gizantara
gizantara
Gizantara
573 posts
﷽ Belum waktunya bagi bintang untuk padam. Maka menulislah aku, untuk mengekalkan cahaya-Mu
Don't wanna be here? Send us removal request.
gizantara · 1 day ago
Text
Wa'alaikumsalam
Satu kata sederhana, yang diam-diam memuat segalanya.
Untuk keselamatanmu, di tempat yang sunyi maupun ramai, di saat terang maupun ketika gelap menutup segalanya. Bila badai datang tanpa isyarat, semoga dirimu berada di tempat yang kokoh dan hangat.
Semoga kamu terhindar dari luka yang tak bisa dijelaskan, dari beban yang tak sanggup dibagi, dari hal-hal yang membuatmu kecil di mata sendiri, atau hal-hal yang membuatmu besar dengan mengecilkan yang lain.
Semoga hatimu tak perlu lelah menghadapi hal yang seharusnya mudah. Dan damai yang kamu bangun tak runtuh sebelum berdiri, oleh tangan yang tak kamu undang. Semoga kamu bebas dari urusan yang bukan tanggung jawabmu, dan dari orang-orang yang tak tahu cara memikul miliknya sendiri.
Semoga yang sedang kau jemput tidak lari sebelum sempat mendekat. Semoga arah yang sedang kau tempuh tidak memutar terlalu jauh hanya untuk mengajarkan bahwa yang kau cari sedang mengarah kepadamu juga. Semoga benih yang kau jaga tahu caranya hidup walau langit kadang pelit cahaya.
Semoga rezekimu mencukupi, sebelum kebutuhan mengetuk dengan suara gelegar, agar satu-satunya tempat tanganmu menjulur adalah Yang Maha Besar bukan pada mereka yang sama-sama gemetar.
Semoga malam-malammu dilalui tanpa perlu menghitung apa yang harus dilunasi esok hari. Semoga tak perlu ada tanya yang kau jawab dengan janji tertunda.
Biarlah hidupmu cukup tertutup bagi yang ingin tahu bukan untuk peduli. Dan kebahagiaanmu tak dibangun di atas kesedihan orang lain.
Semoga gemerlap tak menutupi cahaya yang sejati. Semoga indahnya dunia tak memalingkanmu dari yang memberi keindahan itu sendiri. Semoga tak ada kesenangan yang membuatmu lupa untuk menjadi cukup.
Semoga lingkar yang paling dekat denganmu tak pernah menjadi hal yang paling ingin kau jauhi. Semoga engkau tak perlu berpura-pura baik-baik saja di tempat yang seharusnya paling tahu kapan hatimu sedang tidak baik. Semoga kamu tak lagi harus menjelaskan mengapa rumah bisa terasa seperti tempat asing. Semoga cinta tak jadi barang langka di tempat yang seharusnya mengajarkan cara mengucapkannya.
Semoga perasaanmu tak harus menunggu di luar pintu yang tak pernah dibuka. Semoga aspirasimu tak tinggal selamanya di ruang yang tak boleh disebut. Semoga kasihmu menemukan jalan yang halal untuk tumbuh. Semoga kamu tak berbagi atap dengan jiwa yang enggan mengenalmu. Semoga namamu disebut dengan hangat, bukan sekadar dalam daftar tanggung jawab.
Semoga dijauhkan kamu, dari cinta tanpa pernikahan, pernikahan tanpa cinta.
Semoga keselamatan atasmu, dan semoga, semoga yang sama juga kembali padaku, dengan cara yang paling lembut dan penuh rahmat.
— Giza, mendalami arti nama belakangnya. Ditemani lagu-lagu Panji Sakti.
35 notes · View notes
gizantara · 15 days ago
Note
Giz, tulisan mu kok bisa bagus-bagus ya? kereen :')
Kupikir kita perlu sepakat bahwa kamu yang baca justru punya "mata yang indah", yang mampu menghargai dan memberi bobot, pada isi pikiranku yang dipenakan.
Intinya keren itu subjektif. Tapi terima kasih sudah mampir dan jangan berhenti membaca (apapun) sampai kamu menyadari bahwa si Gizantara ini ternyata nggak keren-keren amat.
Pujiannya kukembalikan pada Yang Maha Terpuji, sumber segala keterpujian, Rabb alam semesta 😅🙏🏻
18 notes · View notes
gizantara · 20 days ago
Text
Saat Tuhan Membongkar Grand Design
Di momen qurban ini, hampir banyak bertebaran narasi tentang keluarga Ibrahim. Either "tiap diri kita adalah Ibrahim yang punya Ismail yang harus dikorbankan" or "menyembelih sifat kebinatangan", or kisah heroisme yang merangkum relasi antar anggota keluarga (suami-istri, ayah-ibu-anak).
Tapi aku ingin coba mendalamkannya lebih lanjut, bahwa serangkaian kisah menjelang qurban itu perlu di-zoom out juga. Dalam arti, kita nggak lihat ini sekedar hubungan pengorbanan ayah-anak aja.
Bayangin, narasi ayah-anak itu aja udah luar biasa kan? Gimana kalau di-zoom out dalam peran Ibrahim yang lebih besar daripada sekedar ayah?
Kisah qurban nggak cuma relasi vertikal Ibrahim-Ismail. Kalau dicermati lebih dalam, rangkaian peristiwa ini justru mengungkap proyek besar yakni Ibrahim sebagai arsitek peradaban. Beliau membawa grand design bernama baladan aminan (negeri yang aman sentosa).
Ini konsep atau konstruk yang megah, cerdas, dan visioner. Bayangin, sekian ribu tahun sebelum masehi, ada orang yang ingin membuat "surga di dunia" ketika yang lainnya masih dalam pemujaan kepada patung, bintang, dan penguasa.
Konsep "baladah" ini (sayangnya) sering direduksi jadi sekadar "negara" dalam pemahaman modern. Yah, simply keterbatasan definisi operasional aja, bahwa sekarang masih mentok di "negara". Padahal, baladah lebih dari sekadar teritorial. Baladah mencakup tatanan masyarakat berlandaskan "kalimat yang baik" beserta seluruh kelengkapan yang tidak dibatasi oleh teritorial (14 : 24-25)
Oke.. selanjutnya di pikiran seorang Ibrahim, "baladan aminan" itu tatarannya masih konseptual yang abstrak sehingga membutuhkan "operasionalisasi" konkret yang berkelanjutan.
(pembelajaran tentang konstruk, definisi konseptual, dan operasional dari matkulku sangat berguna ternyata)
Tujuan dari baladan aminan sendiri tertera jelas dalam doa Ibrahim (15 : 35-36), "agar anak cucuku tidak menyembah berhala." Intinya keselamatan peradaban. Tuh kan, apa kubilang, beliau ingin bikin "darussalam" alias surga versi di Bumi yang berkelanjutan. Kalian harus ngerti betapa megahnya misi penyelamatan ini. Oh ya, keselamatan di sini bukan cuma fisik ya, melainkan juga pembebasan dari segala bentuk "kecelakaan" akal, moral, mental, spiritual, apapun itu.
Oke. Kita udah punya ide/konsep/konstruk, udah jelas juga tujuannya mulia. Sekarang siapa yang mengoperasikannya?
Ibrahim berdoa memohon "anak yang saleh" (Ash-Shaffat: 100). Allah mengabulkannya, tapi nggak instan. Ibrahim harus nunggu sekian tahun sampai Ismail lahir. Begitu memiliki putra, harapannya pun mengkristal: Ismail akan menjadi operator utama yang melanjutkan estafet peradaban.
Tapi ujian tak terduga menghantam. Mimpi penyembelihan meruntuhkan seluruh rencana operasional yang mungkin telah Ibrahim susun. Bayangkan: Anak satu-satunya yang diharap menjadi penerus, justru diperintahkan untuk dikorbankan. Secara langsung seperti "memotong mata rantai keselamatan dan cita-cita" kan? Logika manusia mana yang bisa menerimanya? Ekspektasi Ibrahim "berantakan". Ia seolah harus memulai lagi dari nol. (Saat itu belum ada Ishaq juga kan?)
So, pelajarannya adalah..
Bahkan tujuan mulia sekalipun jangan sampai membuat kita terjebak dalam "penyembahan rencana"
Seringnya, ketika kita udah yakin merancang masterplan terbaik untuk kebaikan, kita lupa bahwa ruang takdir lebih luas dari skema akal kita. Kita merasa berhak "dimuluskan" jalan hanya karena tujuannya benar. Padahal, bisa jadi kita sedang menjadikan blueprint dalam kepala sendiri sebagai berhala.
Respon Ismail menggenapkan hikmah ini. Sadarkah Ismail bahwa dialah calon penerus estafet? Tentu! Maka normalnya ia protes, "ayah, jika aku disembelih, siapa yang akan mengeksekusi rancangan ayah?" atau, "ayah, bukankah penyembelihanku akan membuat ayah mengulang rencana itu dari nol? Buat apa ibu dan ayah susah-susah mendidikku hanya untuk menyembelihku?"
Tapi ia memilih kata lain: "Laksanakanlah mimpi itu. Mudah-mudahan kau akan temui aku termasuk orang yang sabar" (Ash-Shaffat: 102)
MERINDING COY!
Semuanya nggak masuk akal. Tapi sabar adalah trusting Allah when nothing makes sense. Maka Ismail berharap termasuk ke dalamnya. Apalagi Ismail adalah hasil didikan seorang ibu yang lebih dulu diuji "kemampuan percaya pada hal yang nggak masuk akal"-nya.
Aku pribadi, nggak bisa bayangin posisi Ibrahim. Like.. orang secerdas itu, se-masterplanner itu, harus mengulang rencana dari nol, di saat si "operator" sedang matang-matangnya! Nggak ada miss sedikitpun dari rencananya. Tujuan udah bener, konsep udah ajeg. Tinggal eksekusi ajaaa!! Semua rencana harus hancur justru di waktu yang tepat untuk dieksekusi. Kayak disuruh berhenti berjuang saat lagi semangat-semangatnya 🤯
Tapi Ibrahim berhasil. Ismail berhasil. Maka salam sejahtera untuk keduanya yang telah melewati ujian yang besar.
Bahkan Ibrahim dikasih satu lagi kabar gembira yang nggak beliau duga. Kelahiran Ishaq. Ibrahim tadinya nggak apa-apa kalau cuma Ismail aja, toh Ismail adalah anak yang sabar. Artinya, Ismail punya kemampuan "memulai dari nol" bersama ibunya untuk membangun formula peradaban di lembah Bakkah (sekarang Mekkah) sementara ayahnya hijrah ke mana-mana. Yang kemudian karakteristik tantangan Ismail juga kemungkinan besar nggak mirip dengan bapaknya dan saudaranya (Ishaq).
Tumblr media
Tapi kelahiran Ishaq menyempurnakan grand design itu. Allah kasih "anak yang pandai" yang artinya bisa cepat memahami konteks dari peradaban yang udah dibangun Ibrahim sebelumnya. Dia tau harus ngapain dari apa yang udah dikerjakan bapaknya. Ibaratnya: Ismail itu buka lahan baru bersama ibunya (Hajar), dan Ishaq itu melanjutkan garapan Ibrahim bersama ibunya (Sarah).
Tumblr media
Doa penutupnya indah sekali.
Tumblr media Tumblr media
Sampai di sini penceritaanku, untuk hal lainnya tentang Ibrahim bisa cek ke tulisanku sebelumnya:
Ibrahim Penyempurna Janji
Trusting Allah When Nothing Makes Sense
Kepekaan Iman
— Giza, selalu ada pembelajaran baru setiap tahun tentang keluarga ini
92 notes · View notes
gizantara · 27 days ago
Text
Adakah yang berdomisili di Jogja dan mau jadi teman ngopiku? Aku pengen punya circle kecil-kecilan buat melempar bahan diskusi :) syukur-syukur kalau bisa jangka panjang
51 notes · View notes
gizantara · 1 month ago
Text
Understanding is important, but so is the will to understand. Even if you have that strong intuitive feeling that a person understands you better than anyone, it won’t take you far unless there’s also patience to listen, ability to empathize, and willingness to dedicate time and energy to understanding. In the long run, that’s what can significantly improve the communication in a relationship.
— Katja Kaila
36 notes · View notes
gizantara · 2 months ago
Text
Agar Kamu Tidak Bersedih
Ternyata di Qur'an tuh banyak banget kalimat-kalimat yang "aneh" dalam artian, "pasti ada maksudnya nih, ini mah bukan buatan manusia."
Jadi tadi aku notice potongan ayat, bagus banget.
"— karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu—"
Respons pertama saat baca kalimatnya adalah: Hah? 😧 Bentar.. nggak salah nih? Kesedihan demi kesedihan supaya nggak sedih? Hah? Gimana ceritanya? Memang istilah bahasa Arab yang dipakainya apa?
Tumblr media
Ternyata untuk kesedihan demi kesedihan diksinya tuh "غَمًّا بِۢغَمٍّ" , sementara untuk bersedih hati pakai diksi "تَحْزَنُوْا". Berarti ada kesedihan yang berbeda kan?
Apa perbedaan antara: الحزن (al-huzn), الغمّ (al-ghamm), dan الهمّ (al-hamm)?
Huzn (الحزن) berkaitan dengan hal-hal yang telah berlalu (masa lalu).
Ghamm (الغمّ) berkaitan dengan hal-hal yang sedang terjadi (masa kini).
Hamm (الهمّ) berkaitan dengan hal-hal yang akan datang (masa depan).
Secara literal, "غَمّ" berarti menutupi, menyelubungi, atau menekan. Dalam konteks emosional, "ghamm" menggambarkan perasaan yang menutupi hati seseorang dengan beban berat.
Di ayat lain, "غَمّ" juga berarti awan/kabut yang meliputi. Cukup masuk akal, ketika di dalamnya kita jadi tidak dapat melihat ke depan maupun ke belakang. Di ayat lainnya lagi, bentuknya "غُمَّةً" artinya dirahasiakan. Masuk akal juga, karena ketika kita mengalaminya, kita nggak pengen dunia tau apa yang terjadi pada kita. Kita akan merahasiakannya serapat mungkin and act like everything is fine.
Tumblr media
Aku menemukan bahwa "غَمّ" digunakan di 4 cerita di dalam Qur'an:
Nabi Musa setelah membunuh seseorang secara tidak sengaja dan menyadari dampak serius dari tindakannya yaitu menjadi buronan dan menghadapi risiko yang besar.
Nabi Yunus setelah menyadari bahwa meninggalkan misi dakwah dan melarikan diri dari tanggung jawabnya telah menyebabkan dirinya berada dalam situasi yang sangat sulit, yaitu dalam perut ikan.
Pasukan pemanah Uhud yang meninggalkan posisi mereka di medan perang Uhud menyadari bahwa ketidakdisiplinan mereka menyebabkan kekalahan yang fatal bagi seluruh pasukan dan mereka cemas terhadap hasil dari tindakan mereka.
Penghuni neraka yang merasakan cambuk dari besi dan berusaha keluar dari siksaan neraka.
Ada pola menarik dalam penggunaan ghamm di 4 cerita itu:
Semua terjadi karena kesalahan manusia itu sendiri (baik disengaja atau tidak). Jadi ghamm datang sebagai wake-up call dari Allah setelah tindakan yang membawa konsekuensi nyata. Kayak.. membangkitkan rasa fatal.
Gham muncul saat sadar akan akibatnya. Muncul karena "aku melakukan sesuatu, dan sekarang aku harus menanggungnya". Berarti ghamm hanya dapat terjadi pada orang yang taklif dan memahami konsekuensi atau hukum sebab-akibat.
Gham membuka jalan reframing, taubat, dan perubahan (kecuali yang di neraka). Musa dan Yunus segera memohon ampun dan berdoa. Pasukan Uhud menerima pelajaran dari Allah. Bahkan penghuni neraka ingin keluar, tapi udah terlambat.
Gham adalah kemurahan Allah sebelum hukuman akhir. Allah izinkan ghamm menimpa seseorang biar nggak terus terbuai, biar hatinya mencicipi "penyempitan" sebelum terlambat. Tapi kalau nggak direspons dengan sadar dan taubat, barulah bisa berujung pada hukuman.
Jadi bayangin, ghamm itu kayak, "damn moment" yang rembetan konsekuensinya gede dan fatal.
"Gue udah ngelakuin ini, dan sekarang semuanya runtuh."
"Gue sadar banget salahnya, tapi gue juga belum tau harus gimana."
"Ini bukan sekadar sedih. Ini dada gue sempit, kalut, gelap, dan berat."
"Gue menyesal, tapi ga ada waktu untuk menyesal di tengah-tengah himpitan ini."
Dia beda dari Huzn (sedih karena masa lalu) yang lebih lembut, reflektif. Dan beda juga dari Hamm (cemas akan masa depan) yang lebih ngawang, belum terjadi. Tapi dia bisa jadi adalah gabungan dari Huzn dan Hamm 🤯
Terus gimana ceritanya ghamm dapat mencegah huzn?
Jawabannya satu kalimat: luka lama dilampaui oleh luka kini. Sejujurnya meringis sih pas ngetiknya, kayak.. tega banget 😅 tapi dipikir-pikir cukup masuk akal.
Allah menggantikan luka yang membeku dengan luka yang bergerak. Huzn bikin kita stuck, menyesal, menoleh ke belakang, dan menyalahkan diri, sementara Gham bikin kita sadar, bangkit, bergerak, bertahan, dan berserah. Allah lebih memilih menimpakan kesedihan yang "aktif" agar kita selamat dari kesedihan yang "membeku."
Menariknya, Menurut Lazarus & Folkman, coping dibagi dua:
Problem-focused coping: usaha menyelesaikan masalah.
Emotion-focused coping: usaha mengelola perasaan.
Kalau huzn mungkin fokusnya di emosi dan masih punya keluangan mental dan waktu untuk mendalami rasa sesal. Kalau ghamm benar-benar harus switch ke problem focused coping. Jadi, kesedihan baru (ghamm) yang mengharuskan seseorang bergerak, ternyata bisa mengaktifkan mekanisme coping yang sebelumnya tidak muncul saat larut dalam huzn.
Selain itu, di psikologi kognitif, ada konsep Cognitive Load Theory yang menyatakan bahwa otak manusia cuma bisa memproses sejumlah informasi atau emosi aja secara bersamaan. Dalam tekanan yang mendesak (ghamm), otak akan secara otomatis mengalihkan sumber daya mentalnya ke situasi itu. Alhasil, grief (huzn) yang tadinya mendominasi bakal terdorong ke latar belakang karena otak sedang sibuk survive di "sekarang". Kayak.. untuk bersedih pun tidak sempat.
Tapi, karena Allah Maha Mengetahui cara jiwa bekerja lebih dari siapa pun, maka penempaan jiwa melalui penimpaan ghamm itu hakikatnya adalah penyelamatan. Allah mungkin nggak serta merta hapus luka dalam waktu cepat secara ajaib. Allah lebih pilih menempa kita, saking bangga dan percayanya Dia, bahwa kita bisa lebih kuat. Dan akan ada saatnya "ketenangan" Dia turunkan sebagai imbalan, di kondisi kita yang semakin pantas untuk menerima ketenangan itu.
— Giza, masih terus mencoba melakukan pendekatan lewat jalur apapun. Mungkin pendekatannya selama ini ada aja yang keliru, tapi bisa dianulir seiring bertambahnya iman dan ilmu.
589 notes · View notes
gizantara · 2 months ago
Text
Trusting someone's ability to make judgments and decisions.
Tumblr media
Ketimbang selalu memahami, aku lebih suka mengakui bahwa pemahamanku terhadap setiap orang tidak pernah akurat. Kita sebagai manusia, tidak bisa lepas dari bias kognitif. Jadi, ada kalanya aku hanya perlu percaya pada kemampuan seseorang untuk membuat penilaian dan keputusan. Dan pada akhirnya keputusan setiap orang tidak perlu masuk akal buatku.
Aku mulai menyadari bahwa memahami seseorang sepenuhnya adalah hal yang nyaris mustahil. Jangankan orang lain, diri sendiri saja sudah sulit. Setiap orang membawa pengalaman, luka, impian, dan cara berpikir yang tak selalu bisa kutebak, sekeras apa pun aku mencoba.
Dulu, aku sering berpikir bahwa jika aku cukup banyak bertanya (probing) dan cukup banyak mengamati (observing), aku akan sampai pada titik di mana segalanya masuk akal. Tapi nyatanya, ada hal-hal yang memang tak dirancang untuk kumengerti.
Jadi, sekarang aku belajar untuk lebih banyak menerima. Tidak semua keputusan seseorang harus sesuai dengan logikaku, tidak semua jalan yang mereka ambil harus bisa kupahami. Kadang, yang lebih penting bukanlah mencari alasan di balik pilihan mereka, tetapi memberi ruang bagi mereka untuk menjadi dirinya sendiri, dengan cara khasnya sendiri.
Aku memilih percaya bahwa mereka tahu apa yang mereka lakukan, bahkan jika aku tak selalu melihatnya dengan cara yang sama. Aku harap ini memberikan rasa aman bahwa aku tidak akan mencoba menebak dan berasumsi apapun mengenai motif dasar yang mereka lakukan dalam setiap pengambilan keputusannya.
— Giza, untuk teman-teman, maaf sebab pernah mendikte kalian menurut "penggaris" subjektif ala dirinya sendiri
55 notes · View notes
gizantara · 2 months ago
Text
Every "bebeledagan insan" needs their "muthmainnah insan"
Setidaknya sekali seumur hidup, tiap orang pernah ada di fase rebel dan batu banget. Yang perlu disyukuri di fase ini adalah ketika kamu punya seorang temen yang lagi sehat dan stabil untuk menampung versi toksikmu. Dan yes, aku punya orang itu di kehidupanku (selain orang tua).
*bebeledagan = meledak-ledak, senggol bacok
Setelah fase kehidupan jauh lebih baik, aku dapat membayangkan pov dia saat itu. Mungkin dia tuh bisa jadi sebenarnya mlz menanggapi terhadap "bebeledaganku" dan kebodohan berulangku. Dan kalau bukan karena rahmat Allah, tentulah dia sudah meninggalkanku. Jadi kadang aku tuh memandang dia memang sebagai salah satu rahmat Allah yang genuinely dikasih untukku. Not romantically persahabatan gitu wkwk, agak geli :v
Mungkin dia pun bukan yang sejak awal berniat jadi superhero buat menyelamatkanku. Bukan juga menganggapku orang penting di hidupnya, atau bukan juga merasa jadi orang penting di hidupku sampai-sampai ngerasa pengen bantu aku. Simply, dia bersedia aja diperjalankan Allah buat nemenin aku belajar. No hard feelings.
Aku tuh ga pernah expect juga ditolong sama dia. Ga pernah diam-diam pengen temenan sama dia juga sebelumnya. Kayak.. Allah menghadirkannya dia, maka aku syukuri sebagaimana mestinya.
So, aku jadi belajar bahwa temenan tuh kadang nggak bisa milih yang sesuai kriteria. Buktinya dia dikasih temen kayak aku yang pas itu lagi toxic. Kita tuh nggak bisa nuntut banyak bahwa orang akan sesuai harapan kita. Jadi kadang memberi makna pada pertemanan tuh akhirnya bukan seberapa dia memenuhi ekspektasi, bukan seberapa dekat secara emosional, bukan juga seberapa sama hobi dan frekuensi obrolannya.
Melainkan, orang yang saat itu ada di radar kita, dan kita cukup percaya untuk membuka diri dan ngasih tau bahwa kita dalam keadaan hampir celaka, tapi kita mengizinkan diri kita dipengaruhi olehnya, dan kemudian dia menemani prosesnya sampai kita kembali ke kesadaran yang seharusnya. Banyak faktor lain sih yang dapat mempengaruhi kebermaknaannya.
Banyak terima kasih dan maaf yang perlu (dan sudah) aku sampaikan, tapi selebihnya adalah doa agar kita bisa mencengkram keyakinan dan kesadaran ini lebih lama lagi (hingga akhir hayat).
Hikmah lainnya, ternyata perjalanan kami menjadikanku sebagai "mata rantai" kesabaran selanjutnya bagi insan lain. Mudah-mudahan untuk selanjutnya menjadi keberkahan dan keberlanjutan.
So, every "bebeledagan insan" yang sebelumnya punya "muthmainnah insan", akan menjadi "muthmainnah insan" selanjutnya bagi "bebeledagan insan" lainnya. Hurt people hurt people. But healed people, heal people.
— Giza, kalau bukan karena rahmat Allah, tentu ngga akan bisa berbuat baik terhadap sesama
70 notes · View notes
gizantara · 2 months ago
Text
"Apa bagian tersulit dalam menyadari diri sendiri?"
"Mempertahankannya lebih dari sesaat."
Coba deh pas lagi ngumpul sama orang-orang, iseng tanya, “Kamu sadar nggak sama diri kamu sekarang?”
Hampir pasti mereka jawab, “Sadar.” Karena ya, berkat pertanyaan kita, saat itu juga mereka benar-benar sadar. Tapi itu cuma sebentar. Beberapa detik kemudian, mereka balik lagi ke mode autopilot: ngobrol, ketawa, mikirin hal lain. Sadar dirinya cuma lewat.
Hal yang sama juga terjadi di diri sendiri. Coba deh sadari betapa lemahnya cengkeraman kita pada kesadaran diri kita, betapa singkatnya kontak itu, dan seberapa cepat kita (khususnya perhatian kita) tersapu kembali ke arus pikiran. Bahkan saat kita berpikir, "aku menyadari diriku sendiri," pada kenyataannya kita hanya menyadari pikiran itu, bukan keseluruhan diri kita.
Setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri, aku tiba pada satu kesimpulan bahwa bagian tersulit dari menyadari diri bukanlah kembali atau menemukannya, melainkan bertahan di sana lebih lama, tetap tinggal, dan tidak langsung pergi ketika dunia mengetuk pintu dengan segala distraksinya.
Mungkin itulah kenapa, kita diminta buat terus berdzikir sebagai cara buat kembali. Kembali ke kesadaran, ke momen ini, ke keberadaan yang sering banget kita tinggalkan tanpa sadar.
Karena kesadaran itu gampang banget lepas. Kita bisa niat hadir penuh, lalu satu notifikasi saja cukup buat menculik perhatian kita entah ke mana. Zikir bisa jadi adalah jangkar mindfulness. Satu cara buat kembali ke sini, ke sekarang, ke tubuh ini yang sedang duduk, yang sedang bernapas, yang sedang hidup.
Aku juga jadi ngerti, kenapa zikir dan khusyuk tuh nggak betah. Soalnya kita dihadapkan langsung pada diri sendiri. Dan ternyata, kita belum siap menemui Allah dalam kondisi menyadari diri yang banyak kurangnya.
Kita jadi sadar: "Oh, ternyata aku belum benar-benar jujur hari ini. Belum sabar. Belum ikhlas. Belum utuh," dan belum belum lainnya. Dan itu berat soalnya nggak ada tempat buat sembunyi. Semua yang biasanya bisa ditutupi sama sibuk dan suara, jadi muncul ke permukaan.
Pengennya kan menemui-Nya dalam kondisi terbaik, tapi sehari-hari kita ternyata memang belum kasih yang terbaik. Zikirnya sih nggak salah. Kitanya yang kurang berani. Karena kita sedang digiring pelan-pelan untuk melihat diri sendiri apa adanya. Dan ternyata, melihat diri sendiri juga butuh keberanian.
Yang perlu di-reframe adalah bahwa kita nggak harus menunggu sempurna dulu untuk hadir. Dalam proses kembali ke kesadaran itu, pelan-pelan kita dibentuk untuk menjadi lebih layak. So, datanglah meski dengan rasa malu, meski dengan diri yang masih compang-camping. Kita sedang belajar pulang sebelum kepulangan sebenarnya.
Tapi ya, mari kita jujur. Kemungkinan besar setelah baca ini, kamu juga akan langsung balik ke mode default: mikirin notifikasi, doomscrolling, dan tersapu ke rutinitas harian. Hahaha, aku juga begitu. Memang begitu siklusnya. Sadar sebentar, hilang lagi, sadar lagi, hilang lagi. Yang penting jangan lupa sholat untuk reconnect.
— Giza, bahkan pas nulis ini aja nggak sadar telah melewatkan tukang sayur yang sebelumnya lagi ditunggu.
119 notes · View notes
gizantara · 2 months ago
Text
∆ Improvement
Pernah ada di fase "gini-gini aja" nggak? Suatu masa, temenku pernah takut aku ilfeel ke dia karena dia merasa gitu-gitu aja. Dia juga nanya kayak gini:
Tumblr media Tumblr media
In fact, dia tuh nggak "gitu-gitu aja" alias, aku dari point of view orang kedua dan ketiga, ngeliat jelas banget perubahan dia sejauh apa. Tapi perasaan "gitu-gitu aja" tuh jelas normal kalau kita ada di posisi yang melakukan perjalanan, ditambah kalau ngebandinginnya ke orang lain.
Akhirnya kukasih rumusanku selama ini tentang ∆ improvement yang aku yakini, tentang sejauh apa perkembangan kita dengan memperhatikan 4 faktor utama.
∆ Improvement = Σ (Inherent Quality × Effort × Direction × Feedback)
Artinya, seberapa jauh perubahanmu dibandingkan dirimu yang dulu, bergantung kepada 4 hal utama ini. Tentu ada faktor lainnya, tapi 4 hal ini udah cukup representatif. Kujelasin satu-satu ya.
Pertama inherent quality, atau sumber daya awal yang kita punya. Ini tuh yang melekat di diri seseorang sejak awal, kayak bakat alami, minat, potensi, kemampuan kognitif, gaya belajar, dan learning capacity atau kapasitas adaptif. Memang sih, bukan hal yang sepenuhnya bisa dipilih, tapi tetep bisa dikembangin kalau dapet rangsangan atau latihan yang tepat. Misalnya, ada orang yang dari kecil udah kelihatan suka nulis atau gampang ngerti hal-hal teknis, atau terbiasa mengenali pola dan connecting the dots. Tapi kalau nggak dilatih terus, ya bisa-bisa kemampuannya berhenti di situ aja. Jadi tetep butuh usaha biar bisa jadi sesuatu yang maksimal.
Kedua, effort atau usaha sadar. Faktor ini paling bisa dikendalikan langsung sama diri sendiri. Mulai dari seberapa banyak waktu yang kita invest dalam prosesnya, hal-hal apa aja yang kita korbanin, dan seberapa besar kemauan (willingness) buat terus jalan, bahkan pas lagi nggak mood. Konsistensi dan kontinuitas penting banget di sini, nggak cukup cuma semangat di awal, tapi perlu dibiasakan terus-menerus. Disiplin juga jadi kunci, karena kadang kita harus tetap jalan meskipun lagi nggak ada yang nyuruh atau nggak ada hasil instan. Cara yang dipakai pun ngaruh, karena usaha yang asal-asalan beda hasilnya sama yang strategis. Dan niat, motif, serta tujuan bakal jadi fondasi. Kalau niatnya kuat, biasanya badan juga lebih nurut buat bergerak.
Ketiga, kurikulum atau arah. Yep, kamu nggak salah baca. Dalam hidup ini, kita perlu punya kurikulum pengembangan buat diri sendiri. Isinya kayak silabus, tapi mencakup struktur tujuan, tahapan, dan relevansi pembelajaran. Ga harus ribet-ribet kayak di dunia pendidikan, cuma bikin kita punya kerangka. Apa aja emang isinya?
Bangunan atau diri seperti apa yang kita harapkan? Outcome atau natijahnya apa? (Idealitas)
Kemudian merujuk ke hari ini, "legal moves" atau tahap-tahap yang memungkinkan untuk dilakukan apa aja? (Bangun peta realitas)
Kemudian, apa "best move" atau jalan paling efektif dan efisien untuk mencapainya? (Efektivitas dan efisiensi)
Apa hal-hal yang relevan? Dan apa hal-hal yang perlu dihindari untuk mencegah blunder atau kontraproduktif? (Buset udah kayak main catur aja istilah-istilahnya)
Teori atau value apa aja yang bisa diperkuat untuk menuju ke idealitas itu?
Kalau salah arah, improvement bisa meleset, meski effort tinggi. Ibarat naik kendaraan, effort itu bensinnya, tapi kurikulum ini GPS-nya. Kalau nggak ada arah yang jelas, kita bisa capek di jalan yang salah. Oiya, kurikulum bisa disusun sendiri atau dibantu mentor. Sebenarnya nggak mesti ditulis atau yang gimana-gimana, kadang di kepala atau berupa komunikasi verbal dengan mentor juga cukup. Semakin relevan dan terstruktur arah yang kita buat, semakin bermakna usaha kita buat mencapai si ∆ improvement itu.
Terakhir mentor atau feedback. Kayaknya, tiap nonton film, pasti tokoh utamanya tuh punya sosok "wise man" atau orang bijak yang jadi mentor. Bahkan di teorinya Jung tentang arketipe, kita bisa menjadi mentor untuk diri sendiri. Tapi sebelum jauh ke sana, kayaknya emang harus ada deh, orang yang memegang job sebagai mentor kehidupan orang lain.
Emang apa sih yang mentor lakukan? Sebenernya sesuatu yang so f*cking obvious sih: FEEDBACK.
Mentor tuh perannya mirip arsitek dalam proses pengembangan diri. Misal kita request pengen jadi diri yang A, nah mentor ini bantu koreksi, sebenarnya diri yang A itu cocok nggak jadi outcome dari kita yang segini? Kalo cocok, nanti dibuatin blueprint/peta pengembangan dirinya. Lagi-lagi ini tuh bukan berupa tulisan atau gambar, melainkan gambaran mental yang abstrak di kepala mentor yang akan ditransfer ke mentee.
Selain itu, mentor bantu ngelihat hal-hal yang sering kita lewatkan sendiri, entah kelemahan yang nggak kita sadari, atau potensi yang belum kepake maksimal. Feedback dari mentor bisa datang lewat obrolan, evaluasi, atau bahkan cuma dari cara mereka ngasih contoh. Sesimpel meng-counter argumen ngaco aja udah termasuk feedback.
Dan nggak selalu harus guru resmi, bisa juga temen, ortu, senior, atau orang yang udah lebih dulu buka jalan di hal yang sedang kita jalani. Kehadiran mentor bikin proses belajar jadi lebih terarah, nggak jalan sendiri-sendiri. Dan kalau beruntung, mereka juga bisa jadi pengoreksi error dan bantu ngingetin arah saat kita mulai goyah atau kehilangan motivasi. Tapi buat punya hubungan mentor-mentee yang sehat, kuncinya adalah trust. Mentee percaya akan kapasitas dan motif si mentor. Dan mentor percaya kalau mentee bisa berkembang. Sehingga nantinya, si mentee nggak akan malu membuka diri dan segala blundernya ke mentor buat ditunjukkin salah. Serta mentor pun nggak akan gampang frustrasi kalau sewaktu-waktu progress menteenya lambat.
Terus gimana kalau nggak punya mentor? Ya siap-siap aja harus punya tangki effort yang gede untuk trial and error sepertiku. Actually, I'm not mentorless at all, cuma dalam hal belajar framework secara sadar, emang beneran belajar mandiri, otodidak. Dampaknya, bakal jadi kurang bijaksana dalam prosesnya atau bakal kurang dihormati di perjalanan karena kebanyakan gegabah dalam decision making. Boros effort.
Tapi kan kita nggak ngejar bijaksana atau kehormatan dari orang lain. Kita ngejar belajarnya, kita fokus ke pertumbuhan diri di hadapan Allah, jadi chill aja kalau orang nggak respect. Toh salah dan error dalam pembelajaran mah bisa ditaubati.
Tapi ternyata, nggak semua orang bisa jadi mentor. Nggak semua orang bisa spot celah improvement dengan tepat dan akurat sehingga feedback-nya jadi sia-sia (gak relevan dengan potensi mentee yang lagi digarap). Belum lagi, kamu juga harus pertimbangin,
Orang gila mana yang mau membacaku dengan akurat, mau susah-susah mendalami hidupku cuma biar tau potensi terdalamku dan blunder-blunder kehidupanku?
Orang mana yang punya framework sehingga aku nggak cuma diajak "berteduh di bawah naungan pohon frameworknya", melainkan diajarin juga bikin tempat berteduh itu sendiri.
Orang mana yang bisa kupercaya bahwa dia nggak punya motif apapun kepadaku selain melihatku bertumbuh kembang? Dia ga minta bayaran atau balas jasa.
Sebenarnya orang kayak gitu ada, sebagaimana Al-Qur'an juga ngejelasin bahwa idealnya para penyampai pesan tuh ga punya motif/mengambil manfaat untuk dirinya dari orang lain.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Tapi kalau sejauh ini belum punya mentor, wayahna berusahanya jadi lebih banyak. Tapi Maha Adilnya Allah adalah, kalkulator pahala itu ternyata bukan berbasis ∆ improvement, melainkan Σ effort. Jadi nggak ada usaha yang sia-sia. Tentu ada juga range dampak yang bisa jadi passive income atau pahala jariyah, tapi kan seberapa berdampak perubahan kita terhadap orang lain mah di luar kendali kita.
Sebagai penutup, akan selalu ada potensi bahwa mentee bisa menyusul atau melebihi mentornya seiring waktu. Jadi mentor pun nggak boleh sombong. Dalam hal ini, seperti kata Kawaki dalam series Boruto:
"Kau tidak dalam posisi untuk bisa sombong membicarakan takdir hidup orang lain."
Aku harap semakin banyak orang yang punya kesadaran untuk "hidup bermentor", serta para mentor di dunia ini senantiasa menjaga kesucian motif dan prosesnya. Mudah-mudahan para mentee kehidupan juga dihindarkan dari perasaan "gini-gini aja" yang timbul dari membandingkan ke proses orang lain. Dan yang belum punya mentor, moga-moga dipertemukan dengan mentor yang genuine dan tepat.
— Giza, merumuskan perjalanan hidup
66 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.”
Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari ridha Allah sebagai­mana ia mencari ridha dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari ridha manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia.
— Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah
70 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
Laki-laki yang baik itu menyimpan perasaan tetapi mendahulukan kesungguhan. Karena laki-laki itu ada dua; ada yang mendahulukan rasa tapi mengakhirkan kesungguhan, ada pula yang mendahulukan kesungguhan dan mereka meletakkan rasanya bermakmum pada kesungguhannya.
Jadi untuk melihat baik atau tidaknya laki-laki, lihatlah: kesungguhannya jadi imam atau jadi makmum?
— Ust. Abu Bassam Oemar Mita
429 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
"Jangan cepat menghakimi orang lain. Kita sering kali menilai orang lain berdasarkan tindakannya, dan menilai diri kita sendiri berdasarkan niat kita."
Kutipan itu aku temukan dari Stephen Covey dan cukup ngena belakangan ini, soalnya menyoroti salah satu bias terbesar dalam cara kita menilai diri sendiri dan orang lain. Bias ini disebut "bias aktor-pengamat". Aku kadang melihat fenomena ini sebagai sisi gelap atau kemunafikan kita sebagai manusia.
Entah itu dari niat ataupun tindakan, menurutku keduanya sama-sama cara yang sah untuk mengevaluasi perilaku manusia. Tapi masalahnya, kita dengan mudah memilih niat ketika mempertimbangkan diri kita sendiri—"Aku nggak bermaksud gitu kok"—tapi menilai orang lain dari perilaku mereka—"Kok dia gitu sih?"
Fakta unik manusia adalah kita nggak bisa berpandangan objektif tentang diri kita sendiri. Atau mungkin kita sadar tapi rasanya sulit untuk menghindari itu. Soalnya kita nggak bisa mendapati diri kita terlalu salah, sehingga kita bikin banyak excuse buat menoleransinya.
Ada disonansi kognitif di sini. Ketika tindakan kita nggak selaras dengan citra diri atau value kita, kita merasionalisasi itu dengan berfokus pada niat kita untuk mengurangi rasa nggak nyaman. Pada diri kita sendiri, kita menyadari kemungkinan adanya lebih dari satu tujuan di balik tindakan kita. Kita ada di sudut pandang orang pertama bersama dialog internal kita.
Tapi kita kehilangan reasoning untuk orang lain karena kita melihatnya dari sudut pandang orang ketiga atau kedua. Alhasil, kita menilai orang lain berdasarkan tindakannya sampai kita mengetahui atau mendengar maksud atau alasan sebenarnya di balik tindakan tersebut.
Idealnya, kita mesti pertimbangin keduanya dengan seimbang, konsisten, dan adil. Niat itu penting karena alasan kita melakukan sesuatu menunjukkan motif kita. Di sisi lain, perilaku juga sama pentingnya karena apa yang kita lakukan memengaruhi diri kita sendiri dan orang lain.
Tapi walaupun niat penting, niat nggak bisa menebus semua perilaku. Artinya maksud yang baik nggak otomatis bikin suatu perilaku bisa diterima, terutama kalo tindakan itu merugikan orang lain. Terkait hal ini aku jadi inget twitnya Abigail Limuria tentang niat baik yang nggak dieksekusi dengan baik.
Tumblr media Tumblr media
Mengenai tindakan kita sendiri, jangan sampai kita menggunakan niat kita sebagai dalih untuk tindakan yang nggak produktif. Akui saja kalau kita kadang salah dan perlu belajar dari itu.
Orang tuh nggak serta merta jadi orang baik dengan berpikir baik, tapi justru dengan berperilaku lebih baik. Tapi kita juga mesti bersikap baik ke orang-orang yang belum paham soal ini dan hargai bahwa hal-hal kaya gini emang ga selalu mudah.
Kata Pastor Raguel Lewi, pengenalan melunturkan penghakiman.
Itu sebabnya penghakiman seringkali datang dari orang yang kurang mengenal dan memahami. Entah kurang bisa atau kurang mau berusaha. Istilahnya mah lack of understanding, lack of comprehension of a concept, situation, context, or idea.
At the end, aku ingin me-recall motto yang diajarkan di sekolahku dulu. Bunyinya, "satu niat, satu langkah, dan satu tujuan" yang sebenarnya itu adalah serangkaian yang disebut "shaleh". Lurus dan konsisten dari hulu ke hilir.
— Giza, hari-hari terus nemu aja ketidaksempurnaan sebagai manusia. Ini baru sebagai manusia, belum sebagai muslim, pasti lebih banyak lagi.
Rujukan tambahan:
Memperbarui Pengenalan
Memahami Allah Sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri
97 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
Salah satu hal yang "memperkaya" di usia muda adalah menghajar diri dengan pengalaman sebanyak mungkin. Mungkin memang kita akan terhantam habis-habisan, sehingga pandai-pandailah dalam memilah dan memilih pengalaman mana yang layak untuk kita menghabisi diri di dalamnya. Pastikan itu akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kita.
Bahkan sekalipun pengalaman yang kita habis-habisan di dalamnya adalah pengalaman mencintai-dicintai, pastikan itu bukan sekadar membakar habis diri dalam kobaran emosi yang sia-sia. Jika harus patah, pastikan patahannya meluas menjadi ruang untuk tumbuh. Jika harus kehilangan, setelah semua kerugian itu, pastikan kamu tiba di akhir dengan kesadaran akan Yang Maha Ada.
Sebagaimana pengalaman lainnya, mencintai-dicintai, patah, kecewa, dan perpisahan harus membuatmu lebih utuh, bukan sebaliknya. Waktu terlalu singkat untuk pengalaman yang sekedar main-main, jadi pastikan kamu selalu menemukan Allah dan kebijaksanaan-Nya sebagai hikmah.
— Giza, waktu terlalu singkat untuk pengalaman yang tidak dipersembahkan kepada-Nya
168 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
Ngelunjak
Aku nggak jadi tidur di kereta karena nemu kalimat yang menarik dari seorang ulama yang juga cicit Rasulullah, Syekh Ali Zainal Abidin. Ini nyambung dengan tulisanku sebelumnya tentang rasa fatal dan sense of severity.
Beliau bilang, "ahwa un-nadhirin," kita meremehkan-Nya.
Bayangkan ada seekor kucing yang melihat kita dan kita melakukan hal yang haram, apakah kita akan peduli?
Beginilah cara kita memperlakukan Allah.
Ketika kamu mengingat dosa-dosamu, ingatlah bagaimana kamu telah meremehkan Allah. Tanyakan pada dirimu, "mengapa saya begitu meremehkan Allah?"
Bersambunglah ke kutipan yang sangat indah yang sering dibaca di malam-malam Ramadhan. Kutipannya berasal dari doa Abu Hamzah Ats-Tsumali, sebuah doa panjang yang diriwayatkan dari Syekh Ali Zainal Abidin.
وَ يُحَمِّلُنِي وَ يُجَرِّئُنِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ حِلْمُكَ عَنِّي
Wa yuhammiluni wa yujarri’uni ‘ala ma’siyatika hilmuka ‘anni
"Dan (aku takut) kelembutan-Mu terhadapku membuatku terbiasa (berani) bermaksiat kepada-Mu."
Syekh berkata, "tahukah kamu mengapa kita tidak peduli kepada Allah? Mengapa kita tidak malu?"
Karena Allah itu toleran, kita berdosa dengan keyakinan yang begitu berani seolah-olah Allah tidak ada, karena kita tahu Allah itu Maha Penyayang. Kita tahu kesabaran-Nya dalam tidak langsung menghukum. Kita tahu Allah akan memberi kesempatan kedua dan ketiga dan sejuta kesempatan. Kita tahu Allah itu pemaaf dan kita memanfaatkan rahmat-Nya.
Kita memanfaatkan Allah. (damn..)
Bayangkan seseorang bersikap baik kepadamu. Setiap kali kamu tidak menghormatinya, dia tidak mengatakan apa pun, seolah-olah ketidakhormatanmu tak cukup berarti untuk mengusiknya. Awalnya, mungkin kau merasa seperti seorang penguasa yang bisa berbuat sesuka hati tanpa konsekuensi. Namun, semakin lama, kebaikan Allah yang tak tergoyahkan itu berubah menjadi cermin yang memantulkan seluruh keburukanmu.
Di situ aku pengen menyanggah bahwa aku nggak pernah menyengaja meremehkan-Nya. Aku nggak pernah bilang bahwa Allah itu nggak penting. Tapi kalau dipikir-pikir, inkonsisten juga ya, dengan tindakanku. Berarti itu udah cukup menjadi pernyataan.
Ternyata jadi shalihin itu susah banget. Lurusnya mulai dari niat, motif, ucapan, pemikiran, sampai tindakan. Hulu ke hilir harus konsisten. Pantesan termasuk "sebaik-baiknya teman" di jajaran setelah nabiyin, shadiqin, dan syuhada. Astaghfirullahal adziim.
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعفو عنى
— Giza, jadi sampai kapan cenah bakal terus ngelunjak?
101 notes · View notes
gizantara · 3 months ago
Text
Rasa Fatal: Bincang 2/3 Ramadhan
"Ramadhan tidak seistimewa itu."
"Pengampunan memang tidak pernah terlalu berharga bagi yang tidak merasa bersalah. Tetapi bagi mereka yang lebih dulu tenggelam dalam penyesalan dan rasa malu, mereka yang hatinya tercabik oleh kesalahan serta menginginkan jalan keluar dari belenggu yang mereka buat sendiri, pengampunan jadi sangat berarti."
"Jadi menurutmu apa yang salah dengan rasa tidak istimewa di Ramadhan ini?"
"Barangkali kita berpikir, berkata-kata, bertindak, melukai, dan melanjutkan hidup seolah-olah tidak ada yang perlu disesali. Kita kehilangan sense of severity atau rasa fatal atas kelalaian dan pelanggaran sedikit demi sedikit.
Atau mungkin, kita tahu salah, tapi menutup mata, menunda, menguburnya di sudut hati dengan harapan ia membusuk dan hilang dengan sendirinya. Tapi hakikatnya kesalahan tidak mati. Ia hanya membusuk dan merayap ke dalam diri lalu mengkristal menjadi bagian dari kita."
"Tapi beberapa perbuatan memang terlalu sepele kok untuk ditaubati."
"Ayah kita, Adam, perbuatannya juga sepele. Allah katakan, "fa azallahuma syaithon" yang artinya setan menggelincirkan mereka. They just slipped. Bukan hanya tergelincir, itupun digelincirkan oleh setan. Tapi apa yang kita pelajari dari ayah kita?"
"Dia merasa malu dan merasa fatal."
"Tepat. Ia tidak membela diri, tidak mencari alasan. Ia tidak menyalahkan setan. Yang ia lakukan hanyalah tunduk, menanggung konsekuensi, dan berdoa: "Rabbana zalamna anfusana, wa illam taghfir lana wa tarhamna, lana kunanna minal khasirin."
"Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, pasti kami termasuk orang-orang yang merugi." (7: 23)
Itulah yang membedakan manusia dengan malaikat. Kita memiliki kecenderungan untuk jatuh, untuk keliru, untuk tergoda oleh sesuatu yang seharusnya kita hindari. Di sisi lain, kita juga memiliki kecenderungan untuk merasa malu, bersalah, dan kembali kepada keteraturan. Fitur taubat itulah yang membedakan manusia dengan Iblis.
"Abaa wastakbaro wa kaana minal kaafiriin". Dia merasa akbar dan menyepelekan pembangkangannya pada Sang Maha Akbar. Dia membantah, menolak mengakui kelemahannya, dan lebih memilih untuk bersikeras bahwa kesalahannya bukan kesalahan. Dia tidak meminta ampun, karena dia tidak merasa perlu dimaafkan."
"Seberapa jauh kita bisa berjalan sebelum akhirnya menyadari bahwa kita telah mengabaikan satu hal yang paling penting yakni pandangan Allah atas diri kita?"
"Yang jelas, tidak pernah bisa lebih jauh dari maut. Kita bisa menunda, bisa mengabaikan, bisa terus berjalan seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tapi sejauh apa pun kita melangkah, tidak ada kaki yang bisa melewati batas waktu yang telah ditentukan. Tidak ada perjalanan yang bisa lebih panjang dari takdir yang telah tertulis.
Kita akan berhenti. Bayangkan kengeriannya. Di titik itu, semua penyangkalan tak berlaku. Kita akan melihat dengan jernih, tapi sudah terlambat untuk berpaling.
"Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu." (6 : 158)
Apakah kita akan menunggu sampai saat itu datang? Atau masih ada sisa keberanian untuk melihat ke dalam diri dan bertanya: Apakah aku masih peduli dengan bagaimana Allah melihatku?"
"Memang bagaimana rasanya diampuni?
"Indah. Ada perasaan ringan yang tidak mudah dijelaskan kecuali oleh mereka yang benar-benar mengalaminya. Seperti terbebas dari belenggu dan beban yang mencegahmu melangkah maju. Seperti kelegaan yang diperjuangkan."
"Bagaimana kau tahu kau sudah diampuni?"
"Allah tidak hanya menghapus dosa, tapi juga mengubah hati. Pemindahan kiblat. Peralihan framework. Pergantian arah. Apapun sebutannya.
Apa yang dulu menggoda kini terasa hambar. Apa yang dulu terasa wajar kini membuat dada bergetar. Apa yang dulu sepele jadi kini mengusik. Prioritas yang berbasis ego perlahan berganti dengan kesadaran akan pandangan Allah. Lebih dari menyesal, kita akan memahami ulang posisi diri di hadapan-Nya.
"Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia." (2 : 143)
"Dalam 10 hari terakhir, apa yang perlu aku lakukan?"
"Kembalilah dengan sepenuh hati. Bukan hanya dengan amal yang lebih banyak, tapi dengan hati yang lebih sadar. Biarkan dirimu merasakan betapa butuhnya kau pada-Nya. Orang yang benar-benar mencari ampunan, tidak hanya memperbaiki perilaku, tapi juga mengizinkan hatinya dipengaruhi dan diatur ulang oleh Sang Pengatur. Jadi ini hanya tentang seberapa jauh kita memberi ruang untuk Ramadhan mengubah kita. Maka dari itu, pengampunan memang hanya omong kosong bagi mereka yang tak pernah benar-benar peduli."
— Giza, ini namanya senandika atau soliloquy. Siapa lagi yang ia nasehati sekeras ini kalau bukan dirinya sendiri?
Tumblr media
14 notes · View notes
gizantara · 4 months ago
Text
"Tidak ada doa khusus pembuka Ramadhan yang sama untuk setiap orang. Karena semua orang memulai Ramadhannya dari titik yang berbeda."
"Apa doamu untukku?"
Tumblr media
"Semoga Ramadhanmu tahun ini menjadi waktu istirahatmu. Dari apapun yang telah membombardirmu 3 tahun ke belakang. Dari kebodohan dan ketidaktahuan yang mencederai akal dan nafs—perangkat penghambaanmu. Dari pengejaran dunia tanpa tepi. Dari kebergantungan pada makhluk yang menyesakkan dadamu seperti mendaki langit. Dari amanah satu ke amanah lainnya. Dari cinta-cinta yang tidak bertuju kepada haknya. Dari seluruh luka dan air mata yang membuat engsel hatimu karat.
Kamu tidak perlu merasa bersalah jika targetmu tahun ini tidak spektakuler secara kuantitatif. Menurutku Tuhan akan mengkuantifikasi seluruh proses taabaa wa ashlahaa—yang di mata manusia itu alat ukurnya tidak kasat mata. Mungkin Rajabmu belum menanam. Mungkin Sya'banmu belum menyiram. Mungkin setahun ke belakang kamu hanya mampu mengondusifkan tanahmu. Dan itu tidak apa-apa.
Selalu ada yang dapat dipanen di Ramadhan, dari hal yang sebenarnya kamu tanam secara tidak sadar selama kamu diperjalankan. Atau justru dari yang Tuhan tumbuhkan sendiri di hatimu. Dari benih super unggul-Nya yang pasti tumbuh tidak peduli bagaimanapun kondisi tanahnya. Mungkin kita bukan petani, melainkan kitalah tanah itu? Dan bulan-bulan yang berlalu begitu saja hanyalah cara kita memberikan kesempatan untuk tangan Allah membajak dan menggemburkan kita. Pada akhirnya berubah atau tidaknya kita hanya tentang seberapa jauh kita mengizinkan diri kita dipengaruhi oleh-Nya.
Kalau kamu pikir semuanya berlari mulai besok, kenyataannya tidak. Ada orang-orang yang panik sebelum hilal terbit karena ajakan curi start bergema di mana-mana sedang dia belum mempersiapkan perangkat berlari yang memadai. Maka mengondisikan diri untuk siap berlari pun sebenarnya adalah bentuk ibadah dan curi start juga.
Selamat beristirahat. Selamat bernafas dengan lapang dada, menghirup kesegaran hikmah-Nya. Selamat berobat dari luka yang disebabkan eratnya lengan yang enggan melepaskan. Selamat menikmati leganya perpisahan dengan yang kamu genggam sebelumnya. Mudah-mudahan Allah ampuni, ridhai, dan hargai."
"Itu doa yang terlalu megah untukku yang lemah. Tapi dapat memutarbalikkan paradigmaku mengenai Ramadhan yang selama dua dekade hidupku ini identik dengan berlari.
Rupanya aku tidak harus berlari, apalagi bersaing dengan yang lain. Aku hanya perlu istitho'ah. Seperti perintah Allah, "mastatho'tum min quwwah" yakni living my live to the fullest capacity. Dan istitho'ah tidak sama dengan berlari.
Tahun ini aku masih merupakan 100% tanah yang tidak berdaya dan mengandalkan tangan Allah saja. Tahun depan, semoga Allah layakkan aku menjadi tanah sekaligus petani yang mindful dan berdaya. Lalu apa doamu untuk dirimu sendiri?"
"Aamiin. Aku sebenarnya bertanya-tanya titik startku itu apa? Dan apa yang ingin kucapai secara konkret? Pada akhirnya ini berkaitan dengan grand design hidupku. Jadi doaku, semoga aku dimatangkan untuk ditempatkan di posisi baru yang sedang aku coba ajukan juga pada-Nya. Terkait peribadahan, aku hanya mengharapkan diriku tidak jadi hamba yang bohong. Aku enggan berpura-pura mencapai tujuan dan jika selama ini ternyata masih begitu, aku ingin memperoleh pengampunan. Aku ingin langkahku konsisten, menyesuaikan pada pola pikir dan tulisanku. Dan mudah-mudahan seumur hidup, aku senantiasa memelihara kesediaan diri, akal, nafs, jasmani, agar mau dimuridkan oleh-Nya. Doaku hanya seperti itu dan tidak perlu bagus-bagus. Yang penting bentuk pengaminannya."
"Aku baru paham ternyata doa juga berkerangka dan aku jadi tidak ingin ikut-ikutan standar di doa orang kebanyakan. Aku yang kenal diriku, aku tahu apa kurangku yang membuatku jauh dari-Nya. Aku tahu apa lebihku yang bisa kudoakan agar Allah jadikan itu sebagai kendaraan. Aku tahu aku mau sejauh apa dan sampai titik mana.
Dan ternyata 'apa doamu?' terdengar lebih berpengharapan ketimbang 'apa targetmu?'. Target itu seperti perjalanan seorang diri. Sedangkan kita bahkan butuh melibatkan-Nya dalam perjalanan menuju-Nya.
Terima kasih atas doanya, kamu membantuku mengenal diriku. Jadi aku bantu sumbangkan aamiin untuk doamu yang mendoakan kita itu."
"Selamat mengaamiinkan doa dengan langkah kerendahan hati, sesama hamba."
— Giza, untukmu yang ingin beristirahat. Bahkan larinya pun adalah istirahat. Apa doamu?
109 notes · View notes