Yuzy Fauzyah | Microbiologist | Photography and Music Enthusiast
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gugur Rasa Semi
Kau tanya aku musim apa yang kusukai Lalu kujawab, aku suka musim gugur
Dulu, sebelum kau yang bertanya Alasanku selalu karena warna musim gugur yang indah
Sekarang, saat kau yang bertanya Alasanku menjadi karena kamu hadir di musim gugur Yang membuat daun berguguran itu menjadi bunga di musim semi
Osaka, 30 Oktober 2017

17 notes
·
View notes
Text
Travel 2 - Hiroshima
Di Jepang ada alternatif liburan murah buat para mahasiswa yang ekonomis dan butuh hiburan. Salah satunya seishun 18 kippu yang ada setiap musim semi, panas, dan dingin. Tiket kereta murah ini bisa digunakan untuk traveling ke segala penjuru jepang dengan biaya 2370 yen per hari atau per tiket. Untuk keterangan lebih lengkap, baca di sini yaa: http://www.japan-guide.com/e/e2362.html
Nah karena aku adalah mahasiswa yang ekonomis dan butuh hiburan, aku berangkat ke Hiroshima tanggal 26-27 Agustus 2017. Sebenernya udah lama banget pengen ke sana, pernah sampai pesen tiket bus tapi harus dibatalin karena kerjaan lab. Makanya waktu tau ada festival kembang api di Miyajima, salah satu main attractions di Hiroshima, langsunglah aku cari penginapan di airbnb. Karena teman sepermainan lagi pada liburan ke Indonesia, jadinya aku berangkat sendiri.
Singkat cerita aku berangkat dari rumah dengan bus pertama ke stasiun JR terdekat. Total perjalanan dari rumah sampai Hiroshima sekitar 6 jam. Sesampainya di Hiroshima, aku langsung ke penginapan yang letaknya gak jauh dari Miyajima. Nama penginapannya Nara dan pemiliknya Kumi san. Begitu sampai, rasanya homy banget karena memang bentuk penginapannya itu rumah orang Jepang yang pemiliknya tinggal bareng dengan tamunya. Ternyata, ada beberapa tipe ruangan yang disewain: 1 ruangan besar buat 6 orang wanita dan mungkin 2 ruangan lainnya untuk keluarga.
Setelah beres-beres bawang bawaan, aku langsung menuju Miyajima menggunakan kapal ferry. Saat sampai di Miyajima, sudah banyak turis yang antusias ingin menyaksikan salah satu festival kembang api termegah di Jepang. Beruntungnya, aku ke sana sewaktu fase bulan baru, jadi di sore hari, air laut surut sampai pengunjung bisa menyentuh O-Torii, gerbang besar berwana oranye di Miyajima. Aku menghabiskan sunset di sana sambil duduk-duduk di spot tempat menonton kembang api, dekat dengan O-Torii.

O-Torii & sunset: perfect combo!
Sekitar pukul setengah 8 malam, panitia mulai bercerita tentang tema kembang api tahun ini. Aku sendiri gak ngerti karena bahasa Jepang yang digunakan gak lazim jadi yang aku lakukan adalah mengatur kamera dan speknya. Akhirnya setelah introduction yang panjang, festival kembang api dibuka dengan letusan pertama di belakang O-Torii. Kemudian menyusul kembang api berukuran jumbo di sisi kanan dan kirinya, sesuai dengan irama lagu yang mengiringi.
Karena keasyikan foto-foto, aku gak sadar kalau ternyata air laut mulai pasang dan sudah hampir menggenangi sepatuku. Makin lama air laut makin tinggi, memaksa para penonton mundur perlahan di sela-sela break kembang api. Terlepas dari kericuhan ini, festival kembang api di Miyajima adalah yang terbaik yang pernah aku saksikan selama 2 tahun tinggal di Jepang.

Festival kembang api Miyajima
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, perjalanan pulang adalah yang paling merepotkan karena antrean ribuan manusia untuk menyebrang dari Miyajima. Perlu 1 jam hingga aku sampai di penginapan dengan kaus kaki basah, badan penuh keringat, dan perut kosong. Hal favorit lainnya dari penginapan ini adalah tamu bisa masak karena ada dapur dan peralatan masak lengkap. Hari pertama di Hiroshima ditutup dengan perut kenyang berisi mie instan indo***.
Di hari kedua, aku berangkat jam 6 pagi menuju pusat Hiroshima. Kereta tram di Hiroshima itu super cute dan aku berasa lagi di negara Eropa. Aku berhenti di Atomic Bomb Dome, berkeliling di Hiroshima Peace Memorial Park, dan mengunjungi museumnya. Kalau teman-teman ada kesempatan berkunjung ke museum ini, jangan lewatkan video testimoni dari saksi mata peristiwa bom atom Hiroshima. Seketika itu juga, teman-teman pasti akan merasa sedih, apalagi setelah melihat foto-foto korban. Aku bersyukur bisa melihat langsung kota yang sewaktu sekolah dulu selalu disebut guru saat materi kemerdekaan Indonesia. Perjalanan ini jadi perjalanan yang berkesan dan akan aku ceritakan ke anak cucuku nanti.

Hiroshima Atomic Bomb Dome

Hiroshima Peace Memorial Museum

Hiroshima Castle
7 notes
·
View notes
Text
Tulisan : Orang yang Tepat
Kalau kamu merasa kamu pendiam, mungkin itu hanya karena kamu belum bertemu dengan orang yang tepat untuk kamu ajak bicara. Kalau kamu sangat pemalu, mungkin itu hanya karena kamu belum menemukan lingkungan yang tepat untuk menjadi ruang yang nyaman bagimu agar kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Kalau kamu merasa kamu kurang dalam segala hal, mungkin kamu belum bertemu dengan orang yang lebih kurang darimu, atau bisa juga orang yang mengagumimu pada hal-hal yang selama ini kamu keluhkan.
Seringkali, segala kekhawatiran kita terjadi kita hanya belum bertemu dengan orang yang tepat. Segala persepsi kita tentang diri sendiri itu hanya lahir dari pikiran kita, bukan orang lain. Sehingga, bertemu dengan orang yang tepat memang sebuah hadiah yang tak ternilai.
Orang yang tidak hanya bisa membuat kita menjadi diri sendiri, melainkan orang yang sekaligus bisa menjadi lingkungan yang kita bisa tinggali. Hidup dalam lingkungan tersebut, nyaman memang. Tapi, zona nyaman yang membuat kita terus tumbuh tentu lebih baik daripada kita harus keluar darinya kan?
Kalau kita tidak atau belum juga menemukan orang yang tepat tersebut, bukankah tidak ada salahnya kita berusaha untuk membuat diri kita menjadi orang yang tepat untuk orang lain?
:)
©kurniawangunadi | yogyakarta, 21 september 2017
3K notes
·
View notes
Text
Hujan
Kiranya beratnya beban yang kau pikul bisa kurasakan Ingin menangis? Maka menangislah Aku tak keberatan dibasahi tetesan air matamu Ingin berteriak? Maka berteriaklah Aku tak keberatan mendengar pekikan kekecewaanmu
Kiranya setelah kau mencurahkan isi hatimu Ada seseorang yang ingin menghapus air matamu Juga ingin meredam amarahmu Bagaimana mungkin seseorang itu bisa menghiburmu Jika kau memendam perasaanmu hanya untuk dirimu sendiri?
Kiranya pelangi menggantikan hujan di sore hari
Osaka, 23 Agustus 2017
2 notes
·
View notes
Text
Mimpi
Kubermimpi tentang mimpi yang kuimpikan sewaktu kecil Rasanya nyata, seperti baru saja terjadi sesaat sebelum membuka mata Karena tersadar yang tadi itu mimpi Kubermimpi suatu hari mimpi yang kuimpikan tersebut menjadi nyata
"You may say I'm a dreamer. But I'm not the only one"
4 notes
·
View notes
Text
Jurnal 5 - Ramadan 1438H di Jepang
Tahun ini sudah kali kedua Ramadan aku lewati jauh dari keluarga. Dibandingkan tahun lalu, rasa sedih karena harus menjalani Ramadan di negeri orang mungkin sudah gak begitu terasa. Ada kalanya beberapa hari Ramadan dilanda kerinduan, apalagi saat mendengar suara imam tarawih di musholla kampus yang syahdu, rasa rindu itu muncul dan lalu diwakilkan oleh air mata.
Ramadan 1438H di Jepang. Ada hal yang sama jika dibandingkan dengan tahun lalu karena tahun ini pun, kami umat Muslim di Jepang berpuasa saat musim panas. Lamanya puasa kurang lebih 16 jam, gak begitu berbeda dengan di Indonesia yang lamanya 13 jam. Hal ini sudah seharusnya disyukuri karena terbayang teman-teman yang berpuasa di Eropa, mereka rata-rata berpuasa 18-20 jam. Tapi, daripada mengeluh lamanya waktu berpuasa, justru ini kesempatan yang baik karena semakin banyak ibadah yang bisa dilakukan, bukan?
Ngomong-ngomong kerinduan, hal yang paling didambakan dari bulan Ramadan adalah sahur dan buka pertama di rumah yang selalu lebih istimewa dari hari-hari berikutnya. Ibu biasanya masak makanan yang lebih spesial, mungkin biar anak-anaknya semangat menjalani ibadah puasa sebulan ke depan. Jadi, di sinipun aku memasak yang spesial: opor ayam dan perkedel kentang di hari pertama puasa. Alhamdulillah. Selain itu, acara sahur di TV juga dikangeni. Karena terbawa kebiasaan menonton TV saat sahur, di sinipun aku menonton TV hanya saja acaranya olahraga, film, atau reality show khas Jepang. Gak ada komedian yang bisa bikin semangat sahur karena guyonannya.
Senin sampai Jumat biasanya ada iftar di musholla kampus. Tiap harinya menunya berbeda sesuai jadwal piket memasak untuk iftar. Inilah nikmat lainnya berpuasa di negeri orang. Kami umat Muslim yang datang dari berbagai negara, Indonesia, Malaysia, Arab, Mesir, Yaman, Sudan, Bangladesh, dan negara lainnya, bergantian memasak untuk iftar. Inilah nikmatnya berpuasa di sini karena kami jadi bisa merasakan masakan khas tiap negara. Indonesia yang biasanya menyediakan nasi kuning, ayam goreng, dan lauk lainnya. Sementara itu, negara-negara Timur Tengah biasanya menyediakan kambing (gulai, iga, dsb), briyani, atau naan yang semuanya mantap jiwa. Sebagai kaum minoritas di sini, bulan Ramadan ini jadi momentum bersilaturahim dan aku sendiri jadi merasa banyak saudara di sini, sekalipun jauh dari keluarga di Indonesia. Setelah iftar, biasanya ada tarawih di musholla. Seperti yang sudah aku sebutkan, suara imamnya syahdu banget dan berhasil menggetarkan hati untuk semakin memperbanyak ibadah di bulan ini.
Tiap weekend biasanya ada pengajian dan buka bersama warga Indonesia di Osaka. Ada tausyiah dari ustadz yang diundang dari Indonesia, makanan khas nusantara yang melimpah ruah karena semua orang berlomba menyediakan iftar untuk orang yang berpuasa, dan tarawih. Berkah Ramadan lagi-lagi dirasakan karena kami bisa menyantap makanan-makanan yang kami dambakan, seperti gulai ayam, sambal goreng teri, tahu bakso, sop buah, pie susu, dll. Alhamdulillah.
Di balik cerianya Ramadan, aku mengalami hal yang cukup menyedihkan. Penelitianku yang sudah kukerjakan selama 1.5 tahun tidak membawa hasil yang bagus, jadi kemungkinan akan diberhentikan. Keputusan ini sehari sebelum progress reportku. Sedihnya bukan main saat itu. Saat ini ada beberapa data yang masih kukonfirmasi jadi keputusan ini belum bulat. Karena belum ada kemajuan, jadi banyak waktu luang. Awalnya aku bosan dan bingung harus berbuat apa di lab sambil mengonfirmasi data itu. Lalu, seperti disadarkan, aku melihat teman-temanku yang hari-hari Ramadannya disibukkan dengan urusan lab dan sekolah sehingga sedikit kesempatan untuk bisa shalat tarawih berjamaah di musholla kampus. Melihat itu, di satu sisi aku sedih karena teman-temanku harus menghabiskan banyak waktunya di urusan duniawi. Di sisi lain, aku bersyukur atas waktu yang Allah SWT berikan sehingga aku bisa lebih khusyuk beribadah. Aku pun jadi lebih banyak introspeksi. Memang, apa yang sudah Allah SWT tetapkan tidak akan pernah salah. Jika memang sudah waktunya penelitianku berhasil, pasti akan ada jalan. Saat ini, Allah SWT memintaku untuk bersabar dan lebih dekat dengan-Nya. Alhamdulillah.
Sekarang Ramadan 1438H akan segera berakhir. Sama seperti Ramadan yang lalu, Ramadan tahun ini terasa cepat berlalu saat ibadah semakin nikmat dirasa. Mungkin dengan begitu semangat beribadah bisa dilanjutkan di luar bulan Ramadan hingga bertemu di Ramadan tahun depan. Terima kasih atas segala karunia yang Kau berikan di Ramadan tahun ini dan semoga Kau meridhoi dan menerima segala amal ibadah yang kami lakukan, aamiin.
2 notes
·
View notes
Text
Bagaimana Langitmu di sana?
Kita hidup di bumi yang sama, tanah yang terhubung melalui udara-udara yang mengalir di atasnya. Menjadi angin yang membawa serta kabar-kabar tentangmu.
Bagaimana langitmu di sana? Di sini mendung hampir tiap sore, hujan setiap pukul tiga, dan selesai sebelum adzan isya. Hujan di waktu yang sama semasa kita dulu pernah menghabiskan waktu menunggu di selasar kampus, kita sama-sama lupa membawa payung di awal musim penghujan.
Dan kita menghabiskan waktu dengan berbicara.
Bagaimana langitmu di sana? Paling tidak, sudah hampir tiga musim kita tak pernah lagi saling menyapa. Selepas kita saling mengetahui tentang perasaan yang ternyata diam-diam tumbuh sejak awal musim penghujan kala itu. Dan saat kita tahu bahwa perasaan itu tidak boleh menjadi besar lantaran kita tidak bisa menemukan jalan untuk merawatnya di tempat yang layak, yang kita namai sebagai rumah tangga. Kita memutuskan untuk mendiamkan, agar ia mati perlahan seiring berjalannya waktu.
Bagaimana langitmu di sana?
Hidup kita telah berjalan di atas keputusan yang pernah kita ambil. Tidak boleh ada penyesalan, itu adalah kesepakatan kita. Sekalipun kita tidak akan pernah lagi berada di bawah langit dan musim yang serupa.
Tidak boleh ada penyesalan, itulah kesepatan yang akan selalu kita yakini.
©kurniawangunadi | yogyakarta, 21 maret 2017
935 notes
·
View notes
Text
Travel 1 - Shirakawa-go & Takayama, Gifu Prefecture

Gashhou-zukuri, Shirakawa-go, Light Up Winter 2017
Liburan musim dingin 2017, aku bersama dua orang sahabat di Osaka main ke Gifu Prefecture, tepatnya Shirakawa-go dan Takayama. Tanggal 6 Februari, kami berangkat dari Higashi-Umeda Osaka naik bus selama kurang lebih 5 jam ke Takayama. Di Takayama, kami sudah memesan kamar di guest house yang letaknya 10 menit kalau jalan kaki dari Takayama Station. Saat sampai, kami disambut jalanan di Takayama yang dilapisi salju tebal berwarna putih. Karena perut yang keroncongan minta diisi, kami mencari restoran yang menjual makanan halal. Setelah tanya mbah google, kami menemukan restoran ramen yang menjual vegetarian ramen dan letaknya tepat di seberang Takayama station. Nama restorannya 駅前軒cafe (Ekimaenoki cafe). Ada dua rasa ramen yang bisa dimakan: salt & hida miso ramen. Keduanya lumayan enak, porsinya besar, dan harganya terjangkau.
Lanjut. Setelah perut kenyang, kami check-in di guest house. Nama guest house yang kami tinggali OUKA. The place is super cozy, modern, & offers great hospitality. Highly recommended for you who seek for comfortable stay with affordable price. Kamar yang kami pesan tipe girls dormitory yang terdiri dari 6 bunk beds dan share dengan tamu cewek lain, jadi harganya lebih murah. Tapi, ada juga tipe kamar pribadi buat yang lebih suka privasi. Ruang tamu dan dapurnya luas serta kamar mandinya bersih. Petugasnya ramah dan bisa bahasa inggris. Di sini juga bisa pinjem yukata dan sepeda lho. Pokoknya tourist-friendly!

Di OUKA Guest House bersama sahabat seperjalanan. Bertemu mahasiswa Osaka University yang lagi liburan juga di Gifu
Setelah check-in dan istirahat bentar di kamar, kami jalan ke Nohi Bus Center dekat Takayama Station. Dari situ kami naik bus ke Shirakawa-go selama 1 jam. Sedikit flash back, untuk bisa memesan Shirakawa-go light up tour bus yang disediakan oleh Nohi bus, kami harus memesan sebulan sebelumnya dan hanya bisa dipesan lewat telepon. Tipsnya, stand by coba-coba telepon ke Nohi bus 5 menit sebelum jam 9 pagi karena saat jam 9 teng, line telepon pasti akan super sibuk dan bisa-bisa reservasi sudah penuh. Selain itu, jangan menyerah kalau panggilan pertama nada sibuk. Teruslah telepon sampai diangkat petugasnya. Kenapa bisa kompetitif banget ya buat pesen bus aja? Ini karena light up Shirakawa-go hanya diadakan 6 hari dalam setahun dan tahun ini, kabarnya pengunjung dibatasi jadi travel yang menyediakan tour ke Shirakawa-go pun berkurang. Informasi mengenai jadwal keberangkatan dan tarif Nohi bus bisa ditemukan di sini dan di sini.
Balik lagi ke cerita travelingnya. Setelah sampai di Shirakawa-go, hari sudah mulai gelap. Awalnya kami ingin naik ke observatory supaya bisa melihat indahnya desa Shirakawa-go saat light up dari atas. Tapi, kami sudah diwanti-wanti oleh travel kalau pengunjung yang ingin naik ke observatory pasti sangat banyak dan ada limitnya. Jadi, kami mengurungkan niat dan langsung saja kami explore Shirakawa-go. Cuaca saat itu kurang baik. Seringnya badai salju dan bikin jarak pandang memendek. Kadang badainya berhenti sebentar, lalu badai lagi. Tips dan trik fotografi light up Shirakawa-go yang udah aku siapin sebelum berangkat pun sia-sia. Aku lebih banyak menggunakan insting saat hunting foto light up. Selain itu, karena gak kuat dingin, aku yang ingin memotret menggunakan tripod pun ciut dan jadi gak bisa lama-lama stand by nungguin long exposure. Selain foto-foto, kami juga nyobain mochi khas Gifu yang mirip dango tapi gak sekenyal itu karena komposisinya lebih banyak ketan, dibalur gula merah, dan hangat. Mantap banget disantap waktu dingin-dingin. Di toko souvenir, kami beli oleh-oleh khas Shirakawa-go. Waktu yang kami habiskan di Shirakawa-go hanya 3 jam karena harus kembali ke Takayama mengikuti jadwal bus. Sempat sedih karena mungkin gak dapet foto yang bagus. Tapi setelah balik ke guest house dan scanning hasil jepretan hari itu, lumayan lah ada foto-foto yang layak publish di instagram.

OOTD dengan background rumah Shirakawa-go sebelum badai menyerang
Hari kedua, kami jalan-jalan di sekitar Takayama. Kami mengunjungi Hida no Sato (Hida Folk Village) yang juga bisa ditempuh naik Nohi bus dari Takayama station. Surprisingly, Hida no Sato gak kalah bagusnya dengan Shirakawa-go. Di sini juga banyak rumah-rumah tradisional khas gasshou-zukuri. Tempatnya luas dan gak banyak pengunjung jadi bisa foto-foto sepuasnya. Kami juga lihat ada snowman bentuk Totoro yang super gede. Luar biasa emang snow building level-nya orang Jepang.

Terima kasih, kamera kesayangan ❤

Totoro!
Setelah cape muterin Hida no Sato, kami lanjutkan perjalanan ke Takayama Old Town. Menurutku, Takayama Old Town ini mirip Kyoto karena gang-gang kecil yang diapit banyak toko khas Jepang. Di dekat Takayama Old Town, ada jembatan yang juga icon dari Takayama: Nakabashi bridge. Jembatan ini juga bagus banget buat jadi objek foto karena warnanya merah dan kontras dengan putihnya kota yang diselimuti salju.

Nakabashi bridge, Takayama
Sore pun tiba dan rasa lelah, karena berjalan jauh layaknya turis serta metabolisme tubuh yang lebih cepat karena udara dingin, semakin menghantui kami. Sepanjang perjalanan pulang ke Osaka, putihnya salju yang terhampar di kanan-kiri kami membuat kami tak henti berucap 'wow', 'waah', dsb. Tapi, aku sendiri merasa kewalahan dan gak betah kalau harus tinggal di daerah yang saljunya lebat begini, Cukuplah dua hari ngerasain indahnya salju. Salju memang indah, tapi repot banget karena jalanan yang licin bikin kita gak bisa naik sepeda jadi kemana-mana harus jalan kaki. Jalan kaki pun licin jadi harus ekstra hati-hati. Kebayang ya temen-temen dari daerah tropis juga yang harus sekolah di daerah saljuan. Kayaknya tiap bangun pagi meratapi harus meninggalkan selimut yang hangat dan pergi ngampus di hari yang dingin. Jadi makin bersyukur tinggal di Osaka. Terima kasih, ya Allah!
Sebagai penutup, aku bikin video perjalanan selama hari kedua di Takayama. Hari pertama gak ada videonya karena badai Shirakawa-go terlalu ganas buat lama-lama ngeluarin kamera dari sarungnya. Well, enjoy the video! :D
0 notes
Text
Perempuan dan Tanda Tanya
Bersikap seperti perempuan itu bagaimana? Apakah yang memakai rok dan sepatu hak tinggi? Apakah yang suaranya merdu bahkan ketika tertawa? Atau yang pandai memasak dan tugas rumah tangga lainnya?
Bersikap seperti perempuan itu bagaimana? Apakah yang menahan perasaannya saat dia menyukai seorang lelaki? Apakah yang menunggu dengan setia sampai ada lelaki yang datang padanya? Atau yang berjuang untuk cintanya sekalipun harus dia yang memulai?
Jawablah, karena seorang perempuan ini penuh tanda tanya.
Osaka, 31 Januari 2017
4 notes
·
View notes
Text
Jurnal 4 - Perubahan
"Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah perubahan"
Setuju. Lalu, perubahan itupun ada yang ke arah lebih baik atau mengalami kemunduran. Perubahan itu subjektif. Seberapa besar perubahan yang terjadi dan apa efeknya berbeda buat masing-masing individu. Mungkin ada yang lebih bersyukur saat penelitian yang selalu gagal akhirnya menemukan titik terang, jadi yang lebih dirasakan adalah proses kegagalan itu membawa makna keberhasilan yang berlipat. Mungkin juga ada yang menyerah di tengah perjalanan saat yang diterima hanyalah kegagalan. Kemudian, apa yang didapatkan? Kekecewaan dan jawaban yang tetap jadi misteri karena tidak terselesaikan.
Perubahan itu diperlukan untuk menemukan jati diri. Pada dasarnya mungkin manusia memang gak pernah merasa puas atas pencapaian diri dan karenanya ingin mencapai hal-hal yang lebih. Di sinilah peran perubahan memegang kendali. Seseorang bisa mencapai sesuatu yang lebih setelah ada hal yang dikembangkan, baik di dalam dirinya atau dari faktor luar yang turut mempengaruhi. Pengembangan diri bisa dikualifikasikan sebagai perubahan, ya gak?
Hingga saat ini, aku juga ngerasa banyak banget perubahan yang aku alami. Beberapa udah diceritain di jurnal sebelumnya, seperti kemampuan memasak yang bisa dibilang okelah dibanding dulu waktu tinggal bareng ortu dan penerapan sikap profesional sebagai seorang mahasiswa sekaligus peneliti di sini. Selanjutnya, yang aku rasakan adalah skill interaksi sosial juga meningkat. Sebenarnya hal ini udah dimulai dari sejak kuliah S1 dulu, dimana mahasiswa-mahasiswa datang dari berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang berbeda juga. Di sinilah rasa toleransi, tenggang rasa, dan sifat-sifat lainnya yang dulu sering dibahas di pelajaran PPKn di sekolah, mulai diasah. Tapi, dulu interaksi lebih banyak dilakukan dengan teman sebaya. Interaksi dengan orang dewasa itu cuma sama dosen, yang notabene harus kita hormati. Berbeda dengan di Jepang saat ini, aku berinteraksi secara langsung dengan mahasiswa satu tingkat yang secara usia lebih tua dariku dan rasanya itu memang beda karena ada batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan sama seperti kalau kita bergaul dengan teman sebaya. Selain itu, melalui kegiatan-kegiatan di luar kuliah dan penelitian, seperti jadi pengurus di beberapa organisasi, membuat soft skill lainnya terus terasah hingga perubahan itu rasanya kekal dan seiring dengan perkembangan diri.
Tentunya manusia gak mau berubah ke arah yang lebih jelek. Tapi, secara gak sadar mungkin beberapa perubahan juga ada yang mengarah ke sana. Ibaratnya, manusia gak lepas dari kekurangan. Jadi, mau sebesar apa kelebihan yang dimiliki, selalu ada kekurangan yang menyertai. Ini udah hukum alam, jadi kita terima aja dan disikapi dengan bijak lewat pengembangan dari kelebihan kita. Misalnya, yang aku rasakan adalah seringnya lupa bersyukur dan lupa cara bahagia (yang ini sedih banget sih). Gara-gara penelitian gagal terus, jadi yang dikejar adalah gimana caranya supaya penelitian sukses. Padahal lupa kalo kegagalan itu bagian dari penelitian dan malah ngebuka pintu kesuksesan. Karena kita tau lewat pintu itu gagal, maka kita harus cari pintu lain yang berbeda dan pasti salah satu dari pintu yang belum kebuka itu bakal menuntun kita ke kesuksesan. Padahal juga, kalo penelitian gagal, aku jadi punya waktu senggang karena harus nunggu selnya tumbuh dulu sebelum menempuh cara lain, misalnya. Nah, yang ini juga seringnya lupa disyukuri.
Akhirnya, kita kembali lagi ke fakta bahwa perubahan itu abadi. Jadi, yang harus kita lakukan adalah menerima perubahan itu dengan tangan terbuka. Mungkin ada saatnya kita gak suka dengan perubahan yang terjadi dengan hidup kita, lalu bilang, "Aku kangen aku yang dulu". Atau gak jarang juga setelah kita berubah, teman kita malah berkurang. Gak apa-apa, gak usah dikejarlah teman yang gak menerima perubahan kita itu (yang penting kita berubahnya ke arah yang lebih baik ya. Kalau berubah ke arah yang jelek mah ya gak salah juga kalo ditinggalin temen). Karena, akan ada penggantinya atas apa yang hilang. Dengan kata lain, akan ada teman baru yang maklum dengan perubahan kita dan bersama-sama berubah ke arah yang lebih baik.
Semoga perubahan bukan lagi jadi sesuatu yang ditakuti, tapi disyukuri.
0 notes
Quote
Bukan pengorbanan namanya kalau yang datang kemudian nilainya tidak lebih besar daripada yang hilang
0 notes
Quote
To receive much love, one has to feel much sorrow, so that much more happiness can patch the hole
0 notes
Text
Jurnal 3 - Jepang dalam 1.5 Tahun
30 September 2015. Hari ulang tahun bapak sekaligus kali pertama menginjakkan kaki di Jepang. Impresi pertama: ini negara rapi amat! Ya transportasinya, kebersihannya, orang-orangnya. Semua kayak udah ada sistem gak keliatan yang mengatur. Sebelum ke Jepang sering denger orang ngomong kalau orang Jepang itu kelakuannya kayak Muslim, padahal mayoritas gak beragama. Ternyata aku ngerasain sendiri kalau mereka memang hubungan antarmanusianya bagus banget. Tingkat toleransi mereka juga tinggi. Bahkan di RIMD, mereka nyediain ruangan khusus yang bisa dipakai jadi musholla. Sedap!
Semenjak ke Jepang banyak hal yang jadi pengalaman pertama: liat momiji (daun maple) waktu musim gugur, liat salju dan main snow sliding, hanami, pergi ke padang bunga matahari, dll. Tinggal di Jepang juga makin bikin diri ini bersyukur karena bisa ngerasain nikmat Allah SWT yang gak bisa dijumpai di Indonesia. Kehidupan di sini juga nyaman banget. Pergi kemana-mana tinggal pake kereta, ke kampus sepedahan sekalian olahraga, convenience store banyak dan ngejual macem-macem. Pokoknya aman, nyaman, tentram, dan damai. Cuma, emang dasar anak rumahan yang dari lahir sampai sebelum ke Jepang tinggal sama orang tua, setiap 4 bulan sekali di tahun pertama adalah homesick cycle. Tapi, setelah mulai penelitian, kuliah, nimbrung di organisasi, banyakin jalan-jalan, ketemu orang baru, homesick-nya ilang secara perlahan. Sekarang setelah hampir 1.5 tahun jadi warga Osaka, baru sekali pulang ke Indonesia dan rasanya cukup (karena dituntut penelitian juga sih sebenernya jadi gak bisa pulang sering-sering).
Di Jepang ini, Sapporo adalah tempat terjauh yang pernah dikunjungi. Bulan Oktober 2016, aku diajak senseiku ikut konferensi virus se-Jepang. Senseiku ini emang super baik kayak malaikat soalnya ngeberangkatin dan ngebiayain anak-anak lab yang padahal belum punya hasil penelitian dan artinya cuma jadi supporter di sana. Semenjak itulah aku bertekad serius ngerjain penelitianku supaya bisa berpartisipasi, minimal jadi poster presenter, di konferensi selanjutnya.
Kehidupan lab itu gak ada abisnya. Hari-hari awal setelah kelas intensif bahasa Jepang berakhir dan secara resmi gabung di lab Molecular Virology, rasanya gabut setengah mati. Emang karena belum ngerjain apapun tapi senin-jumat jam 9 pagi sampe 6 sore harus dateng ke lab. Kontroversi banget kalo dibandingin sama kehidupan ngelab di Indonesia sewaktu S1. Kalo gak ada eksperimen mah gak ngampus seharian juga gak masalah. Ditambah lagi karena RIMD adalah institusi yang berarti liburnya ngikutin libur nasional Jepang, aku suka ngebandingin sama lab pendidikan di kampus yang liburnya ngikutin kalender akademik kampus. Hal-hal negatif gini nih yang bikin aku gak bersyukur. Setelah mulai ngerjain penelitian, akhirnya aku sadar juga kalo tanggung jawabku sebagai graduate student pasti beda dan lebih berat. Sekarang tiap hari pasti dateng ke lab buat ngurusin babies (sel dan virus). Kadang kalau udah cape dan penelitian gagal terus, suka coba nguatin diri buat inget tujuan dateng ke sini. Tujuannya adalah buat ibadah, nuntut ilmu, mencari ridho Allah SWT, dan bermanfaat buat orang banyak lewat penelitian yang lagi dikerjain. Setelah itu, rasanya jadi semangat lagi. Emang ya semangat terbesar itu datengnya dari diri sendiri.
Tinggal jauh dari orang tua juga jadi kesempatan buat ngembangin diri. Dulu sih boro-boro masak rendang, ayam penyet, telor balado, pancake, dll. Asal bisa goreng ayam yang udah dibumbuin ibu, goreng telor, masak mie, itu semua udah cukup. Sekarang, masak jadi salah satu cara ngilangin stress. Selain itu, hobi lainnya juga tersalurkan dengan baik. Fotografi, di sini banyak banget objek foto. Main angklung yang terakhir itu pas SD, sekarang bisa main lagi karena PPI Osaka Nara punya Sanggar Budaya. Pokoknya pengembangan dirinya bisa dari segala aspek dan seru banget ternyata jadi pribadi yang berkembang.
Udah ah kepanjangan jurnal yang ini.
0 notes
Text
Taniguchi Scholarship
Background
Taniguchi scholarship adalah beasiswa yang dirintis pada tahun 2015 oleh Research Institute for Microbial Diseases (RIMD), Osaka University. Fokus penelitian institusi ini adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba (bakteri, virus, protozoa, dll) dan imunologi. Hingga saat ini, Taniguchi scholarship dikhususkan untuk mahasiswa Indonesia dengan background mikrobiologi, biologi, kedokteran, atau farmasi, yang ingin melanjutkan studi di Jepang. Universitas di Indonesia yang sudah menjalin kerjasama dengan RIMD Osaka University adalah UI, ITB, dan Universitas Airlangga. Tujuan utama diberikannya beasiswa ini adalah untuk mendorong dan memfasilitasi semangat mahasiswa Indonesia dalam dunia penelitian ilmiah sehingga bisa menjadi seorang independent researcher.
Masa studi para penerima beasiswa berbeda tergantung fakultas yang diambil. Untuk pelajar lulusan S1 yang ingin mengambil program doktor di Graduate School of Frontier Biosciences (FBS), masa studinya 5 tahun karena terintegrasi dengan S2. Tapi, jika sudah lulus S2 dan hanya ingin melanjutkan S3, masa studinya 3 tahun. Sementara itu, untuk pelajar lulusan S1 yang ingin mengambil program master di Graduate School of Medicine, masa studinya 2 tahun, sedangkan PhD 4 tahun.
Saat 6 bulan pertama kedatangan terhitung sejak Oktober setiap tahunnya, penerima beasiswa masih berstatus sebagai research student. Sebagai research student, kegiatan utamanya adalah hanya belajar bahasa Jepang. Ini adalah golden time dari program ini karena penelitian belum dimulai, jadi kita bisa banyak jalan-jalan setiap weekend asalkan duitnya ada. Selama jadi research student ini juga, kita bisa rotasi lab ke beberapa lab yang kita minati di RIMD sebelum akhirnya kita menentukan akan bergabung ke lab yang mana. Kemudian, saat program belajar bahasa Jepang berakhir, kita akan belajar prinsip dasar eksperimen dan segala hal tentang lab serta peraturannya. Terhitung sejak April, secara resmi kita jadi mahasiswa di fakultas masing-masing. Hal yang paling bikin bahagia adalah opening ceremony dilakukan di Hall of Osaka Castle saat bunga sakura lagi bermekaran. Serius, ini bagus banget dan bikin kita makin berasa diterima gak hanya di Osaka University, tapi juga di Jepang.
Setiap tahun, jumlah beasiswa yang akan diterima masing-masing awardee adalah 2.5 juta yen. Setiap bulan, kita akan mendapat 190 ribu yen, tapi khusus bulan April dan Oktober, sejumlah 300 ribu yen akan kita terima. Jumlah ini memang lebih besar daripada beasiswa lainnya, seperti MEXT atau LPDP, tapi dengan jumlah tersebut juga kita harus menabung untuk membayar sendiri uang kuliah per semester. Jadi, setelah dikurangi dengan uang kuliah, beasiswa yang kita terima gak begitu jauh beda dengan MEXT atau LPDP.
Eligibility
Itulah sedikit gambaran tentang beasiswa Taniguchi. Sekarang, beralih ke persyaratan calon penerima beasiswa. Sederhananya, pelajar berumur kurang dari 30 tahun boleh mendaftar. Selebihnya, syarat dari tiap fakultas pun menjadi bahan pertimbangan (Graduate School of FBS dan Graduate School of Medicine).
Selection
Proses seleksi tahap pertama adalah berkas aplikasi, meliputi formulir aplikasi, CV, statement of purpose, evaluation form (mirip recommendation letter), transkrip, ijazah, sertifikat kemampuan bahasa Inggris (hanya TOEFL PBT, CBT, iBT, TOEIC, dan (mungkin IELTS) dengan masa valid 2 tahun setelah tes yang akan diterima), proof of excellent academic performance at previous university (intinya prestasi akademik yang sudah diraih), copy passport, dan surat keterangan sehat dalam bahasa Inggris. Semua berkas dikirim melalui EMS atau FedEx ke Planning Office RIMD pada tenggat waktu yang ditentukan. Setelah melewati proses seleksi berkas, tahap selanjutnya adalah seleksi wawancara. Tenang aja, asalkan semua berkas lengkap dan sesuai dengan deadline penerimaan berkas, insya Allah lolos ke tahap wawancara. Di seleksi wawancara, para delegasi sekaligus profesor dari RIMD datang langsung ke Indonesia untuk berkunjung ke tiga universitas di atas dan menyeleksi kandidat. Di seleksi wawancara ini, yang harus diperhatikan adalah kandidat harus mengerti sampai akar-akarnya penelitian yang telah atau sedang dikerjakan sebagai Tugas Akhir, entah itu saat S1 ataupun S2. Selain itu, prospek penelitian yang ingin dilakukan selama menjadi mahasiswa di RIMD OU. Gak jarang profesornya nanya tentang hobi atau kegiatan di waktu senggang. Satu hal yang paling utama adalah jangan lupa tunjukkan passion yang kuat terhadap penelitian! Setelah itu biasanya 1 bulan kemudian, awardee akan diumumkan melalui fakultas di universitas masing-masing. Biasanya ada 2 penerima beasiswa di setiap tahunnya.
Prospect
Untuk mahasiswa dengan prestasi luar biasa, akan ditawari posisi postdoctoral di RIMD setelah lulus. Selain itu, ada kesempatan mendapat posisi tetap di sini. Kalau misal gak memutuskan untuk melanjutkan karier di Jepang pun, banyak banget ilmu, pengalaman, dan segala pembelajaran hidup yang bakal diperoleh selama menimba ilmu di sini. Karena status Taniguchi awardee adalah sebenarnya peneliti di RIMD yang mendapat gelar pendidikan dari Osaka University, fokus utama kita adalah penelitian dan otomatis beban kerja kita berbeda dengan lab lain yang statusnya lab pendidikan. Di RIMD, kita dituntut menjadi peneliti profesional yang bisa menyelesaikan proyek dari Kementerian Pendidikan di Jepang. Meskipun terdengar lebih berat, tapi skill kita bertambah dan yang secara langsung aku rasakan adalah sebagai fresh graduate dengan pengalaman kerja nol, menjadi peneliti di RIMD sudah seperti terjun ke dunia kerja yang sebenarnya.
Jadi, jangan ragu untuk teman-teman Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan ke RIMD Osaka University. Kami tunggu di sini, jadilah bagian dari kami untuk mengharumkan nama Indonesia :)
5 notes
·
View notes
Text
Jurnal 2 - Di Negeri Sakura Kuperjuangkan Asa
Sudah diungkit sedikit di Jurnal 1 tentang info beasiswa ke Jepang yang aku terima di saat tingkat empat kuliah S1. Taniguchi Scholarship, beasiswa yang kala itu baru dirintis oleh Research Institute for Microbial Diseases, Osaka University. Mereka mencari khususnya lulusan mikrobiologi, biologi, kedokteran, atau farmasi di Indonesia, yang berhubungan dengan penyakit mikroba atau imunologi. Aku yang sedari dulu tertarik dengan mikrobiologi medis, bahkan saat Tugas Akhir S1 meneliti bakteri penyebab batuk rejan, menganggap bahwa beasiswa ini sangat layak diperjuangkan. Akhirnya, aku menghubungi dosen pembimbingku, bu Pingkan, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Dekan bidang Akademik di SITH ITB. Beliau sangat mendukungku untuk ikut seleksi. Sejujurnya, ada salah satu deskripsi program beasiswa ini yang kurang cocok denganku. Beasiswa ini adalah program 5 tahun untuk S2 hingga S3. Waktu itu aku yang masih berangan-angan melanjutkan sampai jenjang S3 belum siap kalau harus melanjutkan sekolah secara langsung tanpa jeda. Tapi, bu Pingkan bilang mungkin bisa kalau hanya mengambil S2. Oleh karena itulah, aku ikut seleksi. Terkait proses seleksi, akan aku ceritakan di jurnal terpisah khusus untuk kalian yang tertarik dengan Taniguchi scholarship :)
Singkat cerita, diterimalah aku sebagai awardee Taniguchi scholarship. Proses seleksi bukan hal yang mudah karena calon yang lain jauh lebih unggul. Mungkin aku cuma beruntung. Setelah berkomunikasi dengan awardee lainnya, aku semakin yakin kalau aku cuma kecipratan rezeki beasiswa ini. Gimana gak, yang satu udah dokter umum dan lulus S2 dari UK, yang satunya lagi lulus pendidikan profesi apoteker. Apalah aku yang cuma fresh graduate bahkan masih harus nyelesain TA dan nyekripsi setelah pengumuman diterima beasiswa. Tapi justru karena inilah aku makin semangat nyelesain pendidikan S1 karena malu kan kalau udah diterima lanjut sekolah tapi lulusnya gak bermutu.
Kenyataan selanjutnya bikin bingung lagi. Ternyata beasiswa ini mengharuskan kita selesai sampai S3. Sip atuh kalau begitu. "Semakin sempitlah karierku di masa depan", itu yang aku pikirkan. Karena kalau bukan jadi dosen atau profesor, apa ada perusahaan yang mau menerima calon karyawan tanpa pengalaman kerja? Mungkin kau bilang pikiranku begitu sempit dan konvensional tapi kalau berbisnis, aku gak punya bakat. Pun pada saat itu aku ingin bekerja di perusahaan vaksin di Indonesia setelah lulus S2. Tapi akhirnya, aku putuskan untuk tetap berangkat ke Jepang, mengikuti rencana yang telah digariskan untukku dengan tetap berikhtiar, karena...
Masa depan masih misteri Tapi berakhir dengan indah atau tidaknya Bergantung pada usaha saat ini
Keraguan itu ada untuk membuktikan Bahwa kita berani menjawab takdir yang sudah dituliskan Melalui nasib baik yang kita ikhtiarkan untuk menuju takdir itu
3 notes
·
View notes
Text
Jurnal 1 - Refleksi 23 Tahun
Nama anak-anak di abad 21 ini makin susah dieja. Ada yang namanya gabungan dari nama orang tuanya, nama kebarat-baratan, atau serapan yang artinya penuh makna. Dulu sih orang tua ngasih nama anaknya biar gampang diingat aja soalnya orang tua dulu punya banyak anak. Sayangnya, saat nama anaknya udah keren dan bermakna, kadang nama panggilannya tetap aja gak sekeren itu. Duh.
Namaku (mungkin) cukup mencerminkan dari mana aku berasal karena pengulangan biasanya nama orang suku Sunda di Indonesia. Atau kalau masih mengira aku dari Jepang karena nama pertamaku (padahal di Jepang gak ada 'zi'), atau darimanapun, pasti judge itu langsung hilang waktu obrolan pertama. Kentara banget aku dari Sunda karena logat yang mendayu dan intonasi naik di akhir. Kadang aku suka nyamar jadi orang USA, terus nunggu respon lawan bicara. Kalau mereka percaya alhamdulillah, tapi kalau gak ya aku panjangin deh itu USA jadi Urang Sunda Asli. Teu sawios da abdi mah reueus jadi urang Sunda!
Aku anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku perempuan, selisih tiga tahun. Bapak kerja jadi PNS, ibu kerja jadi karyawati BUMN. Selamanya aku berterima kasih kepada orangtua yang sudah bersusah payah menafkahi keluarga kecil kami. Terima kasih, ibu bapak!
Selanjutnya, aku lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Bandung adalah zona nyamanku. Dari semenjak TK sampai kuliah, aku jalani semuanya di sini. Tidak pernah aku merantau jauh untuk waktu yang lama kalau bukan untuk mudik ke kampung ibu-bapak atau jalan-jalan.
Saat tahun keempat di Mikrobiologi ITB, sebagai mahasiswi tahun terakhir aku mulai bertanya-tanya mau apa setelah lulus. Pertanyaan mba Ria Enes ke si Susan di lagunya waktu zamanku masih kecil ini ternyata penuh misteri: 'Susan, Susan, Susan, kalau gede mau jadi apa?' Susan sih gampang aja jawab pengen jadi dokter padahal aku juga nyoba masuk kedokteran gak masuk-masuk. Gak tau deh si Susan udah jadi dokter atau belum sekarang...
Well, gak ada penyesalan lulus dari Mikrobiologi. Tekad udah lumayan bulat pengen nerusin kuliah S2 ke luar negeri. Tapi kalau gak dapet beasiswa, mau gimana? Kerja aja. Kerja dimana? Entah, belum siap kerja mentalku waktu itu. Waktu lagi bingung-bingungnya, di tahun keempat S1 itulah ada info beasiswa ke Jepang di bidang mikrobiologi medis, bidang yang aku minati. Detailnya akan aku ceritakan di jurnal berikutnya.
Intinya, refleksi selama 23 tahun ini ternyata banyak sekali rezeki yang Allah SWT kasih ke aku. Banyak rencana-rencana yang udah aku susun dan belum dijawab, tapi kemudian jalanku diarahkan ke rencana-Nya yang ternyata memang aku sadari lebih indah.
Surely, happiness is as simple as gratitude we feel towards both we have and we don't have.
0 notes
Text
Sambutan
Assalamualaikum wr.wb.
Pertama-tama saya ucapkan selamat datang di blog saya!
Kekakuan kalimat ini cukup sampai sambutan saja karena selanjutnya saya akan bercerita dengan sangat luwes dan seenak hati saya.
Semoga berkenan membaca jurnal saya :)
0 notes