fincht
fincht
insane logics
182 posts
Aya Sadariskar instagram.com/ayasadariskar [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
fincht · 5 years ago
Text
Instant Gratification
A blog works for me because it gives instant gratification.
Want to write -> write -> publish -> instant gratification.
It’s mostly why I have not been able to truly work on a real project, and publish real things (unless it’s compulsory).
I will try better.
(But this writing, though, what an irony?)
5 notes · View notes
fincht · 5 years ago
Text
A Little Bit of Secrecy
Tumblr media
That’s how my blog looks like now if you type the address on the address bar. The link directs you to my WordPress page, where all of my previous Tumblr posts have been imported to. And then on top of it, somehow, I decided to write things that kind of try to please a more public audience (???) dunno why I did that. Not like it’s even going to make me famous or anything.
The main reason why I transferred my blog to WordPress was actually the fact that Tumblr was blocked here in the country for quite a bit, for reasons that are too ridiculous to even begin to articulate. I kinda thought WordPress would give me more flexibility, and even though I guess it kinda did, it made me miss the sense of community that writing on Tumblr has given me. It’s really funny, the fact that I moved to WordPress so that more people would be able to read my writings actually seemed to result in the opposite, and it actually made me a little bit lonelier. Somehow, even with my blog now covered in dust, it feels less alone here on Tumblr.
I used to write just for myself. The whole point of blogging used to be to find myself a friend whenever I’m feeling lonely, to be an outlet of my suppressed feelings and discomfort towards other people. But I feel like that has changed quite significantly. I’m not sure if it’s because of my declining will to write, or because my life has been somewhat easier. I feel like I can understand my pain better, have someone to share nice and shitty things with, safely (my boyfriend), and have overall less anger towards the daily stuff in my life. So it made me write less. And even if it did make me write something, sometimes I feel like whatever comes out of it feels a little bit pretentious, because I’m somewhat expecting an audience for it. It really is silly.
So, now, with this blog covered in the dust that directs everyone who tries to type the address in their address bar to my WordPress, I’m hoping to find a little bit of sanctuary in this secrecy. This blog is only to be accessed through the Tumblr site/app, I guess. And it kinda feels safer. For what reason I need to feel safe, I don’t understand either. But it just feels better. Maybe I’ll write again here. Maybe I won’t. Though I hope I do, because it would kind of suck to just let life slip through like that. Not for fame. Not for acknowledgement. Just to have some bits of memory to hold on to when things seem to have changed a little too much.
1 note · View note
fincht · 7 years ago
Text
What a strange day
I got myself a new haircut—a new cut in the fringe, to be exact—thanks to Kafi (seriously, thank you, I'm liking it). With a new custom coming into my routines, I've been needing a new item, which is a good solid hair clip, just the usual you can find anywhere. So that day on Monday I got off the train from home and took a longer path to the campus building, through which I might find a man usually seen selling a bunch of hair items on a cart. Upon passing the passageway I did not see him, so I assumed he had not started doing business since it was still a little under 8 AM. Alright. I went to campus.
After 3 PM, I walked back to my apartment through the same path I took in the morning. The man selling the hair clips still was not there. Okay. Maybe today was just not his day (or not my day). I proceeded on to walking towards my apartment, with the knowledge that there was another man selling a bunch of hair items before the apartment gate. And guess what? He, too, decided a day off for himself. The entire shelf was closed, locked, and tied with a rope.
There was a slight tinge to my ear as if saying that this was just not the day for looking for any kind of hair clips. But I still had one more option to go for, which was the hair accessories store inside the mall below my apartment. It was inside of a mall, right, so during working hours, it must be open. I put my bags in my room and used the toilet before going downstairs to the store, close to which there was a fast food restaurant so I could buy food for dinner as well. As I walked towards the store, my orbs eyed for the neon pink store sign usually very visible even from afar, and upon not seeing it, I began to squint.
It took me a minute of looking at all directions and back to realize that the store was not there anymore.
I don't know. Had it relocated? Moved upstairs? Gone out of business? Gone forever? As vivid as I could remember the store was always there, it was always there, for God's sake. So when it wasn't I just could not administer the fact. I then took a deep unbelieving breath and bought my food from the restaurant, and proceeded to walk back to my room.
Along the way there were some small stalls selling hair ties and make up, but out of all things (even party masks and tiaras) they did not happen to sell hair clips. Or even bobby pins or the sort. I looked at the time and decided for myself that it was time to end my search for that day. It was strange indeed, thinking a hair clip could be so difficult to find. But it was enough for that day. I would continue later. Maybe tomorrow.
3 notes · View notes
fincht · 7 years ago
Text
Ingin bercerita
bahwa senang banget tadi ke toko buku dan bukunya disampulin (plastik) gratis. Sebuah upaya marketing dan peningkatan kualitas pelayanan bisnis yang humanis, efektif, dan bermakna. Sebelum saya terdengar seperti visi misi, sebaiknya undur diri. Hanya sedang senang saja dan ingin merekam perasaannya.
1 note · View note
fincht · 7 years ago
Text
It never quite just goes on
Menyeberangi lintasan kereta di samping Stasiun Pondok Cina, saya dapat merasakan bahwa atmosfer yang ada belum kembali seperti biasa. Peristiwa yang terjadi Senin lampau masih menyisakan perasaan-perasaan yang seakan memberi nasihat. Bahwa it does not just go on like that seperti yang mungkin kita semua kira. Somebody dies, life goes on. Nyatanya tidak seperti itu yang terjadi. Entah bagaimana adanya bila bukan merupakan kecelakaan, namun saat satu jiwa kembali, hidup tidak akan berjalan sama begitu saja. Di tengah pikiran ini, saya menunggu hingga kereta berlalu dan palang diangkat naik, untuk melaju melintasi rel kereta bersama dengan hamburan sepeda motor.
Perasaan ini mengingatkan saya pada apa yang terjadi pasca kejadian hampir dua tahun lalu, di mana seorang rekan kita mahasiswa UI, Fevi Silvia, mengalami kecelakaan saat menyeberangi Margonda. Sungguh sebuah duka yang dalam ketika rekan mahasiswa pergi begitu cepat, menyisakan sebuah ruang perenungan yang dalam. Menyeberang di Jalan Margonda memang penuh dengan was-was. Was-was yang berbeda dengan menyeberang jalan biasa, karena lalu-lalang kendaraan di penyeberangan tersebut memang cenderung cepat sekali, meski sudah ada area untuk menyeberang. Pernah suatu ketika saya sedang melintas di dalam mobil bersama teman-teman dan teman saya yang menyetir terpaksa mengerem mendadak karena tidak awas terhadap dua orang yang sedang akan menyeberang. Posisi penyeberangan tersebut memang nyaru dan berada memotong arus yang deras. Untuk menyeberang dengan aman, kendaraan yang melintas harus menurunkan kecepatan dengan cukup signifikan atau penyeberang jalan harus menunggu hingga sepi. Kendala ini seharusnya bisa ditanggulangi dengan membangun lampu penyeberangan sehingga siapapun yang akan menyeberangi area ini akan teramankan dari lalu lalang kendaraan bermomentum besar yang tak kunjung habis. Orang juga menjadi tertib dan kendaraan jadi bisa ternotifikasi bila jalanan akan dilintasi oleh penyeberang. Dari yang saya baca, sebetulnya di Margonda sudah ada beberapa lampu penyeberangan, namun tidak aktif dan berfungsi. Semoga Pemkot Depok segera melakukan perubahan terhadap hal ini. Semoga ada yang komplain. Atau apakah ini berarti saya harus ikut memberi masukan? Saya tidak paham caranya. Harusnya saya cari tahu, benar.
Tumblr media
Menanggapi kejadian ini, muncul gerakan #SavePejalanKaki. Gerakan yang awalnya diniatkan untuk merenungkan peristiwa yang dialami mahasiswa UI tersebut dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam berlalulintas, dikuatkan oleh sebuah petisi yang akhirnya mendapatkan coverage dari Pemerintah Kota Depok. Saya ingat beberapa teman saya waktu itu ikut memasang foto profil “Margonda” dengan emoticon sedih seperti yang ada di gambar di atas. Coverage ini mencetuskan berdirinya jembatan Margonda. 
Dari sini lah saya terpikir gambaran bahwa things don’t quite just go on; peristiwa Senin kemarin menyisakan perasaan bagi siapapun yang melewati lintasan kereta api Pondok Cina, dan kepergian Fevi Silvia tidak akan lepas dari hati dan memori kita. Peristiwa-peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi keadaan saat ini yang nyatanya masih jauh dari batas harapan. Mungkin pada banyak kasus kita memang harus diingatkan dengan keras dulu sebelum berubah. Seperti halnya baru minta ampun terhadap gaya hidup setelah sakit berat. Atau baru menyesal malas setelah gagal.
Dzuhur beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman SMA di masjid kampus. Setelah mengobrol sedikit kami membicarakan soal peristiwa Pondok Cina. Teman saya berkata bahwa keadaan ini miris sekali sebab siapapun yang mengalami kejadian tersebut mestinya dapat menunggu dahulu sebentar saja. Bahwa setelah palang turun memang seharusnya menunggu. Menunggu palang turun menjemukan sekali, dengan sirene yang berdengung keras dan panas terik hawa jalan. Belum lagi terkadang menunggu bisa memakan waktu yang lama. Waktu yang lama ini lah yang menyebabkan orang tetap menyeberang meski palang sudah turun. Ah, palangnya baru turun, paling keretanya masih jauh. Dan memang seringkali begitu adanya. Bisa ada jeda 2-3 menit sebelum tanda-tanda kereta datang benar-benar terlihat atau terdengar. Saya sendiri sering menengok ke arah stasiun; bila orang-orang di dalam stasiun masih diizinkan menyeberang oleh petugas stasiun, saya yang berada di perlintasan di luar stasiun biasanya suka ikut menyeberang juga. Setelah kejadian kemarin, saya sudah putuskan akan relakan saja 2-3 menit saya. Bisa kerjakan yang lain. Tidak mengambil risiko yang mungkin tidak sebanding.
Kemudian saya terpikir akan hal lain. Jika jeda turun palang dan datangnya kereta yang cukup lama tersebut saja membuat orang jadi tidak patuh, bagaimana jika palang kereta tidak bisa dipercaya? Tidak terbayang apabila kecelakaan kemarin terjadi akibat palang terlambat turun atau turun tidak pada saat yang tepat. Sekali itu terjadi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan bisa-bisa terjadi kekacauan yang lebih parah. Bisa jadi akan terjadi lebih banyak kecelakaan sebab orang-orang tidak mau patuh pada palang. Kemudian, akan dimulai rentetan dari komplain mengenai hal-hal lain, yang sebelumnya kurang dikomplain. Seperti sirene Pocin yang agak rusak dan selalu berbunyi kembali tepat setelah palang baru naik. Bagi yang belum tahu, hal ini bisa cukup mengagetkan karena seakan-akan palang yang baru naik tersebut akan segera turun kembali tanda kereta akan segera datang lagi. Padahal di 98% waktu bunyi tersebut hanya berasal dari kecacatan sirinenya dan akan menghilang tanpa adanya tanda-tanda kereta datang. Lalu orang-orang mungkin juga akan mengomentari jalanan Pocin yang tidak kokoh, yang pejalan kakinya selalu tersingkir ke samping dan harus melangkah di bebatuan rel saat puluhan motor berusaha menyeberang pada saat yang bersamaan. Motor pun berusaha keras untuk lewat, roda di atas batu-batu lepasan. Kecacatan yang sebetulnya tidak sulit untuk diperbaiki. 
So I guess it never quite just goes on. And it shouldn’t. Sepatutnya kita berhenti dan merefleksikan kejadian di sekitar kita. Menjadi insan yang bijak dan menghargai keputusan-keputusan alam. Semoga kita semakin mudah untuk mau berubah dan menjadikan lingkungan tempat yang lebih baik. To make the world better. Or at least to make it suck less.
3 notes · View notes
fincht · 7 years ago
Text
Arrogance
A certain amount of arrogance is necessary to protect oneself from unnecessary surprises. Say, you are a person who is perceived by a certain group in the society to be the sought-for kind of husband. Being aware of your traits that are identified in that way avoids you from being shatteringly flattered once one utters such words to you, keeping you from falling head over heels right away without maybe having known the clear picture of the person's personality, background, and maybe intentions. So instead you'll just say thank you and acknowledge it as a general compliment, that could in a way, superficially, identify the group of society that the person belongs to. And to not repeat their words in your head over and over again as an anthem of love.
Self-awareness might probably be a better term to label the necessity. But since being aware of your plus points has an interlinked reputation with arrogance, why not give the word some kindness and praise. Besides, the former word gives you a clearer picture of which part of "self-aware" is required and being talked about here. It is necessary to have a certain amount of arrogance instilled in you, refreshed once in a while or so through the act of reflection.
0 notes
fincht · 8 years ago
Text
Q & A with God
God is a woman. With a reddish ponytail. She wears a dark blue skintight suit and is facing a big screen.
Inside of the screen is a number of children, floating and swimming inside a grand aquarium.
"God," begins the first child. "Can you die?"
"I can die, yes." answers God. "Then the next person will take my place."
"When you die, will you still be able to think? To project your thinking to us every weekend like we do here?" she continues.
God smiles. "Thinking is the privilege of the living."
The next child takes the screen. "God," he says, "can we see how you look like?"
"Of course," says God with assuring certainty, and moves her face closer to the screen. God smiles at the child; the child gasps at the look of God's face. "In fact, the organization introduces its new God at the beginning of every year, on its YouTube channel. You can also ask questions there,"
The child smiles and hands the screen to the next person in line.
The screen turns black and acquires a glitch. God holds her breath for a while. Finally the image of a long row of small bones appears on the screen. It seems to be moving, like the gear of a bicycle.
"God," it seems to be the voice of a he. "Do you know who I am?"
God looks at the form of the row of small bones for a while. Something seems to reach her mind and she lets out a soft chuckle, realizing who in the world could possibly have the ability to turn to such form. "Is it you, Benjamin? What is an ex-God doing in the aquarium?"
The row of small bones keeps still for a while. God is examining him once again and realizes that he is not Benjamin. Benjamin is in the audience, probably entertained by her response.
"You're—"
"—your construction specialist."
There seems to be a concert of soft laughter in the audience.
"They told me I could ask questions."
God smiles and the laughter in the audience dissipates. "Of course you can. Thank you for asking the question."
The construction specialist says nothing any longer.
"One last question." says God.
The screen moves to a child with a goggle on one eye. She has bright hair that covers up her face even underwater.
"Hi darling," greets God.
"Hi."
"What's your question?"
The child does not say anything for a while and closes her eyes. Then she opens them again. The goggle glows at her action.
There is cheering in the audience.
"Does the variable three alpha to the power of eighty one scare you?"
The question raises sounds from the audience. Then something appears on the screen. 3α81. The α encircles the child's goggle, appearing as if an eye.
God stays still. "Does it scare anyone?"
"It does." says the child. "Most children gasp at the sight of it. It seems to be a very scary mathematical entity for most of them."
The air goes still again for another moment. The letters appearing golden in front of the child's eyes still glimmer on the screen. She is floating; everyone's floating. God herself. The tech coordinator next to God's room. Everyone is floating but the audience.
The child, the audience, and even God herself seem to be waiting for God's answer.
"It doesn't scare me," says God. "We embrace variables here, don't we? We embrace mathematics. We know it's the working gear behind many things. The answer to much of philosophy."
The letters seem to glow brighter.
"If we see it as a foreign entity apart from our daily understandings, it might be scary. People who see it for the first time might find it scary. But darling, little one, if you incorporate it into a working; let's say, a multiplication, do you still find it scary? I believe not. It even becomes fun, doesn't it?"
The end of the child's lips finally forms a curved bow. She favors the answer.
"Especially when you can cancel it out with anything over alpha to the power of anything." adds the child.
"Especially."
They both smile at each other. The distance feels really close right now even though God's room is in one place and the aquarium is somewhere else far away. Nothing feels to be in their way except the screen itself. There is silence in the audience, followed by cheering when the screen is finally shut down. It will be long before the child comes in training, if she ever will be. It would be her choice later on whether or not she wants to take it. To strive to become God, like Victoria. Or Benjamin. And have her seat in the audience after her year passes.
Or maybe she would choose to become like me. Unable to ever be God by choice, and instead dreams about them every once in a while in sleeps that last longer than the morning sun.
.
//we all have strange dreams all the time. we just don't always remember.//
1 note · View note
fincht · 8 years ago
Text
Dear dearest,
what kind of thought crime is it to use up your roll of bandage so cautiously to the point where you still have got some left even after your wound is healed? It is like wishing for another time to use up the rest. Wishing for another wound.
When this thought came to me, I was almost going to share it to you. It is pretty instinctive that our little room of conversation will cater this sort of thoughts in good manners. It is not because it's four in the morning and you won't give an immediate reply--which is never quite a problem since you'll eventually reply anyway—or because I want to give this little space of mine some new stuff that I decided to put the thought down here instead. Okay, maybe I kinda wanted to give this little space of mine some new stuff. But I really could've written about anything else. Or maybe not anything else because I would have been scared of losing this thought anyway. But the reason—the intelligible, higher-function reason is because, frankly, I miss your writings.
It is an interesting idea, indeed, which we entertain quite often, that having good partners for a conversation can impact our writing intensity. The purpose of writing itself—at least according to me—which is to wordify the abstracts of thoughts and ideas that come about, and hence understand them better, could be well substituted by a good set of ears and well-understanding responses. A good listener is simply a good editor, as one has said. Therefore when one can immerse oneself in such supportive surroundings, the need to write can be diminished by a portion or two. It is not saying that that's the sole reason you haven't quite published anything in a while. Though so, if that is at least one of the reasons why, then I think maybe we can open up bits of our conversations here. Carefully treading those pieces outside of other matter of thoughts and writing about them. You know I read everything you write. And I hope you do mine. And in the process we can throw ourselves into the ongoing worldwide conversations about things—rolling our marbles into the room. Could it sound like an idea?
Tell me your say.
Loves,
Aya
5 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
Just because you did something wrong in the past doesn’t mean you can’t advocate against it now. It doesn’t make you a hypocrite. You just grew. Don’t let people use your past to invalidate your current mindset.
511K notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
Maybe this is the point in life where I learn that what once is mine will no longer be and what I get to hold was once not of me
Maybe this is the point in life where I appreciate that life comes in little fragments and closure is just as important as initiation
I can’t seem to let many things go
4 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
Kalau ada uang
Kalau ada uang, saya pasti akan membangun banyak tempat-tempat umum. Ada sebuah kekuatan yang dimiliki oleh tempat yang teknologi belum bisa kalahkan. Ketika semua hal bergeser menjadi digital, manusia tetap butuh ruang fisik untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan manusia lain. Teater. Ballroom. Ruang sekolah. Tempat makan. Kolam renang. Lapangan sepak bola. Kebun. Galeri. Alam hijau yang sepi dan pohon-pohon. Wujud fisik dari sebuah tempat tetap memiliki enchantment tersendiri yang kebutuhan akannya tidak akan berakhir selama manusia masih ada. People make places, but places also make people.
Ketika tinggal di Wageningen, Belanda, 5 tahun dan 7 tahun silam, saya tinggal sekitar 700 meter dari sebuah sports center. Sesekali Umi saya mengajak jalan-jalan di running track-nya di malam hari, setelah segala kesibukan beliau di kampus dan saya dan adik saya di sekolah sudah usai. Umi saya sering bilang, bahwa kesempatan ini harus dipakai sering-sering. Apalagi oleh saya dan adik saya yang waktu itu masih sangat belia. “Di Jakarta nggak akan banyak kesempatannya,” katanya. Memang benar, sih, baik waktu maupun fasilitas. Sayang waktu itu saya dan adik saya belum sadar betapa pentingnya dan beruntungnya punya fasilitas demikian, ditambah pemikiran bahwa bersepeda minimal 40 menit setiap hari sudah terasa cukup melelahkan untuk kami. Belum lagi ditambah kelas Physical Education (PE) di sekolah dan trip-trip sekolah yang banyak jalan kakinya. Sekarang kami berdua sama-sama menatap masa lalu tersebut dengan sedikit banyak penyesalan. Tetapi tidak apa-apa. Insya Allah saat ini selalu berusaha sehat dan sama-sama sayang badan.
Salah satu hal yang menakjubkan untuk saya saat tinggal di Belanda adalah bahwa semua anak punya sports-nya masing-masing. She’s been on the volleyball team for 7 years, he’s been playing football for 6 years, she’s been doing tennis since she was 7. Waktu itu ada sebuah sesi perkenalan di mana kelas saya yang berisi 11 orang duduk melingkar. Guru PE saya, who was a she, bertanya kepada kami olahraga apa yang kami masing-masing lakukan. Saya bingung dan menjawab calisthenics karena selama di Indonesia, nilai senam saya paling bagus dibandingkan cabang olahraga yang lain. Guess she was fine with that answer. Saya punya badan yang cungkring kurus BMR tinggi dan sulit gemuk serta entah mengapa agak bendy, jadi mungkin sekadar keuntungan anatomis saja makanya nilai senam saya bisa bagus. Tetapi saya enggak punya team sports sama sekali. Which was fine, tetapi masalahnya pun non-team sports yang saya lakukan tidak juga intensif. Persentase teman-teman saya di sekolah di Jakarta yang waktu itu melakukan team sports pun lebih sedikit dibanding yang tidak melakukan team sports atau tidak melakukan olahraga berat apapun sama sekali. Saya tidak menyalahkan diri sendiri dan teman-teman saya sepenuhnya, sih. Ada sebuah kesalahan sistematis pada pengajaran olahraga di Indonesia di mana terasanya olahraga hanya untuk mereka yang jago, padahal kan aktivitas fisik adalah kebutuhan dasar dan yang namanya jago itu bisa dilatih. Seharusnya semua guru olahraga paham untuk menempatkan diri sebagai coach dan bukan judge, dan sensitif akan perasaan siswa mengenai kemampuan fisiknya serta body image. Ini pembahasannya bisa panjang; mungkin saya akan bahas lebih banyak lain waktu.
Anyway, saya menyadari bahwa salah satu hal yang membuat anak-anak Belanda ini do so much sports itu nggak semata-mata dari tingginya keinginan mereka, atau orangtua-orangtua yang sangat gencar mengirimkan ke tim ini dan itu sejak kecil, atau juga himbauan dan tuntutan pertemanan yang sangat kuat untuk mereka berolahraga, namun juga dari keberadaan fasilitas-fasilitas seperti sports center dan gymnasium sekolah yang memadai. Mudahnya, jika edukasi, himbauan, dan tuntutan senang olahraga ini ditanamkan pada anak-anak Jakarta, sebetulnya bisa saja tercapai sebuah mindset yang serupa. Namun, perwujudannya tidak akan benar-benar terlaksana secara ideal tanpa adanya fasilitasi yang memadai dengan keberadaan tempat-tempat umum untuk do this sport dan do that sport. Ibu saya sempat besar di Soroako, Sulawesi, di mana keadaan alam pada saat itu masih alami sekali. Kalau mau renang, ya di danau. Kalau mau lari, ya menyusur ke dalam hutan. Udaranya masih bersih dan lapangnya luas, sehingga hidup sehari-hari tidak lepas dari bergerak sana-sini. Mungkin lebih beruntung, ya, orang-orang yang bisa tinggal di tempat-tempat demikian. Saya dan adik saya yang besar di Jakarta jelas jauh lebih rentan untuk mengadopsi gaya hidup pencetus morbiditas: fasilitas olahraga mahal dan tidak memadai, hanya beberapa yang benar-benar layak dan terawat dengan baik, itu pun lokasinya jauh; pulang pergi sekolah diantar oleh mobil, karena jauh, polusi, dan keamanan transportasi umum yang tidak terjamin; jajanan sekolah sarat gula dan lemak jahat dan vetsin; waktu sekolah yang jam 7-4 sore dan masih ditambah les-les penunjang. Sampai rumah sudah capek. Paling juga pergi berenang atau lari hari Sabtu Minggu, kalau setumpuk PR, tugas, dan bimbingan belajar tidak terlalu menuntut. Kami mungkin masih beruntung karena tempat kami bersekolah cukup intensif kegiatan fisiknya, namun derajat aktivitasnya tetap belum sebanding bila disandingkan dengan teman-teman di Belanda yang motivasi dan fasilitasinya luar biasa.
Hal yang sama berlaku untuk aktivitas-aktivitas lain. Dua tahun terakhir ini saya dan teman-teman di kampus menyelenggarakan pentas seni yang salah satu kendalanya adalah tempat. Katanya dunia ini terus expanding, tetapi kok opsi gedung teatrikal itu-itu saja. Berarti kan ini sesuatu yang tidak langsung linear perluasannya dengan perkembangan internet dan media sosial yang sangat pesat. Ini sama saja dengan kebutuhan membangun sekolah, stadion-stadion olahraga, tempat-tempat makan, sekian deret workspace. Kita tetap butuh mengembangkan tempat di sana sini untuk aktivitas manusia yang lebih berkualitas. Meski demikian, konservasi alamnya tetap harus pintar dan efektif, terawat, kondusif, dan cantik. Poin cantik itu penting sekali, untuk internal appeal terhadap orang-orang kota agar mau banyak beraktivitas di tempat umum, serta external appeal untuk pengunjung-pengunjung asing. Jakarta menurut saya belum cantik. Hamparan rumah-rumah yang suka dibangun seenaknya sering tidak sedap dipandang mata. Ini tantangan untuk teman-teman calon ahli tata kota, sepertinya. Please, please, please, do something about it.
Idealnya, saya memimpikan suatu masa depan di mana tempat bisa diciptakan dan dihilangkan sesuai kebutuhan; tidak menuntut perawatan yang mahal namun siap sedia saat dibutuhkan. Entah butuh teknologi macam apa untuk bisa memunculkan dan melenyapkan tempat seperti itu. Jadi, sebelum kenyataan tersebut terwujud, kalau punya uang saya tetap akan bangun banyak tempat. Atau kalau jadi pejabat, ya, bergerak menggalakkan kebijakan-kebijakan mengenai tempat umum. Karena merupakan sesuatu yang bagaimanapun bisa sustainable dan kebutuhannya tidak berakhir. Asal dikelola dengan baik. Bangun sports center, gedung teatrikal, galeri, ruang kelas, tempat makan. Oh, dan jangan lupa set film. Ruang warehouse yang besar yang bisa dipakai untuk berbagai kebutuhan membuat film. Supaya anak Indonesia makin punya banyak fasilitas untuk menciptaan karya-karya kreatif dan makin banyak yang bikin film. Nanti saya tonton.
7 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
Penggalan Kata
In the end, the most interesting story is your own.
Perbincangan saya dengan seorang teman mengenai manusia dan cerita berentang dari Jalan Raya Lenteng Agung hingga masuk Saharjo. Terlontar pengandaian jika saja saat ini ia dapat membaca kisah tentang dirinya sendiri yang berusia enam, tujuh tahun. Mungkin akan sangat nostalgik. Tetapi sudah hilang; fakta berikut perasaan-perasaan penyerta. Hal ajaib tentang kata dan rangkaiannya adalah perangkap yang ia buat untuk perasaan yang kita mungkin seharusnya sulit ingat.
Ini tahun ke-6 saya menulis di fincht. Dari dulu namanya selalu fincht, tidak pernah saya ganti, tidak pernah terpikir mengganti juga. Kadang ada yang tanya, kalau kelewat iseng atau memang blognya sedang jadi bahan obrolan—mengapa namanya harus fincht. Ceritanya panjang. Enggak juga, sih. Intinya ini nama yang awalnya asal bikin, lalu sudah suka dan stick to it karena mudah dan nggak aneh-aneh banget; kemudian entah bagaimana menemukan arti dari kata fincht, atau lebih tepatnya finched, yang referensinya pun dari urbandictionary dan aplikasi sehari-harinya pun siapa juga yang pakai. Lalu iseng membuat karakter kartun berdasarkan nama ini; wujudnya saya gambar di beberapa buku jaman sekolah. Menulis di blog ini mungkin hal terlama dan paling sustainable yang pernah saya lakukan, one thing in life that I have been consistent about. Meski enggak seproduktif itu juga. Mudah-mudahan tumblr nggak bangkrut, atau saya harus cepat-cepat cari tahu bagaimana mengarsip semua tulisan saya; yang meski kebanyakan hanya lanturan melankolis, baluran sentimennya cukup tebal.
Fincht bukan blog pertama saya. Blog pertama saya overproductive dan penuh dengan cerita personal dan sentimen-sentimen lorong sekolah yang berujung ke konfrontasi dan permusuhan antarsiswa. Pernah sekali saya menulis tentang fenomena rok ngatung di sekolah-sekolah menengah, dan tulisannya sampai ke kakak kelas yang entah mengapa merasa berhak untuk mengkonfrontasi saya mengenai tulisan tersebut. Mungkin karena merasa bisa. Anak sekolah memang bentukan pikirannya suka aneh; kebutuhan mandi cuci kakus masih diurus orang tetapi begitu diberi kekuasaan sedikit langsung menindas. Ya saya maafkan sudah kakak kelas saya itu sejak lama. Tetapi saat itu lukanya bertahan, lalu impulsif dan saya hapus blognya. Sayang ya, padahal harusnya dikonservasi. Seperti yang seorang teman pernah bilang. Seharusnya disimpan dan diarsipkan dahulu jadi saksi tumbuh kembang.
Anyway, tentang bercerita. Teman saya ini laki-laki dan banyak ceritanya, tetapi tidak ada yang ditulis. Saya bilang dia musti coba mulai nulis. Rasanya berbeda ketika momen dan perasaan yang kita lalui dikonservasi dalam tulisan, dibandingkan hanya diceritakan puluhan kali lalu ceritanya berubah setiap kali di-recall. Selain memerangkap momen dan perasaan, menulis juga bikin paham. Membuat memori jadi runut dan perasaan jadi jelas. Jadinya lebih lega tentang apa yang sudah terjadi.
Tahun-tahun 2013 dan 2014 adalah salah satu masa puncak dari pengembangan diri saya; ada OSIS dan Pak Satriwan dan lomba-lomba esai dan peluang-peluang ajaib yang sampai sekarang masih saya rasakan hasil-hasil baiknya. Tetapi masa itu juga masa di mana saya barely had anyone to have deepshit talks with, mungkin karena memang belum bertemu dengan teman yang benar-benar sefrekuensi, atau sayanya yang belum banyak paham tentang hal-hal deepshit di dalam diri sendiri dan di luar sana. Galuh pun jauh waktu itu. Jadi, banyak dari kecemasan dan pemikiran-pemikiran penuh pertanyaan larinya ke blog ini. Atau tercecer di medium lain di mana-mana. Baru di paruh kedua tahun 2014, ketika saya bertemu Mbak Put, Ran, Tal, dan teman-teman hebat lainnya yang hubungan pertemanannya penuh heart-to-heart talk. Pada saat itu saya jadi punya partner obrolan dan diskusi untuk banyak hal, sehingga semua dituangkan ke teman dan frekuensi menulis menyerempet nol besar. A dear friend once said to me bahwa adanya teman itu memang kadang sering melahirkan lost thoughts, karena kecemasan dan ide-ide yang kurang waras jadi hanya diomongkan tanpa ditulis. More time hanging out also means less time for ourselves. Many of the greatest thinkers and writers have many lone moments; dan waktu-waktu berharga di mana kita bisa mendengarkan diri sendiri dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang mendamaikan itu bisa tergilas oleh waktu-waktu yang diinvestasikan kepada teman. Sorry I quoted you without consent, dear. I hope you don’t mind. Memang tricky, berteman. Di satu sisi memang sehatnya kita berinteraksi dengan teman porsinya cukup tertentu saja. Atau, mungkin untuk mengkata-katakannya dengan lebih bijak, kita harus juga menginvestasikan waktu untuk berteman dengan diri kita sendiri.
Ajaib yang lain dari bercerita lewat tulisan adalah power yang dihasilkan untuk menuai perspektif. Sudah lewat 2 tahun sejak terpenuhi janji saya pada diri sendiri untuk menuliskan seluruh perjalanan belajar SBMPTN sambil tetap menggeret diri untuk kuliah, dan lewat satu tahun sejak [email protected] saya mulai. Satu pelajaran yang saya dapatkan tentang teman-teman yang kemudian menghubungi saya lewat platform tersebut adalah bahwa yang dicari di dalam tulisan itu bukanlah rasa kagum, atau haru (?), atau sekadar kepengen juga menembak gol yang sama, tetapi rasa senasib. The similar sufferings we all have to go through to reach the heights in our lives. That our burdens, obstacles, and failings are universal yet it is perfectly possible for us to succeed. Saya bukan orang yang paling tahu tentang apa yang sebenarnya penting untuk mencapai target dan mendisiplinkan diri, tetapi saya menulis tentang apa yang saya alami. That’s the thing about us humans. We become empowered by each other’s stories and driven by connectedness. That’s how powerful stories can be. Pada akhirnya, it’s about learning to speak to and about yourself in a language that understands.
Hal ini jadi mengingatkan saya tentang percakapan lain di hari itu. The same dear friend of mine shared a picture with me the day before, tentang wacana pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI dan bagaimana kita dapat menyikapinya, berdasarkan sebuah post Facebook oleh Satrya Wibawa. Mendorong untuk memutar juga The Act of Killing (Jagal), The Look of Silence (Senyap), Surat dari Praha, Pulau Buru Tanah Air Beta, The Shadow Play, 40 Years of Silence, dan sederet narasi lainnya yang menceritakan peristiwa tersebut dari pendekatan yang sarat perspektif. Gambar ini saya share ke grup film di kampus, dan seorang senior menyapa saya. “Bagus pesan dan intentnya,” kata beliau. “Sayangnya history is written by the winners and they can say whatever the hell they want.” Saya sempat geram terhadap wacana pemutaran yang terkesan asal-asalan, cetek, dan double-agenda tersebut, yang katanya untuk ‘meluruskan sejarah’, karena meski ditonton dengan pemahaman bahwa film ini adalah sebuah propaganda pun, belum tentu semua orang mampu mencerna pemahaman tersebut dan malah bisa menimbulkan lagi efek propagandanya. Namun pandangan bahwa membicarakan dan memutar film tersebut dengan memahami konteks bahwa film tersebut adalah propaganda adalah pemahaman yang bijak, dan daripada berusaha menghapus sejarah yang problematik atau memalukan, kita seharusnya mengkonfrontasi dan berusaha memahaminya. “Battleship Potemkin is an important piece of cinema,” she said, “but it’s also a propaganda movie. Lihat aja cara Jerman mengingat Perang Dunia II, gitu.”
Kami kemudian sampai di seputaran Tebet dan mengarah ke rumah saya. Saya tunjukan sebuah lagu ke teman saya, lagu yang meniti poin bahwa being a boy might get you more pressure to not feel. To not write. Entah kenapa menulis membawa corak melankolis dan kurang cool pada lingkaran anak-anak sekolah menengah. And I guess boys just get that pressure more di banyak lingkaran pertemanan. Seharusnya enggak jadi masalah, dan justru a bit ridiculous, karena banyak great writers and thinkers adalah laki-laki. Tetapi kalau mengenai ini memang pasti terpengaruh dampak dari diskriminasi gender dan kesempatan tersentuh pendidikan antara perempuan laki-laki di masa lampau yang dampaknya masih ada sampai masa sekarang. Tidak kalah banyak penulis-penulis wanita seperti Jane Austen yang mengkonfrontasi status quo dan speak up for a truer truth. Intinya nulis aja. Supaya pikiran-pikiran gila itu ada tampungannya. Mungkin bakal tetap gila, tetapi sudah lahir sebuah tulisan. Mending mana?
Telling stories is very visceral. Dan masing-masing dari kita terlahir dengan tendency untuk menyukai hal itu. Coba dengarkan diri kamu, pasti ada yang ingin diceritakan. Have some lone moments. Ujung-ujungnya belajar bahasa dan banyak membaca itu ya fungsi dasarnya ini, untuk memahami diri sendiri, pikiran, perasaan. Be a good friend to yourselves. It’s never too late to start, dan sikap yang ada sekarang mengenai humans and telling stories bisa menjadi refleksi yang baik untuk kita me-raise diri sendiri dan me-raise generasi-generasi ke depan. That’s where we should be heading for—menghasilkan generasi yang penuh pemahaman akan diri sendiri dan dunia sekitarnya. Generasi yang tanggap akan perspektif dan menanam usaha untuk menulis dan membaca. Seperti sebuah penggalan yang saya pernah dapatkan dari seseorang; sesuatu; please help if you know, I totally forgot where I got this from: “Reading non-fiction broadens your knowledge, reading fiction deepens your empathy.” It goes both ways, I think.
8 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Photo
Tumblr media
And I just want to apologize
Really
Truly
Deeply
To you
And to all people
Whose bags of stories have been shushed and shoved
Unasked and untouched
Put away out of questions
By my suffocating arrogance
I wish I had been
taller to lift you up
milder to let you loose
kinder to let you be at ease
to speak the sour truths
Far more understanding
when He sent you to me
I’m sorry
that I couldn’t mend
was too bent to mend
all the bends that cried for help
all the bends that cried
and howled
and screamed
for help
6 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
Dream #7362
Obama invited me to a conference. He was in a wheelchair. The moderator of the conference died in 1946, but she was there. I was late. Some girls sitting by the door scooted over to give me space to sit. They were nice but I felt the potential of strange intentions. There were french fries on the table.
The conference was titled “Go Memes”. The building was so grand I could hardly make out the ceiling. People were asked to take off their shoes outside of the room, but inside they still had their shoes on. Including me.
I lost the rest to the morning sun.
1 note · View note
fincht · 8 years ago
Text
It will be over soon
The sky is gonna rain once more Put out the fire and wash away the clouds You’ll breathe You’ll be able to breathe
1 note · View note
fincht · 8 years ago
Text
Just wanted to write
It’s loud outside of my house. A construction is taking place and the rain hasn’t stopped since noon. I tried drifting myself to sleep but my thoughts woke me. They have been loud again. I haven’t been able to calm them down these past few days.
Just a few moments ago, I saw a post on an old friend’s social media page. She hasn’t changed much, though she puts better use of nice and necessary make up now. I couldn’t help but think of the things she has achieved the years I didn’t keep in touch; and the things she has lost. She lost a father. Graduated. Found another being she’s likely to marry. Then just out of the blue my mind sent me to this corner again, the corner where I tell myself the ways I suck in life.
Getting a break has given me time to rest and think; but it also gave space to more demands. I tend to overestimate and it’s creating burdens. For myself and for other people. I tend to think that I’ll be able to do things–a bunch of things when in fact it would be too packed. And I’m so tied down to my moods. And the things that pop up in my head are uncontrollable. Please tell me this is a universal thing. But even if it is, so what? I’m still experiencing it. And it’s overwhelming me.
Lately I’ve found another way to enhance my focus and calm myself down using colored markers. I can draw things and categorize things in color using these markers. Adding more shades also increases my mood and makes me less anxious. This little note a friend got me, which I thought I would take ages to finish, has passed half its pages. I’m putting things into paper. Trying to memorize them. Recount them. Remember them. Document them. After a while I realize that it isn’t just merely the colors that are helping me out, it’s the process of creating these things. The dedication of time towards listening to the thoughts and feelings I had felt throughout an event, that might have been shushed down throughout the day, and embodying them in the form of letters and shapes. Everything has always been about patience, hasn't it.
I am not an avid reader, but I read. I’m really picky in starting a book. I have to make sure it’s going to worth the time. Then I will have to read everything in sequence and think in sequence and do things in sequence. I’m currently reading a book that really draws my attention, though I know I’m going to take a while reading it. It’s okay. I’ve decided to start. I’m also reading 3 other books in the background, and it’s okay, they are not priority number one. I want to read more books so I know I have to project them in my years. I’ll take baby steps. It’s fine.
So I guess this is the end. I have things to tell about my studies but I guess it’d be so boring. I’ll find some other way to express it. Maybe I’ll write a song. Or just study my ass off. Then again, I had no idea what this writing were going to be about anyway when I started typing word one. But it made me feel better. So thank you. For always being my therapist. And I’m sorry.
2 notes · View notes
fincht · 8 years ago
Text
I’m learning to forgive
Not you
But my choices
4 notes · View notes