aku ingin bergegas pulang menuju meja, kursi, dan air mata itu
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bandung: Hanya Sekali dan Keinginan untuk Kembali Berulang Kali
Bagian kelima dari Kumpulan Cerita Kota, cerita tentang kenangan, harapan, dan apa saja yang bisa diceritakan dari setiap perjalanan. Kali ini tentang Bandung. Kota ini tidak kukunjungi sesering kota-kota lain yang pernah kuceritakan. Tak ada relasi, tak memiliki tendensi, jauh untuk didatangi, dan suasananya yang asing membuatku hampir tidak pernah berpikir untuk kukunjungi. Namun, sesingkat apapun pertemuan, tak ada larangan untuk tetap mengenang, bukan? Lagipula, kenangan yang cukup singkat bisa saja menjadi ingatan yang begitu membekas dan sulit untuk dihapuskan.

Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. - Pidi Baiq
Kalimat tersebut pasti akan kamu temui ketika hendak menuju atau melewati Alun-Alun Bandung, dari arah Jalan Asia-Afrika. Seperti cerita ini, setiap kota yang pernah kuceritakan bukan hanya masalah geografis, di setiap sudutnya menyimpan kenangan yang muskil dilupakan. Tentang rumah, tentang persahabatan, tentang harapan, atau tentang sebuah pertemuan -pertemuan yang singkat- tentang Bandung yang terasa begitu dekat. Kota ini mungkin tak sehangat Jogja, tak sefrontal Surabaya, dan jauh dari bayangan untuk tinggal kekal seperti Semarang (yang kini pupus sudah). Kota ini, seperti namanya yang ia sandang, yakni kota kembang, maka sudah sepatutnya usaha-usaha menyukainya adalah dengan menyukai dalam diam. Mengapa dalam diam? Sebab bagiku, keindahan setangkai kembang cukuplah dinikmati dengan indera penglihatan saja, tak perlu memetik lalu membawanya pulang. Cukuplah ia dirawat dengan penuh kehati-hatian, dan nikmati keindahannya sembari membiarkan ia menebarkan wangi semerbaknya. Begitu pula Bandung, yang hanya bisa kukagumi dari jauh. Cukuplah sekali dua kali aku bertemu dengannya, lalu kurelakan ia tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Mengagumi keindahannya dari jauh, mendo'akan agar lingkungannya selalu mendukung dia untuk terus maju dan menjadi lebih baik.
Lantas, apakah aku akan mencukupkan untuk mengagumi dari jauh? Tentu tidak, namun karena jarak, mungkin Bandung tak bisa kusinggahi sesering kota-kota lain. Bagaimanapun, seperti kata Amigdala, rindu harus dibayar tuntas, seperti kuku panjang yang harus dipangkas, tiap kali hendak masuk kelas. Dan meminjam dari Eka Kurniawan, seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas. Tapi berbicara soal dendam dan kemarahannya, ada kota lain yang harus kubayar lunas. Namun Bandung, cukuplah rindu, kekaguman, dan kerelaan yang dipupuk dalam hati.
Aku pun tahu kalau Bandung tak hanya tentang keindahannya. Seperti yang lain, ia juga penuh dengan kerumitannya. Tersembunyi di balik kesejukannya sepanjang hari, Bandung juga memiliki kekurangannya sendiri. Ia ramai, terlalu complicated, juga memiliki gesekan-gesekan tak terhindarkannya sendiri. Di balik senyumnya yang begitu menawan, kupikir ada kesengsaraan yang kerap kali berkunjung. Dari rumah-rumah Dago Elos hingga petak-petak di Sukahaji, Bandung pernah diusik kenyamanannya. Panjang umur perjuangan!
Dari jalanan ramai di Asia-Afrika, petak-petak di Pasar Baru Andir, perasaan nostalgia di toko kopi Purnama, dan rindangnya kampus ganesha, Bandung selalu ada dengan keceriaannya. Dan dengan senyumnya yang menyejukkan, izinkan aku untuk mengatakan
Setiap sudut menyimpan namamu Detak detik menggambar wajahmu Akankah waktu mengulangnya lagi Kutunggu saat kau pulang kembali - Adhitia Sofyan
0 notes
Text
Patah Hati Seperti Arus Singkat 3 Fasa ke Tanah
lebih sering gagalnya, lebih kerap jatuhnya.
Hai, terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk berbicara denganku. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan kepadamu. Semoga kamu berkenan menyimaknya.
Dulu, sekitar 12 tahun yang lalu, aku pernah jatuh cinta pada perempuan yang kulihat berjalan lewat depan kelasku. Kami masih SMA waktu itu, singkat cerita, aku tahu namanya, aku berhasil mendapatkan nomor teleponnya, dan aku berhasil ngobrol langsung dengannya. Aku utarakan isi hatiku, dan dia mengiyakan. Kami jadian.
Tahun pertama kami masuk perguruan negeri, kami kuliah di kota yang sama. Dia di A, aku di S. Sekali waktu kami pernah meluangkan waktu untuk pergi bersama. Menjemputnya di rumah kos, mengunjungi taman di tengah kota, lalu makan makanan tradisional khas kota tempat kami tinggal. Kesibukan akhirnya membuat hubungan kami renggang, hingga akhirnya aku mendapat kabar kalau dia akan pindah kuliah, ke ibukota.
Kondisi hubungan kami naik turun. Kadang kami hilang kontak, tak jarang dia tiba-tiba marah, seringkali aku yang tak peka. Tapi satu hal, aku masih mencintainya. Kami tetap saling berkabar, saling merindu, dan saling mendoakan. Aku percaya ia tak akan berbuat macam-macam sebagaimana ia juga mempercayaiku. Ketika masing-masing dari kami pulang ke kampung halaman, selalu kami sempatkan untuk bertemu. Menikmati hidangan laut di kedai makan di pinggir pantai, minum secangkir coklat panas di kafe yang agak menyempil, atau sekadar bertamu di rumahnya sambil tak lupa kusapa ibunya yang ramah.
Banyak hal terjadi, hal-hal baik, ataupun hal-hal buruk. Hal baik adalah ia masih mencintaiku, begitu pula diriku. Aku masih sering mendapat kabar baik darinya, senyumnya, dan prestasinya. Yang buruk adalah, ia juga dicintai oleh orang lain. Orang lain yang tak lama ia kenal, namun membuatnya yakin. Aku yang mencurahkan semua isi hatiku, dicampakkan begitu saja. Segalanya sirna. Dia kini berbahagia dengan keluarga kecilnya, dan aku yang saat itu menderita penuh luka.
Kamu. Aku mengenalmu saat aku sudah mulai berdamai dengan lukaku sendiri. Ingatan-ingatan masa lalu masih membekas, namun aku sudah mulai berdamai dengan semua itu. Pertemuanku denganmu memang unik. Awalnya, aku dan kamu hanyalah sepasang asing yang berjalan di lini masa masing-masing. Kota tempat kita tinggal juga tak dekat, butuh 4 jam perjalanan kalau naik kereta.
Pertama kali aku menemuimu, cuaca begitu panas, namun pada malam hari, hujan deras mengguyur kota. Labil, persis seperti sikapmu. Pertemuan yang menyenangkan. Aku akhirnya jatuh cinta kembali. Kamu cukup sering mengunjungi kotaku, aku pun begitu meski frekuensinya tak sebanyak yang kamu lakukan. Aku selalu suka memboncengmu mengelilingi jalanan kota, naik turun bukit dan lembah. Berteduh di sebuah minimarket saat hujan tiba-tiba turun ketika malam yang dingin. Aku selalu antusias menjemputmu di pintu keluar stasiun, membawakan tas ranselmu yang berisi bermacam barang bawaan. Aku sudah mencintaimu, dan cinta itu tumbuh.
Kamu tahu, cinta tumbuh, dan tumbuh butuh waktu. Bahwa luka juga butuh waktu sembuh, cinta juga butuh waktu untuk tumbuh. Kamu barangkali tak merasakan cintaku sebesar dulu. Karena ia masih kecil, ibarat tanaman, batangnya masih lunak, daun-daunnya masih sering berguguran untuk berbagi nutrisi pada bagiannya yang lain untuk tetap tumbuh besar. Tanaman ini, ia sudah di pekarangan yang tepat. Ia mendapat nutrisi yang cukup, sinar matahari teduh menyinarinya sepanjang hari. Ia punya segalanya untuk tumbuh, meskipun kadang ada hama dan serangga-serangga pengganggu, ia tahan dengan gangguan itu. Namun, seperti yang kamu tahu, sebanyak apapun nutrisi yang kita beri pada tanaman, ia tetap butuh waktu.
Aku pernah memintamu waktu, tapi kamu tidak mau. Kamu tak peduli bagaimana cinta ini tumbuh, yang kamu ingat hanyalah hama-hama yang kerap kali datang, dan kamu mau tanaman ini tumbuh sempurna, kalau bisa detik ini juga. Kamu tak acuh pada bagaimana tanaman ini terpaksa menggugurkan daunnya, agar ia tak mati. Kamu hanya ingin buahnya secepat mungkin. Dan aku, tak bisa memenuhi itu.
Kamu akhirnya memilih orang lain. Tanpa sepengetahuanku, berkunjung ke kedai kopi yang pernah kita ingin tuju bersama, tapi kamu kunjungi bersama orang lain. Kamu bilang liburan bersama teman-teman di Kota Raja, namun kamu bertemu dan melihat kafe milik orang lain ini. Tanaman yang kini kurawat memang belum tumbuh besar, kadang daunnya menguning sana sini, namun ia kuat. Ia tetap bertahan untuk tetap tumbuh. Tak salah memang kalau kamu memilih tanaman orang lain, mungkin lebih kuat, lebih tahan penyakit, dan pemiliknya yang royal.
Setidaknya berkabar kalau ingin pergi, bukannya malah sembunyi-sembunyi. Pertanyaanku sekarang, batas sikap kita dikatakan egois sampai mana sih?
0 notes
Text
Lagu Penggali Kubur
Aku baru saja selesai melakukan ritual pemakaman mimpi yang kedelapan hari ini. Setelah meletakkan tiga helai bunga kamboja pada gundukan tanah tanpa nisan ini, aku bersama Lupus memutuskan pergi ke arah sumber cahaya merah pekat di utara. Jika selatan adalah arah di mana aku mendapati serigala pincang ini berjalan, maka utara adalah tempat yang lebih mencekam. Ada suar cahaya merah yang menyelimuti langit padang pembantaian ini. Di tempat di mana matahari selalu hampir terbenam tapi tidak pernah hilang seutuhnya, cahaya ini hanyalah sumber cahaya satu-satunya. Dan hingga sekarang, aku belum tahu dari tempat apa cahaya itu berasal, kenapa ia ada terus-menerus, dan untuk apa? Ketika kutanya pada salah satu tukang jagal, ia hanya menggelengkan kepala, entah apa maksudnya. Aku juga tak pernah bisa akrab dengan para pembantai ini. Selain dingin dan berwajah beringas, mereka terlalu sibuk membantai mimpi-mimpi yang datang tak ada habisnya untuk dibunuh. Mengasah parang, mempertajam belati, merajut cambuk-cambuk, dan menyiksa para mimpi yang lemas tak berdaya adalah keseharian mereka. Aku tak pernah melihat mereka bertegur sapa satu sama lain atau bercengkerama di sela mimpi-mimpi baru digotong untuk disiksa. Mereka, hampir seperti alat pembantai yang efisien.
Aku sudah muak bertanya perihal cahaya ini pada mereka, maka, hari ini kuputuskan untuk berjalan jauh ke utara, bersama Lupus. Ia kini mulai paham beberapa perintah sederhana, tentunya dari mulutku. Tidak ada jalan setapak untuk menuju ke sana. Sebagian wilayah rata dengan tanah, hanya ada beberapa gundukan di beberapa tempat. Petunjukku hanya satu, yaitu cahaya merah ini, yang jelas, sejauh mata memandang ke utara, aku tak melihat ada gumpalan awan mendung dengan petir yang menyala-nyala, tak kulihat ada badai ataupun puting beliung yang menggelegar, hanya ada suar cahaya merah dan kesunyian. Kalau kalian begitu suka dengan kesunyian, kalian mungkin akan suka tempat ini asalkan terus memejamkan mata, sunyi yang menenangkan, gelap, namun menenangkan. Tak ada suara-suara yang mengganggu, bahkan kau bisa mendengar hembusan nafas dan detak jantungmu. Barangkali, gambaran tempat ini seperti kata mereka, sunyi, namun menyayat seperti belati.
Puluhan langkah setelahnya, aku mulai mendengar suara-suara raungan dari bawah tanah. Yang baru kusadari adalah, tanah yang kupijak memang masih rata, tapi ini bukan tanah. Ini adalah beton yang dicor seluas puluhan lapangan sepak bola. Di bawahnya, seolah ada rongga, ada suara raungan yang menggema, samar-samar memang, tapi masih bisa kudengar jelas. Tempat ini adalah dimensi yang amat berbeda dengan padang pembantaian tempat di mana aku terpaksa tinggal. Tempat ini mirip seperti sebuah pelabuhan. Tanah apang beton, dengan gorong-gorong di bawah tanah sisa pembuangan dari pabrik. Di langit, aku merasa seperti ada yang mengawasiku, begitu awas, seolah-olah matanya menyeringai memandangiku. Lupus masih tenang, ia mengawasi keadaan sekitar dengan mata tajamnya. Ini bukan pantai yang indah dengan pasir putih dan laut biru penuh kilau. Ini seperti pelabuhan di bulan Desember yang pernah aku datangi dahulu. Pelabuhan tempat muara dari darah yang mengucur deras dari hati yang tersayat bilah belati panas. Kalau melihat lebih teliti, ada anak-anak burung camar bersembunyi di balik karang di pulau seberang. Petir menyambar, seperti mencari sisa-sisa mimpi yang tergilas ombak berarak bagai pasukan bertombak. Di muara, raungan-raungan nyaring terdengar, dari gorong-gorong tempat penyiksaan, ada lolongan makhluk buas dengan cakar tajam, wajah menyeringai, taring tajam yang siap menerkam. Matanya merah menyala di kegelapan badai, mencari-cari sisa tubuh yang terkoyak belati dan terhempas karang. Lantas, di mana sumber cahaya itu? Di tempat terujung ini, aku juga tak menemukan sumber cahaya itu. Kukira ia berasal dari menara suar di pelabuhan ini, namun ternyata menara ini tak berfungsi sebagaimana mestinya. Aku hanya menemukan tempat yang begitu mencekam, bukan neraka, tapi kau akan merasakan pengalaman buruk yang tak bisa kau lupakan. Bau amis ada di mana-mana, bekas darah yang mengendap di ujung gorong-gorong padat seperti gumpalan hati. Darah yang mengucur dari sayatan belati dari hati sebuah mimpi, berkumpul di tempat ini. Saat ritual pemakaman, aku memang hanya meletakkan tubuh mimpi yang sudah mati tanpa memeriksa kelengkapan organ dalam mereka. Pekerjaanku hanya mengubu mimpi, aku tidak berhak memeriksa, melakukan otopsi, dan bahkan untuk menghidupkan mimpi-mimpi baru bukan tugasku. Namun, aku baru tahu kalau organ-organ mereka masih mengalami penyiksaan selain tubuh mereka sendiri.
Kau mungkin menganggap aku bodoh karena aku tak sadar bisa berpindah dimensi saat berjalan menuju utara. Anggaplah aku mati rasa, penuh ketidakpedulian dengan sekitar, atau apapun itu. Namun jelas, aku memang tidak sadar ketika tiba-tiba berpindah dari kesunyian yang tenang menuju raungan-raungan dan petir yang menggelegar di pelabuhan ini. Namun, karena menemukan tempat ini, aku sadar bahwa mimpi yang terbunuh tak lantas mati begitu saja. Ia mengalami penyiksaan yang tak bisa kubayangkan sebelumnya. Kepalanya dihantam benda tumpul, lehernya digorok parang tajam, perutnya disayat belati panas, kaki dan tangannya dicambuk duri, hatinya ditusuk belati hingga darahnya mengucur menjadi santapan makhluk-makhluk buas di gorong-gorong pelabuhan. Mimpi itu, dipaksa mati tanpa keinginannya sendiri. Sebelum mati, ia disiksa oleh realita, dan aku yang menguburkannya.
Tamuku bukanlah kaisar-kaisar asing dalam ragam warna, bentuk, dan bahasa bukan pula para utusan pewarta kabar, bujuk, atau ancaman Tamuku adalah orang-orang berjubah duka bicara dalam bahasa duka — Lagu Penggali Kubur, Dea Anugrah
0 notes
Text
Engkau Hanya Soto, dan Satu-Satunya

Di atas meja di sebuah warung kecil terdapat semangkok soto madura, bukan yang terdiri dari babat, jeroan, ataupun usus, namun dengan daging sapi dan kuah yang cukup bening. Tanpa tambahan santan, namun hanya berupa kuah kaldu dengan campuran bawang putih, daun bawang, ketumbar yang digerus hingga halus, soto daging ini mewakili sebuah pernyataan yang cukup tendensius, bahwa soto mampu berdiri sendiri, tanpa perlu kesegaran dari perasan jeruk nipis, tanpa perlu tambahan rasa gurih dari serbuk koya, juga rasa manis dari kecap yang kadang menyelisih. Dagingnya masih kemerahan, bukan berarti masih mentah, namun ibu penjual paham bagaimana mengolah daging sapi yang begitu prestisius ini menjadi hidangan yang menggugah selera.
Soto, seperti banyak tulisan yang tersebar di berbagai media, awalnya dibawa oleh imigran yang berasal dari China daratan. Mereka tiba di Semarang sekitar abad ke-19, menjajakan makanan yang mereka sebut 'jeroan berempah'. Setelah itu, banyak orang mulai bereksperimen dengan cara mereka sendiri, dan memunculkan banyak varian soto, seperti Soto Betawi dengan campuran santan (terkadang juga dicampur susu), potongan tomat segar, acar, dan yang paling mencolok, penggunaan minyak samin, Soto Padang dengan potongan kecil daging sapi yang digoreng, Soto Mi Bogor, yang, sesuai namanya, menggunakan Bogor (Mi dong, hey!), Soto Kudus yang memakai daging kerbau (yang sejarahnya untuk menghargai umat Hindu), serta dari luar jawa, Coto Makassar, yang berbeda dengan soto lain yang menggunakan daging sapi, Coto Makassar menggunakan daging capi (yeah!). Sementara Soto Lamongan mungkin tidak akan lengkap tanpa bubuk koya, dan tentu saja, Soto Babat Madura, yang terbaik (versi saya, tentu saja) adalah kombinasi kuah kaldu yang di dalamnya ikut direndam daging sapi serta jeroan, potongan lontong (bukan ketupat!), sohun, lalu disiram dengan bumbu kacang kental, tidak halus, namun juga tidak terlalu kasar, ditambah dengan sambal yang hanya terbuat dari cabe dan garam. Silahkan tambahkan perasan jeruk nipis dan kecap manis jika perlu, sebab, seperti sate, bumbu kacang dan kecap manis adalah kisah romantis tentang biji-bijian yang berjodoh dalam seporsi makanan.
Namun, ada satu mangkuk soto yang begitu berkesan bagi saya. Soto yang begitu sederhana namun penuh rasa, penyajian yang mungkin biasa, namun membekas istimewa, yang barangkali, kini hanya menyisakan memori. Semangkuk soto dengan kuah bening, lebih mirip sop, karena telah semalaman dimasak dengan daging, tulang, dan kulit ayam, yang dibalut aroma ketumbar yang masih tercium samar-samar. Kuah ini akan disiram pada potongan-potongan sedang lontong yang berwarna putih pucat agak kehijauan, ditutupi dengan bihun yang sudah direndam dengan air dingin. Setelah itu, daging ayam yang sudah dimasak dengan kuah soto akan diangkat, lalu disuwir menjadi lebih kecil, ditaburkan pada mangkuk dan tenggelam dalam kuah. Selesai? Tentu tidak. Berikutnya, topping berupa tauge goreng ditaburkan pula pada hidangan ini, bukan bawang goreng, bukan koya, tapi tauge goreng! Rasanya yang netral tidak akan merusak cita rasa soto ini, bahkan, sensasi tersendiri akan muncul seiring keberadaan topping ini, percayalah. Di sebelah mangkuk soto, biasanya ada sambal yang terbuat dari cabai rawit yang sebelumnya dimasak sebentar pada air panas lalu diulek dengan garam dan sedikit potongan tomat. Memang, seperti kata Nuran Wibisono, selama ada sambal, hidup akan baik-baik saja.
Memang, tak ada yang akan tinggal selamanya, dan selamanya tak akan selalu ada. Hanya bisa memeluk yang masih tersisa.
Mungkin, pencarian akan terus berjalan, demi soto impian, yang kerap ganggu tidurnya. Sekian.
0 notes
Text
Tentang Siapapun, Kapanpun, dan Apapun
Sudah lama sejak aku terakhir kali duduk di bangku beton itu. Di tepian danau di sebuah taman yang tak banyak orang berlalu lalang, aku selalu menikmati setiap detik yang berlalu. Tak seperti suasana kota yang penuh derau manusia dan mesinnya, tempat ini ramai oleh kesepiannya sendiri. Tak sedingin suasana di selatan kota, tempat ini selalu hangat dengan caranya sendiri, saat pagi ketika cahaya matahari masih begitu santun membelai beberapa helai daun pohon ketapang yang menjulang, saat siang ketika gemercik air danau saling bersaut dengan burung yang hinggap pada dahan, dan ketika saat senja datang, saat-saat di mana selalu kubayangkan dirimu datang dari timur taman, dengan tatapan sendu namun menghangatkan, wajah yang lelah namun senantiasa menyemangatkan. Ah, barangkali yang kukenang bukan tempat ini, tapi dirimu yang selalu hadir saat senja.
Sebenarnya ini yang aku takutkan. Kau yang tak mungkin lagi hadir saat senja di hari-hari kerja, dan taman yang kini mulai tak terawat ini. Eceng gondok di mana-mana, bangku-bangku yang mulai retak di sisi-sisinya, juga burung kecil yang kini enggan bersarang di dahan pohon ketapang. Tak ada tempat senyaman ini, tapi mau tak mau, harus kutinggalkan. Tak ada lagi yang akan datang saat senja, jadi mau tak mau, harus kurelakan. Ah, sialan.
Setelah sekian lama meninggalkan taman itu,
aku ingin sekali berada di mana-mana,
di kaki gunung berapi,
di jalan lingkar yang mengelilingi kota raja,
di teras rumah dengan semilir angin berdebu,
di trotoar jalan utama yang membelah kota,
di stasiun paling rendah,
di bandara paling ramai,
di warung kopi pojokan,
di jeda antara titik dari kalimat terakhir tentangmu dan huruf pertama dari alinea sia-sia perihal melupakanmu.
0 notes
Text
Senandika Terakhir: Ode Mimpi Kecil
Setelah sekian lama, luka di wajah Lupus kini perlahan menghilang, kakinya yang dulu pincang sudah tak tampak lagi, ia bahkan mulai berlarian kesana-kemari. Meskipun matanya masih tampak menyeringai, namun bisa kurasakan bola matanya menunjukkan rasa aman. Sekarang, semuanya tampak normal kembali, meskipun langit masih merah, dan bau busuk dari sisa-sisa mimpi yang mati tersiksa makin merajalela di tanah tak bertuan ini. Akhir-akhir ini, sudah terlalu banyak mimpi yang mati terbunuh, bahkan sekali dalam sepekan, aku juga dipaksa menyiksa satu dua, menggunakan belati yang saban hari kuasah agar mampu membunuh dalam satu sayatan. Mana mungkin aku bisa menolak, ketika para tukang jagal lain bersiap dengan perkakasnya masing-masing apabila aku menolak mengeksekusi mimpi yang kehilangan harapan itu.
Kini, ketika aku mulai terbiasa, ada hal baru yang datang. Kengerian yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kali ini, para tukang jagal mendapat mangsa baru, mimpi masa kecil. Mimpi yang begitu polos, menggebu-gebu, penuh semangat. Mereka digiring oleh Si Jagal Merah, legenda tukang jagal yang konon berasal dari sumber cahaya merah yang tak ada henti-hentinya menyelimuti langit sepanjang waktu. Matanya menyala, di pelipis kiri terdapat goresan bekas luka, mirip sayatan. Ada puluhan mimpi-mimpi kecil yang ia seret menuju tempat pembantaian. Tinggi mereka rata-rata sepinggang Si Jagal Merah. Leher mimpi yang masih kecil itu diikat tali serabut yang begitu kasar, membuat goresan luka di leher dan pundak mereka. Aku tak habis pikir, makhluk-makhluk biadab ini membunuh mimpi masa kecil orang-orang tak bersalah (entah, mungkin memang tak bersalah, atau ketika dewasa mereka adalah perampok, koruptor, penyeleweng uang pajak, aku tak mau tahu-menahu), mimpi yang begitu menawan, penuh cahaya.
Mereka tidak tahu apa-apa. Meski sejak lahir tinggal sendiri, tapi mimpi-mimpi kecil ini punya semangat yang luar biasa, harapan yang begitu membuncah, juga keyakinan yang begitu membara. Lalu, dipaksa mati begitu saja. Dibantai habis-habisan oleh para tukang jagal tak berperasaan. Jeritan dan teriakan memenuhi tanah ini, dengan darah merah yang mulai mengalir deras, dan langit merah pekat seakan menjadi koridor penjara bagi mimpi-mimpi yang kini tak lagi bermakna. Ketika semua telah berakhir, Lupus melolong panjang, menghadap ke selatan, penghormatan terakhir bagi mereka yang mimpi-mimpi masa kecilnya dipaksa mati oleh tukang jagal yang bersenjatakan realita. Besok, aku akan kembali bekerja keras mengubur mimpi-mimpi ini, tanpa nisan, hanya tiga helai bunga kamboja di setiap makamnya.
1 note
·
View note
Text
Raungan Sendu Lupus; Serigala dari Selatan
Sebelumnya aku buta arah mata angin di tempat ini, sebelum si tukang jagal memberi tahuku untuk mengubur salah satu mimpi di ujung timur, dengan menunjukkan parang yang masih meneteskan darah ke suatu arah. Maka dengan ingatan seadanya, kutandai arah mata angin di tempat pembantaian ini. Di timur, seperti yang sudah ditunjuk oleh tukang jagal, ada sebuah pohon kamboja bercabang dua, yang mulai mengering dan akar-akarnya mulai menyembul ke permukaan. Di barat, adalah tempat matahari selalu hampir terbenam tapi tidak pernah hilang seutuhnya, tempat darah yang mengalir dari mimpi menjauh bermuara. Utara, adalah tempat cahaya merah yang sampai sekarang aku tak tahu dari mana asalnya. Dan selatan, adalah arah di mana aku pertama kali melihatnya, seekor serigala abu-abu dengan goresan luka di mata sebelah kirinya. Ia berjalan pincang seakan telah selesai berkelahi dengan hewan buas lainnya.
Aku memberinya nama Lupus. Bukan dari nama penyakit, bukan dari judul novel karya Hilman Hariwijaya. Namanya hanya dari nama latinnya saja. Awalnya, aku tidak terlalu acuh dengan kedatangannya, selain karena aku sedang sibuk mengubur mimpi yang waktu itu sedang banyak yang mati mengenaskan, aku juga bergidik melihat bentukannya yang amat menyeramkan. Penuh luka di badan, kaki yang pincang, mata bercucuran darah namun tetap menyeringai. Maka, orang pertama yang sadar dan berteriak akan kedatangannya adalah tukang jagal yang sedang memegang tongkat bat besi. Di saat ia hendak mengayunkan tongkat besi itu ke kepala salah satu mimpi, saat hampir di ujung pelipis kanan, ia berhenti tiba-tiba, lalu berteriak,
"lihat, ada serigala!"
Lalu, lima orang tukang jagal yang berjaga hari itu berbondong-bondong meninggalkan semua mimpi yang tinggal sehelai rambut untuk menuju kematian mereka. Mimpi-mimpi itu ditinggalkan begitu saja, mereka yang sudah tak memiliki harapan tak mungkin lari menyelematkan diri, satu-satunya harapan mereka adalah aku. Namun aku sudah terlalu nyaman mengubur mimpi sembari mencium satu-persatu bunga kamboja yang gugur dari setiap pohon yang mengering.
Setelah mereka mengerubungi serigala malang itu, salah satu dari tukang jagal berpendapat untuk menjadikan dia alat pembunuh mimpi yang baru. Menurut dia, dengan taringnya, serigala itu bisa mengoyak-ngoyak seluruh tubuh mimpi bercerai-berai, hingga merusak menjadi potongan daging yang tak beraturan, organ dalam, otak, dan hanya tersisa tulang-belulang. Aku, yang mendengar hal itu, melemparkan cangkul ke sembarang tempat. Aku menolak dengan tegas! Aku tidak mau hanya menguburkan tulang-belulang saja, aku ingin menguburkan mimpi yang utuh, sebusuk apapun mimpi itu. Untuk itu, aku mengajukan diri untuk merawat Lupus. Mereka awalnya ragu-ragu, namun, tanpa banyak perdebatan, mereka akhirnya setuju. Lagi pula, memakai Lupus sebagai alat pembunuh akan mengurangi beban (?) mereka dalam membunuh mimpi, apalagi akhir-akhir ini dengan sering datangnya mimpi yang terlampau tinggi, yang mana adalah santapan nikmat tukang jagal.
Pada akhirnya, satu-satunya temanku kini adalah serigala dengan luka sayatan di mata, yang bernama Lupus. Dia selalu menolak ketika aku hendak membersihkan luka-lukanya, dia lebih memilih membiarkannya mengering sendiri, dan kadang menjilatinya. Entah, mungkin itu adalah cara mengobatinya. Aku hanya bisa mengelus pelan kepalanya dengan tangan bergetar, tapi pada akhirnya aku terbiasa. Di hari-hari yang awal, dia selalu mendesir ketika aku menyapanya, namun, dia selalu berada di dekatku. Dia mulai bersahabat ketika aku selalu memaksanya memanggilnya Lupus.
Dan ya, hari-hariku kini selain sibuk mengubur mimpi yang tiada habisnya, di sela-sela waktu aku akan duduk bersandar pada salah satu nisan tua yang lumayan tinggi seperti rumah orang-orang kerdil (ketika aku datang, aku memutuskan untuk tidak memakai nisan yang tinggi, seringnya kupakai batu sungai sebagai penanda) ditemani Lupus yang bermalas-malasan. Kalau kutatap matanya dalam-dalam, aku bisa seperti berhadapan dengan cermin perasaan. Aku merasakan kerinduan yang begitu dalam pada ingatannya, rasa ingin bertemu pada dunia yang lama ditinggalkan, namun ketakutan untuk melangkah kembali, bercampur dengan rasa penyesalan yang menyelimuti segala perasaan. Matanya sendu, namun masih ada sedikit seringai yang mencekam. Suatu hari, ia melolong secara tiba-tiba, sebuah lolongan panjang, mirip sebuah rekuiem, atau ode, entah aku sulit untuk membedakannya. Raungan yang sendu, sesendu matanya. Lolongan yang cukup panjang untuk membuat para tukang jagal berhenti sejenak dan membuka mulut mereka lebar-lebar, lolongan yang cukup sendu untuk membuat semua mimpi seperti hidup kembali dengan harapan-harapan mereka. Lolongan yang begitu indah, yang membuatku segera berlari dan memeluknya. Ekornya yang tidak begitu panjang berkibas pelan ke bawah, kepala mendongak memberiku celah untuk memeluknya. Sejak saat itu, aku berjanji, aku akan tetap menemani Lupus, bersama mimpi yang mati terbunuh.
0 notes
Text
Manifesto dalam Ingatan; Sebuah Surat Terbuka

Aku memang orang biasa Wujudku memang tak sempurna Tapi aku punya niat Aku punya seribu usaha
Ari Lesmana / Asep Nurohman / Roby Satria
Belum genap satu bulan ketika aku masih menjadi pendengar setia cerita-ceritamu. Narasi tentang masa depanmu, harapanmu, cita-cita, tempat ke mana kau akan singgahi, dan semua kisah di mana kau menjadi tokoh utama.
Segala kisah kamu ungkapkan, segala masa kau uraikan, bercengkrama, sembari mengingat-ingat hal apa yang terjadi, di mana dan kapan kisah itu terjadi. Emosi yang naik turun, kadang kau terlalu bersemangat bercerita hingga lupa untuk bernafas, sembari mengemudi tak jarang pula kau sedikit berteriak saat mengingat momen menjengkelkan. Seandainya aku pandai menggambar, ceritamu ini pasti menjadi karikatur yang amat panjang memenuhi dinding kamarku. Pasti.
Kubayangkan kita duduk berhadapan pada satu bangku beton di suatu taman yang hingga kini belum bisa kuajak dirimu mengunjunginya. Mengagumi setiap gerak bibir mungilmu yang tiada henti mencecar setiap lini masa yang kau ingat, lengkungan mata yang begitu ekspresif namun tetap meneduhkan barangkali hanya bisa dikalahkan oleh semburat rona senja kala sore waktu itu.
Demi mendengar suaramu saja aku sudah cukup bahagia waktu itu, apalagi kau yang betah untuk berlama-lama bercerita. Ada tawa, malu, kesal, jengkel, hingga umpatan bisa kudengar dari saluran ini. Kau bercerita seakan tak akan ada lagi waktu untuk mengeluarkan segala kisah.
Namun kini, ada satu hal besar yang selalu luput dari pandanganku. Untuk segala ceritamu, mau bagaimanapun alurnya, mau dimanapun lokasinya, mau kapanpun kejadiannya, aku hanyalah orang ketiga, pengamat, tidak memiliki kemampuan sekecil apapun untuk menjadi nyala dalam kisahmu, tidak ada andil untuk ikut berperan dalam kisah senangmu, bukan pahlawan yang datang ketika kau sedang kesusahan, bukan pula pendengar yang baik di kala dirimu sedang bersusah hati.
Aku bukan siapa-siapa di kisahmu yang bagiku berarti segalanya.
1 note
·
View note
Text
Sudut Pandang dari Seseorang yang Sedang Rindu
Kepada perempuan yang kini tinggal dalam ingatan...
Akhir-akhir ini, ketika masing-masing dari kita sedang sibuk dengan pekerjaan harian masing-masing, dan begitu sibuk menggapai mimpi-mimpi kita, aku sesekali menyempatkan mengunjungi taman yang sempat kuceritakan kapan hari. Taman yang indah, kursi dan mejanya masih berdiri kokoh. Daun pohon ketapang mulai menghijau dan masih sedikit basah, karena tadi siang hujan sempat turun. Namun sayangnya, permukaan danau mulai dipenuhi eceng gondok, dan tempat duduk yang dulu ingin kusiapkan untukmu, penuh dengan tumpukan daun yang mengering kekuningan.
Waktu itu, setelah tempat duduk itu sudah kubersihkan dari daun, dan beberapa eceng gondok di tepian danau kuangkat dari permukaannya, aku duduk sendiri. Di sore yang teduh, dan cahaya matahari memantul malu-malu dari permukaan danau yang beriak pelan, kubayangkan dirimu dengan senyum manis dan lengkungan mata yang begitu indah mulai bercerita. Kubayangkan dirimu dengan setelan warna pastel, yang begitu kontras dengan pakaianku yang serba gelap, bersandar pada kursi, menghela nafas, dan memulai dengan omelan tentang apapun itu. Aku suka memperhatikan bola matamu berlarian dalam kelopak matamu yang mampu mengalihkanku dari suasana sekitar, yang kemudian membuatmu meracau karena kamu kira aku tak mendengarkanmu.
Kamu tahu, tak ada barang sedetik aku tidak memperhatikanmu. Gerak bibir yang bergumam seakan tak ada rem (maaf...), lalu tangan yang bersedekap, kaki yang menghentak dan saling bersinggungan dengan ujung sepatuku, dan lagi-lagi, matamu yang sering terpejam kala ocehan tak menunjukkan tanda akan selesai. Aku selalu memperhatikanmu, kok. Aku suka caramu memperhatikanku, ketika mulutku berbicara tentang apapun untuk menjawab pertanyaanmu, mataku seringkali memperhatikan tangan yang kamu tempatkan di atas meja di depanku, dan mata yang fokus namun masih teduh untuk kupandang, membuat mulutku meracau sendiri dan hatiku berdegup lebih kencang, karenamu. Dan untuk semua hal itu, segala tentangmu, semua karenamu, izinkan aku untuk tetap merindu.
Kalau boleh, aku ingin selalu kembali untukmu, bersama rindu, untuk menemuimu, ketika kamu dekat, ketika kamu jauh, ketika pagi begitu dingin menusuk, ketika malam begitu pekat menggelapkan, ketika suntuk membelenggu, ketika bahagia menemani. Aku ingin merindukanmu berulang kali, berkali-kali.
Selamat pagi, perempuan yang kini dalam ingatan. Semoga segala hal baik senantiasa mengiringimu di hari penuh berkah ini.
Aku rindu.
0 notes
Text
Solilokui Rekuiem
Ketika orang-orang bertanya pekerjaan utamaku apa, aku seringkali enggan menjawabnya. Bukan karena aku tidak percaya diri dengan pekerjaan ini, bukan karena baik atau tidaknya, lokasi yang jauh, nominalnya, halal atau haram, atau apapun bentuk dan predikat yang menempel pada setiap pertanyaan-pertanyaan tentang pekerjaan. Pekerjaanku, adalah pekerjaan yang terpaksa karena keberuntunganku lolos dari kesialan.
Tempat bekerjaku bukanlah sebuah kantor megah, namun berupa tanah lapang yang sunyi. Tanah ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama, memakan seperempat luas seluruh area kerjaku, dengan bentuk hampir mirip persegi namun dengan pembatas pohon bambu kuning. Pohon bambu ini ditanam dan dibiarkan tumbuh tanpa terawat, untuk memisahkan bagian yang satunya, area pekuburan. Area pekuburan hanyalah tanah kosong dengan gundukan yang terletak tak beraturan, dan di tengah-tengahnya ada beberapa pohon kamboja yang tidak pernah berdaun, namun berbunga, dengan bau yang menusuk hidung. Bagian pertama tadi, yang dikelilingi oleh bambu kuning, adalah area pembantaian. Di sini para tukang jagal mimpi menyiksa mimpi-mimpi yang sudah mulai tumbuh dewasa. Mereka, para mimpi, adalah makhluk yang begitu bercahaya, dengan mata yang berbinar dan tubuh yang rupawan. Sementara para tukang jagal memiliki mata merah menyala dengan tubuh tegap legam. Di area jagal, hanya terdapat bilah sebilah pedang yang amat tajam, batu sungai yang cukup besar dan memiliki permukaan datar untuk mengasah pedang agar tetap tajam, sebuah kursi kayu yang sudah lapuk, dan ruang berukuran 1x2 meter, tanpa sekat, hanya dibatasi oleh garis yang dibuat oleh tukang jagal, dari tetesan darah mimpi yang telah mati.
Lantas, kenapa aku bisa berada di tempat seperti ini? Itu karena aku berhasil menolong salah satu mimpi. Aku tidak tahu siapa namanya, dari mana ia berasal, aku siapa tuannya, yang kutahu saat itu, dia mirip sekali dengan mimpi terakhir yang pernah kumiliki. Mimpi terakhir yang berusaha kuselamatkan. Mimpi terakhir yang kuyakini akan tumbuh dewasa dan hidup bahagia. Namun ternyata aku salah. Tepat ketika ujung pedang hampir menggorok dadanya, aku menghentikan si tukang jagal. Lengan kiriku memang terkena sabetan pedang, darah bercucuran, namun tidak begitu dalam. Dalam beberapa jam ke depan aku mendapatkan pukulan yang begitu tumpul di bagian perut, pelipis kanan dan kiri, paha, dan tengkuk kepalaku. Mulut disumpal dengan kain, dan punggungku dipecut menggunakan sebilah bambu yang ternyata diambil dari pembatas bagian di tempat ini. Lantas, bagaimana dengan mimpi yang berusaha kuselamatkan? Ia telah mati, tubuhnya terhempas ke tanah, dadanya terkoyak, dengan mata yang lebam, aku sempat menyaksikan jantungnya masih berdetak pelan, sebelum pompaan darah terakhir melewati aorta yang kini tak berarti apa-apa.
Karena keberanian bodohku, aku dibiarkan hidup. Setelah siksaan berjam-jam, si tukang jagal akhirnya memutuskan bahwa aku harus tinggal di sini. Menyaksikan mimpi-mimpi yang terbunuh, mengasah pedang dan beberapa belati yang baru saja datang diperoleh oleh tukang jagal yang lain. Selain itu, aku mendapat tugas untuk mengubur mimpi yang sudah menjadi mayat, tanpa menyisakan gundukan yang menandakan sepetak liang lahat. Kontrakku? Selamanya. Pendapatanku? Menyaksikan mimpi terbunuh. Kata mereka, itu sepadan dengan ribuan keping emas. Kalau aku menolak? Aku akan bermimpi tanpa pernah bisa kembali. Lantas, kapan aku kembali? Entahlah, aku hanya bisa menunggu seseorang yang begitu baik hatinya, rela berkorban menyelamatkanku.
Di tanah ini, sepanjang hari akan gelap. Dari utara ada seberkas cahaya, bukan matahari, namun cahaya berwarna merah darah, pekat, untuk berpadu dengan kegelapan. Di awal-awal aku terjebak di sini, aku hampir tidak bisa membedakan mana darah yang mengucur dari leher si mimpi, dan pantulan cahaya dari utara itu. Dan bambu kuning yang sempat kuceritakan, sebenarnya tidaklah murni kuning. Pohon yang sudah tua warnanya juga bercampur dengan darah, hanya beberapa bambu muda yang berwarna kuning kehijauan, namun tampak gelap karena tidak ada cahaya matahari. Bunga kamboja yang mekar sepanjang waktu sepertinya beradaptasi dengan ketiadaan cahaya matahari, satu-satunya sumber nutrisi bagi mereka adalah darah pekat, potongan-potongan organ dalam, atau tulang-belulang yang mulai lapuk dihabisi oleh penghuni dalam tanah.
1 note
·
View note
Text
Pamekasan: Persahabatan yang Kekal

Bagian keempat dari Kumpulan Cerita Kota, cerita tentang kenangan, harapan, dan apa saja yang bisa diceritakan dari setiap perjalanan. Kali ini tentang Pamekasan. Pamekasan adalah tentang mengenal dan mengenang, seorang sahabat yang kini hilang dan tak bisa lagi datang.
Di muka pintu masih bergantung tanda kabung Seakan ia tak akan kembali Memang ia tak kembali tapi ada yang mereka tak mengerti - mengapa ia tinggal diam waktu berpisah. Bahkan tak ada kesan kesedihan pada muka dan mata itu, yang terus memandang, seakan mau bilang dengan bangga: - Matiku muda -
Dan Kematian Makin Akrab, Subagio Sastrowardoyo
Aku sebenarnya enggan untuk kembali pada memori yang begitu memilukan ini. Kota yang pasti kulewati ketika pulang, kota yang sempat kutinggali selama tiga tahun dan sempat kukunjungi dalam beberapa kesempatan di tahun berikutnya, Pamekasan. Sebuah arti persahabatan yang kini hanya menyisakan bayangan.
Tinggal dan bersekolah bertahun-tahun di Sumenep membuatku sebenarnya enggan meninggalkan kota ini. Dengan segala keheningan, kenangan dan orang-orang di dalamnya, kota ini telah membuatku nyaman. Namun, sebuah rasa penasaran dan tekad yang bulat untuk masa depan cerah (alasan klise), aku memutuskan untuk melanjutkan SMA di kota sebelah, Pamekasan. Di awal aku memutuskan untuk melanjutkan di 3, karena ada beberapa temanku yang juga melanjutkan sekolahnya di sana. Namun, karena orang tua tidak setuju, dan hanya memberikan satu pilihan, akhirnya kuputuskan mendaftar di 1.
Aku memang bertemu dengan 'dia' pertama kali di kota ini, di sekolah ini, tapi kali ini aku tidak akan menceritakan tentang dia, aku akan menceritakan orang lain, seseorang yang mengajariku banyak hal, yang menemaniku dalam segala suasana, seorang sahabat, seorang panutan, seorang ketua, seseorang yang kini hanya bisa kudoakan tanpa bisa kutemui lagi, tanpa bisa kucari lagi.
Sebagai seorang anak ingusan baru, tidak mengenal siapa-siapa, dan tinggal sendiri. Keseharianku sejak tinggal di kota ini begitu membosankan. Bangun pagi, mandi, sarapan dengan apapun yang disediakan ibu kos di meja makan, lalu berangkat ke sekolah yang jaraknya begitu dekat, bahkan suara bel bisa kudengar jelas dari sudut kamar kecilku. Di sekolah, kegiatan membosankan kembali kuhadapi. Bergaul dengan teman sekelas, tidak pernah tahu siapa mereka di kelas lain, atau siapa kakak kelas yang seringkali kulihat mendapat banyak piala dan penghargaan yang diumumkan setiap kali upacara hari Senin. Di Jum’at selepas siang, aku lebih memilih mengasingkan diri pada warnet hingga maghrib menjelang. Di Sabtu siang, pergi untuk pulang ke rumah dan menghabiskan akhir pekan yang begitu singkat di rumah. Sebuah siklus yang memang tidak patut untuk diceritakan kembali.
Aku hampir sangat menikmati kesendirian ini ketika suatu hari di penghujung semester kedua, ibu kos memberiku kabar bahwa akan ada penghuni baru yang akan menempati kamarku. Untuk kau tahu, di tahun kedua aku memilih untuk pindah ke kamar yang lebih luas, selain untuk melampiaskan kesendirianku, kamar yang luas ini terdiri dari dua ruangan yang disekat tembok, jadi aku seperti tinggal di dua kamar sekaligus, satu ruangan untuk tidur, dan ruangan yang lain untuk berleha-leha. Namun, bayangan kenikmatan itu sirna ketika kabar itu datang, yang entah bagiku kabar baik atau buruk. Kata ibu kos, aku akan tinggal sekamar dengan teman SMPku dulu, dari Sumenep juga, kata beliau. Aku tahu namamu, namun kita tidak terlalu akrab meskipun di akhir waktu aku baru mengetahui kalau kita satu TK. Ya, pada akhirnya, untuk dua tahun ke depan, aku akan sering bersama seseorang yang bisa kuanggap sebagai sahabat, nantinya.
Aku tidak tahu apakah ini sebuah kombinasi yang tepat, aku yang pendiam dan senang mendiami kamar, atau warnet, satu kamar denganmu yang begitu aktif bersosialisasi, memiliki banyak teman tanpa memandang siapa mereka, dari mana mereka berasal, atau bagaimanapun masa lalu mereka. Kau yang begitu aktif menggeluti organisasi hingga larut malam, sementara aku yang sudah tertidur pulas meskipun kumandang adzan Isya’ baru berakhir satu jam yang lalu. Kau yang begitu supel menyapa semua orang, meskipun baru kau kenal kemarin sore, sementara aku yang memilih berjalan dengan menunduk dan tangan di dalam saku celana, sedikit mengutuk segala keramaian ini. Kau tahu, aku harus banyak berterima kasih kepadamu, dan rasa terima kasih ini tak akan pernah habis dan selesai, ketika sering kau paksa bepergian kemanapun. Aku menjadi lebih terbuka dengan orang lain, karena paksaan darimu yang seringkali memaksaku berkenalan dengan semua temanmu (meskipun mereka juga teman SMAku). Aku yang saat ini pasti akan penuh penyesalan, jika tidak disadarkan olehmu tentang pentingnya memiliki banyak teman, padahal ketika itu menurutku aku bisa melakukan apapun sendirian. Kau yang membantuku memiliki keberanian untuk menghadapi seseorang, karena kau tahu aku benar namun penuh dengan rasa takut. Atas semua yang kau lakukan, mungkin rasa terima kasihku yang tak pernah selesai ini, tak akan cukup untuk membalas segala kebaikanmu.
Ada banyak hal yang ingin kuceritakan denganmu sejak kau pergi dan tak pernah akan kembali. Aku ingin kau tahu bagaimana aku berhasil hingga saat ini, aku ingin kau tahu bahwa aku pernah patah hati begitu menyakitkan karena orang yang juga kau kenal. Ingin kuceritakan padamu kalau aku pernah pergi ke Jogja dan tidak bosan untuk pergi ke sana berulang kali, seperti janji yang dulu pernah kita sepakati. Aku ingin kau tahu bahwa akhirnya aku bisa menghadapi banyak hal, membantu banyak orang, tidak pernah memilih dengan siapapun aku akan berkenalan dan berteman, dan cerita-cerita yang mengiringi setiap hal yang terjadi waktu itu. Aku ingin berkeluh kesah denganmu, tentang hidup yang masalah tidak pernah berhenti bermunculan, tentang hati yang seringkali salah memilih, atau hal remeh seperti macetnya ahmad yani, Unair yang kini penuh padat kendaraan, atau macetnya pasar Tanah Merah yang membikin kepala ingin pecah saja.
Aku ingin kau kembali, dengan sepeda gunungmu itu, mengunjungi rumahku dengan senyum mengembang, membanggakan SIM A yang baru saja kau dapat tanpa curang. Tapi itu mustahil. Kau tidak akan pernah kembali, dan segala cerita ini, ingin kusimpan dalam memori yang begitu kelam. Aku tidak bisa terus-menerus berdiri mematung hingga air mata ini habis, melihat jasadmu yang terbujur kaku. Aku harus merelakanmu, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada orang yang begitu hangat menyambut seorang anak ingusan yang sinis dengan semua hal. Selamat jalan, sahabat. Kau akan selalu kukenang.
يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Senang bisa mengenalmu. Berbahagialah, tersenyumlah di alam sana, YKP.
0 notes
Text
Diorama Penuh Irama
Jika aku telaga, penghapus murka dahaga maka teguklah dan hiduplah. Jika aku perahu sampan, setia menyibak riak kan mengantarmu berlayar, berlabuh di pulau harapan.
Manuskrip Telaga, Dialog Dini Hari
Selamat malam, perempuan yang kini tinggal dalam ingatan. Kau tahu, sejak aku bisa menghafal namamu dan merapalnya tiap kali mengingatmu, suara-suara tentangmu senantiasa ramai dalam waktu malam tersepiku. Bukan ramai yang berisik mengganggu, tapi riuh penyemangat untuk senantiasa ada untukmu. Kali ini, izinkan aku memutar ulang potongan waktu yang begitu membekas dalam ingatanku. Waktu di mana, aku pertama kali bertemu denganmu. ***
18:57 WIB Seorang perempuan dengan baju biru, celana gelap motif garis kotak-kotak, sepatu putih, dengan kerudung krem sedang duduk di sebuah kursi kayu di dekat pintu. Tepat ketika kau mengatakan kalau kau mengenakan baju biru, setelah itu pula semua yang mengganggu di kepalaku sirna, aku ingin segera bertemu denganmu, namun tubuhku kaku, mulutku membisu ketika berhadapan denganmu.
19:43 WIB Kita berdua saja duduk. Dua buah kursi tinggi dengan meja yang cukup untuk menyangga kedua tangan, menghadap jalanan satu arah yang sempit berisi kendaraan. Kursi yang berdampingan, setidaknya mampu membuatku tidak selalu terpana dengan keberadaanmu. Aku suka mendengar ceritamu yang begitu hidup. Kau selalu mampu membuat suasana malam yang tidak dingin kala itu menjadi panggung diorama yang begitu hidup. Aku suka melihat matamu yang menatap tajam namun meneduhkan, mengikuti alur ceritamu yang penuh konflik. Aku suka untuk fokus mendengarkan dan melihat wajahmu yang begitu ekspresif hingga aku tidak sadar ketika sepasang muda-mudi di samping kita berganti dua orang laki-laki, entah kapan mereka pergi. Suasana malam saat itu yang begitu tenang, dihiasi senyum dan tawa yang tak pernah lekang, adalah memori yang ingin aku simpan dalam-dalam agar tak pernah hilang.
18:21 WIB Sebelum itu, aku begitu gugup untuk bertemu denganmu. Ada banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku ketika aku mulai melangkah menaiki bus trans berwarna merah dengan corak semanggi ini. Apakah aku terlihat tidak seperti yang kau harapkan? Apakah perjalanan dengan bau angkutan umum ini akan mengganggumu? Bagaimana kalau ternyata aku datang terlambat dan membuatmu jengkel karena menunggu lama? Atau mungkin, bagaimana jika ternyata aku tidak seperti yang dibayangkan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akhirnya membuat otakku berhenti bekerja sejenak. Pertanyaan-pertanyaan ini yang akhirnya membuatku tetap berdiri mematung sepanjang perjalanan meskipun sedari tadi banyak penumpang turun dan menyisakan kursi-kursi kosong tak bertuan. Pertanyaan-pertanyaan ini yang akhirnya membuatku berjalan begitu pelan, melewati trotoar di depan pusat perbelanjaan, menutup jalur seorang pengemudi motor yang hendak berhenti di pinggir jalan, dan menghalangi sebuah mobil yang hendak parkir di depan sebuah tempat makan. Semua pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya sirna, ketika aku melihatmu.
19:12 WIB Semangkuk bubur dan sebuah piring kecil yang dipenuhi kerupuk, menjadi saksi bisu di mana aku menjadi pendengar yang begitu cemburu mendengar cerita tentang seseorang yang masih enggan kau lupakan. Aku duduk begitu beku ketika di dalam hatiku terjadi berbagai pertempuran sengit membara lengkap dengan persenjataan api cemburu. Barangkali waktu itu, bahkan seorang diplomat terbaik tidak akan bisa mendamaikan pertempuran di dalam hatiku. Aku amat yakin pertempuran ini akan menjadi lebih besar, dengan persenjataan yang begitu mematikan, darah yang mengucur deras dimana-mana, hingga pada satu titik, kau menjabat tanganku. Kau tersenyum manis, aku menghela napas menyembunyikan hati yang meringis.
21:04 WIB Aku membayangkan panggung diorama yang penuh irama. Ketika kau menceritakan tentangnya, aku adalah sosok antagonis urutan terakhir yang rela menonton kisah penuh romansa. Hatiku seperti dipenuhi ribuan jarum kecil yang ditusuk begitu pelan, satu-persatu hingga aku bisa merasakan perih yang diiringi lengkingan biola yang menyayat kalbu. Lalu kau menoleh ke arahku, dan tatapan matamu, menyembuhkan perih pada hati, mengalihkan lakon yang akan menampilkan babak baru. Irama berubah, sunyi sejenak lalu iringan piano yang begitu ceria pelan-pelan mulai terdengar. Sayup-sayup terdengar suaramu. Lukaku sembuh, hatiku kembali seperti semula tak lagi pucat dan layu. Kali ini panggung menampilkan canda tawa antara kita berdua. Sahutan yang kau anggap candaan terlalu sering kusimpan dalam perasaan. Tapi tak mengapa, aku lebih memilih menjadikan dirimu sebagai pemeran utama, dalam panggung hatiku, dalam lakon otakku. Hatiku adalah muara dari segala suara merdumu, tangan mungilmu yang senang bergerak ke sana kemari, dan bola matamu yang tak pernah pergi mengamati setiap gerakan di sekitarmu. Dan malam itu, aku begitu enggan menjauh darimu.
Aku ingin sekali mengulang waktu itu, dan kalau bisa, waktu berhenti sejenak, untuk mengambil sebuah momen yang menggambarkan kedua punggung kita yang tidak terlalu dekat, dengan dirimu menoleh ke arahku sambil tersenyum mungil, sembari memainkan ujung lengan kemejaku, dan diriku berpangku dagu berusaha mencuri pandang pada wajahmu yang membuatku enggan berpaling.
1 note
·
View note
Text
Untukmu yang Kini Tinggal dalam Ingatan
I know that you're not ready to see it goes down But don't worry 'cause it won't forever go I know that you still want to see Then tomorrow, I'll bring you here with me.
Sunshine, The Panturas ***
Kepada perempuan yang kini tinggal dalam ingatan, izinkan aku untuk menceritakan kepadamu sebuah tempat yang, terima kasih karena kehadiranmu, aku memiliki keberanian untuk mengunjunginya lagi. Sebuah taman yang dulu sempat kurawat dengan sepenuh hati, kini tampak tak terawat karena sudah lama tidak ada yang tertarik mengunjunginya.
Taman ini bukanlah taman yang begitu luas dengan banyak pohon besar mengisi sekelilingnya. Kau tahu, taman ini hanyalah taman kecil namun begitu rindang karena beberapa pohon ketapang yang tumbuh tidak begitu tinggi, dengan daun yang lebat, bertebaran di taman ini. Sedikit ke tengah, ada danau yang tidak begitu besar, namun cukup indah untuk menambah suasana tenteram taman dan sekitarnya. Lalu, di sekeliling danau, ada kursi dan meja yang disusun sedemikian rupa agar orang-orang yang duduk di sana dapat berbincang dengan santai.
Kalau kau luang, suatu saat aku ingin mengajakmu mengunjungi taman kecil ini. Di suatu sore ketika matahari sudah hampir tenggelam namun masih enggan tenggelam menyambut malam, dan sinarnya masih cukup terang untuk menerpa wajahmu yang begitu meneduhkan. Aku ingin sekali berlama-lama di taman ini bersamamu, duduk di salah satu kursi dan meja di pinggir danau, yang sesekali bayanganmu yang jatuh di permukaan membuat kabur ikan mungil di dalamnya.
Aku ingin sekali bercengkrama denganmu, di salah satu kursi di bawah pohon ketapang rindang yang beberapa daunnya mulai memerah ketika musim gugur tiba. Aku ingin mendengar segala hal yang keluar dari mulut kecilmu, duduk bersama, membicarakan perihal apapun yang semoga tak membuatmu bosan. Membicarakan apapun, menertawakan sekitar, atau mungkin berbincang mengenai harimu yang melelahkan, keberangkatan dan kepulanganmu yang menempuh puluhan kilometer aspal hampir tak berujung, teman kerjamu yang begitu menyusahkan, atau barangkali diagram-diagram yang bisa saja memenuhi isi kepalamu. Juga barangkali, membicarakan rasa yang selalu gagal kuutarakan hanya karena aku yang tidak memiliki keberanian ketika menatap matamu yang begitu teduh menenangkan.
Tapi aku terlalu pesimis mengajakmu jika kondisi taman ini masih tidak karuan. Sore nanti, aku akan mengunjungi taman ini, memastikan apakah suasana sore di sana akan sehangat senyumanmu, dan bakal kupastikan juga tempat duduk yang aku tuju dalam kondisi yang masih rindang seperti tatapanmu. Kalaupun kau masih enggan, tak apa. Aku sudah mengingat, meskipun tak semua, bagaimana taman ini terlihat, sudah kugambarkan taman ini ketika kamu berada di sana, agar kelak kamu mau berbicara denganku, bisa kupastikan aku berbicara dalam suasana teduh dan rindang. Namun jika kau bersedia, aku akan memastikan bahwa taman ini adalah taman terindah yang pernah kamu kunjungi. Akan kupastikan bahwa aku akan menjadi pendengar setia dari segala ceritamu, akan kupastikan bahwa senyumanmu akan sehangat sinar mentari ketika sore hari, dan biar kupastikan bahwa bersamamu akan menjadikan setiap waktu memiliki kisah yang patut kuamini dalam sepi.
0 notes
Text
Surabaya: Tentang Permintaan Maaf
Bagian ketiga dari Kumpulan Cerita Kota, cerita tentang kenangan, harapan, dan apa saja yang bisa diceritakan dari setiap perjalanan. Kali ini tentang Surabaya. Surabaya adalah tentang kenangan dan perjuangan, terkadang aku ingin selamanya tinggal, namun tak jarang aku ingin sesegera mungkin pergi menghilang.
Mari kita mulai dengan sebuah slogan yang menghentak, " KAMI BISA KARENA KAMI BIASA! TAK KENAL KATA LELAH TEGAR HADAPI SEMUA DISINI BERSAMA MENGGAPAI CITA-CITA KOBARKAN SEMANGATMU!! DERAP LANGKAH MENUJU SATU ARAH LUAPKAN RASA BANGGA! JUNJUNG TINGGI ETIKA! KARENA KAMI MEMBAWA SATU NAMA ELEKTRO JURUSANKU! ELEKTRO ELEKTRO BERJUANG DEMI NEGERI MENGHADAPI TANTANGAN WUJUDKAN KEMENANGAN MAINKAN DAN HABISI!!!! "
Seperti sehelai daun yang ikhlas menahan rembesan tempias hujan
mudah melengkung melawan gaya tekan
ada kalanya sebuah maaf
hanya bisa sampai di ujung telingamu
Mari kita bernostalgia.
"WOYY!! MABA JANCOOOKK!!!"
Teriakan ini sebenarnya amat menakutkan ketika telinga ini mendengarnya. Suaranya bisa bersaing dengan suara petir ketika hujan badai. Kita tahu akan ada gemuruh yang akan menyambar, tapi tetap saja dibuat kaget dan bergidik ketika suara itu datang. Tapi, semenakutkan apapun suara itu, setidaknya jika didengar oleh seratusan pasang telinga, ada rasa aman yang menjadi cerah ketika suasana begitu mencekam. Begitu pikirku.
Teriakan itu adalah badai dari sekian banyak badai besar yang akan datang bertubi-tubi. Ada badai kecil yang mudah dilalui. Sedikit menimbulkan riak-riak ricuh yang mudah diredam. Ada pula badai-badai kericuhan dengan friksi memancing bara api. Yang pada akhirnya, bersama kalian, semua bisa terselesaikan. Badai yang tidak mungkin bisa dihadapi ketika kita tak saling mengenal.
***
KAMI BISA KARENA KAMI BIASA. Seandainya tak mengenal kalian, entah akan jadi apa aku ini. Meskipun di awal aku cenderung menghindar, sebuah paksaan untuk saling mengenal lama-kelamaan menjadi kebiasaan. Mana mungkin meminta pertolongan kepada orang yang tak kita kenal, 'kan? Dengan saling mengenal, kita bisa saling menguatkan dalam setiap rintangan. Dalam keterpaksaan yang terus-menerus diulang, kita menjadi lebih dari sekadar mengenal, waktu itu, kita lebih akrab dengan nama "KELUARGA".
TAK KENAL KATA LELAH TEGAR HADAPI SEMUA! DI SINI BERSAMA MENGGAPAI CITA-CITA. Waktu berlalu. Waktu tetap menemani. Mendung masih menaungi. Kebiasaan-kebiasaan masih terus dipaksakan setiap hari. Kembali mengingat nama, asal, dan wajah yang hampir sama ketika rambut tumbuh tipis sedikit menyisa. Kembali dengan makian, obrolan dengan warga (gathel), penugasan yang kita diminta cari tahu sendiri esensinya. Harapan hampir sirna, asa semakin mendekati ketiadaan. Lelah, bosan, kesal, marah, segala murka ingin dilampiaskan, namun hanya berakhir hangus dalam dongkolan.
KOBARKAN SEMANGATMU. Ketika harapan tampak sekarat ditikam belati panas. Kita memilih untuk bangkit berdiri. Menjauh dari hiruk-pikuk. Kembali dalam rangkulan. Kembali bercengkerama merencanakan masa depan. Menyusun langkah-langkah ke depan sembari bersenang-senang. HIngga tiba pada akhir yang menjadi awal baru. Yang ditugasi kini menugasi. Yang dimaki kini bebas memaki. Yang mencari panutan, kini mulai menyebar kebermanfaatan. Yang dulu pernah saling bersama, kini mulai melangkahkan sepasang kakinya masing-masing ke segala penjuru mata angin, menggapai cita-cita yang dulu hanya sebatas ingin. DERAP LANGKAH MENUJU SATU ARAH! LUAPKAN RASA BANGGA! JUNJUNG TINGGI ETIKA!
KARENA KAMI MEMBAWA SATU NAMA! ELEKTRO JURUSANKU. Ada saat di mana idealisme adalah baju yang dipakai tiap waktu dengan bangga, dengan busungan dada, dengan dongakan kepala. Terbang tinggi menembus tiap lapisan langit, semakin tinggi hingga segala di sekitar hanyalah bagian yang tidak begitu penting dibandingkan apa yang kita bangga-banggakan. Di segala penjuru mata angin yang sudah berhasil dicapai, kita menancapkan penanda keberhasilan menjejakkan segala langkah yang ditempu. Semakin jauh, semakin tinggi, tapi semakin dekat dengan puncak keberhasilan, namun beberapa mencoba bertahan pada lembah, ketika masih harus berkubang dalam lumpur ketidakpastian.
BERJUANG DEMI NEGERI! MENGHADAPI TANTANGAN WUJUDKAN KEMENANGAN! Waktu tidak pernah menua. Ia tidak abadi, tapi ia pandai menyiasati kefanaannya dengan membuat kita terbuai dengan yang sudah dilalui. Sekarang, jejak-jejak mulai samar untuk kukenang, langkah-langkah kaki yang dulu pernah berlari berbarengan, berjingkrak-jingkrak dalam irama sang ketua, dan kepalan tangan yang terangkat menggetarkan langit semakin rabun untuk dikenang. Yang tampak jelas adalah jalan yang kalian pilih. Merangkai jejak baru, membangun asa untuk apapun yang kalian tuju. Memang, tak ada yang lebih baik dari ini. Amat bahagia bisa tahu di mana kalian semua kini berdiri. MAINKAN DAN HABISI!!!
***
Dari seseorang yang pernah kalian bersamai. Dari seseorang yang pernah dan masih mengagumi. Dari seseorang yang kini memilih mengasingkan diri. Terimalah permintaan maaf ini, yang diam ketika suara lantang teramat butuh untuk diteriakkan. Yang tuli ketika seorang teman meminta bantuan. Yang hilang ketika banyak tangan mengulurkan pertolongan. Sekali lagi maaf, beribu maaf, berulang kali maaf. Dan sekali lagi, senang bisa mengenal kalian. Setidaknya suatu saat nanti, jika waktu ikhlas berbagi, kuharap kita bisa berkumpul kembali. VIKTORI!
1 note
·
View note
Text
Yogyakarta: Tentang Kenangan, Sebuah Kerinduan
Bagian kedua dari Kumpulan Cerita Kota, cerita tentang kenangan, harapan, dan apa saja yang bisa diceritakan dari setiap perjalanan. Yogyakarta adalah tentang rindu, tempat pergi saat hati dalam suasana pedih, tempat mengembara ketika raga sedang bergembira.
Sudah banyak hal yang mendeskripsikan apa itu Yogyakarta. Mulai dari status remaja galau, gubahan lagu-lagu dari yang lawas hingga indie, sudut pandang seorang mahasiswa yang orasinya berapi-api, atau suatu bab dalam buku yang judulnya banyak dicari. Bagi kebanyakan orang, Yogya adalah tentang turun di Stasiun Tugu, berjalan sejenak menuju ramainya Malioboro, terus ke selatan menuju Alun-Alun Utara, sembari menutup mata berusaha melewati jalan setapak di antara dua pohon beringin besar. Bagi sebagian yang lain, mengunjungi museum dan keraton adalah hal yang tak mungkin terlewat. Atau menikmati secangkir kopi joss yang meletup-letup, menyusuri jalan setapak di bawah rindangnya hutan pinus Mangunan, dan menghabiskan malam di salah satu sudut Pasar Wonokromo menikmati sate klathak yang menggugah selera.
Namun bagiku, Yogyakarta adalah tentang rasa penyesalan, tentang kenangan yang ingin kudatangi lagi, dan menggoreskan cerita yang berakhir bahagia. Yogyakarta adalah segala tentang rindu yang wajib dibayar tuntas, meskipun hanya berkunjung dalam waktu yang sangat terbatas. Yogyakarta adalah mimpi yang kini sudah tak bisa diraih lagi, kecuali berdamai dengan kenangan dan konsekuensinya yang akan selalu menyertai.
***
Perkenalanku dengan kota ini dimulai ketika aku masih SMP. Sebagai anak seorang guru, aku memiliki privilege untuk ikut rombongan tur wisata ke berbagai kota dari sekolah tempat Ibu mengajar. Menaiki minibus dari Sumenep, sebagai anak kecil yang hanya bisa ikut saja, aku mengekor saja ke mana para guru ini bepergian, yang pasti, ke Candi Borobudur, Prambanan, Malioboro, dan tentu saja, Pasar. Tidak ada memori yang bisa tinggal lama dalam ingatanku kecuali aku yang merengek minta diantar ke toko buku saat rombongan sedang asyik berbelanja di Solo Square, ya, kami (atau para guru) memang menyempatkan mampir di Solo (yang mungkin akan kuceritakan juga kenangan di kota ini) untuk, tentu saja, berbelanja.
***
Memori terbaik dari Yogya adalah beberapa tahun ke belakang, ketika aku dengan sadar dan tanpa ada paksaan dari siapapun, memutuskan mengunjungi Kota Raja ini pada suatu dini hari, dan pulang selepas Maghrib di hari yang sama. Sementara, seseorang juga sedang menginjakkan dan melangkahkan kakinya di kota ini, namun tak sempat bertemu, bahkan berpapasan dengan anginnya saja tak bisa kulakukan. Semua karena ketidakpercayaan diri dan kebodohan yang seringkali datang di waktu yang tidak tepat. Aku hanya bisa membayangkan sisa-sisa langkah kakinya yang kuikuti dari belakang, menyusuri jalan setapak yang mengapit Malioboro menuju Alun-Alun Utara. Berselonjor kelelahan setelah menapaki anak tangga menuju sekumpulan pohon pinus yang ujungnya saling berpelukan rindang menjaga sinar matahari yang datang. Hingga mengejarnya berlari-lari kecil di atas pasir pantai Parangtritis, sambil menahan topi yang ia pakai karena terpaan angin pantai Selatan.
Tapi, itu hanya sebuah harapan yang tersisa, bayangan itu hilang bersama dengan kereta yang ia naiki kembali menuju Ibukota. Mungkin terhempas rel di dekat Stasiun Lempuyangan, atau menguap bersama dengan tinggal landasnya pesawat di Adisucipto. Tak ada yang tahu. Yang kutahu, ketika ia sibuk berlari-lari kecil di pantai atau mengoceh tak mau kalah dengan pedagang di Pasar Beringharjo, aku membawa diriku lari dan mengutuk diri menuju Maguwoharjo, duduk termenung di sebuah minimarket kecil dekat tikungan, menunggu TransJogja lewat yang sampai sekarang aku masih bingung bagaimana sistemnya. Tanganku menggenggam kopi kalengan sementara tangannya sibuk memilah-milah oleh-oleh untuk dibawa pulang. Punggungku bersandar pada kursi besi sementara punggungnya mantap bersiap menuju tempat wisata berikutnya. Di depanku, hanya ada lalu lalang sepeda motor plat AB yang enggan memelankan lajunya di depan sebuah SMP Muhammadiyah, sementara matanya menikmati indahnya lembah yang mengelilingi bukit Patuk di selatan sana.
Kau tahu, jarak terjauh antara titik Utara Yogya, di puncak Gunung Merapi, hingga ke Selatan di Pantai Krokoh mungkin sekitar 100km. Hanya dalam radius seratus kilometer aku pernah berada di satu tanah dengannya, namun merasakan angin atau sisa langkah kakinya saja aku tak mampu, apalagi hendak berbicara bertatapan langsung dengannya di Kota yang paling syahdu ini, seperti bermimpi di siang bolong namun dengan mata yang masih terbuka. Mustahil, kawan. Maka, apalah yang bisa kulakukan selain mengenang tanpa ada harapan dan mengingat tanpa ada yang bisa kusimpan erat-erat. Meskipun dengan kenangan yang penuh dengan penyesalan ini, bagiku Yogyakarta ibarat kerabat yang menerimamu apapun keadaan hatimu, yang tangannya siap merangkulmu saat kau butuh alasan untuk merindu, yang wajahnya selalu tersenyum ramah setelah kau muak dengan hiruk pikuk yang tak ada habisnya, yang dekapnya siap memelukmu dalam hangat hingga kau dapat segera bangkit dan tegak berdiri penuh semangat.
Terima kasih, Yogyakarta. Aku akan datang kembali, aku akan senantiasa merindumu berulang kali.
1 note
·
View note
Text
---
kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Malam ini, aku kembali ke tanah lapang yang sunyi itu. Aku kembali untuk mengubur kembali mimpi yang harus dibunuh tanpa belas kasih. Meski sempat ada harapan, pada akhirnya ia menemui ajalnya di tanah tak bertuan ini. Di tubuhnya tak kutemukan bekas luka lebam, ia mati seketika ketika sayatan benda tajam merobek dadanya. Hanya. Satu. Sayatan. Aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri ketika ia bertekuk lutut, dengan kepala tertunduk, tak sempat mengambil kuda-kuda untuk bertahan. Ia pasrah dengan ajal yang jaraknya lebih tipis dari rambutnya yang sudah berantakan itu. Harapan membunuhnya, aku yang menguburnya.
Aku sudah muak dengan mimpi-mimpi yang mati karena harapan ini. Kuseret ia menuju lubang di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran dan batangnya keriput menunjuk ke langit. Semuanya sunyi, seperti sebelum-sebelumnya, tak ada perayaan kematian, tak ada yang menangisi kepergiannya. Senyum-senyum menyeringai seperti mengelilingiku ketika aku mulai mengubur mimpi yang mulai pucat itu. Mereka tersenyum puas atas kematian yang terus berdatangan ini. Rata dengan tanah, dan tak ada nisan atau batu petunjuk di atas kuburannya, karena memang tak ada yang peduli dengan mimpi-mimpi yang sudah mati. Aku hanya meletakkan empat helai bunga kamboja di atas kuburannya, aku tak tahu juga mengapa aku melakukan ini, hanya refleks dari tanganku saja.
1 note
·
View note