Pouring whatever’s in her mind into words that might stay forever here. 𖡡 in between imagination & reality
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
It takes a village too, to raise a reader
Sebagaimana hobi lainnya, kesukaanku pada kegiatan membaca bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba dalam satu waktu. Dan sebagaimana kegiatan pada umumnya, ia pernah atau bahkan sampai sekarang terkadang terasa membosankan bagiku.
Aku pernah menyematkan titel pembaca yang lambat atau "slow reader" pada diriku sendiri karena tidak berhasil menyelesaikan satu buku pun dalam satu bulan. Aku juga pernah memutuskan untuk selesai membaca suatu buku sebelum sampai halaman terakhirnya dan berujung mempertanyakan hobiku yang satu ini.
Tapi ternyata se-tidak sempurna apapun perjalanannya, sampai sekarang aku tetap suka kegiatan membaca. Selalu ada banyak alasan untuk menyukainya.
Salah satu hal yang aku syukuri adalah, entah kenapa selalu ada jalan untukku bertemu dengan suatu buku. Melalui pemberian ayah atau ibu, koleksi milik sepupu, bacaan ibu guru, jajaran rak buku perpustakaan mungil di sekolah, rekomendasi teman baik, juga dari tangan seorang asing di gerbong kereta, halte bus kota, bahkan dalam trem saat berada di belahan lain dunia.
Aku percaya setiap bacaan dan buku ada masanya. Kalau bukan sekarang, nantinya akan ada waktu yang paling tepat untuk membaca suatu buku. Tapi, untuk sampai di waktu itu, kita tetap perlu kesempatan & usaha untuk mengambil kesempatan tersebut. The question is: if the chance were already there, would you take it or leave it?
Namun sayangnya, kesempatan itu ga dimiliki semua orang. Di dalam kondisi saat ini, membaca dianggap sebagai hobi mewah, harga buku terus melambung dari tahun ke tahun, banyak prioritas lain yang perlu didahulukan sebelum membeli sebuah buku. Di saat yang sama, banyak distraksi lain yang lebih mudah untuk dilakukan di waktu luang dibandingkan membaca buku. Padahal, di negara dengan kemampuan serta minat literasi yang tertinggal, membaca jadi hal yang penting untuk terus dibiasakan.
Katanya, setiap buku akan menemukan pembacanya. Kalau belum bisa beli sekarang, kita selalu bisa datang ke perpustakaan kota, menggunakan fasilitas perpustakaan digital yang resmi, atau nggak perlu jauh-jauh, coba lihat koleksi teman terdekatmu dan bilang padanya kalau kamu mau pinjam satu. Aku pribadi sangat senang kalau salah satu buku dari koleksiku yang sedikit itu dipinjam temanku, selain bisa lebih bermanfaat, jadi bisa bertukar pikiran dan pendapat juga tentang isi bukunya, seru!
Aku sadar kalau perlu banyak pihak yang terlibat untuk membuat seseorang memulai dan menyukai kegiatan membaca. It takes a village for one to become a reader.
Sependek perjalanan membacaku, banyak orang-orang baik yang sukarela meminjamkan atau bahkan menghadiahkan bukunya untuk kubaca. Tulisan reflektif ini hadir untuk mengapresiasi mereka sekaligus berharap semoga nantinya lebih banyak pembaca yang mau mengambil kesempatannya. Dan bukan hanya mengambil kesempatan itu untuk dirinya, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama untuk orang terdekat di sekitarnya.
Let's aim for that ripple effect, from one reader to another.
Selamat hari buku sedunia!
6 notes
·
View notes
Text
Hal-hal yang dulu tak bisa kupahami tapi sekarang aku mengerti.
Sempat di fase-fase pencarian jati diri, aku mendapatkan nasihat untuk lebih mengutamakan mencari pengalaman, menguji coba berbagai macam keputusan, dan hal-hal yang terasa justru menjauhkanku dari tujuanku saat itu. Aku merasa sayang dengan waktu yang harus "kubuang" untuk menguji berbagai macam keputusan, harus mengulang lagi dari awal, dan sejenisnya. Itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Sekarang aku memahami bahwa nggak apa-apa banget "mengorbankan waktu" yang "sebentar" itu untuk hal yang jauh lebih panjang/seumur hidup.
Contoh sederhananya adalah mencari pasangan hidup untuk menikah, nggak apa-apa banget untuk mencari sampai ketemu (sembari terus upgrade diri tentu saja) selama setahun - dua tahun bahkan lima tahun, tujuh tahun dan seterusnya sampai benar-benar ketemu yang sesuai dengan kriteria kita yang sering dikritik orang lain karena begitu tinggi itu.
7 tahun pencarian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seumur hidup pernikahan, andai umur kita semua adalah 70 tahun, dan proses menemukan pasangan hidup terjadi dari usia 25 hingga 32 tahun. Maka, 7 tahun proses mencari dibandingkan dengan 38 tahun menjalani pernikahan dengan orang yang tepat, tujuh tahun menjadi tidak ada apa-apanya sekalipun saat kita menjalaninya penuh kegelisahan, kebingungan, kekhawatiran. ______________________________________________________
Grafik sederhananya begini : ---7 thn --- (Pernikahan) -------------- 38 thn ---------------> ______________________________________________________ Dan ini, juga bisa diterapkan di memilih karier yang bakal kita jalani seumur hidup. Dan hal-hal lainnya yang nantinya akan kita jalani seumur hidup kita. Jangan lihat pada waktu yang kita korbankan, tapi lihatlah seberapa lama kita akan hidup dengan keputusan penting itu. Itu baru satu hal. Satu hal lagi, katanya kita perlu "bisa selesai sama diri sendiri". Meski kalimat itu terasa sangat klise, tapi selesai sama diri itu kupahami sebagai kenal diri sendiri dengan baik. Kenapa kenal diri sendiri itu salah satu hal yang perlu ditemukan sebelum kita masuk ke tahap/fase-fase berikutnya? Dan kata guruku kala itu, coba aja berbagai hal yang memungkinkanmu buat bisa menemukan dirimu, termasuk menguji dirimu sama keputusan-keputusan extrem. Selama risikonya bukan mati, coba aja. Memang nasihat yang luar biasa tidak masuk akal, tapi tetap kucoba. Salah satu hal yang ingin kudobrak dari diriku sendiri saat itu adalah keberanian, saking penakutnya diri ini saat itu untuk mencoba berbagai macam hal baru. Takut di marahin ortu, dsb. Akhirnya mencoba memberanikan diri untuk naik gunung, tanpa izin orang tua. Karena kalau izin, pasti ga diizinkan. Akhirnya berangkat, singkat cerita, turun gunung dan baru bilang. Ternyata hal yang kukira sangat mengerikan proses dan risikonya, nggak apa-apa (tentunya diimbangi dengan persiapan dan juga partner yang oke buat naik gunung saat itu agar minim risiko). Dan akhirnya, aku mulai berani untuk melakukan hal-hal baru dalam hidupku yang tidak pernah dilakukan oleh orang tuaku. Keberanian itu mengantarkanku pada keberanian untuk memiliki karier saat ini, saat orang tua dulu sangat ingin anaknya jadi PNS, aku berusaha seberani mungkin dengan pilihanku dan maju terus hingga mendapatkan restu. Dan hal ini, telah berlalu 11 tahun yang lalu saat akhirnya aku menjalani pilihan karier yang tidak pernah ada dalam bayangkan orang tuaku sama sekali. Mendobrak diri itu tidak pernah bisa dengan berdiam diri di kamar, harus dicoba, dilakukan, dievaluasi, direpetisi. Hingga sifat itu menjelma menjadi dirimu sendiri. Diri kita yang kita kenal sekarang, jangan-jangan bukanlah diri kita yang sebenarnya karena kita takut untuk menguji banyak hal ke diri sendiri. Entah karena takut buang-buang waktu, nanti kalau gagal gimana, kalau salah jalan gimana, dan sebagainya. Kalau dihubungkan sama hal pertama, bahkan saat kamu nanti memutuskan untuk menikah dengan seseorang, saat kamu udah kenal sama diri sendiri. Itu lebih mudah untuk tahu, dengan orang seperti apa kamu ingin menikah, kalau di sekelilingmu ada banyak orang, kamu akan lebih mudah mengidentifikasinya tanpa bingung berlama-lama. Bukan lagi sibuk nyari cantik/ganteng aja, penghasilannya harus berapa, punya ini dan itu sebagainya, enggak lagi. Kamu akan benar-benar diperjelaskan melalui pandangan mata dan hati, seperti apa orang yang ingin kamu nikahi. Jadi, apakah kamu siap dan berani? (c)kurniawangunadi
177 notes
·
View notes
Text
A Subtle Confession
When I fall for you, I'm giving you one of my most precious things called time, watching your kind gestures no matter how awkward they are, noticing your footsteps whenever they walk towards me--literally or figuratively--since you barely ever do that, wishing you a wonderful life and more than that, or even secretly waiting for your little life updates.
When I fall for you, I'm writing you a letter, a page full of words that honestly have stayed in the vault of my mind for a long time, asking you "How's your day?" silently without you even knowing, telling you how you mean to me in the most subtle way you could ever find, and listening to your stories excitedly even when it's the second or the third time I've heard them.
When I fall for you, I'll try to do some small things, like any small thing, unless being the first to say it—that one would always be your part, if and only if we are on the same page.
Because when I fall for you, I don’t want to fall alone, I’ll possibly wait for some period of time until your feelings grow big enough for you to take the first step and say that you fall for me (too).
Because I’ve fallen for you, but I know the worth of this heart and the whole feelings inside it. So I'm doing my best to protect it and to give half of it to the right person at the most right time—the other half would always be mine to keep.
Because I’ve fallen for you, but please understand me that until the Owner of our hearts reunites them within His blessings, I'll keep asking myself, are you the one? or are you just another phase and lesson I have to go through?
I’ve fallen for you, but to some extent, this beautiful, sparkling thing of mine has its own half-life too. It is slowly fading now and will dissipate someday, unless we take the chance and do something to preserve its gleam in our own way.
4 notes
·
View notes
Text
A glimpse of life as an eldest daughter
Something that I like about art is you can always have a little personal perception on it, depending on the things that only you have experienced in life.
Last night, I shed a little tear while listening to Nina for the first time. It was a song written by a dad to his daughter. But to me, it feels like every single word written in the lyrics was being said by an older sister or brother I never had. Because in this one and only life, that older sister has always been me.
In my high school senior year, I was so clueless about the world I was about to get into. I chose a major based on the subject I like—and fortunately happened to be good at—after I was being told to rethink and change my first choice because the chances I had were small to go for that.
Graduated from my bachelor's degree while covid hit; I was lost again, did not get my dream job, or, to be more precise, did not know anything about it. I don't know what to do and feel like I have chosen the wrong path. I regret the choices I made in the past 4 years. I felt unworthy of all the things I've ever dreamed of. I choose to be unseen, deactivated my social media, and refused to meet anyone I know.
All I can remember at that time is I spent a longer time thinking, contemplating what I should be doing next, and I ended up always wondering what it's like to have someone who can show me which way I should take when I am facing the crossroads.
I've got no one to tell me that, but I also realized what I already had at that time was more than enough to keep me going with whatever I am able and want to do.
Then I tried my best to be that person instead.
I told my sister everything I know about the thing I used to have zero clues on and tell her to choose the major she really has interest in instead of what's being told by other people. I'd happily and honestly answer if I were being asked by whoever it is about the road I have crossed before, because I know how it feels to be confused and clueless at that kind of moment.
My mother once said she's so thankful for me for being a good example for my sister while also being helpful to her. I replied with a small nod because, in fact, I do not know if I really did that. Maybe it's something that most elder children live with since the moment their younger sibling was brought to this world? Or maybe it was something that was always being told to us until it was unconsciously imprinted in our minds?
My best friend, whom I grew up with in the same neighborhood for almost our whole life and felt more like a sister than a friend, texted me back and said that she's thankful for me. She thanks me for being her best friend, older sister, and also a role model. Being a first child that I am, I just reply to her message with a laugh. While actually, I was staring at the message for a couple of seconds, thinking and asking myself, was I? a good role model?
At some point in my life, as a first daughter and granddaughter in the family, I was so afraid to fail and couldn't make a successful life, just like what the people around me expected. This got me asking myself over and over again: Have I done my best? Am I good enough?
It is not a bad thing, actually; in fact, I kind of feel a bit useful for my closest people. But still, I think our society puts too much weight on the eldest child's shoulders by expecting them to be the good example for their siblings or even cousins, while I guess everyone should be the best version of themselves regardless of this age-bounded hierarchical thing.
What I just want to say is that in the end, we're all human, and so is the eldest child. Believe me, they are just as confused and as clueless as you most of the time. They made faulty and stupid choices too, because this is their first life anyway.
I wish every “eldest child” or anyone who acts like one out there live a content life, despite everything they've been through alone.
4 notes
·
View notes
Text
Ngobrol
Bulan kemarin ngobrol sama beberapa temen, salah satunya ada seorang cowok. Kupikir cewek doang yang suka ngobrol, ternyata dia bilang "salah satu kriteria urang sih yang ngobrolnya enak. Karena nikah mah 99% ngobrol."
Gaya betul bocah sekecil aku bahas nikah hahaha. Tapi menarik. Sebagai orang yang (sangat sangat sangat) suka ngobrol, aku bilang ke teman paling dekatku, si ENTP.
"Kalau emang boleh berharap ya, aku nge-setting pasanganku nanti standar ngobrolnya harus se-kamu."
Akhirnya aku mikir ulang, emang kenapa standar ngobrolnya tuh minimal harus kaya temenku yang itu? Akhirnya aku membagi jenis ngobrol jadi tiga (di luar easy convo yang basa-basi):
1. Deep Convo
Deep convo ini diperuntukkan membahas hal-hal terkait kedalaman perasaan, emosi, kesan, dan sebagainya. Perlu cognitive empathy dan emotional empathy dalam melakukannya. Saat emotional empathy-ku masih belum sepenuhnya matang, kami pernah berkonflik soal ini dan dari deep convo kemudian tensi makin naik menjadi hard convo.
2. Hard Convo
Hard convo ini diperuntukkan membahas masalah-masalah beserta problem solving-nya, especially masalah yang benar-benar harus mengesampingkan ego ketika membicarakannya. Harus berani tidak lari dari pembicaraan dan bertanggung jawab dalam menghadapinya. Aku dan temanku (proudly) berhasil menyelesaikan konflik kami dengan clear kurang dari 3 hari.
3. Heavy convo
Heavy convo ini diperuntukkan membahas hal-hal informatif, terkait bagaimana informasi tersebut terinput, menjadi banyak titik di kepala, lalu diolah, connecting dot by dot, sekaligus gimana output-nya atau how to deliver-nya ke orang lain. Butuh kapasitas dan ketahanan baca serta kemampuan kontemplasi yang mendalam. Perlu juga keinginan memahami apa yang lawan bicara kita sedang hype.
Dan dengan menyadari bahwa aku dan teman ENTP-ku punya fungsi kognitif yang sama (intuiting extrovert), jadi pemrosesan informasi yang kami lakukan kurang lebih sama. Tidak susah bagi kami saling excited terhadap topik yang tengah dibahas, baik itu tentang sejarah, politik, keluarga, pertemanan, hikmah, ilmu pengetahuan baru, role model, dsb. Kami juga punya dimensi toleransi yang lumayan, jadi cenderung less judgemental terhadap isu-isu, mau melihatnya dari berbagai point of view, dan membuka opsi kemungkinan seluas-luasnya.
Kami punya ketahanan baca dan keinginan memahami juga. Kami tidak akan segera menutup percakapan sebelum satu sama lain puas mengeluarkan seluruh isi kepalanya. Ah, I love how each other being convo-builder. Dan kuncinya satu. Kepercayaan alias trust. Aku percaya dia dengan kapasitasnya bisa menangani seluruh isi kepalaku. Dia pun sebaliknya, percaya kalo aku bisa menangani isi kepalanya. Jadi kalo ada orang yang komplain, "ih kamu jarang cerita" atau "ih kamu mah pendiem" ya sebenernya sederhana aja, aku belum percaya dia bisa handle isi kepalaku. Atau simply aku gak butuh responnya yang cuma satu-dua kalimat aja.
Setelah tadi meninjau kembali chat kami, ternyata satu sama lain tidak pernah menggunakan "wkwkwk" atau dry text sejenis untuk menutup percakapan. Artinya apa? Kami tahu kapan obrolan harus berhenti dan tidak perlu sungkan mengakhirinya. Tidak perlu ada "wkwkwk" sebagai bentuk rasa tidak enak di antara kami. Kami sudah tidak saling berprasangka atas satu sama lain. Tingkat kepercayaan yang sehat ini yang kelak ingin aku bangun juga dengan "teman ngobrol sepanjang hidupku".
Selain kurang suka dry text, ternyata orang yang jadi pendengar yang baik aja gak cukup buatku. Jadi pendengar mah semua orang bisa, tapi jadi pemberi feedback dan reviewer yang baik itu gak semua orang bisa. Karena gak semua orang punya resource informasi dan pengolahan informasi yang sama kaya kita. Atau bahkan, simply orang malas mengerti dengan yang sedang kita bahas/hype. Hahaha, sekiplah manusia seperti itu.
Aku baru aja nemu di twitter:

Ya intinya, sebuah kebahagiaan tersendiri buatku ketika bertemu orang-orang yang convo-builder dan building-nya tidak hanya dengan dry texting. Tapi harus aku sadari bahwa aku dan temenku bisa sekompatibel sekarang pun merupakan hasil ngobrol 4 tahun dulu. Jadi aku harus menurunkan ekspektasi kepada teman ngobrol sepanjang hidupku kelak bahwa tidak apa-apa kalau belum bisa sepenuhnya saling memahami di awal. Tapi harus mau belajar. How to listening, understanding, put ourselves in each other's shoes, respect each other, and not underestimate other's stories, pain, wounds, experiences, and achievements. Bahasanya mah gini: "Aku bakal mencoba mendalami topik yang sedang kamu minati, dan aku harap kamu juga begitu terhadap topik yang aku passionate ngebahasnya."
Untuk malam ini, kepikirannya segini dulu. Ini juga hasil review dan mempelajari banyak orang. Tapi sejauh ini baru menemukan kurang dari 5 orang yang aku percaya untuk handle isi kepala serta isi hati. Emang gak harus banyak juga sih, yang jelas perasaan "dipahami" itu perasaan yang indah. Apalagi jika orang tersebut memang betulan ngeluarin effort dan ngeluangin waktu untuk mempelajari kita serta bagaimana kita menjalani hidup.
Ya soalnya kita gak mungkin bakal bisa adaptasi, kita gak akan bisa nge-shape ke orang lain, kalau kitanya sendiri belum tau "bentuk" hidup orang lain yang akan kita masuki itu seperti apa. Pun sama, kita sendiri harus mempermudah orang yang nantinya hadir ke hidup kita. Jangan buat mereka sulit beradaptasi misalnya dengan komunikasi yang nggak clear dan susah dipahami. Sederhanakanlah, kurangi gengsi, kode-kodean, nyindir-nyindir, atau bahkan silent treatment. Rasanya sebagai manusia dewasa, hal-hal kaya gitu malah bikin hubungan jadi gak sehat. Berikan orang lain penjelasan atas apa yang kita lakukan.
Next-nya, aku kepikiran mau bahas tentang empati. Tinggal nunggu mood nulisnya aja.
— Giza, lagi lumayan luang untuk review perjalanan sebagai manusia yang suka ngobrol
38 notes
·
View notes
Text
Pada Akhirnya
Desember akhirnya tiba diiringi awan kelabu dan rintik hujan, lengkap dengan segudang catatan. Sebagian memutar kembali rekaman-rekaman spesial yang sudah terjadi setahun kebelakang, sebagian lain menawarkan harapan-harapan baru untuk setahun ke depan. Ditambah, ia selalu melemparkan pertanyaan tahunan yang sama: ke mana selanjutnya kita berlayar?
Barang sekejap lagi, tahun ini berakhir, pergi bersamaan dengan berbagai peristiwa yang terjadi. Gelak tawa yang mengudara ke langit lepas, hal-hal sedih yang tak semuanya bisa ditangisi, rasa yang dipendam entah sejak kapan, juga pikiran yang sejak lama menolak disuarakan. Umumnya, hanya tersisa memori yang tetap tinggal, itupun kalau dia mau.
Dalam sebelas bulan terakhir, ada banyak hal yang terjadi. Pertemuan dan perpisahan silih berganti. Memaksaku bertemu dan beradaptasi dengan lingkungan baru, teman, kolega, pelajaran, pengalaman, juga kewajiban yang rasanya tak ada habisnya, dan mungkin memang takkan habis? Kecuali nanti bersamaan dengan waktu yang kita punya.
Perubahan bukan lagi sesuatu yang kutakutkan sepenuhnya. Meski sejujurnya, kupikir menghadapi rasa takut akan membuatku menjadi pemberani. Ternyata tidak. Biar kuberi tahu berdasarkan apa yang telah kulalui: kelak, akan selalu datang rasa takut dalam rupa yang berlainan di sepanjang perjalanan. Bedanya, mungkin seiring berjalannya waktu mereka akan bersikap lebih ramah, sehingga kadang-kadang kita bisa bekerja sama, atau bahkan berteman dengannya.
Lalu bagaimana dengan kesiapan? Sampai kapanpun mungkin akan tersisa ruang di ujung pikiran yang berulang kali mengatakan bahwa diri ini belum siap. Untuk tantangan apapun itu. Sayangnya, atau bahkan untungnya, hidup ini bukan ujian dengan pilihan ganda terbatas yang bisa kita kira-kira jawabannya. Ada banyak cara untuk melaluinya, bahkan selalu lebih banyak dari yang kita kira. Sepanjang kita terus berbenah, bersiap, dan menyapa aral yang kerap muncul di pertengahan jalan dengan lapang dada, ia akan terlewati juga, pada akhirnya.
Seperti bagaimana Desember menutup cerita kita, pada akhirnya.
1 note
·
View note
Text
Sebelum Jatuh
kalau memang pertemuan dan perpisahan suatu yang niscaya sebagaimana adanya kegembiraan dan kesedihan
maka untuk tawaran manapun yang hidup ini punya, mari berpergian sejauh-jauhnya berlari sekencang-kencangnya berharap setinggi-tingginya
sebelum jatuh sedalam-dalamnya pada takdir yang kelak menyapa di ujung jalan masing-masing, bagaimanapun rupanya
1 note
·
View note
Text
Death Tasters
Kita sudah sangat familiar kan, dengan kalimat yang sering terucap di momen takziyah?
Kalimat "كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ" sering diterjemahkan sebagai "setiap jiwa akan merasakan kematian," tetapi terjemahan sebenarnya adalah: "setiap jiwa adalah perasa kematian."
Dalam versi bahasa Arabnya, tidak ada bentuk future tense. Kata ذَائِقَة (dzā’iqah) berfungsi sebagai subjek, yang mengalami atau merasakan sesuatu, sehingga menjadi perasa kematian adalah tindakan yang terjadi saat ini (present tense).

Sepanjang hidupku, orang lain selalu mati, dan aku tetap hidup. Namun, ini adalah ilusi terbesar dalam hidup; ketika aku mati, maka aku juga mati sebagai "orang lain" di mata orang lain. Orang lain yang tersisa hanya akan melihat "kematian orang lain".
Mencicipi kematian dimulai dengan melihat kematianku sendiri dalam kematian orang lain. Setiap orang terkasih yang meninggalkanku, membawa serta sebagian diriku, sehingga aku pun menjadi semakin lemah. Kisah yang kujalani bersama orang yang telah meninggal tetap belum selesai tetapi aliran kehidupannya terputus. Terputusnya aliran kehidupan ini seperti masa istirahat. Hal itu membuatku menyadari nilai kehidupan.
Bukan mereka yang ada di dalam peti mati yang mencicipi kematian. Bukan pula mereka yang tergeletak di balik tembok kuburan. Tapi kamu. Tapi aku.
With every death, we taste death. And that’s not a bad thing. It allows us to remember the priorities we’ve forgotten in the rush of daily life. It helps us reorder what’s important and what’s not.
Tasting death is an opportunity to rediscover life.
Mengingat kematian bukan berarti meracuni kehidupan, tetapi menjalaninya dengan penuh syukur dan hati-hati, selalu menyadari bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan.
Sayangnya kita tinggal dalam delusi bahwa kita akan hidup selamanya. Pada akhirnya, hidup akan berakhir. Kedengarannya gila. Waktu terus berjalan dan setiap hari yang berlalu adalah hari yang 'hilang'. Dan kita menganggap gagasan tentang diri kita di masa depan sebagai sesuatu yang sudah pasti:
Orang-orang yang ambisius menulis jurnal tentang apa yang akan mereka capai dalam satu dekade.
Anak-anak muda membuat daftar gunung yang akan didaki beberapa tahun ke depan.
Orang-orang yang romantis membuat bucket list untuk dilakukan sampai hari tua.
Wanita-wanita muda menonton video parenting sambil membuat daftar do and don't untuk calon anak di masa depan.
Para pecandu pengembangan diri gemar mendengarkan podcast, berharap saat mereka mencapai usia dewasa, mereka akan menjadi lebih bijak, lebih sehat, dan lebih bahagia.
Kadang kita menggunakan delusi itu untuk tetap maju, untuk mengalihkan perhatian kita dari memento mori. Tapi sebenarnya kita tidak pernah benar-benar bisa keluar dari sense of reality, yang mencakup mencakup tentang kesadaran konteks, kemampuan membuat penilaian, persepsi objektif, dan pengalaman empiris.
Sense of reality bagi orang beriman pada akhirnya memberikan kejelasan mana yang fana dan mana yang abadi. Yang juga memudahkan kita untuk membuat keputusan dan prioritas yang tepat dalam hidup, serta mengarahkan kita untuk fokus pada apa yang benar-benar penting dan bertahan selamanya, yakni kehidupan akhirat, daripada terjebak dalam keinginan-keinginan dunia yang sementara.
Kata "selamanya" akan tetap terdengar menyeramkan bagi mereka yang menolak percaya pada Sang Abadi. Tapi bagi mereka yang percaya, alam yang "selamanya" adalah kabar gembira yang lebih dari worth it untuk diperjuangkan.
Satu gerbong terbuka lagi. Di stasiun kematian, tubuh terbaring lemas menjawab pertanyaan petugas. Cukup lama ditanya, hingga terompet kehancuran bergema, pertanda dibukanya gerbong selanjutnya.
Padang itu serupa kanvas luas, melukiskan lautan manusia yang terperangkap dalam egosentrisme. Keringat mereka membanjiri, kecuali bagi yang Dia naungi. Ada yang hingga mata kaki, ada yang sampai tak terlihat lagi.
Mahkamah Tuhan menjadi angin segar bagi jiwa yang tidak pernah mendapatkan closure. Untuk setiap gugatan, Dia punya jawaban. Putusan finalnya memuaskan dan tak dapat diganggu gugat sebab database-nya maha lengkap dan maha akurat dibandingkan arsip pengadilan manapun yang pernah ada.
Kemudian, mereka meniti jembatan. Setipis rambut, setajam pedang. Di balik setiap langkah, ada cahaya yang membimbing jiwa-jiwa yang selamat. Akhirnya, aroma surga memeluk setiap rombongan yang berhasil tiba. Petugas membawa mereka masuk lebih jauh dalam keabadian.
Adapun jiwa yang menyesal, mereka tak sekalipun dilihat-Nya. Selamanya saja sudah menyeramkan, apalagi tanpa rahmat Tuhan. Maka sisa keabadian hanya kepedihan bertubi-tubi sebagai imbalan telah berlaku sombong di Bumi.
— Giza, meneruskan kembali tulisannya Pak Senai Demirci dengan tambahan insight pribadi. Tautan di sini.
40 notes
·
View notes
Text
Another mid July of hers
When I was thinking about this day, the word "suddenly" came to mind. "Wow, suddenly it's 26," I muttered. But then I realized that it was actually not a sudden thing that happened. that being this whole 26-year-old self was actually slowly happening since I was 25, 24, 23, and so on. That this self is such a constantly growing being, day by day, year by year.
I thought I was conscious enough of that, to live in the moment and embrace everything I have now. But it turns out the journey of being conscious is not happening in a day, week, month, or even a year, and then there you are living your best life consciously. It's more like a recursive lesson that life will teach you again and again in different styles without knowing where the finish line lies.
So many changes have been happening since the last mid-July. I finally got my second degree, landed my first job, got the second one, and even went across another continent I've never visited before to see how it was competently managed in a particular p.o.v. of mine. So many indelible moments happened, though, of course, they will always come with consequences in a bundle.
I thought I was good at learning something new, but there were times where I kept reading a paper for a week only to find out that I barely understood half of it the week after. There were times I spent hours just to find out one stupid error in my code could actually be solved easily by some random IT guy on stackoverflow ages ago (lol). Sometimes I cried, deep diving again into Dunning Kruger's valley of despair for the umpteenth time. Sometimes I think I am not capable of doing what I'm doing right now, but I remind myself again that this is a long-life learning process that I have decided to walk on, despite the seemingly endless list of fears I have had throughout this life.
Those endless lists of fears I had throughout this life.
If a phrase could depict the past six months of my life, it would be "to let go of fears, one at a time."
Since April, I finally decided to try an activity I probably feared the most as an introverted person: deliver speeches in front of people in English. It was challenging, yet surprisingly, I enjoy the process quite a bit: meeting new people, preparing & practicing for a speech (though it's hard as hell), and taking on some roles. Sometimes I think, Why have I even tried this hard to do something I do not really like? The answers are still hidden somewhere, waiting to be found some time later. But one thing I know for sure is that letting go of this kind of fear will put me at ease and allow me to keep on walking towards my dreams.
The same thing goes with these writings I kept for years. I finally decided to unearth them, to let go of fears I have against the possibilities of being read and known for my thoughts and feelings scattered everywhere on this microblog. I will let go of fears to be seen through the imperfections captured word by word—inconsistency, grammatical errors, anything you name it. This amateur, casual writer's indeed imperfect and will never be.
I have seen mid-July in different lights throughout the decades. One time it was like a blooming season; most awaited and felt so special. Other times it was just like another average, undocumented day in my life. But this time, I'd like to freeze it, turn it into immortal words that might remind my future self of all the precious learning and unlearning processes life has brought me to.
Here's to another mid July He wants us to have, Far.
4 notes
·
View notes
Text
A Beautiful Stranger
Ada banyak hal yang mampu membawa manusia dan ingatannya kembali mengunjungi masa lalu untuk sesaat. Bagiku, salah satunya adalah lirik yang relatable dari sebuah lagu. Terlebih ketika ia diputar persis di momen-momen serupa. Seperti pagi ini, saat jam tanganku menunjukkan pukul 08.05. Sepagi itu sudah duduk manis di kursi pesawat, keluhku. Belum lagi momen sebelum keberangkatan yang selalu diiringi nyanyian merdu ibuku yang khawatir betul anaknya melewatkan jadwal penerbangannya.
Dengan mata sayu, aku duduk di sisi lorong, lengkap dengan earphone di telinga untuk berjaga-jaga akan kebosanan selama dua jam ke depan. Aku baru sadar kursi sisi jendela di sebelahku ternyata kosong saat pesawat hendak diterbangkan. Sementara daftar lagu terus berputar, layar gawai ku menampilkan sepotong lirik lagu Beautiful Stranger yang dinyanyikan Laufey. Pesawat lepas landas menuju langit lepas, namun penerbangan pagi itu bukan hanya membawaku ke negeri sebrang. Untuk ke-sekian kalinya, aku turut terbang ke masa lalu.
--- Senin pagi, setelah hampir telat check-in, aku berlari kecil menuju pesawat yang akan membawaku ke Kuala Lumpur. Sesampainya di dalam pesawat, aku duduk di kursi sesuai dengan nomor yang tertera di tiketku. Aisle section. Hatiku kecewa sedikit karena di penerbangan solo pertama ini aku tidak bisa memilih untuk duduk di sisi jendela, melihat langit favoritku dengan puas dari sudut pandang berbeda. Ku amati sekitarku, kursi sebelah masih kosong. Barangkali pemiliknya tidak hadir karena kesiangan, batinku. Saat itu sebagian besar penumpang lain sudah meletakkan bawaannya di kabin dan bersiap untuk duduk.
"permisi, maaf, saya duduk di sana"
Seorang lelaki tinggi bertopi hitam muncul sembari kerepotan mengatur napasnya, memberi isyarat kalau dialah pemilik kursi di sampingku. Aku pun beranjak sebentar dan mempersilakannya untuk duduk. Ternyata ada yang lebih tergesa-gesa dariku, pikirku. Untuk sesaat, diri ini kecewa karena posisi window section itu ternyata ada yang punya. Selain karena ingin memandang langit lewat jendela tanpa gangguan sepanjang penerbangan, sebagai introvert garis keras, diri ini lebih senang kalau duduk sendirian. Atau setidaknya berjarak cukup jauh dengan orang lain (iya, lain kali kalau sudah mampu akan ku beli tiket business itu!).
Pesawat lepas landas, dan begitu kondisinya stabil, aku mulai mengeluarkan buku dari tas ranselku, sejak kemarin aku berencana menghabiskan bacaan ini di atas pesawat. Entah kenapa duduk di kendaraan umum bersama buku terasa lebih menyenangkan bagiku. Ujung mataku kemudian menangkap lelaki di sisi jendela itu yang sedang memperhatikan gerak-gerik ku, alih-alih memastikan earphonenya terpasang, ia malah mengurungkannya.
"wah suka baca Orwell juga?" ujarnya, memecah kesunyian di antara kami "lebih tepatnya baru mulai suka kali ya" kataku, sembari menunjukkan buku dengan judul republik hewan yang memang cukup menarik ceritanya bagiku "saya suka banget sama cerita di animal farm, gimana ironinya tokoh yang digadang membawa perubahan akhirnya malah jadi sama seperti yang mereka benci awalnya, eh bentar, maaf banget jadi spoiler ya" katanya sambil tersenyum--yang entah kenapa membuatku sontak menyimpulkan senyum juga. "oh gapapa, udah mau selesai juga kok ini" ujarku, masih sedikit tersenyum "udah baca 1984 belum?" tentu aku menggeleng, jangankan judul yang baru disebut, buku yang kupegang saat ini pun kubeli semata karena diskon bulanan di toko buku terdekat, secara impulsif kumasukkan ke dalam tas belanja saat itu. Tak kusangka, percakapan terus berlanjut satu jam ke depan sampai ia menyinggung topik demokrasi spesifik di Indonesia, bidang penelitiannya, katanya. Ia menjelaskan panjang lebar bagaimana kondisi sekarang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang Orwell tuliskan. Aku hanya bisa terdiam dan memperhatikan, entah kenapa dia berbicara dengan tempo yang sangat tepat. Tidak begitu bersemangat, tapi tetap membuat yang mendengarkannya hanyut dalam ketertarikannya akan apa yang ia lakukan. What an interesting person.
Aku memutar kepala, mencari celah yang bisa kutanggapi dari penjelasannya. Namun setiap kali aku ingin mengutarakannya, selalu saja diri ini urungkan kembali dan berujung mengangguk saja atau sedikit menimpali. Tau apa aku, yang sehari-hari bekerja di bidang STEM ini tentang demokrasi? pikirku--dengan bodohnya. Gosh, such a convo killer.
Entah setelah anggukan-ku yang keberapa, percakapan berakhir begitu saja, bahkan tanpa bertukar nama. Lelaki itu kini memastikan earphonenya terpasang benar dan menikmati pemandangan langit di sampingnya. Sesaat ketika aku ingin menanyakan namanya, lagi-lagi diri ini mengurungkannya, memikirkan bagaimana kalau aku mengganggunya, atau terlihat aneh di matanya (lagi-lagi, bodohnya).
Sampai saat pesawat mendarat, hanya ada keheningan yang mengisi ruang kosong di antara kami dan keramaian di kepalaku sendiri. Berkali-kali mempertimbangkan apakah aku harus mengajaknya berbicara sekali lagi? menanyakan namanya? meminta kontaknya? jalan beriringan saat keluar bandara?. Pertanyaan-pertanyaan yang takkan ada jawabnya. Kami pun berpisah sebagaimana mestinya.
Perpisahan pada umumnya akan dua orang yang tidak saling kenal, tapi anehnya, di hati ini ia menyisakan rasa sesal.
Satu jam yang menyenangkan, satu jam yang juga mengajarkan bahwa akan ada banyak kesempatan yang dilewatkan hanya karena diri ini berpikir belum punya cukup keberanian.
---
Lagu yang dibawakan oleh gadis Islandia itu kuputar sekali lagi. Pandanganku kini terpusat pada kursi kosong di sisi jendela, alih-alih megahnya langit biru yang dihiasi gumpalan awan di sampingnya.
♪ but my beautiful stranger, will have to remain a stranger until I see him again ♪
Penerbangan singkat menuju Kuala Lumpur akan selalu mengingatkanku pada satu sosok lelaki di sisi jendela, juga pada kenyataan bahwa diri ini pernah melewatkan kesempatan untuk mengenalnya.

0 notes
Text
Tafakkur & Tadzakkur
Sedikit refleksi dari materi Prof. Nasarudin Umar di Istiqlal dini hari tadi:
Jadikanlah apa yang kita lihat di dunia—alam semesta dan seisinya—sebagai tanda-tanda kebesaran, dan kehadiran-Nya
ربنا ما خلقت هذا بطلا
Tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia
“The substance is what’s behind the things”
Jadi inget kuliah perkembangan tumbuhan. Kelas yang mengajarkanku bagaimana tumbuhan berkembang dari bentuk dormannya yaitu biji, sampai berkecambah, bertunas, dan tumbuh terus menjadi pohon yang kemudian bisa jadi berbunga dan berbuah.
Kata Bu Nisya, dosenku, setelah ikut kuliah ini, kita harusnya bisa melihat tumbuhan di pinggir jalan dengan cara yang berbeda. Dan lebih jauh lagi, beliau menambahkan: setiap lihat tumbuhan itu harusnya kita bisa melihat betapa luar biasa kuasa Pencipta setiap makhluk di muka bumi, termasuk tumbuhan tersebut.
I realized that through my undergrad years, I learned not only how genes, cells, organisms, or even ecosystems work, but also how to appreciate them all as a creation of Allah swt. It’s a part of my tafakkur & tadzakkur.
To appreciate the substance behind the (living) things. How beautiful it is? الحمد لله
0 notes
Text
Sedih
Barusan mengucapkan ramadan mubarak buat semua pemirsa instagram story ku (yang sedikit itu) karena bagaimanapun juga bertemunya kembali diri ini dengan bulan penuh ampunan dan keberkahan yang hanya ada satu di antara sebelas bulan lainnya perlu disambut dengan sukacita. Bagaimana tidak? kabar duka akhir-akhir ini yang datang silih berganti seakan mengingatkan kalau jiwa ini bisa pergi kapan saja dari dunia. Maka hei, far, sadar dan manfaatkanlah pertemuan ini sebaik mungkin. Kita gak tau kesempatan ini kesempatan yang ke-berapa sebelum dia hilang dari hidup yang singkat ini, kan?
Di sisi lain, di balik sukacita yang menyelinap sejenak hari ini, kabar duka terus datang dari saudara-saudari ku di Palestina. Sejak berminggu lalu kita udah gak lagi menghitung hari ke berapa genosida ini masih berjalan, kini yang dihitung bulan ke berapa. Aku udah gak sanggup menekan tombol suka di postingan instagram demi meningkatkan engagement-nya. Miris rasanya melihat tombol hati berwarna riang itu muncul di atas gambar adik-adik Gaza yang dibiarkan kurus kering kelaparan. Kali ini cuma bisa meninggalkan emoji patah hati pada unggahan-unggahan yang menyayat hati.
Sedih dan akan terus sedih karena hanya bisa merasa sedih. Tapi se-sedih apapun hati ini harus bisa terus berhusnuzhan pada ketetapan Allah. Ya Allah, ampuni kedua tangan ini yang belum dapat banyak membela saudara kami. Ampuni kami yang seringkali hanya bisa bersaksi dalam hati.
0 notes
Text
Sebelumnya kukira aku bisa lebih berani dari ini. Tapi ternyata segenap realita yang ada belum bisa melepasku terbang begitu saja mengikuti kata hati. Aku akan berusaha mengubahnya, mengubah keadaan ini, mengubah kesempatan itu, mengubah apapun yang bisa kuubah, meski jalannya nampak lebih panjang dan terjal dari yang kuduga. Doaku dari relung hati terdalam, hanya satu: semoga Sang Penggenggam hati selalu menjaga dan meridhai langkah-langkah kecil ini.
0 notes
Text
Merawat Ingatan: Pemilu
Hari ini melihat bagaimana pemimpin zhalim beberapa dekade lalu malah disanjung sedemikian rupa sama warga tiktok. Membawaku pada kesimpulan kalau ingatan bangsa harus terus dirawat dengan membaca dan menulis, agar tidak lagi kita terjerembap ke dalam lubang yang sama. Besok-besok aku mau lebih banyak baca buku sejarah Indonesia, dan kali ini mau nulis sedikit dulu tentang pemilu ini dari sudut pandangku.
Pemilu kali ini jadi pemilu kedua yang ku ikuti, dan bisa dibilang cukup berbeda dari pemilu sebelumnya. Sebagai first voter, dulu aku cuma banyak ngikut apa kata orang tua dalam memilih. Kali ini sepertinya input informasinya lebih banyak, terlebih lagi ada website keren kayak bijak memilih, jadi bisa menentukan pilihan berdasarkan banyaknya informasi kredibel tersebut.
Berbekal informasi itu semua, kemarin aku memutuskan untuk memilih paslon nomor 1. Bahkan ikut agenda kampanye akbarnya. Aku kagum dengan gagasan perubahannya, gaya kampanye dua arahnya, belum lagi rekam jejaknya selama memimpin di Jakarta. Aku salah satu pengguna setia Jaklingko, Transjakarta, dan Jaklitera, berharap banget setiap kota punya fasilitas publik yang sama ratanya dengan Jakarta :") Saat membaca gagasan paslon 1 hingga hadir di kampanye akbar, aku merasa ada harapan buat Indonesia untuk menjadi lebih baik.
Di sisi lain, jauh dari sebelum hari pemilihan, sudah banyak juga fakta yang menjelaskan bagaimana kecurangan sistematis dilakukan oleh salah satu paslon. Guru besar serta akademisi yang jelas-jelas mempelajari bidang ilmu spesifik selama bertahun-tahun sudah bersuara. Ternyata hal tersebut tidak cukup kuat untuk mencegah kecurangan ini terus berlanjut. Sedih, dengan sebanyak itu fakta yang dipaparkan, ternyata masih banyak yang tetap memilih paslon tersebut.
Banyak sekali kemungkinan yang ada. Mungkin memang ini keadaan yang sebenarnya dari negara kita. Mungkin memang informasi ini gak sampai ke banyak pemilihnya. Tapi aku kecewa betul sama orang-orang yang punya akses terhadap pendidikan lanjut, namun memilih menutup mata akan fakta yang sudah ada. Ku pikir belasan tahun yang kita habiskan di bangku kelas seharusnya bisa menjadikan kita lebih baik dan adil dalam berpikir, dalam mengambil keputusan, dalam membedakan mana yang benar dan salah.
Diri ini ga pernah menganggap perbedaan pendapat dalam memilih itu suatu yang buruk. Yang buruk adalah memilih yang sudah jelas-jelas salah sejak awal. Kalau bukan bodoh, apalagi namanya. Tetapi dibandingkan menyebut sesama rakyat bodoh, aku lebih ingin mengutuk negara beserta pemimpinnya yang membiarkan, merawat, dan mengambil keuntungan dari kebodohan komunal ini.
Momen lima tahunan ini selalu mampu membuat diri ini berpikir, seburuk apapun kondisi, ternyata masih lebih banyak rasa sayangnya akan tanah air sendiri. Aku punya banyak sekali harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Harapan itu diawali dengan pemimpin yang jujur dan adil sejak dalam hati, pikiran, hingga perbuatannya. Sehingga kebijakan yang hadir adalah kebijakan yang adil dan menyejahterakan rakyatnya.
Kalau memang yang ditakdirkan ternyata sebaliknya, semoga ada harapan untuk pemilihan yang akan datang. Semoga masih ada "pemilihan" yang akan datang.
0 notes
Text
Setelan Pabrik
Jadi di litbase beberapa hari lalu sempet lihat ada yang nanya kalo abis baca buku self-improvement tuh gimana biar ga balik lagi ke "setelan pabrik" dan, wow, aku relate banget sama pertanyaanya.
Saat pandemi kemarin aku cukup banyak (setidaknya bagiku) baca buku self-help/self-improvement, salah satunya adalah The Courage To Be Disliked atau Berani Tidak Disukai karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga. Bahkan aku tulis juga review tipis-tipisnya di blog ini karena se-inspiring itu buat aku pribadi isi bukunya. Banyak dialog yang terjadi dengan pikiran tentang diri sendiri selama ini.
Lalu apakah setelah baca buku langsung jadi berani? maunya sih gitu, tapi tentu saja ga semudah itu. Setelah dua tahun lebih lamanya, ternyata keberanian untuk tidak disukai dalam konteks seperti di buku tersebut belum juga aku punya. Masih suka banget takut salah sedikit--apalagi banyak. Masih punya kekhawatiran menyampaikan opini di depan publik. Masih meragukan tulisan berbahasa Inggris sendiri sampai harus checking berkali-kali. Masih takut dan gugup kalau gabung ke komunitas baru atau melakukan hal baru lainnya.
Desember kemarin contohnya, aku memberanikan diri untuk bergabung di pertemuan salah satu komunitas belajar di Jakarta. Bahkan hanya bergabung sebagai tamu, aku ingat banget rasanya menit-menit terakhir gugup banget mau join. Seketika muncul pikiran-pikiran burukku. Kepala ini mulai berpikir, memutar otak, mencari alasan sekecil apapun untuk aku mundur dan batal ikut pertemuan pertama (bagiku) itu. Asli, perasaan di saat itu gaenak banget kalau diingat-ingat, meski akhirnya aku memutuskan untuk terus melangkah ke tempat pertemuan.
Kalau bukan karena mengingat kembali (yang mungkin terjadi secara tidak sadar juga) isi bacaan buku-buku self-improvement itu, mungkin aku masih jadi aku yang dulu. Mengiyakan alasan remeh untuk mundur dan menyerah bahkan untuk keputusan-keputusan yang terlihat kecil kayak gini.
Pertanyaan sender dan kejadian ini membuatku berpikir, insight yang kita dapat dari buku itu mungkin memang hanya masuk sampai di pikiran, sementara perubahan pada diri sendiri menjadi bagian yang berbeda, dan itu yang perlu kita usahakan sekuat tenaga. Mungkin kayak apa yang sender bilang, seringnya kita akan kembali ke "setelan pabrik" setelah baca buku-buku serupa. Tapi aku percaya otak kita merekam dan menyimpan inti dari apa yang kita baca, kemudian nanti akan mengambilnya kapanpun saat kita butuhkan.
Cerita Desember itu cuma salah satu contohnya, aslinya, saat ini dan mungkin seterusnya akan muncul lagi kisah-kisah serupa. Pada akhirnya, perjalanan untuk belajar dan berubah menjadi lebih baik memang akan jadi proses yang kita jalani seumur hidup.
So let's keep on reading those self-improvement books 📚₊˚⊹♡
0 notes
Text
30th: What do you feel when you write
Wow akhirnya menamatkan challenge ini juga. Yah meski ga bulat 30 hari karena tulisan ini ku lanjutkan di tanggal 4 setelah mendekam 2 tahun ga dihiraukan (lama amat ya). Sebenarnya hari-hari kemarin cukup sering ngeluh dan sedikit merasa terbebani sama challenge ini. Kayaknya emang perlu effort lebih kalau mau konsisten dalam berbagai hal termasuk menulis.
Tapi aku banyak belajar sih, belajar kalo gapapa banget tulisan ini ga sempurna. Gapapa banget kalo kurang banyak karakternya, kalo ga nyambung sama prompt maupun paragraf berikutnya. Gapapa banget kalo dirasa bingung mau nulis apa, dan berbagai bentuk ketidaksempurnaan lainnya. Toh aku menulis buat diri sendiri, gaada tuntutan harus dinilai bagus oleh siapapun yang kelak menemukan dan membacanya.
Di luar tekanan untuk konsisten nulis tiap hari, bagiku menulis ini kegiatan yang cukup spesial. Setidaknya bagiku, proses menulis yang selama ini dilakukan selalu melibatkan beberapa aktivitas lain. Menulis berarti juga mengeluarkan sebagian isi pikiran, mempertanyakannya kembali, mencari jawaban yang tersembunyi di sela-sela pikiran, mengingat memori yang hampir hilang, merawat ingatan, juga barangkali membuang perasaan. Diam-diam, selain membaca, menulis juga jadi bagian dari prosesku mengenal diri sendiri yang tidak jarang rumit ini.
Meski terkesan menulis bukan untuk siapa-siapa, aku percaya setiap tulisan akan menemukan pembacanya. Seenggaknya diri sendiri di masa depan pasti sekali atau dua akan menengok lagi ingatan yang diam-diam tersimpan dalam tulisan-tulisan ini. Hanya mau bilang pada siapapun yang ada di balik layar tempat alinea yang kutulis berada: terima kasih sudah mampir dan membacanya.
30 hari menulisnya selesai di sini
0 notes
Text
29th: My goals for the future
Salah satu tujuan sejak dulu adalah meneruskan studi sampai lanjut post-doc di luar negeri, lalu berkarir jadi akademisi. Apalagi setelah kemarin visit ke SAHMRI yang membuatku sedikit takjub sama riset di sana. Jalan yang ditempuh sekarang pun masih jalan yang sama nampaknya. Tapi di jalan yang sama ini sekarang sedang mengumpulkan input-input kecil yang mungkin bisa berpengaruh pada keputusan besar berikutnya.
Setelah dipikir-pikir, di pekerjaan sekarang ternyata cukup terpapar dua dunia yang berbeda meski keduanya masih bersinggungan dengan riset dan pengembangan. Jadi masih banyak banget yang bisa dipelajari dan dipikirkan buat rencana-rencana ke depannya. Sebagian diri ini masih punya semangat yang lama dan sebagian diri yang lain sangat terbuka dengan kemungkinan lainnya.
Memang yang paling seru dari hidup ini tuh kayaknya bagian merencanakan ya?. Kayak, kita bisa aja menaruh apapun yang terlintas dalam pikiran kita saat itu untuk jadi tujuan kita di masa depan. Ketika masa depan itu sendiri masih jadi rahasia yang belum disingkap tirainya. Meski nggak jarang juga membuat kita risau akan seperti apa nanti bentuknya.
Yang jelas bagaimanapun jalannya nanti, jangan lupa libatkan Allah, sebaik-baik Perencana.
0 notes