Tumgik
fictionframe · 7 years
Text
The AB Tale - Prolog
B side
 Namanya Aldi. He was my highschol sweetheart. Waktu kuliah semester satu, aku denger beberapa gossip dia pernah hampir nembak aku, Cuma katanya aku keburu sibuk sendiri, jadi dia mengurungkannya. I mean, dia punya 2.5 tahun buat bener-bener nembak aku, kalau dia mau. Tapi toh nyatanya enggak. Dan lagipula, kenapa kalo urusan kayak gini, selalu pihak perempuan yang jadi subjek? Kenapa orang nggak merasa bahwa mungkin we’re not meant to be, atau he was being chicken out for 2 years ++ as the main problem? Kenapa harus tentang aku yang sibuk belajar UN yang dianggap bikin kita, non-couple pertama yang dinobatkan jadi the prom queen and prom king, nggak jadian. I mean, hello?
But anyways, it’s been 6 years since that day. Selesai S1 aku melanjutkan S2 di Melbourne selama 1 tahun dan dia sibuk membangun startupnya. Dia membuat sebuah jaringan dimana ketika seseorang mendaftarkan diri, ia harus mengisi sejumlah informasi kesehatan, dan jaringan tersebut akan memberikan notifikasi kapan orang tersebut harus check up ke lab untuk pemeriksaan dini, dengan melihat faktor risiko dan data awal. Startup tersebut juga bekerjasama dengan berbagai lab di berbagai kota besar untuk memberitahukan lab terdekat, rincian harga, bahkan promo-promo khusus. Memulai dengan 4 kota besar, aplikasi ini telah bekerjasama dengan lab-lab di 15 kota besar di Indonesia. Darimana aku tau? Dia yang selama ini memberiku kabar dan….. nggak, becanda. Kami nggak bertukar kabar sama sekali sejak kuliah, kecuali ketika reunion. Lalu darimana aku tau? Tentu dari linkedin miliknya. Ha ha. We didn’t really get in touch with each other.
Lalu,kenapa aku masih membahasnya?
Because in my syllabus, his name means my very first experience of the unexplained feelings, like the feeling when you were happy seeing someone you care the most found someone who made him happy, but your breath seemed heavy at the same time. Or when I was happy seeing him holding his tears because his hottest ex-girlfriend dumped him in front of the crowd for a merely a band vocalist; he was the guitarist, and a captain of basketball team. I couldn’t find the right word to describe those kind of feelings.
Aku masih sering membuka account facebooknya, melihat kalau-kalau dia pindah tempat kerja, punya pacar baru, liburan, dan lain sebagainya. Kadang, aku masih mengecek linkedinnya untuk sekedar tahu bagaimana ia berproses bersama startup companynya. Aku dengar dia juga membangun guest house di Bali untuk para traveler. He’s 26, he can do whatever he wants.. can’t he?
Aku seneng liat dia berkembang, seneng banget. dan kadang minder, mana mungkin orang macem dia melihat aku. Lulusan psikologi, sekarang baru merintis usaha bareng sama temen-temen kampusku jaman S1 untuk bikin pelatihan untuk perusahaan-perusahaan. Selain itu, aku mengisi sesi-sesi di beberapa TK dan SD swasta di seuah yayasan, selain menjadi psikolog tetapnya yang kduapatkan setelah temanku yang baru saja melahirkan resign. Kerjaanku masih serabutan… sedangkan dia rasanya udah bisa bikin istananya sendiri.
Aku kemudian melanjutkan rutinitas ku dipagi hari sambil berkaca. Kaget sendiri aku melihat kerutan di ujung mataku, padahal rasanya aku sudah tidur cukup.
Satu lagi masalah perempuan: aging. It feels like as we can’t get our eggs fertilized, the aging effect will be escalated. Aku tambahkan lagi concealer di area tersebut, ku tutup bedak; I’m ready to go.
 A Side
 Namanya Bianka. Dia sahabat gue jaman SMA. gue curhat susah seneng, ke dia semuanya, dia tau semua track record gue. Dia tau gue ngapain aja sama mantan-mantan gue, kecuali hal-hal yang pribadi. At least, dia tau siapa first kiss gue, dan siapa yang nampar gue di mall karena gue ketiduran pas nonton. Gue selalu negerasa dia special, dia beda. Cuma gue nggak pernah merasa harus memiliki dia sebagai pacar, karena sebagai temenpun dia selalu ada buat gue, sampe dia sibuk berat buat persiapan UN. Saat itu gue baru sadar, bahwa gue butuh dia banget. gue inget ketika dia lagi sibuk-sibuknya, gue bahkan nungguin dia di ruang tamu sampe isya, dan waktu gue mau balik, gue liat dia pulang pake ojek dan mukanya udah capek banget. gue baru mau cerita bahwa pacar gue saat itu mutusin gue,karena katanya nggak disetujuin orang tuanya. Tapi ngeliat mukanya yang capek banget, gue nggak tega menghentikan dia saat itu hanya untuk ndengerin cerita gue. Waktu pulang, rasanya sesek, rasanya gue pengen bisa cerita ke dia dan dengerin masukannya yang, harus gue akuin, kadang suka gue abaikan.
Ketika kuliah, gue pengen reconnect sama dia, tapi dia masih susah diraih. Dia diterima di fakultas impiannya, sedangkan gue kelempar kesekian dan masuk MIPA. At first, gue benci sebenci-bencinya, rasanya gue jadi alien di tempat itu. Sampai suatu ketika kakak kelas gue ngajakin ikut kompetisi business model yang akhirnya berhasil menyibukkan gue di awal-awal kuliah dan bikin gue lupa sama semuanya, termasuk dia. Setelah gue berhasil ikut berbagai lomba, cewek-cewek mulai banyak yang deketin gue lagi, tapi gue masih lebih tertarik untuk ikut berbagai lomba. Hal itu juga yang bikin gue males menjalin hubungan serius sama cewek manapun, dan pada akhirnya bikin gue kenal sama sobat-sobat gue yang sekarang, untuk kemudian bikin startup di bidang kesehatan.
Selama ini gue ngelakuin semuanya sendiri, gue merasa harus bekerja keras untuk bikin usaha gue dan temen-temen ini berhasil dan stabil. Gue lupa kapan terakhir gue liburan, sama keluarga maupun sama temen-temen. Ada kali 2 lebaran gue nggak balik kampung halaman karena gue merasa harus backingin kerjaan ketika temen-temen gue pulang kampong. Lagian mereka udah pada menikah, ada yang udah punya anak. Jadi ya, gue ngerti mereka punya prioritas lain.
Dan ketika gue berumur 26 tahun, ketika gue mulai merasa aman sama usaha-usaha gue, ketika gue bisa dapet pendapatan pasif dari investasi saham dan guest house gue di Bali, gue mulai mikirin hal-hal dasar tentang hidup gue. Pernah ada dalam sehari gue sedih abis sholat ashar. Gue dapet investor terbesar dalam 4 tahun gue jalanin startup ini, tapi gue sedih karena gue nggak tau mau cerita sama siapa. Papa udah ngga ada, mama lagi trip pengajiannya ke bandung, yang ketika gue telfon cuma bilang kalo mama nggak bisa ngangkat telfon. Gue akhirnya ’cuma’ bisa cerita ke Yang Maha Memiliki ini. gue sujud syukur setelah sholat ashar, kemudian gue nggak sadar kalo gue nangis, entah karena seneng atau sedih. Ya, mungkin air mata itu menggantikan gejolak emosi gue saat itu yang entah apa. Tapi itu adalah salah satu momen tersedih gue selama seperempat abad lebih dikit ini.
Dan nggak tau kenapa saat kayak gini, yang gue inget malah Bianka.
Apakabar ya dia?
0 notes
fictionframe · 8 years
Text
“Why? Why did you do that? why would you cheat on me? Why would you ruin the relationship we’ve had for 4 years? Why would you?” I asked him, I was bursting into tears.
“you cheated on me first.”
“you’re fuckin liar, I never cheated on you for God’s sake!”
“you put all your focus and efforts on class and the whole competition throughout the college year. well, that’s good for you, but then you didn’t have time for me. Remember when I fail one class because the prof caught someone looking on my exam? You blamed me, you didn’t care about how I felt that day. You didn’t know that I cried hard when I called my mother to tell her about that Remember when we got into the same business model competition and you won while I lost? You were busy talking about how hard you worked for it, you forgot I also worked hard for it and felt like a total loser… remember when…,”
“you’re making freakin excuses. Bullshit.”
“whatever. You wouldn’t care about me either. All you think is you and your world and your bright future. go on with that. have a good life ahead. i’m out. i’m no longer your freakin complement.” then he took the girl that stood on his back. that girl held her tears, in between guilt and relieved; that she could finally have him now
0 notes
fictionframe · 9 years
Text
Dasa&Wina - Final [19]
Wina
Finding a true love is such a journey, I must say. Few days till my engagement day and that’s all the thing that I want to say.
Love isn’t gonna be all dramatic and romantic. You’re super lucky if you have that one who acts really sweet to make you incredibly happy, most of the time. But as the life bombs crashed into me in these few years, sometimes all you need is just simply a love.
A love that will take care of you, that will make you feel enough about yourself, that will make you happy about what you’ve got. He doesn’t have to be perfectly awesome with blue eyes, dark-brown hair, killing smile, smell like earth (but smelling good brings good feelings too!), and all. He doesn’t even have to be a great guy with IQ 140 or above, with manly gestures all the time.
He might be a reckless ignorant guy, the egoistic dickhead, the one with the darn YOLO spirit. He might be the guy with a lot of things that would never make sense to  just be adored. But you just do. You just believe in that guy at certain amount of time (I hope mine is forever), believe that the guy can bear the cruel world with you, make you slightly or so much happy just to be around him, even he’s not funny at all.
This guy is the guy I’ve been forgetting for past few years. He used to be my high school sweetheart but later  on, he chased his dream across the country. I thought I only had to wait about 4 years, but it extended without me knowing it; he added 2 years for his master degree in UK. After 3 years college years of me and him keep contacting each other, wished it would work along the way, but things get rougher and rougher each time. We had busy life ahead without having enough time to touch the cellphone, literally.
There was the time when I was so much angry with him, knowing him went back to Jakarta without getting me know it. He said it was just for a while, for the visa matters, for the master degree in the freaking UK. I never knew until his mom posted a picture of his newly renovated house with the entire family (including him) on facebook. How funny was that. He told me he didn’t tell because he didnt want me to get through it; to meet him and finally let him go again. He said it was so hard for him he couldn’t bear, plus he was so busy (the second reason was more logic than the rest).
But for me at that time it was ‘I don’t wanna meet you any longer’. We had hurting-each-other-so-much chat for few times before we let it go; that it might not work that way. We stop fighting, telling who loved the best, who suffered the most.
And that was the last time we had a lovey dovey chat,or even email. For almost 3 years we only.. chat or emailed or got comments on facebook for few times, mostly in our graduation time, birthday, and in any other important occasion.
And I knew he dated one or two girls. And I dated two or three guys.
Until last year, I met him, again. What a freaking small city… not.
That was an expo that both our company attended. I never knew he got back from his study, I never expected to meet him, again. But that heartbeat hadn’t go when he called my name on that noon, asked me to have a lunch with him. We just talked about our recent life, and as it had never been enough, we then made another appointment to have a lunch together for the next day, and the next day, and the next others day.
And he came up with few tempting conversations.
Dasa
Buat sebagian orang, cinta bisa aja jadi sesuatu yang complicated. Ada juga yang bilang kalo love is blind, love is for a fool, and love is exhausting. Buat gue, cinta itu sebaliknya. Cinta itu sederhana, eyes-opening, and strengthening.
Gue nggak pernah kepikiran tentang marriage. Im too much comfortable with my own. Tapi sejak nyokap nyinggung hal ini, gue jadi kepikiran terus.
Ada hari-hari dimana kita bener-bener ngerasa down, capek, dan stressed out. Dan selama ini gue ngejalaninnya sendirian, paling nelfon Nyokap. Selesai. Selama ini gue susah-susah sekolah di US, lalu master degree di UK biar bisa pinter dan kerjaan gue beres. Sekarang gue kerja.. hampir nggak ada tujuan selanjutnya.
Lalu gue inget kata-kata Mama waktu bulan pertama gue kerja.
“ life gets hard, Das. Kamu udah makin gede, masalahnya juga makin banyak. Apalagi di kantor pusat dengan hampir 200 employee, belum lagi cabang-cabangnya. Pasti berat. Tapi ya coba nikmati, kalo kamu berhasil kamu bakal mensejahterakan ratusan employee. kadang mungkin kita bakal ngerasain capek banget sekali-kali. Dan kalo hari-hari kayak gitu ada, akan jauh lebih enak kalo kamu punya seseorang yang bisa nguatin kamu.”
Mungkin kalo ada pasangan, gue bisa ditemenin, gue jadi punya tujuan lain buat kerja keras. Mungkin hari-hari gue lebih rame atau mungkin hari-hari gue lebih roller-coaster, but at least gue nggak bosen sama apa yang gue kerjain. Akan selalu ada hal yang bikin gue both look up into and feel comfortable at.
sendiri itu enak, kita bisa ngelakuin banyak hal sesuka hati kita. kita bisa fokus ngejar apa yang kita selama ini inginkan, tapi sebenernya lebih enak lagi punya pasangan. mungkin akan ada banyak hal yang harus gue lebih usahakan nantinya, akan ada perang argumen, ego, dan perasaan yang bakal di hadepin, tapi punya satu orang yang bakal selalu ada, no matter how hard it is to be with us, masih jadi pilihan yang lebih baik buat gue. at least untuk seorang 26 taun kayak gue sekarang.
Sejak gue balik dari UK, dan akhirnya ketemu wina beberapa minggu setelahnya, hubungan gue sama dia jadi jauh lebih baik daripada sebelum-sebelumnya. Entah karna kita udah sama-sama dewasa atau apa, tapi things are just getting better. we just hang out for times, talking about forever and what marriage could do about it and thought that marriage would be nice.. for us.
Nggak ada kejadian besar yang terjadi. Sering ketemu, sering jalan berdua, sering ngobrol sama keluarga, ngomogin hal apa aja, dan topic tentang married masuk di sela-sela pembicaraan ringan kita. then I talked to her, said that im 100% serious about what we had and she said the same thing. It takes almost 6 months to finally came out with that decision: engagement.
Gue pikir nemuin jodoh harus dengan berbagai thrilling and big moment that said that she’s your soulmate. Dan mungkin bagi beberapa orang , it works that way. Tapi buat gue, it doesn’t. buat gue, nemuin jodoh itu.. perjalanan gue sama diri gue sendiri. Does us fit in the phrase ‘together forever’?
It’s just good to see what we had, how many fights and good times we  went trough. How the world pull us apart yet we just couldn’tt resist the gravity of one another. How many things we didn’t know about each others years ago yet still felt like we had known for forever.
Menurut gue, masalah jodoh ini sederhana banget. Wina adalah wanita baik hati yang Tuhan ijinkan untuk gue kenal dengan baik yang  juga kebetulan punya perasaan yang sama dengan gue. dia nggak sempurna, kita nggak jauh-jauh dari beda pendapat, dan tujuan hidup kita nggak sepenuhnya sama, tapi sekali lagi, Tuhan ngasih kita berdua perasaan yang bikin kita bisa ngatasin itu semua.
Beruntungnya, hal sederhana itu Cuma terjadi sekali di hidup gue dan it appears to be in Wina. I knew it, I just felt it.
Tumblr media
2 notes · View notes
fictionframe · 9 years
Text
Dasa&Wina - Hi Fate [18]
Wina
Tumblr media
Sudah hampir 4 bulan ini aku kembali dekat dengan Dasa. Rasanya takdir ini mempermainkan aku dengan entah bagaimana lagi. Dari sekian banyak orang, kenapa harus Dasa. Kenapa dia ada ketika aku ingin settle down sedangkan aku tau aku nggak bisa berharap banyak dari dia. Sejauh ini, aku nggak pernah liat Dasa bener-bener serius sama aku. Walaupun begitu, aku masih aja mau jalan bareng dia terus sejak ketemu dia, yang juga diatur oleh takdir, beberapa bulan lalu. Rasanya Takdir bekerja lebih keras untuk mempertemukan, dan memisakan kami,  daripada seluruh usaha Dasa dalam hubungan ini.
Siang ini aku janjian sama Dasa  buat ke restoran jepang yang baru dibuka di daerah dekat rumahku. Eum, nggak bener-bener deket, tapi lebih deket daripada mall yang paling dekat dengan rumahku.
“kenapa ya Das kita harus kayak gini? Kenapa kita nggak lancar-lancar aja dari dulu? Kenapa aku sama kamu lagi setelah sekian lama?” tanyaku, memecah keheningan setelah kami membicarakan tentang pekerjaan kami masing-masing.
“takdir?” jawabnya singkat.
“ya… I know. tapi bakal lebih mudah kayaknya kalo kita nggak pernah putus.”
“atau bahkan ini bikin kita lebih baik? Kamu jadi belajar tanpa aku, aku belajar banyak tanpa kamu, siapa tau pengalaman-pengalamannya bikin kita lebih baik as an individual, baru kita ditemuin lagi?” jawabnya, masih melihat jalanan tanpa melihatku sama sekali, as if topik ini adalah topic membahas cuaca siang ini.
“nggak enak das, yang dulu itu rasanya.”
“maaf ya, Win. Kayaknya dulu aku sering jahat sama kamu.”
“susah ya, Das, bikin kamu minta maaf. Harus selama ini dulu..”
“he he.. udah nyampe, yuk makan.”
  Dasa
Wina masih jadi Wina yang dulu, yang cantik, smart, lucu, manja, nurut, sensitive dan sedikit penakut. Dia masih jadi cewek favorite gue. Mungkin dia comfort zone gue, dia tau gue dari mulai gue maasih jadi anak SMA yang nggak tau mau jadi apa, sampe sekarang dimana gue udah dapetin mimpi-mimpi gue. Dia selalu dukung gue, nerima gue apa adanya, walaupun gue sering banget jahat sama dia, even though gue nggak maksud sama sekali. Dia masih jadi orang yang gue idam-idamkan buat nemenin hari-hari gue nantinya. Rasanya kalo ada dia disamping gue, semua nggak akan seburuk yang gue bayangin. Rasanya hari-hari gue bakal baik-baik aja, in such a good way that I couldn’t even describe. And I cant wait for that days to come.
“kalo kita bareng nanti, kamu mau tetep kerja, Win?” Tanya gue pelan. Takut ini akan menyinggung perasaannya. Nanti, Das? Gimana kalo dia bahkan gak mau bareng sama gue sampe nanti-nanti?
“hmm.. aku pengennya sih tetep kerja,” katanya cuek, masih sibuk mengambil California roll dihadapannya.
“kalo misalnya aku yang nggak pengen kamu kerja, kamu mau nurutin aku nggak, Win?” tanyaku lagi, berusaha melirik kearahnya hati-hati.
“eum.. tergantung alesannya sih. Kalo Cuma nggak boleh sibuk padahal kamu sibuk kerja.. ya agak aneh aja. Aku harus ngapain dong dirumah?” ia menatap ke arah gue, dengan wajah yang polos, yang tanpa dia ketahui, bikin gue jadi deg-deg-an lagi. That kinda faster-heartbeat is still there.
“kayak mamaku gitu kan, Win. Ngurusin anak perusahaan papa yang ngurusin CSR?”
“hahaha, ini serius ngomongin tentang kamu? Aduh, aku belum banyak mikir. Kenapa tiba-tiba sih? Kalo disuruh nggak kerja kantoran, bisa kali ya. Mungkin. Tapi kalo disuruh nggak ngapa-ngapain dirumah sama sekali, nggak deh. Nggak bisa diem dirumah gitu kayaknya.” Katanya masih sambil sesekali tertawa ngeliat ke arah gue. Nangkep nggak sih, Win, gue lagi serius?
“Win, kamu pengen nikah kapan?” kata gue, berusaha terdengar se-normal, se-casual mungkin. Membawa percakapan ini kearah yang lebih serius. Pas nggak ya sekarang waktunya?
“kamu udah pernah nanya ini kan , Das? Aku sih bebas kapan aja, kalo udah ketemu orang yang pas.”
“udah ketemu belum sama orangnya?” Tanya gue lagi, masih sambil meliriknya pelan.
“nggak tau. Menurut kamu, aku udah ketemu orangnya belum?” jawabnya, sambil memainkan handphone, lalu memandang ke arah gue, dalam.
“kok kamu balik nanya aku?” Tanya gue balik. kenapa lo selalu jago bikin gue gelagapan sama omongan gue sendiri sih, Win?
“hhh… karena beberapa lama ini aku Cuma deket sama kamu aja, Dasa…. Nggak ngerti deh aku sama kamu, kenapa sih kamu masih nanya? Kesel. Ya Tanya lah sama diri kamu sendiri, kamu udah ngerasa paling pas buat aku belum? Apa masih mau ninggalin-ninggalin aku kayak dulu? Kalo aku ngerasa nggak yakin sama kamu ya aku udah nggak mau kamu ajakin jalan terus gini lah. Kamu kadang-kadang aneh deh, Das. Balik ah, yuk.” Katanya sambil memanggil waitress untuk meminta bill.
“maaf Win, jangan kesel gitu dong..,” kataku lembut, berharap moodnya tidak hancur hari ini. bahkan gue belum nangkep bener apa yang dia bilang barusan. Gue sibuk mengatur kata-kata di kepala gue sendiri.
“kenapa sih, Das? Minta maaf mulu. Nggak biasanya. Kamu abis ada salah apa sih, sama aku? Kamu abis selingkuh apa gimana?” tanyanya lagi. Mukanya datar, tapi sesungguhnya gue nggak tau dia beneran datar atau sok biasa aja.
“haha enggak lah. Kok kamu mikir sampe situ?” gue berusaha ketawa-ketawa dan ngebawa kata-katanya dia sebagai joke aja. Padahal dalam hati..
Wina
Dasa hari ini aneh banget. Entah, dia abis ada salah apa, lagi mikirin apa, tapi daritadi dia keliatan nggak fokus, gampang minta maaf, nggak kayak dia biasanya yang suka mau menang sendiri. Dia bahkan nggak gandeng tanganku, nggak bukain pintu buat aku; bukannya aku se-manja itu, tapi dia biasanya selalu lakuin itu.
“Win.. mau nikah sama aku nggak?” tanyanya santai.
“ergh… kan aku udah bilang.. kalo aku nggak mau sama kamu, aku nggak akan jalan sama kamu sampe sekarang Das..” kataku tak kalah santai. Kita udah sering ngomongin ini, tapi dia belum pernah menanyakan ini padaku secara serius.
“aku serius Win.. kamu bener-bener mau nikah sama aku?”
“aku juga serius, Das. Aku selalu serius, kan, sama kamu,” kataku masih memandangi wajahnya. Maksudnya apa, sih? Kenapa pertanyaannya jadi aneh..
Aku selalu bayangin adegan would-you-marry-me dengan jauh lebih dramatis daripada ini. jadi sebenernya, saat aku jawab Dasa, aku masih nggak tau apakah dia serius atau enggak.
Tiba-tiba dia meminggirkan mobilnya dan mematikan mesin. Ia sudah memasuki kompleks perumahanku, namun masih agak jauh dari rumahku. Dia terlihat sibuk sendiri dan.. mengambil sebuah kotak dari saku celananya. Kok daritadi aku nggak notice ada kotak sebesar itu di saku celananya?
“aku nggak tau gimana bilangnya ke kamu Win, tapi aku nggak pernah lebih serius daripada ini. selama ini aku selalu nyimpen perasaanku ke kamu. At first, oke aku akuin aku cukup brengsek untuk nggak bisa bagi waktu antara sekolahku dan kamu, nggak bisa serius jalanin LDR sama kamu. Waktu aku dateng kesini, baik-baikin kamu, aku juga masih punya pacar disana. Tapi soal lost contact, itu kerjaan mantanku disana. Dia sabotase email-email kamu yang masuk di inbox-ku, jadi aku nggak bisa baca email kamu, yang udah pernah aku ceritain ke kamu juga. Tapi sekali lagi waktu aku balik ini, aku nggak berusaha buat ketemu kamu, karena aku pengen move on. Aku percaya bahwa diluar sana aku bisa ketemu cewek lain yang bisa bikin aku yakin. Tapi gimana kalo takdirnya aku ketemu sama kamu, dan keadaan bikin kita bisa deket lagi kayak gini? Oke, aku minta maaf karena selama ini aku nggak pernah cukup berusaha buat kamu, tapi aku tetep nyimpen perasaan ini Win ke kamu.”
Ia mengambil jeda sebentar. Aku pun masih berusaha mencerna kata-katanya satu persatu. Dadaku berdegup lebih kencang, aku merasakan kekhawatiran yang entah dari mana, sedikit cemas, dan perasaan bahagia yang sedikit-demi sedikit terselip diantara perasaan-perasaan lainnya yang saling bertolak belakang.
“mau nggak kamu nikah sama aku, Win?”
Ia membuka kotak ditangannya. Sebuah kalung.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Kita udah sering banget ngomongin masa depan yang emang udah didepan mata. Tapi aku nggak nyangka bakal secepat ini, aku nggak nyangka kalo Dasa beneran akan ngelakuin ini.
“kamu yakin, Das? Kita baru ketemu lagi lho.. nikah itu buat selamanya..” kataku, kini yang menjadi tidak yakin. Secepet ini?
“kamu mau nunggu apalagi, Win? Mungkin kita nggak bisa nikah taun ini, mungkin butuh waktu sampai taun depan atau taun depannya lagi untuk nyiapin semuanya. Tapi.. menurutku sekarang waktunya udah pas banget. Aku udah selesai sekolah, udah punya pekerjaan dengan gaji yang lumayan buat hidup kita berdua, aku udah ketemu kamu. Apa lagi yang kurang?”
Aku hanya memandangnya dan tersenyum. Aku masih merasa surreal dengan semua ini.
So this is when the fairy tale is started? This is when happily ever after started?
“yaudah kalo kamu udah yakin…well, I cannot wait to be Mrs. Dasa, you know?” kataku sambil tersenyum manja, lalu ia memelukku, masih dengan tangan yang membawa kotak berisi kalung itu.
“makasih ya sayang..” katanya pelan, masih menatapku lekat. God, aku lupa kapan terakhir kali kami sedekat ini, kapan terakhir kali the butterflies in my tummy got the real shock like this.
“tapi kenapa kamu ngasih aku kalung? Kenapa bukan cincin kayak orang normal ngelamar, Das? Bukanya aku nggak suka, I love it, much! Ya.. tapi nggak kayak orang seharusnya aja..,” kataku sambil memandang kalung itu. Sejujurnya ini emang indah banget!
“karena aku nggak pengen asal, aku mau kamu milih sendiri yang kamu suka yang kamu pas. Lagipula kamu udah nggak pernah pake kalung snowflakes yang aku kasih. Jadi ya, sekalian gantiin itu. Ilang kemana? Kamu buang?” katanya sambil membuka kaitan di kalungnya, berusaha memaikannya padaku. Aku menyibakkan rambutku dan seikit menunduk. He’s brutally honest. Jawaban apa lagi yang aku harap dari Dasa?
“hehe aku titipin ke mama dari dua taunan yang lalu. Aku pengen move on dari kamu, Das.. susah kalo masih bisa liat kalung dari kamu itu terus…,” jawabku sambil memegang kalung baruku. Ah, indahnya..
Dasa mulai menyalakan mesin mobil lagi. Jadi ini yang bikin Dasa daritadi keliatan aneh… only if I knew earlier, I would rather enjoying him feeling anxious in such a cute way that I haven’t seen before!
“papa kamu dirumah, nggak?”
“dirumah kayaknya. Sabtu kan, ini.. kenapa?”
“sekalian mau bilang papa..”
“kamu yakin? Aku belum pernah ngomongin apapun tentang ini sama papa.” Kataku yang malah tiba-tiba panik.
“yaudah, sekalian aja… kalopun ditolak, aku masih punya banyak waktu buat usaha lagi, kan?” katanya sambil tersenyum percaya diri. Yup, he’s back. That Dasa. My kind of Dasa.
“by the way Win, pernah nggak kepikiran, kalo emang kita itu emang bukti adanya takdir beneran? I mean, ok, I must admit aku nggak pernah seberusaha itu buat kamu. But look at us, we’ll end up together now, like no matter what we’ve had in the past.” Dasa memecah keheningan saat aku tengah sibuk dengan perasaan bahagiaku dan senyumku yang tak bosan-bosan ku perlihatkan.
“yah.. anggep aja takdir lagi baik banget sama kamu selama ini, Das. someday, mungkin kamu yang harus bekerja ekstra keras buat mengubah takdir kamu sendiri. Right?”
“well, as long as I’ve got you I thought I will be ok when that moment comes. I love you, Win.” Ia memandang kearahku dan tersenyum hangat banget. Semua sel di tubuhku leleh rasanya…..
“you know I love you even more, Das..” kataku balik, membalas senyumannya.
1 note · View note
fictionframe · 9 years
Text
Dasa&Wina - YouAndMe? [17]
Tumblr media
Awalnya, aku nggak percaya sama konsep jodoh. I asked almost everyone I could ever ask about that concept. Nothing makes sense. Does that just happen? - Wina.
26 Oktober
Wina
Tumblr media
Sampai siang itu, aku bertemu Dasa. Lagi. Saat itu jam makan siang, aku sedaang mengelilingi expo yang cukup besar ini. Kebetulan, booth perusahaanku merupakan salah satu project ku bulan ini. Beberapa hari belakangan, aku  lembur untuk mempersiapkan booth di acara yang berlangsung 4 hari ini. Mataku masih menyimpan kantuk yang luar biasa. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan, siapa tau aku jadi lebih segar.
It’s always good to work on something you really like. Aku bersyukur karena aku bisa mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan, yang dapat aku nikmati. Bahkan bila tidak menjadi bagian dalam pameran ini, aku mungkin akan tetap datang ke expo tahunan yang cukup bergengsi ini.
Mataku bergerak, melihat kanan dan kiri, sampai aku menemukan sosok yang tidak asing lagi. Mataku terpaku pada sosok yang sudah tidak pernah aku temui hampir tiga tahun terakhir ini. Aku diam lama, memandangi sosok itu, sampai ia mengangkat wajahnya sedikit, menyebar pandangannya dan terhenti kearahku. Jantungku berdegup kencang. Aku langsung menunduk dan berjalan cepat. Aku yakin aku berjalan cukup cepat untuk menghilang dari pandangannya. Aku yakin aku berjalan cukup jauh untuk ditemukannya. Entah kenapa aku tidak ingin bertemu dengannya. Atau at least, aku tidak ingin terlihat seolah masih ingin bertemu dengannya.
Because honestly, I thought meeting Dasa only exists in my wildest dream.
Aku menoleh kebelakang, memastikan aku sudah cukup jauh dari Dasa, atau sedikit berharap masih dapat melihat wajahnya dari jauh. Tapi yang kulihat lebih dari itu semua.
Ia berjarak 2 meter dibelakangku.
“hai, Win!” sapanya santai.
Aku tersenyum terpaksa tanpa membalas sapaannya. Hanya melihatnya dengan wajah yang entah bagaimana. Kenapa nggak ngabarin sih Das kalo udah disini? Kamu siapa sih Win nuntut dia ngabarin hal-hal kayak gini ke kamu? Kamu masih mau berharap apa sih sama Dasa? After all these time? Kamu pikir Dasa masih inget kamu? Gila. Udah berapa tahun, Win?
Dan air mataku sudah terkumpul dipelupuk mata dalam hitungan detik. Aku langsung berbalik dan berusaha berjalan cepat tanpa mengindahkan kehadirannya, sampai tangan itu mencengkram lenganku kuat.
Aku berbalik.
  “apa sih Das? Sakit.” Kataku sambil berusaha melepas tangannya.
“Aku Cuma pengen ngobrol aja, Win.” Katanya pelan.
“iya, tapi nggak disini. Nggak sekarang, malu diliatin orang tuh. Nggak usah pake narik tangan aku segala…,” Aku melihat raut mukanya berubah, menjadi.. sedih? Atau mungkin lebih tenang.
“yaudah, udah jam makan siang nih, keluar, yuk? kita makan.” Ajaknya, masih dengan senyumannya. As if nothing ever happened, Das?
 “kayaknya nggak usah deh, Das..,” kataku sambal berusaha melepas tangannya. Kali ini berhasil.
“please, win?”
Aku masih diam.
Sejujurnya, aku masih sulit berkonsentrasi. Ini terlalu… surreal. Dasa.
Dasa
Saat itu gue lagi menjelaskan beberapa hal teknis pada salah satu pegawai yang bertugas di booth expo itu. It’s not something that I usually do, tapi kali ini gue ingin memastikan bahwa mereka mengetahui apa yang mereka lakukan. Dan mungkin ini yang dinamakan feeling?
Sejak kembali ke Jakarta beberapa bulan yang lalu, gue ingin menghubungi Wina. I don’t know, I just wanna let her know that im home, and slightly wanna have a lunch with her? Sampai sekarang, wina adalah cerita yang belum selesai buat gue. Gue masih ngerasa bahwa there should be a proper closure. Tapi tiap gue mau ngehubungin dia, gue juga nggak tau gimana caranya. I mean, it’s been years we haven’t really contacted each other. Rasanya aneh banget untuk ngajakin dia keluar tanpa alesan yang jelas. Kadang gue juga kepikiran sendiri, kenapa sih gue nggak bisa kayak orang normal lainnya yang get over their highschool sweetheart gini? Capek gue.
Setelah selesai memberikan sedikit pengarahan, gue berencana langsung balik kantor. Gue males kejebak macet bego tengah peak hours dan malah bikin gue terkesan bolos total hari ini. Saat gue mau melangkah keluar dari booth, saat itu gue ngeliat satu sosok yang gue kenal banget. Tapi kadang, penglihatan gue tentang orang ini Cuma kabur, mirip-mirip, atau ternyata orang lain. Terlebih lagi, orang ini langsung balik badan dan jalan cepet banget ditengah kerumunan. Gue ngejar sebisanya, sampai beberapa meter dibelakangnya, gue siap nepuk pundaknya, tapi tiba-tiba dia berbalik, dan dari mukanya gue rasa dia kaget banget liat muka gue. And im sure she’s Wina.
“hai, win!” sapaku sambal tersenyum. Dia tidak membalasnya. Ia hanya membuat kurva asal di bibirnya tanpa aku ketahui apakah ia berniat membalas senyumku atau malah.. tersenyum sinis padaku. And im still smiling to her, menunggu ia membalas sapaanku. Tapi yang kulihat malah matanya yang kini berkaca-kaca, dan ia kembali berbalik, berjalan meninggalkan ku. Aku reflek menahan lengannya, sedikit kuat. Antara marah karna ia tidak menanggapiku, dan takut ia pergi lagi.
“apa sih Das? Sakit.”
“kamu kenapa sih? Aku Cuma pengen ngobrol aja.” Gue nggak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan gue. Setelah sekian lama, kenapa sih Win?
“iya, tapi nggak disini. Nggak sekarang, malu diliatin orang tuh. Nggak usah pake narik tangan aku segala!” perasaan yang dulu lama hilang kini muncul kembali. Perasaan kehilangan Wina. Is she the same old Wina I loved back before?
 “yaudah, udah jam makan siang nih, keluar, yuk? kita makan.” Ajakku, berusaha tetap tenang. Padahal dalam hati, aku sudah tidak yakin bisa mengajaknya keluar siang itu, though I’m more than just want to go out with her.
 “kayaknya nggak usah ya, Das..,” katanya pelan. Siang itu aku merasa nothing to lose. Gue udah pasrah kalo siang itu dia nggak mau gue ajak keluar. Gue nggak mikir apa-apa lagi. Bisa ngajakin dia pergi aja gue udah bersyukur. Jadi gue coba ambil telapak tangan dia, gue genggam tangannya. Dan seperti tebakan gue, dia melepasnya. Gue mendongak kearahnya, melihat matanya.
“please, Win?” nothing to lose, Das. Nothing to lose. Kata gue dalam hati, menyakinkan diri gue.
Akhirnya Wina mengangguk dan mengikuti gue dibelakang. She’s still the same Wina I’ve loved before.
Wina
aku nggak tau kenapa aku masih mau mengikutinya. Masih mau dibukakan pintu mobil olehnya. Masih diam tanpa berontak sama sekali. Duapuluh menit berlalu, sampailah kami di tempat makan jawa favorit dia, sejak SMA. Tempat ini memang dekat sekali dengan gedung expo kami.
“nggak bosen kan Win kesini? Abis yang deket dan enak.” Katanya pelan sambal melepas seatbelt. Aku buru-buru melepas seatbelt dan membuka pintu mobil, tapi ia sudah terlebih dulu membukakannya. Stop it, Das.
“makasih,” kataku pelan.
Setelah kami memesan menu yang kami inginkan, we booth already know what to order here, ia mulai menatapku, lama, dan aku membuang muka. What. Does. This. Mean.
“udah lama ya Win nggak ketemu kita.” Katanya membuka obrolan
Kamu kemana selama ini? hahaha.
“aku sih disini-sini aja terus.” Jadi kalo kamu mau ketemu aku sih tinggal kabarin aku. Ingin kulanjutkan kalimat itu, tapi entahlah, aku tidak sampai mengatakannya. aku masih membuang muka.
“haha iya sih..,” katanya berusaha mengalah. Is it you, Das? Biasanya ia tidak mau disalahkan. Biasanya, ia akan memberikan alasan. Aku melihat kearahnya.
I know we have many many things to be said.
“how’s your life? Kamu masih kerja di tempat yang dulu?”
“masih.. kamu?” kataku sekenanya.
“aku balik akhir Mei lalu, beberapa hari aku dirumah dulu, nggak kemana-mana. Males juga. Minggu depannya langsung kerja.”
“oh..,” kataku masih sambil membuang muka.
That was a long dead convo before it started again. Atau mungkin hanya beberapa detik tapi aku merasa sudah bermenit-menit lamanya..
“kerjaan udah beres nih kayaknya kamu, terus kamu sekarang sama siapa? udah ada rencana nikah Win? Apa masih nikmatin karir kamu?”
Aku memandangnya tidak percaya. Baru sekali ketemu basa-basinya kayak gini, Das? Are you gonna brag your future wife now?
“haha. Aku harus jawab nggak?” Aku masih berusaha mengatur pikiran dan perasaanku dan ia menanyakan hal ini? like the other thousands of people outta there? As if we hadn’t had real thing years ago? Ok. Years ago. Mungkin kamu udah lupa. Mungkin buat kamu itu bukan apa-apa.
“nope. Tapi aku pengen tau aja.”
“been single for 4 months, or five, or six. Nggak pernah ngitungin lagi.” Jawabku tak acuh, masih tanpa melihat wajahnya.
“jadi aku ada kesempatan, nih, Win?”
Aku melihatnya tidak percaya, sambil kembali senyum sekenanya lalu membuang muka.
Dan terdapat jeda yang panjang lagi, sampai pegawai resto itu membawakan pesanan kami.
Aku menunduk, berdoa sebelum makan, mengangkat sendokku, siap melahap nasi kuning didepan mata. I know, not a lunch menu, rather a breakfast menu. But I love it so who cares?
“sampe kapan kamu mau kayak gini Win?”
Aku menatap kearahnya. Apalagi sih, Das?
  Dasa
Gue udah lama nggak ketemu Wina, terlebih Wina versi ini. Wina versi galak, cuek, dan bener-bener berusaha nggak nganggep gue ada. Gue nggak bisa kayak gini terus. Even it was slightly, im sure there was a heartache.
“sampe kappan kamu mau kayak gini, Win?”
Ia menatapku, sinis.
“kayak gini gimana, sih, Das?”
“kayak gini, kayak kamu nggak pernah kenal aku. Kayak email-email kamu selama kita nggak ketemu itu nggak pernah ada. Kayak selama ini nggak pernah ada apa-apa diantara kita?”
Dia diam, menatapku lama. Ia meletakkan sendoknya agak keras sampai aku mendengar bunyi bernada tinggi dari piringnya.
“emang selama ini ada apa? Aku nggak pernah ngerasa ada apa-apa sama orang yang nggak pernah balesin emailku lagi, yang nggak ngabarin waktu balik kesini, yang ketemu aku Cuma karena kebetulan dan kamu nuntut aku bersikap kayak gimana lagi, sih, Das?”
Suaranya bergetar. Aku tahu dia… marah.
“aku minta maaf kemarin aku nggak kabarin kamu. Aku juga langsung kerja. Dan tiap aku mau ajakin kamu, aku nggak yakin kamu mau…”
“alesan.” Katanya pelan, sambil memulai makannya kembali. Ia sangat focus melihat makannya, dan tidak sekalipun melihat kearahkulagi.
“win, aku minta maaf kalo selama ini aku nggak ngabarin kamu. I want to. Tapi aku nunggu momen yang pas aja. Momen dimana kamu nggak bisa nolak untuk nggak aku ajakin pergi.” Kataku lagi.
Aku juga selalu cari cara biar aku lupain kamu win. Biar aku bisa move on dari kamu. Aku udah coba kenalan sama beberapa anak temen Papa in few past weeks. Nggak ada yang cocok. Dan aku selalu kepikiran kamu lagi.
Tapi aku memutuskan untuk menyimpan alasan itu untuk diriku sendiri.
“diselesaiin Das makannya. Aku nggak bisa lama-lama.” Katanya tanpa mengindahkan kata-kataku.
Tidak lama, kami menyelesaikan makan kami. Gue langsung membayarnya dan bersamanya masuk mobil. Gue diem, berfikir keras apalagi yang gue lakuin untuk bisa mencairkan percakapan kami. Gue nggak pernah nyangka kalo bakal kayak gini keadaannya. Apa iya gue harus nyerah aja sekarang?
Tapi takdir berkata lain. Gue terjebak macet panjang 20 meter dari resto tadi. Udah 5 menit dan gue belum beranjak sama sekali. Gue ngeliat raut mukanya, sedikit panik.
“aku bakal dicariin anak-anak, Das, kalo nggak cepet nyampe.”
“yaudah, kamu sms apa telfon mereka dulu aja, mereka pasti ngerti kok.”
Ia melihat kearahku, lama. Lalu melakukan apa yang aku sarankan. Dari suara di telfonnya, ia terlihat sangat meyesal dan mengucapkan maaf berkali-kali. Tapi sepertinya teman kerjanya bisa memaklumi.
“gimana?” tanyaku.
“iya, nggak papa kata mereka.” Katanya pelan.
“maaf ya Win, gara-gara aku kamu jadi telat.”
Wina diam. Dia bahkan nggak nengok kearah gue.
“Win, aku beneran minta maaf ya.. aku nggak tau kamu bakal semarah itu sama aku.”
Ia masih diam, sampai beberapa detik kemudian..
“kamu nggak tau, Das, gimana aku nunggu kamu kabarin, kamu bales email, kamu chat, kamu sms, kamu telfon. And none of them aku dapet, kecuali waktu aku ulang taun, atau waktu aku lulus S1, atau waktu aku dapet kerjaan, atau waktu idul fitri. I re-read them for freakin times. Aku bahkan bisa inget kata-kata kamu detail. Kamu nggak tau, gimana aku berusaha cari course dan beasiswa ke inggris, tapi selalu gagal di tahun pertama setelah aku lulus. Gimana aku kecewa sama diriku sendiri karena nggak bisa ngejar kamu. Bahkan setelah tau kamu balik tanpa ngabarin aku. Gimana aku berusaha keras lupain kamu dan nyoba menjalin hubungan sama beberapa orang, tapi tiap nggak berhasil dan akhirnya aku selalu kepikiran kamu lagi. Kamu nggak tau…”
Aku bisa melihat air matanya di ujung mata kanannya. Damn. Kenapa sih Das lo selalu bikin Wina nangis?
“win.. maafin aku.. aku nggak tau kalo kamu kayak gitu. Aku kira kamu udah punya hidup yang baik disini dan aku nggak pengen ganggu kamu. Aku takut aku hubungin kamu tanpa ada kelanjutan yang jelas. Kita sama-sama tau kalo LDR wouldn’t work on us. Dan kamu harus tau, sejak balik, aku bener-bener cari cara buat.. ketemu kamu. Tapi aku nggak tau gimana caranya. Aku pengen sesimpel tiba-tiba ngajak kamu pergi. Tapi nggak bisa kayak gitu, kan?”
Ia menyeka air mata terakhirnya yang aku lihat siang itu.
“besok makan siang sama aku lagi ya? Hari terakhir expo kan?”
Ia hanya diam, masih memandang keluar.
“please, Win? Kasih aku kesempatan buat jelasin semua? Kalo emang aku nggak bisa perbaikin yang dulu-dulu..”
Setelah beberapa lama, Ia mengangguk pelan.
Let’s make this thing works, Das. Don’t screw it up.
0 notes
fictionframe · 9 years
Text
Dasa Wina - Us Now [16]
Tumblr media
Wina
There will be a name, that whenever you hear that name, your heart beats faster, you breathe harder, and the butterflies in your tummies awake. And for me it’s him, my highschool sweetheart, Dasa. Setelah dia balik dari US, dia langsung ngelanjutin S2 di UK. I heard he has come home tapi dia sama sekali nggak ngehubungin aku. I thought we’re really done. I mean, apa sih yang kamu harapkan dari hubungan sama.. what should I call him.. mantan waktu SMA? Haha I sound like so much younger.
But it’s still there. The feeling lingers no matter what. I’ve been with other men. I’ve just recently broke up, sama public relation dari perusahaan  yang kantornya 4 lantai diatas kantorku. He was nice and good-looking guy, kalo orang tua bilang sih nggak jodoh. 
Im turning 25 this year. Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan property-arsitek-desain interior lokal di Jakarta. I can say I’m living my dream now. Aku yang agak idealis ini akhirnya menemukan tempat kerja yang aku inginkan. Disini ada teman-teman yang hangat sekaligus sangat disiplin, pekerjaan yang cukup challenging, dan gaji yang lebih dari cukup untukku yang masih tinggal di rumah orang tuaku. Ingat ketika kita sedang mengawali dekade kedua kehidupan? Banyak, banyak sekali pertanyaan tentang kehidupan dan masa depan juga kekhawatiran tentangnya. Now it started to make sense. Maksudku, sampai sekarang pun aku masih tidak tau, apakah langkah yang kuambil ini benar atau salah, apa aku masih berada di comfort zone atau aku sudah memberikan cukup ruang untukku berkembang, atau apakah aku terlalu idealis dan menyebalkan, atau keinginanku untuk selalu memberikan yang terbaik memang hal yang paling tepat aku lakukan sekarang. Hal yang aku kira akan jelas pada tahun-tahun berikutnya ternyata masih jadi pertanyaan buatku, for once or twice. Kerjaan lebih banyak dan bikin nggak sempet mikirin apa-apa.
I’ve been working for almost 2 years now. Setelah mengikuti berberapa project, had real teams, aku akhirnya menemukan my other passion—desain interior, which I’m good at, even better than my building-design-thingies. I always knew I sucked at that, buildings. I’m more an art person and interior design suits me better. Bulan lalu aku baru aja balik dari short course di Singapura and that was… incredible. Mungkin karena dulu waktu kuliah aku sibuk pacaran atau apa, tapi rasanya dulu aku nggak pernah punya cukup kesempatan untuk bener-bener tau apa yang aku mau. School was easy. You do whatever your school wants you to do; home works, exams, projects over projects, research, thesis, and all. But in the life after it, you’ve got to find your own way to be outstanding. And it needs real love, or what nowadays’ people call it passion, to help yourself to be the best version of you.
  Dasa
Gue menyelesaikan master degree di London. Gue selalu suka dengan UK, better than US. Entah karena kotanya lebih indah, atau cuacanya yang lebih sering gloomy, tapi gue seneng banget bisa sekolah disini. Sekali lagi, gue dapet beasiswa partial untuk education-nya, bersalah banget rasanya sekolah di luar negri sebagai mahasiswa international, tuition fee-nya bisa 5-10 kali lipat dariapda mahasiswa lokal. Karena rasa bersalah itu juga, gue pengen cepet-cepet nyelesaiin kuliah gue disini. Satu tahun lima bulan, gue selesaiin master degree gue, sedikit meleset dari target gue yaitu 15 bulan, tapi gue udah cukup merasa beruntung.
Setelah balik gue ngabisin waktu dirumah selama beberapa hari, sebelum gue bener-bener masuk kerja di kantor bokap untuk hampir 6 bulan belakangan ini. Sebenernya, gue pengen kerja di tempat lain. I mean, kerja ditempat bokap sendiri bikin gue keliatan kayak nggak punya cukup kemampuan dan daya saing di luar sana, banyak juga yang ngeliat gue sebelah mata atau bahkan sebaliknya, memperlakkan gue berlebihan. Tapi mau gimana, bokap nyokap yang membiayai hidup gue selama 25 tahun ini yang nyuruh. Bisa apa gue?
Dari kecil, gue ngeliat bokap nyokap segitu struggle-nya sama bisnis mereka ini. hal itu bikin gue nggak pernah punya bayangan lain selain buat jadi business man. Gue selalu excited buat ambil bagian di ‘permainan’ besar ini, besar karena keputusan sekecil apapun bisa jadi keuntungan atau kerugian yang jauh lebih besar daripapada kelihatannya, challenge-nya besar, reward-nya juga besar.
Rasanya hidup gue udah sempurna, sampe nyokap gue mulai membahas hal ini.
“kapan kamu kanalin calon mantu ke mama, Das?”
‘Kalo cari pasangan udah segampang beli kacang di abang-abang gerobakan, mah.’  Jawab gue dalam hati.
Nyatanya, gue Cuma berani bales pake senyum nyengir lalu menyingkir dari hadapan nyokap. 
0 notes
fictionframe · 11 years
Text
Dasa&Wina - another chapter [15]
Wina
Minggu pagi, sehari sebelum UAS semester ganjil-ku dimulai. Hari-hariku kemarin dipenuhi dengan berbagai tugas besar yang makin lama makin…besar. beberapa kerja kelompok yang mengharuskanku berkomunikasi dengan Ghian bikin aku lama-lama terbiasa akan kami yang baru. Kami yang terdiri atas aku dan kamu yang tepisah.
And those awkward moments ware all there, ditambah dengan kecanggungan teman-teman lain. dengan mahasiswa yang berjumlah 90 orang dalam satu angkatan, cukup bikin kita semua ‘terpaksa’ untuk saling mengenal dekat satu dan lainnya. Teman-teman kampusku juga jadi ‘terpaksa’ tau dengan cepat tentang hubunganku dengan Ghian yang sudah berakhir. Mau nggak mau, aku dan Ghian harus baik-baik saja, demi kelancaran 2 taun kami kedepan di kampus ini.Dan seperti yang aku tebak, tiga bulan setelah aku putus, Ghian udah sering jalan sama adek tingkat. I know ‘cs I saw them for times. Lagipula kata anak-anak kampus, mereka udah resmi pacaran.Padahal sebulanan – dua bulanan setelah putus, Ghian masih sms-sms aku, ngajak jalan, ngajak balikan. Tapi yasudahlah…
Aku bahkan nggak tau apa Ghian jadi pelarianku atas Dasa atau sebaliknya waktu itu. And I couldn’t believe I mentioned that name again..
Dasa. Aku seneng dia udah baca suratku. Aku takut surat itu jatuh atau malah kecuci tanpa dia sadari. Who knew he would read something inside his jacket’s pocket, anyway? Aku seneng dia suka sama surat itu. Walaupun aku sadar sepenuhnya,  setelah dia balik ke Amrik aku harus merelakan dia balik sama pacarnya, but it’s ok, karena yang penting buat aku adalah gimana bikin Dasa seneng when he’s around me. You know, when someone means something to you, you seem like would do any single thing to make that person happy; you simply want to be the reason of his little joy.
We emailed each other almost daily, or twice a week, but it only lasts about two months. Setelah itu, dia Cuma sesekali membalas emailku, sesekali mengirimi aku kabar entah apa atau meng-attach foto salju pertama dari jendela dorm-nya. sebulan terakhir ini, ia bahkan tidak membalas emailku lagi. I re-read my previous email for times. Ada yang salah-kah sampai dia enggan untuk membalasnya?
Tapi suara-suara bising tentang pikiran negative akan Dasa maupun Ghian mudah tersamarkan oleh tekanan deadline tugas besar pada minggu-minggu sebelum UAS. I survived those stressful weeks dengan list lagu-lagu kesukaan Dasa. Aint it silly to feel his presence again while I listened  to his favorite songs? But that silliness saved me, anyway.
At this very second, aku dihadapkan pada materi yang I barely study karena sibuk mengerjakan tugas.. hmm but let’s enjoy those all. Aku harus rajin, aku harus belajar keras, aku harus bisa lulus cepet, lulus cumlaude, biar gampang cari beasiswa.. karena.. yah.. siapa yang tau aku bisa nyusul Dasa…
Hssshhh… go study Win!
  Dasa
Gue baru balik dari rumah Sascha. Entah dia sadar atau enggak, gue pulang ealier than I’ve expected. Gue pulang duluan karena.. ada hal yang.. bikin gue.. nggak abis pikir.
So I came to her house. Dia janji untuk masakin gue. Siapa sih yang nggak seneng dimasakin? Jadi ya gue dengan mood baik seneng-seneng aja nungguin dia masak di ruang baca, di samping ruang keluarga. Gue disuguhin laptop-nya biar gue nggak bosen nungguin dia masak. She cooked something complicated and delicious, katanya, jadi lama. Gue sih santai-santai aja awalnya Cuma browsing random doang, buka-buka sosial media. Sampai akhirnya gue bosen dan iseng buka-buka gmail. Dan… gue kaget aja. Gue nggak perlu sign in; gue udah masuk ke acc gmail gue sendiri. Gue tiba-tiba ngerasa ada yang nggak beres, entah apa. Wajar mungkin, ya, kalo pacar gue tau password email gue dan iseng buka. Tapi buat apa?
Awalnya gue mencoba mengabaikan dan buka web-web lain. tapi gue penasaran, kenapa dia sign in gmail gue dan bahkan belum di sign out? Gue iseng buka semua bagian dari inbox, sent mail, spam, sampe trasj mail. Ada beberapa email Wina pada trash mail… gue nggak ngerti..
Gue coba buka email-email itu. Dan bener aja, email-email itu belum pernah gue baca. Gue udah lama mematikan fitur email pada handphone gue karena suka berisik dan kadang distract gue. Tapi gue nggak tau kalo akhirnya gue bisa sampe kecolongan gini..
Gue suka deh sama cewe-cewe gaptek kalo gini ceritanya.. why don’t they delete those emails on trash? Atau.. Cuma belum dihapus aja? Gimana kalo ada lebih banyak email Wina yang udah di hapus tapi dia udah bersihin dari trash?
Damn. Tiba-tiba gue jadi a bit panick.
Gue takut kalo Sascha iseng nge-email Wina. Gue buru-buru buka yahoo mail, dan terang aja email Sascha langsung terpampang. Apa semua cewek suka males sign out ya? Gue membaca inbox nya sekelebat. Nggak ada nama Wina. yah, gue bisa bernafas lebih lega. Tapi kok.. banyak nama.. well terserah dia aja lah. Gue kemudian membuka sent mail-nya. gue tracking sampe empat bulan kebelakang, dan nggak ada nama Wina. Yang banyak di inbox dan sent mail malah.. Ben.. Ben tetangga Dorm yang dulu ngasih gue gift waktu gue pertamakali dateng ke dorm. Gue iseng buka isinya (well im officially her boyfriend, so… it’s not a criminal, right?) and a mini heart attack came again.
Sebenernya Cuma ada lima atau enam email dari Ben.. tapi tetep aja aneh. Ben sekampus sama gue, dia juga business school. Seharusnya dia nggak se-kenal itu sama Sascha sampe email-email an begini kan? Gue iseng membuka email yang ada attachment-nya, harusnya sih email kayak gini isinya penting. mungkin mereka ngelakuin some kind of project?
Dan ternyata bener, they do some kind of project…. Of backstabbing me. Attachment-nya ternyata berisi foto-foto mereka berdua, which I assume diambil selama summer di festival-festival local, dan lumayan  mesra dan.. bahkan ada beberapa foto kissing. Lips to lips.
Seumur-umur, gue nggak pernah diselingkuhin sama pacar gue. Not even once… jadi ini cukup bikin gue.. bener-bener kesel. Gue bahkan nggak tau gue kesel karena jealous atau kesel karena gue berhasil dibodohi. Berarti sepanjang summer dan entah sekarang masih atau enggak, gue udah ditipumentah-mentah sama pacar gue dan tetangga dorm gue yang sekaligus jadi temen kampus gue?
I know I barely love her. Tapi siapapun yang udah bareng sama cewek selama dua taunan, cinta mati atau enggak, pasti punya banyak memori bareng. gue sering berkorban buat dia, ngalah buat dia, dan walaupun dia juga mungkin sering melakukan hal yang sama ke gue.. tapi.. do I really deserve this? Ego gue menguasai pikiran gue. Man, do I look like that dumb?
Gue berusaha mengatur emosi gue. Gue lagi dirumah Sascha dan gue nggak mungkin membahas ini dirumahnya sendiri. Selama sepuluh menit gue mencoba mengatur nafas gue. Berusaha menutup account email gue dan email-nya. gue bahkan nggak membaca email-email Wina yang ada di trash, gue takut makin emosi. Gue mencoba browsing something light kayak 9gag.com for a while.
 Then there was Sascha’s voice telling me that she’s done cooking.
  And we did the dinner. And I came home. And now im thinking the best way to break up with her peacefully.
  Karna gue tau, Sascha nggak akan mudah dalam urusan ginian. Gue  mungkin bakal jadi anak kesepian setelah putus sama dia, tapi gue juga males berurusan sama hal ginianP lus, gue emang udah lama pengen putus dengan berbagai alasan. You know, long-lasted relationship need a whole lot works to do; we need  to share things as much as keep things in order to avoid war or so; and I’ve got enough of those all. Gue pengen.. gue pengen buktiin ke Wina kalo dia kalo gue Cuma cinta sama dia. Dengan cara apapun, termasuk dengan lulus cepet dan balik Indo  cepet.
Kayak Wina masih mau sama lo aja, Das. 
1 note · View note
fictionframe · 11 years
Text
Dasa&Wina - going apart [14]
Tumblr media
Wina
  Pukul satu malam. Jam 9 malem tadi aku baru balik nganterin dasa ke bandara, bareng keluarga kecilnya. Sedari pagi aku udah di rumahnya buat bantuin dia beres-beres dan get along with his family. Kita makan siang bareng, ke makam kerabat (masih suasana lebaran) dan sempet didatengin sama beberapa sepupu yang masih stay di Jakarta. Most of them sekolah atau kerja di luar Jakarta. Ada yang sekolah di Aussie dan Singapur, ada juga yang kerja di berbagai kota di Indonesia, walaupun sisanya masih bertahan di kota besar ini. Im surely gonna miss that moment.
Jam lima sore kita berangkat ke bandara; aku, dasa dan kedua orang tuanya. Sepanjang perjalanan Papanya bercerita tentang masa-masa mudanya beliau, pacarannya, ngerintis kerjaannya, yang ditimpali oleh Mamanya juga Dasa. Aku Cuma bisa iya-iya dan ikutan ketawa aja. Keluarga ini hangat banget…
Sesampainya di bandara… air mataku uah ada di pelupuk mata. Setelah dasa berpamitan dengan kedua orang tuanya, ia menghampiriku. Ia hanya melihatku, melihat mataku, dan memelukku.
“baik-baik ya Win.. aku bakalan kangen kamu banget… janji untuk jadi mandiri ya disini..,” katanya lembut lalu hendak melepaskan pelukannya. Aku mencengkramnya kuat.
“kamu baik-baik ya das disana. jangan… jangan lupain aku,” kataku  yang kemudian diikuti oleh beberapa tetes air mata. Ia mengelus rambutku pelan. Aku melepaskan pelukanku.
Ia kemudian berbalik, waved his hands and said say good bye.
Again, Das? I don’t know how to handle this, for once more.
“kalo jodoh nggak akan kemana kok, Win..,” kata Mama-nya lembut, sambil memeluk pundakku. That old mantra, again.. that old mantra that seemed to work on people.
Di dalam mobil kami hanya terdiam. Orang tuanya sesekali menanyakan kehidupan kampusku, namun mereka lebih sering tenggelam pada gadget masing-masing dan membicarakan perkara kantor dan agenda keluarga.
Aku masuk rumah setelah mobil hitam itu hilang dari pandanganku.
Dan empat jam kemudian, aku masih mengenakan baju yang sama, dalam posisi yang sama. Aku berbaring di tempat tidur, memasang headset, melihat langit-langit kamar dan sesekali mengecek handphone.
These few weeks are so much good. Jalan sama Dasa lagi, stargazing, ke tempat-tempat favorite kita dulu, ketemu sama keluarga besarnya, nonton rame-rame sama mereka.. even aku bukan lagi pacar resminya, aku bahkan ngerasa lebih deket sama dia dari sebelumnya. Dia cerita soal kuliahnya, soal keinginannya buat langsung S2, which is memperlama dia disana... dia juga cerita soal pengalamannya kerja di kantor papanya. Dia cerita tentang environment kantor yang sedemikian ribetnya.
Dia juga dengerin ceritaku tentang temen-temen kampusku, tentang Ghian yang suka minta balikan, tentang tugas-tugas kampus  yang kadang diluar akal banyaknya dan sempitnya deadline. Dia juga selalu dengerin cerita-cerita nggak penting-ku tentang hari itu, tentang kegagalan percobaan memasakku, tentang betapa Ayah dan Ibu suka dengan dia, after all this time.
Dan kami bercerita tentang dua tahun yang menghilang dari keseharian. Tentang dua tahun yang tersobek dari rangkaian buku cerita kita. tentang dua tahun yang sama-sama memperkaya pengalaman  tanpa satu dan lainnya. Dua tahun yang mungkin adventurous tapi hambar. Dan jika diminta untuk memilih memiliki dua tahun tersebut dan sebulanan ini, aku akan memilih pilihan kedua.
Dan baru beberapa jam menghilang dari peredaran, aku sudah ingin mencium bau parfumenya lagi, menggenggam tangannya lagi, memeluk lengannya lagi, mendengar lelucon garingnya lagi, mendengar nyanyiannya lagi, mengetahui mimpi-mimpinya lagi..
Dasa lagiapa? Aku kangen.. aku kangen banget das.. aku kembali menggenggam kalung  snowflakes yang terpasang manis di leherku
Dan aku membenamkan kepalaku sedang air mataku membawaku ke mimpi-mimpiku tentang kamu.
    Dasa
  Ninggalin Jakarta nggak pernah gampang buat gue. Selain kotanya yang emang udah jadi tempat tinggal sejak kecil, orang-orang didalamnya bener-bener bikin gue cinta. Tinggal sama keluarga sendiri itu ternyata bener-bener nyenengin ya. Walaupun gue jarang ketemu ortu  lengkap dan lama, tapi gue masih bersyukur gue bisa sekali-kali sarapan atau dinner dan ngomongin hidup gue, hidup mereka and in between those all. Antara termotivasi dan ada beban tersendiri untuk bisa memenuhi ekspektasi mereka, untuk balikin modal  mereka, untuk bikin mereka bangga.
Dan disisi lain, ada Wina. Cewek favorite gue sejak SMA. Cewek yang bikin gue suka ilang akal sehat karena kata-katanya, mimiknya, dan segala perasaan yang dia bagi ke gue. Dia surprisingly ngasih gue jam tangan kemaren, hadiah ulang taun katanya. Gue nggak nyangka dia masih bisa ngasih gue kado, masih inget aja sama gue, dia bener-bener beli di bulan Juli! Hahaha se-seneng itu gue, abis liat tanggal di kartu garansinya. Dan kebetulan banget, atau emang takdir, kalo gue suka sama jam-nya..
Menurut gue, orang yang bisa bikin kita seneng Cuma orang yang bener-bener tau kita, tau apa yang kita suka dan enggak, orang yang mau usaha untuk cari tau dan ngasih apa yang kita butuh. Dan secara kebetulan Wina masih memenuhinya, setelah tahun-tahun ini. mungkin ini nggak kebetulan, mungkin gue harus lebih percaya sama takdir; that fate is the thing that brought us here again, after all.
Gue melihat layar ipod. Memutar asal lagu, dan rasanya semua yang gue lakuin sama Wina ke-rewind. Tentang pertemuan kita yang awalnya nggak enak, ajakan gue ke buka bersama kantor yang bikin dia agak nggak nyaman,jalan-jalan ke tempat makan favorite kita waktu SMA, stargazing ke bandara yang ternyata nggak seindah yang gue kira but still fun though, acara-acara keluarga gue yang dia hadiri sepanjang lebaran, kunjungan gue kerumahnya dia waktu idul fitri, dan masih banyak cerita dan suara dia yang masih terekam dengan baik di kepala gue. Jauh lebih indah daripada music new found glory yang sedang aku dengarkan.
Wina masih se-sweet dulu, masih se-perhatian dulu, masih se-menyenangkan dulu.
Tapi hubungan gue dan Wina hanya akan terbawa entah kemana. Dan masih ada Sascha.
Gue hendak mengambil permen di saku jaket, ketika gue nemuin ada kertas yang dilipat kecil. Gue buka dan ternyata isinya adalah beberapa paragraf. ‘Hai Dasa…’ tertera di paling atas.
  Hai Dasa..
Mungkin waktu kamu baca ini, kamu udah di pesawat, di ruang tunggu, atau dimana aku nggak tau. Aku pengen ngasih surat ini secara langsung tapi nggak tau gimana cara ngasih-nya. aku nggak pengen keliatan kayak anak SMA yang hopelessly romantic ngasih pacarnya love letter. Lagipula aku pengen ngasih kamu a little surprise, semoga ini berhasil bikin kamu surprised.
These weeks are awesome. Terimakasih udah balik ke Jakarta dan sering-sering main sama aku. Aku tau, mungkin it doesn’t mean anything buat kamu, mungkin ini Cuma perasaan bersalahmu sama aku atau mungkin kamu Cuma kesepian and got no one else selain aku untuk diajak hang out, but I don’t really care. Aku seneng kamu masih inget aku dan masih bikin aku one of your top priorities so far here. Thank you..
Terimakasih juga acara stargazing plus liat pesawatnya di bandara. Aku suka banget. Thank you juga udah dikenalin lagi sama keluarga besarmu yang makin banyak dan makin ramah sama aku. Makasih udah sering dateng kerumah bawa makanan, ngobrol sama Ayah dan Ibu.
Makasih juga udah selalu ada buat aku sehabis aku putus, itu. That was a rough one, tapi kamu selalu ada. Makasih udah jadi pacar bayangan, kakak, sahabat, dan semua role yang aku butuhkan at that moment. Man, you’re never be irreplaceable, that way.
Sekarang kamu pergi lagi, taun depan mungkin kamu bakal sibuk sama research thesis kelulusan, taun depannya entah kamu sibuk kelulusan atau bahkan udah sibuk apply S2, seperti yang udah kamu jelasin ke aku kemarin. Mungkin, kita nggak akan ketemu lagi dalam waktu yang lama. Atau mungkin 6 bulan lagi kamu balik kesini untuk ngurusin apa aku nggak tau. Kita nggak akan tau kapan lagi kita ketemu, dan dalam keadaan apa itu. So today, im so grateful we had a really good time back then. That you were here, and I was here, and we got enough time to waste.
So, as the fate brought us here together, I wish fate will bring us together also in the future. I don’t know when and where and how and all, I just wish I could live up my dreams with you. Do you wish the same? *crossing fingers* : )
so, have a real good life there! Take chances, do your best, inspire others. You have all the capability and ability to strive your best, to achieve the highest, to make the best out of you. I don’t talk crap, I really believe you are that good.  Even if it’s my own fantasy, please live it up, please don’t ruin it. Please be the most awesome guy I’ve ever known. Make me proud dude.
  As people fall in love, people can also fall out of love. But the funny thing is, this distance and this long period of time cannot change the fact that the feelings I have for you is still the same. That butterflies in my stomach fly so hard when you’re around; thought they love you more than I do. Sekarang aku percaya bahwa hati itu emang dipilih, bukan memilih=]
Im not gonna ask you about yours; your feeling so far. Im afraid I’m not ready to hear the worst. I just want you to know that you really have a great skill to make one’s heart happier like she never felt before.
So, thank you again.
    A mind may forget a thing but the heart would never fail to feel..
yours,
Wina.
    Nafas gue sesak. I feel that again; like my heart’s slowly cracking. Kenangan-kenangan itu balik lagi dengan nada yang lebih menyedihkan; bahwa mungkin gue nggak akan ketemu Wina lagi dalam waktu yang lama, bahwa mungkin good days yang kita lalui beberapa minggu ini nggak aka nada artinya lagi dalam beberapa waktu kedepan.
And I love you Win..  I love you more than you’ve ever thought.  Cuma.. Cuma aku takut aku nggak bisa bertanggung jawab atas kalimat itu dan malah ninggalin kamu lagi disini sendiri mikirin aku. Walaupun aku pengen.. pengen banget…
Tumblr media
1 note · View note
fictionframe · 11 years
Text
Dasa&Wina - counting the days [13]
Wina
That was Tuesday. Aku nemenin Dasa ke toko buku kesukaannya. Waktu aku Tanya kenapa dia cari buku internasional di Indonesia, dia Cuma ngeliatin aku lama, terus senyum, dan balik nyari buku kesukaannya. Aku mulai terbiasa sama hobi barunya, menyimpan kata-katanya yang minimalis itu, lalu mendengarkan versi lengkapnya ketika aku dan dia bener-bener lagi ngobrol.  Aku memutari ruangan. Dia melihat bagian business/management/leadership, and I know nothing about it. Aku berjalan kea rah alat tulis warna-warni.
Mataku melihat berbagai peralatan tulis itu, tapi pikiranku mengelana entah kemana. Idul Fitri sudah lewat empat hari yang lalu. Kemarin, aku sudah berkunjung ke keluarga besar Dasa yang sedang berkumpul di puncak. Tinggal menghitung hari sampai Dasa kembali, kembali pergi. Tiga hari, kalau aku tidak salah hitung.. tiga hari lagi…
Lalu sebuah tangan memeluk leherku dari belakang,membuyarkan lamunanku. Aku mengenali postur tubuhnya, aku mengenali bau rambutnya.
“sakit, Das. Apaan sih ini hahaha.” Kataku sambil melepaskan tangannya dan berbalik. Ia menatapku sambil tersenyum.
“yuk, kita makan?”
“udah bukunya?” kataku sambil berjalan mengimbangi langkahnya. Dia hanya menunjukkan buku yang disampul plastic rapi, tanda masih baru. Ia membuka pintu mobil dan kami mengarah ke kiri. Tebakanku kita bakal makan di makanan jawa kesukaannya.
Dan benar, kami berhenti disini. Tempat ini dulu masih kecil, mau cari parkir aja susah banget. Sekarang udah luas, rasa jawa-nya makin kenal dengan tambahan detail kayu. Jauh berbeda ketika aku terakhir kesini.
Dia memesan nasi kuning kesukaannya. How could time not even change you a bit? How could you stay the same as the last time we met? Aku menundukkan kepala, dan dia kembali mengelus rambutku pelan.
“makasih ya, udah jadi tour guide yang baik..,” katanya pelan.
Aku mendongak. Itu yang sedari kemarin aku pikirkan.
“lupa aku, aku kan Cuma minjem kamu dari your current pretty girlfriend outta there..”  kataku berusaha datar, tapi aku yakin aku… tetap bernada ketus, sedikit.
“maaf, Win.” And I hate Dasa for being Dasa. For have never changed, a bit. For apologizing without really feeling sorry.
“maaf aja nih, Das..” kataku tak acuh. Aku kemudian meneggelamkan pikiranku pada makanan di depan mataku. Aku menyelesaikan makananku kurang dari 15 menit.aku terlalu fokus pada apa yang ada dihadapanku, aku tidak mau memberi tempat pada pikiran-pikiranku untuk merusak hari ini. sampai kamudian aku harus menatap Dasa lagi.
Selama hampir sebulan Dasa disini, aku Cuma ketemu dia seminggu sekali atau seminggu dua kali. Tapi rasanya itu lebih dari cukup untuk menumbuhkan kembali rasa yang memang tidak pernah benar-benar mati ini. belum.
“aku juga heran sama diri sendiri Das. Aku tau kamu bakalbalik, kamu bahkan masih jadian sama pacar kamu, masih sering PDA di sosial media sama dia, tapi aku tetep mau aja kamu ajak jalan, holding hands, berduaan, dinner sama keluarga besar kamu, ketemu sepupu-sepupu kamu..even aku kangen sama ramenya mereka, tapi rasanya.. “ aku sampai malas melanjutkan kata-kataku. Aku tau ini salahku, aku yang membiarkan otakku memutar kembali kenangan-kenangan lama itu, membiarkan rasa dari masa lalu mulai merayapi hatiku lagi.
“I don’t mean that way, Win. Aku nggak maksud kayak gitu.. I just missed you, all the time. Lagi pula.. kalo aku putus sama dia.. dan balikan sama kamu.. apa iya, kita bisa jalanin relationship kayak dulu lagi? wasn’t that enough?”
For you, Das. Tapi buat aku, there’s never been enough for us. Aku mau kamu, aku Cuma mau kamu sekarang, dan besok, dan besoknya lagi, dan setiap hari. Beberapa hari ini aku gelisah Cuma untuk mikirin hal kayak gini. Satu-satunya alasan kenapa aku nggak jadi orang gila yang ngunci diri di kamar abis putus sama Ghian adalah karena ada kamu, Das. Dan sekarang.. aku harus berjuang sendirian, lagi?
Aku cuma memandanginya dalam diam. Lalu tanpa sadar air mataku terlihat di pelupuk mataku.
Dasa buru-buru ke kasir, membayar pesanan kami, lalu menggandeng tanganku kuat kea rah mobilnya. Aku mulai menunduk dan air mataku jatuh pelan-pelan.
“aku nggak mau kamu pergi lagi, Das. Sakitbanget rasanya. aku nggak mau..” rengekku, air maaku mulai berjatuhan.
“Win.. kalo ditanya mau apa enggak, siapa sih yang mau jauh dari keluarga, dari temen-temennya, buat sendirian disana, belajar susah-susah, pake bahasa lain, makanannya tawar, musimnya ganti-ganti mulu. It wasn’t easy for me either. Tapi ini demi masa depanku juga Win. Who the hell says it’s easy? Aku harus bangun awal buat bikin sarapan, beres-beres, I even do the laundry.  “
Ia mengambil nafas, mengambil jeda panjang. Sedang aku masih menunduk, dan sesekali air mataku jatuh.
“dan aku pengen banget bisa jadi pacar kamu, Win. Bisa jadisatu-satunya orang yang kamu andelin, tapi aku nggak boleh egois, kan?”
At this very second you are being a fucking egoistic dickhead, don’t you see?!
  Dasa
  Gue nggak tau kenapa sejak gue balik dari Amrik, gue sering liat Wina nangis. Gue ngerasa gagal sebagai cowo yang ada disebelahnya dia. Even gue udah kenal dia dari lama, gue tetep bingung kalo dia nangis. Gue bisa apa?
Dan membahas ini lagi, relationship lagi. dia tau, harusnya dia tau kalo yang selama ini bener-bener gue suka Cuma dia. Yang bener-bener bisa bikin gue nyaman Cuma dia. Dan Sascha.. dia..
“aku nggak boleh egois, Win.. kalo sekarang aku putus sama dia, kita jadian, kita coba LDR sekali lagi, tapi aku nggak bisa disamping kamu, nggak bisa jagain kamu, nggak ada kalo kamu tiba-tiba butuh.. aku harus gimana? Kamu gimana?”
Gue mangambil jeda, sambil melirik kea rah Wina. gue masih menimbang-nimbang, apa yang gue bilangini benar? Apa Wina sakit hati sama omongan gue?
“mungkin ini kedengeran kayak the biggest bullshit on earth, tapi aku beneran, Win. Kita sekarang realistis aja. LDR duabelas jam itu nggak mudah sama sekali. aku nggak mau kamu terjebak sama hubungan kayak gitu sama aku. Akupengen kamu bebas, punya kesempatan untuk have a relationship with a real guy.”
“hh..bohong.jujur ajanggak papa kok, Das.. Kamu sama aku disini Cuma karna kesepian aja kan? Padahal sebenernya perasaan sama pikiran kamu udah di US aja.”
And it hurts me, Win. Apa iya guekayak sedangkal itu?
“Win.. kenapa kamu bisa bilang gitu? You have no idea how much it hurt me when we broke up. Aku jadi anak kamar yang nonton film-film seddih dan dengerin lagu-lagu the script sama bon iver… I was that mad. Selama ini aku ngelewatin banyak momen sama kamu, Win. Gila ya. Nggak mungkin aku bisa secepet itu, segampang itu lupa sama kamu. dikira gampang, win? Lagian kalo kesepian aku masih ada bang Taja sama si Bagas, dan sepupu-sepupuku yang lan.  Win.. aku sayang sama kamu. you know that..”
Gue rasa gue agak lepas kontrol. Gue nggak lagi jadi Dasa yang tenang. Wina nggak pernah biarin emosi gue tenang, she’s my favorite adrenaline rush. Dia selalu bikin gue  khawatir, seneng, marah, dan gue Cuma bisa ngerasain fluktuasi emosi yang menyenangkan sama dia. She made me madly falling in love. Even it hurts, gue masih merasa seneng karna dia ada. Dia ada buat gue.
“for me it wasn’t easy either, Das. It gets harder on me sekarang. I fall in love with you, again and again everday. Liat kamu udah tumbuh jadi Dasa yang lebih dewasa, liat kamu lebih bertanggung jawab dan tenang.. liat kamu berkembang tapi masih tetap jadi Dasa yang sama. The more I know you, the more I fall in love with you. Cuma kamu yang bisa kayak gini. It gets frustrating, you know? To finally realize that we are not going anywhere, any longer. Kita Cuma buang-buang waktu berdua.”
Gue melirik kearahnya. Gue bisa melihat bekas-bekas air mata di pipinya. Kantung matanya membesar, matanya menyipit. Kalo gue bisa, gue pengen banget bikin waktu berhenti, dan gue bisa mandangi wajah ini terus, bilang kalo gue cinta sama cewek ini, sekali lagi, dua kali lagi, dan sebanyak-banyaknya sampai pita suara gue serak. I’m madly in love with you, Win. Now you’re my daily dose of happiness pill. How can I live without you?
“Win..nggak ada  yang namanya buang-buang waktu kalo itu sama orang yang kita bener-bener suka. Yang ada, kita bikin memori indah baru. Yang kalo emang nggak bisa diulangi nantinya, ya at least bisa kita inget-inget sebagai one of the sweetest moments in life. Itu baru yang namanya priceless. You are, priceless.”
Aku selalu berharap untuk bisa disin Win, jagain kamu, jagain mama dan papa yang makin berumur. Aku pengen stay disini, lupain semua susahnya hidup disana, dan bahagia sama kamu. tapi nggak bisa, kan? Aku nggak bisa disini. Aku nggak bisa enak-enakan disini dan lupa sama tanggung jawabku.
Diam-diam aku berharap, semua usahaku disana terbayar dengan masa depan yang lebih baik disini. Sampai saatnya nanti tiba, sampai aku bisa melamar kamu dengan cincin yang bener-bener bagus.
Walaupun detik ini juga, aku masih melihat tanganmu diam-diam mengusap air mata di pipi kanan kamu.
Maaf, Win. 
1 note · View note
fictionframe · 11 years
Text
Wina - enough [12]
“makasih ya, Das, buat malem ini.” Kataku sambil memegang cup berisi iced chocolate. Kami duduk di pinggiran sebuah café di pelataran bandara sambil melihat langit.
“shooting stars banyak, tuh.” Katanya tanpa menggubrisku.
“haha apaan, pesawat kali Das..”
“yaudah lah, anggep aja gitu. Mumpung banyak, siapatau wishesnya beneran bisa terkabul. Kamu biasanya percaya gituan?”  katanya, tampak menghakimiku.
“dulu waktu SMA kali das.. udah lama banget. Sekarang mah tanpa bintang jatuh juga impian bisa terwujud kalo kita usaha keras dan lucky enough.”
“haha, you’ve grown up.”
“kamu kira aku bakal stay jadi anak SMA yang lugu? Haha ya kali…” kataku lagi, mengawali keheningan panjang antara aku dan dia.
Aku melihat kearah langit yang  malam itu sedang cerah. Jarang-jarang musim hujan gini langit bisa bersih dari sapuan awan mendung. Beberapa bintang terlihat jelas ditemani oleh bulan yang membentuk huruf C bikin langit jadi lebih ramai dan.. indah.
“aku udah putus sama Ghian, Das..,”kataku pelan, sambil menunduk, bahkan hampir terdengar seperti berbisik.
“ha? Kapan?” katanya cepat. Ia meletakkan tangannya di bahuku. Aku tau, dia ingin memperlihatkan supportnya.
“kemarin.. kemarin sore..  kemarin sore baru dia mau setelah aku mohon-mohon dia buat udahan. I’ve got enough of him..”
Dasa mengelus lembut bahuku.. aku masih menunduk..
“dia jahat, Das.. dia cuek banget akhir-akhir ini.. dia sering kepergok jalan sama adek tingkat.. temen-temen udah sering ngingetin aku dari dulu tapi aku nggak peduli, Das.. Dulu dia masih bisa baik banget sama aku, jadi nggak masalah.. Apalagi, dulu.. dulu waktu kamu ilan, dia terus-terusan ada buat aku. Aku utang banyak sama dia..
Tapi aku juga capek sedih terus. Capek mendam sendirian. Capek bilang ke dia kalo dianya Cuma bisa denial sama minta maaf terus. Capek karena dia nggak pernah berubah.. aku emang jauh dari sempurna, aku nggak bisa apa-apa, Das.. tapi kenapa dia harus merlakuin aku kayak gitu sih? Kenapa dia bisa aja gitu nganggep aku seolah-olah nggak ada kalo kita lagi di kampus… malahan dia.. di..” aku nggak mampu melanjutkan kalimat-kalimatku. Air mataku mulai jatuh. Aku menunduk lebih dalam. Aku memendamkan kepalaku, membiarkan air mataku mengalir lebih banyak lagi. nafasku mulai sesak. Aku mulai sesenggukan. Dasa mendekatkan duduknya padaku, ia mengelus kepalaku pelan, memeluk bahuku.
“udah, Win.. nggak papa.. everything’s gonna be ok. Semua bakalan baik-baik aja kok, eventually. Nggak papa, ya… nangis aja sekarang, mumpung aku masih ada. Besok-besok nggak boleh lagi..”
Kata-katanya menusukku lebih dalam.. kalo kamu udah balik kesana, dan Ghian udah nggak ada, aku harus gimana sama hatiku yang udah terlanjur berceceran ini?
“jahat Das.. kamu jahat.. Ghian jahat..” kataku putus-putus ditengah tangisanku.
“kamu pergi.. Ghian ada.. kalo ntar.. kamu pergi.. terus.. Ghian udah nggak ada.. aku harus.. harus gimana?”
“kamu nggak akan gimana-gimana, Win. Kamu anak mandiri. Kamu nggak akan kenapa-napa..” katanya, masih sambil mengelus pundakku.
Maybe I’ve gone too far by assuming that he’s gonna stay here or just… promise to be there for me whenever I need.
Rasanyahatiku remuk, bukan Cuma karna sadar bahwa satu bagian dari daily life-ku hilang begitu aja, bukan Cuma karena Ghian, tapi juga menyadari kalo Dasa bukan lagi jadi sesuatu yang bisa aku raih, bisa aku andalkan.
Dan sepanjang beberapa menit aku Cuma menangis dan mengumpat dan menyesali segalanya dan bubbling tentang apapun yang aku ingat tentang Ghian. Entah yang baik, entah yang buruk, entah yang sweet, atau yang paling menyakitkan sekali pun. Sekarang, semua terasa menyesakkan. Memori-memori indah itu menyakitkan karena sadar bahwa hal itu nggak akan terulang, sedang memori-memori sedih itu menyesakkan karena rasa sakit yang selama ini ada dan aku simpan sendiri pelan-pelan muncul lagi.
  Dan setelah ini pun aku harus mengembalikan laki-laki favorite-ku yang sedari tadi memeluk pundakku ini pada wanitanya? Oh God, could world be crueler than this?
0 notes
fictionframe · 11 years
Text
Dasa&Wina - love birds [11]
Wina
  Aku menyandarkan punggungku di sofa ruang tamu. I’m too early. Aku tersenyum kecil, merasa bodoh. Why such in a rush, Win? Dasa bahkan belum berangkat dari kantornya. Selama liuran ini, dia magang di kantor Papanya.. I pretty much proud of him.
He’s always be that good, and it’s not because he’s living in such a good environment. Waktu dia kelas 5 SD, perusahaan papanya hamper bangkrut. Ia harus mengalami masa-masa dimana para  petugas dari bank mendatangi rumahnya, ibunya menangis di tengah malam, dan papanya mabuk-mabukan. Dasa bahkan sempat dirawat oleh tantenya yang mapan tapi dingin. It was a tough time for him. Dua tahun kemudian, ia kembali ke rumah orang tuanya, bukan untuk menikmati kembali kekayaannya, tapi untuk melihat kedua orang tuanya bekerja keras mengembamlikan perusahaannya ke posisi awal. Dari situ Dasa jadi lebih determined, ditambah dengan egonya yang besar. He doesn’t really go along with people, he talks less, but he’s nice to people.
“10 menit lagi ya win. Udah siap?”
Sms Dasa masuk. Aku tersenyum lagi.
Ia mengetuk pintuku beberapa menit kemudian. Melihatnya menggunakan setelan kantor, walaupun sudah lebih dari 2 kali setelah acara buka bersama kantornya itu, tetap sajajadi  pemandangan baru buatku… he totally looks mature.
“siap ya Win?” katanya basa basi, lalu berjalan di sampingku, menuju motornya.
“we need to feel the air once more. Kayak waktu SMA dulu..” katanya sambil tersenyum menggodaku. Do we forget about our….curent relationships with… ok forget it.
Aku mengenakan helm merah itu lagi, mencengkram jaket cokelatnya, dan, seperti kata Dasa,  merasakan angin lagi. Aku memejamkan mata.
To be with the one you really love, to hug him from the back, to feel the air slips trough your hair, to say I love you without any voice’s out… can I capture this moment?
“tuh Win, langitnya lagi rame..,” katanya membuyarkan imajiku. Aku membuka mata.. aku lupa aku punya pemandangan seluas 360 derajat untuk aku nikmati, tidak sendiri, tapi berdua.
“iya… Das… Rame banget ya… ada bulannya juga! Yaampunwe’re so lucky! Eh untung kita lewat jalanyang gelap sepi gini ya.. bintangnya jadi keliatan banget!” kataku masih sambil menikmati ciptaan Tuhan yang luar biasa ini. How can a thousand lights from past can be this much hypnotizing?
“inget nggak das, yang dulu pernah kita bahas? Bahwa kita itu mensyukuri kematian bintang-bintang itu? Bahwa sebenernya kita suka sama sesuatu yang udah nggak ada?” kataku, sambil mengingat salah satu pembicaraan favoritku ketika kami SMA dulu.
“yaps, and they’re still pretty even they’re just memories waiting to fade away.”
Dan kata-kata itu menusukku tepat di dada. Apa dia membicarakan tentang kita? Aku terdiam lama.. aku memutuskan untuk melihat bintang dan kemudian menutup mata, merentangkan kedua tanganku.
“Win, tangannya! Kamu bisa jatuh.” Aku mendengar ada dominasi dalam suara. Aku berusaha untuk tidak memerdulikannya.
“it’s once in a life time Das… aku bisa sama kamu lagi..” kataku kemudian. Aku membuka mata,  meletakkan tanganku kembali ke jaket Dasa. Lalu aku sadar, menyadari betapa jauhnya perjalanan kami dan dia tidak seperti berniat untuk berhenti.
“mau kemana sih Das?” kataku akhirnya.
“your favorite place when you were kid?”
Ok, I had lots of favorite places when I was a kid, but this far… jalan ini..
“bandara?! You’ve gotta be kidding me… mau ngapain?”
“mau liat pesawat. “ katanya singkat.
0 notes
fictionframe · 11 years
Text
Dasa&Wina - our talks [10]
Wina
Pukul 10 malam. Teman-teman sudah bergegas pulang. Hanya ada aku dan beberapa panitia yang tersisa, membicarakan tentang masa SMA dan serba-serbinya. Dan masih ada Dasa. Sejak dia bergabung di meja kami, jantungku tidak bisa berdetak teratur. Ada bagian dari suaranya yang membuat dentuman ini merubah ritmenya, membawa desir hangat di tengah dadaku, membuat nafasku terasa lebih sesak dan otakku lebih waspada. Something about him I cant get rid off.
Aku lelah. Aku sudah mempersiapkan acara ini selama hampir 10 jam dan aku tidak bisa lebih lelah lagi karena respon simpatis tubuh ini. aku berdiri dan berpamitan. Aku menyingkir dari kerumunan itu setelah mereka akhirnya membiarkan ku.
Aku berdiri dibawah atap resto itu. Dua langkah lagi dan aku akan menyentuh butiran-butiran kecil gerimis itu. Tinggal dua langkah lagi, sampai satu lengan dingin menyentuhku. Aku reflex berbalik.
Dasa.
I cant make up my face. Aku Cuma bisa terdiam melihat matanya. Melihat wajahnya, betapa disana ada berbagai kata-kata yang siap keluar dari mulutnya tapi.. ia juga lebih memilih terdiam. Matanya. Matanya yang selalu terlihat menyenangkan dan meneduhkan.
Kemudian aku sadar dan melepaskan tanganku darinya. Jantungku kembali berlomba dengan entah siapa, berusaha mempercepat ritmenya. Fuck. I cant think anything.
“mau pulang Das?” kataku berusaha santai. What else to say?
“kamu gimana pulangnya?” katanya, masih dengan raut muka yang sama.
“hehehe naik taksi. Lagi mau nelfon, nih.” aku tersenyum mengakhiri kalimatku, menunduk, berusaha mencari handphoneku di tas.
Dasa berdiri disampingku. Melihat lurus kedepan, menyimpan kedua telapak tangannya di saku jeans birunya. My another favorite thing about him.
“nggak dijemput pacar, Win?” ia berbicara tanpa melihatku, sedikit ketus. Aku menolehnya sebentar, tidak habis pikir dengannya, can’t he talk nicely? I mean, we just met?!
“dia lagi packing, mau pulang kampung. Jauh juga ini dari kosan dia, kasian.” Kataku berusaha tak acuh sambil mengetik nomor taksi biru.
“katanya pacar, masa jemput kamu malem-malem aja nggak bisa?”
I stop typing. Aku bener-bener mendongak ke arahnya sambil melihatnya tidak percaya.
“kamu kenapa sih Das? Aku fine kok naik taksi,” aku melanjutkan mengetik 2 digit terakhir sampai handphoneku dia rebut. Fine. What’s this?
“aku anter aja. Nggak baik cewek malem-malem pulang sendiri.” Lalu dia menggandeng tanganku dan menarikku berjalan bersamanya.
“sakit, Das.” Kataku berusaha melepaskan tangannya… berusaha untuk beberapa detik pertama sampai aku sadar bahwa.. I miss holding hands with him.
Aku masuk ke mobilnya. Diam. dalam hati aku ingin merutukinya, marah-marah atas tindakan sewenang-wenangnya ini. tapi aku tahu, aku nggak bisa. I will always do what he wants me to do. I’m that much blinded by the feelings I had for him..
“maaf, Win.. aku Cuma nggak suka kamu pulang malem-malem, jauh, naik taksi. Siapa yang tau kalo taksinya mau ngapa-ngapain kamu? aneh juga sih pacar kamu. nggak kepikiran gitu apa dia?” Dasa… masih aja kayak dulu…
“maaf….,”
“what for? Kebiasaan kamu nih. Minta maaf terus padahal daritadi aku juga nggak nyalahin kamu… kamu nggak salah Win.. Cuma kamu bilang dong sama pacarmu itu. Jadi kamu dua taun kayak gini pacarannya? Makanya kamu tambah kurus gitu. Pucet banget...,” katanya sambil sesekali melihat wajahku. Das please stop..
“Das… kamu nggak perlu segitunya. Im fine, kok... hmm.. untung kamu ke amrik ya, Das. Kalo kamu masih disini, aku gimana mandirinya ya kamu manjain terus..” kataku pelan, sambil menunduk. Kata-kata itu keluar dengan sendirinya, tanpa aku bisa atur.
Dasa memperlambat laju kendaraannya.
“oh.. kamu bersyukur Win aku pergi?”
“kamu juga bersyukur kan, Das? Kamu juga udah bahagia kan disana?”
Dan kita masuk ke pikiran masing-masing. Hening. Mungkin pikiran kita terlalu liar untuk dibagi kepada satu dan lainnya.
“Das, kamu tau gimana aku sakitnya waktu kamu disana. Gimana aku ngrasa  ditinggalin banget. Gimana kamu segitu cepetnya dapet pacar baru.. you know that.”
“kamu juga kali win, cepet kan sama pacar kamu yang sekarang. You don’t suffer that much, don’t act like you’re the saddest one.” Katanya sinis. What’s wrong with you Das?
“nyesel gue ikut lo balik.” Kataku akhirnya.
“telat. Mau apa? Aku berhentiin di jalan kayak film-film drama kesukaanmu?”
Aku Cuma bisa memainkan handphoneku, menahan air mataku untuk tidak keluar. Rumahku masih jauh. What should I do?
“apa kita nggak bisa jadi temen baik, Das?” kataku pelan, masih menunduk. Air mataku akhirnya jatuh. Dadaku sesak. Gambar-gambar masalalu datang, bergantian dengan cepat, dari bahagia sampai hari-hari dimana aku tidak tidur menunggunya menjawab skype ku.
Dasa menoleh padaku, aku bisa melihatnya dari ujung mataku. Lalu ia kembali melihat kedepan.
“maaf, Win. Aku kelepasan. Aku…. Hm.. aku.. kangen win sama kamu, dan semaleman tadi kamu ngehindarin aku terus. Agak frustrating, tau…,” katanya lembut. I miss you even more, Das.
“aku bingung das.. aku takut aja. Kita nggak pernah temenan casual. Aku harus ngomongin apa sama kamu.. isi otakku Cuma pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu.” Aku melihat kearahnya. Aku melihat lekat wajah yang sering menyusup di pikiranku selama 2 tahun ini. iya, Cuma berani menyusup pelan, lalu hilang setelah aku sadar. Aku pikir aku nggak akan pernah bisa melihat wajah ini lagi dalam waktu dekat.
“Win.. masih aja? Masih aja mikir macem-macem? Control your thoughts. Kamu nggak harus membebani seluruh dunia di otakmu.”
Kenapa dia selalu… selalu bisa jadi yang paling tau aku..
  Dasa
dan dia masih aja jadi Wina yang selalu aku khawatirkan. Dia dan kerapuhannya yang nggak dia sadari, dia dan kepolosannya akan pikiran-pikirannya sendiri. dia yang daritadi nyuekin gue, dia yang dengan seenaknya nginjek ego gue. Gue, mantannya, dianggep kayak angin doang?
Jadi gue mutusin untuk nganterin dia balik. Lagian cowonya juga gimana sih, jelas-jelas Resto sama rumahnya jauh, cewek kecil gini, masa mau dibiarin naik taksi sendirian. Damn, Win. Harusnya gue bisa jadi pelindung lo. Bukan cowok ini.
Dan seperti biasa, ego gue nggak bisa gue kendaliin, dan sisi bodoh gue bikin gue marah-marahin wina for a while. Sampe gue liat dia nangis. Sampe gue sadar bahwa dia adalah Wina yang dulu, masih Wina yang dulu.
“berlebihan, Das. Aku nggak segitunya kok.. hehehe. I’m growing up, you know.”
What kind of growing up, you meant Win? Gue nggak mau. Gue mau Wina yang selalu bisa gue jaga.
“hahhaha, yaa… percaya aja lah. Udah 20 tahun kan ya. Eh.. mm.. Anyway coba dong win tolong buka dashboardnya.”
Tiba-tiba gue inget sesuatu… sesuatu yang..
“mau nyari apa Das?”
“udah cari aja kotak biru.”
Gue nggak pernah segugup ini lagi.. gimana  ya tanggepannya Wina..
“ haaa ini ya! Apa sih Das? Buka ya? Hehehehhee…”
“iya..  buka aja.. buat kamu Win..”
Lalu ia membukanya pelan, gue denger suaranya. Gue nggak berani melirik kearahnya. Gue.. gue takut liat raut mukanya. Gimana kalo dia nganggep gue norak?
“suka nggak?”kataku akhirnya.. sambil menoleh kearahnya. Wina… dia bener-bener Wina kesukaan gue yang dulu.. matanya berbinar-binar, senyumnya melebar, dan dia menggantungkan kalung itu didepan matanya. Gue tersenyum puas. Seneng, dia suka sama kado gue.
“Das… ini.. apa? Buat aku?” katanya, masih sedikit terbata,tanpa melihat ke arahku.
“late birthday present? Cantik ya. Aku inget kamu Win waktu liat itu.” Kataku jujur..  kotak itu sudah ada sejak pertama aku menggunakan mobil ini ke kantor papa. Berharap bertemu Wina entah dimana lalu memberikannya.
Empat lampu merah lagi sebelum sampai di perumahannya. Kenapa cepet banget sih?
“Das.. ini bagus banget… aku suka bentuk snowflakesnya. Kok … baik banget sih Das… makasih banget ya… aku.. aku simpen. Aku suka banget.. makasih Das..,” katanya sambil memegang pundak gue. Ada aliran hangat dari tangannya yang gue rasain sepanjang lengan kiri gue. How I miss this girl..
“sama-sama Win.. kado ulang taun tuh. Udah lama nggak ngasih kamu apa-apa, sekalian minta maaf udah marah-marah sama kamu tadi… dan taun-taun sebelumnya hehhehe. Seneng Win kalo kamu suka.” Kata gue balas tersenyum kearahnya.
“mm.. aku juga ada… kado buat kamu Das.. tapi .. tapi aku nggak tau kamu bakal dateng beneran, aku nggak bawa. Next time kita ketemu ya, ingetin aku.. hehehe.” Katanya malu-malu. Cewek gue banget, ini… hh.. males banget mikirin Colorado kalo gini ceritanya.
gue melirik kearahnya, ia masih memainkan liontin itu. Seneng banget bisa liat dia seneng karna apa yang gue lakuin. It’s priceless, though.
“hmm.. Win, rabu besok kantor papa mau ngadain buka puasa bareng, temenin aku ya? Aku sendirian nih, kamu tega liat aku gabung sok asik sama om-om tante-tante?”
“hahaha jam brapa? Boleh-boleh so far aku nggak ada acara kok. Ghian udah balik juga jadi..bisa-bisa…”
Are we really gonna talk about this, Win? You really wanna bring this topic? About your boyfriend?
“baik kamu sama dia Win?” mau sok peduli lo Das? Rrghh.. kenapa gue juga nanya-nanya gini sih..
“hehehe. Nggak tau Das.. menurutku sih.. our relationship’s dysfunctional sekarang. Kita masih pacaran Cuma karna it’s a comfort zone. Tapi yaudahlah jalanin aja.. aku juga masih belum bisa sendiri hehe.” Gue bisa denger nada agak canggung di Wina, dan sebelum gue ngomong apa-apa dia udah ngelanjutin omongannya.
“kalo kamu? masih anget ya Das? Aku suka liat twitter updates mu sama dia, pacaran mulu hahaha. Good deh. Kamukayaknya super sabar gitu ya sama dia..,” and I heard sort of.. jealousy? Dasar.. GR amat sih Das.
“hahahaha, ya… kalo nggak gitu nggak bisa langgeng…,” sok lu Das. Padahal lo sabar juga karna males berantem, karena lo nahan diri sendiri, karna lo males nunjukin diri lo yang sebenernya ke Sascha, karena lo acuh tak acuh sama dia. Sok bahagia lo Das.. padahal aslinya, Win.. kalo kamu tau..
I miss you and every words of our random conversation about world and the galaxy we’d always loved.
“wah.. senengnya hehehe..  eh ini ke kiri Das bentar lagi.. pelan-pelan..,” imajinasiku tentang masa lalu terhenti seketika. Udah sampe aja nih?
“udah nyampe ya Win? Hehe maaf ya tadi aku marah-marah sama kamu nggak jelas.. ketemu besok Rabu ya? Aku jemput jam 4an gitu?”
“apaan sih Das.. aku yang makasih kali.. makasih ya udah dianterin jauh-jauh gini. Hahaha siap! Kado juga yaa ingetin hehe takut lupa.. dah Dasa!” dulu, tiap mau balik, she kissed my cheeks. Sekarang gue harus puas sama waving hands-nya aja. How time flies.
“titip salam buat orang rumah, Win.. bye!” kataku sambil membuka jendela pintu kiri. Ia hanya mengangguk pelan lalu hilang dibalik gerbang rumahnya.
Dan gue di dalem mobil Cuma bisa mikir, gimana bisa dulu gue biarin cewek kayak dia.. suffering? 
2 notes · View notes
fictionframe · 12 years
Text
Dasa&Wina - temu [9]
Wina
Acara buka bersama seangkatan SMA adalah agenda yang nggak pernah aku lewatin. Sebagai mantan anggota OSIS, aku selalu ditunjuk untuk bantu bikin persiapannya. Kurang lebih 2 bulan aku dan beberapa teman yang lain berusaha menyiapkan buka bersama yang nggak hanya sekedar makan-makan, tapi juga bermakna bagi mereka yang datang jauh-jauh dari luar kota Cuma buat kumpul taunan ini.
  Bertempat di salah satu resto masakan Indonesia, acara itu pun digelar. Semua tampak baik-baik saja sampai beberapa hari yang lalu Ayu memberikan kejutan kecil untukku.
  “Dasa dateng kan, Win?” tanyanya ketika rapat terakhir kami telah usai. Jantungku berdegup kencang, tubuhku seperti bersiaga setelah mendengar namanya. Aku mendongak, menatap Ayu.
“hah? Hehe nggak tau Yu.. tapi dia kan di Amrik jauh banget gitu…” jawabku sambil tersenyum seadanya.
“lah, lo nggak tau? Kemarin si Bimo, cowo gue chat sama Dasa. Katanya Dasa balik… lusa apa ya, jadi mungkin minggu nya bisa dateng ke acara kita, Win. Eh serius lo nggak tau? Dasa nggak ngabarin?”
Aku masih terpaku menerjemahkan satu per satu kata-kata yang dikeluarkan oleh Ayu. Iya, Das? Iya, kamu pulang? Kenapa nggak ngabarin sama sekali? kenapa nggak.. hhh
“hehe enggak, tuh, Yu. Yaudah lah ya.. gue udah lama banget putus sama dia juga kok. Dia udah punya cewek gue udah punya cowok, ya kali kita masih mau kontakan hahaha.” Kataku datar, penuh sarkastik. Entah emosiku terpancing untuk siapa, tapi yang jelas aku tidak lagi baik-baik saja  ketika itu.
“eh… sorry sorry, Win. Nggak maksud apa-apa gue beneran..hehehe,” katanya pelan. Dan percakapan itu pun usai.
  Dasa… sudah berapa lama ya aku lost contact dengan dia? Ini akhir Agustus… dan.. 3 bulan? 4 bulan? Ha ha. Kontak kayak apa Win.. yang kamu maksud? Email-email nggak jelas itu? Telling you miss him but got him told ya he’s fine there? I’m afraid im the one who’s left here. Im surely have Ghian but things go rough lately. Makin lama hubungan sama Ghian makin berat. And I thank God makin lama aku makin bisa berusaha untuk mandiri lagi, cari temen-temen lagi dan merealisasikan impian-impianku yang tertunda. Tertunda karena selama ini aku selalu berusaha buat jadi pacar terbaik Ghian. Ok, I shouldn’t have used him as an excuse, but really. Aku bahkan nggak daftar exchange sama sekali disaat yang lain mulai disibukkan dengan apply sana sini karena dia minta aku selalu ada di sisinya dan.. aku rasa.. he deserves that. Until these past few months I found things messed up behind my back. Well I had wasted my time, then.
Sedikit lagi, sampai aku bisa bener-bener berdiri tanpa dia, and leave him gracefully. Coba Ghi, coba kamu baik-baik aja dan ganjen flirting sana sini, thought we could be a really great couple now.
  Dan omongan anak-anak tentang Dasa membuyarkan lamunanku. Aku duduk diantara teman-teman panitia yang sedang melipat undian doorprize. Aku Cuma duduk terdiam setelah tawaranku untuk membantu mereka ditolak mentah-mentah. They said he’s halfway here. Dasa. Jantungku berdegup lebih keras tiap aku mengingat namanya. Dasa… my highschool crush. So please admit, gebetan masa SMA emang punya cerita paling beda kan? Apalagi kalo udah jadi pacar hampir 2 taun kan? Apalagi kalo orangnya kayak Dasa dan.. ok stop it, Win.
  Sudah pukul 5 sore lewat. Setiap langkah dan suara berat membangunkan kupu-kupu di perutku, rasanya sedikit mual. Lalu hal tersebut tidak berlangsung lama, karena memang mereka semua bukan Dasa.
  Aku melihat diriku kecewa sekaligus lega menyadarinya.
  Sampai Tio tiba-tiba berteriak, “ Anjir Dasa, men!! Gue datengin dia dulu ya!” dan diikuti riuh teman-teman yang lain. Ketika itu yang datang baru sekitar 30-an dari total konfirmasi 150-an orang. Dan rasanya 30 orang tidak akan cukup menyembunyikanku. Entah bagaimana, rasanya dentuman keras jantung ini, sengal nafasku, dan kepanikanku telah menyembunyikan otakku dari kesadaran. Aku berlari ke kamar mandi, entah untuk apa.
  Aku membuka keran wastafel, mencuci tangan, mengambil sabun cair, membasuh tanganku, melakukannya berulang kali.. sampai aku lelah. Aku mendongakkan wajahku, melihat ke arah kaca. I can’t run, let’s deal with it. Aku memastikan riasan sederhana di wajahku masih terlihat rapi. Aku siap keluar!
Tidak. aku tidak siap sama sekali. aku menutup mataku, aku ingin menangis. Why on earth I wanna cry, anyway? Akhirnya, setelah 15 menit di dalam kamar mandi, sendirian. Aku memberanikan diri untuk keluar.
  Aku menundukkan wajah, membuka pintu toilet, dan berjalan cepat menuju ruangan pesanan kami. masih  menunduk, aku mulai masuk ke keramaian. Mungkin sudah ada 10-an tambahan orang disini. Dan saat aku menuju ke mejaku, kakiku tidak sengaja menginjak sepatu vans biru tua.
  “eh, sorry sorry… sorry ya Ndra. Hehe nggak sengaja…,” kataku tidak fokus setelah melihat Indra yang kuinjak sepatunya… dan orang-orang disekitarnya
Dasa ada disebelah Indra.
“haha it’s ok Win…,” kata Indra agak kikuk. Semoga ia tidak menyadari kekakuanku dengan Dasa detik itu. Atau dia merasakannya, juga?
Think, Win. Think. Think something.
Akhirnya aku mundur dan berbalik. Aku mencari meja lain yang masih kosong.
  Dasa is here. My Dasa. Di balik hem jeans, celana coklat tua, sepatu coklat muda, dan sebuah jam terpasang di pergelangan tangannya. Rambutnya dipotong pendek, rapih, jauh berbeda daripada 2 taun lalu, ketika aku terakhir kali bertemu dengannya. Kulitnya terlihat lebih cerah. Dan mata kami bertemu ketika aku sibuk memperhatikannya.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan.
I hope I’m not gonna get a heart attack.
    Dasa
  Setelah 2 hari gue mengalami jetlag yang amat parah, hari Minggu ini akhirnya gue bisa bangun jam 8 pagi buat nikmatin salah satu acara interview di Metrotv. Rasanya nonton tv lokal di kamar sendiri emang jauh banget bedanya sama nonton tv lokal lewat laptop di dorm.
  Tiba-tiba jantung gue berdesir lagi. today im gonna meet Wina. Gue bahkan nggak sempet kontak dia kalo gue balik. Gue nggak punya cukup kewarasan untuk bisa bikin kalimat pernyataan gue balik Jakarta. Gue udah cukup pusing dengan segala keribetan balik Jaks ini dan rasanya mikirin gimana ngabarin Wina bisa mengkalilipatkan keribetan idup gue.
Dan sekarang gue jadi nyesel. Mungkin kalo gue ngabarin dia, gue bisa janjian ketemu sama dia, atau ngapain gitu, kerumahnya, jemput dia buat ke acara SMA bareng, atau apa.
Ngaco lu, Das. Siapa lo sih? After 2 years, otak lo balikin gih ke tengkorak.
  Gue bales line dari Sascha yang udah nggak keitung banyaknya itu. Jetlag beneran bikin gue ngantuk mulu, ditambah suasana rumah yang jauh dari produktif.
Pukul 3 sore gue udah siap berangkat. Perjalanan satu setengah jam ditengah kemacetan pulang kerja harus gue tempuh, and I kinda miss that thing.
Dan benar, hampir 2 jam gue terjebak di kemacetan Jakarta yang kadang nggak ada nalarnya. Di sepanjang jalan gue Cuma bisa grogi mikirin scenario ketemu Wina, yang selalu gue coba ilangin dengan mengeraskan suara radio. Tapi beberapa saat kemudian, pikiran-pikiran itu muncul lagi.
Udah lah, Das. Lo ganteng kok. Lo kuliah di Amrik. But will Wina give a damn about that? Hah.
Aku memacu mobilku di jalan tol ini. kewaspadaan yang mengambil alih pikiranku bisa jadi obat penenang sementara. Sampai mobilku mendekat ke venue.
Fuck.
 Win lo ada apa sih bisa bikin gue gini setelah hampir 2 taun kita putus, setelah lebih dari 2 taun kita nggak ketemu?  Bahkan setelah gue punya pacar sekelas model bintang ftv?
  Gue keluar mobil dan beberapa saat kemudian disambut sama tereakan si Jono.
  “brooo!! Anak Amrik akhirnya balik juga! Pakabar, Das?”
Dan diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan serupa oleh beberapa orang yang ada di belakangnya. Gue masih inget wajah-wajahnya, tapi ada beberapa nama yang gue bahkan nggak inget sama sekali. gue diajak masuk ke ruangan yang cukup besar, yang katanya dipesan khusus untuk angkatan gue. Nggak heran, bayarnya lumayan untuk ukuran buka puasa bersama.
Dan selama gue memperhatikan sekeliling, gue mencari wajah malu-malu yang selalu jadi favorit gue. Dan gagal. Rasanya pengen nanya ke semua orang tentang Wina, tapi rasanya ditengah crowd kayak gini dan rentetan pertanyaan tentang my current college life itu jadi impossible.
Lalu suara itu mengusik pikiran gue, reflex gue noleh.
Wina.
Dia sibuk minta maaf sama Indra karena… gue juga nggak tau. lalu tiba-tiba dia ngilang sebelum gue bener-bener sadar. Win.. gue disini Win..
Damn. Gue langsung mengalihkan pandangan gue. Ada rasa sesak, sedikit, di tengah dada gue.
  You’ve got to get over her, long long time ago, Das. 
0 notes
fictionframe · 12 years
Text
Dasa&Wina - way back [8]
Dasa
Pagi, jalan menuju Denver! Udah sekitar satu jam gue di mobil bareng Sascha dan supirnya dari Springs ke Denver. Gue cari tiket yang lebih murah, jadilah gue harus ke Denver dulu. Sepanjang jalan gue nikmatin kekayaan alam Colorado ini. gue kira gue bakal kuliah di tempat sophisticated masa kini banget. Taunya, daerah ini lebih banyak magnetnya ketika gue buka jendela. Disini, gue suka road trip muter-muter liat pegunungan dan temen-temennya. Sebenernya, hidup disini lumayan tenang. Orang-orang punya kesibukan amsing-masing tapi nggak keberatan untuk saling bantu. Futuristiknya Amrik dibanding Negara-negara lain juga masih terasa. Bedanya, disini hingar-bingarnya nggak separah Jakarta. Or I just haven’t tasted it yet? Mahasiswanya on time, nggak suka males-malesan all the time, dan international studentnya kadang lebih pinter… dan sering bikin gue minder sendiri. Tapi asiknya itu maksa gue buat belajar lebih lagi.
Perjalanan panjang ke airport udah cukup ngasih waktu gue untuk nafas lebih teratur lagi, mikir lebih jernih lagi, dan akhirnya bikin gue lebih relax. Banyak hal yang berkecamuk di pikiran gue. Banyak banget. Ada excitement yang luar biasa besarnya, tapi ada kekhawatiran yang diem-diem bikin gue kepikiran juga Apakabar Indonesia? Apakabar keluarga gue? Masihkah nyokap sibuk? Masihkah bokap konsen ke kerjaannya? Apakabar bisnis keluarga? Apa keluarga besar lagi akur atau lagi ada perang-perang kecil seperti dulu waktu aku SMA?
Gimana Wina?
Rasanya, gue selalu berusaha membuat nama itu tenggelam diantara ingatan-ingatan gue yang lain, tapi dia muncul perlahan dan nggak bisa gue elak lagi. gue mau tau gimana dia.
Enough, Das. This is ridiculous.
Sascha memeluk tangan gue, lalu menyenderkan kepalanya di bahu gue; posisi kesukaannya so far.
“Das, kamu nanti berhenti dimana aja?”
Aku mengingat-ngingat lagi.
“kayaknya di LA sama KL doang sas.. kenapa?”
“enggak.. kamu nyampe hari jumat ya berarti? Tepat 24 jam?”
“kayaknya gitu, ya 24 jam kurang beberapa menit… berhenti di LA 3 jam-an, di KL 3 jam-an juga. Facetime ya ntar?”
“iya.. mau, mau banget. Nanti kamu kabarin aku aja yaa.. yah, kita jadi kayak LDR dong..” kata Sascha manja.
“nanti kalo aku nggak kuat puasa gimana, Das? Disini kamu bawel banget ngingetin aku puasa, bangunin aku saur. Kalo kamu disana aku gimana? I hate long distance relationship! Even it’s not permanent.. satu bulan itu lama loh Das..” lanjutnya. Sudah beberapa hari ini aku memaksa Sascha untuk rajin puasa Ramadhan. Sekali setaun ini..
“ntar aku bakal tetep ingetin kok, sayang..,” kataku lembut.
LDR… lagi? doain gue kuat ya, Sas.
Anjir lemah banget lo Das. LDR sebulanan doang. Setia man, setia! Ah, mau ngapain juga lo di Jakarta. Nggak ada apa-apa juga. Paling-paling sibuk bantuin ngurusin bisnis bokap juga. Planning bokap banget nih, bikin gue magang di kantor doi selama puasa ramadhan ini. Biar gue lebih ngerti kantor, katanya. Yah, dan gue sebenernya sangat kepikiran sama hal itu; gimana kalo setelah hampir 2 taun gue disini, gue masih belum bisa bantu banyak? Gimana kalo gue masih belum banyak ngerti sama a thing called business?
Gue memejamkan mata sebentar.
“Sayang, bangunin ya ntar kalo udah sampe, aku ngantuk. Bangun jam 4 pagi tadi. Kalo nggak ntar aku ketinggalan pesawat lho..,” kata gue setengah bercanda.
“sure, Das… asal kamu balik tepat waktu dan tepatin janji kamu aja..” tangan Sascha masih sibuk mescroll layar iphonenya.
Gue melek lagi.
“janji yang mana Sas?”
“untuk nggak ketemu Wina disana.” Mata Sascha masih terpaku pada iphonenya, tanpa melihat gue, entah kenapa.
Tanpa melihat perubahan wajah gue.
“I think I’d rather make you miss that flight than imagine Wina being with you there…,” katanya lagi pelan, dan suaranya bahkan hampir tidak terdengar.
Ada desir yang nggak bisa gue jelasin, yang saat itu gue rasain ketika Sascha ngomong. The thing you cant imagine is the thing that I’ve been wanting for all these years, Sas, actually.
Dan janji itu…
Apa iya, Das lo pernah janji gitu?
Apa iya, lo pengen nepatin janji itu?
Gue mau banget ketemu wina… walaupun kemungkinannya Cuma 1 banding 1000 kemungkinan, ditengah padatnya kota Jakarta dan padatnya Jadwal gue.
Tapi jadwal Wina kosong kan, ya?
Wina
  Akhir-akhir ini, rutinitas buka handphone ketika bangun tidur tidak semenyenangkan dulu. Sparkle itu hampir hilang. Dan memang itu yang aku niatkan.
Setelah lama berfikir, aku sadar, bahwa Ghian memang seperti itu adanya. Dia baik, super baik, tapi sayangnya itu ia lakukan pada siapapun. Walaupun begitu, aku tau, dia Cuma sayang aku. Aku tau, betapa dia selalu mengkhawatirkan aku, bagaimana dia kalut ketika aku menangis malam itu, meminta menyudahi semuanya karena memang saat itu aku merasa sudah sangat cukup dengan segalanya.
Tapi.. apa iya, cinta itu ada memang hanya untuk dirasakan diri sendiri dan bukanya dibagi? Seberapapun besar perasaan Ghian untuk aku, dengan segala yang telah ia lakukan selama ini, rasanya hal itu hanya meninggalkan perasaan sedih buat aku. Imagine it; you’re loved, you feel loved all the time, but at the same time, he shows little cute nice gestures to other girls. Rasanya sama aja kayak jaman pdkt-pdkt SMP; abis ditinggiin, terus dijatuhin.
But I can’t be without him.
My college life has been all about him. Kampus yang mahasiswanya Cuma 110 ini juga bikin jarakku da dia nggak pernah bener-bener jauh. Menyerah sekarang dengan risiko lebih sakit hati lagi nantinya bukan pilihan yang bagus untukku. Biarkan rasa ini habis dulu, biarkan aku berhenti menginginkannya dulu.
Rasanya aku mulai kebal. Rasanya, sms-sms dan segala komunikasiku dengan dia hanya sebatas formalitas buatku. Aku masih sok manja, masihmemberinya sejuta perhatian, but in purpose; untuk bikin dia seneng. Not because I really want to. Menyelesaikan sesuatu itu mudah, the hardest part will be right after it. Aku ingin memastikan bahwa sebelum semuanya selesai, perasaanku sudah habis dengannya atau jika aku cukup beruntung, aku bisa memperbaiki semuanya.
Aku nggak mau secara impulsive memutuskan hubungan tanpa tau cara survive, seperti dulu dengan Dasa. Rasanya cukup remuk dan aku nggak mungkin mau merasakannya lagi. egois? Ini namanya misi penyelamatan diri.
Walaupun dengan Ghian, menjalani proses penghabisan perasaan itu sama sekali tidak mudah, tapi memperbaiki semua ini juga tidak kalah sulit. Broken promises, lies behind lies, kepercayaan yang sudah entah kemana, kesabaran yang sudah sering hilang kendalinya…. Atau itu semua Cuma excuses yang aku buat sendiri?
Aku terlalu mudah menyerah. Aku takut, the more I feel it the more I cant handle it, the more I press the button ‘self-destruct’. Dengan Ghian, awalnya semua terasa menyenangkan and it was all almost perfect. Aku sampai lupa, bahwa segala yang di dunia itu tidak ada yang sempurna..
Hampir 4 bulan ini minggu-mingguku dengan dia penuh dengan kata-kata curiga, ngambek-ngambek nggak jelas, uncountable tears on the pillow. Sampai beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk berusaha melupakan segala permasalahan-permasalahan itu, pura-pura tuli terhadap omongan luar dan pikiran burukku sendiri, berusaha mengembalikan suasana setaun yang lalu.
Lagi pula, sebenarnya hal-hal ini sudah ada sejak dulu. Tapi dulu rasanya aku terlalu dibutakan dengan sosok sempurna darinya, terbutakan oleh kesempurnaan hari-hariku dengannya. Sempurna karena rasanya, kegilaanku atas kehilangan Dasa akhirnya berangsur menghilang juga.
Apakabar ya Dasa?
Sudah beberapa hari Ramadhan tiba, apa dia bakal balik idul fitri ini?
0 notes
fictionframe · 12 years
Text
Dasa&Wina - Home, maybe. [7]
  Wina
  Halo, Dasa, apakabar?
Udah hampir 2 taun ya kita nggak ketemu.. masih inget sama aku nggak?
Hujan lagi, lagu-lagu Coldplay lagi. inget nggak, waktu trip ke Bandung kita yang pertama, waktu aku ulang taun, pake mobil papa kamu, gerimis seharian di jalan dan kita Cuma muter satu CD mylo xyloto yang baru kamu beli buat sepanjang perjalanan? Yet we never felt enough of it.
Aku kangen….
Aku pikir dengan jadian sama orang lain, aku bisa ilangin kesepian tanpa kamu. Dengan jadian sama orang lain, aku bisa jadi lebih hidup, sehidup waktu aku sama kamu. Dengan jadian sama orang lain, aku bisa cinta sama orang seperti waktu sama kamu.
Tapi ternyata dengan jadian sama orang lain, aku jadi sadar, bahwa I showed the best out of me when I was with you. Aku bisa jadi super manis, lembut dan pengertian. Aku bisa jadi cewek yang selama ini aku inginkan. Egomu yang besar selalu bikin aku tunduk lemah, egomu yang besar juga yang selalu motivate aku untuk jadi lebih baik lagi.
Atau… ini bukan tentang kamu, aku atau pacaran-pacaran ini. gimana kalau ini tentang Ghian dan hubunganku dengan dia?
Gimana kalo ternyata, Ghian,  yang awalnya selalu bikin aku merasa nyaman, ternyata juga bikin semua cewek-cewek lainnya merasa nyaman? Gimana kalau Ghian memang punya tendensi untuk merawat cewek-cewek insecure disekitarnya? gimana kalo apapun, bahkan hal terkecil pun, yang Ghian lakuin akhir-akhir ini cuma bikin aku merasa lebih kesepian, sedih dan insecure? 
aku Cuma.. capek. aku mau hubunganku dan Ghian seperti awal-awal dulu..
well, you know, I’m not over you, Das. Not yet. I keep moving on just because I cant let my mind get busy with all the memories I’ve had with you. It’s pretty much frustrating. And when everything seemed go wrong, all I could remember was just you. How the things could turn better when you’re here.
seperti sekarang. seperti sekarang ketika aku menyadari hubunganku dengan Ghian berada di tengah-tengah kecemburuan, ketidak percayaan, dan keengganan untuk mengerti. dan entah Ghian tau atau tidak, entah ia peduli atau tidak, entah dia berusaha memperbaikinya atau tidak. aku lelah memulai percakapan tentang ini. aku lelah berdebat tentang suatu hal yang sama yang tidak ada penyelesaiannya.
coba kamu disini, Das. coba ada kamu.
Beberapa minggu yang lalu, Ghian datang kerumah untuk menjelaskan gosip yang beredar tentang dia dengan Nisa dan Rere. Yap, double hit in one time, dua-dua nya adek angkatan. Selama ini aku udah cukup sok tutup kuping dan sok nggak tau apa-apa. Tapi rasanya, tumpukan tugas dan gosip-gosip yang udah mulai meruak didepan muka nggak bisa lagi aku abaikan.
Guessed I had broken up with him? I hadn’t… yet. Dia bawa bunga, dan sketch permohonan maaf.. dia bahkan juga bawa sup buntut kesukaan aku. dia dengan wajah super polosnya, dengan sangat sweet member penjelasan dan kata-kata manis yang meyakinkan. Siapapun yang berhadapan dengan dia, pasti akan setuju dengan tindakanku untuk melupakan semuanya.
Sampai aku ingat lagi, bahwa mungkin dia melakukan ini dengan semua cewek yang dia temui. Bukanya sengaja tebar pesona, but he’s just being him. Dia penyayang, tanpa pamrih, tanpa pilih-pilih. Dan cewek lemah sama kasih sayang.. selesai semua.
To be alone or to be with someone that makes you feel lonelier than ever; which one do you prefer?
Dasa
  “summer ini aku balik ya, Sayang…,”  kata gue pelan..
Sascha menengok pelan, dan menatap gue lama, sebelum akhirnya ia mengeluarkan kata-kata.
yak, siap-siap, Das. 
“Das… no.. you must be joking, right?” ia langsung menghentikan tangannya yang sedang merapihkan gelas-gelas di dapur; menghampiriku di ruang tengah yang hanya bersekat meja saji.
“I’m sorry but this time im not, babe.” Kataku sambil memegang tangannya. Ia berdiri tepat dihadapanku, meminta penjelasan.
“ok, but this… ok next month is summer already if the season doesn’t fuck up like the last year, so when will you go? Exactly the date, please.” Matanya masih menyalak. dia kadang bisa manis banget, tapi bisa segalak ini kalo gue nyulut api. I have to understand this..
“duduk dulu yuk sini sebelah aku ya, Sas….,” guenarik tangannya, sedikit memaksa. Dia duduk tanpa memandang gue.
“jadi.. sebenernya ini nggak beneran tiba-tiba Sayang.. aku.. aku Cuma belum bilang aja karena emang lagi belum dapet waktu yang pas aja. Sekarang kan tugas-tugas udah kelar, tinggal final exams aja minggu depan.. jadi ya.. kayaknya mending aku bilang sekarang aja. Abis exams aku pasti ribet ngurusin keberangkatan aku.. oleh-oleh buat keluarga juga kayaknya butuh. Aku disana sampe lebaran.. jadi pasti ketemu banyak sodara dan keluarga… dan keberangkatanku itu 3 hari setelah final exams a selesai. Tanggal 21, 25 hari lagi dari sekarang..” kata gue pelan sambil mengelus rambut Sascha. Bau strawberry, dia pasti abis dari Salon lagi..
“not enough. I want a brief explanation.” Katanya, masih belum mau melihatku.
“oke oke.. tapi jangan ngambek ya Sas? Hmm.. jadi.. aku belum balik selama 2 taun kan... Actually itu karena aku nggak enak sama papa mama, tiketnya mahal, belum macem-macemnya. Tapi taun ini, aku udah dipesen dari Januari lalu sama mama, aku harus balik. aku itung-itung, lebaran juga masih masuk summer, jadi ya sekalian lebaran di Indo… terus mama juga udah niat bikin acara silaturahmi gede dirumah karna aku janji bakal balik. So that was a brief explanation from me. Accepted, judge?” kata gue sambil sedikit menggodanya. Dan dia akhirnya menoleh kearah gue. Melihat, masih dengan tatapan menyelidik.
“but why? Kenapa sih nggak keluarga kamu aja yang kesini? Terus aku sendirian all along summer? Tega banget tau, Das. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu? Kan aku bisa ngurus-ngurus buat ikutan kamu..” katanya masih merengek.
Gotcha. Itulah kenapa gue nggak mau ngasih tau dari awal. Karena gue tau, Sascha bisa-bisa aja ikut gue ke Indo. Dan gue belum siap menjelaskan ke tiap orang yang gue temuin tentang dia.. belum. Cuma perkara waktu. Bukanya gue masih inget Wina.. ok that’s a whole different story.
“karena aku nggak pengen bikin kamu kepikiran, sayang.. lagian aku juga belum nemu waktu yang tepat. Kita sama-sama occupied sama tugas-tugas menjelang final exams, kan?”
“rrgh…. I still hate the fact you’ll leave me. I hate the fact you’re going home and I’ve got nothing to do here. Nyokap bisa aja maksa aku ikut acara-acara doi yang aneh-aneh kemana-mana. Males, Das…. Mau kamu disini aja….”
“hehee…. Nggak lama kok Sayang…” gue nggak pernah sesering ini manggil dia Sayang.. semoga dia nggak nyadar gue bersikap seaneh ini. I don’t even know why I feel like should act nicer at this very second.. mungkin.. mungkin biar dia tenang.. biar dia nggak panic sama keberangkatan gue yang itungannya mendadak ini.
“Das..”
“ya?” sekarang kepala Sascha sudah bersandar di bahuku, manja.
“kamu bakal ketemu Wina nggak disana?”
Atau gue selama ini bersikap manis agar Sascha nggak kepikiran buat nanyain ini. karena sejujur-jujurnya, gue nggak tau. Gue bahkan nggak tau apa gue pengen ketemu Wina atau enggak. Rasanya ada yang belum selesai, tapi faktanya kita udah selesai. Hampir dua taun gue putus, mau apalagi? Lagian.. rasanya masa depan hubungan gue sama Wina juga nggak bakalan jelas..
“kok diem, Das? Kepikiran Wina ya?” Tanya Sascha yang masih bersandar dibahuku, memainkan rambutnya, tanpa melihatku…
“he.. enggak kok. Lagi nginget-nginget aja butuh bawa apa aja ke Indo. Eh apa tadi? Wina? Hehe enggak kok. Aku udah lama Sas udahan sama dianya… masa mau dibahas lagi sih? Udah yaa.. ketemu atau enggak sih aku nggak tau, tapi aku nggak ada rencana kea rah situ kok, sayang.” Lalu aku mengakhiri percakapan ini dengan mengecup rambut Sascha.
Wina… apa gue bakal ketemu dia disana? Setelah janji gue sama Sascha waktu itu, gue nggak pernah ngehubungin Wina selama beberapa  bulan ini. gue bahkan nggak pernah stalk dia via social media apapun… bohong.
Nggak mungkin gue tahan nggak cari tau tentang dia sama sekali. Tapi mungkin Cuma sekali sebulan.. atau sekali seminggu kalo lagi kangen. Dan langsung gue apus di history, tentunya. Sascha bisa jadi sedikit posesif kalo soal ini. and know why she seems really jealous about Wina?
‘cause she thought that the story about me and Wina seemed pretty much romantic. Sascha dulu adalah temen curhat gue yang kebablasan jadi pacar. She knows everything about me and Wina, as i told her everyday about my story, as I was so mad about being 12 hours away from Wina.
Win… ketemu yuk.. bulan depan?
Gue harap gue bisa kirim pesan itu ke dia, via apapun. 
1 note · View note
fictionframe · 12 years
Text
Wina - sakit [6 2/2]
Entah sudah berapa kali kami marahan seperti ini. padahal, bulan lalu kami baru aja ngerayain anniversary pertama. Ghian adalah sosok yang baik, penyayang,mengayomi, dan santai. Aku yang punya banyak pikiran di kepala tapi sering tidak bisa mengungkapkannya ini harus lebih bersabar karena dia juga tidak akan berbuat banyak sampai aku benar-benar mengatakannya. Tapi aku tidak tau bagaimana caranya. Tau kan, apa yang akan terjadi kemudian?
Aku tau, dia menyukaiku, bahkan mungkin sudah menyayangiku. Aku tau, dia baik banget sama siapa aja. Bahkan itu point pertama kenapa aku bisa mau mencoba melupakan masa lalu dan serius sama dia. Tapi kalo baik sama literally siapa aja itu…
Dia asdos studio, dia harus nemenin adek-adek kelas tiap minggunya. Tapi, kalo sampe nungguin tugasnya selesai diluar kelas, nganterin pulang ke kosan, nganterin beli peralatan.. rasanya berlebihan, kan? Dia sangat nggak tegaan, dan anak-anak yang nggebet dia memanfaatkan itu. Lagipula, mereka mungkin tidak menganggapku karena tau aku nggak mungkin ngapa-ngapain. Tapi disini sakit, Ghi. Tepat ditengah dadaku, rasanya sesak sekali.
You said you wanna save me from that pain, now you make me feel it for once more, huh?
Aku berbaring ditempat tidur, melepas kacamata, memeluk bantal merahku. Mengingat pertamakalinya aku benar-benar merasa menyayangi laki-laki ini. saat itu, aku tengah lembur mengerjakan beberapa tugas yang sempat terhambat karena acara keluarga di luar kota. Aku bahkan sempat tidak tidur sama sekali selama 24 jam, dan pada hari ke empat, hari sabtu setelah semua tugas aku kumpulkan, badanku demam. Suhu tubuhku mencapai 38.5 dan kepalaku berdenyut hebat. Ketika itu Ghian datang membawakan bubur ayam dan membuatkanku teh hangat. Ibu menemani ayah dinas ke Semarang. Tinggalah aku yang ditemani mba Tami selama 3 hari hingga hari Senin. Dan selama itu juga, Ghian selalu datang pagi-pagi, membawakanku sarapan, menemaniku sampai malam. Dia membawa setumpuk pekerjaannya, dvd, atau buku yang bisa menghilangkan kebosanannya ketika menungguku. Ia selalu pulang pukul sepuluh malam, kecuali pada hari pertama dimana ia menemaniku menunggu dokter yang datang kerumah. Dokter itu adalah kerabat Ayah, ia datang pukul 10 lewat setelah selesai praktek di kliniknya. Dokter tersebut menjelaskan berbagai obat untukku pada Ghian, dan aku langsung terlelap setelah dibantu meminum obat.
Bahkan Dasa pun tidak pernah seperti ini. entah karena dulu kami masih SMA, atau karena aku memang tidak pernah sakit separah ini. Ghian benar-benar berada terus disampingku selama hari Sabtu, entah sambil membaca, ikut tertidur di karpet, atau bahkan sambil main PS di laptopnya. Mba Tami bolak balik kamarku tiap 1 jam, mungkin karena pesan Ayah, takut aku dan Ghian kenapa-napa. Padahal pintu sudah kubuka lebar, padahal untuk berbicara saja aku susah. Lalu besoknya ketika aku sudah membaik, ia datang ketika jam-jam makan saja. Memastikan aku meminum obat, katanya. Tapi kupikir karena dia malas makan sendirian. Or maybe both..:)
Sejak saat itu, aku merasa menjadi anak paling beruntung for having such a boyfriend like him. He’s goodlooking, he’s smart, he’s kind, what else matters? Bukan tipikal yang ganteng banget semua orang suka, tapi aku yakin semua sepakat dia nggak jelek, or even kinda cute when he laugh. Taun kedua, kami sudah jarang meng-cover lagu atau bahkan nyanyi-nyanyi bareng. Aku baru sadar, mungkin dulu acara bikin cover lagu bareng itu modus kita untuk lebih deket lagi. kinda embarrassing, I know..
Tapi semakin sekarang, aku semakin sering merasa insecure. Entah karena aku lagi pms, atau dia yang berubah, atau aku yang memang kurang percaya, tapi it’s kinda exhausting to feel bad and worthless all over again.
Hpku bordering. Aku melihat layar, dan namanya tertera.
                “apa, ghi?” kataku lemah. Aku nggak tau kenapa aku mengangkat telfon darinya, tapi I was like wanna hear an explanation.
                “kamu dikasih tau siapa, sih, Win? Aku nggak kayak gitu kok. Or at least, ada penjelasannya. Nggak seburuk yang kamu kira.” Katanya kalut. Ada beberapa suara laki-laki riyuh, mungkin dia belum balik ke kosannya.
                “ngomongin apa sih, Ghi.. nggak ngerti ah terserah kamu aja. Mood ku masih jelek, kamu ngarepin aku bilang apa?” kataku seadanya, masih sambil tiduran, memeluk bantal.
                “kamu dirumah? Aku kerumah kamu ya sekarang.”
                “terserah..”
                “tunggu, ya Win. Jangan ngambek, ya?”
                “see ya.” Kataku lalu mematikan telfon.
                Aku harap semua akan baik-baik saja. Tanpa dia, aku tidak bisa tidak memikirkan Dasa tiap hari.
0 notes
fictionframe · 12 years
Text
Dasa - sakit [6 1/2]
Gue duduk di salah satu kursi kosong di lobi Dwire Hall. Kelas gue selesai 1 jam lebih awal daripada kelas Sascha. Kita janjian buat ngerayain 15 bulanan di Aglio Sophia, salahs at café yang kita suka di daerah Springs sini. Tanggal dan bulan yang kita pake adalah tanggal dan bulan kita pertama kali jalan, karena kita nggak pernah bener-bener ada kata jadian dan penembakan.
Gue buka-buka majalah forbes Indonesia yang jauh-jauh gue beli online. Katanya perusahaan bokap dimuat profilenya. Bokap gue punya perusahaan supplier alat perkantoran dan interior rumah. Perusahaannya bukan yang nomer satu dibidangnya, tapi perusahaan bokap dimuat sebagai perusahaan yang secara constant membuat program CSR yang dinilai cukup baik dan sustainable. Program-program tersebut dinilai telah membawa banyak perubahan di bidang kesehatan dan pendidikan baik pada pekerja perusahaan, penduduk lokal, dan sekitar. Sebenernya program itu diurusi secara penuh oleh nyokap gue. Kalo gue bilang, nyokap sedikit mirip bunglon. Nyokap bisa sok sosialita kalo lagi butuh banget buat fundraise dan bisa jadi sangat sederhana kalo lagi konsen ngurusin peninjauan program-program selanjutnya. Sedang bokap adalah pure business man. Bokap bukan tipikal yang punya keinginan untuk menguasai segalanya, bokap Cuma ingin perusahaannya maju.
Lalu gue buka satu persatu halamannya. Rasanya dada gue bergedup sedikit lebih cepat. Gue udah dibayarin buat kuliah di Amrik kira-kira sampai s2 nanti, and if im lucky enough I’ll get the fast track degree. Gue kadang takut, takut gue balik nggak bisa jadi sehebat bayangan orang-orang yang udah harapkan tentang gue. Nilai gue nggak jelek, IPK gue 3.46 di taun pertama kemarin. Kalau gue bisa cumlaude, rasanya gue bisa cepet-cepet lulus dan balik dan berhenti ngabisin kebanyakan dollar disini. Actually, I cant wait for it.
“Dasa!” panggil Sascha manja. Ia menggerai rambut panjangnya, mengurai poninya yang menutupi alisnya. Rambutnya yang kini berwarna coklat gelap kontras dengan kulitnya yang cerah. Riasannya sederhana, tapi pas di wajahnya. She’s real pretty.
“cepet banget, Sas? Lebih awal keluarnya?” Sascha langsung duduk di bangku kanan gue lalu menyandarkan kepalanya di bahu gue. Gue reflex mengelus rambutnya.
“iya, lebih cepet 20 menitan, nggak tau deh kenapa. Tapi tugas take home nya banyak banget Dass….. weekend besok nggak tau deh bisa nikmatin hari apa enggak. Kamu jadi naik gunung?”
Gue jadi inget janjian gue sama anak-anak PPI Colorado buat naik gunung. Tapi rasanya, mereka nggak akan bener-bener sampe puncak deh. Paling pos kesekian udah nyerah mereka.
“harusnya sih jadi,Sas. Tapi nggak tau, deh. Belum dikabarin lagi. eh ini jadi kan ke Aglio Sophia nya?” kata gue basa-basi. Dan seperti yang gue tebak, Sascha langsung mengangkat kepalanya, ngeliatin gue dengan mata berbinar-binarnya, dan mengangguk cepat.
“jadi, Das! Jadi banget… yuk yuuukk… “
“ayo deh…” gue menggenggam tangannya lalu bangun dari tempat duduk.
Sepanjang perjalanan yang nggak begitu lama itu, Sascha cerita tentang betapa makin banyak tugasnya menjelas final exams semester ini. dia selalu punya ekspresi untuk setiap kata yang dikeluarkannya. Gue Cuma bisa sesekali menengok ke arahnya sambil mengangguk setuju atau menanggapi dengan pertanyaan. Gue baru berusaha bener-bener cinta sama dia semenjak 6 bulan yang lalu. Sejak dia sakit dan terlihat lemah banget manggil-manggil nama gue. Waktu itu kita lagi marahan karena gue ketauan masih suka email Wina. Abis itu dia makan satu toples penuh nutella choco-nuts padahal dia alergi kacang. Entah karena sistem imunnya yang lagi jelek, kala itu alerginya benar-benar parah. Dia bahkan sampai dilarikan ke emergency room. Saat itu gue liat Sascha bener-bener lemah dan gue janji sama diri gue sendiri untuk nggak bikin dia kayak gitu lagi.
Meski itu harus bikin Wina ilang dari ingatan gue. Meski itu berarti gue bakal nggak nghubungin Wina lagi. meski.. meski itu kedengerannya hampir nggak mungkin.. tapi gue udah janji dan gue akan usaha buat nepatinnya.
Sekarang Wina bukan lagi daily dose, weekly dose atau bahkan monthly dose. Gue bener-bener nggak pernah ngehubungin dia lagi. gue bahkan takut untuk buka profilenya, takut gue tau apapun hal tentang dia dan malah makin kangen sama dia.
Wina. Nggak akan ada yang bisa gantiin dia. Tapi keadaannya kayak gini, dan gue sama dia nggak akan ada harapannya. Tiap gue kangen sama dia, gue Cuma bisa baca diary Wina dan liat kalung snowflakes yang gue harap suatu saat nanti bisa gue kasihin ke dia secara langsung. Berapa taun lagi Das?
0 notes