Tumgik
dwianjar · 1 year
Text
Catatan: Mencintai Takdir
Semua orang hidup dalam alur dan jalan takdirnya masing-masing, ada yang dengan kelebihan yang ada pada hidupnya, ada pula yang hidup dalam kondisi apa adanya sehingga mewajibkan baginya untuk berjibaku untuk bertahan dan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Namun dari semua rangkaian takdir yang Tuhan gariskan dan tentukan untuk setiap manusia ini, sedikit sekali yang mencintai takdirnya, entah dalam kondisi apapun itu.
Mencintai Takdir dalam arti menerima apa yang sudah ditentukan dan mulai berjuang untuk kebaikannya, tanpa mencela Tuhan dan tanpa membanding-bandingkan hidupnya. Bukankah setiap kereta ada stasiun pemberhentiannya masing-masing? Sama halnya dengan takdir kita, pada akhirnya kita akan sampai pada ujung takdir kita masing-masing, tanpa perlu mengcopy-paste hidup orang lain yang barangkali tidak cocok dan tidak pas untuk kita.
Dan pahami saja, bahwa setiap kebaikan yang ingin kita dapatkan itu ada harga mahal yang harus kita bayar.
Ku ceritakan soal temanku yang barangkali aku baru mengenalnya 1 bulan, namun ia membawa sentuhan keyakinan soal takdir. Saat kemarin musim haji 2023 dari tanggal 19 Juni sampai 13 Juli di Makkah, Allah pertemukan aku dengan seorang laki-laki, keinginannya kuat, ilmunya menancap dalam, dan impian juga cita-citanya tinggi. Pada pertengahan takdir ia dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan S2 (sudah diterima di Madinah) atau pulang ke kampung halamannya karena ibunya membutuhkannya di rumah, untuk menemani di usia-usia tuanya dengan amanah yang begitu banyak.
Pada akhir pilihan ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan meninggalkan apa yang ia inginkan dan kebanyakan orang lain juga impikan. Namun tidak apa-apa, saat ia mengatakan “sudahlah, apa artinya ilmu saya banyak-banyak tapi tidak bisa membantu ibu disaat beliau benar-benar membutuhkan, insyaallah Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari apa yang hari ini saya tinggalkan”, rasanya aku tertampar dengan kalimat itu, sebegitu yakinnya ia dengan kebaikan atas apa yang akan Allah takdirkan untuknya di masa depan.
Mencintai takdir itu berawal dari husnudzon yang membumi dan melangit, prasangka baiknya pada Tuhan mengalahkan kekhawatirannya soal masa depan. Barangkali kita kurang yakin dengan takdir Tuhan, sampai-sampai seringkali kita berprasangka buruk pada takdir yang akan diberikan di masa depan.
@jndmmsyhd 
607 notes · View notes
dwianjar · 1 year
Text
Tulisan: Dialog
Rangkaian usia yang semakin bertambah, kekhawatiran yang semakin banyak, entah perihal dunia atau pun lainnya. Terkadang ia akan menguras hati, malam yang tak kunjung bisa mengistirahatkan badan dan jiwa. Namun begitulah keadaannya, sebab dewasa itu berasal dari akumulasi masalah yang diselesaikan dengan baik dan tenang.
Ikhtiarkan apa yang hari ini masih bisa diikhtiarkan, perbaiki apa yang bisa diperbaiki, terutama soal mengenal diri sendiri lebih dalam lagi.
Andai lelah, istirahatlah sejenak. Andai sakit, sembuhkanlah meski harus menangis. Air mata itu adalah sumber kehidupannya hati.
Aku dan kamu pun sama, kita sedang berproses dan berjuang menuju takdir kita masing-masing. Semoga, pemberhentian akhir kita berujung pada tujuan yang sama. Kebaikan dan keberkahan.
@jndmmsyhd
507 notes · View notes
dwianjar · 1 year
Text
I dislike the term 'trust issues' because it implies that the trust should be the default, and that the one who 'doesn't trust' is somehow morally wrong for it.
In reality, we learned very slowly and painfully where we can and can't trust. People are born with infinite and instinctual trust; as a toddler, you didn't suspect anyone, didn't doubt anyone. You couldn't. It was by repeated interactions, inflicted displeasure, disappointment, pain, betrayal, rejection, abandonment and grief that you learned to predict and mimic other people's behaviour. Your trust has remained only where it has not been broken.
For someone to fear interactions with other people, they would have to be utterly broken by what other people did to them, and how much verbal abuse and trauma they suffered. For someone to not trust others to touch them, they would have to be tortured and severely violated by human touch. People crave both interaction and touch, and for that craving to be overwritten by fear, it had to be proven unbearable and deadly to be touched and interacted with. People don't lose their trust completely for anything less.
Even when all trust is lost, it can be re-established by very slow, cautious and consistent actions. If another person took care to approach you slowly, to be very consistent with their actions, never attempted to violate you, took great care to understand and protect your comfort - after a while of confirming that they mean it, you could potentially feel safe around them. Unless this is exactly how someone approached you before, and they did it right until the point you relaxed, and then they betrayed your trust and hurt you. Sometimes, that happens too. In that case, it becomes even harder to establish trust.
But if someone wants your trust after all you've been put thru, they should earn it. They should figure out your ideal pace and your level of comfort and be respectful of your boundaries, not once or twice, but consistently. And even then, you don't owe your trust to them. You don't owe it to anybody. You do not have to risk your well being for someone else's curiosity or desires or whatever kind of intentions they have with you. You don't need to expose yourself to a potential new trauma just so someone wouldn't accuse you of having 'trust issues'. What exactly do they want to do to you that requires your blind trust? Why should anyone require trust they didn't earn?
Trust comes naturally, and is broken forcefully. If someone refuses to acknowledge that your trust was broken by force, and not by your choice, they're not the kind of person to be trusted.
624 notes · View notes
dwianjar · 1 year
Text
If you struggle to find that mental peace and rest during salah- ask yourself this: Are you praying to find peace? If yes, then that could be the problem. While it's not wrong to pray salah to find inner peace and satisfaction- that should not be our sole intention. Our purpose and intention to stand in salah is to find Allah and earn His pleasure. Secondly, ask yourself are you really remembering Allah. Like really and truly- genuinely trying to remember Him? Because often times we stand in salah or bow or prostrate and say the words of dhikr but our minds are elsewhere. We're giving maybe 25% or 50% to the actual remembrance of Allah and His perfection and His praise and His grandeur.
If you follow both of the points mentioned above- you stand in salah to please Allah and mindfully remember Him in every phase of your salah, then it will be practically impossible for peace not to settle in your heart. Do your part and Allah will do His- by putting your heart at rest.❤️‍🩹
"And establish salah for my remembrance." [20:14]
29 notes · View notes
dwianjar · 1 year
Text
Tumblr media
Begitu banyak peristiwa dalam hidup yang terjadi dari hari ke hari, yang merubah kita menjadi seseorang yang berbeda. Kita merasa, diri kita hari ini, bukanlah diri kita 5 atau 10 tahun yang lalu. Kita berubah.
Tanggung jawab satu persatu dipikul. Kita sering ditampar oleh kenyataan hidup yang tak pernah lepas dari ujian dan kefanaan.
Asa-asa dalam kepala begitu banyak yang hanya berujung tanda tanya lalu direlakan agar merasa lapang dada. Tak semua yang kita inginkan tercapai. Namun, apa yang tak mampu tergapai pada akhirnya selalu menuai hikmah yang mendalam dan patut disyukuri.
Kita telah dihadapkan pada kata "dewasa" dan "tumbuh" untuk menjadi lebih kuat dari hari-hari sebelumnya. Kedua kata itu, bukan lagi pilihan, namun menjadi keharusan, agar kita dapat terus bertahan dan berjalan.
Nyatanya, ujian yang sering kita keluhkan, tanpa sadar menjadi kekuatan untuk kita mengarungi kehidupan.
Nyatanya, kegagalan yang berulang kali pernah terjadi, tanpa sadar menjadikan kita lebih pandai dalam menata ruang kepasrahan sepenuh hati.
Nyatanya, Kehilangan-kehilangan yang selalu menyakitkan, tanpa sadar menjadikan hati kita lebih luas untuk menerima takdir-Nya dan keniscayaan batas waktu.
Kita selalu berubah dan kita selalu tumbuh. Kita tak lepas dari keluh namun kita selalu kokoh. Kita sering terluka namun kita juga selalu sembuh. Inilah hidup dan disinilah kita kini, mengarunginya, diantara seluk beluk rahasia takdir, doa-doa, dan petunjuknya-Nya, selamat menempuh, teruslah menjadi lebih baik dan menyala terang.✨🌻
Hening, 10 April 2023 19.06 wita
242 notes · View notes
dwianjar · 2 years
Text
Off The Grid
Seringkali dibeberapa keadaan, dalam hati tiba-tiba muncul perasaan penyesalan dan mulai mengandai-andai "andai saja saya dulu tidak memilih keputusan ini, andai saja dulu saya tidak mengenal orang-orang ini, andai saja saya bisa lebih berhati-hati" dan masih banyak pengandaian lain yang menumpuk dalam diri.
Di tengah pengandaian-pengandaian yang berujung pada penyesalan itu, secara tidak sengaja menemukan tayangan Off The Grid edisi Kyungsoo di channel Discovery Korea. Di salah satu scene, Kyungsoo berucap kalimat yang ketika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi begitu dalam maknanya:
"Aku suka hidupku, aku sama sekali tidak punya penyesalan, karena semua perasaan yang kualami termasuk RASA SAKIT dan SUKACITA adalah pengalaman yang MEMBENTUK HIDUPKU. Itulah yang MEMBENTUK DIRIKU HARI INI" - Doh Kyungsoo
youtube
Maka benar bahwa: kita tidak bisa berpegang teguh pada masa lalu, karena sekuat apapun kita bertahan, itu sudah hilang. Ketakutan dan penyesalan itu hanya ada di kepala saja, sedangkan dunia nyata tidak semenakutkan itu, hadapi dan jalani.
Akhirnya pikiran tentang penyesalan itu berubah menjadi kebanggan. Bangga bahwa diri sendiri sudah berjalan sangat jauh, bangga bahwa diri sendiri sudah berjuang sangat keras, bahkan ketika tidak terbesit fikiran akan bertahan sekuat ini nyatanya sampai hari ini masih berdiri kokoh. Ah ya, rasa syukur seharusnya yang terucap, bukan lagi penyesalan, kan?
0 notes
dwianjar · 2 years
Text
KERETA
Tumblr media
Kereta Airlangga jurusan Jakarta-Surabaya yang aku tumpangi siang itu sangat sesak, semua kursi penuh dengan penumpang dari berbagai daerah, tidak terkecuali dengan kursi yang aku duduki saat itu. Kursi kereta di setting memanjang dengan tiga penumpang dan saling berhadap-hadapan. Maklum, karena kereta yang aku tumpangi memang kelas ekonomi, walaupun untuk skala perjalanan jauh memang kurang nyaman jika di kelas ekonomi, sebab sandaran kursi kereta yang tegak lurus benar-benar membuat punggung pegal. Seperti slogan "ada harga ada rupa" maka bersyukur apapun wujudnya adalah jalan ninjanya.
Bercerita tentang kereta, moda transportasi inilah yang menjadi favoritku diantara jenis transportasi lainnya. Bentuknya yang memanjang layaknya ular besi raksasa yang melaju dengan kecepatan tinggi membuatku merasakan kenyamanan tersendiri, apalagi rute kereta biasanya melewati persawahan dan pepohonan lebat, rute itulah favoritku, karena bisa menghadirkan ketenangan ketika memandang lanskap persawahan dan pepohonan hijau yang terbentang luas memanjakan mata, apalagi jika dilengkapi dengan segelas coklat panas khas KAI sambil mendengarkan musik dari earphone atau sambil membaca buku, itulah scene paling ditunggu-tunggu saat naik kereta.
Ngomong-ngomong soal kereta kelas ekonomi, ada kesenangan tersendiri yang aku dapatkan ketika menaikinnya, yaitu bisa ngobrol dengan penumpang lain dengan leluasa. Karena di gerbong kelas ekonomi, penumpang layaknya di sebuah tongkrongan yang saling berhadap-hadapan. Ngobrol random dengan penumpang asing yang belum kenal sebelumnya, berbagi pengalaman, bahkan yang lebih asik lagi berbagi makanan. Intinya di gerbong ekonomi memang Indonesia banget suasananya.
Reformasi Perkeretaapian?
Perjalanan panjang dari Jakarta ke Stasiun Semarang Poncol siang itu membawaku ke dalam obrolan bersama dengan pasangan suami istri asal bekasi. Beliau bercerita tentang reformasi kereta api Indonesia. Menurutnya, kereta api yang sekarang ini jauh berbeda dengan kereta api sebelum tahun 2014- an. Sebelum tahun 2014 kerta api identik dengan moda transportasi yang kumuh, rawan calo, dan tidak tertib. Namun ketika Dirut KAI dijabat oleh Bapak Ignasius Jonan semua berubah total, reformasi besar-besaran dilakukan seperti; sistem tiket online untuk mencegah calo, melarang pedagang asongan naik kereta api, melarang siapapun yang tidak memiliki tiket untuk naik kereta, pemasangan AC, dll. intinya mempertegas aturan-aturan dalam sistem perkeretaapian, hingga saat ini kereta menjadi moda transportasi yang nyaman dan menjadi favorit masyarakat.
Perjalanan panjang dari Jakarta ke Semarang telah sampai, aku berhenti di Stasiun Semarang Poncol dan berpamitan dengan pasangan suami istri yang sedari Jakarta mengobrol denganku, mereka masih melanjutkan perjalannya menuju stasiun Pasar Turi, Surabaya. Pertemuan singkat yang bermakna itu harus kami akhiri. Bagiku pertemuan-pertemuan singkat semacam inilah yang akan aku rindukan di perjalanan-perjalanan di kereta selanjutnya
0 notes
dwianjar · 2 years
Text
Manajemen Futur
@edgarhamas
"Jadi, bagaimana caranya agar kita tidak futur?" begitulah yang teman-teman tanya dalam banyak sharing.
Alih-alih menjawab tips dan trik, saya malah selalu menjawab, "rasa futur itu pasti ada. Justru Baginda Rasul mengabarkan bahwa amal itu pasti ada masa semangat dan futurnya."
Ini menarik sekali, Rasul begitu pas menjelaskan bahwa manusia itu tak bisa selalunya on fire. Ada masa turunnya, ada saat-saat lemahnya. "Sesungguhnya segala sesuatu ada masa semangatnya. Dan setelah masa semangat itu ada saat-saat lelahnya." (HR Ahmad)
Maka seorang guru pernah menasihati, "jika kamu sedang futur, itu fitrah. Semua orang pernah merasakannya. Namun ada caranya agar ia tak terlampau lama." Beliau mengajarkan, sefutur-futurnya kita, jangan sampai memutus 100% amal yang biasa kita kerjakan.
Jika kita biasa shalat tahajud, setidaknya kita tak meninggalkan 1 rakaat witir ketika futur. Jika kita biasa baca zikir pagi-sore yang panjang, setidaknya kita tetap membacanya meskipun sebagian kecil wiridnya.
Sebab futur bukan memberhentikan amal. Lemas bukan berarti mati.
Itulah mengapa Rasul bersabda, "siapa yang futurnya tetap pada sunnahku, ia telah mendapatkan petunjuk."
Sebagian ulama berkata, "maksudnya sunnah di hadits itu adalah; meski sedang lesu beramal, hendaknya ia masih melakukannya meski kuantitas dan kualitasnya tak seperti biasa."
Wahb bin Munabbih melengkapi narasi tentang hal ini, "Siapa yang tetap mencoba untuk beribadah meski lelah; justru kekuatannya akan bertambah. Dan siapa yang memilih untuk tunduk pada kemalasan; rasa futurnya justru akan bertambah lama." (Kitab Az Zuhd, Imam Ahmad)
Dan kita tahu akhirnya, justru dengan mengilmui futur; kita tahu ia bukanlah terjunnya iman kita hingga roboh tak bersisa. Ternyata ia episode; kelak akan berakhir, kelak ia akan bergulir.
Seperti gelombang yang naik turun; nyatanya ia tetap mengalir, tak diam dan berhenti.
472 notes · View notes
dwianjar · 2 years
Text
Menjadi Asing
Beberapa hal di dunia ini, kadang hadir untuk menatap ada juga yang hadir untuk sekedar singgah. Layaknya sebuah terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan sebagai tempat transit berbagai macam moda transportasi, maka begitulah juga dengan hati manusia, tempat singgah berbagai karakter manusia.
Aku menjadi teringat salah satu lirik lagu EXO yang berjudul Love Shot, pada part yang di nanyikan D.O. "People come and people go, Sesange meomchweoseon neowa nan, Mudyeojin gamjeongdeure Seoseohi iksukaejeo ga" Lirik itu menggambarkan bagaimana seseorang datang dan pergi dalam hidup kita.
Aku berfikir, kalau perpisahan sebagai sebuah rutinitas yang tidak bisa dihindari, maka lama-kelamaan melihat manusia datang dan pergi bukan lagi hal yang mengherankan. Bukankah itu sebagian dari takdir?
Aku mulai mempertanyakan apakah pertemuan dan perpisahan itu bagian dari Yin dan Yang dalam filosofi Tiongkok?. Yin dan Yang adalah dua unsur yang berlawanan, jika disatukan akan mencapai keseimbangan, maka apakah benar pertemuan dan perpisahan ada memang diciptakan agar dunia ini seimbang?. Ah ya dangkal sekali analisisku.
Dulu ketika masih kuliah, aku pernah bilang seperti ini dengan seorang kawanku "aku benci perpisahan entah dengan siapapun itu". Tapi ternyata kawan yang berbicara hari itu denganku kini sudah tidak bersamaku lagi, dia merantau di kota lain. Sekuat apapun aku menyangkal perpisahan, semua yang hidup di dunia ini akan mengalami fase pertemuan dan perpisahan, entah kapanpun itu, yang jelas semua itu pasti. Hanya soal waktu yang akan menjawabnya.
Rasanya sulit sekali membiasakan sebuah perpisahan, karena ingatan tidak bisa dibohongi bukan?. Ada perasaan tersendiri yang tidak bisa dijelaskan ketika melihat benda pemberian orang yang pernah bersama kita, ketika melihat tempat yang pernah kita kunjungi bersama atau ketika mendengar playlist lagu yang pernah kita putar bersama. Ah ya, sulit dijelaskan memang, terutama untuk orang-orang sepertiku yang membenci perpisahan.
Benar kata D.O. "people come and people go" mulai membiasakan diri untuk terbiasa dengan kehadiran dan perpisahan adalah kuncinya. Pura-pura menjadi asing satu sama lain setelah banyak hal yang dilalui bersama memang sebuah kemunafikan yang paling disengaja. Entahlah, hidup memang menyajikan petualangan seru namun kadang kala membahayakan, iya kan?
0 notes
dwianjar · 2 years
Text
Tumblr media
0 notes
dwianjar · 2 years
Text
Beruntunglah mereka yang malam harinya menangis berderai air mata sebab malu dan berharap ampunan Tuhannya. Sementara pagi harinya ia tersenyum layaknya orang paling beruntung sebab rasa syukur pada Tuhannya, meski di dunia ini ia tak memiliki apa-apa.
— jndmmsyhd
881 notes · View notes
dwianjar · 2 years
Text
Ketika Rasul ﷺ Ngajak Deep Talk Tentang Makanan
Ayat itu singkat, hanya satu hembusan napas saja untuk membacanya; tapi maknanya dalam dan meringkas banyak hal, "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya." (QS 80:24)
Pernah mentadabburi bagaimana jauhnya proses makanan itu hingga sampai di hadapan kita?
Ikan yang beberapa hari lalu masih berenang-renang di lautan lepas, sayuran yang sebelumnya masih menyatu di kebun ranum entah pegunungan mana.
Dan itu semua, sampai ke hadapan kita dan siap disantap. Prosesnya, jalannya, lika-liku rezeki itu hingga sampai pada kita; memesona.
Ibnu Katsir menguraikan dengan tadabbur yang mendalam, dalam makanan itu, "ada bukti: Allah Mahakuasa menumbuhkan tanaman dari tanah yang hitam, maka Dia pun Mahakuasa membangkitkan jasad yang tadinya telah jadi tanah usang dan debu yang berserakan"
masyaAllah...
Suatu hari Rasul pernah bertanya pada seorang sahabat, Adh Dhahhak bin Sufyan namanya, "wahai Dhahhak, apa yang suka kau makan?"
"Aku suka daging dan susu", jawab sahabat itu. Rasul bertanya lagi, "lalu, pada akhirnya makanan itu jadi apa?"
"Ia, akan jadi sesuatu yang engkau pun telah tahu, wahai Rasul...", Jawab Dhahhak dengan sopan.
Ini tanya jawab tentang makanan. Tapi uraian Rasul begitu dalam setelahnya, "Sesungguhnya, Allah menggambarkan dunia ini adalah seperti apa yang keluar dari tubuh Bani Adam..."
Manisnya, asinnya, pahitnya, getirnya; pada akhirnya akan berakhir jadi "sesuatu yang engkau pun tahu."
Dunia pun begitu, kan? Kayanya, kurangnya, tinggi kedudukannya, mapan dan bangkrutnya, kuat dan lemahnya: semua berakhir di liang lahat.
541 notes · View notes
dwianjar · 2 years
Text
Ada seseorang yang menahan tangisnya di siang hari, ia hanya berharap untuk segera bertemu waktu sepertiga malamnya. Kemudian ia menumpahkan dan mengadukan setiap luka dan perihnya hari yang ia jalani.
Ia tahu bahwa beban akan tetap ada dan sama beratnya, tapi setidaknya hatinya akan jauh lebih kuat lagi.
Luka itu pasti akan segera sembuh, sakit itu pasti akan segera pulih. Dan segala hal yang diserahkan dan dikembalikan pada-Nya, pasti akan berujung ringan dan membahagiakan.
Sayangnya, kita yang malas dan enggan mengembalikan dan berserah kepada-Nya. Lebih suka meminta bantuan dan mengadu pada manusia ketimbang pemilik alam semesta.
Karena hidupmu adalah perjalanan menuju Tuhanmu.
@jndmmsyhd
613 notes · View notes
dwianjar · 3 years
Text
Pulau Nusa Kambangan Dalam 1159 Kata
Pagi itu Semarang sedikit lebih sepi dari biasanya, mungkin disebabkan karena sebagian besar mahasiswa sudah pulang ke kampung halaman masing-masing menyambut libur semester. Sementara aku dan kawanku Nisa, sedang sibuk-sibuknya mengecek barang-barang yang akan kami bawa untuk perjalanan ke pulau Nusa Kambangan. Rencananya kami akan melakukan perjalanan berdua saja, berangkat dari Semarang menggunakan bus dan pulangnya akan menggunakan sepeda motor milik Nisa. Sedikit informasi bahwa rumah Nisa memang di Cilacap dan cukup dekat dengan pulau Nusa Kambangan jadi beberapa hari kedepan aku akan menginap di rumah Nisa.
Perjalanan dimulai dari kos, kami melaju menggunakan angkutan umum untuk sampai di halte bus di pasar pojok Ungaran. Butuh waktu sekitar setengah jam dari kos untuk sampai di halte pasar pojok Ungaran. Kami menunggu hampir satu jam untuk menaiki bus ke Magelang.
Sepanjang perjalanan dari Ungaran ke Magelang, kami disuguhkan pemandangan hijau dan jalan berkelok yang membuat fikiran terasa damai hingga tidak terasa kami tertidur dalam perjalanan sampai di terminal Tidar Magelang. Sesampainya di terimal Tidar kami istirahat sebentar, membeli minuman dingin dan snack.
Perjalanan selanjutnya kami berganti bus dari terminal Tidar menuju Cilacap. Perjalanan terasa sangat lama sekali, mungkin karena aku tidak terbiasa perjalanan jauh menggunakan bus. Sepanjang perjalanan, Nisa menceritakan tentang berbagai hal dan juga tempat yang kami lewati. Seperti; getuk pelangi adalah khas magelang, soto sukareja beda dengan soto biasa, dawet ireng itu khas Purworejo dll. Seperti di dongengkan oleh Nisa, lagi-lagi kantuk tidak tertahankan dan aku tertidur pulas sampai di Cilacap.
Turun dari bus di depan gapura desa tempat tinggal Nisa. Kami di sambut oleh kakak dan keponakan Nisa. Mereka membawa dua motor yang nantinya akan kami naiki berasama-sama. Desa tempat tinggal Nisa masih sangat asri menurutku; masih ada persawahan, masih ada perkebunan, dan ada bandara kecil di dekat rumah Nisa, Bandara Tunggul Wulung.
Kehidupan di kampung halaman Nisa mengingatkanku pada rumah kakekku, khas kehidupan pedesaan. Selama aku di rumah Nisa, aku di manjakan oleh masakan-masakan yang berasal dari kebun dan sawah mereka sendiri. Baru di petik langsung di olah, sesuatu yang tidak mungkin aku rasakan selama kos di semarang tentunya. Daun singkong, daun ketela, kacang panjang, kacang tanah, sawi, cabai, jagung yang di hidangkan di meja hari itu semuanya hasil panen sendiri.
Sore itu, aku diajak oleh Nisa dan dua keponakannya yang masih anak-anak untuk melihat bandara Tunggul Wulung. Kami menerobos lewat kebun jagung belankang rumah Nisa, ada pintu pagar kecil yang bisa kami lewati dengan membungkukan badan. Udaranya segar sekali, bandara Tunggul Wulung tidak seperti bandara-bandara pada umumnya, bandara ini kecil dan jarang ada penerbangan. Menurut cerita Nisa, bandara Tunggul Wulung ini yang sering dijadikan tempat transit narapidana yang nantinya akan di penjara di penjara Nusakambangan. Sebagian sisi landasan bandara terlihat rumput-rumput hijau yang cukup tinggi dan beberapa ibu-ibu yang memotongnya dan menaruhnya dalam karung. Besar dugaanku rumput-rumput itu digunakan untuk makanan ternak. Sementara aku yang sedang asik mengamati semua yang ada di bandara, Nisa dan keponakkannya asik main kejar-kejaran sambil menyanyi lagu balonku ada lima, haha suasana masa kecil yang sangat aku rindukan.
Hari pertama berlalu dengan sangat menyenangkan, malam harinya adalah tanggal 1 januari itu artinya malam itu adalah malam tahun baru. Keluarga Nisa semuanya berkumpul di rumah kakanya Nisa, mereka bersama-sama melihat kembang api, mengobrol menunggu tenggah malam sambil memasak ayam bakar dan ikan. Aku menyatu bersama keluarga Nisa, seperti tidak ada sekat diantara kami, mereka ramah, baik, dan sesekali bercanda dengan logat sedikit ngapak yang menurutku unik.
Tepat di tanggal 1 Januari, pagi hari yang semula rencananya aku dan Nisa akan berangkat ke Nusa Kambangan berdua, akan tetapi keluarga Nisa ternyata sudah menyewa mobil. Sekeluarga Nisa ikut semua; ayah, ibu, dua kakak nisa, dan empat keponakan Nisa ikut dalam perjalanan kami.
Rencana semula aku dan Nisa hanya ingin ke Nusa Kambangan, tetapi keluarga Nisa ingin mampir terlebih dahulu ke Benteng Pendem. Kami berkeliling cukup lama di sana. Sedikit informasi, Benteng Pendem Cilacap merupakan benteng yang digunakan sebagai markas pertahanan tentara Belanda. Benteng ini difungsikan untuk menahan serangan yang datang dari arah laut. Hingga pada akhirnya benteng ini diambil alih oleh Jepang. Singkat cerita, setelah Jepang menyerah pada sekutu tahun 1945, benteng ini ditinggalkan Jepang dan diambil alih oleh TNI.
Seusai perjalanan dari Benteng Pendem, kami semua menuju Pulau Nusa Kambangan. Sesampainya di pinggir pantai, sebagian keluarga Nisa tidak berani untuk menyebrang pulau, alhasil hanya aku, Nisa, dan ayahnya Nisa yang menyebrang ke pulau Nusakambangan. Kami menyebrang pulau dengan menaiki kapal motor dengan biaya sebesar Rp. 25.000. Ditengah-tengah lautan, aku memandangi bakau-bakau yang seolah-olah memagari lautan, langit yg menjulang sebagai atapanya, dan birunya lautan yang menyimpan rahasia yang sampai saat ini manusia belum bisa memcahkannya.
Kami berlayar sekitar 20 menit, sesampainya dipinggir pantai, kami disambut pasir putih dan karang-karang dipinggiran pantai. Kami memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam pulau Nusakambangan. Melewati jalan setapak, melihat beberapa jenis pohon yang sangat asing aku lihat, melewati jembatan yang terbuat dari kayu, tanah licin bekas hujan yang membuat beberapa kali hampir terpeleset. Perjalanan yang cukup melelahkan, setelah berkeliling selesai, kami istirahat di bawah pohon besar dan duduk di atas batu karang besar sambil sesekali mengambil gambar dengan kamera digital yang sedari tadi aku bawa. Duduk di tempat ini beberapa saat adalah self healing dari dunia luar yang berisik, menepi dan membuang segala macam beban yang mengendap di pikiran.
Cukup lama kami istirahat, akhirnya kami kembali menaiki kapal motor untuk membawa kami kembali ke tempat kami berangkat. Walaupun singkat, tentu perjalanan ini sangat melekat di ingatan, suatu hari jika kesempatan lagi, sepertinya akan asik kalau kembali lagi ke sini.
Empat hari sudah berlalu, aku dan Nisa akhirnya kembali ke Semarang. Kami menaiki sepeda motor Nisa. Kami berniat untuk bergantian di jalan jika salah satu sudah lelah mengemudi. Perjalanan pulang terasa sangat cepat, setelah melewati Kebumen, kami sampai di Purworejo. Nah, di Purworejo inilah ada tragedi yang membuatku cukup trauma untuk berkendara motor. Iya di depan pasar Purworejo, motor yang kami tumpangi tabrakan dengan motor lain. Entah bagaimana kronologinya, yang jelas aku dan Nisa jatuh dan kepala kami tebentur aspal jalanan. Alhamdulillah Allah masih memberi kami keselamatan, walaupun sempat pingsan beberapa saat, bibir beradarah, pipi bengkak, dan jari tengah bengkak kami selamat. Saat itu kondisi Nisa membuatku cukup khawatir, dia nampak linglung. Walaupun keadaanku sebenarnya juga tidak baik-baik saja. Aku berjalan mencari becak motor dan segera aku sewa untuk membawa kami ke Rumah Sakit. Walaupun aku cukup kecewa dengan warga sekitar yang tidak segera menolong kami dan membiarkan kami dipinggir jalan dengan kondisi bererapa bagian tubuh yang berdarah. Ah ya, sudahlah, yang terpenting kami selamat dan luka-luka kami sudah di bersihkan dokter.
Sedikit aku sampaikan bahwa orang yang bertabrakan dengan motor kami kondisinya jauh lebih parah, salah satu dari dua orang yang bertabrakan dengan kami harus menjalani operasi patah di tulang kaki. Setelah kejadian itu, Nisa akhirnya memutuskan untuk pulang kembali ke Cilacap naik bus, dan aku pulang ke Semarang naik mobil Elf, sedangkan motor Nisa masih ditahan di kantor Polisi.
Setelah aku menuliskan cerita ini di sini, semua sudah kembali normal. Bapak yang bertabrakan dengan kami juga sudah sembuh, aku dan Nisa juga sudah lulus. Alhamdulillah.
0 notes
dwianjar · 3 years
Text
Berteman Dengan Kematian: Tentang Seseorang Yang Kutemui Di Rumah Sakit
Antrian pengambilan obat masih panjang, jam sudah menunjukkan pukul 19.30. Rumah Sakit Hermina terasa sangat ramai hari itu, sampai-sampai aku menunggu hampir satu jam lebih untuk mengambil obat. Ditengah-tengah kebosanan menunggu tiba-tiba datang seseorang yang duduk di sampingku, dia mencoba membuka obrolan denganku untuk mengusir kebosanan menunggu antrian, dari obrolan singkat itu aku menyelami pikirannya jauh lebih dalam. Ia adalah seorang penderita Depressive Disorder
Aku ingin menceritakan tentang dia...
Dia adalah sesosok manusia yang lahir dengan segala macam kesedihan, tumbuh dalam tekanan yang membuatnya semakin mempertanyakan rasa syukurnya. Dia yang hidup dalam kesendirian walaupun raganya bersama dengan jutaan manusia. Dia adalah sosok yang diam-diam bertengkar dengan fikirannya sendiri tatkala hening sepi namun riuh dalam kepalanya.
Dia yang yang selalu mempertanyaan tentang kebaradaan dirinya; tentang penerimaan orang lain terhadapnya, tentang ketakutan ditinggalkan, tetang kebingungan yang ia ciptakan dalam ilusi yang ada dalam benaknya sendiri
Sesuatu yang membuatnya hampir tak lagi ingin di bumi adalah tentang bisikan-bisikan yang terus menerus mendorongnya untuk tidak lagi menginginkan hidup ini, bisikan itu semakin keras dan menyerukan; hidupmu tak lagi ada artinya di dunia ini, mereka membencimu, ure useless!!
Dia seperti dalam ruangan sempit, sendirian, pengap, berasama bayang-bayang hitam yang terus menerus membisikan semua hal negatif yang menyebabkan dia termangu dalam tatapan kosong dalam raga yang rapuh tanpa ada semangat mempertahankan hidup dan kehidupan
Sementara diluaran sana semua orang sudah memakinya dengan kata-kata; kamu orang gila, kamu tidak waras, kamu berbahaya, kamu tidak dekat dengan Tuhanmu. Segala macam penghakiman tanpa persiadangan dia terima dari sesama manusia. Manusia-manusia itu mengambil hak Tuhan dalam menghakimi, merasa jumawa dengan kewarasan dalam arti yang umum menurut kebanyakan manusia. Apakah hati manusia-manusia yang mencaci maki itu sebenarnya dalam kondisi yang benar-benar sehat?
Ya, semua tentang dia adalah kain hitam pekat yang menakutkan. Tapi apakah tidak ada yang menyadari dibalik pekatnya sebuah kain hitam, ada warna dasar, warna bawaan kain yang sesungguhnya?
Ya, warna putih bersih. Dia dahulu ibarat kain putih bersih, namun perjalannya hidupnya yang telah membuatnya menjadi kelam layaknya kain berwarna hitam.
Dia tumbuh dalam lingkungan yang toxic, bersama sebagian besar orang-orang yg lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif. Sampai pada akhirnya, seorang Psikeater menyatakan bahwa dia mengidap Major Deperssive Disorder akut. Segala macam trauma telah mengubah hidupnya.
Dia sadar, bahwa sebagian hidupnya harus ia jalani bersama obat-obatan dari psikeater untuk membuatnya bisa tenang, membuatnya bisa tidur, membuatnya bisa merasakan menjadi manusia pada umumnya.
Namun, suatu ketika dia berada pada titik bosan dan membiarkan dia berteman dengan sakitnya, membuang semua obat-obat kimia yang membuatnya terus menerus ketergantungan. Kini dia berteman dengan apapun yang ia rasakan namun tak bisa ia ceritakan, bahkan ia siap berteman dengan kematian.
0 notes
dwianjar · 4 years
Quote
Allah’s plan is better than your dreams.
Abdulbary Yahya (via islamic-art-and-quotes)
388 notes · View notes
dwianjar · 4 years
Text
Semarang yang Tidak Lagi Menyenangkan?
Akhir-akhir ini saya tidak terlalu menyukai Semarang, entah kenapa tiba-tiba Semarang menjadi tempat yang terasa membosankan. Mungkin karena banyak teman-teman semasa kuliah dulu yang kini sudah tidak lagi di Semarang. Bisa di bilang kini Semarang sudah menjelma sebagai tempat asing yang sunyi. Sudut-sudut jalanan yang dulu ramai oleh canda tawa teman-teman kuliah, kini berubah menjadi bising dengan kesibukan orang-orang yang sudah tidak saya kenali lagi. Sadar tidak sadar ternyata saya merasa sangat sepi ditengah-tengah hiruk pikuk aktivitas orang-orang yang entah dari mana mereka berasal .
Berbicara menyoal  Semarang, tentu tidak terlepas dari kata “perjuangan”. Ternyata, sudah lima tahun lebih saya hidup di Semarang, merantau, jauh dari orang tua dan berupaya semampu-mampunya memanajemen diri tanpa pengawasan langsung dari orang tua. Perlu saya akui bahwa Semarang sudah banyak membelajarakan saya tentang banyak hal. Semarang menjadi tempat tumbuhnya saya dari masa remaja menjadi  dewasa.
Kampus, kost, dan Sekaran raya menjadi saksi bisu jatuh dan bangkitnya saya. Dosen, teman-teman kampus, dan warga sekaran mereka adalah orang-orang yang membersamai perjalanan saya selama ini, walaupun saya tahu mereka hanya singgah sementara dalam kehidupan saya. Teman-teman kampus akan meninggalkan Semarang ketika lulus, dosen tidak lagi di kampus ketika pensiun, dan saya yang entah sampai kapan akan menetap di Semarang. Semua yang hadir akan pergi dengan sendirinya pada waktunya.
Semua yang ada pada Semarang lambat laun akan berubah, sudah menjadi keniscayaan bahwa perubahan itu pasti, yang tidak berubah di dunia ini hanya perubahan itu sendiri. Perasaan menyenangkan dari Semarang lama-kelamaan berubah dan hilang  bukan karena kotanya yang tidak lagi indah, bukan. Perasaan menyenangkan itu hilang seiring dengan perginya orang-orang yang membersamai saya di Semarang.
 Benar kata pepatah bahwa “bukan soal di mana kamu tinggal, tapi soal bersama siapa kamu tinggal”  pepatah itu terbukti kebenarannya saat ini, kota Semarang seolah-olah berubah berwajah suram mengantar satu demi satu orang-orang yang saya kenal kembali ke kampung halamannya. Pada akhirnya, setidak menyenangkan apapun Semarang saat ini, Semarang tetaplah Semarang yang tidak berubah, tempat hangat yang menjadi latar ingatan kolektif saya bersama teman-teman. Ah ya selamat pulang teman-teman, terimakasih Semarang.
0 notes