Text
Pola Rezeki
Ada yang ikhtiar pergi ke barat, ternyata Allah datangkan rezeki dari timur.
Ada yang ikhtiarnya dengan banyak mencoba, Allah datangkan rezekinya sesuai yang paling ia sukai.
Ada yang ikhtiarnya dibikin seneng, Allah datangkan rezekinya tanpa bisa memilih, tapi ia tetap senang sebab itu pilihan Allah.
Banyak, kan? Artinya rezeki memang bisa dengan banyak cara. Persoalan ikhtiarnya A, rezekinya di B ya bisa saja, mudah bagi Allah.
Termasuk jodoh, salah satu bentuk rezeki yang penuh misteri. Ikhtiarnya copy dari teman, tapi hasilnya gak bisa di-paste. Kuncinya ikhtiar pada ruang-ruang yang Allah rida.
71 notes
·
View notes
Text
Bentuk Paling Tenang dari Sebuah Doa yang Tahu Diri
Menyebut namamu adalah bagian dari mantra-mantra sunyi yang tak pernah selesai aku rapal. Ia muncul dari diam, dari sepi yang tak pernah dilahirkan, dari ruang antara yang tak memiliki nama namun tetap kupijak seperti tanah yang kupahami. Mungkin karena rasaku tak butuh sebab untuk muncul; ia hanya ada, begitu saja. Dan aku, seperti biasa, terlalu pasrah untuk menolak kehadirannya.
Sebab barangkali, Tuhan memang Maha Mengerti—hingga Ia tahu, tak semua rasa perlu dilegalkan untuk bisa dimaknai. Rasa yang lahir dari tubuh yang disangkal, dari cinta yang tak bisa disebut, dari keinginan yang tak pernah bisa digenapkan oleh dunia yang gemar mengganjilkan.
Kalau ternyata kita memang saling ingin, saling tahu, namun tak bisa menubuh, maka barangkali Tuhan sedang mengajari kita tentang makna cukup—yang tidak selalu sejalan dengan memiliki. Bahwa rasa bisa besar tanpa rumah, bahwa dua orang bisa saling menyentuh tanpa pernah benar-benar bersentuhan.
Pun demikian, maha baiknya Ia, masih memperkenankan kita menatap satu sama lain dari balik kaca yang tak bisa pecah. Dari dalam kubah sunyi ini, kita tak bisa saling menyentuh, tak bisa bersuara, hanya bisa menggumamkan nama dalam mantra yang berubah menjadi kidung doa. Doa yang tak pernah selesai aku fasihkan, untukmu—dan untuk perasaanku yang tak tahu harus pulang ke mana:
Semoga kita bisa menemukan hangat yang baru, tanpa sedikit pun basah yang menyeka luka yang sudah mengering,
Semoga ada tatapan yang membuat kita tenang, tanpa getir di balik senyum yang harus kita pura-purakan,
Semoga kita dipeluk oleh keberadaan yang tak mengharuskan kita mengecil, tak juga membuat diri merasa sebagai jeda di hidup orang lain,
Semoga pagi kita selalu diiringi langkah yang mantap, bukan karena terbiasa sendiri, tapi karena benar-benar dijemput oleh yakin,
Semoga kita mengenal pulang yang tak bersyarat, yang menerima tanpa perlu menyembunyikan bagian manapun dari diri sendiri,
Semoga kita bisa duduk di sebelah seseorang, tanpa harus mengukur jarak antara dada dan dunia yang menghakimi,
Semoga kelak kita dicari oleh rindu yang sehat, bukan sekadar diingat ketika sunyi mendesak,
Semoga bahagia itu tak datang dalam bentuk yang harus disembunyikan, dan jika datang diam-diam, semoga ia tetap tinggal lama,
Semoga kita merasa cukup, tanpa harus menjadi versi lain dari diri kita yang seharusnya,
Dan jika akhirnya kita lupa pernah ada satu sama lain, tak mengapa;
Karena ini, seluruhnya, hanya bentuk paling tenang dari sebuah doa yang tahu diri
-Kaderiyen | Yogyakarta, 02 Mei 2025
231 notes
·
View notes
Text
“Yan, mungkin di kehidupan selanjutnya, you will win everything in your life.”
Entah ada atau tidak, aku tak lagi menaruh harap untuk terlahir kedua kali. Jika benar ruh diberi pilihan untuk kembali, biarlah aku memilih untuk tidak menjadi apa-apa. Sebab sekali saja hidup sudah cukup mengajarkan tentang sepi yang tak bisa dibagi, tentang upaya menjadi layak yang tak pernah selesai. Aku tahu tidak semua perjalanan dimaksudkan untuk diulang.
Aku percaya bahwa jiwa menyimpan ingatan, dan sebagian luka terlalu dalam untuk dihapus waktu. Yang kulalui bukan sekadar hari-hari sulit, tapi serangkaian kesunyian yang membentuk keyakinan: bahwa tidak semua kehadiran memang ditakdirkan untuk merasa utuh. Jadi jika esok ada panggilan untuk kembali, mungkin diamku adalah bentuk doa paling jujur—bahwa aku telah cukup menjadi, dan kali ini aku lebih memilih untuk beristirahat sepenuhnya.
20 notes
·
View notes
Text
Sebab Perkara yang Melibatkan Allah, Tak Pernah Berujung pada Jalan Kekecewaan
Barangkali, hidup ini semacam labirin purba—dilukis oleh kabut, diiringi gema tanya yang tak kunjung reda. Langkah terus diayun, meski yang terlihat hanyalah reruntuhan dari janji-janji fana. Namun di balik segala serabut takdir, ada satu perkara yang tak pernah tersentuh ragu: perkara yang melibatkan Allah.
Dia bukan sekadar nama dalam doa-doa gugup, bukan pula sosok samar dalam benak yang gamang. Dia adalah resonansi semesta, gema sunyi yang melampaui logika dan nalar. Ketika dunia menutup pintu, Dia menciptakan celah di langit—lubang cahaya yang hanya bisa dilihat oleh jiwa yang hancur, namun tetap percaya.
Allah bukan penulis kisah dengan tinta tergesa. Dengan sifat Rahman-Nya, disulam takdir itu dengan benang yang tak kasat mata—benang sabar, benang luka, juga benang yang kadang terasa seperti duri, namun perlahan berubah menjadi pakaian paling mulia.
Dengan sifat Rahim-Nya, luka pun sengaja dibiarkan terbuka—agar hati ini senantiasa melunak dalam menyebut asma-Nya. Tidak serta-merta dipulihkan; sebab ada perih yang memang ditakdirkan bertahan lebih lama, agar daging makna tumbuh perlahan di sela-selanya.
Kerap kali langkah dibelokkan dari arah yang diyakini paling tepat. Tapi jalan memutar tak selalu berarti tersesat; bisa jadi itulah bentuk kasih-Nya yang tersembunyi—kompas ilahi yang menghindarkan dari jalan yang berujung pada celaka.
Dengan kelembutan hikmah-Nya pula, penundaan tak berarti penolakan. Ada maksud yang sedang diracik dalam diam, ada rencana yang tengah menunggu di gerbong takdir berikutnya.
Dengan kebijaksanaan-Nya yang Maha Sempurna, kehilangan tak selalu berarti kehampaan. Dalam senyap yang ditinggalkan, ada ruang yang sedang disucikan—disiapkan untuk sesuatu yang lebih utuh, lebih pantas, dan lebih menetap.
Langit, dalam segala ketakterbacaannya, senantiasa tahu kapan harus memutar arah. Sebab tujuan agung tak layak ditempuh dengan tergesa, dan keutuhan tak akan pernah lahir dari sesuatu yang dipaksakan tiba.
Sekali lagi agar yakinmu kembali—Yan, hati yang melibatkan Allah dalam segala perkara, tidak akan pernah berujung pada jalan kekecewaan.
Kaderiyen | Yogyakarta, Mei 2025
42 notes
·
View notes
Text
Sebuah Ritual Menahan Hasrat yang Hanya Mampu Kita Ungkapkan dalam Bentuk Puisi
Ada sesuatu yang tak bisa dinamai menggantung di antara kita— semacam getar purba yang hanya berani hidup di antara jeda, bukan dalam bunyi.
Kita duduk berdampingan, menggenggam waktu yang cair, seolah tiap detik yang lewat adalah ritual menahan hasrat yang tak berani diberi nama.
Lidah ini bukan tak mampu bicara, tapi semesta telah menenunnya dalam jalinan sunyi, di mana keberanian sering kali kalah oleh tatapan orang lain yang tak mengerti.
Aku ingin memanggilmu dalam bahasa yang belum diciptakan, agar tak seorang pun tahu bahwa panggilan itu bermula dari dada yang sesak oleh rindu tak berbentuk.
Tatkala kita tertawa pada hal-hal sepele, aku meraba sorot matamu yang selalu sedikit lebih lama dari seharusnya. Ada sejenis isyarat yang menari di sela-sela kerlingan itu—bukan terang, bukan gelap, tapi semacam senja yang tak tahu harus menepi atau menetap.
Kau paham, bukan? Bahwa dalam keheningan kita, ada desir yang lebih nyaring daripada kata. Tapi kita pandai bersandiwara, memerankan peran sebagai dua manusia yang seolah tak punya cermin, seolah perasaan ini hanya angin yang kebetulan lewat dan tidak bermukim.
Kau dan aku, seperti dua kutub yang saling tarik namun berpura-pura jadi medan biasa. Kita berbicara tentang hal-hal umum, menyusun kata seperti bata pada tembok tinggi yang tak bisa kita daki.
Dalam makan malam yang berulang, dalam tawa yang dibuat-buat ringan, kita menyembunyikan segala yang berat dalam dada. Bukan karena takut, tapi karena tahu: sebab ada bentang yang hanya ramah pada bentuk yang dikenalnya, dan kita bukan salah satunya. Maka kita memilih diam, sebab lagi-lagi, seperti yang pernah aku tuliskan dalam cerita ini, perasaan paling jujur hanya berani lahir dalam sunyi.
Andai suatu hari nanti langit memberi kita keberanian bukan dalam bentuk suara, tapi dalam bentuk kehadiran yang tak perlu dijelaskan—aku ingin kau tahu bahwa setiap kerlingan, setiap jeda, setiap tawa yang tertahan sepanjang aku mengenalmu, adalah bentuk paling rahasia dari puisi-puisi yang kutulis tanpa pena.
Bukan untuk dibaca, tapi untuk dirasa.
Yogyakarta, 11 Mei 2025 | Kaderiyen
26 notes
·
View notes
Text
Bentuk Paling Tenang dari Sebuah Doa yang Tahu Diri
Menyebut namamu adalah bagian dari mantra-mantra sunyi yang tak pernah selesai aku rapal. Ia muncul dari diam, dari sepi yang tak pernah dilahirkan, dari ruang antara yang tak memiliki nama namun tetap kupijak seperti tanah yang kupahami. Mungkin karena rasaku tak butuh sebab untuk muncul; ia hanya ada, begitu saja. Dan aku, seperti biasa, terlalu pasrah untuk menolak kehadirannya.
Sebab barangkali, Tuhan memang Maha Mengerti—hingga Ia tahu, tak semua rasa perlu dilegalkan untuk bisa dimaknai. Rasa yang lahir dari tubuh yang disangkal, dari cinta yang tak bisa disebut, dari keinginan yang tak pernah bisa digenapkan oleh dunia yang gemar mengganjilkan.
Kalau ternyata kita memang saling ingin, saling tahu, namun tak bisa menubuh, maka barangkali Tuhan sedang mengajari kita tentang makna cukup—yang tidak selalu sejalan dengan memiliki. Bahwa rasa bisa besar tanpa rumah, bahwa dua orang bisa saling menyentuh tanpa pernah benar-benar bersentuhan.
Pun demikian, maha baiknya Ia, masih memperkenankan kita menatap satu sama lain dari balik kaca yang tak bisa pecah. Dari dalam kubah sunyi ini, kita tak bisa saling menyentuh, tak bisa bersuara, hanya bisa menggumamkan nama dalam mantra yang berubah menjadi kidung doa. Doa yang tak pernah selesai aku fasihkan, untukmu—dan untuk perasaanku yang tak tahu harus pulang ke mana:
Semoga kita bisa menemukan hangat yang baru, tanpa sedikit pun basah yang menyeka luka yang sudah mengering,
Semoga ada tatapan yang membuat kita tenang, tanpa getir di balik senyum yang harus kita pura-purakan,
Semoga kita dipeluk oleh keberadaan yang tak mengharuskan kita mengecil, tak juga membuat diri merasa sebagai jeda di hidup orang lain,
Semoga pagi kita selalu diiringi langkah yang mantap, bukan karena terbiasa sendiri, tapi karena benar-benar dijemput oleh yakin,
Semoga kita mengenal pulang yang tak bersyarat, yang menerima tanpa perlu menyembunyikan bagian manapun dari diri sendiri,
Semoga kita bisa duduk di sebelah seseorang, tanpa harus mengukur jarak antara dada dan dunia yang menghakimi,
Semoga kelak kita dicari oleh rindu yang sehat, bukan sekadar diingat ketika sunyi mendesak,
Semoga bahagia itu tak datang dalam bentuk yang harus disembunyikan, dan jika datang diam-diam, semoga ia tetap tinggal lama,
Semoga kita merasa cukup, tanpa harus menjadi versi lain dari diri kita yang seharusnya,
Dan jika akhirnya kita lupa pernah ada satu sama lain, tak mengapa;
Karena ini, seluruhnya, hanya bentuk paling tenang dari sebuah doa yang tahu diri
-Kaderiyen | Yogyakarta, 02 Mei 2025
231 notes
·
View notes
Text
Mereka tumbuh dalam sistem nilai yang sudah lama rusak, tapi diwariskan seolah itu firman.
Mereka saling melindungi bukan atas dasar kasih sayang, tapi karena takut konstruksi inti yang mereka anggap suci itu runtuh.
Mereka bukan sekadar individu. Mereka adalah sistem itu sendiri—simpul-simpul dari logika pincang yang telah menjelma jadi daging dan darah.
Dan jika kau mencoba mengurai atau melawannya, kau akan dituduh merusak “kesatuan.”
32 notes
·
View notes
Text
Tuhan, Kita, dan Waktu
Kita hidup di zaman yang menyembah kecepatan. Klik sekarang, kirim sekarang, perbaiki sekarang, sembuh sekarang, sukses sekarang, baik-baik saja sekarang, tanpa sempat benar-benar merasakan luka, kehilangan, atau bahkan harapan. Dan ketika hidup nggak sesuai ritme itu—ketika doa menggema tanpa jawaban dan pintu tetap tertutup—kita panik. Kita putus asa. Kita pikir penundaan itu penolakan. Kita pikir Tuhan nggak dengerin kita. Diamnya Tuhan kita anggap kalau Dia nggak peduli.
Tapi gimana kalau ternyata nggak seperti itu? Gimana kalau penundaan itu justru bagian dari rencana-Nya?
“Tenang aja. Tuhan nggak pernah terlambat.”
Meski mungkin kesannya cuma nasihat umum, kalimat itu terdengar menenangkan. Dan kalau kita resapi sungguh-sungguh, kalimat itu menghadapkan kita pada kenyataan bahwa kita nggak sepenuhnya pegang kendali atas hidup ini. Kita nggak bisa mengendalikan waktu, hasil, atau cara semesta bekerja di balik layar.
Kita mau Tuhan mengurus semuanya dengan cepat. Kita selalu ingin jawabannya. Kita ingin sembuh tanpa pernah benar-benar sakit. Kita ingin semua jelas, tanpa harus masuk ke kekacauan. Tapi, bukan gitu cara kerja-Nya. Tuhan nggak terburu-buru. Itu bikin kita frustrasi setengah mati.
Tapi kalau kita berani berhenti sebentar untuk benar-benar melihat… momen sakit, jeda panjang tanpa jawaban, musim penantian—itu bukan penolakan atau hukuman. Itu arena di mana hal-hal terdalam dari diri kita mungkin sedang dibentuk dan siap dilahirkan: ketabahan, kerendahan hati, iman, kasih. Kita bukan cuma sekadar bertahan aja di masa tunggu itu, tapi melaluinya, kita menjadi sosok yang baru.
Di balik semua itu, mungkin justru ada maksud yang jauh lebih dalam. Mungkin penundaan itu adalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari kehidupan yang perlahan mengikis jiwa. Mungkin patah hati itu disengaja dan langkah kita tertunda cukup lama agar kita sempat tumbuh menjadi seseorang yang benar-benar mampu mencintai dengan benar. Mungkin doa yang belum dijawab itu bukan karena Tuhan lupa, tapi karena hati kita belum siap menerima dampaknya—yang justru menghancurkan kita jika dikabulkan di saat itu juga.
Tuhan bukan mesin otomatis tempat kita masukin harapan lalu keluar jawaban. Tuhan bukan tukang sulap. Dia nggak terikat waktu kita atau tenggat yang kita buat-buat sendiri. Tapi Dia setia. Dan selalu datang di waktu yang tepat.
Kita bukannya dilupakan. Kita hanya sedang dipersiapkan.
Beberapa keajaiban memang butuh waktu lebih lama untuk mekar. Dan beberapa doa baru akan dijawab saat jiwa kita siap—bukan hanya untuk menerimanya, tapi juga untuk menjaganya.
Jadi, tenang aja. Tuhan nggak pernah terlambat.
Dia sedang mengajarkan kita untuk menunggu... tanpa kehilangan arah.
Dan mungkin, ya mungkin... Memang itulah keajaiban yang paling kita butuhkan sejak awal.
119 notes
·
View notes
Text
Luas yang Tak Semua Orang Jangkau
Perempuan itu hanya berdiri di bibir bukit. Tanah di bawah kakinya retak, seperti dunia yang ingin pecah, tapi memilih bertahan. Di hadapannya, sabana terbentang — luas, ramai oleh dengung-dengung tuding dan bisik. Angin kemarau menyisir rambutnya, membawa bau rumput kering, debu, dan kabar-suara yang terpotong di tengah jalan.
Tak jauh, dua babi liar saling tatap — belum saling menyeruduk — moncong mereka menunduk rendah, taring menggertak senyap, siap, waspada . Tanah di antaranya seakan menahan napas.
Tapi perempuan itu, ia tak membawa tombak. Hanya selembar kulit kayu kering, tempat ia menulis pertanyaan yang nyaris menjelma penjelasan, namun setiap huruf yang ia tulis terasa seperti mengkhianati dirinya sendiri.
Dan sabana, seluas apa sekalipun, kadang tak menyediakan ruang bagi selembar kulit kayu . Angin yang datang terlalu cepat menerbangkan, dan membuat kawanan mengira ia sedang melempar kulit kayu itu seperti sedang melempar dusta ke arah mereka.
Tapi, tiba-tiba, “Angin tak pernah memilih arah, tapi semua orang merasa angin melawan mereka,” bisik suara lama menguar dari ingatannya, dan ia percaya itu. Maka ia tetap berdiri, enggan melawan, hanya menatap seluruh arah. Membayangkan adanya suatu tempat — entah di mana — yang tak ramai oleh dengung-dengung tuding dan bisik yang seringkali menyamar sebagai kejujuran. Di mana, keheningan tak perlu dibela, cukup dirasakan. Sebab, sabana tak selalu aman bagi yang tak punya tombak.
Ia tak ingin mengusik kawanan, juga tak ingin mengubah arah angin. Ia hanya ingin tetap berdiri tegak, memeluk keheningannya sendiri — tanpa penjelasan, tanpa alasan — meski kulit kayu di tangannya tetap kosong hari ini.
24 notes
·
View notes
Text
Kalau kebaikan itu terasa hambar hingga munculnya rasa kekecewaan, mungkin bukan karena perbuatannya yang salah, tapi tujuannya lah yang salah arah.
Indramayu, 03 Sya’ban 1445 H.
3 notes
·
View notes
Text
Suatu saat nanti, kamu akan paham mengapa kini jalan ini begitu berliku
Suatu saat nanti, kamu akan mengerti mengapa begitu terjal arah tujuan itu
Nanti, jika kamu sudah sepenuhnya memahami, kamu akan dibuat jatuh cinta kepada setiap skenario indah yang Allah takdirkan untukmu
Kamu akan bersyukur sebab saat ini kamu begitu tangguh berjuang di saat banyak orang lain memilih meninggalkan
Allah yakin kamu mampu, hanya saja kamu yang ragu.
Cirebon, 14 Sya’ban 1445 H
8 notes
·
View notes
Text
Ya Rabb, beri aku kekuatan untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang tak nyaman. Juga beri aku keikhlasan, untuk menerima segala kenyataan yang sering kali tak sesuai harapan.
Indramayu, 07 Syawal 1445 H.
9 notes
·
View notes
Text
Jika sudah waktunya, hujan pun akan turun. Jika sudah masanya, bunga pun akan mekar dan wangi.
Begitulah takdir Tuhan, doa-doa kita di masa lampau akhirnya dikabulkan begitu sudah waktunya.
Bukankah ada banyak hal yang diberikan sebelum kita siap menerimanya, hingga akhirnya berantakan dan hanya menjadi pelajaran.
Sengaja dikabulkan dengan cepat hanya untuk pelajaran. Sabar, jangan terburu-buru menagih doa, ya.
@jndmmsyhd
634 notes
·
View notes
Text
Terkadang hal yang membuatmu sakit hari ini, adalah Ia yang menguatkanmu perlahan. Bahkan seringkali tanpa kamu sadari.
Cirebon, 04 Dzulhijjah 1445 H
6 notes
·
View notes
Text
Tentang luka yang menjadi pelajaran berharga. Karena kesabaran atas semua prosesnya.
Ini memang tidak mudah, tapi yakinlah ini akan selesai. Akan menemui kemenangan dan untuk menemui itu harus terus berjuang, menerima setiap hujaman tajam yang datang.
Betapapun mungkin keadaan hari ini begitu kalut, begitu sukar untuk dilalui, bahkan seolah batu sandungan terus bertebaran tiada henti, teruslah untuk berupaya memiliki keyakinan di dalam hati bahwa,
Bukan tentang "kamu yang paling terang" tapi tentang "sebarapa lama kamu mampu hadir menyala dan tak kunjung padam" meski bertubi tubi rintangan menghadang.
Cirebon, 12 Dzulhijjah 1445 H.
8 notes
·
View notes
Text
Kesedihanmu, tidak perlu semua orang harus tahu. Perih dan letihnya hari-hari yang kamu jalani, juga tidak perlu terpublish agar semua orang melihatnya. Sebab keduanya adalah bagian dari sabar.
Ingat saja, ujian dan cobaan itu semakin diumbar maka akan semakin besar, sebab akan ada banyak angin yang meniup dan membesarkannya. Tenangkanlah gemuruhnya.
@jndmmsyhd
500 notes
·
View notes
Text
Salah satu lawan tersulit dalam perjalanan mengarungi kehidupan ini adalah melawan segala prasangka dari isi kepala sendiri.
Indramayu, 26 Jumadil Akhir 1446 H.
54 notes
·
View notes