Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Masyarakat Tionghoa Tangerang mempertahankan tradisi upacara kematian lintas zaman
Selasa, 7 November 2017
Kematian merupakan satu fase kehidupan di dunia yang fana ini. Menurut Oey Tjin Eng atau yang biasa disapa Engkong, masyarakat Tionghoa menganggap kematian sebagai satu bagian penting dalam fase kehidupan. Mereka percaya bahwa setelah meninggal, arwah akan melanjutkan kehidupan di dunia selanjutnya. Atas dasar inilah mereka menjalankan upacara kematian dengan sungguh-sungguh.
Masyarakat Tionghoa, terutama yang berdomisili di Tangerang, biasanya menyimpan jenazah di rumah duka. Alasan utamanya adalah karena zaman sekarang ini rumahnya kecil-kecil dan tak jarang berada di gedung yang tinggi. Di rumah duka, jenazah bisa disemayamkan selama paling cepat satu hari dan paling lama tujuh hari. Namun menurut Engkong, selaku orang yang dituakan dalam komunitas Konghucu Tangerang, jenazah yang disemayamkan hanya satu hari biasanya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Sedangkan pada umumnya sebelum dikebumikan atau dikremasi, keluarga perlu melakukan serangkaian prosesi upacara kematian. Secara garis besar ada empat prosesi yang harus dijalankan oleh keluarga, yaitu prosesi pembersihan jenazah, pemasukan jenazah ke dalam peti, pemberangkatan jenazah, dan pemakaman jenazah. Di dalam prosesi tersebut, terdiri dari berbagai macam upacara yang tidak boleh dilewatkan karena memiliki makna khusus dan harus sesuai dengan pakem-pakem yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
Proses Pembersihan Jenazah
Di dalam prosesi pembersihan jenazah, keluarga akan melakukan upacara poapoan. Dalam upacara ini, jenazah akan diletakkan di atas dipan dan diberi bantalan yang terbuat dari kertas perak, serta seluruh tubuh jenazah akan ditutupi dengan kain putih. Anggota keluarga juga akan menyiapkan sebuah meja kecil, diletakkan di tengah depan dipan, dan menyiapkan semangkuk nasi dengan telor ayam rebus, segelas teh, dan satu gelas berisikan beras yang digunakan untuk menancapkan dupa. Di kedua sisi akan diletakkan dua buah lilin putih dan dua batang dupa hijau, yang akan terus dinyalakan hingga pemberangkatan jenazah.
Anggota keluarga yang duduk beralaskan tikar akan membakar kertas perak di samping jenazah secara terus-menerus hingga jenazah diberangkatkan. Kertas perak dianggap sebagai pengganti uang di dunia arwah dan diharapkan dapat digunakan sebagai penerang di dunia selanjutnya.
Selanjutnya pemimpin upacara akan memandu anggota keluarga untuk memandikan jenazah menggunakan lima macam bunga, arak putih dicampur air bersih. Lima macam bunga ini dianggap mewakili proses kehidupan manusia, yaitu air melambangkan awal kehidupan manusia, api melambangkan proses perkembangan manusia, logam melambangkan proses pada saat manusia bekerja, kayu melambangkan pada saat manusia mecapai kemapanan, dan tanah melambangkan kematian, manusia setelah meninggal akan kembai ke tanah.
Setelah dimandikan, jenazah akan dikeringkan dan akan dikenakan baju terbaik, dipakaikan sarung tangan, kaos kaki dan juga sepatu. Jika almarhum belum menikah maka akan dikenakan baju pengantin tujuannya agar almarhum bias merasakan perasaan bahagia pada saat pernikahan.
Proses Pemasukan Jenazah
Dalam prosesi pemasukan jenazah ke dalam peti, keluarga akan melakukan upacara masuk peti, upacara penutupan peti, dan Mai Song.
Pada saat upacara masuk peti atau Jit Bok, keluarga akan menyiapkan ketupat dan lepet sebagai simbol akulturasi dari masyarakat tionghoa dan masyarakat pribumi, serta sepuluh macam sayuran yang disukai almarhum semasa hidupnya di atas meja dupa. Namun karena perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa modern hanya menyiapkan lima macam sayur, beserta ketupat dan lepet.
Setelah memasukkan jenazah ke dalam peti mati, jenazah akan ditutup dengan menggunakan sehelai kain putih. Anggota keluarga dan kerabat akan mengelilingi peti mati untuk menuangkan minyak wangi dan akan memasukkan baju serta barang yang disukai Almarhum semasa hidupnya ke dalam peti mati. Selanjutnya anggota keluarga akan memasangkan mutiara pada tujuh lubang panca indera Almarhum, yaitu dua lubang telinga, dua ujung mata, dua lubang hidung dan di bawah lidah. Mutiara-mutiara itu dipercaya meggantikan panca indera Almarhum agar mendapat jalan yang terang dan kelancaran untuk sampai di dunia selanjutnya.
“Di sini (Tangerang) masih mutiara, mestinya nasi. Mutiara hanya untuk raja. Tapi emang perkembangan zaman,” tutur Engkong.
Setelah itu anggota keluarga akan mengenakan baju berkabung selama proses upacara. Baju berkabung harus dikenakan terbalik karena melambangkan anggota keluarga dalam suasana berduka, sehingga tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri. Keluarga yang mengenakan baju berkabung ini hanya istri dan garis keturunan laki-laki, sedangkan garis keturunan perempuan akan ditanyakan terlebih dahulu ingin mengenakannya atau tidak. Tetapi masyarakat Tionghoa modern sudah tidak mengenakan baju berkabung, mereka hanya mengenakan kaos putih.
Sebelum penutupan peti mati, rohaniawan akan memimpin anggota keluarga untuk berdoa. Setelah peti mati ditutup, pemimpin upacara akan memandu putra sulung atau menantu laki-laki untuk memukul paku di empat sudut searah dengan jarum jam. Tiap paku hanya dipukul satu kali, dari paku pertama sampai paku terakhir. Setiap paku pun memiliki makna tersendiri. Paku pertama di kanan atas melambangkan anggota keluarga mendapatkan banyak berkah. Paku kedua di kanan bawah melambangkan anggota keluarga mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Paku ketiga di kiri bawah melambangkan anggota keluarga mendapatkan keberuntungan. Dan terakhir paku keempat di kiri atas melambangkan anggota keluarga dijauhi dari musibah. Namun, jika Almarhum belum menikah, peti mati hanya diikat dengan menggunakan tali besar.
Selanjutnya sebelum dikebumikan, keluarga akan melakukan upacara malam kembang atau Mai Song. Dalam menjalankan upacara ini akan ada banyak tamu yang datang termasuk kerabat dan teman, selanjutnya rohaniawan akan memimpin anggota keluarga untuk berdoa.
Proses Pemberangkatan Jenazah
Keesokkan harinya, sebelum jenazah diberangkatkan, rohaniawan akan memimpin anggota keluarga untuk berdoa. Lalu pemimpin upacara akan melilitkan kain putih di leher menantu laki-laki, jika tidak memiliki menantu laki-laki boleh diwakilkan oleh adik laki-laki atau keponakan, untuk membawa sebuah nampan yang berisikan foto almarhum dan tempat pendupaan.
Lalu putra sulung akan membawa Tang Teng. Tang Teng adalah sebuah tongkat keturunan yang terbuat dari sebatang kayu atau bambu, yang salah satu ujungnya dibungkus dengan kain putih dan kain merah. Kain putih dan kain merah melambangkan melambangkan keselarasan seperti Yin dan Yang, dan juga diharapkan anggota keluarga dapat stabil dan harmonis. Jika yang meninggal adalah laki-laki, tongkat kayu tersebut akan diletakkan di bahu sebelah kiri, jika yang meninggal adalah perempuan maka akan diletakkan di bahu sebelah kanan. Jika Almarhum tidak memiliki anak, maka Tang Teng tidak perlu dibuat.
Sebelum pemberangkatan jenazah, pemimpin upacara akan membanting sebuah semangka. Biji-biji semangka di analogikan sebagai kebajikan sang almarhum yang diharapkan dapat berkembang pada anak-cucunya.
“Kalau di sini (Tangerang) semangka, lho. Kalau di Manado itu mentimun. Intinya yang berbiji banyak,” jelas Engkong.
Sebelum peti diberangkatkan, keluarga harus melakukan penghormatan sebagai tanda bakti kepada leluhur dengan cara membungkuk atau bersujud.
“Dulu waktu zaman saya (mengebumikan bapak saya), kan dulu masih jalan kaki, tiap belokkan saya masti sujud. Lewat jembatan harus sujud. Petinya harus di gotong. Zaman sekarang mah udah enggak, kan?”
“Berkembanglah. Perkembangan zaman. Kan milenial,” kenang Engkong sambil tertawa.
Proses Pemakaman
Pada prinsipnya, masyarakat Tionghoa percaya bahwa jasad manusia harus kembali ke bumi, baik dengan cara apapun. Maka dalam perkembangannya, masyarakat Tionghoa telah melalui berbagai macam cara pemakaman. Dari mulai tradisi meninggalkan mayat di hutan dan dibiarkan dimakan burung. Berkembang ke tradisi menghanyutkan mayat ke laut dan dibiarkan dimakan ikan. Lalu berkembang ke tradisi kremasi atau pengabuan. Dan yang terakhir tradisi mengebumikan di tanah pemakaman.
“Liat perkembangan zamanlah. Kalo sekarang ya dikremasi ga masalah, karena lahan mahal,”
“Sekarang kalo kita ngubur di tanah cepe atau tanah gocap, sekarang udah bisa sampe 100 juta. Beli tanah, beli peti, ga cukup 100 juta. Peti ada yang 1 milyar, lho,” Engkong memberikan pendapatnya mengenai tradisi kremasi yang dilakukan pada zaman milenial ini.
Jika keluarga memilih untuk mengebumikan almarhum maka akan dilakukan upacara Ngo Kok. Upacara ini dilakukan oleh pemimpin upacara dengan meyebarkan lima macam bibit dan koin ke empat penjuru angin. Bibit-bibit tersebut merupakan jenis tanaman kecambah yang memiliki ciri terus berkembang, seperti kacang hijau, kacang kedelai, kacang merah, jagung dan beras. Penyebaran bibit ini memiliki harapan bahwa anggota keluarga dapat terus berkembang seperti kelima macam bibit tersebut. Anggota keluarga akan mengumpulkan koin dan menyimpannya sebagai harapan bahwa keluarga yang ditinggalkan bisa berkecukupan dalam segala hal.
Kalau keluarga memilih untuk mengkremasi jenazah, maka abu jenazahnya harus di larung ke laut. Tujuan sama, jasad manusia kembali ke bumi.
“Kalau dulu anak yang harus bawa abu, sekarang tuh mantu. Itu pergeseran budaya juga,” ujar Engkong.
Menurut Engkong, beberapa perubahan kecil tidak bisa dihindari karena perkembangan zaman dimana orang-orang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menyukai kepraktisan. Oleh karena itu, pikiran masyarakat Tionghoa zaman sekarang menjadi lebih realistis. Akibatnya, beberapa sesi upacara kematian tidak dapat terhindar dari penyederhanaan. Namun, itu semua bisa dimaklumi karena meihat perkembangan zamannya.
�R���
0 notes