Tumgik
fetyftm · 4 years
Text
Kalau Memang Ia
Rasa khawatir itu bergandengan erat dengan harapan, tak kala doa-doa itu terucap dalam hati. Segala sesuatu membuat pikiranku ke mana-mana, ketidakpastian yang ingin segera kutemukan jawabannya. Hari menghitung hari, menunggumu datang beserta dengan niat dan tindakan yang sesuai. 
Aku tak pernah sekhawatir ini dalam berdoa, sekaligus tak pernah seberharap ini. Biar tak ada keraguan dan penyesalan di kemudian hari, aku selalu berusaha untuk membuat pikiranku lebih jernih. Bahwa, semua kemungkinan itu mungkin untuk terjadi dan aku harus bersiap.
Kalau memang ia, mudahkanlah jalannya. Kalau ada hambatan, kuatkanlah dirinya. Kalau ada godaan, pandulah ia tetap pada niatnya. Doaku sederhana, semoga kamu tak tersesat ketika datang kepadaku. ©kurniawanguandi
2K notes · View notes
fetyftm · 4 years
Text
Senja. Pagi. Kamu lebih suka yang mana? Nyatanya semua saling terus bergulir. Sama halnya dengan dunia yang fana ini. Tidak selalu gelap, juga tidak selalu terang. Tidak selalu bahagia, tidak selalu merana. Tidak pasti terus di atas, karena juga bisa di bawah. Aku dan kamu, ada masanya menjadi kita, tapi juga belum tentu selamanya 🌻
Iya. Sefana itu. Kecuali satu, cinta-Nya.
Tumblr media
1 note · View note
fetyftm · 4 years
Text
instagram
1 note · View note
fetyftm · 4 years
Text
Berharap rasa itu segera selesai, secepatnya
“Sebuah rasa harus selesai. Entah selesai dengan arti berlanjut dengan kesepakatan, atau diakhiri setelah melewati segala pertimbangan.”
— Tanpa perlu lagi dihantui tanda tanya.
1K notes · View notes
fetyftm · 4 years
Text
Tumblr media
Membaca buku ini #PreMarriageTalk ternyata juga butuh kesiapan, kesadaran penuh, dan hati yang lapang untuk terus mau belajar. Untuk perkara menikah sepertinya SKS (Sistem Kebut Semalam) yang biasanya kulakukan itu bukan untuk jadi pilihan. Dia harus disiapkan dengan iman dan ilmu.
1 note · View note
fetyftm · 4 years
Text
Bu, Maafkan Telah Membuat Ibu Menangis
Pukul 20.50 WIB, setelah berjam-jam menunggu hujan agak reda, akhirnya sampai juga di rumah. Baju basah, tapi hati lebih basah kuyup.
Betapa cara Allah menyayangi hamba-Nya itu begitu luar biasa, ban motor tiba-tiba kempes saat perjalanan pulang sore tadi, tiba-tiba hujan turun deras, tiba-tiba Allah mengarahkan ke sebuah tambal ban yang selama 5 tahun di Semarang melewati jalan itu, aku baru sadar kalau penambal bannya adalah seorang ibu-ibu, perempuan berumur 40 tahun.
Bu Ratmi nama beliau, sepertinya Allah ingin aku mendengarkan dan mengambil banyak hikmah dari kisah beliau, beliau sudah menikah selama 25 tahun dengan suaminya, dikarunia 1 orang anak perempuan yg sekarang umurnya 19 tahun dan kini sudah bekerja. Bukan perjalanan mudah memperoleh 1 anak tersebut, beliau harus menunggu amanah itu selama 10 tahun lamanya.
Kekuatan sekaligus kelembutan dari seorang ibu yg membuat beliau akhirnya menekuni pekerjaan tambal ban ini. Sungguh, pasti berat. Tapi untuk bisa bertahan hidup dan membiayai anaknya, semua harus dilakukan. Biasanya beliau berganti shift dengan suaminya, setiap hari beliau menambal ban dari pukul 09.00-larut malam sekali, sedangkan suaminya dari pukul 04.00-09.00 pagi. "Tidak bisa baca-tulis, hanya sampai 3 SD, ini pekerjaan yang sangat mungkin bisa dilakukan," kata beliau. Sejak dulu, beliau memang sudah mandiri menghidupi diri, anaknya, juga suaminya. Suaminya adalah seorang pemabuk, siang hingga malam beliau mabuk, sedang paginya berganti menjaga tambal ban. Anak beliau tidak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi meskipun mendapat beasiswa, karena sudah tidak tahan melihat ibunya banting tulang sendirian, ingin segera bekerja, membantu ibu, perekonomian keluarga. Beliau sebenarnya sangat ingin anak beliau satu-satunya itu bisa melanjutkan kuliah, tetapi apa daya jika anak beliau sendiri yang memang tidak mau, ingin segera berusaha menebus cinta dan kasih ibunya yang tak pernah bisa terbalaskan itu. Beliau menceritakan keluarganya, 2 saudara laki-lakinya meninggal karena polio saat masih kecil. Bapak beliau telah tiada sejak adik terkecilnya masih 7 bulan di kandungan, ibu beliau masih ada di Solo dan tetap terus menyayangi beliau hingga kini, terkadang saat hujan, ibu beliau meminta saudara beliau untuk segera menelpon bu Ratmi di Semarang, "Malam-malam hujan begini, mbakmu masih di jalanan mencari rezeki, ayo-ayo cepat telpon mbakmu" kata ibu beliau biasanya.
Ternyata, beliau juga bercerita pernah masuk ke dalam program acara "T*long" di televisi, mendapat bantuan dari sana ternyata tidak mudah juga sebenarnya, beliau harus mendapat berbagai ujian yang menguras kesabaran dari pagi hingga malam saat Ramadhan beberapa tahun lalu. Yang lebih mengagetkan lagi ternyata beliau pernah terkena leptospirosis, sebuah penyakit yg kujadikan tugas akhirku sekarang ini. Ya Allah.. Tepat sasaran sekali takdir-Mu ini. Iya, rasa-rasanya memang diri ini sedang butuh banyak-banyak mensyukuri segala nikmat dari-Nya.
Bu Ratmi, sesosok ibu yang teduh pembawaannya, lembut hatinya, tetap dermawan meski diri juga membutuhkan, sangat peduli dengan orang lain, sangat menyayangi anaknya, lagi tetap berusaha berbakti kepada suami meski kondisinya membenarkannya untuk bisa berpisah, beliau adalah sesosok wanita yg kuat lagi sangat sabar.
Ah, karenaku beliau harus berkali-kali menitihkan air mata, air mata beliau itulah tanda betapa nyata kekuatan beliau menerima segala takdir dan cinta dari-Nya.
Semarang, 03 Januari 2020.
2 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Dear Millenials...
@edgarhamas
Sepertinya kita banyak kehilangan momentum untuk mencatat sejarah baru. Banyak masa dimana kita lebih memilih apatis dan malu-malu mengatakan mana yang benar dan mana yang perlu dibenahi.
Tidak semua, tentu tidak semua. Tapi barangkali sekarang kita sudah mulai banyak sibuk dengan karier dan sedikit demi sedikit menganaktirikan idealisme yang dulu sempat membara. Semoga tidak. Semoga ini hanya ungkapan satire.
Kini Gen Z yang mewakili idealisme itu (kelahiran 1995-2010), tumpah ruah menyuarakan dengan cara-cara yang tak bisa dibayangkan pendahulunya. Ya, tentu lengkap dengan warna-warni pemikirannya. Ada yang ke kanan dan ada yang ke kiri, seperti itu sudah jadi fitrah generasi.
Kita ada di persimpangan. Antara idealisme dan realitas. Cukup sulit memang, berdiri antara memperjuangkan nilai, dan menyadari bahwa hidup ini makin ke depan harus memberi ruang anggukan terhadap realitas. Namun disitulah kita semakin dewasa.
Setiap orang harus mengambil peran. Saat ini, negara kita entah putus harapan. Orang-orang kehilangan jalan ceritanya tentang masa depan ketika melihat bahwa kebebasan dan nurani mati justru oleh orang-orang di panggung kekuasaan. Pahit sekali fakta ini.
Percayalah, generasi akan berganti. Itu adalah sunnatullah. Tapi setiap generasi punya determinasi akan menjadi apa mereka dalam lingkaran siklus sejarah;
Menjadi generasi yang meneruskan rantai tiran, atau berani memecahnya dan menciptakan kisah baru.
Kepada dirimu di persimpangan. Gelombang selanjutnya akan datang; tapi kita belum sepenuhnya tahu apakah ia gelombang yang mengantar kita pada palung, atau mengantar kita pada puncak gulungannya. Apapun itu; jangan pernah kehilangan harapan.
"Anak muda tidak disebut anak muda sampai dia bermimpi ingin menyelamatkan dunia."
Kesannya memang ia berkhayal ingin jadi pahlawan. Tapi bukankah setiap pahlawan memang punya mimpi menjadi penyelamat dunia?
230 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Malu
Tawadhu yang sebenarnya adalah saat dimana kamu mampu merasakan dan menganggap setiap orang yang bertemu denganmu adalah orang yang lebih baik darimu, lebih dahulu masuk surga darimu, dan amalnya lebih banyak darimu. Hingga kamu malu jika harus merendahkannya, hingga kamu malu jika harus membicarakannya dari belakang, dan hingga kamu malu jika harus merasa bahwa kamu adalah orang yang lebih baik darinya, tersebab gelar yang tersemat padamu atau semua pencapaianmu.
Dan jika tawadhu itu ada padamu, seharusnya bisa menjadikanmu lebih bisa menjaga lisan dan hati dari prasangka buruk dan mudahnya merendahkan orang lain. Ampunanmu ya Rabb.
Setelah Ramadan ini, harusnya tawadhu itu ada padamu, padaku, dan pada setiap yang berjumpa dengan Ramadan.
Aku, yang ingin kembali fitri tanpa harus mengulang kesalahan yang sama lagi.
Menjaga istiqomah.
@jndmmsyhd
915 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
"Tiga fondasi utama menghargai diri sendiri; menerima diri sendiri dengan seluruh kurang dan lebihnya, mempunyai harga diri, dan mencintai diri sendiri."
Bukankah sebelum belajar menghargai orang lain, kita harusnya sudah mampu menghargai diri sendiri?
Untuk apa? Selain untuk menjaga kewarasan, dengannya pula kita dapat melejitkan potensi dalam diri dan bentuk syukur kita atas segala nikmat yang Allah titipkan di penciptaan makhluk bernama manusia. Ada tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam raga dan jiwa kita. Betapa pikiran mampu mengubah begitu banyak hal dalam alam bawah sadar dan sadar kita.
Kalau sudah mampu bersyukur? InsyaAllah akan kau temukan kebahagiaan :)
-Dikutip dari buku Terapi Berpikir Positif karya Dr. Ibrahim Elfiky.
0 notes
fetyftm · 5 years
Text
Renungan :"
Menjadi Berharga
Sebuah barang yang berharga, tatkala ia asing dan jarang orang memilikinya, saat dipandang elok dan memikat setiap hati untuk mendapatkannya. Berharga dan istimewa.
Yang paling berharga adalah saat kamu menjadi asing diantara yang lain tertidur sedangkan kamu bangun dalam sendunya sholat tahajudmu. Yang paling berkilau adalah saat kamu menjadi jarang ditemukan dikeramaian sosial media dengan segala postingan keseharian dan pamer akan kebahagiaan, sedangkan kamu masih berjuang dengan dunia nyatamu untuk membantu sesama, mengurangi beban mereka, dan menjadi penebar kebaikan tanpa takut cibiran dan tanpa terbang oleh pujian.
Berharga yang abadi itu adalah kekayaan hati, bukan kekayaan duniawi. Ia akan terlihat bahagia dengan apa yang ia punya, menandakan bahwa ia kaya akan rasa cukup dan kaya akan rasa syukur.
Jadilah seorang yang berharga, dengan segala kebaikan yang bisa kamu lakukan dan berikan pada orang lain.
Cukup dan syukur.
@jndmmsyhd
1K notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Nikmati prosesnya, hirup kenikmatan letih, takut, khawatir, dan segala harap, doa kepada-Nya.. Semoga segala proses ini akan menuntun kita ke suatu titik kesyukuran suatu saat nanti. Insya Allah :)
Pelan pelan saja. Bersegera iya. Tapi tak perlu buru buru. Karena proses lebih penting daripada hasil. Karena orang yang terburu buru selalu berorientasi pada hasil. Dan yang berorientasi pada hasil akan kecewa ketika gagal. Yang berorientasi pada baik nya proses akan ikhlas dan tawakal dengan hasil.
157 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Rencana
Terlalu lama hidup tanpa rencana yang pasti itu sudah layaknya musibah yang diundang sendiri. Teringat kata-kata mbak Dewi Nur Aisyah yang intinya, "Rencana itu begitu penting, kita tidak bisa hanya hidup mengalir seperti air, karena kita tidak pernah tahu air itu akan mengalir kemana, bisa jadi ke tempat yang baik, bisa jadi justru ke tempat yang kotor, menggenang dan mengendap di sana."
Ya.. Kita tidak pula bisa sukses hanya dengan berbekal semangat, harus ada rencana yang memimpin do'a, usaha, serta evaluasi kita.
Semoga rencana kita bersanding dengan rencana-Nya.
1 note · View note
fetyftm · 5 years
Text
Relakanlah Rasa Itu
Adakalanya kamu merasa begitu terbebani, merasa tidak ada lagi masa depan yang indah. Dada terasa begitu terhimpit karena tidak ada yang mau mempercayaimu, menemani, atau sekedar mendengarkan kegelisahanmu.
Ketika kau hanya mendengar begitu banyak pertanyaan tentang hasil, bukan proses, bukan perjuanganmu, bukan perasaanmu.
Semoga kamu selalu mengingat, "Bahwa kamu kuat jika Allah ada di hatimu, Allah selalu bersamamu, menyiapkan rencana indah dan pahala berlimpah atas semua doa yang kamu pikir tak kunjung terbalas. Cukup ingat, bahwa semua pasti akan berlalu, tapi jangan sampai kamu khianati imanmu terhadap Tuhan-Mu."
2 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Ya.. Memang jadi muslim itu berat. Muslim yang memang sepantasnya disebut muslim. Gimana gak berat?? Hadiahnya aja surga, bertemu dengan Allah, kenikmatan abadi. Ya tentu gak main-main juga ujiannya.
#ntms
3 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Iya :" seiring waktu makin disadarkan oleh-Nya, alhamdulillah.
Apa yang Kita Beri, Bukan Dapatkan
@edgarhamas
“Ketika masih kecil”, kata Syaikh Abdul Karim Bakkar menasihati, “kita menganggap ukuran bahagia ada dalam mendapatkan, namun seiring bertambah dewasa, kita akan sadar bahwa kebahagiaan sejati didapat dalam memberi.”
Suatu saat kita akan berlalu, dimakan waktu, dilerai oleh batas bernama mati, dan usia kita yang hanya setitik kecil di sungai zaman ini akan menjelma kenangan. Yang entah, barangkali diingat satu dua tahun, atau abadi dalam sejarah. Tergantung apa takdir yang kamu pilih saat ini.
Namun satu hal ternyata yang menampar pikiranku, adalah tentang betapa banyaknya logika-logika hidup yang diyakini benar oleh sebagian besar manusia, padahal sejatinya ia berkebalikan dengan cara kerja kebahagiaan.
Kita dulu menganggap bahwa memiliki kebebasan tanpa batas adalah kebahagiaan, sampai kamu sadar pada titik bahwa ternyata bebas tanpa aturan sama sekali tak ada artinya.
Kita mengangguk-angguk tentang bahwa kekayaan adalah parameter kesuksesan, diiringi dengan karir yang melonjak dan nama yang riuh diteriakkan orang-orang. Aku jamin, jika memang kamu sudah sampai di titik itu, kamu akan tahu ternyata banyak orang yang sudah sampai di sana tapi tak menemukan apa-apa.
Bahkan sebenarnya jika kita pikirkan baik-baik, ketika suatu masa nanti kita meninggalkan dunia ini, orang-orang tak akan banyak pikir tentang apa yang sudah kita dapatkan. Mereka justru punya alasan untuk mengenang kita karena apa yang kita berikan.
Itulah mengapa yang diabadikan dunia adalah para Ulama dan orang-orang yang wujudnya ada untuk berkhidmat pada agama serta umatnya. Tak ada kenangan jelas tentang daftar orang kaya dalam Al Qur'an, yang ada adalah deretan para Nabi dan Rasul.
Sebab begitulah sebenarnya cara kebahagiaan didapat, yang sejati, adalah pada apa yang bisa kamu berikan untuk-Nya dan mereka selama hidupmu, bukan tentang apa yang kamu dapatkan. Dan lagi-lagi, Allah sudah tahu apa yang akan manusia lakukan, “tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
547 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Masalah
Justru ketika kita gak punya masalah, semua mengalir seperti air, gak ada drama kehidupan, gak ada yang kita perjuangkan, gak ada sesuatu yg bikin kita berdebar, kesel, jatuh, takut, kecewa, berharap.. Hati kita mungkin malah sedang menuju sebuah pertanyaan, "Apa kita masih hidup?"
Hidup di dunia ini memang tempatnya kita diuji, tempat kita beramal, tempat kita berlelah-lelah, tempat kita berusaha.. Masalah/ujian memang sudah seperti oksigen untuk kita.
Kalau mau istirahat senyaman mungkin, ya memang bukan di sini tempatnya tapi di surga.
Tumblr media
2 notes · View notes
fetyftm · 5 years
Text
Ilmumu Bukan Penjaminmu
@edgarhamas
Dalam suratnya pada salah seorang muridnya, Imam Ghazali bercerita tentang seorang Ulama bernama Imam Junaid. Ketika Imam Junaid telah wafat, salah seorang muridnya bermimpi bertemunya dan bertanya, “Apa yang Allah perbuat pada-Mu wahai guru?”
“Kata-kata jadi tak berharga, isyarat-isyarat jadi tak berarti, tak ada yang memberi kita manfaat selain rakaat shalat kita di tengah malam”
jawab Imam Junaid dalam mimpi itu. Maknanya, sejatinya ilmu yang banyak menjadi tak berarti jika tak diiringi amal.
Kita, seringkali menganggap petualangan kita mencari ilmu adalah tujuan hidup.
Salah, kenyataannya mencari ilmu bukanlah tujuan dari segala pengembaraan dan waktu kita yang berlalu. Makna sejati dari ilmu yang kita dapat, adalah jika ilmu itu bisa memperbaiki amal. Semakin banyak ilmunya, seharusnya bergerak simultan dengan baiknya kualitas amal nyata.
Orang, jika menyukupkan dirinya hanya dengan ilmu yang dia kumpulkan, namun menihilkan amal, sama seperti orang membangun rumah tapi setelah ia bangun setinggi langit, ia tidur di emperan terasnya. Basah terkena badai, kepanasan tersengat mentari.
Para sahabat belajar banyak hal dari Nabi Muhammad, namun mereka tak berani benar-benar menambah ilmunya sebelum ilmu hari kemarin telah menjelma aksi nyata. Di antara mereka, ada yang bertahan dengan satu dua hadits berbulan-bulan, sebab ia sedang konsisten membentangkannya jadi karya nyata.
Sebab, beliau-beliau tahu betul, ilmu di hari kiamat kelak justru akan ditanyai pertanggungjawabannya. Apa jadinya jika Allah menanyakan kita tentang ilmu yang ada di kepala, namun kaki dan tangan tak pernah tergerak untuk menyatakannya?
Itulah yang membuat Ibunda Aisyah mengkritik seorang yang setiap hari memintanya untuk mengajarkan hadits Rasulullah namun hadits hari yang lalu belumlah pula diamalkannya, “bagaimana kamu!? Apakah kamu hanya ingin menambah beratnya pertanggungjawabanmu di hari penghakiman?”
507 notes · View notes