Perasaan yang tidak disangka akan muncul hanya dengan menatap mata Satria. Perasaan yang harus dibuang dan dihindarinya lagi. Iya, lagi.
0 notes
dloopsthings · 6 months ago
Text
Meet-Cute
Drop Off Lobby - 14.10,
Hanna berdiri sambil memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan untuk menghangatkan tubuhnya di tengah angin hujan yang cukup lebat siang itu. Sesekali sambil mengecek HP-nya untuk memantau Bembi yang sudah dekat. Hanna juga sesekali melirik ke arah laki-laki di sebelahnya yang sedari tadi terlihat gelisah sambil melihat jam tangannya. Dengan inisiatif penuh, Hanna mengeluarkan payung kecil dari dalam tasnya dan menyodorkannya ke arah laki-laki itu.
"Pake aja, Mas. Mau nyebrang kesana, kan?" kata Hanna sambil menunjuk parkiran seberang dengan kepalanya.
Laki-laki itu menoleh dan terdiam sebentar melihat Hanna sebelum akhirnya menjawab, "Its okay. Saya tunggu hujannya reda aja."
"Nggak apa-apa, saya liat tadi kayaknya gelisah mau nyebrang kesana. Kalo nunggu hujannya reda, besok pagi mungkin?" jawab Hanna. Laki-laki itu tertawa kecil sambil mengangguk.
"Okay. Thank you for this." Laki-laki itu mengambil payung kecil yang disodorkan Hanna, "I'm Jonathan by the way." Lanjutnya sambil mengulurkan tangan.
"Hanna." jawab Hanna sambil membalas jabat tangan Jonathan.
"Okay, Miss Hanna. Thank you for the umbrella dan sebagai gantinya.." lanjut Jonathan sambil melepaskan jaket kulit miliknya dan memakaikannya kepada Hanna. Harum parfum Dyptique Orpheon dari jaket Jonathan langsung menyelimuti tubuhnya. Hanna agak mundur sedikit karena terkejut dengan act of service yang mendadak ini. "Sorry.. kamu keliatannya kedinginan daritadi. Also, barter untuk ini." ucap Jonathan sambil mengangkat payung Hanna.
"Its okay, Mas." jawab Hanna sambil tersenyum.
"Just Jo, please."
"Okay, Jo." Lanjut Hanna sambil tertawa kecil.
Din! Sebuah klakson mobil mengejutkan Hanna. Dilihatnya mobil Bembi menghampiri Hanna dan behenti didepannya.
"I gotta go, Jo. Thank you for this." ucap Hanna yang dijawab anggukan dan senyum dari Jo. Hanna berjalan ke mobil dan saat membuka pintu mobil, Bembi turun dari mobil dan langsung menghampiri Jo.
"Weeeey, ngapain lu??" tanya Bembi yang terdengar excited sambil bersalaman dengan Jo.
"Ada shoot, biasa."
"Sama Hanna?" tanya Bembi.
"Nope. We just met like... 30 minutes ago?" jawab Jo sambil melihat kearah Hanna dan hanya dibalas senyuman oleh Hanna.
"Hahaha jangan macem-macem. Digiles lu ntar sama khodamnya." lanjut Bembi sambil tertawa.
"Beeeeeem?" panggil Hanna untuk menghentikan bercandaan Bembi yang aneh itu.
"Okay deh, gua duluan ya, Jo. Nongkrong lagi deh kita kapan-kapan." Pamit Bembi yang dijawab anggukan oleh Jo.
"Duluan ya, Jo." Pamit Hanna sebelum masuk kedalam mobil. Jo mengangguk sambil melambaikan tangannya.
Din! Klakson Bembi lagi untuk berpamitan. Jo tersenyum sambil menatap Hanna yang juga tersenyum dari dalam mobil. Mata Jo mengikuti mobil Bembi yang melaju keluar area gedung. Jo menghela napasnya lalu membuka payung dari Hanna.
"See you later, Hanna."
0 notes
dloopsthings · 7 months ago
Text
Untitled.
Tumblr media
Satria tersenyum kecil setelah membaca balasan dari Hanna. Satriaku, katanya. Kalimat sederhana yang langsung menghilangkan semua rasa lelahnya. 
“Woy mas, gua balik duluan ya.” pamit Gilang sambil melambaikan tangannya pada Satria yang masih duduk di kursi siarannya.
“Eh iya. Tiati, Lang.” balas satria sambil melambaikan tangannya juga.
“Sat, gue balik bareng lo dong.” ujar Anin yang sedang duduk diseberangnya. Satria melihat jam tangannya terlebih dahulu sebelum menjawab Anin.
“Kayaknya nggak bisa, Nin. Gua kudu balik cepet. Hanna nitip sesuatu.” jawabnya.
“Hanna mulu.” balas Anin meledek. Satria hanya tertawa kecil sambil melempar kertas pada Anin yang saat ini sudah berlari keluar ruangan.
Entah sejak kapan Satria selalu mendahulukan Hanna. Mungkin sejak dulu? Entah lah. Yang Satria tau, ketika Hanna yang meminta, dia akan berusaha memberikan dan melakukan sebisa dan sebaik-baiknya. Karena memang itu, kan, yang harus dilakukan seorang sahabat?
 — — — — — — — — — — — — — — 
Satria segera turun dari Civic hitamnya sesampainya di rumah. Sayup-sayup terdengar suara Hanna dan ayahnya yang sedang mengobrol di dalam. 
“Seru banget sih, Pah, ajak Ia kali?” ujar Satria ketika sampai di ruang keluarganya.
“Nak, sini. Papah lagi ceritain Ajuy waktu kecil pernah masuk ke adonan semen.” jawab Papa Satria sambil tertawa.
“Hahahahaha sumpah sih, Sat, gue gatau hidupnya Ajuy sekomedi itu.”
“Asli. Emang anaknya dari kecil udah ada aja gebrakannya, Na.” balas Satria sambil tertawa mengingat cerita sepupunya itu. “Papa udah makan belom? Ia beliin sate.” Lanjut Satria sambil berjalan kearah ruang makan.
“Papa baru banget laper ini. Terimakasih ya, Nak.” jawab Papa Satria. “Nduk, ayok ikut makan. Sate ayam tole ini pasti. Kesukaanmu.” lanjut Papanya.
“aaaah aku kenyang. Mau martabak aja.” jawab Hanna sambil menghampiri Satria yang sedang merapikan sate ayam untuk Papanya. “Ini kah?” tanyanya sambil mengangkat plastik berisi kotak martabak.
Satria menoleh lalu menangguk, “Martabak keju wijsman kejunya yang banyak.” Hanna tersenyum setelah mendengar jawaban Satria.
“Katanya besok ada fotosyut, Nduk? Nggak apa-apa makan manis? Nggak apa tuh… apa sebutannya, Nduk, kalo yang perutnya jadi buncit tiba-tiba?” tanya Papa Satria.
“Bloating ooooommm.” 
“Lha iya itu. Nggak apa-apa tah?” 
“Hmmmm kalau cuma satu kayaknya gak apa-apa sih.” Jawab Hanna sambil tersenyum lebar.
“Foto syut apaan?” tanya Satria kali ini.
“Majalah yang waktu itu gue cerita kalo diundur itu loh.. terus baru dikabarin kemarin banget gue besok fotosyut.”
“Jam berapa dan dimana?” tanyanya lagi.
“Di studionya dan pagi lagi… jam 8 mulai sih harusnya.” jawab Hanna sambil menyuap martabak kejunya.
“Terus jam segini kenapa malah makan martabak?” tanya Satria.
“Ihhh kenapa sih emangnya? Orang pengen.” jawab Hanna sambil mengunyah.
“Biarin toh, Nak. Jangan gitu ah.” ujar Papa Satria.
“Ya enggak.. maksud Ia kan besok fotosyut pagi, harusnya jam segini udah tidur biar besok fresh. Kalo telat gimana coba?” balas Satria.
“Orang cuma makan martabak satu doang diomelin oom..” adu Hanna ke Papa Satria sambil memanyunkan bibirnya. 
“Wes cahayu nggak usah didenger si Ia. Ndak apa-apa, makan yang banyak. Rumah juga tinggal nyebrang. Wes makan aja.” Hanna tersenyum sambil menjulurkan lidahnya ke kecil kearah Satria. 
Satria hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Hatinya hangat.
0 notes
dloopsthings · 7 years ago
Video
this harmonization part of all 5 members during “i’ll try” always gets to me like they sound so holy it’s what i imagined to hear when i arrive in heaven and the angels welcome me 😭😭😭😭😭😭
3K notes · View notes
dloopsthings · 7 years ago
Video
One of the many reasons to stan day6
3K notes · View notes
dloopsthings · 7 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
bonus: 
Tumblr media
day6 mukbang things: 
sungjin hastily but mistakenly offering a bowl he thought was bean paste to dowoon with his tongs
“sungjin, that’s not it….. (⌒▽⌒)”
765 notes · View notes
dloopsthings · 7 years ago
Video
What’s in my bag tour
2K notes · View notes
dloopsthings · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
(via krinndnz / clickhole)
215K notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Text
Antara Ikhlas atau Menyerah.
Sebenarnya ada perbedaan di mana itu adalah Ikhlas, atau memang enggan berjuang lebih.
Ada juga perbedaan antara berjuang lebih giat, atau tidak tahu diri.
Terkadang kita sering dibingungkan apakah pilihan yang kita ambil ini adalah termasuk ke dalam kategori Ikhlas atau memang ada sesuatu di hati kecil yang merasa enggan berjuang karena beberapa alasan tertentu? 
Saya juga kerap merasakan hal yang sama. Sering sekali bertanya kepada diri sendiri ketika diharuskan memilih antara melepaskan sesuatu karena jalanmu bukan di situ atau berjuang untuk berusaha lebih giat lagi.
Karena di situ selalu terdapat sebuah dilema yang besar.
Hal itu tidak kunjung kamu capai apakah karena memang Tuhan mengatakan Tidak untuk hal itu? Ataukah Tuhan menginginkan kita untuk berjuang lebih keras lagi dalam mencapainya? 
Salah satu contoh kasus paling umum adalah ketika seorang mahasiswa merasakan bahwa dia salah jurusan. Apakah harus dilanjut? Atau pindah ke lain jurusan? Apakah memang harus berjuang lebih keras? Ataukah mengambil jurusan yang benar-benar ia minati?
Karena sesungguhnya tidak ada jawaban konkrit dari Tuhan yang bisa kita capai saat itu juga. Tuhan selalu menyelipkan jawaban melewati orang-orang terdekat kita, melewati tulisan yang tak sengaja kita baca, melewati artikel di suatu majalah, atau bahkan melewati curhatan orang yang mencoba mencari pencerahan dengan cara berbicara dengan kita.
Hingga kemudian akan ada satu titik di mana kita akan kebingungan dan bertanya-tanya apakah perjuangan saya ini sudah cukup atau belum? Sudah cukup yang berarti bahwa Tuhan berkata Tidak. Ataukah belum terlalu berusaha maksimal hingga Tuhan masih berkata Belum?
Di luar dari konteks harus beribadah dengan macam-macam salat, hal ini kerap membingungkan saya sebagai seorang manusia. Kapan waktu yang tepat untuk berhenti karena tahu diri, dan kapan waktu yang tepat untuk berjuang karena memang harus dikejar dengan usaha yang lebih keras.
Mengutip kata-kata maestro, John Lennon:
“Saya tidak bisa melangkah jika saya tidak tahu ke mana arah tujuan saya pergi.”
Dan satu-satunya cara saya rasa adalah berharap Tuhan akan secepatnya mengirimkan orang-orang atau hal-hal yang menjawab rasa penasaran kita tersebut tentang pilihan apa yang harus kita ambil.
Ikhlaskan? Atau memang kita belum berjuang terlalu kuat?
I hope so.
623 notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Photo
Tumblr media
280K notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Quote
Mungkin manusia memang begitu. Suka mengingat-ngingat masa lalu, dan pandai mengandai-andai masa depan. Sedangkan keadaannya sekarang, kurang ia perhatikan.
(via lookitasari)
11 notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Quote
dengan siapa pun nanti aku disatukan, untuknya aku akan bersetia, sebab aku tahu benar seluka apa tidak menjadi yang satu-satunya.
S.A (via pena-kecil)
71 notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Quote
aku setia kepada seseorang yang tidak menjadikan aku satu-satunya, di hatinya.
S.A (via pena-kecil)
106 notes · View notes
dloopsthings · 9 years ago
Quote
pilih satu, lalu setialah. :)
S.A (via pena-kecil)
117 notes · View notes