another words, another sentences, another paragraph, another worlds
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Far ma sh*t
Kalau kamu suka melihat kompetisi memasak paling drama seantero negeri, itu belum ada apa-apanya dengan apa yang terjadi di ruangan ini(Halah, emang iyaa??). LOL🤭
Yaa gimana engga..
Kamu diharapkan mengikuti pakem-pakem tertentu sesuai formula yang dibakukan, membaca seabrek literatur, dan bersinggungan langsung dengan waktu yang beradu.
Beberapa orang suka latah dengan disiplin ilmu satu ini, cap "anak pintar" rasanya terlalu berlebihan dan membebani insan-insan yang sadar secara penuh memilih studi di sini.
Secara tidak langsung belakangan ini aku baru mendapati alasan mengapa dahulu begitu menolak metode belajar menghafal. Rugi rasanya mendapati bagaimana pengetahuan di disiplin ilmu ini ditelan mentah-mentah hanya demi sebuah angka dan mengejar validasi paraf hingga mencapai ketuntasan yang entah untuk apa.
Masih segar rasanya diingatan ketika menjalani budaya perpeloncoan, ada serupa dinamika pemahaman dangkal subjektif tentang sesal karena keterpaksaan ekspektasi orang tua yang kemudian diinternalisasi menjadi gurauan basi senioritas.
Kemudian yang tersisa hanyalah sesal, betapa lintasan waktu itu berujung pada pemenuhan harapan dangkal oleh pasar kerja yang statis dan membunuh sisi manusia mereka yang menuntaskan studi ini.
Sebagai pembaca rangkaian novel Agatha Christie mendapati almari racun di laboratorium farmasetika adalah sisi lain yang berulang kali membuatku tertegun, sumringah sampai lewat saja menuntaskannya. Hingga menghindar dari pengambilan sumpah profesi, yang oleh guru pengampu senior saat itu berulang kali kalut ketidaksiapan kelas 2013 yang diberi kesempatan terakhir mendapat secarik kertas pengakuan.
Getir terasa ketika mendapati aktivitas di ruang digital tak ada bedanya dengan sematan pengguna substrat tertentu. Sementara teknologi pengobatan sintetis saat ini mengkondisikan tubuh dengan beragam rekayasa yang kemudian disebut farmakopornografi.
Tubuh kita dibuat melalui simbol dan sistem yang mengelilingi diri kita. Hidup di dunia dimana pornografi dan farmasi telah berkontribusi pada penciptaan manusia neoliberal. Sementara feminisme populer adalah farmakopornografi itu sendiri.
0 notes
Text
Tribute to mendiang @annisarizkiana
Malam itu dari acara mengenang kerja-kerja pengkaryaan Kak Nica semasa hidupnya eik langsung keinget salah satu kutipan dari seorang filsuf cyborg dan seorang xenofeminis Donna Haraway. Ia begitu optimis akan perkembangan teknologi yang dapat difungsikan untuk "...menghancurkan matriks dominasi (patriarki) dan membuka geometri kemungkinannya (dunia baru)."
Kerabat dan kawan-kawan yang mengenal Kak Nica berefleksi ada banyak kisah keberanian melalui kebaharuan warna-warni, personal dan kanak-kanak hingga proses berkembang memanfaatkan teknologi pada pengkaryaan Zine nya.
Keberanian, konsistensi, dan sikap memunculkan hal-hal personal yang masih jarang dibawakan dalam karya Zine membuat banyak orang mudah mengenal, mencerna sampai menggemari ilustrasi yang Kak Nica kerjakan💖
Menyambung soal Donna Haraway dengan warisan karya-karya Zine dan illustrasi Kak Nica yang banyak bisa kita temui di buku, ruang publik maupun digital yang bisa kita lihat pada beberapa artikel media mojok yang terlintas dengan cepat di kepala adalah bagaimana ajakan Haraway ke setiap perempuan untuk tidak takut dengan bahaya, dengan daerah tak bertuan, dengan risiko-risiko. Perempuan harus menciptakan frontier (daerah tak bertuan) sendiri, yang mana hal itu sangat terlihat dengan apa yang sudah dilakukan Kak Nica semasa hidupnya.
You may no longer in this world anymore but your statement, your works, your spirit living among us, forever.💖




0 notes
Text
Jika perlawanan kita masih menggunakan kecerdasan sebagai tolak ukur dari kepribadian dan kepantasan, maka dari itu kecerdasan tidak bisa digunakan lagi sebagai sebuah senjata.
Eli Clare dalam bukunya Brilliant Imperfetion Grappling with Cure
0 notes
Text

Spatudea garden, South Jakarta, 2024.
1 note
·
View note
Text





123123
Ternyata kita tak tahu menahu apa itu hening, karena kita terlalu lama terbiasa akan ruang yang riuh dan nyaman mengisolasi diri dalam keramaian.
123123
Untuk segala definisi indah, kekaguman dan estetika, lengkap dengan kesempurnaan. Kiranya kita tidak lupa akan keberadaan buruk rupa, kengerian dan segala ketidakadilan yang terasa.
123123
Penutupan tahun tidak lengkap rasanya tanpa perayaan persalinan juru selamat. Ironis rasanya ada satu sosok yang begitu lekat dengan sematan keperawanan, kesucian, dan keibuan, akan tetapi kerap kali keadilan reproduksi dikesampingkan serta dikerdilkan porsi fundamentalnya.
123123
Pada akhirnya untuk setiap kesan yang sudah kucoba torehkan namun tak membekas, tak apalah. Karena bukan semata angka dan reaksi saja yang ingin dicapai, untuk setiap ucap ku yang kerap mengundang banyak tanya. Aku memaafkan diriku banyak, lagi dan lagi.
123123
Teruntuk setiap hubungan yang sudah tak lagi selaras, kiranya ampunan bukan semata pinta yang engkau kau jadikan alasan demi menabur garam di atas luka. Ini bukanlah soal benar salah, menegasikan eksternal untuk memvalidasi diri adalah kedangkalan yang sia-sia.
123123
Tak harap lagi riuh.
Gejolak akan kesendirian senantiasa hadir untuk memberi makna, apa, kapan, siapa, mengapa, dimana dan bagaimana.
Meski,
meskipun pada akhirnya tak semua hal perlu muluk-muluk dipahami.
123123
1 note
·
View note
Text

Sejak kecil aku diajarkan untuk patuh, akan tetapi aku sendirian mempertanyakan mengapa kita harus patuh? Atas dasar apa kepatuhan menjadi kunci untuk hidup? Europa diperkosa Zeus yang menjelma menjadi lembu, Arachne menolak keberadaan Dewa Athena sebagai wujud syukur atas kemampuan merajut yang ia pelajari sejak dini, lalu mengapa juga abstraksi negara masih digunakan oleh kelompok kiri? Sementara jelas negara memiliki sifat memaksa🤭
Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan liar semacam itu tumbuh, menggerogoti dan membunuh kehendak kita untuk tetap hidup. Masyarakat memiliki semacam warisan berupa aturan yang musti ditaati, dari Nietzsche sampai Deleuze mengapa gagasan mereka begitu dikesampingkan karena lagi dan lagi ada semacam pendangkalan pemahaman atas lautan kehendak. Maskulinitas dan pemahaman semu atas Hegel bahkan Nietzsche sendiri menjadi hiburan tersendiri untuk beberapa orang yang menolak tunduk.
Pada akhirnya kalau melulu kisah-kisah semacam mitologi dikaburkan atas nama kepentingan narasi penguasa, kemudian untuk apa kita membaca filsafat? Mengapa juga anak SMP ingusan ini sebegitu beringasnya mempertanyakan mengapa Dewa Dewi sampai Tuhan yang telah lama mati itu masih dipuja sementara hari ini manusia telah mewujudkan berhala mamon dengan ritual bekerja dan meniadakan mereka yang sadar untuk memilih jalannya sendiri, seperti leisure activity, misal.
Patuh adalah manifestasi untuk hendak berkuasa, sisanya cari sendiri aku terlalu lelah tenggelam di dalam arus menolak bodoh. Makaseeeeh🤭
0 notes
Text

Help me to understand how earthquake and vertigo are two different things..
0 notes
Text
✨ Pengingat Halus ✨
Kegaduhan atas gagapnya kita menanggapi fenomena kecerdasan buatan ini membawa kita pada kecemasan global, apa yang akan terjadi pada peradaban manusia kedepannya?
Aku ga mau berpanjang lebar, kukira sudah banyak akademisi yang omongin soal pengingat untuk mawas diri dan mengkritisi kehadiran AI.
Cuma ada satu hal yang perlu aku omong soal keresahan kita semua:
Inget ya temen-temen semua, kecerdasan buatan (AI) tuh udah jalan masuk ke sendi-sendi kehidupan manusia hari ini, sesederhana kamu abai sama Terms and Condition(aturan main) cookies(perekam jejak aktivitas berselancar di web) untuk browser internet tiap halaman web aja para Technofeudal(pemilik perusahaan teknologi seperti Meta) ini udah menang banyak.
Kata gw sih walo kemanusiaan kita masih jauh dari kata sempurna untuk merespon dan mengkritisi. Setidaknya kurangi kebiasaan untuk mencari pemenuhan hasrat(misal validasi senang) dari sana(berbagai produk teknologi dengan dukungan AI).
Udah mau bacot itu aja thx.

2 notes
·
View notes
Text

Bicara teknologi, bicara konsumsi, bicara hasrat
Kita bisa berlama-lama nyaman membicarakan hal-hal yang dekat dan lekat dari pengalaman pribadi kita. Namun tanpa kita sadari kecenderungan ini semakin membawa kesadaran bahwa di hadapan persoalan ini kita ringkih dan tak berdaya dibuatnya.
Memang bicara dalam sebuah pertemuan untuk bertukar pikiran sedikit membantu menguatkan pertalian solidaritas. Tidak hanya semata mencari validasi namun juga membuka indra pendengaran untuk sebentar rehat dari konsumtif kita pada dendang kesukaan atau konsumtif membaca.
Namun lompatan besar teknologi rasanya semakin meminggirkan rasa dan indera kita. Entah apakah ini hanya dialami aku yang seorang sensitif, kok bisa ya miris rasanya saat melihat kenyataan orang tua dewasa ini memilih jalan praktis memberi gadget ke buah hati supaya tenang?
Kalimat diasuh sosial media atau gadget dan berbagai kekayaan media hiburannya agak seram karena hari ini tugas mendidik sudah diberikan kepada mesin, sebagian. Kemudian standar pola asuh menjadi kaku dan sedingin bapak psikologi yang rada ngawur dengan bedah mimpi jelas tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan pemulihan mental dewasa ini.
Belum lagi ambisi dan kecenderungan terobsesi akan kesempurnaan sudah membius kita dalam merespon hidup. Menggerus habis nalar, emosi bahkan sampai perasaan.
Lagi ada semacam kebiasaan asuh jaman dulu yang membiasakan si kecil itu untuk mencari kesalahan eksternal supaya kita merasa nyaman. Ironis jarang kita pertanyakan nyaman itu apa? Seberapa lama nyaman itu hadir, dan setelah itu ada episode apa lagi?
Kenapa tidak ada panduan mengelola respon kita yang lebih bisa kita kendalikan?
Rasanya mudah saja karena kebiasaan lekat dengan mesin membuat kita menjadi pribadi yang mudah berujar "dasar problematik", lalu lalang mencari kemana perginya kemanusiaan itu?
Apa iya kita menuju pada evolusi mahluk dingin yang rentan ringsak dan mudah saja terganti seperti barang sekali pakai?
Kalau dipikir-pikir setelah jauh manusia mencoba mengejar keberadaban madani sampai sekarang, sebenarnya semua ini untuk apa?
Apakah sepadan dengan pengerusakan lingkungan dan terampasnya hak hidup kita? Entahlah..
0 notes
Text

My point of view on feminism
Sebuah refleksi acak
Entah dahulu memulai dari mana untuk mengenal pemikiran ini. Ingatan yang paling membekas di masa kecil diantaranya ketika hari minggu mami tiriku akan sigap beberes rumah, memasak dan segala pekerjaan domestik lainnya kemudian mengantarkan kami anak-anaknya yang sudah ia mandikan dan rapi berangkat ke sekolah Minggu.
Miris rasanya meskipun hanya seorang induk semang yang tidak melahirkan badan ini, tapi aku selalu menangis sampai merengek untuk ditemani saat itu karena gusar bagaimana beliau harus mengalah ibadah di sore hari. Mengesampingkan persoalan pribadi setelah urusan rumah tuntas.
Sampai yang paling membekas saat itu ketika anak lugu ini mendapati perselingkuhan yang terjadi di dalam bahtera mereka. Bukan sekedar marah karena ingatan buram tentang ratusan sampai ribuan pesan pendek sampai rekaman telfon kemesraan nafsu dewasa yang menjijikan buatku.
Aku terbiasa untuk memikirkan apa dampak dan konsekuensi dari kesembronoanku saat ikut campur, apalagi urusan orang dewasa yang menurutku sama saja memuakkannya dengan pertemanan kanak-kanak. Waktu berlalu, hari-hariku terus berjalan menjadi seorang anak dengan cap besar si paling humanis dan si paling kritis.
Ya, memang si anak belia itu bahkan sudah suka nimbrung obrolan emak-emak yang sedang asik membicarakan pilihan alat kontrasepsi. Kemudian ia bertemu dengan kata, kalimat, halaman, sampai buku- buku yang menjadi ruang pembebasan atas cibiran manusia dangkal yang membersamai pertumbuhannya.
Memasuki bangku sekolah menengah ia bahkan sudah berani meng 'call out' bercandaan cubit pentil, nimbrung ke teman-teman yang tidak haus eksistensi dengan menyembunyikan novel dan komik di balik buku pelajaran yang membosankan, sampai bersolek dan memanjangkan rambut karena kesal dengan peraturan sampai harus ngumpet-ngumpet cabut jam pelajaran karena ada razia guru BK.
Waktu berlalu begitu saja sampai menginjak usia seperempat abad menuju tiga puluhan, ada saja temannya yang membenarkan opresi atas tubuh, dan mengolok-olok pemikiran dari hasil mengkonsumsi pengetahuan-pengetahuan. Mungkin yang paling mengejutkan adalah bagaimana kawan yang sama-sama menjadi bagian memperjuangkan opresi atas hak-hak minoritas gender ini ternyata masih dibelenggu sistem patriarkis sampai bias yang sudah terlalu terbiasa mereka hidupi masih membuat mereka nyaman sampai lupa bawasannya perjalanan untuk tidak sekedar wacana atas kesetaraan itu mungkin dan bisa diraih bersama.
Dan akhirnya ada seorang kawan pernah bertanya padaku begini: "Lah iya, buat apa sih kita mempelajari feminisme? Toh hidup kita gini-gini aja."
"Ya mungkin kalo kamu ga kenal feminisme, mana mungkin kamu bisa mengenali sifat2 manipulatif cowomu yang belangsak itu?"
Kalo kamu, kira-kira bakal jawab apa kalo ditanya kaya gitu?
0 notes
Text

Tidak ada yang benar-benar pergi,
Tidak ada yang benar-benar kembali,
Terkadang aku muak dengan racauan isi kepalaku sendiri, dan mengumpat, lalu menerima bahwa dalam riuh kota ada banyak kisah tentang sepi yang lebih riuh dari pada dengung bising jalanan.
Lalu apa?
Apakah kita harus berhenti, sesali setiap kepergian mereka? Atau, larut dalam dengki atas orang-orang perbuat di dalam hidup ini?
Ternyata lugas dan jujurnya kata menusuk imaji si narsistik. Hampir hanyut aku dibuatnya seolah akrab saja ternyata menyeretku ke dalam arus. Sebelum aku tersengat oleh bisa beracun sang kalajengking dan betapa mematikannya buai kebajikan.
Tapi apalah dikata..
Tiap manusia menciptakan aturan mainnya sendiri dan tanpa sadar mulai memenjarakan hidupnya. Bukankah itu yang mereka namakan hukum? Banyak orang mudah saja menerima bahwa kebebasan itu terlalu berbahaya, "ga perlu idealis-idealis amat lah", ujarnya.
Hingga akhirnya sebuah kutipan itu benar, yang kira-kira dialihbahasakan berbunyi seperti ini:
"Kamu sedang celaka, kalau kamu terjebak di dalam mimpi orang lain"- Gilles Deleuze
1 note
·
View note
Photo

Celakalah mereka yang masih menaruh harap pada negara. Diteruskan dari @vantiani-blog ALERTA! ALERTA! ALERTA! . Pagi ini pukul 10.00 WIB akan dilangsungkan Sidang Paripurna DPR RI ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 dengan salah satu agenda: Pembicaraan tingkat 2 atau pengesahan RUU KUHP! . Sebagai aksi penolakan bersama, mari unggah fotomu dengan berpose menutup mulut menggunakan lakban atau telapak tangan! . Unggah fotomu di seluruh sosial media termasuk profile picture-mu sekarang juga! . Mari kawan-kawan, kita kerahkan semua upaya kita di waktu yang tersisa. Ajak juga rekanmu melakukan hal yang sama, sekarang!!!
5 notes
·
View notes
Photo

Ketahui Hak Sipil Sibermu yuk!
Ketika komunitasnya dalam bahaya dari undang-undang baru yang mengkriminalisasi perawatan telur yang terikat, Pigeon ingin membantu burung lain mengakses perawatan kesehatan yang mereka butuhkan untuk menyelamatkan hidup mereka - dengan aman dan rahasia. Yuk baca zine ini, diilustrasikan Ally Shwed, untuk mempelajari bagaimana Pigeon si pencinta-Internet favorit kita menerapkan praktik keamanan digital untuk menjaga dirinya & burung-burung yang dia bantu untuk mengamankan ruang digitalnya!
Pigeon tertekan oleh undang-undang baru yang mengkriminalisasi perlakuan terhadap telur yang terikat, dan menciptakan lembaga penegak hukum baru yang disebut Polisi Telur untuk mengawasi komunitasnya. Dia ingin memastikan burung yang mengalami telur terikat bisa mendapatkan perawatan kesehatan yang mereka butuhkan, meskipun ada pengawasan dan kriminalisasi. Bagaimana dia bisa melindungi dirinya sendiri dan burung-burung yang dia bantu? Dia & Bebek membahas taktik keamanan digital mereka untuk mencari tahu!
Sumber: digitaldefensefund.org/zines Alih bahasa & penata teks: Mimzy
Download disini
0 notes
Photo


Pada akhirnya sebuah karya kolektif ini bukan menjadi hakku untuk menjaganya menjadi produk kepemilikan, setelah melalui hampir tiga tahun pernah memantik pembuatan zine ini yang sebenarnya adalah upaya gagal meromantisir agenda-agenda di jakarta yang terlewat, bertahan hidup lima belas ribu sehari bermodalkan rokok ketengan (goceng dapat tiga batang), air mineral merek vit dan mie instan isi jumbo yang tidak mensukseskan, sampai ambisi masa muda mencari arti tentang memberi dampak ke masyarakat.
Pada akhirnya setelah pulang dan pergi, kesana kemari mencari alamat (halah) Memori ada untuk dirayakan, bukan semata-mata ekstasi di kala rindu dan jarak berpeluk satu sama lain. Terima kasih kawan-kawan taman suropati!
Unduh di sini
2 notes
·
View notes