Tumgik
exactlyme · 4 years
Text
21 Januari 2021
HUTBAH MUNGGARAN DI PAJAJARAN POSSTHEATRON GARUT: Pencak Silat Pada Teater Padjadjaran
Oleh: Rizky Widi Astuti
Tampilan unik pemeran tokoh seorang sepuh yang sedang melakukan ritual pada drama Hutbah Munggaran di Pajajaran menjadi pembuka alurnya pementasan, membuat unsur kebudayaan semakin melekat pada suasana. Panggung yang luas terbagi menjadi dua bagian. Membelah area penonton, menjadi hal menarik dalam pementasan tersebut, membuat para penonton di sana semakin merasakan suasana sama halnya dengan para pemain. Ketegangan dan guncangan yang diperankan terasa semakin membaur.
Naskah ini lahir pada tahun 50-an, yang ditulis oleh guru besar Yus Rusyana. Selain menulis naskah, ia juga penulis cerpen bahasa Sunda serta penelitis sastra Sunda. Demikian dalam dramanya tentu menggunakan bahasa Sunda yang cukup kental. Bahasa Sunda klasik yang digunakan menggambarkan sesuai isi dari karyanya yang menggambarkan sejarah pada masa lalu, bahasa Sunda yang murni. Jika dimaknai oleh orang zaman sekarang, mungkin ada beberapa yang tidak mengerti dengan bahasanya. Drama tersebut mengandung unsur sejarah, budaya, dongeng, dan babad tentang Kian Santang yang menyebarkan agama Islam di tanah Pajajaran.
Pementasan digelar pada tanggal 24-26 Oktober 2020. Disutradarai oleh Ari Kpin di Jagat Pentas Pedepokan Sobarnas Martawijaya, dibantu oleh Komunitas Budaya Posstheatron Garut (KBPG) dan Himpunan Sastrawan Dramaluan Garut (Hisdraga). Walau dipentaskan dalam keadaan yang cukup meresahkan, sebab pandemik sedang berlangsung, tidak menghilangkan unsur keharmonisan yang ada pada pementasan tersebut. Pementasan drama berjalan dengan cukup baik, namun ketika ditonton melalu media (video), entah di manapun platformnya, kurang sempurna untuk dinikmati, karena pasti ada beberapa kendala. Seperti video yang terpotong, suara yang kurang jelas, dan sebagainya. Namun hal ini masih bisa terlihat bagaimana keadaan yang ada di sana. Seperti para perlengkapan atau properti yang terlihat jelas, alunan musik yang mengiringi sebagai pendukung suasana, dan ketegasan lakon para pemain yang dituturkan.
Para pemain memerankan perannya dengan cukup baik. Pada beberapa adegan banyak dimulai dengan unsur budaya Sunda, seperti yang terlihat yaitu kesenian bela diri dan menari. Hal ini menjadi daya tarik pada pementasan drama tersebut. unsur budaya pada pentas drama ini sangat kental. Dibuktikan dari penggunaan bahasa yang digunakan, alunan musik bercirikhas sunda, pakaian, tarian, dan bela diri. Bela diri yang terealisasikan pada pentas drama Hutbah Munggaran di Pajajaran (HMP) berjenis bela diri pencak silat. Pencak silat memiliki dua aliran, pada pementasan tersebut jenis pencak silat yang dugunakan adalah berasal dari Cimende Jawa Barat, yang berfokus pada teknik permainan tangan, sedangkan aliran Minangkabau berfokus pada permainan kaki.
Pemain terlihat aktif berdialog yang diiringi gerakan-gerakan silat, terlihat gagah dan kuat. Pencak silat tersebut dikombinasikan dengan tarian-tarian yang juga diiringi dengan musik tradisional berunsur melodi bercirikhas Sunda. Namun pada babak pertama, ketika para tokoh yang memerankan beberapa prajurit yang sedang berlatih, dipadukan dengan tarian dan musik yang mengiri, terlihat kurang kompak. Faktor tersebut bisa terjadi karena kurangnya berlatih atau bahkan grogi. Tepatnya adegan tersebut memang sebagai awalan dari pembuka drama HMP, jadi kedua kemungkinan itu bisa terjadi, tetapi tidak bisa menjadikan alasan. Karena tentunya sebagai seorang aktor/aktris harus bisa bersikap profesional.
Khutbah Munggaran di Padjajaran merupakan gambaran dari penyebaran Islam masuk ke Indonesia, khususnya tanah Sunda, maka unsur keagamaan juga menyelimuti drama kolosal tersebut. Ditandai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh tokoh Kian Santang, dan para pengikutnya yang mengiringi. Kelugasan dan ketegasan pembacaan ayat Qur’an tersebut mewujudkan semangat menyiarkan agama Islam yang dirasakan juga oleh para penonton.
Ketegasan intonasi dan ekspresi para pemain juga menambah unsur ketegangan dan keseriusan pementasan. Namun pada pengemasan panggung di sini kurang sedikit mendukung latar tempat, karena panggung tampak dibiarkan kosong, dengan perangkat proyektor dan kain putih sebagai tirai penutup di kedua sisi belakang panggung. Hal ini kurang menghidupkan suasana yang ada pada pementasan, karena secara latar tempat berada pada lingkungan kerajaan, hal itu pasti akan sangat berkesan ketika perangkat kerajaan ada pada panggung. Semua properti hanya dibawa oleh pemeran saja. Hal ini memang menggambarkan keadaan dan masa pada saat itu, tetapi kurang terlihat hidup. Mungkin sutradara sengaja mengosongkan panggung, agar pemeran lebih leluasa dalam berperan.
Secara keseluruhan drama ini menggugah gairah para audiensi dan sastrawan yang terlibat. Drama ini menjadikan obat rindu terhadap pementasan karya seni, khususnya drama/teater di tengah pandemik saat ini. Di dalam pementasan drama tersebut banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat diambil. Seperti sejarah, kebudayaan, dan euphoria lainnya ketika menonton drama tersebut.
1 note · View note