endriatjeh
endriatjeh
Endri
30 posts
Pribadi yang masih belajar menjadi lebih baik 
Don't wanna be here? Send us removal request.
endriatjeh · 3 years ago
Text
TENTANG “RUMAH”; Sebuah Pencarian Makna
“Dan Allah telah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal...” (QS. An-Nahl: 80)
You are my home, my home for all seasons... (SIA - Snowman)
Tumblr media
Catatan ini dibuat dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-empat. Angkanya boleh saja kecil tetapi berarti banyak. Bukankah perjalanan panjang selalu diawali oleh langkah-langkah kecil? Bukankah waktu berabad ditempuh dari masa tahun ke tahun? Setidaknya di tahun ke-4 ini telah mengantarkan saya pada suatu “temuan” yang menggembirakan pasca pencarian makna tentang sesuatu yang selama ini wujud dan spiritnya sangat dekat dengan kita.
Catatan ini mengajak kita semua untuk mendefinisikan ulang, menyusun kembali makna perihal sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian. Tentang rumah.
Makna Rumah
Al-Quran memang punya caranya sendiri menjelaskan pada kita tentang hal-hal yang nyata terlihat tapi maknanya sulit tersingkap. Seperti kutipan ayat di atas, pernahkah kita menyelami dalamnya substansi ayat tersebut? Mari kita simak penjelasan dua ahli tafsir berikut.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas, bahwa “Allah mengingatkan akan kesempurnaan nikmat yang Dia curahkan atas para hamba-Nya, berupa rumah tempat tinggal yang berfungsi untuk memberikan ketenangan bagi mereka. Mereka bisa berteduh (dari panas dan hujan) dan berlindung (dari segala macam bahaya) di dalamnya. Juga bisa mendapatkan sekian banyak manfaat lainnya”.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya menerangkan, bahwa “di ayat ini dijuruskan lagi perhatian kita kepada rumah tangga kita sendiri, tempat kita mendidik anak, tempat kita beristirahat, tempat berteduh kehujanan dan bernaung ketika kepanasan. Dan tempat kamu bertekun ibadat kepada Tuhan dan mensyukuri nikmat-Nya.”
Dari dua tafsir tersebut, QS. An-Nahl ayat 80 menegaskan kita beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, rumah sebagai musholla. Rumah adalah tempat ibadah, tempat membangun ketaatan. Rumah adalah poros membangun kedekatan dengan Tuhan, menjadi arena ibadah-ibadah didirikan dan amalan-amalan harian dilaksanakan. Tidak hanya ibadah yang sifatnya vertikal, tetapi juga ibadah horizontal. Rumah adalah wadah sekaligus sarana membangun kesadaran akan religiusitas kehidupan, tidak hanya kesalihan pribadi, tetapi juga kesalihan sosial.
Kedua, rumah sebagai madrasah. Rumah adalah sekolah, tempat mendidik dan men-tarbiyah setiap penghuninya. Tempat melatih dan mentransfer pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan hidup (life skill). Bagi generasi penerus, rumah adalah tempat kehidupan bermula, lingkungan yang pertama kali mereka kenal. Rumah menjadi kawah candradimuka, tempat menggembleng generasi mendatang. Di rumahlah anak-anak tidak hanya menjadi anak biologis, tetapi juga menjadi anak ideologis.
Ketiga, rumah sebagai maskanah. Rumah adalah tempat tinggal, tempat menetap, tempat untuk pulang dan beristirahat dari lelahnya kesibukan seharian. Tempat berteduh di kala hujan, tempat ngadem di kala panas. Rumah adalah pelindung dari berbagai ancaman dan gangguan di luar. Rumah menjadi tempat dimana ketenangan dapat ditemukan, baik ketenangan lahir maupun ketenangan batin. Rumah adalah tempat kita mencari kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan.
Perenungan yang demikian membawa kita pada sebuah kesimpulan, bahwa rumah bukan hanya rupa bangunan, bukan semata-mata susunan kokoh batu bata dibubuhi atap. Rumah tidak melulu dinilai dari keindahan perabotan di dalamnya atau dari seni artistik bangunannya. Ada ‘sesuatu’ yang lebih bernilai dari itu semua. Di sinila pentingnya mendefinisikan ulang tentang rumah, baik secara harfiah maupun maknawi.
Definisi rumah tidak hanya sampai rumah sebagai bait, tetapi jauh lebih dalam dari itu. Rumah adalah maskan, Maskan dekat artinya dengan sakinah yang berarti tenang, tenteram. Maskan bermakna tempat pelipur lara, pelepas rindu. Disinilai rumah tidak cukup dilihat dari fisik bangunan saja, tetapi rumah adalah kehidupan yang hidup di dalamnya. Rumah adalah juga tentang penghuni-penghuninya, kesibukan-kesibukannya, keriuhannya, keheningannya.
Apa dan bagaimana “rumah kita”?
Rumah kita adalah tempat bagi semua bentuk kenyamanan
Rumah kita adalah tempat banyak bongkahan cinta bersemayam
Rumah kita adalah tempat dimana banyak kenangan diciptakan dan tersimpan
Ia adalah galeri kenangan, ruang memori indah kita dibangun
Rumah kita adalah tempat mimpi-mimpi kita disemai dan dipupuk
Rumah kita adalah tempat curhat ternyaman, teraman,
Rumah kita adalah tempat semua lelah menjadi luruh hilang
Rumah kita adalah tempat untuk semua rindu yang membuncah berpulang
Rumah kita adalah tempat kita tumbuh mendewasa
Dan kemudian menua bersama
Rumah kita adalah tempat dimana kita meletakkan hati di sana
Dalam peluk dekap, rumah kita akan selalu aku rindukan
Tidak ada tempat yang lebih baik, selain di rumah.
Tidak ada tempat yang lebih senang menyenangkan, selain di rumah.
Tidak ada tempat yang lebih tenang menenangkan, selain di rumah.
  Dan engkau adalah “rumah”
Sebentuk yang paling indah
Tempat hati dan pikiran menetap
Jariku akan pulang pada genggamanmu
Bibirku akan pulang pada keningmu
Tubuhku kan pulang pada dekapanmu
Sejauh apapun kita berjarak, hatiku tertinggal di sebelahmu
Engkau adalah pusat dari seluruh cinta yang ada di rumah
Entah bagaimana jadinya jika kau bukan rumahku
  Selalu ada pelukan hangat saat pulang ke rumah kita
Selalu ada sungging senyuman menyapa di depan pintu rumah kita
Selalu ada gelak tawa ceria di ruang tengah rumah kita
Selalu ada diskusi hangat dan cerita menggelikan di meja makan kita
Selalu ada aroma yang menyeruak dari secangkir kopi panas di minggu pagi
Menemani kesibukan rutin membereskan mainan yang berantakan tadi malam di rumah kita
Selalu ada panggilan ayah bunda dari malaikat kecil yang terbangun di pagi hari
Selalu ada cinta,
Di rumah kita
  Sejauh apapun kaki pergi melangkah, selalu terasa dekat jika menuju arah pulang
Meninggalkan rumah bukan untuk pergi, ia adalah proses untuk mengulang pulang
Yang berarti mengulang hal-hal yang mungkin tidak selamanya bisa diulang
  Tak ada yang lebih layak disyukuri melebihi empat tahun mengarungi bahtera ini
Mungkin besar badai menghadang, mungkin besar ombak menghantam
Tetapi selama layar tegak terkembang, bahtera ini layak tetap diperjuangkan.
  Terima kasih sudah bersedia dan berlelah-lelah menjadi “rumah” tempat diri ini pulang.
Jaga baik-baik rumah kita, selalu hadirkan kehangatan di dalamnya.
Agar setiap kita selalu merasa nyaman untuk kembali pulang.
Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-4.
Mari merayakan cinta bersama,
di “rumah”.
6 notes · View notes
endriatjeh · 3 years ago
Text
[Jurnal] Urgency and Mechanism of Electronic Evidence Validation in Electronic Court Evidence Rules
Tumblr media
Abstract
This research is trying to explain two legal issues in relation to the submission of electronic evidence in e-litigation evidence system, those are about the urgency of electronic evidence validation in proving a case and how the ideal mechanism of electronic evidence validation at the e-litigation proof stage is. The discourse of the trial by fully using E-Court which includes the proof stage in it has not yet been implemented due to various obstacles, including regulations, availability of supporting facilities and Human Resources (HR). It is important to study this legal issue in order to optimize E-Court so that judicial modernization with information technology approach can be quickly implemented, solely to realize the vision of the Supreme Court and ensure better access to justice in the future. The results of this research conclude that the electronic evidence validation process in e-litigation is a vital stage that cannot be ruled out in order to determine the validity of an electronic evidence and how important digital forensic procedures in the electronic evidence validation process.
Keywords: validation, electronic evidences, e-litigation
Abstraksi
Penelitian ini berusaha menjelaskan dua isu hukum dalam kaitannya dengan pengajuan bukti elektronik dalam sistem pembuktian e-litigasi, yaitu mengenai urgensi validasi bukti elektronik dalam pembuktian  suatu perkara dan bagaimana mekanisme ideal validasi bukti elektronik pada tahap pembuktian secara e-litigasi. Wacana persidangan dengan E-Court Sepenuhnya yang mencakup tahap pembuktian di dalamnya saat ini belum terlaksana karena berbagai kendala, di antaranya regulasi, ketersediaan sarana penunjang dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kajian atas isu hukum ini penting dilakukan dalam rangka mengoptimalkan E-Court  sehingga modernisasi peradilan dengan pendekatan teknologi informasi lebih cepat terwujud semata-mata untuk mewujudkan visi Mahkamah Agung dan menjamin akses terhadap keadilan menjadi lebih baik di masa mendatang. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa proses validasi bukti elektronik dalam pembuktian e-litigasi merupakan tahap vital yang tidak dapat dikesampingkan guna menentukan keabsahan sebuah bukti elektronik serta pentingnya prosedur digital forensic secara ketat dalam proses validasi bukti-bukti elektronik tersebut.
Kata kunci: validasi, bukti elektronik, e-litigasi
Available at:
https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/issue/view/7
0 notes
endriatjeh · 3 years ago
Text
Sejarah Organisasi Kehakiman dan Peradilan
(dikutip dari buku Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, John Gilissen, Frits Gorle, 2005, PT Rafika Aditama Bandung, hlm. 336-346)
Tumblr media
1.      Organisasi Kehakiman
Pada bagian akhir abad-abad pertengahan dan di zaman-zaman modern ini organisasi peradilan tampaknya sangat ketat. Sampai abad XVIII, banyak pengadilan masih saja dijumpai, yang telah tumbuh dari institusi-institusi negara Perancis dan dari periode feodal, seperti pengadilan-pengadilan gereja, pengadilan-pengadilan feodal, di samping institusi-institusi baru yang didirikan oleh raja-raja yang mulai memperluas kekuasaan mereka. Dengan cara begini raja-raja Perancis dan penguasa-penguasa di negeri Belanda mulai mengeliminasi pengadilan-pengadilan feodal sejak abad XIII, atau setidaknya memasukkan pengadilan-pengadilan tersebut di bawah kekuasaannya. Namun evolusi ini berbeda satu daerah dengan daerah yang lain.
a)      Institusi Pengadilan Gereja
Pada abad-abad pertengahan tampaknya pengadilan-pengadilan gereja mempunyai wewenang yang luas. Pengadilan-pengadilan gereja selain itu telah banyak memberikan sumbangsihnya bagi pembentukan pengadilan modern baik di dalam perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana, dengan mengambil alih sebagian hal itu dari hukum Romawi dan menganut pembagian tugas modern antara para penegak hukum tersebut.
Uskup ini pada prinsipnya hakim biasa dalam gereja. Sejak abad XV betapapun juga ia didampingi oleh seorang atau lebih diaken keuskupan. Yang disebut terakhir nampaknya secara berangsur-angsur memperoleh kewenangan sendiri; pada zaman Karolinga pada umumnya mereka tidak mengikutsertakan uskupnya dan mengadili sendiri para anggota-anggota diakonatnya, bagian dari keuskupan. Di sini uskup bertindak sebagai hakim dalam tingkat banding.
Pada zaman Karolinga, terutama di Eropa Barat Laut tampil sinode parokhial, uskup atau wakilnya (diaken keuskupan, dekan) mengumpulkan pada kesempatan visitatio (kunjungan) semua anggota parokhi. Di dalam pertemuan ini, maka para testes synondales (saksi-saksi sinodal) harus menyebutkan di antara anggota-anggota parokhi, yang melakukan crimina ecclesiastica (kejahatan-kejahatan gereja), seperti pencabulan, perzinahan, mengumpat Tuhan dan lain-lain. Pemberian kesaksian oleh saksi-saksi sinodal berlaku sebagai barang bukti. Uskup menjatuhkan vonis, biasanya tidak memberi kesempatan kepada pihak terdakwa untuk membela diri. Prosedur ini yang nampaknya berasal dari kaum Germania, baru hilang pada abad XIII. Namun sinode-sinode tersebut tetap ada, akan tetapi hanya sebagai badan pemeriksa perkara dan penuntut umum.
Pada abad XII para uskup berupaya untuk merebut jabatan kehakiman dari diaken-diaken parokhi, oleh karena biasanya hal itu lolos dari otoritas mereka. Berkat para paus mereka memperoleh kembali kewenangan mereka sepenuhnya, namun mereka melimpahkan wewenang tersebut kepada kaum ulama yang menspesialisasikan dirinya dalam bidang ini yang dikenal dengan nama “official”. Para official tersebut diangkat dan diberhentikan oleh para uskup.
Di dalam daerah keuskupan senantiasa diangkat seorang official dan sebagai kekecualian kadang-kadang dua orang official. Acapkali uskup mengangkat pula seorang official untuk suatu daerah terpencil, misalnya untuk daerah Kamerijk di Brussel.
Official ini bersidang sebagai hakim tunggal. Ia dapat pula dibantu oleh orang-orang yang ikut duduk dalam persidangan (bijzeters) yang menguasai hukum dengan baik (iurispreriti), akan tetapi yang disebut terakhir ini hanya mempunyai suara sebagai seorang penasihat. Sejak abad XIII para official ini pada umumnya adalah yuris-yuris yang memperoleh pendidikan universiter.
Penyelenggaraan tatanan official ini mencapai suatu kemajuan pesat pada abad XIII dan XIV. Official ini didampingi oleh pejabat-pejabat kehakiman, yakni sigillator atau penyimpan cap segel (zegel bewaarder) dari official, receptor actorum, yang mencatat perbuatan-perbuatan hukum yang diajukan kepada official dan registrator atau panitera yang mencatat dan mengatur jalannya persidangan. Promotor, yang baru tampil pada abad XIV, mengusut dan menyidik kejahatan-kejahatan dan menuntut tersangka di depan official. Jadi dengan demikian ia menjalankan dalam perkara-perkara pidana suatu peranan yang dapat dibandingkan dengan fungsi penuntut umum masa kini. Organisasi-organisasi pengadilan modern pada hakikatnya sebagian besar adalah peniruan pengadilan-pengadilan gereja abad pertengahan.
Official ini mempunyai kewenangan, baik dalam urusan-urusan perdata, maupun pidana. Di samping peradilan biasa atau peradilan sanggah-menyanggah (contentieuse rechtspraak), ia juga melaksanakan peradilan sukarela dalam arti yang luas.
Biasanya diperkenankan untuk mengajukan pemeriksaan dalam tingkat banding kepada uskup, dan jika perlu, kepada Paus. Yang disebut terakhir ini menugaskan Curia-nya untuk menyelesaikan proses dalam tingkat banding tersebut, kemudian juga dikenal dengan sebutan Rota. Peradilan gereja tertinggi ini kehilangan kekuasaannya pada abad XVI demi kepentingan kongregasi-kongregasi. Namun pada tahun 1908 ia menerima kembali kewenangannya melalui keputusan Paus Pius X.
Dalam upaya menumpas bid’ah kaum Albigensa maka pada tahun 1232 Paus Gregorius IX telah membentuk sebuah pengadilan khusus yakni Officie Sacrum (Pengadilan Suci), yang diserahkan kepada orde kaum Dominikan untuk menyelenggarakannya. Lebih dikenal dengan nama ‘Inquisitio’, maka pengadilan ini telah memainkan peranan yang sangat penting selama periode reformasi gereja.
Cara melaksanakan proses peradilan di pengadilan-pengadilan gereja sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan biasa atau yang disebut juga pengadilan kaum awam. Prosedur yang dipergunakan di sini sebagian besar diambil dari hukum acara hukum Romawi, yaitu extre ordinem. Hal ini telah sangat mempengaruhi hukum pada akhir abad pertengahan, sehingga dengan demikian telah banyak membantu pembentukan hukum acara masa kini. Oleh sebab itu hukum Kanonik telah menjadi mata rantai penting antara hukum acara Romawi dan hukum acara yang berlaku sekarang.
Penyelenggaraan peradilan di dalam perkara-perkara perdata semata-mata dilakukan secara tertulis. Pihak penggugat harus merumuskan gugatannya di dalam sebuah libellus (secara harfiah berarti buku), yang mengajukannya kepada official, yang memanggil pihak tergugat. Kemudian sang official ini membaca libellus tersebut di hadapan para pihak; pihak tergugat diperkenankan mengajukan ‘eceptiones’ (tangkisan-tangkisan dan upaya-upaya hukum lainnya). Setelah pemeriksaan ini selesai dilakukan maka terjadilah kontrak yuridis melalui litis contestatio (sanggah menyanggah dalam persidangan). Sekarang para pihak harus mengajukan bukti-bukti atas pernyataan mereka masing-masing (pengakuan-pengakuan saksi-saksi, surat-surat, dan dokumen-dokumen lainnya). Dalam hal ini tidak terdapat cukup bukti maka official dapat menyuruh melakukan pengangkatan sumpah sebagai cara untuk mencapai sebuah putusan (putusan yang mengakhiri perkara).
Dalam perkara-perkara pidana proses pemeriksaan perkara tetap berlangsung untuk waktu yang lama melalui pengadilan. Proses pidana tersebut sedikit-banyak berjalan seperti apa yang diterapkan di dalam perkara-perkara perdata (tatanan akuisator). Sejak abad XII, muncul apa yang dikenal dengan prosedur inkuisitorial, di mana hakim melakukan pemeriksaan (inquisitio) begitu ia mengetahui adanya kejahatan. Jadi, di dalam hal ini ia bertindak ex-officio’. Pemeriksaan inkuisitorial tersebut diterapkan terutama terhadap kaum bid’ah. hal ini pada hakikatnya telah menyebabkan diterapkannya tatanan penyiksaan (quaestio), suatu institusi yang diserap dari hukum pidana Romawi dan yang berdasarkan sebuah piagam Paus Innocentius IV dinyatakan berlaku bagi kaum bid’ah pada tahun 1252. Tatanan penyiksaan tersebut telah pula menguasai cara-cara pembuktian perkara-perkara pidana bagi pengadilan-pengadilan biasa sejak abad XV sampai dengan akhir abad XVIII.
b)      Susunan dan Organisasi Kehakiman pada Periode Feodal
Susunan dan organisasi pengadilan-pengadilan dari zaman sebelum ini terutama dalam mallum di setiap pagus atau bagiannya tampaknya tidak lagi ada yang tersisa pada periode feodal ini. Namun memang dijumpai apa yang dikenal dengan scabini yang pada zaman Karolinga menggantikan rachimburgu, tampaknya tetap berlanjut pada diri hakim-hakim perkotaan (schepenen) akhir abad pertengahan.
Pada abad X, XI, dan XII, tampaknya peradilan juga terpecah-pecah. Sama halnya dengan kekuasaan, akibatnya ialah bahwa di bagian akhir abad pertengahan untuk memperoleh hak-haknya atau untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan, acapkali ia terlilit oleh proses persidangan yang berlangsung bertahun-tahun dan yang menelan biaya yang cukup besar bahkan hasilnya pun sulit diprediksi.
Sebagai prinsip umum berlaku iudicium parium, vonisnya dijatuhkan oleh pares (yang setingkat dan setara), seorang bangsawan hanya boleh diadili oleh kaum bangsawan, anggota kelas menengah oleh kaum kelas menengah, malahan seorang budak oleh rekan-rekan golongan orang-orang budak. Dengan demikian, terbentuklah sejumlah besar majelis-majelis pengadilan, yang dapat disederhanakan menjadi jenis-jenis tertentu.
Pengadilan-pengadilan tuan-tuan tanah terdiri dari anggota-anggota wilayah tuan tanah tertentu, setiap tuan tanah memiliki pengadilannya masing-masing, yakni yang dikenal dengan curia. Institusi ini berwenang untuk mengadili perselisihan-perselisihan yang terjadi antara anggota-anggota yang berdiam di wilayah tuan tanah yang bersangkutan, terutama mengenai sengketa-sengketa pertanahan dan kewajiban-kewajiban yang disebut terakhir.
c)      Pengadilan-Pengadilan Kota
Pengadilan-pengadilan kota adalah institusi peradilan yang paling tersebar luas di daerah-daerah Belgia sejak abad XIII. Setiap kota mempunyai pengadilan kota, yang biasanya terdiri dari tujuh pejabat pengadilan yang disebut Scabini. Mereka adalah penduduk kota yang pada umumnya diangkat oleh pemimpin kota; jadi mereka adalah hakim-hakim rakyat yang tidak memperoleh pendidikan hukum secara khusus. Mereka memeriksa perkara atas perintah pemimpin kota atau wakilnya (baljuw, schout, mier, amman, dan sebagainya).
Pengadilan-pengadilan kota tersebut hampir selalu diberi wewenang ‘yustisi tinggi’ artinya wewenang umum mengadili perkara-perkara perdata dan pidana (bahkan wewenang menjatuhkan hukuman mati), kecuali perkara-perkara yang telah dikhususkan untuk kekuasaan-kekuasaan hukum lainnya (seperti pengadilan-pengadilan gereja, pengadilan-pengadilan feodal/ tuan tanah).
d)      Pengadilan-pengadilan Kerajaan
Sebagai santiran iudicium parium adalah kekuasaan yudikatif sang raja. Raja, misalnya Raja Perancis, sejak abad XIII menganggap dirinya selaku wakil Tuhan di muka bumi ini dan adalah sebagai sumber segala keadilan dan kepatuhan (Rex est fons omnismodi iustitiae). Namun biasanya ia mengadakan konsultasi dengan penasihat-penasihatnya malahan ia pun dapat melimpahkan kekuasaan hukum kepada mereka (justice deleguee). Selain itu ia dapat pula menahan sebagian kekuasaan hukum ini bagi dirinya sendiri (justice retinue) atau melakukan pemeriksaan banding terhadap putusan pengadilan-pengadilan kerajaan tingkat rendah.
Perkembangan pengadilan-pengadilan kerajaan secara fungsional berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat. Di Perancis raja menjalankan kekuasaan yudikatif di istananya (curia regis) dikelilingi oleh pemilik-pemilik tanah besar, sejak abad XII dan XIII.juga para tahun tanah melakukan hal ini di wilayahnya. Pada akhir abad XIII, maka curia Perancis tersebut satu dan lain karena begitu banyak perkara yang harus diselesaikan, dibagi ke dalam tiga jenis institusi yang spesialistis ialah Conseil dua Roi, sejenis Dewan Pemerintah, Chamber des Comptes atau kamar Komptabilitas untuk mengawasi pendapatan dan pengeluaran dan Parlemen untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan.
Sampai dengan abad XVIII parlemen Paris merupakan institusi terpenting kekuasaan hukum Raja Perancis. Dengan dianeksasinya daerah-daerah tuan tanah oleh kerajaan atau ditaklukkannya wilayah-wilayah baru, maka raja membentuk parlemen-parlemen baru menurut pola parlemen Paris maupun dijadikannya institusi-institusi daerah-daerah menjadi parlemen-parlemen. Dengan demikian terbentuklah parlemen-parlemen di Toulouse, Grenoble, Bordeaux, Diyon dan untuk Vlaanderan di Doornik serta kemudian di Dowaai.
Pada tahun 1552 Raja Henry II mengadakan unifikasi parsial bagi institusi-institusi kehakiman dengan mengintrodusir pengadilan presidial (sieges presideaux) menggantikan pengadilan-pengadilan kerajaan yang lama.
e)      Dari Hakim-Hakim Rakyat menuju Hakim-Hakim Profesional
Di dalam abad XIII, seperti halnya sebelumnya, hukum dijalankan oleh “hakim-hakim rakyat”, artinya hakim-hakim tanpa latar belakang yuridis.
Sejak abad XIV sampai XVIII, jabatan hakim diselenggarakan oleh hakim-hakim profesional, yakni yuris-yuris atau legis-legis, yang pada umumnya adalah lulusan universitas.
f)       Jabatan advokat
Sejak abad XIII telah dijumpai advokat-advokat. Mereka dijuluki “Taelman”, dalam bahasa Perancis ‘avant-parlier” atau ‘amparlier”. Istilah advocatus pada saat itu diberi arti pelindung atau wali. Baru sejak abad XV, maka yuris yang memberikan nasihat dan mewakili para pihak disebut advokat.
Sejak saat itu pada jabatan advokat diberikan pula perhimpunan dimana para advokat ini berorganisasi. Kemudian sejak abad XVI untuk jabatan advokat disyaratkan suatu latar belakang pendidikan universitas. Selain itu mereka pula memegang monopoli untuk berproses di sidang pengadilan.
g)      Notariat
Notariat lahir di Italia. Sejak abad XII para notaris ini diangkat oleh kaisar atau oleh paus, untuk dapat membuat akte-akte di daerah yang luas. Mereka antara lain bekerja di kota-kota pelabuhan bsar, seperti Genoa, Pisa, dan Milan. Akte-akte mereka dianggap sebagai Instrumenta Publica (akte-akte umum/ publik) dan mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat yang disebut probatio plena (bukti penuh).
Di daerah-daerah lain, Eropa Barat seperti misalnya di negeri Belanda notariat berkembang aga lambat. Sampai dengan abad XIII akte-akte umum dibuat oleh pegawai-pegawai pengadilan kota. Sejak akhir abad XIII ditemukan notaris-notaris yang diangkat oleh seorang uskup. Seperti halnya di Perancis dan di Negara Roma Suci Jerman, kemudian diangkat pula notaris-notaris kerajaan dan kekaisaran di istana-istana raja atau di pengadilan-pengadilan feodal.
2.      Peradilan
Nampaknya, peradilan telah banyak membantu dalam pembentukan hukum modern, pertama-tama mengenai kekuasaan pengadilan-pengadilan memberikan makna kepada preseden-preseden; dan kedua, karena pengaruh putusan-putusan pengadilan rendah dan arrest-arrest pengadilan yang lebih tinggi terhadap yang disebut pertama, satu sama lain pada penyusunan hukum-hukum kebiasaan dan pada ajaran hukum.
a)      Peranan Preseden-preseden
Sepanjang masa, nampaknya preseden-preseden telah memainkan suatu peranan dalam berbagai daya-kerja pengadilan-pengadilan. Bilamana sebuah pengadilan telah berhasil menyelesaikan suatu kesulitan tertentu, maka ia akan berupaya menerapkan penyelesaian yang sama, setiap kali kepadanya diajukan kasus yang sejenis. Untuk itu dapat dikemukakan dua buah alasan penting: memudahkan hakim dalam mengambil keputusan pada satu sisi dan menjamin adanya kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mencari keadilan (justitiabelen). Bukankan dari sebuah pengadilan diharapkan agar senantiasa menyelesaikan persoalan hukum yang sama menurut pola penyelesaian yang sama?
Di dalam common law Inggris otoritas preseden-preseden ini adalah sangat besar. Kendatipun paradigma ciri khas preseden-preseden ini adalah kekuatan mengikatnya, yakni dengan apa yang dikenal dengan stare decisis (tetap berpaut pada apa yang telah yang diputuskan) baru pada abad XIX telah diterima secara definitif otoritas kasus-kasus (peristiwa-peristiwa yang telah diputuskan) telah demikian besarnya sejak Bracton (abad XIII).
Di Perancis dan di negeri Belanda prinsip stare decisis tidak pernah diakui secara resmi. Peradilan pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi, seperti parlemen-parlemen di Perancis dan dewan-dewan justisi di Belgia dan Belanda, bagaimanapun juga cukup stabil, sekalipun arrest-arrest hanya semata-mata mengikat pihak-pihak yang bersengketa di dalam sidang pengadilan. Namun, betapapun juga otoritasnya dapat dirasakan dalam peradilan di negara-negara yang disebut di atas. Sejumlah besar ahli hukum, pada umumnya kaum ‘arrestis’, telah menekuni hal ini dengan jalan menerbitkan arrest-arrest yang dikeluarkan dan memperbincangkannya.
b)      Arrest de Reglement
Di Perancis parlemen-parlemen dan pengadilan-pengadilan tinggi yang berwibawa telah banyak membuat putusan-putusan yang dikenal dengan arrest de reglement. Ini adalah arrest-arrest yang mengikat setiap orang (erge omnes), sedangkan arrest-arrest biasa hanya mengikat para pihak dalam perkara. Nah, arrest de reglement ini pada hakikatnya adalah semacam undang-undang, yang harus diindahkan oleh setiap orang yang berada dalam yurisdiksi parlemen, kecuali jika hal ini dibatalkan oleh Conseil dua Roi.
Isi dari beberapa arrest de reglement masih saja ditemukan di dalam hukum perdata saat ini; misalnya penarikan kembali hibah selama hidup, dalam hal adanya kelahiran anak setelah kawin bertahun-tahun. Aturan hukum tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam reformation des coutumes tahun 1580 dan melalui jalan ini tersurat di dalam kitab undang-undang hukum perdata tahun 1804 Belgia.
c)      Putusan Tingkat Banding
Otoritas arrest-arrest pengadilan tinggi terhadap pengadilan-pengadilan yang lebih rendah, terutama adalah akibat putusan yang diambil dalam tingkat banding. Namun, selama sebagian besar abad-abad pertengahan pemeriksaan dalam tingkat banding tidak dikenal. Dalam era pembuktian-pembuktian irasional sudah barang tentu tidak terpikirkan diadakannya permohonan pemeriksaan perkara dalam tingkat banding atas putusan, yang konon diambil oleh Tuhan sendiri. Baru kemudian diperkenankan mengajukan pemeriksaan banding terhadap putusan hakim tingkat pertama, dalam hal salah satu dari pihak yang bersengketa menuduh sang hakim telah mengambil sebuah “putusan palsu”.
Di dalam abad XIV dan terutama dalam abad XV raja-raja menerapkan tatanan pemeriksaan perkara dalam tingkat banding pada pengadilan-pengadilan tinggi yang telah dibentuknya. Dengan demikian di Perancis misalnya parlemen-perlemen mengajukan pemeriksaan dalam tingkat banding terhadap hampir semua vonis perkara-perkara perdata yang diputuskan oleh pengadilan-pengadilan negeri lokal yang besar sekali jumlahnya.
d)      Peradilan Terhadap Sumber-Sumber Lain
Pengaruh peradilan terhadap sumber hukum-sumber hukum lain adalah sangat besar. Dan pada waktu pengadaan pencatatan hukum-hukum kebiasaan, nampaknya para penyusun catatan tersebut memanfaatkan hal ini dengan leluasa dan untuk jumlah yang besar. Reformasi hukum-hukum kebiasaan Perancis, dalam periode kedua abad XVI, sebagian besar telah terselenggara berdasarkan peradilan Parlemen Paris. Ajaran hukum-hukum kebiasaan telah pula memanfaatkan peradilan dalam membahas hukum-hukum kebiasaan; sesungguhnya telah ditemukan secara terus-menerus rujukan-rujukan terhadap vonis-vonis dan arrest-arrest pengadilan. Selain itu, peradilan pun telah banyak membantu dalam proses romanisasi hukum baik di Perancis, Jerman, dan di negeri Belanda.
3.      Pemberian Alasan-Alasan bagi Vonis-Vonis dan Arrest-arrest
Pada umumnya di bawah Ancient Regime biasanya vonis-vonis dan arrest-arrest tidak ada apa yang disebut “la motivation des decision de justice” (pemberian motivasi terhadap vonis-vonis pengadilan).
Sesungguhnya sampai dengan abad XIII putusan-putusan pengadilan jarang sekali dirumuskan susunannya secara tertulis. Namun, setelah itu hal tersebut, makin hari makin banyak dibuatkan catatan-catatan yang disimpan dalam register-register, akan tetapi hal-hal ini hanya mencakup nama-nama para pihak yang bersengketa, objek perselisihan, terkadang meliputi pula hasil-hasil pemeriksaan perkara dan argumen-argumen para pihak, sedangkan alasan-alasan putusan pengadilan tidak dicantumkan. Meskipun satu dua kali ditemukan putusan-putusan yang diberi motivasi pada abad XIII ini, namun yang dijumpai itu kurang lengkap, sehingga kemudian tidak lagi ada alasan-alasan yang diberi bagi vonis-vonis dan arrest-arrest. Bahkan sejak tahun 1344 ordonansi-ordonansi tertentu melarang anggota-anggota Parlemen Perancis untuk melecehkan kerahasiaan jalannya persidangan dan musyawarah para hakim dalam mengambil putusan dengan jalan mengumumkan dasar dari vonis-vonis dan arrest-arrest ini.
Tidak sedikit alasan-alasan yang dikemukakan mengapa diajukan keberatan terhadap motivasi putusan-putusan tersebut. Parlemen-parlemen dan banyak pula dewan-dewan yustisi memiliki kedaulatan dalam memutuskan perkara berdasarkan pendelegasian wewenang raja, dan oleh karena itu tidak dapat menjustifikasi putusan-putusan mereka. Dikhawatirkan bahwa melalui pemotivasian vonis tersebut akan memunculkan kembali pengajuan sengketa ke pengadilan. Namun, pengadilan-pengadilan tingkat rendah dapat diundang untuk memberitahukan alasan-alasan terhadap putusan mereka kepada dewan justisi dalam hal pengajuan pemeriksaan banding, akan tetapi prosedur ini lebih merupakan kekecualian.
Reaksi terhadap praktik ini berkobar pada abad XVIII. Bahkan di beberapa negara tertentu telah menjadi suatu keharusan diberikannya motivasi atas putusan-putusan pengadilan, antara lain di Italia, Portugal, dan bagian-bagian tertentu negara Jerman. Namun, di beberapa propinsi Belgia dan di Perancis pengadilan-pengadilan tinggi menyatakan agar arrest-arrest mereka tidak perlu dimotivasi dan bahkan publikasi arrest-arrest mereka tidak diperkenankan kecuali dengan izin mereka.
Pada tahun 1789 pemberian alasan-alasan melalui apa yang disebut Cahiers de doleances dinyatakan wajib. Sebuah dekrit yang diterbitkan oleh Sidang Pembuat Konstitusi, dari tanggal 16 sampai dengan 24 Agustus 1790, menetapkan bahwa setiap putusan hakim harus memuat les motifs qui auront determine les jugements. Dan menurut sebuah undang-undang yang dikeluarkan tanggal 20 Agustus 1810 bahwa setiap arrest yang tidak diberi dasar-dasar motivasi adalah batal.
Sejak saat itu kewajiban motivering ini dianggap sebuah jaminan hakiki terhadap kesewenang-wenangan peradilan. Oleh sebab itu Pasal 97 Undang-Undang Dasar Belgia menetapkan bahwa: “setiap vonis harus diberi alasan-alasan...”. Pengadilan kasasi telah membatalkan banyak putusan dan arrest karena melecehkan atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya kewajiban pemberian motivasi ini.
1 note · View note
endriatjeh · 4 years ago
Text
TERUNTUK SI MALAIKAT KECIL: Sisa-Sisa Kenangan, Serpihan Munajat & Nasihat
Tumblr media
Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
___
Tulisan ini dibuat dalam rangka menutup ruang lupa tentang memori di ulang tahun pernikahan yang ke-tiga. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah dua tulisan sebelumnya mengulas tentang pernikahan dan LDR yang saya jalani, kali ini saya pikir waktunya menceritakan tentang satu sosok mungil yang sudah dua tahun ini mewarnai hari-hari perjalanan rumah tangga kami.
Khawla namanya. Shafiya Khawla El-Batrisyiya lengkapnya. Nama ini pun dipilih setelah melalui diskusi yang panjang, dan tentu setelah mendengar banyak masukan. Begini kira-kira maknanya.
Shafiya, istri Rasulullah. Wanita yang terkenal cantik parasnya sampai-sampai Aisyah ra. pernah dibuat cemburu. Di saat gundah gulana karena cacian dan hinaan masyarakat Jahiliyah sekitar, Rasulullah sejukkan hatinya bahwa pada Ummul Mukminin yang satu ini berkumpul kemuliaan nasab, keislaman yang baik dan ketinggian akhlak.
Khawla, the female version of Khalid bin Walid. Dalam sebuah peperangan melawan pasukan Romawi, Khalid bin Walid, panglima perang saat itu bertanya tentang seorang prajurit yang sedang berjibaku di medan perang melawan musuh. “Siapa ksatria itu? Demi Allah, dia tidak peduli dengan keselamatannya”. Dialah Khawla binti Azwar, seorang wanita yang bersembunyi dalam baju zirah dengan pedang terhunus di tangan.
Batrisyiya, diambil dari bahasa Arab, artinya cerdas cendikia. Jika mengutip Buya Hamka, orang disebut cerdas kalau akalnya tajam, buah pikirannya baik, cepat mengambil kesimpulan karena paham maksud, terang otaknya, luas pandangannya, jauh tiliknya. Orang dikatakan cerdik pandai karena pemahamannya luas, penyelidikannya dalam, bacaannya banyak. Tidak canggung bergaul dengan segala lapisan karena banyak yang diketahui, karena ada pengetahuan dalam suatu masalah, sedia bertanggung jawab.
Setelah timbang sana sini, akhirnya nama dengan tiga suku kata inilah hasilnya. Karena hasil kompromi, jadi ya agak panjang karena mengakomodir “ingin” nya dua pikiran orang tuanya. Tentu saja tersirat banyak doa dalam nama, ya demikianlah doa, banyak semoganya.
Lahir pada 21 Maret 2019 di kota kecil berhawa sejuk, lereng Dieng, Wonosobo. Kehadirannya ibarat keajaiban kecil bagi kami, disambut dengan penuh ketakjuban, syukur dan suka cita. Bagaimana tidak, saat ia lahir bundanya masih menjalani magang cakim saat itu, saya sendiri di Medan, di tengah kondisi orang tuanya yang masih harus LDR-an dan banyak keterbatasan; sebuah kondisi yang sungguh sangat tidak ideal. Pertama tentu anugerah ini membahagiakan, menjadi pelipur lara. Tetapi juga menjalani kehidupan rumah tangga dalam kondisi yang demikian ditambah lagi membesarkan anak seorang diri, jauh dari sosok ayah tentu tidak mudah.
Jika boleh memutar waktu kembali, rasa- rasanya sulit untuk kembali melukiskan apa yang ada di pikiran dan benak saya dan bundanya sebagai orang tua. Semenjak mengandung Khawla, masa-masa penantian selama 9 bulan lamanya hingga detik-detik kelahiran boleh dibilang masa-masa yang mendebarkan, apalagi ini anak pertama. Ada banyak was-was, menuntut siaga setiap saat. Saya pikir apa yang dilukiskan Buya Hamka sebagai berikut cukup mewakili itu semua.[1]
“Telur yang kecil di dalam sperma (mani) itu melekat dalam rahim si ibu. Ditakdirkan Tuhan tidak akan tanggal lagi sampai waktu dia lahir. Dan selama dia melekat dalam rahim itu dia akan menghisap makanan yang masuk ke dalam rahim itu, sehingga sejak dia melekat dia telah menghisap darah ibunya untuk makanannya yang pokok. Tambah sehari si janin tabah membesar, berendam dalam darah ibu dan menghisap makanan ibu. Sehingga sejak mulai mengandung telah terasa oleh si ibu bagaimana anak itu menghisap, sehingga si ibu sendiri menjadi lemah, menjadi berubah selera. Si ibu makan, minum, menelan dan mencerna dan semua yang dimakan, diminum, dan dicerna itu disaring untuk dijadikan makanan oleh si janin. Terutama bisa si janin telah mulai tumbuh tulang, setelah melalui asa jadi nuthfah (air segumpal), ‘alaqah (darah segumpal) sampai kepada jadi mudhghah (daging segumpal) dalam masa 4 bulan sepuluh hari. Kemudian tumbuhlah tulangnya, dan tulang yang telah mulai tumbuh ini pun lebih banyak lagi meminta bahan makan, sehingga tenaga ibunya benar-benar diambilnya, sehingga si ibu jadi lemah. Malam-malam si ibu dengan bangga membukakan perutnya dan memperlihatkan kepada suaminya bahwa anak yang dalam kandungan mulai “nakal”, mulai keras gerak-geriknya. Begitu dia payah, namun dia senyum. Dia payah, tetapi dia senyum: payah mengandung, senyum mengingat bahwa tidak lama lagi dia akan memangku.
Sembilan bulan lamanya kondisi yang demikian dialami Bundanya, setiap hari, setiap saat. Saya sering bersedih hati jika mengingat masa-masa ini, ada perasaan bersalah yang besar, di saat-saat seharusnya kehadiran fisik begitu dibutuhkan, justru saya tidak di sana, saya tidak ada di sisi bundanya saat itu.
Hamka melanjutkan.[2]
“Maka datanglah bulannya, sekitar sembilan bulan dan mulailah terasa si anak akan lahir. Si anak akan memandang dunia nan luas dan si ibu menceringir dan merintih kesakitan, namun senyum tidak juga hilang dari bibirnya. Di saat itulah si ayah gelisah, dada berdebar, duduk tidak senang, berjalan keluar dan ke dalam, ke hilir dan ke mudik. Sambil setiap sejenak melihat jamnya, menunggu berita dari doktor atau bidan, sambil berdoa, sambil berseru dalam batin, selamatlah kiranya istriku melahirkan anakku. Maka dari jauh-jauh kedengaranlah anak menangis! Tandanya dia sudah lahir. Tidak berapa lama dukun atau bidan pun keluar dengan muka berseri menyatakan bahwa si buyung atau si upik sudah lahir dengan selamat. Si ayah terharu, air matanya berlinang. Ia kejar istrinya, dilihatnya anaknya sudah tidur di samping istri dan si istri masih saja tersenyum walaupun dia baru saja terlepas dari suatu kepayahan besar. Si ayah mulailah surut rasa harunya, lalu diciumnya kening atau pipi istrinya dan si istri pun mendambakan dirinya membiarkan diciumnya pula si anak yang tadi mulai merasakan hangat-dinginnya dunia, mulai terlancar dari perut ibunya menangis keras. Sekarang dia tidur nyenyak sekali, dan di pun menerima cium ayahnya.”
Demikianlah kira-kira detik-detik pada malam tanggal 21 Maret 2019 pukul 21.30 WIB. Mendengar berita yang mengejutkan saat subuh, dilanjutkan dengan perasaan kalut tak terhingga sepanjang perjalanan Medan-Wonosobo tak mungkin terulang untuk saya alami lagi, dan kekhawatiran itu terbayar ketika mendengar tangis bayi mungil di bangsal saat itu. Suara itu sesuatu, haru bahagia campur aduk. Tuhan memang punya skenario terbaiknya untuk kita.
___
Berikan mereka kasih sayangmu,
Tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
___
Hamka melanjutkan.
“Sesudah itu akan mulailah kepayahan yang baru, yaitu kepayahan mengasuh anak. Kepayahan mendengarkan tangisnya, kepayahan mencuci kotorannya, kepayahan memandikannya, kepayahan atas kepayahan, namun hatinya tetap senang. Kira-kira dua bulan sesudah dia dilahirkan barulah dia mulai memberikan obat penawar, atau obat jerih bagi kepayahan ibu itu. Dia mulai tersenyum.
Menyusukan dan membesarkan: seluruh daging dan seluruh kekuatan tulang diberikan, yang menjelma dalam air susu. Hari dan jiwa terpadu dalam pemeliharaan: semua diberikan dan semua dikurbankan dengan segala senang hati dan dengan segenap kegembiraan. Tak pernah bosan, tak pernah benci dan tak pernah mengeluh.”
Apa yang digambarkan Hamka di atas persis seperti ungkapan peribahasa Arab, “Sungguh jika bukan karena harapan dan cita-cita, tidak akan seorang ibu menyusui anaknya”. Pasca kelahirannya, banyak hal berubah. Benar adanya, kehadiran anak adalah tali pengikat hubungan manusia. Pun dalam keseharian, seakan semua sepakat bahwa kepentingan dan kebutuhan anak adalah prioritas. Ini yang saya pikirkan sebagai efek kasih sayang kepada anak tadi.
Tantangan terbesar setelah mengandung dan melahirkan anak ialah membesarkan dan mendidiknya. Hal ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi semua orang tua. Dalam konteks ini, kita perlu menginsafi dan mencermati apa yang disampaikan Buya Hamka tentang kehidupan rumah tangga.
“Islam menjadikan rumah tangga sebagai asa atau sendi pertama dari berdirinya suatu bangsa ataupun suatu agama. Pergaulan dengan ibu dan bapak di waktu kecil itulah yang dinamai dalam Ilmu Pendidikan dengan lingkungan pertama, atau yang disebut dalam bahasa Arab al-bai’atul ulaa”, sebelum manusia memasuki dua lingkungan lagi, yaitu lingkungan kawan bersekolah dan lingkungan sepermainan. Maka lingkungan pertamalah, ibu dan bapak yang meninggalkan kesan yang dalam sekali pada jiwa anak. Asuhan di waktu anak masih kecil itulah yang sangat penting menentukan hidup di hari dewasa kelak. Didikan yang diterima, permainan, pergaulan di masa kecil, tergambar dan tidak akan terlupakan selama-lamanya. Asuhan di waktu kecil itulah bibit pertama yang akan menumbuhkan rumah tangga bahagia dan dari rumah-rumah tangga inilah kelak akan tersusun masyarakat.”
Hari demi hari dalam membesarkan anak, dengan penuh pengharapan dan cita-cita itulah, perlu kita iring-iringkan pula banyak doa. Patutlah kita bermunajat dengan munajatnya Para Nabi dan Rasul ketika mendoakan keturunannya.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan ayat 74).
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya menjelaskan bahwa seorang hamba yang insaf belum merasa cukup kalau sekiranya ahli rumahnya, anaknya dan istrinya belum merasai kehidupan yang demikian pula. Seorang ‘Ibadurrahmah senantiasa bermohon kepada Tuhannya agar istri-istri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat jerih pelerai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapapun saleh dan hidup beragama bagi seorang ayah, belumlah dia akan merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya. Seorang suami pun demikian pula. Betapa pun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dari istri, hati suami pun akan luka juga. Keseimbangan kemudi dalam rumah tangga adalah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup muslim adalah hidup jamaah, bukan hidup yang nafsi-nafsi.
Semua kita yang beranak berketurunan merasa sendiri bahwa inti kekayaan ialah putra-putri yang berbakti, putra-putri yang berhasil dalam hidupnya. Putera berbakti adalah obat hati di waktu tenaga telah lemah. Apakah hasil itu? Dia berilmu dan dia beriman, dia beragama dan dia pun dapat menempuh hidup dalam segala kesulitannya, dan setelah dia besar dewasa tegak sendiri dalam rumah tangganya. Inilah anak yang akan menyambung keturunan. Dan inilah bahagia yang tidak habis-habisnya. Si ayah akan tenang menutup mata jika ajal sampai.
Sebagai penutup dari doa itu, dia memohon lagi kepada Allah agar dia dijadikan imam daripada orang-orang yang bertakwa. Setelah berdoa kepada Allah agar istri dan anak menjadi buah hati, permainan mata karena takwa kepada Allah. Maka ayah atau suami sebagai penanggung jawab menuntun istri dan anak menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menjadi imam, berjalan di muka sekali menuntun mereka menuju Jalan Allah.
Demikian penjelasan Hamka tentang salah satu doa untuk anak-anak kita.
Nabi Ibrahim, Ayah Para Nabi mendoakan keturunan-keturunannya sebagai berikut:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (QS. Ash-Shaffat ayat 100).
Nabi Ibrahim mengharapkan agar Allah memberinya keturunan. Karena sudah lama dia kawin, namun anak belum juga ada. Bertahun-tahun lamanya dia menunggu putra, tidak juga dapat. Ternyata kemudian bahwa istrinya yang bernama Sarah itu mandul. Dengan persetujuan anjuran istrinya Sarah itu, dia kawin lagi dengan Hajar, dayang dari Sarah, karena mengharapkan dapat anak. Dalam usia 86 tahun barulah permohonannya terkabul. Hajar melahirkan anak laki-laki yang beliau beri nama Ismail.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim ayat 40)
Dari Nabi Ibrahim, kita ketahui lahir keturunan Ishak yang muncul berpuluh Nabi-nabi dan Rasul-rasul; termasuk Yakub, Yusuf, Musa, Harun, Yusya’, Ilyasa, Ilyas, Zulkifli, Ayyub, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya dan Isa dan lain-lain dari Anbiya Bani Israil. Dan dari keturunan Ismail, datanglah penutup segala Nabi (khatimul anbiya), dan yang istimewa dari segala rasul (sayyidil mursalin), Muhammad saw. inilah keberkahan doa Nabi Ibrahim as.
Setelah membangun Kabah, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 128 Nabi Ibrahim bersama Ismail berdoa:
 رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Wahai Rabb kami, Jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah taubat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang."
Pun dengan Nabi Zakaria as., ia berdoa kepada Allah swt:
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS. Ali Imran: 38).
Nabi Musa as. berdoa kepada Allah swt.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al Ahqaf ayat 15)
Terakhir, patutlah kita dengarkan sepenggal doa yang dipanjatkan Istri Imran ketika melahirkan Maryam yang termuat dalam QS. Ali Imran ayat 36.
وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَ��ُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk".
Istri Imran memohon kepada Tuhan agar anak itu diperlindungi. Dan kelak sebab dia perempuan, moga-moga kalau ada keturunannya, maka keturunan itu pun moga-moga kiranya diperlindungi Tuhan juga dari segala perdayaan dan pengaruh setan yang terkutuk, yang dirajam oleh kutuk Tuhan ke mana saja pun dia mencoba memperdayakan.
Demikianlah selayang pandang doa-doa untuk anak cucu keturunan kita sebagaimana termaktub dalam Al-Quran, yang tentu saja selayaknya kita pedomani dalam mendoakan keturunan-keturunan kita.
Setelah memanjatkan doa-doa kepada Allah swt. layaklah kita kutip nasihat yang disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya tentang modal menjalani kehidupan di dunia; prinsip-prinsip yang patut menjadi bekal dan diingat-ingat hingga dewasa nanti sebagaimana tersurat dalam Al-Quran.
“Wahai anakku,  janganlah engkau persekutukan dengan Allah.”
Maksudnya janganlah mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah, jangan berlaku syirik.
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah bertambah payah”.
Ayat ini menggambarkan bagaimana payah ibu mengandung, payah bertambah payah. Payah sejak dari mengandung bulan pertama, bertambah payah tiap bertambah bulan dan sampai di puncak kepayahan di waktu anak dilahirkan. Lemah sekujur badan ketika menghajan anak keluar. Maka hormati dan sayangi orang tua yang telah banyak berkorban dan bertaruh nyawa melahirkan kita.
“Dan memeliharanya dalam masa dua tahun”.
Yaitu sejak melahirkan lalu mengasuh, menyusukan, memomong, menjaga, memelihara sakit senangnya. Sejak dia masih terlentang tidur, sampai berangsur pandai menangkup, sampai berangsur bersingsut, sampai berangsur merangkak, sampai bergantung berangsur berjalan, bersiansur, tegak dan jatuh dan tegak, sampai tidak jatuh lagi. Dalam masa dua tahun. Sungguh sebuah proses yang lama dan menyita tenaga.
“Wahai anakku! Dirikanlah shalat dan menyuruhlah berbuat yang ma’ruf dan mencegahlah berbuat yang mungkar, dan sabarlah atas apapun yang menimpa engkau.”
Sembahyang adalah tiang agama. Dia membentuk pribadi agar berani menghadapi hidup dengan berbagai aneka persoalannya. Dan harus berani menyerukan yang ma’ruf, berani mencegah yang munkar, dan mesti tabah. Sabar!
“Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri”.
“Dan sederhanakanlah dalam berjalan.”
Jangan cepat-cepat mendorong-dorong, takut kalau-kalau lekas payah. Jangan lambat tertegun-tegun, sebab itu membawa malas dan membuang waktu di jalan, bersikaplah sederhana.
“Dan lunakkanlah suara”.
Jangan bersuara keras tidak sepadan dengan yang hadir. Apatah lagi jika bergaul dengan orang ramai di tempat umum. orang yang tidak tahu sopan-santun lupa bahwa di tempat itu bukanlah dia berdua dengan temannya itu saja yang duduk.
Adab sopan santun dalam pergaulan diperingatkan pula; jangan memalingkan muka dari manusia, hadapi orang dengan sepenuh hati. Jangan berjalan dengan sombong di muka  umi. Bertindaklah dengan serba sederhana, jangan kesusu dan jangan lamban, dan suara hendaklah dilunakkan. Semuanya ini adalah akhlak, menyuruh orang rendah hati tinggi cita-cita. Bukan rendah diri sehingga hina. Dan bukan pula melambung ke atas berlebih dari ukuran iri yang sebenarnya.
Banyak hal yang ingin Ayah dan Bunda nasihatkan, tidak cukup lembaran-lembaran kertas ini memuatnya.
Semoga menjadi wanita yang hebat ya Anak, yang baik paras dan budi, yang berani, yang gigih berjuang, yang bijak bestari. Hidup ini ibarat berjalan di tengah taman bunga yang berduri, meskipun mata kita melihat indahnya bunga-bunga bermekaran ditambah semerbak wangi, namun hati-hati pula melangkahkan kaki. Memang banyak harapan yang terbeban di pundak, memang hidup demikian adanya. Besar pengharapan, besar tanggungan beban.
Terima kasih Khawla sudah hadir mewarnai hari-hari Ayah Bunda. Terima kasih sudah menjadikan rumah mungil kita menjadi layaknya sebuah potongan kecil dari surga. Kekallah selalu sebagai memori indah bagi kami. Jika sudah dewasa nanti, ingat-ingat pesan-pesan ini.
___
Kau busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah.
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
(Kahlil Gibran, SANG NABI)
-----------------
[1] Lihat Tafsir Al-Azhar Jilid 9 halaman 6652 tentang QS. Al-Ahqaf
[2] Lihat Tafsir Al-Azhar Jilid 9 halaman 6653 tentang QS. Al-Ahqaf
17 notes · View notes
endriatjeh · 4 years ago
Text
[Jurnal] Indonesian Legal Pluralism For State Administrative Judges: Between Challenges And Opportunities
Tumblr media
Abstract
This research  is explaining  the challenges and opportunities for the resolution of administrative disputes by administration judges as executors of the judicial authority to examine, decide and resolve disputes in the reality of legal pluralism in Indonesia. To analyze the legal issues, this research presents the concepts of legal pluralism and then sees how the implications for the implementation of the authority of administration judges in the process of dispute resolution. This study is important because law enforcement and justice by the judiciary in the midst of legal pluralism have provided challenges and opportunities for judges in order to ensure court decisions are able to answer legal needs and provide substantive justice for justice seekers.
Keywords: Legal pluralism, Judge, Administrative Court
Abstraksi
Penelitian ini berupaya menjelaskan tantangan dan peluang penyelesaian sengketa administrasi oleh hakim tata usaha negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam kaitannya dengan realitas pluralisme hukum di Indonesia. Untuk menganalisis isu hukum tersebut, penelitian ini terlebih dahulu mengemukakan konsep-konsep pluralisme hukum dan kemudian melihat bagaimana implikasinya bagi pelaksanaan kewenangan hakim tata usaha negara dalam proses penyelesaian sengketa. Kajian ini penting dilakukan mengingat penegakan hukum dan keadilan oleh institusi pengadilan di tengah-tengah pluralisme hukum telah memberikan tantangan dan peluang tersendiri bagi hakim dalam rangka menjamin putusan-putusan pengadilan mampu menjawab kebutuhan hukum dan memberikan keadilan substantif bagi masyarakat pencari keadilan.
Kata kunci: Pluralisme Hukum, Hakim, Peradilan Tata Usaha Negara
Available at:
https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/view/154/30
0 notes
endriatjeh · 4 years ago
Text
Literasi Bencana: Merawat Memori Kolektif Tentang Kewaspadaan
Sebuah Persembahan Mengenang 16 Tahun Tsunami Aceh
“Di dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang malam terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran: 190)
Tumblr media
Merawat Ingatan, Menolak Lupa
Tentu masih lekat dalam ingatan kita peristiwa pagi hari tanggal 26 Desember 2004 silam. Matahari baru sepenggalan naik, aktivitas masyarakat baru akan dimulai. Ada yang sedang bersantai di rumah, beberapa orang berolahraga dengan berlari-lari kecil di jalanan yang sepi, bahkan masih ada yang duduk bercengkerama di warung kopi. Semua menjalani rutinitas keseharian sebagaimana minggu pagi biasanya. Dalam kondisi yang demikian, tak dinyana tsunami datang melanda.
Sejarah peradaban manusia mencatat itulah bencana tsunami terbesar yang pernah terjadi dalam kurun waktu satu abad. Menelan korban jiwa hingga lebih dari 200.000 orang, belum lagi korban luka-luka dan mereka yang hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Tsunami itu menyebabkan kerugian materiil tak terhingga, banyak yang kehilangan tempat tinggal, infrastruktur seperti akses jalan dan jembatan terputus, akibatnya banyak daerah terisolir untuk sekian lama tanpa ada pasokan makanan. Kerugian dalam musibah tersebut diperkirakan mencapai angka US$ 4.5 miliyar. Sekjen PBB saat itu, Koffi Anan menyebutkan peristiwa ini sebagai ‘tragedi kemanusiaan abad ini’.[1]
Seakan semua terbalik 180 derajat. Gelombang tsunami pagi itu cepat datangnya, cepat pula perginya. Dalam jangka waktu yang sekejap itu, ia telah meninggalkan ketakutan dan trauma mendalam. Banyak dari kita kehilangan anggota keluarga, ada yang hanya tinggal sebatang kara. Korban ratusan ribu jiwa tentu bukan angka yang kecil.
Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan satu pulau yang berjarak 167 km dari pantai barat Aceh, Simeulue. Memori kebencanaan yang baik di masyarakat Simeulue telah menyelamatkan banyak jiwa saat tsunami 2004 terjadi. “Smong” sebagai satu istilah untuk gelombang pasang laut yang kehadirannya dapat menelan korban jiwa dan merusak rumah-rumah penduduk, telah dikisahkan secara turun temurun. Atas ingatan tersebut, masyarakat Simeuleu merespon tsunami 2004 dengan tepat. Jika gempa besar terjadi kemudian setelahnya terlihat air laut surut jauh ke tengah lautan, yang harus dilakukan adalah bergegas menjauh dari bibir pantai dan berlari ke bukit mencari dataran tinggi. Apa yang terjadi di Simeulue kemudian membuka mata dan pikiran kita tentang arti penting literasi bencana.
Pemahaman mengenai tanda-tanda akan terjadinya suatu bencana dan bagaimana masyarakat harus merespon hal tersebut sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di daerah berpotensi bencana alam tinggi. Buktinya di Simeuleu, literasi yang baik tentang mitigasi bencana melalui tradisi lisan (oral) dalam keseharian masyarakat telah menyelamatkan banyak jiwa. Diketahui dari sekitar 70.000 penduduk, hanya 3 orang yang dilaporkan meninggal dunia saat tsunami 2004 melanda.[2]
Menurut catatan sejarah, pulau Simeulue juga dilanda tsunami pada tahun 1907, kisah bencana tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu, hingga menjadi kearifan lokal. Kearifan lokal tentang kesiapsiagaan dan kewaspadaan menghadapi bencana. Kearifan lokal tersebut dijaga dalam literasi lisan yang baik, warga membuat syair dan cerita-cerita pengantar tidur anak. Syair nandong (dendang) seringkali dimainkan dengan alat musik dan ditampilkan dalam acara-acara kesenian masyarakat.[3]
Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, Maheya mihawali fano me singa tenggi, Edesmong kahanne (Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segeralah cari tempat kalian yang lebih tinggi, itulah smong namanya). Itulah contoh sepenggal syair nandong. Masyarakat Simeulue telah berhasil merawat memori kolektif tentang kewaspadaan melalui literasi lisan, sayangnya memori masyarakat pesisir Aceh tentang “ie beuna” tidak dijaga sebaik memori masyarakat Simeuleu dengan “Smong”nya. Ada mata rantai literasi yang terputus dan sekarang tugas kita untuk menyambungnya kembali.
Literasi Bencana dan Peran Kita
Dalam rangka berupaya merawat ingatan bersama, atau dalam istilah saya “merawat memori kolektif”, dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya ialah dengan literasi bencana. Literasi bencana atau literasi kebencanaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kapasitas individu (atau masyarakat dalam konteks yang lebih luas) dalam membaca, memahami dan menggunakan informasi yang diperoleh dari berbagai media untuk membentuk respon mengikuti instruksi-instruksi secara tepat dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan dari bencana.[4]
Sebagaimana konsep literasi yang dikembangkan Rumoh Literasi, aktivitas literasi itu sendiri setidaknya mencakup 4 hal;  baca, tulis, diskusi, aksi.[5] Dalam konteks literasi bencana di Aceh yang selama ini kita amati, bentuk literasi kedua terakhir dapat dikatakan sudah cukup baik.
Dalam model diskusi (literasi oral), mengingat masyarakat kita yang masih sangat kuat dalam tradisi lisan, maka literasi bentuk ini juga ikut terdukung dengan baik. Penyebaran informasi dengan pola komunikasi mulut ke mulut (word of mouth) memang mampu membuat pesan tersampaikan secara lebih utuh dan personal. Pola ini pula yang mampu membuat “Smong” bertahan lama di masyarakat Simeulue. Sosialisasi mitigasi bencana melalui proses sosialiasi interpersonal dapat digolongkan ke dalam model ini. Namun demikian, model literasi oral perlu didukung dengan sumber daya manusia yang mumpuni agar pesan tersampaikan secara tepat dan akurat.
Lain halnya dengan literasi bencana model aksi. Pasca tsunami Aceh 2004, perhatian pemerintah dan pemerintah daerah terhadap edukasi kebencanaan meningkat tajam. Sebagai contoh, pembangunan berbagai infrastruktur fisik pengedukasian bencana seperti Museum Tsunami, pembangunan berbagai tugu/ monumen peringatan tsunami, simulasi gempa dan tsunami, dan penyediaan escape building.
Pola literasi aksi ini banyak diperankan oleh otoritas Pemerintah mengingat untuk melaksanakannya membutuhkan sumber daya yang besar. Museum, diorama dan monumen/ tugu peringatan dapat menjadi salah satu sarana efektif mendorong literasi bencana karena media visual diklaim lebih mampu menanam pesan lebih baik ke dalam ingatan pembaca. Terkait literasi aksi ini terdapat beberapa catatan penting yang perlu digaris bawahi misalnya, pemerintah perlu segera menyiapkan regulasi yang mengatur mengenai sistem mitigasi dan evakuasi bencana, mempersiapkan aparatur dan infrastuktur seperti escape building belum merata di semua daerah, dan pentingnya membudayakan mitigasi bencana kepada masyarakat guna membentuk masyarakat sadar bencana melalui pendidikan dan simulasi bencana secara kontinu dan terus menerus.[6]
Namun demikian, literasi bencana tidak cukup melalui literasi oral dan literasi aksi saja. Justru literasi dengan model baca tulis jauh memegang peranan penting. Di Aceh, literasi bencana dalam bentuk baca tulis masih tergolong sangat lemah. Dari pengalaman Rumoh Literasi sendiri, salah satu faktor penyebabnya ialah kurang tersedianya sarana literasi seperti buku, ensiklopedi atau media baca lainnya. Penerbitan bacaan edukasi bencana masih terbatas pada bentuk sosialiasi, minim sekali buku yang terbit dalam bentuk sastra dan sejarah bencana, dan masih sedikit penulis yang menaruh perhatian pada isu tersebut. Dalam era litigasi digital seperti sekarang ini pun, ketersediaan informasi perihal bencana yang dapat diakses dan dibaca publik masih tergolong belum terencana dengan baik. Literasi bencana perlu didukung dengan memperkaya khazanah kebencanaan itu sendiri.
Keempat pola literasi tersebut sangat mempengaruhi satu dengan lainnya. Semakin intens literasi dilakukan, maka proses edukasi masyarakat akan semakin cepat. Di sinilah peran kita dibutuhkan. Semua pihak diajak turun tangan, mengambil peran sekecil apapun. Berharap pada pemerintah tentu tidak salah, tetapi diam berpangku tangan tidak melakukan apa-apa juga bukan sebuah pilihan tepat. Dalam konteks komunitas literasi, fokus membangun budaya literasi bencana bisa jadi pilihan tepat. Ini bukan hanya semata-mata bertujuan meningkatkan literasi masyarakat, namun lebih dari itu, tujuan akhirnya adalah proses membentuk karakter masyarakat yang sadar bencana dan paham mitigasi bencana.
Komunitas Rumoh Literasi yang berfokus pada isu sastra dan sejarah, mengambil peran dengan memperbanyak koleksi bacaan sehingga masyarakat “dekat” dengan sumber-sumber bacaan tentang sastra dan sejarah mitigasi bencana. Untuk itu Rumoh Literasi membangun perpustakaan komunitas (puskom), meskipun harus diakui koleksi bacaan mengenai topik-topik kebencanaan masih sangat minim. Selain dengan pendekatan diskusi egaliter di antara sesama anggota komunitas yang dikemas dalam Ngopi (Ngobrol Pintar), Rumoh Literasi juga mengadakan kegiatan lapak buku dan klub baca. Peran kecil ini kami lakukan semata-mata sebagai bentuk perhatian terhadap perbaikan budaya literasi di masyarakat kita, khususnya di Aceh Barat.
Semoga dengan ikhtiar yang tidak seberapa itu, kita berharap masyarakat semakin teredukasi secara baik mengenai mitigasi bencana yang secara perlahan membentuk karakter masyarakat yang sadar  dan waspada bencana. Semakin baik literasi kebencanaan, tentu semakin banyak pula jiwa yang terselamatkan. Dalam masyarakat dengan tingkat literasi tinggi sekalipun, proses edukasi kebencanaan membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi masyarakat dengan tingkat literasi yang belum begitu baik. Tentu ini bukan pekerjaan instan, tetapi setiap ikhtiar kecil itu patut kita apresiasi dan kita dukung. Ke depan, kerja-kerja budaya dari penulis dan pegiat literasi di bidang kebencanaan harus terus kita dukung. Semua pihak harus terlibat untuk memperkaya khazanah kebencanaan.
Akhir kata, patutlah kita merenung sejenak. Setiap musibah yang datang menimpa datang dari Tuhan, tentu kita berbesar hati dan ikhlas menerimanya. Namun sebagai ikhtiar kemanusiaan, kita perlu berupaya meningkatkan kesadaran pentingnya pengetahuan mengenai mitigasi bencana. Tentu kita berharap kisah pilu tsunami 16 tahun lalu itu tidak kembali terulang, sebuah pelajaran yang sangat mahal harganya, butuh sebuah musibah seperti tsunami 2004 lalu untuk mendapatkan kesadaran betapa pentingnya mitigasi bencana dipahami masyarakat kita. Tsunami Aceh telah membuka mata kita untuk belajar dan memberi perhatian pada literasi bencana dengan pengorbanan yang tidak kecil jumlahnya. Tinggal kita saja, mau atau tidak, banyak atau sedikit mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa tersebut. Mari kita rawat memori kolektif tentang pentingnya kewaspadaan bencana dan literasi bencana adalah kuncinya.
Wallahu a’lam bisshawab.
[1] Lihat https://endriatjeh.tumblr.com/post/136248880154/animals-warning-system-ketika-teknologi-alam, diakses pada 17 Oktober 2020. Baca juga berbagai berita terkait tsunami Aceh 2004.
[2] Lihat https://nationalgeographic.grid.id/read/131966259/smong-cerita-lokal-yang-selamatkan-penduduk-simeulue-dari-tsunami?page=all, diakses pada 17 Oktober 2020.
[3] Lihat https://kumparan.com/acehkini/kisah-smong-simeulue-1907-meredam-kematian-di-bencana-berikutnya-1sZtY2JLaNF, diakses pada 18 Oktober 2020.
[4] Zein Mufarrih Muktaf, “Studi Literasi Bencana dalam Perspektif Ilmu Komunikasi”, dipublikasikan di Konferensi APIK PTM, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2017, hlm. 5. Diakses pada 18 Oktober 2020.
[5] Komunitas Rumoh Literasi mengusung jargon “baca, tulis, diskusi, aksi”. Baca pula Platform Rumoh Literasi pada link berikut https://endriatjeh.tumblr.com/post/166219297934/rum%C3%B4h-literasi-sebuah-gagasan.
[6] Lihat Teuku Dadek. 2017. Tsunami Kasih; Catatan Peristiwa Yang Disangka Kiamat”. Yayasan PeNA.
2 notes · View notes
endriatjeh · 5 years ago
Text
TENTANG LDM; Catatan-Catatan Dari Ruang Rindu
Tumblr media
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (Doa Nabi Ibrahim, QS Ibrahim ayat 37)
Tidak ada yang istimewa dari tulisan ini. Hanya rangkuman dari banyak catatan lepas di note saya. Benar kata orang, yang tertulis itulah yang tertinggal, selebihnya menguap bersama waktu dan kenangan. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk itu, melawan lupa. Bahwa ada satu pengalaman hidup yang kita lalui, layak untuk kita bagi agar orang lain yang sedang atau akan mengalaminya bisa mengambil pelajaran tanpa harus melaluinya terlebih dahulu. Itulah maksud pengalaman adalah guru yang paling berharga, kita mendapatkannya secara cuma-cuma di saat orang lain telah bersusah payah melewatinya.
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah penggalan kisah nubuwat penuh ibrah dari Bapaknya para Nabi, Rasul Ulul Azmi, Ibrahim a.s.
Di tengah padang pasir yang gersang dan tandus, matahari terik menyengat, seekor unta sedang berjalan menyusuri lembah Makkah. Di punuknya ada Ibrahim dan Siti Hajar yang secara bergantian meggendong bayi merah mereka, Ismail. Mereka melihat ada bukit berwarna merah, di atasnya berdiri bekas rumah tua dari dahan-dahan kayu yang sudah mengering. Di sana langkah unta berhenti.
Sebelum perjalanan panjang itu dimulai, Ibrahim menerima titah Allah, bahwa istri dan anaknya diperintahkan dibawa ke Makkah, sebuah lembah yang saat itu masih sepi, kering kerontang, tak ada peradaban manusia. Sewajarnya seorang ayah, Ibrahim dilema antara iba dan taat, bagaimana hati seorang ayah yang gembira baru mendapatkan seorang anak setelah menunggu bertahun lamanya kemudian harus berpisah? Terlebih lagi istri dan anaknya itu ditempatkan di lingkungan yang demikian?
Namun demikian penuh ikhlas dan taat,  Ibrahim melaksanakan perintah Tuhan. Baginya ini pengabdian, meskipun bagi Hajar ini seperti pengasingan. Ibrahim dengan berat hati meninggalkan istrinya yang baru melahirkan dan bayi yang baru dilahirkan. Berbekal kurma dan air seadanya, Ibrahim meninggalkan keduanya. Hajar tahu, kondisi ini tidak akan mudah dihadapi. Haruskah ia dan bayinya diperlakukan demikian hanya karena Sarah cemburu kepada mereka? Hajar menangis agar suaminya tidak meninggalkan mereka berdua di tempat itu. Ibrahim tidak menggubris, dia segera beranjak untuk melanjutkan perjalanan. Dalam suasana penuh haru, sedih dan gelisah, Hajar bangkit mengejar, menghampiri Ibrahim, lalu bertanya, “Hendak kemanakah wahai Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apapun?”
Hajar mengulang pertanyaan itu sampai beberapa kali. Lama Ibrahim terdiam. Sampai kemudian Hajar lanjut bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian? “Iya”, seketika Ibrahim menjawab. Tuntas sudah rasa ragu dalam dirinya, tidak ada yang bisa diperbuat, dengan lirih Hajar berkata “Jika demikian, maka Allah tidak akan menelantarkan kami”. Ia ikhlas, haqqul yakin akan janji Allah yang pasti akan tertunaikan.
Ibrahim bergegas, unta tunggangan kembali mengatur langkahnya. Yakin dengan apa yang Allah janjikan, Hajar mengangkat tangannya dan berdoa. Demikian pula dengan Ibrahim, ia bermunajat kepada Allah sebagaimana diabadikan Al-Quran dalam Surat Ibrahim ayat 37. Meskipun berat bagi Ibrahim, ia tahu Allah telah menjamin jiwa Hajar dan anaknya Ismail di tengah tandusnya gurun pasir ini. Sementara itu Hajar hanya bisa pasrah, hampir  tidak ada yang mampu menenangkan hatinya di tempat itu selain wajah bayi mungil Ismail.
Itulah awal mula rentetan peristiwa bersejarah. Disebabkan peristiwa tersebut sekarang kita dapat mencicipi Zamzam yang airnya jernih, menyehatkan dan tidak pernah kering. Kita mengenal rukun Sa’i antara Shafa dan Marwa dalam ibadah haji dan umrah, hingga ibadah penyembelihan Qurban saat Idul Adha. Ratusan tahun berikutnya di tempat tersebut pula, dari keturunan Ismail a.s muncul seorang Nabi Akhir Zaman, penutup para nabi (khatimul anbiya) dan yang istimewa dari segala Rasul (Sayyidil Mursalin), baginda Nabi Muhammad saw. Inilah keberkahan doa Nabi Ibrahim.
Dari Ibrahim dan Hajar, kita belajar. Sebagai seorang ayah yang penyayang, ada rasa tak tega Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya, menempatkan mereka di tengah kesulitan. Demikian pula Hajar, betapapun ia tahu konsekuensi ditinggalkan di tengah gurun pasir yang tandus bersama seorang bayi yang masih merah itu, Hajar bersabar menghadapinya. Keduanya paham, apa yang dijanjikan Allah tidak akan pernah teringkar. Kemuliaan memang tidak datang tanpa pengorbanan. Pengorbanan Ibrahim, Hajar, dan Ismail kemudian menjadi tonggak sejarah dalam peradaban manusia. Dari Ibrahim dan Hajar kita petik ibrah tentang makna ikhlas. Ikhlas menerima ujian, ikhlas menjalani janji-janji Tuhan. Sabar dan taat. Percaya dan yakin akan pertolongan Allah.
LDM = Long Distance Marriage
LDM, hubungan jarak jauh pada pernikahan. Apapun alasan yang melatarbelakanginya, setiap pasangan mungkin pernah mengalami, untuk sementara atau bahkan dalam waktu yang lama. Alasannya beragam, ada yang LDM karena tuntutan kerja, kondisi keluarga/ orangtua, pendidikan, bahkan pandemi pun dapat menjadi sebab banyak pasangan harus berjauhan.
Bagi saya pribadi, kisah Nabi Ibrahim di atas dapat memberikan kita gambaran bagaimana idealnya LDM dijalani. Meski dalam konteks kita dilatarbelakangi alasan yang jauh berbeda, tetapi poin pentingnya adalah bagaimana sebaiknya LDM harus disikapi. Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan Ibrahim begitu tahu bahwa ia harus meninggalkan istri dan anaknya di suatu tempat yang ketika itu belum berperadaban hanya berbekal makanan seadanya? Mari kita kontekskan dengan kondisi kekinian.
Sejak menikah, saya sudah harus menjalani LDM dengan pasangan karena kami berdinas di daerah yang berbeda. Saya harus merelakan eksistensi jarak dalam hubungan kami. Jujur saja, ini keadaan yang tidak menyenangkan, tetapi kami bersepakat konsekuensi itu harus ditempuh karena kami dengan kesadaran penuh memilih profesi yang ditekuni saat ini. Awalnya berat, seiring waktu akhirnya kita belajar untuk berdamai dengan keadaan. Kami paham waktu berputar, semua akan dilalui. Meskipun demikian, tetap saja tidak mudah menjalaninya. Perasaan itu bertambah-tambah setelah Khawla lahir, hanya hitungan hari sudah harus saya tinggalkan lagi. LDM kami jalani hingga kurun waktu hampir dua tahun.
Bagi saya, dalam posisi sebagai suami sekaligus ayah dalam kondisi LDM tidaklah ringan. Ada nuansa kebatinan tersendiri yang menjadi beban perasaan dan pikiran. Rasa rindu karena jauh, gelisah karena tak tahu harus berbuat apa, khawatir keluarga kenapa-kenapa, semuanya campur aduk jadi satu.
Ditengah kegalauan yang demikian, dalam satu kesempatan saya sempat tumpahkan kegelisahan saya itu dalam satu tulisan:
Hampir-hampir tak ada lagi yang menarik di dunia ini selain orang berdua ini, Khawla dan bundanya. Semua bahasan menarik selalu tentang mereka, semua berita terpenting selalu tentang mereka. Dari sekian banyak isu bermunculan, mereka adalah trending topic.
Dan diantara mereka, saat ini saya seorang ayah. Sayangnya jadi seorang ayah tidak ada sekolahnya. Sepanjang waktu adalah belajar, kapanpun dimanapun, dalam kondisi bagaimanapun. Kurikulumnya dinamis, karena anak beranjak usia seiring waktu, dan hebatnya lagi dia dibesarkan pada zaman yang berbeda. Kelasnya ruang-ruang hidup anak, tak ada pilihan bagi seorang ayah selain masuk, melihat, menyimak, mengamati, menghirup udara kelas dimana anak beraktivitas. Tidak ada guru, hampir-hampir otodidak. Selain petuah-petuah orang tua, cerita-cerita ringan dari kawan, diskusi santai rumah tangga, hampir-hampir semua harus dipahami sendiri. Ini kelas akselerasi Bung, kalah cepat Anda tertinggal. Anak bertambah besar tidak menunggu ayahnya siap. Ayah sudah harus ada di masa depan, sebelum anak datang menghampiri dimensi itu.
Hampir-hampir tak ada yang dikagumi seorang ayah, selain tentang perkembangan anaknya. Sudah bisa ngomong apa, sudah bisa makan apa, sudah bisa ngelakuin apa. Berita tu hampir-hampir mengalahkan headline surat kabar pagi hari.
Jika tersedia pilihan, tidak ada opsi lain selain menghabiskan waktu lebih banyak bersama kalian. Sayangnya opsi terbatas, seringkali sesaat. Tetapi justru semua yang sebentar terasa memberi kesan lebih mendalam, menanam memori yang kuat, peristiwa berharga itu dirindui agar bisa terulang. Sudah fitrahnya, yang sedikit akan lebih berharga dibanding yang banyak.
Begitulah, ayah diantara jarak yang merentang. Setidaknya sementara ini upayakan hati dan pikiran selalu dekat, walau fisik tidak. Selalulah hadir, agar mereka tahu ada ayah yang selalu bisa diandalkan. Untuk dua sosok tak tergantikan, ingat-ingat, kalian hampir-hampir menyita seluruh waktu dan perhatian seorang ayah. Jangan buat dia khawatir, sedikitpun.
Syukur alhamdulillah, LDM kami jalani hanya kurang dari dua tahun. Ada pasangan yang lebih lama lagi ber-LDM-an. Walau begitu, saya pikir apakah sebentar atau lama, tetap saja LDM memberi dampak yang sama kepada setiap orang. Oleh karena itu penting untuk tahu apa yang harus dilakukan saat LDM. Meskipun saya sendiri masih dalam proses belajar, berikut ini beberapa tips menghadapi LDM hasil rangkuman dari pengalaman dan obrolan untuk kawan-kawan yang akan atau sedang ber-LDM-an:
1.      Komunikasi adalah Kunci
Komunikasi adalah kunci, komunikasi adalah harga mati. Jika masing-masing ada kesibukan yang membuat komunikasi tidak bisa dilakukan kapan saja, maka perlu dibuat jadwal tetap, pada jam berapa saja komunikasi dengan pasangan harus dilakukan. Pilih media yang paling nyaman bagi keduanya. Jangankan yang LDM, yang serumah aja jika tanpa komunikasi, meski secara fisik dekat, hati terasa jauh berjarak. Akibatnya banyak miskomunikasi, salah pengertian.
Dengan kondisi LDM, risiko adanya miskomunikasi semakin besar. Semakin intens komunikasi dilakukan semakin baik, ibaratnya komunikasi memperpendek jarak dengan pasangan. Banyak obrolan rumah tangga yang tidak tersampaikan karena berjauhan, tetapi komunikasi dapat menjadi cara jitu agar nuansa hidup berumah tangga tetap terasa. Hadirkan nuansa-nuansa hangat dan menyenangkan dalam obrolan tadi. Komunikasi intens juga memberi efek psikologis untuk membuat kesan bahwa pasangan selalu ada saat kapanpun. Sering-sering menanyakan kabar, sekadar mendengar cerita atau keluh kesah setelah seharian beraktivitas. Saling bercerita dan mendengarkan dapat menjadi perekat hubungan. Jika sudah demikian, maka obrolan via telepon/ video call dengan pasangan boleh jadi agenda yang paling ditunggu-tunggu.
2.      Ingat Komitmen, Hindari Prasangka Buruk
Selalu diingat-diingat komitmen awal ketika akan menjalani LDM, apa dan mengapa kita dan pasangan memutuskan untuk LDM. Belajarlah untuk memberi kepercayaan penuh kepada pasangan. Ketika ada masalah dan butuh klarifikasi, jangan terburu-buru berprasangka buruk. Prasangka buruk pada pasangan di saat kondisi jauh-jauhan bukan pilihan yang tepat. Jika ada situasi yang mengharuskan adanya penjelasan serius dari pasangan, awali dengan prasangka baik dan pikiran jernih. Curiga membuat kita terlalu cepat menanam prasangka dalam diri, jadinya menutup telinga atas semua penjelasan pasangan. Mengingat kembali alasan mengapa ber-LDM-an boleh jadi cara yang tepat. Hal itu dapat menguatkan kembali komitmen untuk tetap menjalani LDM sebaik mungkin, tanpa menaruh suuzan berlebihan. Jika tidak demikian, justru membuat masalah tidak selesai, justru menjadi lebih runyam.
3.      LDM = Abnormal
Jarak yang jauh dan waktu yang terasa berjalan lambat memang musuh bagi pasangan LDM-an. Walaupun begitu, perasaan tidak nyaman LDM-an itu memang harus terus dijaga dan dipupuk. Selalulah berpikir bahwa LDM merupakan kondisi yang tidak normal, dengan anggapan demikian membuat kita selalu berikhtiar mengembalikan kondisi normal (tidak LDM) itu tadi. Jika salah satu pasangan saja sudah menjadikan LDM sebagai zona nyaman, besar beresiko untuk keharmonisan rumah tangga. Sekiranya LDM bisa dihindari, sebaiknya dihindari. Namun jika tidak ada pilihan lain, teruslah berusaha untuk segera mengakhiri LDM tersebut.
4.      Berlatih Menahan Rindu
Berjauhan adalah waktu memupuk rindu. Semakin lebar jarak, semakin besar rindu. Semakin lama waktu, semakin hebat rindu. Dalam kondisi LDM, me-manage rindu menjadi penting. Obat rindu itu bertemu. Tentu lebih mudah jika jadwal temu tersusun dan terencana dengan baik. Namun seringkali situasi tidak dapat diprediksi sehingga rencana-rencana pertemuan meleset. Di sinilah kita harus cerdas “membunuh” waktu agar tetap bermanfaat dan produktif. Keseharian saat LDM dapat diisi dengan memperbanyak aktivitas-aktivitas positif seperti olahraga, rekreasi atau melakukan hobi sekadar untuk penyegaran dan melepas penat sehingga efek samping rindu-rindu tadi dapat teralihkan. Kata orang berjauhan sesaat memang perlu, seringkali kita baru tahu betapa berartinya kehadiran seseorang saat raganya sudah tak terlihat. Jadi rindu pun perlu tarik ulur, kapan ditarik dan kapan harus dilepas.
5.      Sedikit Kejutan/ Hadiah
Agar kehidupan rumah tangga ada riak-riak, pasang surut, berdinamika, tidak monoton, yang ujung-ujungnya menimbulkan kebosanan pada pasangan, perlu adanya kejutan-kejutan kecil. Jangankan dengan pasangan, dengan orang lain saja saling bertukar hadiah dapat mendekatkan dan mempererat hubungan, wujud sebentuk perhatian. Dalam kondisi LDM, fisik boleh tidak bertemu, tapi penting memberi perhatian-perhatian kecil dengan cara begini. Tidak hadir secara fisik bukan berarti tidak memberi perhatian. Apalagi zaman sekarang ada banyak sarana yang bisa digunakan untuk sekadar memberi kejutan atau hadiah kepada pasangan. Cara ini juga baik untuk memberi kesan pada pasangan bahwa dia masih menjadi prioritas dalam kesibukan kita.
6.      Iringi dengan Doa
Pada akhirnya kepada Tuhan pula kita berserah. Tidak ada daya dan upaya kita sebagai manusia. Di tengah situasi yang saling berjauhan, hanya dapat sewaktu-waktu memberi kabar, titipkan keluarga kita pada Sang Penentu Takdir. Percayakan pada Allah swt, bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak mungkin terjadi kecuali atas seizin-Nya. Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penjaga. Cara ini efektif untuk membuang kekhawatiran tidak berdasar yang acapkali muncul saat jauh dengan pasangan.
~ Ada yang sedang berjuang di tengah rindu, ada yang sedang rindu di tengah berjuang. Sabar-sabar, ini tidak akan lama. ~
1 note · View note
endriatjeh · 5 years ago
Text
[Makalah] Permohonan Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Pasca PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang
Tumblr media
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) diterbitkan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, selain itu juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik, baik pemerintahan pusat maupun daerah.
Sebagai hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara, UU AP memberi kompetensi absolut yang baru kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Salah satunya ialah penilaian unsur penyalahgunaan wewenang (permohonan PUPW) yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 21 UU AP. Sebelum UU AP disahkan, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahannya, Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji batal atau tidaknya sebuah Keputusan Tata Usaha Negara juga menguji perihal kewenangan Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut sebelum menguji prosedur dan substansi KTUN.
Pasal 21 UU AP inilah yang kemudian memperkenal kompetensi baru bagi PTUN yaitu permohonan PUPW. Sebagai pedoman beracara dalam permohonan PUPW ini, selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (PERMA No. 4 Tahun 2015).
Paper ini berusaha mendeskripsikan dua topik penting dalam permohonan PUPW oleh Peradilan Tata Usaha Negara pasca terbitnya UU AP, yaitu a) Siapa saja subjek pemohon dalam permohonan PUPW?, dan  b) Apa saja amar putusan permohonan PUPW?
Available at:
https://bit.ly/MakalahPUPW_Endri
0 notes
endriatjeh · 5 years ago
Text
[Makalah] Asas In Dubio Pro Natura dalam Sengketa Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup: Konsep dan Aplikasi
Tumblr media
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Di samping itu, alinea keempat UUD NRI 1945 juga mengamanahkan negara untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bertolak dari konsep negara kesejahteraan, dapat ditarik benang merah hubungan antara eksistensi hukum administrasi dengan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup. Ketiga elemen pembangunan guna memajukan kesejahteraan umum tersebut di era globalisasi ekonomi tersebut memang tidak dapat bekerja saling berkesinambungan bila tidak didukung instrumen hukum yang tangguh dan berdaulat. Untuk itu, pembangunan hukum yang berorientasi lingkungan hidup harus terus dilakukan secara terus menerus.
Hukum lingkungan Indonesia dapat dirunut dari UU No. 4 Tahun 1982, UU No. 23 Tahun 1997 dan yang terakhir UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH (UU PPLH). Perkembangan dari aspek legislasi tersebut juga diikuti dengan perkembangan dari sisi putusan-putusan pengadilan. Sebagai contoh Putusan Nomor 820/Pdt/G/1988 antara WALHI vs PT IIU yang memperkenalkan hak gugat organisasi lingkungan hidup. Putusan lainnya ialah Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG yang dikenal dengan Kasus Mandalawangi, telah memperkenalkan konsep strict liability pemerintah dan prinsip keberhati-hatian (precautionary principle).
Dalam konteks global, permasalahan lingkungan- terutama dari aspek hukum dan kebijakan- mulai mendapat perhatian serius di hampir semua negara sejak pertemuan Stockholm (1972) hingga Rio de Janeiro (1992). Dalam pertemuan tersebut secara global telah disepakati kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sistem penegakan hukum lingkungan, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di pengadilan dalam UU PPLH mendayagunakan aspek hukum administrasi, perdata maupun pidana. Penegakan hukum lingkungan di bidang hukum administrasi dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan dan penerapan sanksi. Pengawasan bersifat preventif sedangkan sanksi administratif bersifat represif. Penyelesaian sengketa lingkungan dari aspek administrasi yang merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya masalah lingkungan akibat kegiatan usaha yang berdampak kepada lingkungan.
Oleh karena bagian terbesar dari hukum lingkungan adalah hukum administrasi, maka Peradilan Tata Usaha Negara berperan besar dalam rangka penegakan hukum administrasi lingkungan hidup. Untuk itulah penyelesaian sengketa tata usaha negara lingkungan hidup ke PTUN, oleh hakim tidak hanya menguji dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), namun juga asas-asas khusus yang dikenal dalam sengketa lingkungan hidup, salah satunya adalah asas in dubio pro natura (in a doubt, in favor of nature). Paper ini berfokus pada pembahasan mengenai definisi dan cakupan dari asas in dubio pro natura dan melihat bagaimana penerapannya dalam pemeriksaan perkara tata usaha negara lingkungan hidup.
Selengkapnya dapat diunduh di:
https://ptun-medan.go.id/#ebook
0 notes
endriatjeh · 5 years ago
Text
Beberapa Kaidah Hukum Yurisprudensi Conseil d’Etat
Tumblr media
Tulisan ini merupakan rangkuman atas buku berjudul “Yurisprudensi Peradilan Administrasi Perancis: Keputusan Implisit dan Titik Singgung antara Sanksi Pidana dan Sanksi Administrasi” terbitan Mahkamah Agung RI. Setidaknya ada tiga alasan mengapa buku ini penting menurut saya untuk dirangkum (karena tidak semua buku saya rangkum, hehehe). Pertama, sebagai seorang calon hakim tata usaha negara, mempelajari yurisprudensi-yurisprudensi khususnya di bidang peradilan administrasi merupakan bekal yang sangat dibutuhkan sebagai bagian dari pengembangan kapasitas hukum. Kedua, Peradilan Administrasi Perancis (terutama Conseil d’Etat) dapat dikatakan salah satu rujukan bagi peradilan administrasi Indonesia dan bagi banyak negara lainnya, sehingga yurisprudensinya memiliki relevansi kuat bagi pengembangan praktik peradilan, baik secara formil maupun materiil. Ketiga, ini yang paling penting. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat dua kewenangan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan permohonan fiktif positif dan permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang. Sebagai sebuah kompetensi baru, tentunya dibutuhkan banyak diskursus sehingga peradilan dan aparaturnya mumpuni dalam menyelenggarakan kewenangan baru tersebut sesuai perkembangan terbaru teori-teori hukum dan tuntutan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, dan buku ini menyajikan hal tersebut. Selamat membaca, semoga bermanfaat!
Perihal Keputusan Implisit
1.  Keputusan implisit (fiktif) lahir sebagai sarana bagi publik untuk dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pada awalnya terhadap sikap diam pemerintah ini tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan karena tidak ada keputusan. Pada prinsipnya “pemerintah tidak boleh mengambil manfaat dari sikap diamnya” (l’administration ne peut beneficier de son inaction). Gagasan tersebut telah berkembang dan melahirkan keputusan implisit yang bertujuan agar pelayanan publik menjadi lebih efisien sehingga dengan adanya perubahan hukum acara, gagasan itu diperluas. Keputusan implisit yang semula berupa keputusan implisit negatif (penolakan) berubah menjadi keputusan implisit positif (pengabulan) yang kemudian dikodifikasi dalam Undang-Undang tentang Hubungan Antara Publik dan Administrasi Pemerintahan (hlm. 20)
2.  Pada dasarnya hakim peradilan administrasi menguji legalitas suatu keputusan. Hal ini berarti bahwa “hakim tidak boleh menggantikan kedudukan administrasi pemerintahan” (le juge ne remplace pas l’administration). Seorang hakim menolak mengambil keputusan menggantikan kedudukan pemerintah apabila pemerintah dapat mengambil keputusan sendiri. (hlm. 24)
3.  Asas fiktif positif dilengkapi dengan berbagai pengecualian. Misalnya, jika terdapat dampak yang bersifat finansial dalam suatu keputusan implisit, keputusan tersebut tetap negatif. Keputusan positif dibatasi oleh Undang-Undang untuk keputusan dengan sifat berikut:
Permohonan harus berhubungan dengan keputusan pribadi: misalnya permohonan pembatalan peraturan tidak akan mengakibatkan timbulnya keputusan fiktif-positif.
Permohonan tidak boleh berada di dalam ruang lingkup proses administratif yang sudah ditetapkan. Proses yang sudah ditetapkan dengan jelas tidak dapat dikesampingkan dengan mengajukan permohonan di luar proses tersebut.
Permohonan tidak boleh merupakan gugatan administratif.
Permohonan tidak dapat berasal dari pegawai negeri yang meminta sesuatu kepada administrasinya/ atasannya.
Dalam beberapa kasus, tidak mungkin mengeluarkan keputusan secara serta-merta:
Jika keputusan bertentangan dengan asas konstitusional: misal ada Putusan MK Perancis tentang Pengawasan Video (CCTV): “Menimbang, bahwa berkaitan dengan permohonan izin, Undang-Undang mengatur bahwa izin yang diminta dianggap telah dikabulkan dalam tenggang waktu 4 bulan. Tetapi prinsip di atas dapat dikesampingkan dan sikap diam dapat diartikan penolakan terhadap suatu permohonan. Namun mengingat risiko yang melekat pada kebebasan individu untuk instalasi sistem pengawasan video, tidak dapat menggantungkan keputusan implisit dalam hal pemberian izin pemasangan sistem tersebut.”
Permohonan yang berlawanan dengan asas umum misalnya yang berkaitan dengan perlindungan barang publik tidak dapat menggunakan persetujuan secara implisit.
Keputusan menyebabkan terjadinya pelanggaran perjanjian internasional. Hal ini terutama berlaku untuk peraturan perundang-undangan Uni Eropa di bidang lingkungan.
(hlm. 54-55)
Perihal Titik Singgung Sanksi Pidana dan Sanksi Administrasi
4.  Yurisprudensi Perancis memberi peluang untuk diterapkannya sistem sanksi administratif secara terpisah dari sanksi pidana. Hal ini bukan berarti bahwa sanksi administratif dan sanksi pidana dapat saling menggantikan, tetapi memadukan secara efisiensi kedua opsi tersebut. Bahwa kedua sistem tersebut tidak memiliki tujuan yang sama. Pemerintah dapat dan harus menuntut tanggung jawab pegawainya yang melakukan kesalahan. Sanksi disiplin tidak harus berdasarkan kesalahan yang melibatkan tanggung jawab pidana para pegawai. Apabila proses disiplin dan pidana keduanya berjalan, maka proses dilaksanakan secara paralel. (hlm. 112)
5.  Apakah dimungkinkan akumulasi berbagai sanksi; disiplin, administratif dan/atau pidana dan apakah hal tersebut bertentangan dengan asas ne bis in idem? Fakta yang sama, yang dilakukan oleh orang yang sama, dapat digugat dengan cara berbeda dengan tujuan sanksi yang bersifat disiplin, administratif, ataupun pidana sebagai penerapan korpus (bidang) aturan yang terpisah. Yurisprudensi Perancis tidak melarang adanya akumulasi sanksi: bahwa setiap sanksi berlangsung di bidang yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan menghukum orang tersebut, sama halnya setiap warga dihukum. Sanksi disiplin- dalam kasus ini misalnya larangan menjalankan profesi- berlandaskan kualitas seorang profesional yang harus mematuhi etika profesi tertentu. Di samping tuntutan pidana atau bahkan ketika tidak ada sanksi pidana, dapat dibayangkan bahwa seseorang yang tidak mematuhi etika profesinya tidak dapat menjalankan lagi profesi tersebut. (hlm. 114 – 115)
6.  Bagaimana jika sanksi pidana yang dijatuhkan di tingkat pertama kemudian dibatalkan saat banding atau dihapus karena amnesti/ rehabilitasi? Pemisahan antara proses pidana dan proses disiplin yang menghasilkan solusi. Sanksi disiplin tidak berlandaskan sanksi pidana, tetapi berlandaskan pada fakta yang mengakibatkan adanya sanksi. Oleh karena itu, karena fakta tidak terhapus, sanksi disiplin dapat terus bertahan meskipun sanksi pidana dihapus di peradilan umum. (hlm. 118 – 119)
7.  Bagaimana unsur kadaluarsa untuk tindakan disiplin? Karena adanya pemisahan proses pidana dan disiplin, diterapkan pula tenggang kadaluarsa yang berbeda. Fakta yang sama dapat menjadi kadaluarsa untuk suatu proses, tetapi tidak untuk proses yang lain. Asas in dubio pro reo (dalam hal ada dua undang-undang menentukan, dipilih yang paling meringankan terdakwa) tidak berlaku di bidang disiplin. Bahwa terdapat ketegasan khusus yang berlaku dalam proses disiplin. (hlm. 122- 123)
8.  Unsur martabat seorang pegawai negeri sangat penting dan dapat membenarkan adanya sanksi disiplin. Kode etik sangat penting untuk beberapa kategori pegawai negeri. Contoh kasus kode etik polisi dengan jelas memasukkan unsur martabat sebagai kelengkapan pekerjaan. Martabat tersebut tidak hanya berkaitan dengan perilaku saat melaksanakan dinas, tetapi juga melibatkan perilaku pribadi: kode etik tersebut tidak membedakan perilaku saat dinas dan perilaku pribadi. Perilaku tidak bermartabat polisi (calon komisaris) berupa berkelahi di bar dan mabuk-mabukan misalnya dapat berakibat pada penjatuhan sanksi disiplin meskipun dilakukan saat si polisi sedang cuti. (hlm. 134 – 135).
9.  Meskipun penanganan pidana suatu kasus terpisah dari penanganan oleh hakim administrasi, hakim administrasi akan memasukkan alur pertimbangan yang dipilih oleh hakim peradilan umum dalam alur pertimbangannya. Hal ini dapat mengakibatkan penundaan sidang di peradilan administrasi agar yang berperkara dapat menjalani proses peradilan pidana terlebih dahulu atau agar hakim administrasi menggunakan fakta sebagaimana telah ditetapkan oleh hakim pidana. Bahwa agak ganjil apabila penilaian hakim pidana dan hakim administrasi berbeda dari segi fakta. (hlm. 138)
10.  Secara prinsip hakim di lingkungan peradilan administrasi terkait dengan hukuman disiplin harus memutus sengketa yang dibawa ke hadapannya tanpa harus menunggu berakhirnya proses peradilan pidana yang sedang berlangsung untuk fakta yang sama. Namun, hakim administrasi dapat menunda putusan hingga keluarnya putusan hakim pidana apabila putusan itu bermanfaat bagi kualitas proses peradilan administrasi ataupun untuk tegaknya keadilan. Hakim administrasi untuk beberapa keadaan memang lebih baik menunda putusan sambil menunggu hasil dari proses peradilan pidana. Tidak ada asas hukum yang melarang hakim administrasi untuk menangguhkan sidang. Meskipun demikian, Penggugat harus menerangkan dengan terperinci mengapa proses di peradilan administrasi harus ditangguhkan. Dengan pendekatan ini, hakim administrasi Perancis hanya akan mengakui perlunya menunda putusan dalam keadaan luar biasa. (hlm. 140-141).
11.  Ketika sanksi disiplin dijatuhkan kepada seseorang, pengujian apa yang dilakukan oleh hakim administrasi terhadap keputusan penjatuhan sanksi tersebut? Secara tradisi, yurisprudensi Perancis hanya akan menguji kesalahan nyata tanpa mencari tahu apakah sanksi yang dijatuhkan bersifat proporsional. Conseil d’Etat sejak yurisprudensi Dahan tahun 2013 menunjukkan pengawasan yang jauh lebih ketat atas sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada pegawai. Pertama-tama, hakim administrasi akan memeriksa apakah fakta membenarkan adanya sanksi dan kemudian memeriksa apakah sanksi yang dijatuhkan proporsional dengan fakta tersebut. Jika tidak proporsional, hakim akan membatalkan sanksi yang dijatuhkan. Pemerintah dapat menjatuhkan sanksi baru yang tentu saja akan lebih ringan. Ketika menguji sifat proporsional, suatu hal yang patut diamati bahwa hakim mempertimbangkan kepentingan pemerintah: sanksi administratif benar merupakan suatu hukuman, tetapi hukuman tersebut mempertimbangkan catatan tugas yang bersangkutan serta sifat khusus dari kesalahan yang dituduhkan. Pengawasan atas penjatuhan sanksi oleh hakim administrasi menjadi lebih akurat dan lebih ketat, dengan demikian ruang diskresi semakin kecil. (hlm. 148-149).
12.  Bagaimana jika hakim pidana beranggapan bahwa fakta yang dituduhkan tidak terbukti? Apakah hakim administrasi terikat oleh penilaian hakim pidana? Terdapat yurisprudensi umum bahwa hakim administrasi hanya terikat pada kualifikasi fakta yang telah digunakan sebagai dasar untuk sanksi yang diputus oleh hakim pidana. Dengan kata lain, hakim administrasi akan menggunakan kembali kualifikasi fakta yang digunakan oleh hakim pidana untuk fakta yang menjadi landasan sanksi (atau tiadanya sanksi). Satu-satunya pengecualian logis yang ada yaitu ketika sanksi administratif itu sendiri merupakan konsekuensi dari sanksi pidana. Misal, dalam kasus usaha tidak berizin lingkungan, tidak adanya izin tersebut merupakan fakta yang diakui, baik oleh hakim pidana maupun hakim administrasi. Akan tetapi, fakta tersebut tidak diberi kualifikasi pelanggaran oleh hakim pidana. Namun, kualifikasi oleh hakim pidana tidak berakibat pada apa yang harus dilakukan oleh hakim administrasi. Kualifikasi fakta dari segi hukum oleh hakim pidana tidak mencabut kemungkinan bagi hakim administrasi untuk mempertimbangkan fakta tersebut agar menghasilkan sanksi administratif. Keadaannya berbeda hanya ketika hakim pidana beranggapan bahwa fakta tidak dapat ditetapkan. Dalam keadaan ini, hakim administrasi harus mengikuti penilaian hakim pidana. (hlm. 152-153).
Perihal Pembedaan Kesalahan Dinas dan Kesalahan Pribadi serta Konsekuensinya
13.  Conseil d’Etat telah mengembangkan yurisprudensi yang membedakan kesalahan dinas (faute de service) yaitu kesalahan yang melibatkan tanggung jawab pemerintah secara menyeluruh dan kesalahan pribadi (faute personelle) yang sebaliknya merupakan akibat dari perilaku yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan administratif pegawai negeri. Yurisprudensi ini bertujuan memisahkan tanggung jawab pemerintah secara menyeluruh dari tanggung jawab pegawai negeri yang tidak dapat dianggap bertindak dalam rangka kedinasan. Tujuan pembedaan tersebut juga untuk menjamin pemulihan atas kerugian karena lebih mudah mendapatkan ganti rugi dari pihak pemerintah daripada meminta ganti rugi dari perorangan yang belum tentu mampu. Dengan demikian, yurisprudensi ini memungkinkan adanya pembayaran ganti rugi yang efisien oleh pemerintah.
14.  Seseorang yang mengalami kerugian dari suatu kesalahan yang dilakukan pegawai negeri ketika melakukan tugasnya, hanya dapat menjadi partie civile (pihak korban yang masuk ke dalam proses persidangan pidana untuk meminta pemulihan (reparasi)) dalam proses peradilan pidana saja, tidak dapat menjadi pihak di peradilan administrasi. Ia tidak dapat mempermasalahkan sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada pegawai tersebut. Permasalahan kesalahan pribadi dan kesalahan dinas dalam konteks pidana dan administrasi memiliki tujuan yang berbeda, sanksi administrasi yang dijatuhkan semata-mata demi kepentingan dinas, kesalahan si pegawai tadi berakibat pada dinas atau tidak. Tujuan sanksi disiplin adalah mengamati konsekuensi suatu kesalahan terhadap dinas. Dengan kata lain penjatuhan disiplin tadi bukanlan perbaikan kerugian terhadap pihak ketiga, tetapi hanya untuk kepentingan dinas. Sanksi disiplin terpisah dari sanksi pidana, tujuannya bukan untuk akumulasi sanksi dalam perspektif pemulihan (reparation) korban. Dengan demikian, pihak ketiga tersebut tidak memiliki kepentingan untuk mempersoalkan/ menggugat sanksi disiplin yang dianggapnya kurang memadai. (hlm. 156-157)
15.  Jika seorang pegawai negeri digugat oleh seseorang karena kesalahannya dalam rangka menjalankan tugas dinas, maka pemerintah harus menanggung sanksi perdata yang dijatuhkan kepada pegawai tersebut. Sejauh ia tidak melakukan kesalahan pribadi yang terpisah dari pekerjaan dinasnya. Apabila dituntut secara pidana, maka pemerintah wajib memberikan perlindungan secara kedinasan, kecuali terdapat alasan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan Perancis menentukan pemerintah wajib memberikan perlindungan dinas kepada pegawai negeri. Yurisprudensi Perancis kemudian memperluas makna, bahwa dimungkinkan penerapan perlindungan dinas untuk semua pegawai yang dipekerjakan negara meskipun ia bukan pegawai negeri yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, apakah ia pegawai negeri atau bukan, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kedinasan kepada pegawai tersebut, pemerintah dapat melepas tanggung jawab tersebut jika terdapat kesalahan pribadi dari si pegawainya. (hlm. 164-165)
16.  Contoh kasus, seorang walikota dalam suatu forum mengucapkan kata-kata yang dianggap sebagai ujaran kebencian dan kekerasan terhadap warga kota.  Pengadilan menjatuhkan hukuman atas perilaku tersebut karena dianggap tidak pantas dilakukan dalam menjalankan dinas negara. Conseil d’Etat menilai apakah perkataan walikota tersebut berhubungan dengan kesalahan pribadi atau walikota memiliki kebebasan berbicara tertentu. Unsur kesalahan pribadi harus dinilai bersamaan dengan pedoman perilaku (kode etik) yang harus pegang oleh pegawai negeri atau pejabat publik, meliputi di dalamnya unsur yang berkaitan dengan martabat jabatan. Unsur martabat jabatan dan perlunya walikota berbicara dalam batas yang diperbolehkan oleh kebebasan berekspresi merupakan hal yang dapat menyingkirkan keterkaitan antara tanggung jawab dinas dan kesalahan pribadi yang dilakukan. Kesalahan ini merupakan kesalahan pribadi yang tidak mungkin dilindungi oleh dinas. Dalam hal ini, perlindungan dinas tidak dapat diberikan karena gugatan berkenaan dengan kesalahan pribadi. (hlm. 168-169)
17.  Conseil d’Etat menetapkan tiga kriteria untuk mendefinisikan kesalahan pribadi, antara lain: a) kesalahan berada dalam lingkup masalah pribadi, misalnya keinginan seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau kebencian khusus terhadap seorang warga, b) perilaku berlebihan, misalnya perkataan kasar atau menghina, dan kekerasan fisik, c) kesalahan yang sangat berat. Penilaian kesalahan pribadi terpisah dari kualifikasi pidana yang dipertimbangkan oleh hakim pidana. Bisa jadi suatu kualifikasi pidana dipilih dan kesalahan tersebut tidak dapat dipisahkan dari dinas (tiadanya kesalahan pribadi). (hlm. 176)
18.  Kesalahan seorang pegawai negeri ditinjau dari jenisnya, keadaan kesalahan yang dilakukan, tujuan pelakunya, serta jabatan yang diemban. Meskipun kesalahan tersebut dilakukan pada saat menjalankan tugasnya dan terkait dengan tugas kedinasan, namun kualifikasi pembedaan antara kesalahan pribadi dan kesalahan dinas dapat dikesampingkan mengingat beratnya kesalahan yang dilakukan. (hlm. 179-180)
19.  Adanya pengakuan kesalahan pribadi dan tindakan pegawai yang diluar kepatutan tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dinas. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan adanya akumulasi kesalahan pribadi dan kesalahan dinas. Kesalahan dinas adalah kesalahan yang merupakan akibat dari malfungsi administrasi. Sebagai contoh, seorang pegawai negeri melakukan kesalahan pribadi, namun instansi tersebut juga diwajibkan melakukan pengawasan atas kinerja si pegawai namun pengawasan tidak dilakukan, kesalahan pribadi si pegawai tadi tidak serta merrta menghapus kesalahan dinas instansi tersebut karena abai melakukan pengawasan. (hlm. 183-184)
20.  Tujuan pemisahan antara kesalahan pribadi dan kesalahan dinas adalah memungkinkan adanya keterlibatan tanggung jawab pribadi pegawai yang melakukan kesalahan. Terbuka kemungkinan untuk meminta kompensasi kepada pemerintah, kemudian pemerintah berpeluang untuk menagih pengembalian uang dari pegawai yang terbukti melakukan kesalahan pribadi. Hal ini bertujuan agar korban mendapatkan kompensasi secara lebih mudah dan lebih cepat karena kesanggupan membayar negara (solvabilite de l’Etat). Hakim pengadilan administrasi dapat menghukum pemerintah agar memperbaiki secara menyeluruh kerugian tersebut meskipun kesalahan tidak berkaitan dengan dinas dan kesalahan sepenuhnya merupakan kesalahan pribadi pegawai. Yurisprudensi ini bertujuan mendukung korban dan memungkinkan adanya ganti rugi oleh pemerintah ketika kesalahan pribadi ada kaitannya dengan dinas. Prinsipnya dari segi ganti rugi adalah pemerintah harus memperhitungkan bahwa orang yang bersalah hanya dapat melakukan kesalahan tersebut karena memiliki wewenang. Isu tanggung jawab ganti rugi dan isu tanggung jawab atas kesalahan harus benar-benar dipisahkan; tidak ada kesalahan dari pihak pemerintah karena tidak ada kesalahan dinas akan tetapi terdapat kemungkinan bagi korban untuk meminta ganti rugi dari pemerintah. Kemudian, pemerintah akan menagih pengembalian uang dari pegawai yang bersangkutan (asas subrogasi). Alasan adanya yurisprudensi yang sedemikian rupa hanyalah untuk mempermudah pembayaran ganti rugi akibat kesalahan pribadi. Dalam kasus lain, ganti rugi dapat diminta terlebih dahulu ke pihak pemerintah utuk kesalahan pribadi yang masih ada kaitannya dengan dinas. Meskipun pada prinsipnya pemerintah tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dilibatkan jika ada unsur kesalahan pribadi yang dapat dipisahkan dari dinas, namun apabila kesalahan dilakukan dengan menggunakan sarana dinas, pemerintah tidak terpisah dari kesalahan tersebut  (hlm. 187-194)
21.  Pada dasarnya, pegawai negeri harus memperbaiki kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pribadinya. Meskipun karena kesalahan tersebut si pegawai negeri telah terlebih dahulu dijatuhi sanksi disiplin berupa pemberhentian sebagai pegawai negeri, hal tersebut tidak menyebabkan tanggung jawab atas kerugian tersebut menjadi hilang. Kesalahan pribadi tidak melibatkan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dapat membayar terlebih dahulu uang ganti rugi kepada korban, kemudian dengan gugatan balik, pemerintah meminta penggantian uang yang telah dibayarnya. Mekanisme ini memungkinkan korban mendapatkan ganti rugi dengan cepat tanpa perlu melalui proses hukum yang panjang. Pemerintah yang akan menanggung masa panjang dan rumitnya proses serta kemungkinan adanya kesulitan karena kesanggupan membayar si pegawai yang bersangkutan.
22.  Bagaimana jika proses pidana (diduga korupsi misalnya) terhadap seorang pegawai negeri berujung SP3 (penghentian penyidikan) lalu si pegawai tersebut meminta kompensasi karena menderita depresi setelah proses tersebut? Dengan adanya SP3, Conseil d’Etat berpendapat bahwa kesalahan pribadi si pegawai tidak dapat dibuktikan, maka tuduhan kepada si pegawai tersebut dianggap bagian dari kegiatan profesionalnya. Dengan demikian, depresi yang dialaminya dianggap berkaitan dengan pelaksanaan tugas/ dinas dan tunjangan cacat harus diberikan. (hlm. 201-202)
0 notes
endriatjeh · 6 years ago
Text
[Jurnal] Analisis Yuridis Terhadap Legalitas Qanun Aceh No. 6/ 2014 tentang Hukum Jinayat
Tumblr media
Abstract
This research attempts to describe the legality of Qanun Aceh Number 6 Year 2014 on Jinayat Law (Qanun Jinayah) in the construction of Indonesian constitutional law. To analyze it, this research will examine the legality of Qanun Jinayah from two perspectives, those are the formality of the formulation of legislation and the concept of a unitary state. Qanun Jinayah gets  a lot of controversy because the position its self is as a regional regulation (perda), but it has material of Islamic criminal content (jinayah) which has not been regulated in national legislation. In 2015, judicial review to Supreme Court was conducted upon Qanun Jinayah by Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) but the petition for judicial review was declared unacceptable for premature reasons (not yet time). Legal analysis from the perspective of constitutional law is important to do due to the legality of a law determines the validity of law.
Keywords: legality, Qanun Jinayah, Aceh, constitutional law.
Intisari
Penelitian ini berupaya memaparkan legalitas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayah) dalam konstruksi hukum tata negara Indonesia. Untuk menganalisis hal tersebut, penelitian ini akan meninjau legalitas Qanun Jinayah dari dua sudut pandang, yaitu formalitas pembentukan peraturan perundang-undangan dan konsep negara kesatuan. Qanun Jinayah menuai banyak perdebatan disebabkan kedudukannya sebagai peraturan daerah (perda) namun bermateri muatan pidana Islam (jinayah) yang sama sekali belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di level nasional. Tahun 2015, Qanun Jinayah dilakukan uji materiil ke Mahkamah Agung oleh Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (ICJR) namun permohonan uji materiil ini dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan prematur (belum waktunya). Analisis yuridis dari perspektif hukum ketatanegaraan ini penting dilakukan mengingat legalitas sebuah peraturan perundang-undangan menentukan validitas dan kekuatan berlakunya.
Kata kunci: legalitas, Qanun Jinayah, Aceh, hukum tata negara.
Available at:
http://jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/view/9625
0 notes
endriatjeh · 6 years ago
Text
[Jurnal] Implikasi Pemenuhan Hak Ekosob Masyarakat Temajuk Terhadap Ketahanan Nasional Indonesia
Tumblr media
Abstract
The research purpose to explain if the fulfillment of economic, social, and cultural (ecosoc) rights in Temajuk as a borderland will give any effects to the national resilience of Indonesia. In order to prove that argument, the research will describe the view of fulfillment as a reality of those rights fulfillment explained beforehand, review any efforts from the government, and finally observe the correlation between them with the conception of national resilience.
Temajuk has some limitations and lacks of infrastructures which are needed to support the optimal fulfillment of economic, social, and cultural rights, specifically to the three main sectors, namely education, health, and food. Apparently those rights have been guaranteed by Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 on Ratification of International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).
Keywords: Temajuk, borderland, ecosoc rights, national resilience.
Abstrak
Penelitian ini berusaha menjelaskan apakah pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) masyarakat Temajuk sebagai masyarakat yang berdomisili di daerah perbatasan memberi pengaruh terhadap ketahanan nasional Indonesia. Untuk membuktikan argumen tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan gambaran pemenuhan sebagai sebuah realita pemenuhan hak ekosob, meninjau upaya pemenuhan hak ekosob oleh Pemerintah, dan melihat korelasi kedua hal tersebut dengan konsepsi ketahanan nasional.
Temajuk memiliki keterbatasan dan kekurangan infrastruktur yang mampu menunjang proses terpenuhinya hak ekosob secara optimal, spesifik terhadap tiga sektor utama, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pangan. Padahal hak-hak tersebut telah dijamin dalam Undang- Undang Nomor 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights (ICESCR).
Kata Kunci: Temajuk, perbatasan, hak ekosob, ketahanan nasional.
Available at:
https://jurnal.ugm.ac.id/jph/article/view/19127
0 notes
endriatjeh · 6 years ago
Text
Putusan Hakim Tata Usaha Negara: Sebuah Pengantar
Tumblr media
Putusan hakim itu mahkota, mencerminkan segalanya bagi hakim, tanggung jawabnya, kejujurannya, kearifannya, kecerdasannya, kreativitasnya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya, dan lain sebagainya”
(Fransisco Loppy)
A.   Pendahuluan
Mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim –sebagai pejabat negara- yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.[1]
Oleh karena itu, putusan pengadilan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satu pun selain putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu [ihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindkan emjnrut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi hukum kepada para pihak yang berperkara.[2]
Demikian pentingnya putusan hakim sebagai sebuah produk inti pengadilan, tulisan ini mencoba memberikan deskripsi awal mengenai putusan hakim ditinjau dari kajian teori keilmuan dan praktis peradilan. Cakupan tulisan ini spesifik hanya membahas putusan hakim dalam lingkup peradilan tata usaha negara, berfokus pada topik: 1) prinsip-prinsip memutus sengketa, 2) sistematika putusan, dan 3) administrasi persidangan terkait putusan.
 B.   Pembahasan
Ditinjau dari prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan atas (Pasal 185 ayat (1) HIR):[3]
1)    Putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini terdiri dari:
-       putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan ini bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan tidak berbuat;
-       putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutif). Putusan ini ialah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum;
-       putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
2)    Putusan sela atau putusan antara (interlocutoir vonis). Putusan yang fungsinya untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, dikenal putusan sela berdasar Pasal 83 UU Peratun perihal masuknya pihak ketiga dalam sengketa dan berdasar Pasal 84 UU Peratun mengenai pembatalan tindakan kuasa yang melampaui batas wewenang.
 1.    Prinsip-prinsip Memutus Sengketa
Menurut Yulius Rivan, putusan hakim sebagai suatu kajian keilmuan setidaknya harus memenuhi tiga syarat: [4]
a.    Segi ontologi, putusan hakim adalah penerapan hukum pada fakta, yang bermuatan penyelesaian definitif terhadap suatu sengketa yang ditimbulkan oleh fakta atau fakta-fakta tersebut. Agar vonis itu dapat memberikan penyelesaian definitif terhadap sengketa terkait, maka vonis itu harus meyakinkan bahwa vonis tersebut adalah sebuah putusan yang dihasilkan melalui proses pengambilan keputusan yang imparsial, objektif, adil, dan manusiawi, sehingga dapat diterima atau akseptabel oleh para pihak terkait dan oleh masyarakat umum (publik).
b.    Segi epistomologi, hakim menggunakan metode tertentu untuk dapat sampai pada putusannya, hakim harus melakukan penalaran atau mengargumentasi dengan mengemukakan dasar-dasar dan alasan-alasan dari putusannya. Artinya putusannya itu harus selalu terargumentasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 53 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 107A UU No. 51 Tahun 2009 bahwa penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
c.    Segi aksiologi, putusan hakim memiliki nilai kegunaan. Secara teoritis, putusan hakim dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya kajian-kajian bidang peradilan. Secara praktis, putusan hakim bermanfaat bagi para hakim dalam menjalankan tugas profesionalnya. Selain itu, putusan hakim dapat menjadi cermin reflektif bagi hakim menyangkut profesionalitas pribadi, khususnya kemampuan dalam mencari dan menemukan hukum ketika memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara.
Menurut de Waard, putusan pengadilan harus mencerminkan empat kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik (algemene beginselen van behoorlijik rechtsplegging), diantaranya:[5]
a.    Decisie beninsel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk di sini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
b.    Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang berperkara berhak atas kesempatan membela diri (prinsip audi et alteram partem), dan bahwa kedua belah pihak juga harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian, dan memperoleh informasi;
c.    Onpartijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara objektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakelijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya;
d.    Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), asas bahwa putusan hakim harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).
Dalam membuat putusan, hakim harus melakukan penalaran hukum dalam menyusun argumentasi hukum. Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:[6]
a.    Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
b.    Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
c.    Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
d.    Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
e.    Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
f.     Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Dalam proses musyawarah pengambilan putusan, UU Peratun menentukan metode sebagai berikut:[7]
a.    Proses memutus sengketa tata usaha negara adalah harus dilakukan berdasar musyawarah majelis hakim dan musyawarah dilakukan dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
Mengutip Indroharto, rapat permusyawaratan dalam ruangan tertutup atau raadkamer itu mengandung beberapa pengertian:[8]
-       kamar dalam gedung pengadilan dimana majelis rapat untuk memusyawarahkan sesuatu;
-       suatu majelis hakim yang terdiri dari seorang ketua dengan beberapa anggota dan panitera/panitera pengganti; biasanya jumlah keseluruhannya adalah ganjil;
-       permusyawaratan yang dilakukan oleh majelis mengenai suatu perkara. Pengertian yang terakhir ini yang banyak digunakan, yaitu majelis hakim berunding dan memutuskan suatu perkara. Mereka yang ikut rapat dalam raadkamer tersebut wajib merahasiakan hasil musyawarah.
b.    Putusan dalam musyawarah majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat (a unanimous decision), kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat (split decision), putusan diambil dengan suara terbanyak (majority decision);
c.    Apabila musyawarah majelis tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya;
d.    Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis (presiding judge) yang menentukan (rulling by authority);
e.    Putusan pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
Selain itu, Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan metode musyawarah hakim dilakukan dengan cara berikut:
a.    Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia (closed and confidential);
b.    Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis (advisblaad) terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan;
c.    Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).
Prinsip lainnya ialah putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pasal 13 ayat UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 108 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 juga menentukan “Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut berakibat putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Fungsi dari diucapkannya putusan pengadilan dalam sidang yang terbuka untuk umum itu tidak hanya sekadar dimaksudkan agar para pihak mengetahuinya yang ada perlunya dalam kaitan kemungkinan untuk menempuh sarana hukum yang terbuka, tetapi masih ada fungsinya yang lebih umum yaitu pertanggungjawaban kepada umum; memberikan kemungkinan bagi umum agar dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas peradilan; memberikan kesempatan untuk berkembangnya unsur-unsur pembentukan hakim dalam putusan pengadilan serta memberikan lahan penelitian bagi ilmu pengetahuan hukum. Bagi peradilan TUN masih ada faktor yang perlu ditambahkan: sejak dahulu keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh pihak pemerintah itu selalu menyangkut dan demi kepentingan umum. Dengan demikian perlunya dilakukan pengawasan terhadap hasil pekerjaan peradilan pun juga karena kepentingan umum.[9]
2.    Sistematika Putusan
Bentuk dan isi sebuah putusan TUN dapat merujuk pada ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Peratun, diantaranya:
a.   Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 dan penjelasannya menegaskan bahwa peradilan dilakukan sesuai dengan bunyi rumusan kepala putusan tersebut. Sejalan dengan Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Titel tersebut memberi kekuatan eksekutorial sehingga putusan dapat dilaksanakan;
b.   Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.   Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas. Hal ini membuktikan bahwa argumen-argumen yang dikemukakan kedua belah pihak sesuai asas audi et alteram partem telah menjadi bagian dari putusan, dan secara adil serta objektif dijadikan dasar pertimbangan hukum;
d.   Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pasal 72 ayat (3) UU Peratun menentukan “Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas”. Sifat hakim aktif pada Peratun terlihat dalam penilaian alat bukti sesuai dengan asas pembuktian bebas terbatas. Hakim menimbang setiap fakta-fakta dan bukti-bukti yang dianggap relevan dalam persidangan untuk memutus dan mengadili sengketa untuk selanjutnya dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan;
e.   Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Pasal 107A ayat (2) UU Peratun menentukan “Penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”. Demikian pula dalam Pasal 53 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, patut dicermati juga ketentuan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyebutkan: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
f.    Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. Amar (diktum) putusan merupakan tanggapan atau jawaban atas petitum. Berdasar Pasal 97 ayat (7) UU Peratun, macam-macam amar putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
1)    Gugatan ditolak. Menolak gugatan berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara;
2)    Gugatan dikabulkan. Mengabulkan gugatan berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian.
a)    Sesuai ketentuan Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU Peratun, dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh  badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara, berupa:
b)    Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan, atau
c)    Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru, atau
d)    Menerbitkan keputusan tata usaha negara dalam hal sebelumnya tidak ada keputusan.
Pasal 97 ayat (10) dan (11) UU Peratun juga menentukan kewajiban-kewajiban tersebut di atas dapat disertai:
a)    Pembebanan ganti rugi;
b)    Pemberian rehabilitasi (menyangkut sengketa kepegawaian).
 3)    Gugatan tidak diterima. Tidak menerima gugatan berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
4)    Gugatan gugur. Gugatan dinyatakan gugur apabila pihak atau kuasanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut.
Mengenai pembebanan biaya perkara, sesuai ketentuan Pasal 110 UU Peratun, bahwa pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara. Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya meterai, biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang (descente), dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang (Pasal 111 UU Peratun). Pasal 112 UU No. 5 Tahun 1986 juga menentukan “Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat disebut dalam amar putusan akhir pengadilan”.
g.    Hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Apa yang disebut dalam Pasal 109 ayat (1) UU Peratun tersebut selain menggambarkan bentuk dan urutan isi dari suatu putusan akhir, juga menggambarkan apa yang harus dimuat dalam putusan.
Ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Peratun mengandung makna agar setiap putusan di Peratun memperhatikan kesatuan hukum (rechtseenheid) sehingga secara yuridis formal memudahkan pengawasan bagi pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi dari pengadilan terdahulu yang memutuskan suatu perkara. Selain itu, ketentuan Pasal 109 ayat (1) tersebut harus dilihat bukan sebagai semata-mata masalah teknis sistematika, namun terkandung muatan yuridis-filosofis dan sosiologis yang dikenal dengan “kewajiban motivering hakim” bahwa putusan hakim tidak hanya dibaca sebagai sebuah laporan (verslag) dari bagaimana hakim telah sampai pada sebuah putusan tertentu, tetapi juga harus dilihat sebagai sebuah pertanggungjawaban, sebuah yustifikasi (pembenaran, rechtsvaardiging) dari putusan yang diambil.[10]
Pasal 109 ayat (2) UU Peratun juga menentukan “Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan”. Menurut Indroharto, ancaman pembatalan tersebut menggunakan kata “dapat”, maka tidak setiap kekurangan dalam penyebutan unsur-unsur putusan itu menyebabkan batalnya putusan pengadilan yang bersangkutan. Kalau hanya tidak disebut alamat salah satu pihak umpama, tentu hal itu masih dapat diperbaiki karena dianggap salah ketik. Tetapi jika putusan tidak ada judul ““DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” atau tidak disebutkan amar putusannya atau pertimbangan hukumnya atau tidak disebutkan nama pihak-pihak yang bersengketa, maka putusan demikian itu menjadi batal demi hukum.[11]
3.    Administrasi Persidangan terkait Putusan
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah putusan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang bersidang (Pasal 109 ayat (3) UU Peratun). Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut (Pasal 109 ayat (4) UU Peratun). Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, maka putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota tersebut (Pasal 109 ayat (5) UU Peratun).
Mengenai pemberitahuan salinan putusan, mengacu pada ketentuan Pasal 52 UU No. 48 Tahun 2009 mencantumkan: (1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, (2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demikian pula diatur lebih lanjut dalam Pasal 51 A UU Peratun, (1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan, (2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Ketentuan Pasal 108 UU Peratun ayat (2) menyebutkan “Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disamaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan”. Pada praktiknya setelah majelis hakim memerintahkan untuk pemberitahuan isi putusan, panitera pengganti akan meneliti dan membuat surat pemberitahuan putusan perkara dan surat pengantar pemberitahuan putusan perkara. Selanjutnya panitera akan menandatangani, memberi nomor, dan stempel pada surat pengantar pemberitahuan putusan perkara. Pemberitahuan isi putusan dilakukan oleh panitera pengganti yang menangani perkara. Setelah sidang dengan acara pembacaan putusan dan terdapat pihak yang tidak hadir, panitera pengganti akan membuat surat pemberitahuan isi putusan dan dikirimkan kepada pihak yang tidak hadir. Pembuatan dan pengiriman surat pemberitahuan ini dilakukan sesegera mungkin pada hari yang sama dengan pembacaan putusan, atau keesokan harinya.
Pemberitahuan putusan dilakukan melalui surat tercatat. Di bagian bawah surat pemberitahuan dicantumkan informasi bahwa para pihak yang keberatan terhadap putusan tersebut dapat mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dikirim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 123 ayat (1) UU Peratun. Setelah melakukan pemberitahuan isi putusan kepada para pihak, panitera pengganti juga perlu menginput data pemberitahuan putusan di SIPP, meliputi: tanggal putusan, status pihak (penggugat atau tergugat), mama pihak, tanggal pemberitahuan putusan, serta tanggal minutasi.
C.   Daftar Pustaka
Enrico Simanjuntak. 2018. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi. Jakarta: Sinar Grafika.
Indroharto. 2003. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Teguh Satya Bhakti, dkk. 2014. Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer. Yogyakarta: Genta Press.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3344).
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4380).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5079).
W. Riawan Tjandra. 2011.Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
[1] Enrico Simanjuntak. 2018. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 257
[2] Ibid.
[3] W. Riawan Tjandra. 2011. Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 137.
[4] Yulius Rivai, Putusan Hakim sebagai Suatu Ilmu, dalam Teguh Satya Bhakti, dkk, 2014, Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer. Yogyakarta: Genta Press, hlm. 92-100.
[5] W. Riawan Tjandra. Op.Cit., hlm. 135.
[6] Yulius Rivai. Op.Cit., hlm. 94.
[7] Pasal 97 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[8] Indroharto. 2003. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 119.
[9] Indroharto. Ibid., hlm. 129.
[10] Enrico Simanjuntak. Op.Cit., hlm. 263-264.
[11] Indroharto. Op.Cit., hlm. 129-130.
0 notes
endriatjeh · 6 years ago
Text
Tentang Mitsaqan Ghalizha
Tumblr media
Sebuah persembahan sebagai kado ulang tahun pertama pernikahan (15 Juli 2018 – 15 Juli 2019)
“Lebih baik jangan beristri hanya karena perhatian kepada materi, akan lebih baik karena hubungan hati dan pertalian cita-cita.” (Buya Hamka dalam “Pribadi Hebat”)
Sedikit banyak tulisan ini berbicara tentang renungan atas pengalaman satu tahun mengarungi bahtera pernikahan dengan istri saya, Maya. Saya akan mulai tulisan ini dengan terlebih dahulu mengupas makna satu istilah dalam Al-Quran, sesuai judulnya, tentang mitsaqan ghalizha.
Mitsaqan ghalizha, perjanjian agung, demikianlah Al-Quran mengistilahkan pernikahan. Saking agungnya perjanjian dalam pernikahan itu, Al-Quran sejajarkan perjanjian ini seperti mitsaqan ghalizha-nya Allah dengan para Rasul Ulul Azmi dan mitsaqan ghalizha antara Allah dengan Bani Israil. Apa sebab disebut demikian?
Menikah itu hakikatnya mengikat janji, bukan hanya janji antara dua orang manusia, tetapi juga mengikat janji dengan Tuhan. Lumrahnya disebut sebagai akad. Dalam prosesi Ijab Qabul itu di akhirnya lahir tanggung jawab merentang dunia sampai akhirat. Akad nikah itu sama artinya dengan mengambil amanah dari Allah dan orang tua atas diri seorang perempuan atas nama Allah. Bersedia bertanggung jawab penuh, memenuhi hak, memberi nafkah, mendidik, menjadi imam, membimbing, menuntun. Sebab akad terucap maka berguncang Arsi-Nya, malaikat dan manusia bersaksi atas janji agung itu. Karena akad, yang semula haram menjadi halal. Yang awalnya dilarang, berubah jadi ibadah. Mengubah status hukum 180 derajat.
Jika menikah adalah sebuah perkara agung, pertanyaan mendasarnya, apa alasan orang menikah? Apa sebab sepasang laki-laki dan perempuan mau hidup dalam satu atap, melanjutkan hidup bersama-sama dalam bahagia dan susah? Jika jawabannya karena cinta itu benar, tetapi sayangnya belum cukup. Satu alasan mendasar lainnya yang patut menjadi pondasi memulai ikatan pernikahan itu adalah cita-cita. Ya, cita-cita, tujuan, atau bahasa beratnya visi. Sebelum eksisnya lembaga pernikahan, yang paling awal adalah menentukan apa visi pernikahan.   
Jika setiap orang sadar bahwa menikah adalah pekerjaan besar, saya yakin tidak akan ada yang mau menyia-nyiakan pernikahan. Bahkan jika setiap orang mengerti bahwa menikah menimbulkan tanggung jawab besar, orang mungkin berpikir berulang-ulang kali sebelum memutuskan akan menikah. Inilah tantangannya. Dengan konsekuensi yang demikian, rasa-rasanya terlalu sepele jika pernikahan hanya tentang satu fase hidup, tahapan hidup yang harus dilalui sewajarnya manusia normal. Dengan agungnya ikatan pernikahan itu, bagi saya aneh jika pernikahan tidak punya visi, tidak ada tujuan, tidak bercita-cita. Ibarat kapal berlayar tak bertujuan, tak tentu arah. Inilah poin penting berikutnya, tentang visi pernikahan.
Lembaga pernikahan bagi saya ibarat sebuah lembaga organisasi. Sebelum masuk organisasi, orang akan bertanya dulu apa visi misi yang ingin diwujudkan organisasi ini? Kalau cocok, lanjut. Kalau tidak, ya jangan maksa. Latar belakang bisa saja beda-beda, gaya hidup, lingkungan pergaulan, didikan keluarga, setiap orang berbeda. Tetapi apa yang menyatukan? Jawabannya visi, cita-cita, tujuan. Itulah tali pemersatunya. Itulah mengapa reorientasi selalu ada bagi pemula sebelum jauh melangkah ke dalam organisasi. Karena orientasi tentang cita-cita, tentang visi harus diperkenalkan terlebih dahulu sebelum gerak langkah dimulai.
Relasi paling kuat antara manusia yang beradab itu adalah ikatan visi. Ikatan karena ada tujuan dan cita-cita. Orang dihadapkan pada bagaimana merealisasikan visi, mencapai tujuan, dan mewujudkan cita-cita, secara bersama-sama. Orang akan berjalan ke depan, ke arah visi itu terletak dan terlihat, orang memandang ke arah yang sama sehingga gerak langkahnya pun dapat beriringan. Uniknya di lembaga pernikahan itu visi itu dimulai dari urusan yang sifatnya paling duniawi sampai urusan ukhrawi, dari urusan paling mendasar sebagai manusia sampai urusan paling luhur sebagai makhluk Tuhan. Unik memang.  
Pernikahan berumur panjang jika punya visi. Dengan visi, alur gerak menjadi dinamis, mengalun, mengalir, selalu ada energi dan harapan baru yang hadir. Visi pernikahan membuat pernikahan bergairah, tidak monoton, tidak membosankan, karena setiap pribadi diingatkan bahwa ada tujuan yang belum tercapai maka selama itu pula pernikahan harus terus dijaga, kehidupan harus terus beriringan agar tujuan dapat terwujud. Dengan visi, usia pernikahan tak berujung, karena batasan realisasi visi juga tak berakhir. Itulah yang terus menerus memberikan energi bagi eratnya ikatan pernikahan.
Pertanyaan berikutnya, visi yang seperti apa? Jawabannya adalah visi dunia dan akhirat. Yang satu visi untuk kebermanfaatan terhadap sesama umat manusia dan membaikkan dunia, yang satu visi menuju ketaatan pada Tuhan. Antara keduanya tidak saling mengecualikan, tidak saling bertolak belakang. Jenis dan bentuknya seperti apa, itu pilihan. Ada orang membuat visi dunianya dengan melakukan proyek sosial, ada yang melakukan banyak perjalanan keliling dunia, ada yang bercita-cita hebat dalam karier yang ditekuni, menduduki posisi-posisi tertentu secara struktural, sah-sah saja karena semuanya diniatkan untuk memberikan sebesar-besarnya kebermanfaatan. Jika visi akhirat tentu tidak perlu diperjelas panjang lebar, masing-masing kita sudah paham. Geliat ikhtiar mencapai visi itulah yang mampu memberikan energi tak terhingga bagi kokohnya lembaga pernikahan. Dalam posisi yang demikian, pasangan hidup sekaligus menjadi mitra strategis dan taktis. Abstrak memang, terkesan ilusi, dan sulit dipahami bagi sebagian orang, tapi nyata dampaknya.
Layaknya organisasi, dalam perjalanannya di rentang waktu tertentu, lembaga pernikahan juga butuh evaluasi; satu hal yang seringkali dikesampingkan. Inilah yang sedang saya usahakan saat ini, mengevaluasi pernikahan. Momennya tepat, ulang tahun pernikahan hanya setahun sekali. Pasangan diajak berbicara tentang perjalanan pernikahan selama ini, apa yang kurang, apa tujuan yang belum tercapai, bagian mana yang terlupakan. Meluangkan waktu untuk evaluasi seperti ini artinya menyempatkan diri memeriksa pondasi rumah tangga, apakah ada bagian yang sudah lapuk dan keropos, sehingga harus segera ditambal untuk memastikan rumah dalam keadaan baik-baik saja. 
Saya membayangkan Khawla, si baby imut-imut kinyis juga suatu saat saya ajak diskusi tentang itu, menyampaikan pikiran-pikirannya tentang bagaimana harusnya keluarga ini berjalan dan akan ke arah mana bergeraknya. Bagi saya anak-anak punya hak untuk itu. Dalam pernikahan dengan visi itu kita sadar bahwa lembaga pernikahan juga berfungsi sebagai wadah “membesarkan” satu sama lain. Itulah mengapa butuh kata saling di sana. Saling menguatkan, saling mengingatkan, saling mendukung, saling membahagiakan, saling menenangkan, semuanya serba saling. Hubungannya aksi-reaksi, serba timbal balik, resiprokal. Bagi anak-anak, lembaga pernikahan adalah kawah candradimuka, mereka bukan hanya dibesarkan fisiknya, tetapi juga dibesarkan pemikirannya, dibesarkan cita-cita dan mimpi-mimpinya. Anak bukan hanya tentang relasi biologis, tetapi juga relasi ideologis. Jadi setiap orang dalam keluarga diajak berpikir, diajak untuk “memiliki”, diajak bekerjasama mewujudkan visi.
Tentang “membesarkan” itu tadi, memori masa kecil saya memisalkan menikah itu seperti mode fusion Goku dengan Vegeta menjadi Vegito. Yang membuat sosok ini kuat tak tertandingi adalah karena ia hasil penggabungan, hasil fusi dua karakter. Mereka menghadapi musuh secara bersama-sama, jadilah mereka tak terkalahkan. Bergabung dalam satu ikatan itu membuat setiap orang lebih kuat, lebih baik, lebih mampu, karena kekurangan-kekurangan ditutupi dan kelebihan-kelebihan digabungkan. Ikatan fisik sekaligus psikis, mengikat jasmani dan rohani. Demikianlah lembaga pernikahan dijalankan. Lagi-lagi saya katakan, dahsyat memang pernikahan itu.
Menuju visi pernikahan itu, nilai atau value memegang peranan penting. Gunanya persis seperti fungsi rambu-rambu di jalan raya bagi kendaraan. Kendaraan rumah tangga itu sudah tahu arah kemana berjalannya, tetapi jika tidak awas dengan rambu-rambu lalu lintas, tidak ada yang dapat memastikan perjalanan akan sampai ke tujuan. Rambu-rambu itu adalah nilai, value, hal-hal yang dijunjung tinggi dalam kehidupan pernikahan keluarga. Sebagai contoh, ada pernikahan yang menginginkan anak-anak dibesarkan dalam nilai-nilai kesederhanaan, nilai empati terhadap sesama, tidak memanjakan namun tidak pula mengekang dalam batas kewajaran, maka komitmen itu dijalankan oleh para orang tua. Ada yang menghendaki keluarga dilandasi dengan nilai-nilai kejujuran, menghormati perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak atas orang lain, tidak mudah menghakimi keadaan orang lain, open-minded, moderat, objektif menilai sesuatu, berpikir ilmiah, dan mungkin masih banyak lagi yang tanpa disadari value itu kita terapkan dalam keseharian. Seiring waktu, standar nilai-nilai itu bisa saja berubah, sangat bergantung pada pola pikir dan lingkungan sekitar keluarga. Tetapi intinya, nilai-nilai itu penting adanya, tidak boleh tidak, karena itulah yang memberi sifat karakter dan membentuk pola pikir pada diri setiap anggota keluarga.
Jika saya boleh mengklaim sepihak, pernikahan versi milenial harusnya demikian. Menikah karena visi, menikah dengan alasan demikian yang mampu menjawab tantangan zaman di masa depan. Jadi perkara menikah bukan hanya perkara menyatukan dua anak manusia, menyatukan dua keluarga besar, tetapi lebih dari itu. Menikah itu menggabungkan visi, menikahkan cita-cita.  Menikah itu juga berarti menggabungkan kekuatan untuk mewujudkan visi, menikah itu meleburkan dua potensi besar untuk merealisasikan cita-cita, lalu menjaga cita-cita dan visi itu tetap hidup dalam pagar nilai-nilai kehidupan yang luhur. Demikianlah pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha, sebagai perjanjian yang agung itu memperoleh maknanya.
Kesimpulannya, menikahlah karena cinta, tetapi yang lebih penting lagi menikahlah karena cita-cita.
Akhir kata, mohon doanya untuk saya dan Maya yang masih dalam usia pernikahan seumur jagung ini. Kita masih dan akan terus belajar untuk melengkapi kata “saling” dalam kebaikan.
Wallahu a’lam bisshawab.
0 notes
endriatjeh · 6 years ago
Text
Hal-Hal yang Saya Pelajari Sebagai Majelis Hakim
Tumblr media
Izinkan saya berbagi secuil pengalaman saya menjadi Majelis Hakim di tiga simulasi peradilan semu. Dua diantaranya adalah Moot Court Competition (MCC) alias kompetisi peradilan semu dan satu Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) Perdata di kampus. MCC pertama sekaligus yang memperkenalkan saya pada peradilan semu dan peran majelis hakim ialah MCC Internal UGM 2013. Kedua, NMCC ALSA Piala Mahkamah Agung 2014 dan di semester tujuh ada PLKH Perdata yang menjadi mata kuliah wajib di FH UGM.
Satu pengalaman menarik lainnya adalah mengadili sengketa Pemilwa UGM tahun 2014. Ini bukan peradilan semu, ini sidang yang sebenarnya. Konon katanya sepanjang sejarah Pemilwa, saat itu kedua kalinya ada sengketa Pemilwa yang dibawa ke hadapan Mahkamah Pemilwa. Saya pikir itu sebuah pengalaman berharga. Setidaknya karena itu saya sudah mencicipi bagaimana rasanya mengadili sengketa pemilu yang para pihaknya adalah partai kampus.
Kebanyakan sudut pandang dalam tulisan ini sebenarnya diambil dari pengalaman saya memerankan Ketua Majelis, tapi saya pikir tidak banyak perbedaan antara menjadi Ketua Majelis dengan Hakim Anggota. Bedanya hanya pada Ketua Majelis memimpin jalannya sidang, sedangkan Hakim Anggota tidak. Nyatanya hampir semua hal yang harus dimiliki Ketua Majelis harus pula dimiliki Hakim Anggota. Hal-hal yang saya pelajari tersebut dirangkum dalam 15 poin berikut ini.
1.    Hafal tata urutan sidang (taur)
Modal paling utama yang harus dimiliki seorang Ketua Majelis adalah menghafal tata urutan sidang di luar kepala. Tanpa ini, maka peran Ketua Majelis tidak akan berjalan sama sekali. Pengalaman saya pertama kali menghafalkan tata urutan sidang (taur sidang) di MCC Internal mengharuskan ia menjadi sarapan saya tiap pagi. Hal ketiga yang saya lakukan setelah bangun pagi dan shalat Subuh adalah menghafalkan taur ini dan mengulangnya berkali-kali. Kira-kira butuh waktu tiga hari dengan rutinitas sedemikian rupa untuk membuat taur ini lengket di kepala. Jika sudah lengket, modifikasi apapun terhadap taur selama proses latihan karena ada penambahan materi sidang disana sini oleh coach tidak akan mempengaruhi hafalan taur.
Memang memungkinkan untuk membawa contekan atau bahkan print out taur ke dalam ruang sidang, namun yakinlah Anda sebagai Ketua Majelis tidak akan punya cukup waktu, bahkan hanya sekedar mencuri-curi baca. Pengalaman saya menyatakan tidak akan terbaca dengan baik contekan atau print out yang dibawa tersebut karena memperhatikan jalannya sidang saja sudah sangat menguras konsentrasi sepanjang sidang berlangsung.
2. Menguasai hukum formil itu penting
Perbanyak ilmu tentang hukum formil atau hukum acara. Ini penting untuk menambah poin penampilan sidang maupun dalam menyusun materi sidang saat latihan. Penguasaan hukum formil bagi hakim menurut saya adalah kelebihan yang tidak dimiliki oleh peran catur wangsa yang lain, meskipun semua catur wangsa pun juga harus mengerti sedikit-sedikit hukum formil ini. Berjalannya sidang ada di tangan Ketua Majelis, sehingga penggunaan hukum formil dalam penampilan sidang ada pada Ketua Majelis.
Mengenai hukum acara ini, saya pernah disarankan coach (dan kemudian saya praktikkan) untuk membawa KUHAP ketika penampilan sidang. Bukan hanya sebagai instrumen penunjang penampilan sebagai hakim, tetapi juga alat bantu jika sewaktu-waktu lupa pasal berapa dan bunyi lengkapnya dari aturan formil yang akan diucapkan. Bersama-sama dengan agenda hakim dan berkas lainnya yang diperlukan, silakan bawa KUHAP jika itu sidang pidana, HIR/Rgb terjemahan jika itu sidang perdata, atau UU PTUN jika itu sidang TUN ketika menampilkan sidang.
3. Terus asah analytical thinking
Majelis Hakim perlu punya analytical thinking yang bagus karena hakim disajikan fakta oleh para pihak yang nantinya akan dicocokkan dengan aturan hukum. Mudahnya hakim harus pintar menganalisis. Hakim mencari kebenaran materiil dengan menghubungkan titik terang kasus sedikit demi sedikit sebelum akhirnya mengambil kesimpulan. Di sinilah hakim menilai apakah pertanyaan yang diajukan para pihak dalam persidangan relevan atau tidak, layak ditanyakan atau tidak, apa yang belum jelas terbukti bagi hakim dan perlu digali lebih dalam, kesemuanya muncul dari kemampuan menganalisis kasus.
Dalam MCC, plot cerita persidangan yang terlihat dari alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan akan membuka tabir kebenaran materiil ini sedikit demi sedikit. Jika Majelis Hakim-nya memiliki kemampuan analisis yang baik, dia akan sangat mudah menentukan apakah pembuktian para pihak sudah cukup atau belum. Kemampuan menganalisa ini semakin sering diasah akan semakin tajam, berbanding lurus dengan pengalaman.
4. Majelis Hakim harus adil dan netral
Majelis Hakim adalah pihak yang paling netral dalam persidangan, dengan kata lain pihak yang tidak boleh berpihak. Hal ini sejalan dengan asas imparsialitas peradilan atau principle of judicial impartiality. Selama proses persidangan Ketua Majelis harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk membuktikan dalil hukumnya, memaparkan fakta, menunjukkan alat bukti, tidak boleh dihalang-halangi atau hanya memperhatikan salah satu pihak saja. Mudahnya, para pihak harus diberikan kesempatan yang sama oleh Ketua Majelis untuk saling jawab jinawab dalam persidangan dan mereka diberikan waktu yang sewajarnya untuk mempersiapkan dalil-dalil tanggapannya tersebut. Ini wujud penerapan asas audi et alteram partem, hakim harus mendengar kedua belah pihak.
Termasuk dalam hal ini Majelis Hakim tidak boleh mengucapkan kata-kata yang terkesan merendahkan salah satu pihak atau terlalu awal mengungkapkan kesimpulan sementaranya di hadapan sidang padahal belum semua agenda sidang dilalui. Tindakan yang terakhir ini sangat dapat mempengaruhi keobjektifan hakim dalam mengadili perkara dan sangat mungkin satu pihak berkeberatan melanjutkan sidang.
5. Majelis Hakim berdiri di atas independensi
Majelis Hakim diakui dan dilindungi independensinya oleh Undang-Undang. Sejalan dengan asas independensi peradilan atau principle of judicial independence, hakim independen berpendapat dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Independensi ini dapat diartikan dalam dua ruang lingkup, pertama independensi secara personal artinya hakim secara personal memiliki independensi ketika mengadili suatu perkara. Kedua, independensi secara institusi artinya institusi peradilan atau yudikatif tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan yang lain, baik itu kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Intervensi dalam bentuk apapun atas independensi hakim tidak dibenarkan.  
Contoh konkret mengenai hal ini ialah adanya dissenting opinion dalam sebuah putusan. Hakim yang berbeda pendapat dengan suara mayoritas hakim dalam sebuah Majelis diberikan hak untuk mencantumkan pendapatnya tersebut. Dissenting opinion juga dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Demikian besar independensi hakim dijaga agar hakim dapat memberikan keadilan kepada pencari keadilan.
6. Majelis Hakim sebagai tuan rumah
Jika pengadilan diibaratkan sebuah rumah, maka Majelis Hakim adalah tuan rumah dan para pihak, pengunjung sidang, wartawan, atau siapapun yang datang ke ruang sidang adalah tamu. Selayaknya tuan rumah yang baik, tamu disambut dengan ramah dan penuh pengayoman. Begitupun selayaknya tamu, ada tata krama yang perlu dipatuhi. Tuan rumah tidak perlu sungkan mengingatkan tamunya tentang tata tertib sidang di awal sebelum sidang dimulai, bahkan pada kondisi tertentu, menegur. Para pihak diminta untuk bersungguh-sungguh menjalani agenda sidang, pengunjung sidang menghormati jalannya persidangan dan tidak melakukan sesuatu yang dapat mengganggu kelancaran sidang, wartawan diminta untuk menghormati sidang dengan bersikap sewajarnya dalam mengambil gambar dan mengabadikan persidangan, tidak pakai lampu kilat kamera dan sebagainya. Ini tata tertib sidang yang biasanya dibacakan protokoler, dan biasanya Ketua Majelis mempertegas poin-poin penting dari tata tertib tersebut.
7. Berbagi tanggung jawab sesama Majelis Hakim
Pembagian tugas sesama Majelis Hakim penting. Pertama, untuk mengurangi beban Ketua Majelis. Kedua, menghindari risiko yang tidak diinginkan selama sidang berlangsung seperti lupa dialog, lupa urutan taur, dsb. Saya biasanya meminta Hakim Anggota di kanan untuk memantau waktu sidang dan Hakim Anggota di kiri untuk mengingatkan urutan agenda sidang. Jujur saja, untuk urutan agenda sidang bisa saja dimodifikasi 5 menit sebelum penampilan, walaupun itu sangat jarang terjadi. Ini adalah bentuk pembagian tugas yang cukup efektif mengingat Ketua Majelis fokus mengingat tata urutan sidang sekaligus menyimak setiap dialog dalam sidang, baik antar catur wangsa maupun keterangan saksi dalam agenda pembuktian sehingga tidak ada yang luput dari perhatian Ketua Majelis.
8. Penghayatan terhadap peran adalah kunci
Menurut saya peradilan semu lebih dari sekedar sandiwara. Bedanya dengan sinetron adalah sandiwara dalam MCC itu berbobot, sandiwara disusun dengan riset dan teori-teori hukum. Jadi bagus tidaknya penampilan ditentukan oleh bagaimana seluruh anggota tim memainkan peran. Di sinilah penghayatan peran menjadi penting. Untuk menunjang penghayatan itu, seringkali penampilan fisik pun ikut dipoles agar kesan peran yang dimainkan menjadi totalitas. Misalnya seorang Ketua Majelis ditampilkan dalam rupa agak tua, rambut sedikit beruban, dan tentu saja bicaranya tenang dan berwibawa.
Latihan saya dulu juga menerapkan aturan tidak boleh memanggil sesama anggota tim dengan sebutan nama, harus dengan panggilan selayaknya di pengadilan seperti “Pak Hakim, Bu Jaksa, Pak Panitera”, dsb. Hal ini tidak lain bertujuan agar setiap orang menghayati peran yang dimainkan. Selain juga untuk menghindari kesalahan penyebutan saat persidangan karena kebiasaan memanggil sesama anggota tim dalam keseharian di kampus. Mungkin cara ini bisa ditiru untuk melatih tim MCC yang anggotanya baru pertama kali mengikuti latihan MCC.
9. Majelis Hakim harus anti grogi
Majelis Hakim adalah trio yang paling disorot selama sidang berjalan, jadi rasa percaya diri untuk terus dilihat orang banyak selama 80 menit lebih adalah hal yang penting. Setiap ucapan hakim disimak banyak orang, setiap gerak-geriknya diperhatikan banyak pengunjung sidang. Untuk itu bersikaplah sewajarnya, tidak perlu grogi. Walaupun demikian, untuk pengalaman pertama memimpin sidang semuanya tidak berjalan mudah. Akan ada banyak pikiran yang menggelayuti pikiran dalam waktu bersamaan, seperti dialog apa yang akan diucapkan, urutan sidang setelah itu apa, dan formil sidang apa yang harus dipaparkan, semuanya bertemu dalam pikiran dalam waktu bersamaan. Kondisi ini akan semakin mengerikan jika perasaan grogi dan gugup ikut berkecimpung. Jangankan bisa mengingat detail-detail tersebut, justru risiko nge-blank lebih mungkin terjadi.
10. Natural aja, jangan kaku
Bersikap natural sesuai situasi dan kondisi sidang. Contohnya jika ada saksi yang memerankan karakter lucu, Majelis Hakim tidak perlu sungkan untuk ikut tertawa atau sekedar tersenyum melihat tingkah si saksi. Jika saksi lagi bersedih atau menangis, maka Ketua Majelis menenangkan. Jika pengunjung sidang riuh rendah dan mengganggu ketenangan ruang sidang, Ketua Majelis tidak perlu ragu menegur dan mengingatkan pengunjung sidang. Ini yang disebut respon natural persidangan. Jika ada hal-hal yang tidak biasa, janggal, sedikit aneh maka Ketua Majelis berusaha bermusyawarah dengan Hakim Anggota yang lain sebelum memutuskan akan merespon seperti apa. Hal-hal kecil seperti ini membuat sidang berjalan natural dan jauh dari kesan “sekedar” sandiwara.
11. Hadapi hal tak terduga secara tenang
Jika terjadi hal-hal diluar rencana ketika persidangan berlangsung, maka Ketua Majelis harus yang pertama kali terlihat paling tenang menghadapi “sesuatu tak terduga” tersebut. Kejadian yang paling sering terjadi misal tiba-tiba mati listrik. Tidak perlu panik dan kebingungan, Ketua Majelis respon saja secara natural, misal dengan perkataan, “Baik, ini karena listriknya mati, agenda sidang kita lanjutkan saja ya. Bagaimana para pihak tidak keberatan kan? Nanti suaranya tolong lebih dinyaringkan ya”. Ini akan menyelamatkan sidang dari “sesuatu tak terduga” tersebut sehingga penampilan akan terus berjalan dan tidak terganggu. Jika Ketua Majelis memilih diam saja dan tidak merespon padahal jelas ada peristiwa semacam itu, maka sidang terkesan tidak berjalan baik dan memaksakan diri.
12. Mendalami peran, menemukan karakter
Yang dapat dilakukan untuk menghayati peran dalam persidangan agar lebih baik adalah banyak-banyaklah menyaksikan persidangan sebenarnya di pengadilan. Anda dapat menyimak pertanyaan apa saja yang dilontarkan Ketua Majelis ketika akan memulai sidang, menutup sidang, menanyakan para pihak, dsb. Ini juga berlaku bagi catur wangsa yang lain. Sedangkan untuk mencari karakter pembawaan dalam persidangan dapat dilakukan dengan sebanyak-banyaknya menonton simulasi sidang MCC yang dianggap bagus, baik secara materiil maupun formil. Di tiap-tiap kampus biasanya memiliki karakter tersendiri mengenai materiil dan formil persidangan ini, misalnya ada kampus yang sangat menonjolkan pembuktian secara mendalam dibandingkan formil persidangan. Ini pilihan, yang jelas simulasi persidangan harus selesai dalam mengupas kasus, tidak menggantung.
13. Majelis Hakim dituntut untuk cerdas
Hal lain yang menurut saya keren adalah Majelis Hakim dituntut untuk cerdas atau setidaknya terlihat memahami masalah dengan sangat baik. Itu artinya seakan-akan Majelis Hakim sudah mengerti seluk beluk perkara yang diadilinya. Gelagat ini menjadi lebih kentara ketika berpapasan dengan seorang ahli di persidangan yang seringkali seorang guru besar suatu bidang ilmu tertentu. Jadi dialog hakim dengan ahli lebih mirip diskusi daripada kuliah.
Selain untuk menjaga kewibawaan hakim, ini juga implementasi asas ius curia novit, hakim dianggap tahu hukum. Jadi seakan-akan tanpa bertanya kepada ahli pun, hakim dapat menentukan hukum untuk mengadili suatu perkara. Dalam MCC, kesan ini sangat tergambarkan dalam menyusun dialog antara Majelis Hakim dengan ahli. Hakim bertanya kepada ahli sebenarnya bertujuan untuk meyakinkan kesimpulan sementara yang sudah diperolehnya lebih dulu. Sehingga di beberapa kasus, pertanyaan hakim kepada ahli sudah cukup menggambarkan ke arah mana putusan hakim akan berpihak.
14. Palu Hakim itu benda sakral
Entah untuk alasan apa ketika saya menuliskan ini, saya membayangkan palu Thor. Mungkin karena saya masih terbawa suasana film The Avengers. Boleh dibilang demikianlah ampuhnya palu hakim. Setidaknya dalam kondisi normal palu hakim hanya digunakan tiga kali di tiga momen sakral selama sidang berlangsung. Pertama membuka sidang, kedua menutup sidang, dan ketiga ketika Majelis Hakim selesai membacakan diktum putusan. Fungsi palu hakim yang terakhir ini dampaknya bisa sangat mengerikan, contohnya jika itu kasus pidana, nyawa seorang terdakwa yang divonis hukuman mati digantungkan pada diketuknya palu hakim tersebut. Satu ketukan palu saja sudah cukup mensahkan negara mencabut nyawa seseorang. Sesuatu yang seringkali membuat saya merinding membayangkannya. Untuk itu, palu hakim tidak digunakan untuk bermain-main atau digunakan untuk hal-hal yang tidak beralasan oleh Majelis Hakim.
Dalam persidangan, sebenarnya ada satu fungsi palu hakim lagi yang juga ampuh digunakan saat mendesak yaitu menenangkan pengunjung sidang yang sudah mulai riuh. Untuk alasan ini, pengunjung sidang dengan keriuhannya dianggap mengganggu jalannya sidang sehingga perlu diingatkan untuk kembali menjaga ketenangan. Pengalaman saya membuktikan bahwa palu hakim adalah alat pengingat yang sangat efektif. Cukup dua kali ketukan saja sudah membuat suasana ruang sidang kembali hening. Entah bagaimana caranya suara ketukan palu tadi berhasil mengalahkan dominasi suara-suara yang lain, atau dengan kata lain penyebab orang memilih berhenti mengeluarkan suara ketika mendengarkan suara ketukan palu adalah hal yang saya belum temukan jawabannya. Namun lagi-lagi, cara ini tidak bisa sering digunakan mengingat kesakralan palu hakim itu sendiri.
15. Golden time adalah segalanya
Saya pikir skill pamungkas terakhir yang perlu dimiliki seorang Ketua Majelis ialah kemampuan membaca situasi kapan harus menutup sidang agar mencapai golden time. Ini tidak semudah yang Anda bayangkan. Boleh dibilang ini adalah skill yang dibentuk antara kemampuan memainkan ritme sidang dan kemampuan membaca waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua agenda sidang tanpa ada yang dilewatkan dalam waktu yang tersedia. Tiap MCC menentukan golden time berbeda-beda, tetapi biasanya dalam rentang menit 80 sampai 82.59 yang ditandai dengan diangkatnya bendera kuning dan berakhir dengan berkibarnya bendera merah. Jika penampilan sidang lebih dari itu, nilai akan dikurangi 100 per menitnya. Tergantung peraturan kompetisi.
Pengalaman saya terkait golden time ini boleh dibilang menggelikan. Di MCC pertama, saya menutup sidang lima detik sebelum golden time berakhir. MCC ke dua lebih tragis lagi, empat detik sebelum bendera merah diangkat. Jangan tanyakan bagaimana deg-degannya detik-detik menjelang akhir sidang ini. Pikiran seorang Ketua Majelis akan campur baur antara fokus membaca putusan dan mendengar pembacaan putusan oleh Hakim Anggota, mengira-ngira waktu yang tersisa dan formil-formil sidang yang tidak boleh terlewatkan.
Relevansi golden time ini dengan dunia peradilan yang sebenarnya adalah Majelis Hakim juga dibatasi waktu untuk menangani suatu perkara. Sebut saja misal di Pengadilan tingkat pertama, penanganan perkara dibatasi waktu 5 bulan. Jika melebihi tenggat waktu yang ditentukan, ini bisa menjadi catatan tersendiri bagi tim evaluator untuk melihat lebih lanjut mengapa satu perkara tersebut membutuhkan waktu lebih lama.
Sekian. Doakan agar nanti saya juga bisa berbagi pengalaman bagaimana menjadi Majelis Hakim di dunia peradilan yang sebenarnya.
Semoga bermanfaat. :)
0 notes
endriatjeh · 8 years ago
Text
Rumoh Literasi: Sebuah Gagasan
Tumblr media
Indonesia tidak akan terang benderang hanya dengan mengandalkan obor di Jakarta, Indonesia hanya akan terang benderang dengan menyalakan lilin-lilin di desa-desa”. (Bung Hatta)
Mengapa literasi itu penting? Literasi adalah kunci untuk membuka gudang pengetahuan. Literasi sekaligus menjadi jembatan yang mengantarkan orang dari dunia kejahiliyan ke dunia yang berpengetahuan. Individu yang buta literasi adalah individu yang jauh dari kecerdasan dan tidak berkembang. Begitupun dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat tanpa literasi adalah masyarakat yang tidak mampu mengenal identitas dirinya sendiri dan mudah terombang-ambing. Tidak berkembang dan tidak berdaya.
Setidaknya ada 4 hal yang menjadi titik mula (starting point) alasan Rumôh Literasi ini didirikan. Pertama, keresahan bersama betapa rendahnya budaya literasi di masyarakat kita, khususnya masyarakat Aceh Barat. Kedua, sedikitnya orang yang sadar bahwa budaya literasi itu penting. Ketiga, betapa sedikit orang yang sadar dan mau bergerak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Keempat, lebih sedikit lagi orang yang sadar lalu mau bergerak bersama-sama yang lain, berkumpul dalam sebuah wadah komunitas dalam rangka pengabdian untuk menghidupkan budaya literasi secara sistematis dan terarah.
Komunitas Rumôh Literasi berangkat dari sebuah kegelisahan bahwa Aceh, khususnya Aceh Barat masih ketinggalan jauh dalam membudayakan literasi. Tingkat pendidikan di Aceh dan kualitas sumber daya manusianya masih jauh dari ideal. Bermula dari keresahan atas minimnya kesadaran masyarakat dalam hal literasi itulah yang menyadarkan kami untuk mendirikan Rumôh Literasi. Dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Rumôh Literasi, komunitas ini berusaha menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.
Rumôh dalam bahasa Aceh bermakna rumah. Rumôh literasi tidak lain dicita-citakan dapat menjadi rumah bagi para pecinta dan pegiat literasi. Rumah untuk pecinta buku, penulis, pegiat diskusi dan mereka yang gemar beraksi dengan semangat berliterasinya. Itulah mengapa Rumôh Literasi mengusung jargon “baca, nulis, diskusi, aksi” sebagaimana kegiatan literasi dapat dimaknai. Rumôh Literasi menjadi wadah bagi mereka yang minat pada literasi, lalu berusaha menularkan minat yang baik tersebut kepada orang lain. Rumôh Literasi adalah markas bagi aktivis-aktivis literasi.
Daripada mengutuki kegelapan, kami lebih memilih menyalakan lilin. Daripada saling menyalahkan orang lain, kami memilih turun tangan dan mengambil peran untuk berkecimpung menghidupkan literasi dalam masyarakat. Bagi kami, tidak penting seberapa besar peran yang diambil, tetapi seberapa besar manfaat yang bisa diberikan. Bismillah!
Visi
Menjadi “rumah” bagi para pecinta dan pegiat literasi
Misi
·Rumôh Literasi menjadi tempat berhimpun aktivis-aktivis literasi di Aceh Barat
·Rumôh Literasi menjadi tempat yang kondusif dan mendukung untuk berkegiatan literasi
·Rumôh Literasi sebagai wadah berliterasi diantara anggota komunitas
·Rumôh Literasi sebagai “sekolah” bagi anggota komunitas untuk meningkatkan kemampuan literasinya
·Rumôh Literasi sebagai sarana anggota komunitas menghidupkan budaya literasi dalam masyarakat Aceh Barat
Kegiatan Komunitas
1 NGOPI (Ngobrol Pintar)
Diskusi santai yang didahului pemaparan pemantik
2 CERBUK (Ceritakan Bukumu)
Setiap orang membaca sebuah buku kemudian menceritakan kembali atau didiskusikan terkait buku yang telah dibaca.
3 Kelas Menulis
1. Kelas menulis sastra
2. Kelas menulis artikel berita
3.  Kelas menulis esai
4 Diskusi Bulanan
1.  SURAH (Diskusi Sejarah) (bedah buku bertema sejarah keacehan, prioritas sejarah Aceh Barat)
2.  PETRA (Petang Sastra) (diskusi sastra dan bedah buku bergenre sastra)
3.  KONSPIRASI (Tokoh Menginspirasi) (diskusi dengan mengundang tokoh-tokoh di Aceh Barat)
5 Aksi Sosial
1.  BBF (Berantas Buta Huruf) (mengajar membaca masyarakat di desa-desa yang masih buta huruf)
2.  GCK (Gerobak Cerdas Keliling) (perpustakaan keliling dengan fasilitas gerobak)
3.  Meulaboh Menginspirasi (berkunjung ke sekolah-sekolah, komunitas-komunitas, instansi-instansi untuk mempromosikan budaya literasi)
6 Perpustakaan Komunitas (PUSKOM)
1.  Perpustakaan fisik
2.  Database E-book
7 Meulaboh Literation Festival (MOLIFE)
Festival yang menghimpun komunitas-komunitas literasi dan stakeholder literasi di Meulaboh sebagai bentuk kampanye massif budaya literasi kepada masyarakat
10 Nilai Sahabat Rumôh Literasi
Terdapat 10 nilai yang dijunjung tinggi oleh setiap Sahabat Rumôh Literasi. Berangkat dari pemahaman. “high value, high context”, kami mencoba menjaga kualitas sumber daya manusia yang tergabung dalam komunitas ini. Setiap Sahabat Rumôh Literasi dalam berkegiatan tidak hanya sebagai rutinitas, namun juga diimbangi dengan penanaman nilai yang mumpuni di dalamnya. Tujuannya agar para penggerak literasi tidak menjadi pragmatis dan oportunis. Hal ini sangat diperlukan disebabkan ranah kerja Rumôh Literasi berada dalam wilayah non profit dan pengabdian. Harapannya, dunia aktivisme literasi tidak hanya menjadi ranah “mencari kesibukan” semata, namun ada nilai tambah yang diperoleh dan kemudian menjadi bagian dari karakter yang terbentuk secara alamiah bagi aktivis-aktivis literasi ke depannya.
Rendah Hati
Karakter seorang sahabat Rumôh Literasi adalah rendah hati, tidak sombong, dan selalu merasa tidak lebih baik dari orang lain. Seorang Sahabat Rumôh Literasi selalu berusaha menjadi gelas kosong yang siap menampung hikmah dan pelajaran yang diberikan orang lain.
Ikhlas dan Kontributif
Mengutamakan keikhlasan dalam berbuat, semata-mata untuk pengabdian bagi orang banyak. Tidak mementingkat keuntungan materiil, semata-mata untuk memberikan kebaikan dan kebermanfaatan bagi orang lain. Niat ikhlas karena Tuhan semata, niat yang bersih suci, bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan duniawi lainnya. Ikhlas tidak mengharapkan sesuatupun karena manusia, pamrih tanpa imbalan, bahkan popularitas pun tak perlu dihiraukan. Berharap hanya Tuhan saja yang mampu membalas setiap kebaikan yang kita hadirkan bagi manusia sekitar. Kontribusi yang dilakukan di Rumôh Literasi seakan-akan menjadi jiwa dan naluriah bagi setiap Sahabat Rumôh Literasi.
Amanah dan Totalitas
Di antara sekian banyak karakter amanah ini ialah termasuk di dalamnya nilai-nilai kedisiplinan. Kedisipilinan ini terbagi dalam tiga bentuk, pertama kedisiplinan personal, kedua kedisipilinan pola pikir, dan ketiga kedisiplinan sistem. Sikap amanah ini akan melahirkan sikap tanggung jawab, cinta pada yang dikerjakan, lalu akhirnya menumbuhkan tekad totalitas, tidak akan menyerah hingga tujuan dan cita-cita komunitas terwujud sebagaimana yang diimpikan.
Religius
Sahabat Rumôh Literasi setiap berkegiatan selalu berusaha menghadirkan Tuhan, begitupun dalam setiap karya-karya yang dilahirkan. Menanamkan rasa syukur atas segala rahmat yang sudah diberikan karena hakikatnya hanya karena atas kuasa dan rahmat Tuhan semata semua kontribusi dapat terus kita wujudkan.
Inisiatif
Inisiatif untuk melahirkan gagasan-gagasan baru dan berinisiatif mengambil langkah lebih dahulu di antara yang lain. Inisiatif untuk terus memberikan saran bagi kebaikan komunitas, dan berinisiatif melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi komunitas dan masyarakat.
Objektif dan Intelek
Membentuk nuansa keilmiahan. Termasuk Open mind, tidak memenjarakan pikiran pada fanatisme yang membabi buta. Objektif, menilai berdasar kapabilitas dan kapasitas. Seringkali sikap objektif ini dipertaruhkan dalam melakukan karya-karya komunitas karena adanya kepentingan-kepentingan yang tidak semestinya.
Open Minded
Open minded secara mudah dapat didefinisikan berwawasan terbuka. Membuka pikiran dan tidak membatasi perspektif dalam mengamati dan memahami permasalahan menjadi modal utama bagi seorang pegiat literasi. Terus belajar dari banyak hal, bacaan dan pengalaman menjadi faktor kunci bagaimana wawasan dapat terbuka secara bertahap. Amati, maka kau akan belajar memahami.
Moderat
Tidak bersikap terlalu fundamen, istilahnya “semua yang aku ketahui belum tentu benar, semua yang engkau ketahui juga belum tentu benar”. Bersikap menjadi manusia pertengahan, tetapi bukan berarti tidak berpihak. Menjadi penengah dari berbagai perbedaan perspektif dan berusahan mencari titik temu, mewujudkan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Mementingkan Kebersamaan dan Kekeluargaan
Mustahil adanya jika perubahan diwujudkan hanya dengan bergerak sendiri, semua perbaikan harus dilakukan bersama-sama. Disinilah persaudaraan akan terbentuk. Maka kesamaan visi dan tujuan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi, tanpa ini maka tidak akan ada seiring selangkah dalam bergerak, akhirnya cita-cita besar komunitas tidak akan bisa terwujud. Inilah yang kita kenal sebagai beramal bersama, bergerak bersama. Bersama berarti lebih banyak sumber daya, lebih banyak stamina. Bersama berarti lebih besar dampak yang dihasilkan, berarti lebih terbuka peluang mencapai hasil yang diharapkan.
Independen dan Non Partisan
Bergabung bersama komunitas bukan dilatar belakangi kepentingan-kepentingan politik praktis yang mengikut di belakang, begitupun dalam mengikuti kegiatan-kegiatan komunitas. Sahabat Rumôh Literasi dalam berkegiatan di komunitas menjaga independensinya dalam rangka totalitas pengabdian bagi masyarakat. Menghindari membawa embel-embel komunitas bagi kepentingan-kepentingan di luar tujuan-tujuan komunitas.  
Sekian!
Meulaboh, 27 September 2017
Rumoh Literasi
 IG: @rumohliterasi
FB: Rumoh Literasi
Email: [email protected]      
CP: 0812 6326 9516 (WA) / 0852 7754 6747 (WA)
2 notes · View notes
endriatjeh · 8 years ago
Text
Mencintai Dunia Hukum
Tumblr media
Judul yang saya pilih ini persis sama dengan judul artikel hasil wawancara saya dalam rubrik Remaja yang terbit di Koran Singgalang hari Minggu, 27 November 2016. Salah satu pertanyaan wawancara yang membuat saya berpikir keras untuk menjawabnya ialah “mengapa memilih kuliah di jurusan ilmu hukum?”. Pertanyaannya sederhana, tetapi untuk menjawab secara tepat membuat saya harus merenung lumayan lama saat itu, mencoba mengingat-ingat kembali detik-detik semasa akhir SMA dulu.
Saya coba uraikan tulisan saya ini berbentuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, harapannya dapat lebih mudah dipahami oleh siapapun yang membaca, terutama adik-adik yang akan memilih jurusan di kampus yang difavoritkan. Dikarenakan saya seorang mahasiswa hukum, maka isi tulisan ini hampir bisa dipastikan sebagian besarnya bicara tentang jurusan ilmu hukum, meskipun di sana-sini juga menyinggung tentang dunia mahasiswa pada umumnya.
Mengapa Fakultas Hukum?
Jawaban atas pertanyaan ini harus saya mulai dengan membahas stereotipe kebanyakan orang awam tentang dunia hukum. Entah mengapa, dunia hukum selalu diidentikkan dengan dunia yang njelimet, kaku, horor, suram, banyak kepentingan politik atau bahasa kerennya intrik-intrik politik, menjebak, lebih-lebih jika sampai ke tahap mencekam. Fobia ini dipupuk sedari masih berstatus siswa, misalnya saja saya sendiri ketika memutuskan memilih masuk Fakultas Hukum dicecar dengan banyak pertanyaan oleh beberapa kerabat di keluarga saya sendiri. Stereotipe ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ini saya sadari setelah 4 tahun 5 bulan belajar hukum. Terlepas dari hal itu, persoalannya ketika kita tahu ada kebobrokan dan ketidakberesan dalam dunia hukum saat ini, apa yang akan kita lakukan? Memilih diam dan menghindar? Atau memilih mengambil peran, turun tangan untuk memperbaiki? Memilih mengutuki kegelapan, atau memilih menyalakan lilin? Sekilas kalimat-kalimatnya sangat retoris, tetapi ya beginilah adanya.
Kebanyakan orang mungkin akan memilih menjauh, lepas tangan, berpikir ribuan kali untuk berkecimpung. Berharap akan ada sosok-sosok super baik level dewa yang akan mengurusi kebobrokan hukum di negeri ini. Sayangnya kita terlambat tahu, bahwa tidak ada orang lain selain anak bangsa ini yang harus melakukannya. Yakinlah ketika anak bangsa ini memilih untuk tidak melibatkan diri memperbaiki dunia hukum saat ini, maka tidak akan ada yang melakukan. Sering kita mendengar, ketika dunia hukum tidak diisi oleh orang-orang baik, tidak digawangi oleh orang-orang baik, yakinlah ia akan diisi oleh orang-orang jahat. Ini sebuah keniscayaan. Tidak ada pilihan untuk menghapus dunia hukum tersebut, karena ia konsekuensi dari hidup yang bermasyarakat. Hukum adalah kebutuhan karena kita hidup bernegara dan bermasyarakat dan mendambakan ketertiban, hari ini hingga kapanpun. Adagium hukum dalam bahasa Latin mengistilahkannya ubi societas, ubi ius. Dimana ada masyarakat, maka disitu ada hukum. Memilih belajar hukum di Fakultas Hukum berarti memilih untuk siap melakukan itu semua. Memutuskan menjadi seorang intelektual hukum berarti siap turun tangan, mengambil peran memperbaiki kondisi yang tidak ideal tersebut.
“Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta”. Peribahasa ini juga berlaku di dunia kampus. Mengapa memilih Fakultas Hukum? Mengapa memilih jurusan ilmu hukum? Pastikan kita punya alasan yang kuat untuk pertanyaan ini. Sepanjang pengamatan saya, ada catatan penting untuk seorang calon mahasiswa terkait alasan memilih jurusan ini. Pilihlah jurusan di kampus yang sesuai dengan minat, bukan yang sekedar prospek, apalagi hanya karena mempertimbangkan gengsi. Prospek kerja perlu dipertimbangkan, tetapi ini bukan proritas pertama. Banyak sekali calon mahasiswa merasa telah memilih secara tepat jurusan kuliahnya karena melihat bahwa jurusannya itu difavoritkan banyak orang, atau karena biasanya penghasilannya besar jika sudah bekerja nantinya, atau pula hanya melihat prospek kerja yang baik karena dibutuhkan banyak perusahaan misalnya. Sadar bahwa itu bukan jurusan yang diminatinya ketika sudah di tengah jalan. Untuk mahasiswa yang mengalami kondisi seperti ini, banyak yang akhirnya memilih pindah fakultas atau bahkan pindah kampus. Bayangkan betapa banyak biaya dan waktu yang sudah dikorbankan untuk itu.
Akan lain ceritanya ketika memilih jurusan sesuai minat, belajar di jurusan yang diminati layaknya menjalani sebuah hobi. Kuliah akan terasa sangat menantang dan menggembirakan. Ibarat hobi, seluruh perhatian dan pikiran akan tertuju pada bagaimana menikmati hobi itu. Dengan begini, kampus justru jadi tempat yang menyenangkan, bukan tempat yang menyeramkan. Kampus bukan dianggap sebagai pemberi beban, hingga akhirnya dihindari. Pergi ke kampus, menghabiskan waktu di sana bukanlah sebuah rutinitas yang membosankan. Pergi ke kampus sama artinya dengan pergi ke tempat dimana hobi dilakukan. Untuk mencapai kondisi yang seperti ini, syarat pertama tadi tentu tidak boleh dikesampingkan sama sekali.
Akibat positifnya, sesulit apapun proses belajar yang akan ditempuh nantinya semasa kuliah, disebabkan minat maka tentu kita akan sangat menikmati proses itu, hingga akhirnya masa studi selesai. Mereka yang lulus dengan hasil yang membanggakan adalah mereka-mereka yang sudah meletakkan minatnya terlebih dahulu sebelum menjalani proses kuliah di jurusan itu. Lebih jauh lagi, kualitas seorang sarjana yang memilih jurusan kuliahnya karena minat dengan yang tidak minat alias “sekedar memilih” dan “yang penting lulus” tentu berbeda. Ini bicara tentang kualitas proses kuliah yang dilalui. Betapa banyak yang justru tidak punya proyeksi ke depan setelah lulus kuliah dari jurusannya. Ini bukan hanya untuk calon mahasiswa hukum, saya rasa semua jurusan juga akan berlaku hal yang sama.
Pilihlah jurusan sesuai minat. Belajar di Fakultas Hukum pun juga demikian. Pastikan memilih belajar hukum karena minat, bukan karena pendapatan dari pekerjaan yang digeluti nantinya, apalagi karena gengsi dalam pergaulan. Di sini saya sangat mengapresiasi mereka-mereka yang sudah lebih awal, bahkan mungkin sejak masuk SMA sudah meminati belajar hukum dan sudah berencana masuk Fakultas Hukum ketika kuliah nanti. Izinkan saya mengulas awal mula cerita saya memilih belajar hukum di UGM. Memutuskan masuk Fakultas Hukum baru saya lakukan ketika akhir-akhir masa SMA. Minat belajar saya sejak kelas 3 SMA semester 2 berubah ke rumpun ilmu sosial, meskipun SMA saya saat itu hanya memiliki jurusan IPA. Hal ini sebenarnya banyak dipengaruhi lingkungan organisasi yang saya tekuni, membuat saya lebih banyak bersentuhan dengan ilmu-ilmu sosial secara tidak langsung. Ketika akan masuk kuliah, saya niatkan untuk tetap mengambil jurusan sosial, melanjutkan minat saya itu. Pada akhirnya saya memilih Fakultas Hukum disebabkan -mungkin jawaban ini sama dengan mahasiswa hukum lainnya- saya yakin belajar hukum tidak semengerikan yang dipahami orang banyak, hanya hafal pasal-pasal dalam undang-undang, bacaannya hanya kitab undang-undang yang tebalnya bisa dijadikan bantal tidur, atau belajar hukum ujung-ujungnya jadi pengacara yang bisanya hanya membela orang-orang tersangkut perkara hukum di pengadilan. Saya yakin belajar hukum lebih berwarna dari itu. Dalam bayangan saya belajar tentang hukum berarti berusaha mengenali dunia yang masih misterius, ini menarik untuk saya tekuni lebih jauh.
Di saat yang sama, saya niatkan pula memilih Fakultas Hukum sebagai bentuk kontribusi saya memperbaiki hukum Indonesia yang masih cita rasa penjajah kolonial. Siapapun tahu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia hari ini adalah warisan kolonial Belanda dan benar adanya sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia hari ini. Namun karena kita belum mampu memperbaruinya, termasuk karena kurangnya kapasitas keilmuan, KUHP yang bahkan di Belanda sudah direvisi sebanyak tujuh belas kali tersebut masih digunakan hingga detik ini. Selain KUHP, ada ratusan peraturan perundang-undangan lainnya dengan kondisi serupa.
Ketika sudah mulai belajar hukum di Fakultas Hukum UGM, tekad itu kian membesar. Saya semakin dibukakan wawasan bahwa memang masih banyak pekerjaan rumah besar bagi negeri ini untuk memperbaiki hukumnya. Jika tidak mampu mengganti, minimal menambal lubang-lubang yang ada agar yang namanya tujuan hukum itu benar-benar terwujud, agar yang namanya rakyat hidup sejahtera di tanah airnya sendiri tersebut benar-benar terjadi. Jika Indonesia sebagai sebuah nation ini didirikan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”, maka hukum nasional kita seharusnya bertujuan merealisasikan itu semua. Optimisme akan masa depan dunia hukum yang lebih cerah dan menjanjikan, lebih baik dan bermartabat adalah tugas anak bangsa ini. If not now when, if not we who else. Maka mari nyalakan lilin.
Apa nilai-nilai dasar yang harus dimiliki seorang mahasiswa hukum?
“Selamat datang di kawah candradimuka pendidikan hukum terbaik di Indonesia.” Ini kalimat pertama yang terngiang di telinga saya ketika welcoming party di Aula Fakultas Hukum UGM. Ya, secara kualitas boleh dibilang Fakultas Hukum UGM ini salah satu yang terfavorit dan kualitas alumninya tak perlu diragukan lagi. Di awal mula masuk kuliah tentu semua mahasiswa sudah awam yang namanya orientasi dan pengenalan kampus. Ini momen-momen ajang pembentukan karakter mahasiswa karena yang namanya kampus tidak sama dengan sekolah, misalnya saja di kampus mahasiswa lebih banyak dituntut “menyuap” ilmunya sendiri dibandingkan “disuap”. Itu artinya mandiri dalam belajar, membiasakan banyak membaca, sehingga ruang kuliah lebih banyak berperan sebagai stimulan dan pengembang. Apalagi untuk seorang mahasiswa hukum, membaca adalah kunci dan itu dituntut untuk dilakukan sendiri oleh si mahasiswa.
Belajar hukum bukan hanya mementingkan kecerdasan semata, bukan hanya memahami dengan baik teori-teori hukum, bahkan mampu menghafal teorinya tanpa lupa satu kalimat pun, belajar hukum juga belajar mengasah logika dan rasa. Saya rasa semua sarjana hukum sepakat dengan ini. Bentuk dari mengasah rasa ini ialah pentingnya penanaman nilai khas mahasiswa hukum. Penanaman nilai-nilai integritas, keadilan dan keberpihakan adalah kurikulum sarapan pagi sebelum menyantap mata kuliah yang lain. Bagi saya, ini bukan hal yang bisa ditawar-tawar. Jika kampus luput dari penanaman nilai seperti ini, pengetahuan tentang hukum justru hanya akan menjadi bumerang. Paham hukum hanya akan dimanfaatkan untuk yang sifatnya negatif.
Pertama, nilai integritas. Integritas tidak sama dengan jujur. Jujur berarti mengungkapkan sesuatu apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi. Sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Integritas lebih dari itu. Integritas dapat dikatakan menikahkan ucapan dengan perbuatan. Integritas meyakinkan seorang sarjana hukum akan pentingnya bertahan di jalan keadilan dan kebenaran yang diyakininya di tengah kuatnya godaan untuk melakukan keculasan. Paham hukum tidak berhenti hanya pada sebatas mencegah seseorang tidak melakukan yang salah, tetapi lebih dari itu. Paham hukum juga mengharuskan meluruskan yang salah dan itu disemai oleh nilai-nilai integritas. Alih-alih melakukan, membiarkan keburukan terjadi di depan mata saja sudah menjadi sesuatu yang haram bagi seorang intelektual hukum. Kalau kata W.S Rendra, “mendiamkan kesalahan adalah pengkhianatan”. Ketika kita bilang tidak akan korupsi, maka sampai kapanpun tidak akan melakukan korupsi. Lalu kita tidak akan membiarkan orang lain melakukan korupsi. Ini bentuk integritas.
Kedua, adil. Adil tidak sama dengan sama rata. Jika merata maka semua orang mendapatkan ukuran jatah yang sama, sedangkan adil berarti memberikan hak sesuai dengan porsinya. Menarik jika saya mengutip potongan ayat Al-Quran yang juga ditulis di gerbang masuk Harvard Law School. Surat Annisa ayat 135 berbunyi "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Tahu terhadap segala apa yang kamu kerjakan.''  Peradaban manapun menjunjung tinggi keadilan. Ini tentang berlaku adil, tidak pandang bulu, tidak berat sebelah, memberikan haknya kepada yang berhak, mengambil hak dari yang tidak berhak. Seorang intelektual hukum “harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”, mengutip Pramoedya Ananta Toer.
Ketiga, keberpihakan. Paham hukum menuntut keberpihakan, untuk apa pengetahuan itu akan digunakan. Ini esensi intelektualisme. Hukum seringkali jadi senjata kekuasaan. Belajar hukum bukan alat untuk menindas. Disinilah makna keberpihakan itu ditempatkan. Seorang intelektual hukum tidak menggunakan pengetahuannya untuk menindas, belajar hukum justru untuk menjamin keadilan ditegakkan. Itulah mengapa salah satu profesi di bidang hukum disebut advokat, fungsinya melakukan advokasi, menyuarakan kebenaran lalu mengawal agar keadilan dapat ditegakkan. Advokat berperan menempatkan perkara sesuai dengan fakta yang sebenarnya, menjamin hak diberikan sesuai dengan porsinya, menjamin seseorang dihukum sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Memperjuangkan hak mereka yang berhak memperolehnya menjadi sense seorang intelektual hukum dan itu membutuhkan nurani yang berpihak.
Apa modal seorang intelektual hukum?
Saya rasa semua sarjana hukum sepakat bahwa yang namanya belajar hukum tidak boleh dilakukan hanya dengan mendengarkan kuliah dosen dan membaca reading assignment yang diberikan. Mengasah kompetensi keilmuan dengan mengikuti berbagai lomba dan bergabung dalam gerakan-gerakan sosial serta berorganisasi adalah kunci bagi mahasiswa hukum. Melatih kompetensi keilmuan dengan ikut perlombaan memiliki diferensiasi unik dengan sekedar belajar hukum di kelas. Ikut kompetensi peradilan semu (moot court) dapat menambah pemahaman akan ilmu hukum secara praktis, ditambah lagi dengan pengalaman menelaah kasus-kasus karena mengharuskan riset lapangan. Lomba debat melatih mahasiswa hukum menyusun argumentasi secara runtut dan logis, demikian pula lomba menulis dan penelitian-penelitian mahasiswa sangat mendukung terbentuknya skill menulis yang baik. Lomba legal drafting melatih aspek praktis penyusunan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidahnya. Keikutsertaan lomba-lomba yang demikian disamping mengasah keilmuan, juga mengasah skill lain yang dibutuhkan seorang mahasiswa hukum seperti menulis dan berargumentasi.
Tidak semua ilmu hukum didapatkan di kelas, ilmu kompetensi hukum yang mengajarkan teori-teori bisa didapatkan di sana, namun tidak dengan pengalaman-pengalaman sosial dan jaringan yang diperoleh di organisasi-organisasi mahasiswa. Bergabung dalam organisasi mahasiswa berarti melatih diri beradaptasi dengan lingkungan pergaulan, belajar memahami realitas sosial di masyarakat, melatih membentuk logika hukum, mengasah kemampuan bekerja sama dan berkreasi dalam tekanan.
Tidak kurang pentingnya untuk seorang mahasiswa hukum ialah organisasi memberi kesempatan membangun jaringan, melatih menyampaikan gagasan di depan umum dan public speaking, melakukan kerja-kerja kolektif hanya mungkin diperoleh melalui organisasi. Retorika debat, lobi negosiasi, dan kemampuan jurnalistik merupakan skill berorganisasi dan itu hidden curriculum yang tidak akan diperoleh di ruang-ruang kelas kuliah. Ruang kuliah seringkali hanya mencekoki dengan teori-teori, tetapi realitas hukum hari ini di-update di ruang-ruang diskusi di kampus. Jadi tidak perlu heran jika di Fakultas Hukum setiap sore ada forum-forum diskusi. Ini kewajaran, justru aneh jika budaya berdiskusi itu tidak hidup. Lebih-lebih lagi skill tersebut akan sangat terasa manfaatnya ketika memasuki dunia pasca-kampus.
Berorganisasi pun jika tidak di-manage dengan baik justru bisa bikin bablas. Agar aktivitas organisasi tidak mengorbankan kuliah, pastikan kita melakukan manajemen waktu dengan baik antara kuliah dan organisasi. Saya berikan beberapa tips singkat mengenai aktivitas organisasi mengingat pentingnya aktivitas ini bagi seorang mahasiswa hukum. Di sini saya memaparkannya singkat saja, semoga saya dapat menuliskannya lebih banyak dalam tulisan yang lain. Pertama, pentingnya membuat skala prioritas. Mana yang harus didahulukan untuk diselesaikan. Ini sangat mendukung efektif efisien. Sense menentukan prioritas ini akan terlatih seiring waktu dalam menjalani aktivitas organisasi. Kedua, fokus ketika sedang mengeksekusi suatu pekerjaaan. Mudahnya, ketika di kelas ya fokus kuliah, ketika di sekretariat organisasi ya fokus berorganisasi. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketiga, pilih organisasi sesuai passion. Ada banyak sekali organisasi mahasiswa di kampus dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Pilih organisasi yang bisa mendongkrak skill sebagai mahasiswa hukum. Organisasi adalah wadah mengasah potensi. Keempat, pilih organisasi yang lingkungannya baik. Bagaimanapun juga, organisasi akan membentuk lingkungan pergaulan di kampus. Memilih organisasi sama dengan memilih lingkaran kawan sepermainan. Pada akhirnya akan menentukan apakah bergabung organisasi tersebut akan memberikan dampak baik atau buruk. Jadi, asahlah skill sebagai seorang mahasiswa hukum sebagai modal menjadi intelektual hukum.
Apa peran dan kontribusi mahasiswa hukum dalam penegakan hukum di Indonesia?
Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Republik ini, nama-nama seperti Soepomo, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Kusumah Atmadja, Iwa Koesoema Soemantri, Sutan Syahrir dan sederet nama-nama lainnya adalah begawan-begawan hukum yang berperan besar dalam proses berdirinya Indonesia merdeka. Mereka sangat paham bahwa kemerdekaan dan kolonialisme adalah dua hal yang berseberangan sehingga kemerdekaan harus direbut. Kolonialisme itu menindas, tidak pernah menegakkan keadilan maka kolonialisme harus dilawan dan dihapuskan dan itu yang mereka perjuangkan hingga Republik ini berdiri. Inilah yang saya maksud esensi dari belajar hukum, keadilan dan keberpihakan. Intelektual hukum memperjuangkan nilai hukum yang berkeadilan. Menjadi mahasiswa berarti siap mengemban tugas-tugas sosial mahasiswa, memasuki pasca mahasiswa pun demikian.
Hingga hari ini pun dunia hukum kita masih mewarisi tatanan hukum kolonial itu. Spirit hukum yang memerdekakan belum sepenuhnya hadir. Kita tahu hukum-hukum produk kolonialisme tidak pernah berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Peran mahasiswa hukum hari ini adalah mengubah tatanan yang demikian dan mengawal penegakannya. Tentu ini bukan sebuah proses yang instan. Setidaknya ada dua hal kontribusi mahasiswa hukum bagi penegakan hukum yang berkeadilan di negeri ini. Pertama, tuntaskan tugas mulia belajar hukum dengan sebaik-baiknya. Terus mengasah kompetensi keilmuan hukum agar benar-benar menjadi intelektual hukum paripurna. Di samping itu, tidak hanya belajar teori-teori hukum dengan baik, namun juga mengasah nilai-nilai integritas, adil dan berpihak yang nantinya menjadi modal bagi seorang intelektual hukum untuk melanjutkan tongkat estafet mengisi kemerdekaan Republik ini. Kedua, ambil peran mengawal isu-isu hukum hari ini melalui gerakan-gerakan sosial dan bergabung organisasi. Peran yang kedua ini menyempurnakan tugas mahasiswa hukum untuk memperbaiki tatanan hukum negara ini sejak dini. Maka mari kita niatkan diri untuk tidak mewarisi generasi pendahulu yang memilih bergelimang dengan kejumudan. Jika kita adalah pemilik sah Republik ini, maka mari turun tangan dan ambil peran untuk memperbaikinya. Kata Bung Hatta, “hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku, ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”.
Sebagai penutup, saya mengutip sebuah kalimat sajak Agus R. Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.” Jangan jadi sarjana hukum palsu!
Wallahu a’lam bisshawab.
Rumah Inspirasi, 19 Februari 2017
1 note · View note